{قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ ويَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ، وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ}

Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah (sunnah/petunjuk)ku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS Ali ‘Imran:31)

Berpegang Dengan Kebenaran

Abu Fathan | 21:10 | 0 comments

Allâh Ta’ala berfiman,

(Qs. Ash-Shaf/61: 9)

Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar

agar Dia memenangkannya di atas segala agama-agama,

meskipun orang-orang musyrik benci.


(Qs Ash Shaf/61:9)

Dalam ayat ini, Allâh Ta’ala memberikan nikmat kepada semua manusia dengan mengutus Rasul dan Nabi terbaik kepada mereka dengan membawa sebaik-baik kitab dan risalah-Nya; yang mencakup penjelasan antara yang haq dan bathil, ilmu yang bermanfaat, amal shalih dan semua yang dibutuhkan oleh hamba demi kemaslahatannya di dunia dan akhirat, agar Allâh Ta’ala meninggikan di atas semua agama dengan hujjah (argumen) dan penjelasan, dan agar Allâh Ta’ala memenangkan orang-orang yang teguh melaksanakannya dengan pedang dan panah.

Allâh Ta’ala memerintahkan kepada kaum mukminin agar berpegang teguh dengan agama yang benar dan manhaj yang jelas ini, dalam semua urusan mereka, supaya mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Allâh Ta’ala memperingatkan kepada mereka agar tidak berpaling atau berpegang dengan agama yang lain.

Allâh Ta’ala berfirman:

(Qs. Al-A’raf/7:3)

Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabb-mu

dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya.

Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (dari padanya).


(QS Al A’raf :3)

Para ahli tafsir mengatakan, yang dimaksud (dengan kata mâ, Red) adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah; karena ia sebagai penjelas dan tafsir bagi Al-Qur’an.

Firman Allâh Ta’ala :

(Qs.  Al-A’raf/7:3)

dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya

Maksudnya ialah janganlah kalian menjadikan mereka sebagai pemimpin dan mengikuti hawa nafsu mereka dan meninggalkan al-haq karenanya.

Banyak dalil-dalil syara’, atsar dari para sahabat, para tabi’in dan para imam kaum muslimin yang memotivasi agar berpegang teguh dengan wahyu dan petunjuk yang dibawa Nabi Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam tanpa membantahnya dengan perkataan manusia, meskipun orang itu memiliki derajat dan kedudukan tinggi. Apalagi sampai mendahulukan perkataan dan pendapat mereka daripada firman Allâh Ta’ala dan sabda Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam.

Bagi setiap mukallaf, wajib untuk mengikuti kebenaran apabila jelas baginya tanpa tergantung kepada seseorang dalam menerima kebenaran. Banyak nash-nash (teks-teks) yang menunjukkan, bahwa jalan keselamatan bisa dicapai dengan berpegang kepada kebenaran, bukan kepada pribadi-pribadi (tertentu, Red). Berdasarkan dengan kebenaran, perkataan-perkataan dan pendapat-pendapat itu ditimbang, sehingga menjadi jelas benar atau salahnya suatu perkataan dan pendapat.

Adapun bergantung kepada orang-orang tertentu, mengikuti perkataan, pendapat dan ijtihad mereka kemudian langsung menerimanya tanpa melihat kesesuaiannya dengan kebenaran yang dibawa Nabi Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam dari Allâh Ta’ala, maka demikian ini merupakan cara yang berbahaya dan bertentangan dengan petunjuk Salafush Shalih.

Dikatakan oleh Imam Syatibi rahimahullâh,

”Menjadikan seseorang sebagai hakim, tanpa memandang keberadaannya sebagai perantara hukum syar’i yang dituntut secara syar’i, sesungguhnya merupakan kesesatan. Dan hujjah penentu dan hakim tertinggi adalah syari’at, bukan yang lainnya. Kemudian kami katakan, demikianlah manhaj para sahabat Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam, dan siapa saja yang membaca sejarah dan nukilan-nukilan dari mereka serta mempelajari keadaan mereka, pasti akan mengetahui hal ini dengan ilmu yang yakin.”

Beliau rahimahullâh juga berkata,

”Sungguh, kebanyakan orang tersesat akibat berpaling dari dalil-dalil dan (kemudian) bergantung kepada manusia. Mereka keluar dari (pemahaman, Pent) para sahabat dan tabi’in. Mereka memperturutkan hawa nafsu dengan tanpa ilmu, sehingga keluar dari jalan yang lurus.”

Beliau rahimahullâh juga mengatakan, bahwa mengekor kepada pribadi-pribadi merupakan ciri orang sesat.

DALIL-DALIL WAJIBNYA BERPEGANG KEPADA KEBENARAN

Di bawah ini, terdapat beberapa dalil syari’i dan atsar-atsar tentang kewajiban berpegang teguh kepada kebenaran dan mengenyampingkan ketergantungan kepada pribadi-pribadi tertentu. Allâh Ta’ala berfirman,

(Qs. Al Hujurat/49:1).

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allâh dan Rasul-Nya.

Dan bertaqwalah kepada Allâh.

Sesungguhnya Allâh Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.


(Qs Al-Hujurat/49:1)

Syaikh Abdurrahman As Sa’di rahimahullâh berkata,

”Ayat ini memuat adab kepada Allâh, Rasul-Nya, mengagungkan, menghormati serta memuliakan-Nya. Allâh memerintahkan kepada kaum mukminin dengan sesuatu yang menjadi konsekwensi keimanan mereka kepada Allâh dan Rasul-Nya. Yaitu dengan menjalankan perintah-perintah Allâh dan menjauhi larangan-Nya. Dan hendaknya mereka berjalan mengikuti perintah Allâh , mengikuti Sunnah Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam dalam semua urusan, tidak mendahului Allâh dan Rasul-Nya; tidak mengatakan sesuatu, sehingga Allâh mengatakannya. Mereka tidak memerintahkan, sehingga Allâh memerintahkannya.”

Disini juga terdapat larangan yang keras mendahulukan perkataan selain Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam daripada sabdanya. Apabila Sunnah Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam telah jelas, maka wajib mengikuti dan mendahulukannya daripada perkataan yang lainnya, siapapun juga.

Allâh Ta’ala berfirman,

(Qs. Ali Imran/3:144)

Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul,

sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul.

Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad).

Barangsiapa yang berbalik ke belakang,

maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allâh sedikitpun;

dan Allâh akan memberi balasan kepada orangorang yang bersyukur.


(Qs Ali Imran/3:144)

Syaikh Abdurrahman As Sa’di rahimahullâh mengatakan :

“Dalam ayat yang mulia ini terdapat petunjuk dari Allâh untuk para hamba agar kokoh dalam satu kondisi, tidak goyah keimanannya atau sebagian konsekwensi keimanannya akibat kevakuman pemimpin, walaupun itu sulit. Demikian ini tidak dapat direalisir, kecuali dengan mempersiapkan semua urusan agama dengan sejumlah orang yang memiliki kemampuan. Apabila hilang salah satunya, maka ada orang lain yang menggantikan. Dan hendaknya semua kaum mukmin memiliki tujuan menegakkan agama Allâh dan berjihad semampunya. Dan hendaknya mereka tidak memiliki tendensi pemimpin tertentu, dengan demikian semua urusan mereka menjadi stabil”.

Hadits Nabi Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam :

hadist

hadist


Umar bin Khathab radhiyallâhu’anhu (datang) kepada Nabi Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam


sambil membawa sebuah kitab yang ia dapatkan dari sebagian Ahli Kitab.

Kemudian Nabi dibacakan kitab tersebut.

Nabi marah dan bersabda,

”Apakah engkau merasa bingung dengan apa yang ada di dalamnya, wahai putra Khathab?

Demi Dzat, yang jiwaku berada ditangan-Nya.

Sungguh aku telah datang kepada kalian dengan membawa sesuatu yang jelas.

Janganlah kalian bertanya kepada Ahli Kitab tentang satu hal,

karena (mungkin, Red) mereka akan memberitahu kalian satu kebenaran,

akan tetapi kalian mendustakannya.


Atau mereka mengabarkan satu kebatilan, akan tetapi kalian percaya.

Demi Dzat, yang jiwaku berada di tangan-Nya.

Seandainya Musa masih hidup, maka wajib baginya untuk mengikutiku.


(HR Ahmad, Ibnu Abi Ashim, dan dinyatakan hasan oleh Al Albani)

Dari Anas bin Malik radhiyallâhu’anhu, beliau berkata : Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam bersabda,


hadist


Janganlah kalian merasa heran dengan amalan seseorang,

sehingga kalian melihat amalan akhir hayatnya,


karena mungkin seseorang beramal pada suatu waktu dengan amalan yang shalih,

yang seandainya ia mati, maka ia masuk surga.

Akan tetapi ia berubah dan mengamal perbuatan yang jelek.

Dan mungkin seseorang beramal pada suatu waktu dengan suatu amalan jelek,

yang seandainya ia mati, maka akan masuk neraka.

Akan tetapi ia berubah dan beramal dengan amalan shalih.

Maka apabila Allâh menginginkan satu kebaikan kepada seorang hamba,

Allâh akan menunjukinya sebelum ia meninggal

dan memberikan taufik kepadanya untuk beramal shalih.



(Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Ashim dalam kitab As-Sunnah 1/174.

Syaikh Al Albani mengatakan,”Sanadnya shahih.”)


Juga dari beliau (Anas bin Malik radhiyallâhu’anhu), Nabi Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam bersabda,

hadist


Janganlah kalian merasa heran dengan seseorang

sampai kalian mengetahui dengan amal apa ia mengakhiri hidupnya.


(Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Ashim,

Syaikh Al Albani mengatakan,”Sanadnya shahih.”)

Juga dari beliau (Anas bin Malik radhiyallâhu’anhu), Nabi Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam bersabda,

hadist


Akan keluar atau akan ada pada kalian satu kaum

yang beribadah dan taat beragama,

sehingga kalian merasa takjub dengan mereka

dan mereka bangga dengan diri mereka.

Mereka keluar dari agama seperti keluarnya anak panah dari busurnya.


(Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Ashim,


Syaikh Al Albani mengatakan,”Sanadnya shahih.”)


TIGA HAL YANG MENGHANCURKAN AGAMA

Dari Umar bin Khathab radhiyallâhu’anhu, beliau berkata bahwa Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam bersabda,

hadist

Tiga hal yang menghancurkan agama;

kesalahan seorang ‘alim,

perdebatan orang munafiq dengan menggunakan Al-Qur’an

dan para imam yang menyesatkan.


(Dikeluarkan oleh Ibnu Abdil Barr dalam kitab Jami’ Bayan Ilmu Wa Fadlihi)

Dari Abu Darda’ radhiyallâhu’anhu, beliau berkata Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam bersabda,


hadist


Sesungguhnya diantara yang aku khawatirkan atas kalian,

adalah kesalahan orang yang ‘alim,

perdebatan orang munafiq dengan Al-Qur’an.

Sementara Al-Qur’an adalah sebuah kebenaran,

di atasnya ada cahaya seperti rambu-rambu bagi jalan.



(Dikeluarkan oleh Ibnu Abdil Barr dalam kitab Jami’ Bayan Ilmu Wa Fadlihi)

Dan dari Ibnu Abbas radhiyallâhu’anhu, dia mengatakan :

”Celakalah orang-orang yang mengekor karena kesalahan-kesalahan orang ‘alim.”

Beliau ditanya :

“Bagaimana itu bisa terjadi?”

Beliau berkata,

”Seorang ‘alim berkata tentang sesuatu berdasarkan pendapatnya, kemudian sang pengikut mendapatkan orang yang lebih tahu tentang Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam dari imamnya, tapi ia meninggalkan perkataan orang yang lebih tahu tersebut, kemudian pengikut itu berlalu.”

Ali bin Abi Thalib radhiyallâhu’anhu berkata,

”Janganlah kalian mengambil seseorang sebagai tauladan, karena kadang seseorang beramal dengan amalan ahli surga, kemudian ia berbalik karena ilmu Allâh dan beramal dengan amalan ahli neraka, kemudian ia mati, sehingga menjadi ahli neraka. Dan kadang seseorang beramal dengan amalan ahli neraka, kemudian ia berbalik karena ilmu Allâh dan beramal dengan amalan ahli surga, kemudian ia mati, lalu ia menjadi ahli surga. Kalaupun engkau harus mengikuti seseorang, maka ikutilah orang-orang yang sudah mati bukan orang yang masih hidup.

(Al Jami’, Ibnu Abdil Barr)

TAULADAN TERBAIK

Ibnu Mas’ud radhiyallâhu’anhu berkata,

”Ingatlah. Jangan sekali-kali salah seorang diantara kalian bertaqlid kepada seseorang dalam masalah agama; jika panutannya beriman, ia ikut beriman; dan jika panutannya kufur, ia ikut kufur. Sesungguhnya tidak ada tauladan pada manusia”. (Al Jami’, Ibnu Abdil Barr)

Beliau radhiyallâhu’anhu juga berkata:

“Barangsiapa diantara kalian yang ingin menjadikan seseorang sebagai panutan, maka jadikanlah orang yang sudah mati sebagai panutan. Karena yang masih hidup tidak aman dari fitnah. Mereka (yang sudah mati itu, Red) adalah para sahabat Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam. Mereka adalah orang-orang yang paling utama (generasi terbaik) dari umat ini, hati mareka paling bertaqwa, paling dalam ilmunya, dan paling sedikit menyusahkan diri. Allâh memilih mereka untuk menemani NabiNya, menegakkan agamaNya. Maka, fahamilah keutamaan mereka dan ikutilah jejak mereka. Sesungguhnya mereka berada diatas jalan yang lurus.”

Abdullah bin Mubarak rahimahullâh berkata,

”Bisa jadi seseorang yang memiliki kebaikan dan atsar yang baik dalam Islam, terjatuh kepada kekeliruan dan kesalahan, maka janganlah diikuti kesalahan serta kekeliruan orang tersebut.”

Imam Malik rahimahullâh berkata:

“Tidaklah setiap perkataan orang itu harus diikuti, walaupun ia memiliki keutamaan, berdasarkan Firman Allâh Ta’ala,

(Qs Az Zumar/39:18).

yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya.

(QS Az Zumar:18)

Az Zuhri rahimahullâh berkata:

“Para ulama kita terdahulu mengatakan,”Berpegang teguh dengan Sunnah adalah keselamatan, dan ilmu akan dicabut dengan cepat. Hidupnya ilmu, berarti kekokohan agama dan dunia, sedangkan hilangnya ilmu, berarti kepunahan semua itu.”

Al Auza’i rahimahullâh mengatakan,

”Dikatakan, lima hal yang ditempuh oleh para sahabat Nabi dan para tabi’in; berpegang teguh dengan jama’ah, mengikuti Sunnah, memakmurkan masjid, membaca Al Qur’an dan berjihad dijalan Allâh.”

Mujahid rahimahullâh mengatakan,

’Tidak ada seorangpun perkataannya (boleh, Red) diambil dan ditinggalkan, kecuali Nabi Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam.”

Ibnu Khuzaimah rahimahullâh berkata,

”Tidaklah ada seseorangpun yang boleh berkata, kecuali bila telah benar kabar dari Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam .”

BERPEGANG TEGUH DENGAN SUNNAH

Selayaknya bagi yang ingin mencari kebenaran dan mengikuti Sunnah agar mengikatkan dirinya dengan dasar yang agung dan jalan yang jelas ini. Yaitu berpegang teguh dengan Sunnah dan mengikuti pemahaman para salafush shalih, berupa pengagungan terhadap dalil-dalil dan tidak mempertentangkannya dengan perkataan siapapun, apalagi mendahulukan perkataan orang atas dalil tersebut. Dan hendaknya tidak tertipu dengan kebaikan seseorang ataupun dengan amalan seseorang. Karena orang yang masih hidup tidak aman dari fitnah. Sesungguhnya sebaik-baik orang yang diikuti adalah Nabi Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam dan para sahabatnya radhiyallâhu’anhum, yang Allâh Ta’ala telah memberikan tazkiyah (pengakuan, Red.) kepada mereka.

Allâh Ta’ala telah berfirman di dalam kitab-Nya (A-Qur’an) dan Nabi Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam telah wafat. Allâh Ta’ala ridha atas mereka (para sahabat radhiyallâhu’anhum) dan para tabi’in yang mengikuti mereka dengan baik.

Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam telah bersabda tentang mereka:

hadist

Sebaik-baik generasi adalah generasiku,

kemudian yang setelahnya,

kemudian yang setelahnya.


(Muttafaq ‘alaih)

* Diterjemahkan oleh Adi Abdul Jabbar dari Majalah Al Furqan edisi 254 dan 255(Majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun VIII)

Masa Muda, Waktu Utama Beramal Sholeh

Abu Fathan | 00:02 | 0 comments
Alhamdulillah was shalaatu was salaamu ‘ala Rasulillah wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam.

Waktu muda, kata sebagian orang adalah waktu untuk hidup foya-foya, masa untuk bersenang-senang. Sebagian mereka mengatakan, “Kecil dimanja, muda foya-foya, tua kaya raya, dan mati masuk surga.” Inilah guyonan sebagian pemuda. Bagaimana mungkin waktu muda foya-foya, tanpa amalan sholeh, lalu mati bisa masuk surga[?] Sungguh hal ini dapat kita katakan sangatlah mustahil. Untuk masuk surga pastilah ada sebab dan tidak mungkin hanya dengan foya-foya seperti itu. Semoga melalui risalah ini dapat membuat para pemuda sadar, sehingga mereka dapat memanfaatkan waktu mudanya dengan sebaik-baiknya. Hanya pada Allah-lah tempat kami bersandar dan berserah diri.

Wahai Pemuda, Hidup di Dunia Hanyalah Sementara

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menasehati seorang sahabat yang tatkala itu berusia muda (berumur sekitar 12 tahun) yaitu Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma. (Syarh Al Arba’in An Nawawiyah Syaikh Sholeh Alu Syaikh, 294). Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memegang pundaknya lalu bersabda,

كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيْبٌ , أَوْ عَابِرُ سَبِيْلٍ

“Hiduplah engkau di dunia ini seakan-akan sebagai orang asing atau pengembara.” (HR. Bukhari no. 6416)

Lihatlah nasehat yang sangat bagus sekali dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada sahabat yang masih berusia belia.

Ath Thibiy mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memisalkan orang yang hidup di dunia ini dengan orang asing (al ghorib) yang tidak memiliki tempat berbaring dan tempat tinggal. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan lebih lagi yaitu memisalkan dengan pengembara. Orang asing dapat tinggal di negeri asing. Hal ini berbeda dengan seorang pengembara yang bermaksud menuju negeri yang jauh, di kanan kirinya terdapat lembah-lembah, akan ditemui tempat yang membinasakan, dia akan melewati padang pasir yang menyengsarakan dan juga terdapat perampok. Orang seperti ini tidaklah tinggal kecuali hanya sebentar sekali, sekejap mata.” (Dinukil dari Fathul Bariy, 18/224)

Negeri asing dan tempat pengembaraan yang dimaksudkan dalam hadits ini adalah dunia dan negeri tujuannya adalah akhirat. Jadi, hadits ini mengingatkan kita dengan kematian sehingga kita jangan berpanjang angan-angan. Hadits ini juga mengingatkan kita supaya mempersiapkan diri untuk negeri akhirat dengan amal sholeh. (Lihat Fathul Qowil Matin)

Dalam hadits lainnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا لِى وَمَا لِلدُّنْيَا مَا أَنَا فِى الدُّنْيَا إِلاَّ كَرَاكِبٍ اسْتَظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا

“Apa peduliku dengan dunia?! Tidaklah aku tinggal di dunia melainkan seperti musafir yang berteduh di bawah pohon dan beristirahat, lalu musafir tersebut meninggalkannya.” (HR. Tirmidzi no. 2551. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan At Tirmidzi)

‘Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu juga memberi petuah kepada kita,

ارْتَحَلَتِ الدُّنْيَا مُدْبِرَةً ، وَارْتَحَلَتِ الآخِرَةُ مُقْبِلَةً ، وَلِكُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا بَنُونَ ، فَكُونُوا مِنْ أَبْنَاءِ الآخِرَةِ ، وَلاَ تَكُونُوا مِنْ أَبْنَاءِ الدُّنْيَا ، فَإِنَّ الْيَوْمَ عَمَلٌ وَلاَ حِسَابَ ، وَغَدًا حِسَابٌ وَلاَ عَمَلَ

“Dunia itu akan pergi menjauh. Sedangkan akhirat akan mendekat. Dunia dan akhirat tesebut memiliki anak. Jadilah anak-anak akhirat dan janganlah kalian menjadi anak dunia. Hari ini (di dunia) adalah hari beramal dan bukanlah hari perhitungan (hisab), sedangkan besok (di akhirat) adalah hari perhitungan (hisab) dan bukanlah hari beramal.” (HR. Bukhari secara mu’allaq –tanpa sanad-)

Manfaatkanlah Waktu Muda, Sebelum Datang Waktu Tuamu

Lakukanlah lima hal sebelum terwujud lima hal yang lain. Dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اِغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ : شَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ وَ صِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ وَ غِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ وَ فَرَاغَكَ قَبْلَ شَغْلِكَ وَ حَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ

“Manfaatkan lima perkara sebelum lima perkara: [1] Waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu, [2] Waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu, [3] Masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu, [4] Masa luangmu sebelum datang masa sibukmu, [5] Hidupmu sebelum datang kematianmu.” (HR. Al Hakim dalam Al Mustadroknya, dikatakan oleh Adz Dzahabiy dalam At Talkhish berdasarkan syarat Bukhari-Muslim. Hadits ini dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Al Jami’ Ash Shogir)

Waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu, maksudnya: “Lakukanlah ketaatan ketika dalam kondisi kuat untuk beramal (yaitu di waktu muda), sebelum datang masa tua renta.”

Waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu, maksudnya: “Beramallah di waktu sehat, sebelum datang waktu yang menghalangi untuk beramal seperti di waktu sakit.”

Masa luangmu sebelum datang masa sibukmu, maksudnya: “Manfaatklah kesempatan (waktu luangmu) di dunia ini sebelum datang waktu sibukmu di akhirat nanti. Dan awal kehidupan akhirat adalah di alam kubur.”

Masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu, maksudnya: “Bersedekahlah dengan kelebihan hartamu sebelum datang bencana yang dapat merusak harta tersebut, sehingga akhirnya engkau menjadi fakir di dunia maupun akhirat.”

Hidupmu sebelum datang kematianmu, maksudnya: “Lakukanlah sesuatu yang manfaat untuk kehidupan sesudah matimu, karena siapa pun yang mati, maka akan terputus amalannya.”

Al Munawi mengatakan,

فَهِذِهِ الخَمْسَةُ لَا يَعْرِفُ قَدْرَهَا إِلاَّ بَعْدَ زَوَالِهَا

“Lima hal ini (waktu muda, masa sehat masa luang, masa kaya dan waktu ketika hidup) barulah seseorang betul-betul mengetahui nilainya setelah kelima hal tersebut hilang.” (At Taisir Bi Syarh Al Jami’ Ash Shogir, 1/356)

Benarlah kata Al Munawi. Seseorang baru ingat kalau dia diberi nikmat sehat, ketika dia merasakan sakit. Dia baru ingat diberi kekayaan, setelah jatuh miskin. Dan dia baru ingat memiliki waktu semangat untuk beramal di masa muda, setelah dia nanti berada di usia senja yang sulit beramal. Penyesalan tidak ada gunanya jika seseorang hanya melewati masa tersebut dengan sia-sia.

Orang yang Beramal di Waktu Muda Akan Bermanfaat untuk Waktu Tuanya

Dalam surat At Tiin, Allah telah bersumpah dengan tiga tempat diutusnya para Nabi ‘Ulul Azmi yaitu [1] Baitul Maqdis yang terdapat buah tin dan zaitun –tempat diutusnya Nabi ‘Isa ‘alaihis salam-, [2] Bukit Sinai yaitu tempat Allah berbicara langsung dengan Nabi Musa ‘alaihis salam, [3] Negeri Mekah yang aman, tempat diutus Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Setelah bersumpah dengan tiga tempat tersebut, Allah Ta’ala pun berfirman,

لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ (4) ثُمَّ رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ سَافِلِينَ (5) إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فَلَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُونٍ

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.” (QS. At Tiin [95]: 4-6)

Maksud ayat “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya,” ada empat pendapat. Di antara pendapat tersebut adalah “Kami telah menciptakan manusia dengan sebaik-baiknya sebagaimana di waktu muda yaitu masa kuat dan semangat untuk beramal.” Pendapat ini dipilh oleh ‘Ikrimah.

“Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya.” Menurut Ibnu ‘Abbas, ‘Ikrimah, Ibrahim dan Qotadah, juga Adh Dhohak, yang dimaksudkan dengan bagian ayat ini adalah “dikembalikan ke masa tua renta setelah berada di usia muda, atau dikembalikan di masa-masa tidak semangat untuk beramal setelah sebelumnya berada di masa semangat untuk beramal.” Masa tua adalah masa tidak semangat untuk beramal. Seseorang akan melewati masa kecil, masa muda, dan masa tua. Masa kecil dan masa tua adalah masa sulit untuk beramal, berbeda dengan masa muda.

An Nakho’i mengatakan, “Jika seorang mukmin berada di usia senja dan pada saat itu sangat sulit untuk beramal, maka akan dicatat untuknya pahala sebagaimana amal yang dulu dilakukan pada saat muda. Inilah yang dimaksudkan dengan firman Allah (yang artinya): bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.”

Ibnu Qutaibah mengatakan, “Makna firman Allah (yang artinya), “Kecuali orang-orang yang beriman” adalah kecuali orang-orang yang beriman di waktu mudanya, di saat kondisi fit (semangat) untuk beramal, maka mereka di waktu tuanya nanti tidaklah berkurang amalan mereka, walaupun mereka tidak mampu melakukan amalan ketaatan di saat usia senja. Karena Allah Ta’ala Maha Mengetahui, seandainya mereka masih diberi kekuatan beramal sebagaimana waktu mudanya, mereka tidak akan berhenti untuk beramal kebaikan. Maka orang yang gemar beramal di waktu mudanya, (di saat tua renta), dia akan diberi ganjaran sebagaimana di waktu mudanya.” (Lihat Zaadul Maysir, 9/172-174)

Begitu juga kita dapat melihat pada surat Ar Ruum ayat 54.

اللَّهُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن ضَعْفٍ ثُمَّ جَعَلَ مِن بَعْدِ ضَعْفٍ قُوَّةً ثُمَّ جَعَلَ مِن بَعْدِ قُوَّةٍ ضَعْفاً وَشَيْبَةً يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَهُوَ الْعَلِيمُ الْقَدِيرُ

“Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.” (QS. Ar Ruum: 54)

Ibnu Katsir mengatakan, “(Dalam ayat ini), Allah Ta’ala menceritakan mengenai fase kehidupan, tahap demi tahap. Awalnya adalah dari tanah, lalu berpindah ke fase nutfah, beralih ke fase ‘alaqoh (segumpal darah), lalu ke fase mudh-goh (segumpal daging), lalu berubah menjadi tulang yang dibalut daging. Setelah itu ditiupkanlah ruh, kemudian dia keluar dari perut ibunya dalam keadaan lemah, kecil dan tidak begitu kuat. Kemudian si mungil tadi berkembang perlahan-lahan hingga menjadi seorang bocah kecil. Lalu berkembang lagi menjadi seorang pemuda, remaja. Inilah fase kekuatan setelah sebelumnya berada dalam keadaan lemah. Lalu setelah itu, dia menginjak fase dewasa (usia 30-50 tahun). Setelah itu dia akan melewati fase usia senja, dalam keadaan penuh uban. Inilah fase lemah setelah sebelumnya berada pada fase kuat. Pada fase inilah berkurangnya semangat dan kekuatan. Juga pada fase ini berkurang sifat lahiriyah maupun batin. Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban”.” (Tafsir Al Qur’an Al Azhim pada surat Ar Ruum ayat 54)

Jadi, usia muda adalah masa fit (semangat) untuk beramal. Oleh karena itu, manfaatkanlah dengan sebaik-baiknya. Janganlah disia-siakan.

Jika engkau masih berada di usia muda, maka janganlah katakan: jika berusia tua, baru aku akan beramal.

Daud Ath Tho’i mengatakan,

إنما الليل والنهار مراحل ينزلها الناس مرحلة مرحلة حتى ينتهي ذلك بهم إلى آخر سفرهم ، فإن استطعت أن تـُـقدِّم في كل مرحلة زاداً لما بين يديها فافعل ، فإن انقطاع السفر عن قريب ما هو ، والأمر أعجل من ذلك ، فتزوّد لسفرك ، واقض ما أنت قاض من أمرك ، فكأنك بالأمر قد بَغَـتـَـك

Sesungguhnya malam dan siang adalah tempat persinggahan manusia sampai dia berada pada akhir perjalanannya. Jika engkau mampu menyediakan bekal di setiap tempat persinggahanmu, maka lakukanlah. Berakhirnya safar boleh jadi dalam waktu dekat. Namun, perkara akhirat lebih segera daripada itu. Persiapkanlah perjalananmu (menuju negeri akhirat). Lakukanlah apa yang ingin kau lakukan. Tetapi ingat, kematian itu datangnya tiba-tiba. (Kam Madho Min ‘Umrika?, Syaikh Abdurrahman As Suhaim)

Semoga maksud kami dalam tulisan ini sama dengan perkataan Nabi Syu’aib,

إِنْ أُرِيدُ إِلَّا الْإِصْلَاحَ مَا اسْتَطَعْتُ وَمَا تَوْفِيقِي إِلَّا بِاللَّهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ

“Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.” (QS. Hud [11]: 88)

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala wa alihi wa shohbihi wa sallam.

Muhammad Abduh Tuasikal

Ketahuilah Dunia Itu Terlaknat!

Abu Fathan | 18:08 | 0 comments
Dunia pada dasarnya bukanlah sesuatu yang harus dijauhi. Namun dunia bisa menjadi penghalang untuk bisa sampai kepada Allah. Harta pada dasarnya bukanlah sesuatu yang di benci. Namun, harta itu tercela jika dia melalaikan dari mengingat Allah. Betapa banyak kaum muslimin yang tertipu dengan gemerlap dunia sehingga lupa akan tujuan penciptaannya. Ironisnya mereka tidak menyadari hal tersebut dan ketika dirinya ditanya, “Apakah yang engkau inginkan, dunia ataukah akhirat?” Serentak dirinya menjawab, “Saya menginginkan akhirat!” Padahal keadaan dirinya menjadi saksi atas kedustaan ucapannya tersebut.

Kesenangan Dunia, Fitnah Bagi Umat Ini

Cinta terhadap keindahan dan kenikmatan dunia adalah sesuatu yang menjadi ciri khas makhluk Allah yang bernama manusia. Allah berfirman:

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالأنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS. Ali Imran: 14)

Demikianlah watak asli manusia, sehingga tidak ayal lagi hal itulah yang banyak menjerumuskan manusia sehingga hatinya terkait dengan dunia padahal tidak dipungkiri lagi keterkaitan hati dengan dunia merupakan fitnah sekaligus musibah yang menimpa umat ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

{ إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً وَفِتْنَةُ أُمَّتِي الْمَالُ }

“Sesungguhnya setiap umat memiliki fitnah, dan fitnah bagi umatku adalah harta.” (HR. Tirmidzi dalam Silsilah Ash Shohihah, Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shahih)

Maka sungguh mengherankan tatkala seseorang yang seharusnya beramal untuk mencapai surga yang luasnya bagaikan langit dan bumi, justru tenggelam dalam fitnah dunia dan harta. Oleh karenanya tidaklah mengherankan jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat khawatir bila pintu-pintu kesenangan duniawi telah dibukakan bagi umat ini karena hal itulah yang menyebabkan mereka berpaling dari agama. Wallahul musta’an.

Dunia Itu Terlaknat!

Kaum muslimin, mari bersama kita renungkan hadits berikut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

{ إِنَّ الدُّنْيَا مَلْعُونَةٌ مَلْعُونٌ مَا فِيهَا إِلَّا ذِكْرُ اللَّهِ وَمَا وَالَاهُ وَعَالِمٌ أَوْ مُتَعَلِّمٌ }

“Dunia itu terlaknat dan segala yang terkandung di dalamnya pun terlaknat, kecuali orang yang berdzikir kepada Allah, yang melakukan ketaatan kepada-Nya, seorang ‘alim atau penuntut ilmu syar’i.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah. Dalam Shohihul Jami’, Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini hasan)

Perlu kiranya kita merenungkan hadits ini dengan seksama, di golongan manakah diri kita berada, apakah kita termasuk golongan yang mendapat rahmat dan terjauh dari laknat ataukah sebaliknya diri kita justru termasuk orang-orang yang mendapat laknat, menjadi budak dunia dikarenakan sebagian besar aktivitas kita atau bahkan seluruhnya hanya bertujuan untuk meraih kenikmatan dunia yang fana ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat mencela orang-orang yang tunduk pada dunia dan semata-mata tujuannya adalah mencari dunia dalam sabda beliau:

تَعِسَ عَبْدُ الدِّينَارِ تَعِسَ عَبْدُ الدِّرْهَمِ تَعِسَ عَبْدُ الْخَمِيصَةِ تَعِسَ عَبْدُ الْخَمِيْلَةِ

“Celakalah budak dinar (uang emas), celakalah budak dirham (uang perak), celakalah budak khamishah (pakaian yang cantik) dan celakalah budak khamilah (ranjang yang empuk).” (HR. Bukhari)

Inilah celaan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada orang yang kesehariannya menjadi budak harta dan berbagai kesenangan dunia. Renungkanlah dengan penuh kejujuran dan jawablah di golongan manakah diri kita berada? Apakah kita termasuk orang yang menjadi budak dunia ataukah orang yang tujuan hidupnya adalah beribadah kepada Allah? Renungkanlah sekali lagi hal ini!

Kaitkanlah Hatimu Dengan Akhirat

Saudaraku, jangan jadikan hatimu terkait dengan dunia, jangan sampai dunia masuk ke dalam hatimu dan bercokol di dalamnya, teladanilah generasi terbaik umat ini, mereka menggenggam dunia, namun cukup sampai di situ dan tidak merasuk ke dalam hati. Maka jadilah mereka generasi yang mencurahkan segenap jiwa raganya untuk kehidupan akhirat, dunia sebatas di genggaman mereka sehingga mudah dilepaskan, mudah untuk diinfakkan di jalan Allah. Adapun kita wahai kaum muslimin, aina nahnu min haaulaai (di manakah kedudukan kita jika dibandingkan mereka)? Di mana?! Tentu sangat jauh dari mereka!

Oleh karena itu wajib bagi diriku dan dirimu untuk merenungi sekali lagi bahkan senantiasa merenungi apakah tujuan kita diciptakan di dunia ini. Sangat mengherankan jika seorang muslim telah mengetahui tujuan penciptaannya kemudian lalai dari hal tersebut, bukankah inilah puncak kedunguan?! Sekali lagi, mari kita senantiasa mengaitkan amalan kita dengan akhirat, jika anda seorang yang mempelajari ilmu dunia, maka niatkanlah untuk akhirat, niatkanlah bahwa dirimu dengan ilmu tersebut akan membantu kebangkitan kaum muslimin. Jika anda seorang pengajar, dosen atau semisalnya, maka niatkanlah aktivitas mengajar anda untuk akhirat dan kebangkitan kaum muslimin, demikian juga seluruh profesi, maka niatkanlah untuk akhirat.

Namun apabila niat anda justru sebaliknya, anda belajar, mengajarkan ilmu dunia, berbisnis dan melakukan aktivitas dunia lainnya hanya sekedar untuk mendapatkan dunia, maka anda telah merugi karena telah melewatkan keuntungan yang amat banyak dan janganlah anda mencela kecuali diri anda sendiri.

اَللّهُمَّ لاَ تَجْعَلْ مُصِيْبَتَنَا فِي دِيْنِنَا وَلاَ تَجْعَلِ الدُّنْيَا أَكْبَرَ هَمِّنَا وَلاَ مَبْلَغَ عِلْمِنَا

“Ya Allah, janganlah engkau jadikan musibah dalam urusan agama kami, dan jangan pula engkau jadikan dunia ini adalah tujuan terbesar dan puncak dari ilmu kami.”

Amin Ya Sami’ad Da’awat. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihat, allahumma sholli ‘ala sayyidina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim

Selektif dalam Berinfak

Abu Fathan | 21:57 | 0 comments
Allah Ta’ala berfirman,

لِلْفُقَرَاءِ الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ لا يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي الأرْضِ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُمْ بِسِيمَاهُمْ لا يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ (٢٧٣)

(Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengatahui. (Al Baqarah: 273).

Dari ayat ini kita dapat mengambil beberapa pelajaran, diantaranya adalah:

Pertama

Dalam ayat ini, Allah menyebutkan enam kriteria orang yang berhak memperoleh sedekah dari kaum muslimin. Keenam kriteria tersebut yaitu:

Fakir, yaitu orang yang tidak memiliki suatu apapun atau memiliki sedikit kecukupan namun tidak mencukupi kebutuhannya meski setengahnya. Termasuk dalam kriteria pertama ini adalah golongan yang miskin, yaitu mereka memiliki kecukupan yang dapat memenuhi setengah kebutuhannya atau lebih, namun tidak seluruhnya [Tafsir As Sa'di hlm. 341].

Terikat jihad di jalan Allah. Dari keterangan para ahli tafsir firman Allah الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ mencakup mereka yang mengabdikan diri untuk melakukan ketaatan kepada Allah baik itu berupa jihad maupun yang selainnya sehingga hal tersebut menghalangi mereka untuk bekerja agar dapat memenuhi kebutuhan hidup.

Tidak mampu berusaha di bumi, yaitu mereka yang tidak dapat pergi (bersafar) mencari sumber penghidupan entah dikarenakan minimnya harta, lemahnya kondisi fisik akibat luka dan cedera, atau alasan yang semisal [Tafsir Al Qur-anil Karim, Surat Al Baqarah 3/367].

Terlihat berkecukupan (kaya), -padahal miskin-, karena memelihara diri dari meminta-minta. Orang-orang yang tidak mengetahui kondisi mereka menduga bahwa mereka itu berkecukupan karena sikap ‘iffah-nya dalam hal pakaian, perilaku, dan perkataan.

Memiliki siimah, yaitu tanda-tanda yang menunjukkan bahwa mereka itu fakir dan sangat membutuhkan uluran tangan. Hal ini hanya dapat diketahui oleh orang yang jeli dalam mengenal kondisi mereka.

Syaikh Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Firman Allah تَعْرِفُهُمْ بِسِيمَاهُمْ maksudnya adalah anda mengetahui kondisi mereka sebenarnya dengan tanda-tanda yang ada pada diri mereka. Apabila seseorang melihat kondisi mereka, maka dia akan menduga bahwa mereka itu berkecukupan, namun jika diperhatikan dengan lebih teliti, maka barulah diketahui bahasanya mereka itu fakir, namun mereka muta’affif (memelihara diri dari meminta-minta)… Hal ini hanya bisa diketahui oleh mereka yang dianugerahi Allah firasat sehingga dapat mengetahui kondisi manusia dengan hanya memperhatikan wajahnya secara sekilas [Tafsir Al Qur-anil Karim, Surat Al Baqarah 3/368].

Sebagian ulama mendefinisikan bahwa yang dimaksud siimah adalah tanda-tanda ketakwaan seperti bekas sujud, kekhusuyu’an dan ketawadhu’an [Tafsir Al Qurtubi 3/322; Asy Syamilah].

Tidak meminta-minta kepada orang secara mendesak. Hal ini bisa berarti bahwa mereka tidak meminta-minta secara mutlak karena pada redaksi sebelumnya disebutkan bahwa mereka memiliki sifat ‘iffah. Dengan demikian, mereka tidak meminta-minta kepada manusia sama sekali, baik dengan mendesak atau tidak mendesak. Pendapat ini merupakan pendapat mayoritas ahli tafsir. Bisa juga berarti mereka meminta kepada orang karena teramat butuh, namun tidak mendesak-desak orang agar memenuhi permintaan mereka [Tafsir Al Qurtubi 3/322; Asy Syamilah].

Inilah keenam sifat yang dapat menjadi panduan bagi kaum muslimin untuk memilih kepada siapa sedekah atau infak akan disalurkan.

Kedua

Tidak boleh memberikan sedekah kepada orang yang sanggup untuk bekerja karena Allah berfirman لا يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي الأرْضِ. Oleh karena itu, harus selektif dalam memberikan sedekah, karena sedekah tidak diberikan kepada mereka yang malas bekerja kemudian mencari jalan pintas dengan meminta-minta.

Anehnya, di negara kita ini banyak orang yang justru enjoy berprofesi sebagai peminta-minta karena malas dan ajaibnya hasil yang diperoleh dari hasil mengemis itu bisa lebih besar dari penghasilan seorang karyawan atau pegawai negeri. Anggaplah mereka fakir harta, tapi mereka bukanlah fakir dari segi fisik. Artinya, mereka itu pada dasarnya sanggup untuk bekerja namun lebih memilih menjadi peminta-minta.

Alhamdulillah, kami melihat sudah ada gerakan nyata untuk mengatasi hal tersebut di daerah seperti di Yogyakarta terdapat gerakan yang menyerukan kepada masyarakat bahwa peduli kepada peminta-minta bukanlah dengan cara memberikan uang kepada mereka.

Ketiga

Pada hakekatnya peminta-minta yang sering ditemui di jalanan tidak dapat dikatakan sebagai orang yang miskin karena nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ليس المسكين الذي ترده الأكلة والأكلتان ولكن المسكين الذي ليس له غنى ويستحيي أو لا يسأل الناس إلحافا

Orang miskin itu bukanlah orang yang meminta-minta satu dua kali makan, tapi orang miskin adalah orang yang tidak memiliki harta yang mencukupi dan malu untuk meminta-minta manusia secara mendesak [Shahih. HR. Al Bukhari: 1406].

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

يس المسكين الذي يطوف على الناس ترده اللقمة واللقمتان والتمرة والتمرتان ولكن المسكين الذي لا يجد غنى يغنيه ولا يفطن به فيتصدق عليه ولا يقوم فيسأل الناس

Orang miskin itu bukanlah orang yang berkeliling di tengah-tengah manusia untuk meminta-minta satu dua suap makanan, satu dua buah kurma, akan tetapi orang miskin itu adalah orang yang tidak memiliki kekayaan yang mencukupinya dan kemiskinannya tidak diketahui orang, maka sedekah diberikan kepadanya [Shahih. HR. Al Bukhari: 1409].

Keempat

Kapankah seorang bisa dikatakan meminta-minta dengan mendesak? Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan bahwa seorang yang meminta-minta sedangkan ia memiliki apa yang mencukupi kebutuhan dirinya sehingga tidak perlu meminta-minta, maka berarti dia telah meminta-minta dengan mendesak [Tafsir Ibn Katsir 1/432; Asy Syamilah] . Lebih jelas lagi nabi shallahu ‘alai wa sallam bersabda,

من سأل و له أربعون درهما فهو ملحف

Barangsiapa yang meminta-minta dan ternyata memiliki harta sebanyak 40 dirham maka dia telah meminta-minta dengan mendesak [Hasan Shahih. HR. Ibnu Khuzaimah: 2448].

Kelima

Keutamaan ta’affuf (memelihara diri dari meminta-minta) meski miskin, karena firman Allah يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari meminta-minta. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah menjelaskan keutamaan bagi mereka yang memiliki sifat ta’affuf dalam sabda beliau,

ومن استعف أعفه الله عز وجل

Barangsiapa yang bersikap ‘iffah (menjaga kehormatan diri) niscaya Allah akan menjaga kesuciannya [Hasan Shahih. HR. An Nasaa-i: 2595].

Keenam

Ayat ini merupakan dalil bahwa label fakir boleh disematkan kepada orang yang memiliki pakaian yang cukup mewah karena firman-Nya يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ. Hal itu tidaklah menghalangi pemberian zakat kepada mereka karena dalam ayat ini Allah telah memerintahkan untuk memberi sedekah kepada mereka [Tafsir Al Qurtubi 3/322; Asy Syamilah].

Ketujuh

Seseorang hendaknya memiliki sifat jeli karena Allah ta’ala menyifati orang yang tidak tahu akan kondisi orang-orang yang disebutkan dalam ayat di atas dengan karakter jahil sebagaimana firman-Nya يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ .

Kedelapan

Isyarat akan adanya firasat berdasarkan firman-Nya تَعْرِفُهُمْ بِسِيمَاهُمْ karena siimah merupakan tanda yang hanya diketahui oleh mereka yang berfirasat kuat [Tafsir Al Qur-anil Karim, Surat Al Baqarah 3/370].

Kesembilan

Pujian kepada orang yang tidak minta-minta kepada manusia berdasarkan firman Allah لا يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا. Karakter ini merupakan salah satu poin perjanjian tatkala nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaiat para sahabat. Sehingga ketika pecut kuda salah seorang sahabat jatuh, dia tidak meminta tolong kepada rekannya untuk mengambilkan demi mengamalkan janji baiat yang telah diucapkannya. Bagaimana hukum meminta kepada orang lain khususnya terkait harta? Meminta harta kepada orang lain tanpa ada kebutuhan yang darurat merupakan perkara yang diharamkan kecuali kita tahu bahwa orang yang dimintai senang apabila ada yang meminta kepadanya. Jika demikian, maka tidak mengapa meminta kepada orang tersebut, bahkan meminta kepadanya dapat bernilai pahala dikarenakan hal itu termasuk perbuatan menyenangkan hati saudaranya [Tafsir Al Qur-anil Karim, Surat Al Baqarah 3/370].

Kesepuluh

Ayat ini menjelaskan keumuman sifat ilmu yang dimiliki Allah karena segala kebaikan yang dikerjakan hamba, Allah mengetahuinya [Tafsir Al Qur-anil Karim, Surat Al Baqarah 3/370].

Waffaqaniyallahu wa iyyakum.

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim

Hati-Hati Dari Teman Yang Buruk

Abu Fathan | 18:29 | 0 comments
Para pembaca, rahimakumullah, sudah merupakan sunnatullah
(ketentuan Allah) bahwa manusia diciptakan dalam keadaan ia butuh kepada yang lain. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa hidup sendiri tanpa ada yang menyertainya dalam kehidupannya.

Islam dengan kesempurnaannya, telah mengatur tata cara dan adab-adab dalam berteman, karena seorang teman sangat berpengaruh terhadap temannya. Dengan bahasa lain, baik buruknya seseorang sangat bergantung pada teman dekatnya. Oleh karena itu, Islam memerintahkan kaum muslimin agar memilih teman yang baik. Dengan berteman dengan orang yang baik, sedikit banyak ia akan terpengaruh dengan kebaikan temannya. Sebaliknya, Islam melarang untuk berteman dengan orang yang jelek.

Dalam sebuah hadits yang shahih disebutkan:

« مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالسَّوْءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيرِ ، فَحَامِلُ الْمِسْكِ إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ ، وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ ، وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا طَيِّبَةً ، وَنَافِخُ الْكِيرِ إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ ، وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيحًا خَبِيثَةً »

“Permisalan teman yang baik dan teman duduk yang jelek seperti penjual minyak wangi dan pandai besi. (Duduk dengan) penjual minyak wangi bisa jadi ia akan memberimu minyak wanginya, bisa jadi engkau membeli darinya, dan bisa jadi engkau akan dapati darinya aroma yang wangi. Sementara (duduk dengan) pandai besi, bisa jadi ia akan membakar pakaianmu, dan bisa jadi engkau dapati darinya bau yang tak sedap.” (H.R. Al-Bukhari dan Muslim)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menerangkan bahwa teman dapat memberikan pengaruh positif atau negatif, sesuai dengan kebaikan atau kejelekannya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menyerupakan teman bergaul atau teman duduk yang baik dengan penjual minyak wangi, engkau akan dapati satu dari tiga perkara sebagaimana tersebut dalam hadits. Paling minimnya, engkau dapati darinya aroma harum yang akan memberi pengaruh pada jiwamu, tubuh, dan pakaianmu. Sementara kawan yang jelek diserupakan dengan duduk di dekat pandai besi. Bisa jadi berterbangan percikan apinya hingga membakar pakaianmu, atau paling tidak engkau mencium bau tak sedap darinya yang akan mengenai tubuh dan pakaianmu.

Dengan demikian jelaslah, teman pasti akan memberi pengaruh kepada seseorang. Dengarkanlah berita dari Al-Qur`an yang mulia tentang penyesalan orang zhalim pada hari kiamat nanti karena dulunya ketika di dunia berteman dengan orang yang sesat dan menyimpang, hingga ia terpengaruh ikut sesat dan menyimpang.

Allah Subhanallahu wa Ta’ala berfirman (artinya):

Dan (ingatlah) hari ketika itu orang yang zhalim menggigit dua tangannya, seraya berkata, “Aduhai, kiranya dulu aku mengambil jalan bersama-sama Rasul! Kecelakaan besarlah bagiku, andai kiranya dulu aku tidak menjadikan si Fulan itu teman akrabku. Sungguh ia telah menyesatkanku dari Al-Qur`an ketika Al-Qur`an itu datang kepadaku. Dan adalah setan itu tidak mau menolong manusia.” (Al-Furqan: 27-29)

‘Adi bin Zaid, seorang penyair Arab, berkata:

عَنِ الْمَرْءِ لاَ تَسْأَلْ وَسَلْ عَنْ قَرِيْنِهِ

فَكُلُّ قَرِيْنٍ بِالْمُقَارَنِ يَقْتَدِي

فإن كان ذا شر فجنبه سرعة * وإن كان ذا خير فقارنه تهتدي إِذَا كُنْتَ فِي قَوْمٍ فَصَاحِبْ خِيَارَهُمْ

وَلاَ تَصْحَبِ اْلأَرْدَى فَتَرْدَى مَعَ الرَّدِي

أدب الدنيا والدين

Tidak perlu engkau bertanya tentang (siapa) seseorang itu, namun tanyalah siapa temannya

Karena setiap teman (cenderung) meniru temannya

Bila engkau berada pada suatu kaum, maka bertemanlah dengan orang yang terbaik dari mereka

Dan janganlah engkau berteman dengan orang yang rendah/hina, niscaya engkau akan hina bersama orang yang hina

Oleh karenanya, perhatikan dan timbang-timbanglah dengan siapa engkau berkawan.

Dampak Teman yang Buruk

Ingatlah! Berteman dengan orang yang tidak baik agamanya, akhlak, sifat, dan perilakunya, akan memberikan banyak dampak yang jelek. Diantara yang dapat disebutkan di sini:

  1. Memberikan keraguan pada keyakinan kita yang sudah benar, bahkan dapat memalingkan kita dari kebenaran. Sebagaimana Allah Subhanallahu wa Ta’ala berfirman (artinya):

Lalu sebagian mereka (penghuni surga) menghadap sebagian yang lain sambil bercakap-cakap. Berkatalah salah seorang di antara mereka, “Sesungguhnya aku dahulu (di dunia) memiliki seorang teman. Temanku itu pernah berkata, ‘Apakah kamu sungguh-sungguh termasuk orang yang membenarkan Hari Berbangkit? Apakah bila kita telah meninggal dan kita telah menjadi tanah dan tulang-belulang, kita benar-benar akan dibangkitkan untuk diberi pembalasan?” Berkata pulalah ia, “Maukah kalian meninjau temanku itu?” Maka ia meninjaunya, ternyata ia melihat temannya itu di tengah-tengah neraka yang menyala-nyala. Ia pun berucap, “Demi Allah! Sungguh kamu benar-benar hampir mencelakakanku. Jikalau tidak karena nikmat Rabbku (Allah), pastilah aku termasuk orang-orang yang diseret ke neraka.” (Ash-Shaffat: 50-57)

Dengarkanlah kisah Abu Thalib yang wafat di atas kekafiran, karena pengaruh teman yang buruk. Tersebut dalam hadits Al-Musayyab bin Hazn, ia berkata, “Tatkala Abu Thalib menjelang wafatnya, datanglah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Beliau dapati di sisi pamannya ada Abu Jahl bin Hisyam dan Abdullah bin Abi Umayyah ibnil Mughirah. Berkatalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, ‘Wahai pamanku, ucapkanlah Laa ilaaha illallaah, kalimat yang dengannya aku akan membelamu di sisi Allah.’ Namun kata dua teman Abu Thalib kepadanya, ‘Apakah engkau benci dengan agama Abdul Muththalib?’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam terus menerus meminta pamannya mengucapkan kalimat tauhid. Namun dua teman Abu Thalib terus pula mengulangi ucapan mereka, hingga pada akhirnya Abu Thalib memilih agama nenek moyangnya dan enggan mengucapkan Laa ilaaha illallaah. (H.R. Al-Bukhari dan Muslim)

  1. Teman yang jelek akan mengajak orang yang berteman dengannya untuk melakukan perbuatan yang haram dan mungkar seperti dirinya. Allah Subhanallahu wa Ta’ala berfirman tentang orang-orang munafik (artinya):

Mereka menginginkan andai kalian kafir sebagaimana mereka kafir hingga kalian menjadi sama. (An-Nisa`:89)

  1. Tabiat manusia, mudah terpengaruh dengan kebiasaan, akhlak, dan perilaku teman dekatnya. Seseorang akan berperilaku seperti kebiasaan temannya, dan juga menurut jalan, serta perilaku temannya. Maka hendaknya setiap kita merenungkan dan memikirkan dengan siapa kita bersahabat. Siapa yang kita senangi agama dan akhlaqnya, maka kita jadikan ia sebagai teman; dan yang sebaliknya kita jauhi. Karena yang namanya tabiat akan saling meniru, dan persahabatan itu akan berpengaruh, baik ataupun buruk. (Tuhfatul Ahwadzi, Kitab Az-Zuhd, bab ke-45)
Karenanya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

« الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ »

Seseorang itu menurut agama teman dekat/shahabatnya, maka hendaklah salah seorang dari kalian melihat dengan siapa ia bersahabat. (H.R. Abu Dawud dan At-Tirmidzi. Shahih, lihat Ash-Shahihah no. 927)

  1. Melihat teman yang buruk akan mengingatkan kepada maksiat, sehingga terlintas maksiat dalam benak seseorang. Padahal sebelumnya ia tidak terpikir tentang maksiat tersebut.

  2. Teman yang buruk akan menghubungkanmu dengan orang-orang yang jelek, yang akan memudharatkanmu.

  3. Teman yang buruk akan menggampangkan maksiat yang engkau lakukan, sehingga maksiat itu menjadi remeh/ringan dalam hatimu, dan engkau akan menganggap tidak apa-apa mengurang-ngurangi dalam ketaatan.

  4. Berteman dengan orang yang jelek, dapat menyebabkanmu terhalang untuk berteman dengan orang-orang yang baik/shalih, sehingga terluputkan kebaikan darimu sesuai dengan jauhnya engkau dari mereka.

  5. Duduk bersama teman yang jelek tidaklah lepas dari perbuatan haram dan maksiat, seperti ghibah, namimah, dusta, melaknat, dan semisalnya. Bagaimana tidak, sementara majelis orang-orang yang jelek umumnya jauh dari dzikrullah, yang mana hal ini akan menjadi penyesalan dan kerugian bagi pelakunya pada hari kiamat nanti. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam:

« مَا مِنْ قَوْمٍ يَقُومُونَ مِنْ مَجْلِسٍ لاَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ فِيهِ إِلاَّ قَامُوا عَنْ مِثْلِ جِيفَةِ حِمَارٍ وَكَانَ لَهُمْ حَسْرَةً »

Tidak ada suatu kaum yang bangkit dari sebuah majelis yang mereka tidak berdzikir kepada Allah dalam majelis tersebut, melainkan mereka akan bangkit dari semisal bangkai keledai[1] dan majelis tersebut akan menjadi penyesalan bagi mereka. (H.R. Abu Dawud. Shahih, lihat Ash-Shahihah no. 77)

Penutup

Wallahu a’lam bishshawab.

(Dinukil secara ringkas dengan perubahan dan tambahan oleh Ummu Ishaq Al-Atsariyyah dari Kitab Al-Mukhtar lil Hadits fii Syahri Ramadhan, hal. 95-99)

(Disalin dengan sedikit perubahan dan tambahan dari artikel dengan judul yang sama dalam majalah Asy Syariah Vol. IV/No. 43/1429 H/2008)


[1] Sama dengan bangkai keledai dalam bau busuk dan kotornya. (Aunul Ma’bud, Kitab Al-Adab, Bab Karahiyah An Yaqumar Rajulu min Majlisihi wala Yadzkurullah)

Sumber: Buletin Islam AL ILMU Edisi: 11/III/IX/1432

Perbaikilah Dirimu Dahulu!

Abu Fathan | 18:42 | 0 comments
Eksistensi seorang penguasa memiliki urgensi tersendiri. Masyarakat (rakyat) berhajat pada sosok yang memiliki kemampuan dalam mengkoordinasikan laju roda kehidupannya. Dari masyarakat (mujtama’) yang sederhana sampai tingkat yang luas, tidak bisa berjalan tanpa adanya pimpinan.

Penguasa menjadi tumpuan dan titian rakyatnya dalam menciptakan rasa aman dan kesejahteraan sosial. Itu semua akan terwujud ketika pemegang pemerintahan adalah orang yang adil, punya skill manajerial yang handal, dan juga kebijakan yang cerdas. Sehingga tujuan utamanya, adalah bagaimana mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat yang dipimpinnya.

Namun yang sering terjadi adalah fenomena yang memprihatinkan. Ketika penguasa (rejim) yang memerintah berbuat semana-mena terhadap rakyatnya. Rakyat bak lelaki yang menepuk sebelah tangan ketika pinangan ditolak pihak wanita. Mata menerawang kosong, hati kecewa, harapan tinggal mimpi.

Ketika kezhaliman penguasa membabi buta, kekacauan menyebar dengan cepat. Perampokan, pencurian, penjarahan, pemerkosaan menjadi menu halaman media massa.

Dilain pihak penguasa sibuk dengan kepentingan pribadinya. Mengeluarkan kebijakan-kebijakan dalam upaya memadamkan rival-rival politiknya. Rakyat menjerit, apa salah kami, rintihnya! Kenapa pimpinan kami begitu kejam terhadap rakyat? Mengapa? Mengapa mereka cuek dengan konflik-konflik dan krisis-krisis yang memcekik rakyat?

Marilah kita renungkan firman Allâh Ta'ala :

"Dan demikianlah,Kami jadikan penguasa zhalim bagi sebagian yang lain, karena apa yang mereka usahakan." (Qs. al-An’âm/6 : 129)

Pada ayat di atas, Allâh Ta'ala mengabarkan bahwa Dia membalas orang-orang yang berbuat kezhaliman (aniaya) dengan cara menempatkan sosok yang zhalim menjadi pimpinan mereka.

Qatâdah rahimahullâh berkata,

”Allâh Ta'ala menempatkan manusia berdasar amalannya. Pezina dipuji orang yang berzina dimanapun berada. Demikian juga orang kafir menjadi wali bagi jenisnya. (Makna ayat: Allâh Ta'ala membalas orang zhalim dengan menempatkan orang zhalim atas mereka, melenyapkan mereka dengan golongannya, membalas mereka dengan orang-orang sejenisnya sebagai balasan kezhaliman dan kebengisan yang mereka lakukan).

Kezhaliman yang dilakukan masyarakat kita terlalu beragam (termasuk kita). Kezhaliman terhadap Allâh Ta'ala dengan berbuat syirik, menyepelekan keputusan Rasul-Nya dalam menganalisa inti permasalahan. Zhalim terhadap tetangga (manusia), binatang dan alam semesta. Terlalu banyak untuk dibilang satu per satu.

Karena itu, perlu kita perbaiki diri ini dulu. Jangan cepat mengkambing-hitamkan orang lain. Tuduh diri kita dulu. Introspeksi dengan teliti, pasti akan didapati ternyata kita jauh dari ajaran Islam, dekat dengan kezhaliman.

Kiranya kita perlu mendengarkan nasihat dari seorang ulama abad VIII yang bernama Imam Ibnu Abil Izzi rahimahullâh:

“Kalau rakyat ingin lepas dari kelaliman penguasa yang zhalim,hendaklah mereka melepaskan (diri) dari (tindakan) kezhaliman terlebih dahulu.”

(Syarah al-’Aqîdah ath-Thahâwiyyah hlm. 381)

Bukan Pria Idaman

Abu Fathan | 21:26 | 0 comments
Manusia idaman sejati adalah makhluk langka. Begitu banyak ujian dan rintangan untuk menjadi seorang idaman sejati. Kebalikannya, yang bukan idaman malah tersebar ke mana-mana. Inilah yang akan kita bahas pada kesempatan kali ini. Siapakah pria yang tidak pantas menjadi idaman dan tambatan hati? Apa saja ciri-ciri mereka? Mudah-mudahan -dengan izin Allah- kami dapat mengungkapkannya pada tulisan yang singkat ini.

Ciri Pertama: Akidahnya Amburadul

Di antara ciri pria semacam ini adalah ia punya prinsip bahwa jika cinta ditolak, maka dukun pun bertindak. Jika sukses dan lancar dalam bisnis, maka ia pun menggunakan jimat-jimat. Ingin buka usaha pun ia memakai pelarisan. Jika berencana nikah, harus menghitung hari baik terlebih dahulu. Yang jadi kegemarannya agar hidup lancar adalah mempercayai ramalan bintang agar semakin PD dalam melangkah.

Inilah ciri pria yang tidak pantas dijadikan idaman. Akidah yang ia miliki sudah jelas adalah akidah yang rusak. Ibnul Qayyim mengatakan, “Barangsiapa yang hendak meninggikan bangunannya, maka hendaklah dia mengokohkan pondasinya dan memberikan perhatian penuh terhadapnya. Sesungguhnya kadar tinggi bangunan yang bisa dia bangun adalah sebanding dengan kekuatan pondasi yang dia buat. Amalan manusia adalah ibarat bangunan dan pondasinya adalah iman.” (Al Fawaid). Berarti jika aqidah dan iman seseorang rusak -padahal itu adalah pokok atau pondasi-, maka bangunan di atasnya pun akan ikut rusak. Perhatikanlah hal ini!

Ciri Kedua: Menyia-nyiakan Shalat

Tidak shalat jama’ah di masjid juga menjadi ciri pria bukan idaman. Padahal shalat jama’ah bagi pria adalah suatu kewajiban sebagaimana disebutkan dalam al Qur’an dan berbagai hadits.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah, seorang lelaki buta datang kepada Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dan berkata, ”Wahai Rasulullah, saya tidak memiliki penunjuk jalan yang dapat mendampingi saya untuk mendatangi masjid.” Maka ia meminta keringanan kepada Rasulullah untuk tidak shalat berjama’ah dan agar diperbolehkan shalat di rumahnya. Kemudian Rasulullah memberikan keringanan kepadanya. Namun ketika lelaki itu hendak beranjak, Rasulullah memanggilnya lagi dan bertanya, “Apakah kamu mendengar adzan?” Ia menjawab, ”Ya”. Rasulullah bersabda, ”Penuhilah seruan (adzan) itu.” (HR. Muslim). Orang buta ini tidak dibolehkan shalat di rumah apabila dia mendengar adzan. Hal ini menunjukkan bahwa memenuhi panggilan adzan adalah dengan menghadiri shalat jama’ah. Hal ini ditegaskan kembali dalam hadits Ibnu Ummi Maktum. Dia berkata, “Wahai Rasulullah, di Madinah banyak sekali tanaman dan binatang buas. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apakah kamu mendengar seruan adzan hayya ‘alash sholah, hayya ‘alal falah? Jika iya, penuhilah seruan adzan tersebut”.” (HR. Abu Daud, Shahih)

Lihatlah laki-laki tersebut memiliki beberapa udzur: [1] dia adalah seorang yang buta, [2] dia tidak punya teman sebagai penunjuk jalan untuk menemani, [3] banyak sekali tanaman, dan [4] banyak binatang buas. Namun karena dia mendengar adzan, dia tetap diwajibkan menghadiri shalat jama’ah. Walaupun punya berbagai macam udzur semacam ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap memerintahkan dia untuk memenuhi panggilan adzan yaitu melaksanakan shalat jama’ah di masjid. Bagaimana dengan orang yang dalam keadaan tidak ada udzur sama sekali, masih diberi kenikmatan penglihatan dan sebagainya?! Imam Asy Syafi’i sendiri mengatakan, “Adapun shalat jama’ah, aku tidaklah memberi keringanan bagi seorang pun untuk meninggalkannya kecuali bila ada udzur.” (Ash Sholah wa Hukmu Tarikiha)

Jika pria yang menyia-nyiakan shalat berjama’ah di masjid saja bukan merupakan pria idaman, lantas bagaimana lagi dengan pria yang tidak menjalankan shalat berjama’ah sendirian maupun secara berjama’ah?!

Ibnu Qayyim Al Jauziyah dalam kitabnya Ash Sholah wa Hukmu Tarikiha, mengatakan, ”Kaum muslimin tidaklah berselisih pendapat (sepakat) bahwa meninggalkan shalat wajib (shalat lima waktu) dengan sengaja adalah dosa besar yang paling besar dan dosanya lebih besar dari dosa membunuh, merampas harta orang lain, zina, mencuri, dan minum minuman keras. Orang yang meninggalkannya akan mendapat hukuman dan kemurkaan Allah serta mendapatkan kehinaan di dunia dan akhirat.

Ciri Ketiga: Sulit Menundukkan Pandangan

Inilah ciri berikutnya, yaitu pria yang sulit menundukkan pandangan ketika melihat wanita. Inilah ciri bukan pria idaman. Karena Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”.” (QS. An Nur: 30)

Dalam ayat ini, Allah memerintahkan kepada para pria yang beriman untuk menundukkan pandangan dari hal-hal yang diharamkan yaitu wanita yang bukan mahrom. Namun jika ia tidak sengaja memandang wanita yang bukan mahrom, maka hendaklah ia segera memalingkan pandangannya.

Dari Jarir bin Abdillah, beliau mengatakan, “Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang pandangan yang cuma selintas (tidak sengaja). Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepadaku agar aku segera memalingkan pandanganku.” (HR. Muslim)

Boleh jadi laki-laki tersebut jika telah menjadi suami malah memandang lawan jenisnya sana-sini ketika istrinya tidak melihat. Kondisi seperti ini pun telah ditegur dalam firman Allah (yang artinya), “Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati.” (QS. Ghofir: 19)

Ibnu ‘Abbas ketika membicarakan ayat di atas, beliau mengatakan bahwa yang disebutkan dalam ayat tersebut adalah seorang yang bertamu ke suatu rumah. Di rumah tersebut ada wanita yang berparas cantik. Jika tuan rumah yang menyambutnya memalingkan pandangan, maka orang tersebut melirik wanita tadi. Jika tuan rumah tadi memperhatikannya, ia pun pura-pura menundukkan pandangan. Dan jika tuan rumah sekali lagi berpaling, ia pun melirik wanita tadi yang berada di dalam rumah. Jika tuan rumah sekali lagi memperhatikannya, maka ia pun pura-pura menundukkan pandangannya. Maka sungguh Allah telah mengetahui isi hati orang tersebut yang akan bertindak kurang ajar. Kisah ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dan disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya. Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Allah itu mengetahui setiap mata yang memandang apakan ia ingin khianat ataukah tidak.” Demikian pula yang dikatakan oleh Mujahid dan Qotadah. (Tafsir Ibnu Katsir)

Ciri Keempat: Senangnya Berdua-duaan

Inilah sikap pria yang tidak baik yang sering mengajak pasangannya yang belum halal baginya untuk berdua-duaan (baca: berkhalwat). Berdua-duaan (khokwat) di sini bisa pula bentuknya tanpa hadir dalam satu tempat, namun lewat pesan singkat (sms), lewat kata-kata mesra via FB dan lainnya. Seperti ini pun termasuk semi kholwat yang juga terlarang.

Dari Ibnu Abbas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita kecuali jika bersama mahromnya.” (HR. Bukhari) Dalam hadits lain disebutkan, “Janganlah seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita yang tidak halal baginya karena sesungguhnya syaithan adalah orang ketiga di antara mereka berdua kecuali apabila bersama mahromnya.” (HR. Ahmad. Shahih dilihat dari jalur lain)

Ciri Kelima: Tangan Suka Usil

Ini juga bukan ciri pria idaman. Tangannya suka usil menyalami wanita yang tidak halal baginya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun ketika berbaiat dan kondisi lainnya tidak pernah menyentuh tangan wanita yang tidak halal baginya.

Dari Abdulloh bin ‘Amr, ”Sesungguhnya Rasulullah tidak pernah berjabat tangan dengan wanita ketika berbaiat.” (HR. Ahmad. Shahih). Dari Umaimah bintu Ruqoiqoh dia berkata, ”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya aku tidak pernah menjabat tangan para wanita, hanyalah perkataanku untuk seratus orang wanita seperti perkataanku untuk satu orang wanita.” (HR. Tirmidzi, Nasai, Malik. Shahih)

Ciri Keenam: Tanpa Arah yang Jelas

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seseorang dianggap telah berdosa jika ia menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya.” (HR. Muslim)

Berarti kriteria pria idaman adalah ia bertanggungjawab terhadap istrinya dalam hal nafkah. Sehingga seorang pria harus memiliki jalan hidup yang jelas dan tidak boleh ia hidup tanpa arah yang sampai menyia-nyiakan tanggungannya. Sejak dini atau pun sejak muda, ia sudah memikirkan bagaimana kelak ia bisa menafkahi istri dan anak-anaknya. Di antara bentuk persiapannya adalah dengan belajar yang giat sehingga kelak bisa dapat kerja yang mapan atau bisa berwirausaha mandiri.

Begitu pula hendaknya ia tidak melupakan istrinya untuk diajari agama. Karena untuk urusan dunia mesti kita urus, apalagi yang sangkut pautnya dengan agama yang merupakan kebutuhan ketika menjalani hidup di dunia dan akhirat. Sehingga sejak dini pun, seorang pria sudah mulai membekali dirinya dengan ilmu agama yang cukup untuk dapat mendidik istri dan keluarganya.

Sehingga dari sini, seorang pria yang kurang memperhatikan agama dan urusan menafkahi istrinya patut dijauhi karena ia sebenarnya bukan pria idaman yang baik.

Mudah-mudahan tulisan ini bisa sebagai petunjuk bagi para wanita muslimah yang ingin memilih laki-laki yang pas untuk dirinya. Dan juga bisa menjadi koreksi untuk pria agar selalu introspeksi diri. Nasehat ini pun bisa bermanfaat bagi setiap orang yang sudah berkeluarga agar menjauhi sifat-sifat keliru di atas. Wallahu waliyyut taufiq. [Muhammad Abduh Tuasikal]

Mana Bukti Cintamu pada Nabi?

Abu Fathan | 03:25 | 0 comments
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi akhir zaman, kepada keluarga, para sahabat, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir zaman.

Dengan berbagai macam cara seseorang akan mencurahkan usahanya untuk membuktikan cintanya pada kekasihnya. Begitu pula kecintaan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setiap orang pun punya berbagai cara untuk membuktikannya. Namun tidak semua cara tersebut benar, ada di sana cara-cara yang keliru. Itulah yang nanti diangkat pada tulisan kali ini. Semoga Allah memudahkan dan memberikan kepahaman.

Kewajiban Mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ إِنْ كَانَ آَبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ

“Katakanlah: “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya”. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS. At Taubah: 24).

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Jika semua hal-hal tadi lebih dicintai daripada Allah dan Rasul-Nya, serta berjihad di jalan Allah, maka tunggulah musibah dan malapetaka yang akan menimpa kalian.”[1] Ancaman keras inilah yang menunjukkan bahwa mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari makhluk lainnya adalah wajib.

Bahkan tidak boleh seseorang mencintai dirinya hingga melebihi kecintaan pada nabinya. Allah Ta’ala berfirman,

النَّبِيُّ أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ

Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri.” (QS. Al Ahzab: 6). Syihabuddin Al Alusi rahimahullah mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah memerintahkan sesuatu dan tidak ridho pada umatnya kecuali jika ada maslahat dan mendatangkan keselamatan bagi mereka. Berbeda dengan jiwa mereka sendiri. Jiwa tersebut selalu mengajak pada keburukan.”[2] Oleh karena itu, kecintaan pada beliau mesti didahulukan daripada kecintaan pada diri sendiri.

‘Abdullah bin Hisyam berkata, “Kami pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau memegang tangan Umar bin Khaththab radhiyallahu ’anhu. Lalu Umar berkata, ”Wahai Rasulullah, sungguh engkau lebih aku cintai dari segala sesuatu kecuali terhadap diriku sendiri.” Kemudian Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam berkata,

لاَ وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْكَ مِنْ نَفْسِكَ

Tidak, demi yang jiwaku berada di tangan-Nya (imanmu belum sempurna). Tetapi aku harus lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri.” Kemudian ’Umar berkata, ”Sekarang, demi Allah. Engkau (Rasulullah) lebih aku cintai daripada diriku sendiri.” Kemudian Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam berkata, ”Saat ini pula wahai Umar, (imanmu telah sempurna).”[3]

Mengapa Kita Harus Mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?

Mencintai seseorang dapat kembali kepada 2 alasan :

Alasan pertama: berkaitan dengan sosok yang dicintai

Semakin sempurna orang yang dicintai, maka di situlah tempat tumbuhnya kecintaan. Sedangkan Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam adalah manusia yang paling luar biasa dan sempurna dalam akhlaq, kepribadian, sifat dan dzatnya. Di antara sifat beliau adalah begitu perhatian pada umatnya, begitu lembut dan kasih sayang pada umatnya. Sebagaimana Allah Ta’ala mensifati beliau dalam firman-Nya,

لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS. At Taubah: 128)

Alasan kedua: berkaitan dengan faedah yang akan diperoleh jika seseorang mencintai nabinya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara faedah tersebut adalah:

[1] Mendapatkan manisnya iman

Dari Anas radhiyallahu ’anhu , Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:

ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ

Tiga perkara yang membuat seseorang akan mendapatkan manisnya iman yaitu: Allah dan Rasul-Nya lebih dicintainya dari selain keduanya; mencintai saudaranya hanya karena Allah; dan benci kembali pada kekufuran sebagaimana benci dilemparkan dalam api.[4]

[2] Akan menjadikan seseorang bersama beliau di akhirat

Dari Anas bin Malik, beliau mengatakan bahwa seseorang bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kapan terjadi hari kiamat, wahai Rasulullah?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Apa yang telah engkau persiapkan untuk menghadapinya?” Orang tersebut menjawab, “Aku tidaklah mempersiapkan untuk menghadapi hari tersebut dengan banyak shalat, banyak puasa dan banyak sedekah. Tetapi yang aku persiapkan adalah cinta Allah dan Rasul-Nya.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,

أَنْتَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ

“(Kalau begitu) engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai.”[5]

Dalam riwayat lain, Anas mengatakan, “Kami tidaklah pernah merasa gembira sebagaimana rasa gembira kami ketika mendengar sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: Anta ma’a man ahbabta (Engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai).” Anas pun mengatakan, “Kalau begitu aku mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, dan ‘Umar. Aku berharap bisa bersama dengan mereka karena kecintaanku pada mereka, walaupun aku tidak bisa beramal seperti amalan mereka.”[6]

[3] Akan memperoleh kesempurnaan iman

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَلَدِهِ وَوَالِدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ

Seseorang tidaklah beriman (dengan sempurna) hingga aku lebih dicintainya dari anak dan orang tuanya serta manusia seluruhnya.”[7]

Dengan dua alasan inilah tidak ada alasan bagi siapa pun untuk tidak mencintai beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.[8]

Bukti Cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Pertama: Mendahulukan dan mengutamakan beliau dari siapa pun

Hal ini dikarenakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah makhluk pilihan dari Allah Ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى كِنَانَةَ مِنْ وَلَدِ إِسْمَاعِيلَ وَاصْطَفَى قُرَيْشًا مِنْ كِنَانَةَ وَاصْطَفَى مِنْ قُرَيْشٍ بَنِى هَاشِمٍ وَاصْطَفَانِى مِنْ بَنِى هَاشِمٍ

Sesungguhnya Allah telah memilih Kinanah yang terbaik dari keturunan Isma’il. Lalu Allah pilih Quraisy yang terbaik dari Kinanah. Allah pun memilih Bani Hasyim yang terbaik dari Quraisy. Lalu Allah pilih aku sebagai yang terbaik dari Bani Hasyim.[9]

Di antara bentuk mendahulukan dan mengutamakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari siapa pun yaitu apabila pendapat ulama, kyai atau ustadz yang menjadi rujukannya bertentangan dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka yang didahulukan adalah pendapat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Asy Syafi’i rahimahullah, “Kaum muslimin telah sepakat bahwa siapa saja yang telah jelas baginya ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya karena perkataan yang lainnya.”[10]

Kedua: Membenarkan segala yang disampaikan oleh Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam

Termasuk prinsip keimanan dan pilarnya yang utama ialah mengimani kemaksuman Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam dari dusta atau buhtan (fitnah) dan membenarkan segala yang dikabarkan beliau tentang perkara yang telah berlalu, sekarang, dan akan datang. Karena Allah Ta’ala berfirman,

وَالنَّجْمِ إِذَا هَوَى (1) مَا ضَلَّ صَاحِبُكُمْ وَمَا غَوَى (2) وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى (3) إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى (4)

Demi bintang ketika terbenam. Kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru. Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. An Najm: 1-4)

Ketiga: Beradab di sisi Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam

Di antara bentuk adab kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam adalah memuji beliau dengan pujian yang layak baginya. Pujian yang paling mendalam ialah pujian yang diberikan oleh Rabb-nya dan pujian beliau terhadap dirinya sendiri, dan yang paling utama adalah shalawat dan salam kepada beliau. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْبَخِيلُ الَّذِي مَنْ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيَّ

“Orang yang bakhil (pelit) adalah orang yang apabila namaku disebut di sisinya, dia tidak bershalawat kepadaku.[11]

Keempat: Ittiba’ (mencontoh) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam serta berpegang pada petunjuknya.

Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ

Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”.” (QS. Ali Imron: 31)

Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,

اتَّبِعُوا، وَلا تَبْتَدِعُوا فَقَدْ كُفِيتُمْ، كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ

“Ikutilah (petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), janganlah membuat bid’ah. Karena (ajaran Nabi) itu sudah cukup bagi kalian. Semua amalan yang tanpa tuntunan Nabi (baca: bid’ah) adalah sesat .”[12]

Kelima: Berhakim kepada ajaran Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam

Sesungguhnya berhukum dengan ajaran Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam adalah salah satu prinsip mahabbah (cinta) dan ittiba’ (mengikuti Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam). Tidak ada iman bagi orang yang tidak berhukum dan menerima dengan sepenuhnya syari’atnya. Allah Ta’ala berfirman,

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisa’: 65)

Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Setiap orang yang keluar dari ajaran dan syariat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka Allah telah bersumpah dengan diri-Nya yang disucikan, bahwa dia tidak beriman sehingga ridha dengan hukum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam segala yang diperselisihkan di antara mereka dari perkara-perkara agama dan dunia serta tidak ada dalam hati mereka rasa keberatan terhadap hukumnya.”[13]

Keenam: Membela Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

Membela dan menolong Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah salah satu tanda kecintaan dan pengagungan. Allah Ta’ala berfirman,

لِلْفُقَرَاءِ الْمُهَاجِرِينَ الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا وَيَنْصُرُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ

(Juga) bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-Nya dan mereka menolong Allah dan RasulNya. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS. Al Hasyr: 8)

Di antara contoh pembelaaan terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti diceritakan dalam kisah berikut. Ketika umat Islam mengalami kekalahan, Anas bin Nadhr pada perang Uhud mengatakan, ”Ya Allah, aku memohon ampun kepadamu terhadap perbuatan para sahabat dan aku berlepas diri dari-Mu dari perbuatan kaum musyrik.” Kemudian ia maju lalu Sa’ad menemuinya. Anas lalu berkata, ”Wahai Sa’ad bin Mu’adz, surga. Demi Rabbnya Nadhr, sesungguhnya aku mencium bau surga dari Uhud.” ”Wahai Rasulullah, aku tidak mampu berbuat sebagaimana yang diperbuatnya,” ujar Sa’ad. Anas bin Malik berkata, ”Kemudian kami dapati padanya 87 sabetan pedang, tikaman tombak, atau lemparan panah. Kami mendapatinya telah gugur dan kaum musyrikin telah mencincang-cincangnya. Tidak ada seorang pun yang mengenalinya kecuali saudara perempuannya yang mengenalinya dari jari telunjuknya.”[14]

Bentuk membela Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam mengharuskan beberapa hal, di antaranya:

[1] Membela para sahabat Nabi –radhiyallahu ’anhum-

Rasulullah shallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

لَا تَسُبُّوا أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِي فَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَوْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا أَدْرَكَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ

Janganlah mencaci maki salah seorang sahabatku. Sungguh, seandainya salah seorang di antara kalian menginfakkan emas sebesar gunung Uhud, maka itu tidak menyamai satu mud (yang diinfakkan) salah seorang mereka dan tidak pula separuhnya.[15]

Di antara hak-hak para sahabat adalah mencintai dan meridhoi mereka. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آَمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Hasyr: 10)

Sungguh aneh jika ada yang mencela sahabat sebagaimana yang dilakukan oleh Rafidhah (Syi’ah). Mereka sama saja mencela Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Imam Malik dan selainnya rahimahumullah mengatakan, “Sesungguhnya Rafidhah hanyalah ingin mencela Rasul. Jika seseorang mengatakan bahwa orang itu jelek, maka berarti sahabat-sahabatnya juga jelek. Jika seseorang mengatakan bahwa orang itu sholih, maka sahabatnya juga demikian.[16] Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Adapun Rafidhah, maka merekalah orang-orang yang sering mencela sahabat Nabi dan perkataan mereka. Hakikatnya, apa yang ada di batin mereka adalah mencela risalah Muhammad.”[17]

[2] Membela para isteri Nabi, para Ummahatul Mu’minin –radhiyallahu ’anhunna-

Imam Malik rahimahullah mengatakan, “Siapa saja yang mencela Abu Bakr, maka ia pantas dihukum cambuk. Siapa saja yang mencela Aisyah, maka ia pantas untuk dibunuh.” Ada yang menanyakan pada Imam Malik, ”Mengapa bisa demikian?” Beliau menjawab, ”Barangsiapa mencela mereka, maka ia telah mencela Al Qur’an karena Allah Ta’ala berfirman (agar tidak lagi menyebarkan berita bohong mengenai Aisyah, pen),

يَعِظُكُمَ اللَّهُ أَنْ تَعُودُوا لِمِثْلِهِ أَبَدًا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali memperbuat yang seperti itu selama-lamanya, jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. An Nur: 17)”[18]

Ketujuh: Membela ajaran (sunnah) Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam

Termasuk membela ajaran beliau shallallahu ’alaihi wa sallam ialah memelihara dan menyebarkannya, menjaganya dari ulah kaum batil, penyimpangan kaum yang berlebih-lebihan dan ta’wil (penyimpangan) kaum yang bodoh, begitu pula dengan membantah syubhat kaum zindiq dan pengecam sunnahnya, serta menjelaskan kedustaan-kedustaan mereka. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam telah mendo’akan keceriaan wajah bagi siapa yang membela panji sunnah ini dengan sabdanya,

نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا شَيْئًا فَبَلَّغَهُ كَمَا سَمِعَهُ فَرُبَّ مُبَلِّغٍ أَوْعَى مِنْ سَامِعٍ

“Semoga Allah memberikan kenikmatan pada seseorang yang mendengar sabda kami lalu ia menyampaikannya sebagaimana ia mendengarnya. Betapa banyak orang yang diberi berita lebih paham daripada orang yang mendengar.”[19]

Kedelapan: Menyebarkan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Di antara kesempurnaan cinta dan pengagungan kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ialah berkeinginan kuat untuk menyebarkan ajaran (sunnah)nya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً

Sampaikanlah dariku walaupun satu ayat.[20] Yang disampaikan pada umat adalah yang berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan sesuatu yang tidak ada tuntunannya.

Bukti Cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Bukanlah dengan Berbuat Bid’ah

Sebagaimana telah kami sebutkan di atas bahwa di antara bukti cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dengan menyebarkan sunnah (ajaran) beliau. Oleh karenanya, konsekuensi dari hal ini adalah dengan mematikan bid’ah, kesesatan dan berbagai ajaran menyimpang lainnya. Karena sesungguhnya melakukan bid’ah (ajaran yang tanpa tuntunan) dalam agama berarti bukan melakukan kecintaan yang sebenarnya, walaupun mereka menyebutnya cinta.[21] Oleh karenanya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.[22]

Kecintaan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sebenarnya adalah dengan tunduk pada ajaran beliau, mengikuti jejak beliau, melaksanakan perintah dan menjauhi larangan serta bersemangat tidak melakukan penambahan dan pengurangan dalam ajarannya.[23]

Contoh cinta Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam yang keliru adalah dengan melakukan bid’ah maulid nabi. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Adapun melaksanakan perayaan tertentu selain dari hari raya yang disyari’atkan (yaitu Idul Fithri dan Idul Adha) seperti perayaan pada sebagian malam dari bulan Rabi’ul Awwal (yang disebut dengan malam Maulid Nabi), perayaan pada sebagian malam Rojab, hari ke-8 Dzulhijjah, awal Jum’at dari bulan Rojab atau perayaan hari ke-8 Syawal -yang dinamakan orang yang sok pintar (alias bodoh) dengan ’Idul Abror-; ini semua adalah bid’ah yang tidak dianjurkan oleh para salaf (sahabat yang merupakan generasi terbaik umat ini) dan mereka juga tidak pernah melaksanakannya.”[24]

Pandangan Ulama Ahlus Sunnah Tentang Maulid Nabi

[Pertama] Muhammad bin ‘Abdus Salam Khodr Asy Syuqairiy membawakan pasal “Di bulan Rabi’ul Awwal dan Bid’ah Maulid”. Dalam pasal tersebut, beliau rahimahullah mengatakan, “Bulan Rabi’ul Awwal ini tidaklah dikhusukan dengan shalat, dzikr, ‘ibadah, nafkah atau sedekah tertentu. Bulan ini bukanlah bulan yang di dalamnya terdapat hari besar Islam seperti berkumpul-kumpul dan adanya ‘ied sebagaimana digariskan oleh syari’at. … Bulan ini memang adalah hari kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sekaligus pula bulan ini adalah waktu wafatnya beliau. Bagaimana seseorang bersenang-senang dengan hari kelahiran beliau sekaligus juga kematiannya[?] Jika hari kelahiran beliau dijadikan perayaan, maka itu termasuk perayaan yang bid’ah yang mungkar. Tidak ada dalam syari’at maupun dalam akal yang membenarkan hal ini.

Jika dalam maulid terdapat kebaikan,lalu mengapa perayaan ini dilalaikan oleh Abu Bakar, ‘Umar, Utsman, ‘Ali, dan sahabat lainnya, juga tabi’in dan yang mengikuti mereka [?] Tidak disangsikan lagi, perayaan yang diada-adakan ini adalah kelakuan orang-orang sufi, orang yang serakah pada makanan, orang yang gemar menyiakan waktu dengan permainan sia-sia dan pengagung bid’ah. …”

Lalu beliau melanjutkan dengan perkataan yang menghujam, “Lantas faedah apa yang bisa diperoleh, pahala apa yang bisa diraih dari penghamburan harta yang memberatkan [?]”[25]

[Kedua] Seorang ulama Malikiyah, Syaikh Tajuddin ‘Umar bin ‘Ali –yang lebih terkenal dengan Al Fakihaniy- mengatakan bahwa maulid adalah bid’ah madzmumah (bid’ah yang tercela). Beliau memiliki kitab tersendiri yang beliau namakan “Al Mawrid fil Kalam ‘ala ‘Amalil Mawlid (Pernyataan mengenai amalan Maulid)”.

Beliau rahimahullah mengatakan, “Aku tidak mengetahui bahwa maulid memiliki dasar dari Al Kitab dan As Sunnah sama sekali. Tidak ada juga dari satu pun ulama yang dijadikan qudwah (teladan) dalam agama menunjukkan bahwa maulid berasal dari pendapat para ulama terdahulu. Bahkan maulid adalah suatu bid’ah yang diada-adakan, yang sangat digemari oleh orang yang senang menghabiskan waktu dengan sia-sia, sangat pula disenangi oleh orang serakah pada makanan. Kalau mau dikatakan maulid masuk di mana dari lima hukum taklifi (yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram), maka yang tepat perayaan maulid bukanlah suatu yang wajib secara ijma’ (kesepakatan para ulama) atau pula bukan sesuatu yang dianjurkan (sunnah). Karena yang namanya sesuatu yang dianjurkan (sunnah) tidak dicela orang yang meninggalkannya. Sedangkan maulid tidaklah dirayakan oleh sahabat, tabi’in dan ulama sepanjang pengetahuan kami. Inilah jawabanku terhadap hal ini. Dan tidak bisa dikatakan merayakan maulid itu mubah karena yang namanya bid’ah dalam agama –berdasarkan kesepakatan para ulama kaum muslimin- tidak bisa disebut mubah. Jadi, maulid hanya bisa kita katakan terlarang atau haram.”[26]

Penutup

Cinta pada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bukanlah dengan merayakan Maulid. Hakikat cinta pada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam adalah dengan mengikuti (ittiba’) setiap ajarannya dan mentaatinya. Semakin seseorang mencintai Nabinya maka dia juga akan semakin mentaatinya. Dari sinilah sebagian salaf mengatakan:

لهذا لما كَثُرَ الأدعياء طُولبوا بالبرهان ,قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمْ اللَّهُ

Tatkala banyak orang yang mengklaim mencintai Allah, mereka dituntut untuk mendatangkan bukti. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): ”Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imron: 31).[27] Orang yang cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentu hanya mau mengikuti ajaran yang beliau syariatkan dan bukan mengada-ada dengan melakukan amalan yang tidak ada tuntunan, alias membuat bid’ah.

Insya Allah, pada kesempatan selanjutnya kita akan membahas kerancuan yang dikemukakan oleh orang-orang yang menyatakan bahwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mendukung acara Maulid Nabi. Semoga Allah mudahkan.

Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal


[1] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 7/164, Muassasah Al Qurthubah.

[2] Ruhul Ma’ani, Syihabuddin Al Alusi, 16/42, Mawqi’ At Tafaasir.

[3] HR. Bukhari no. 6632.

[4] HR. Bukhari no. 16 dan Muslim no. 43.

[5] HR. Bukhari no. 6171 dan Muslim no. 2639

[6] HR. Bukhari no. 3688.

[7] HR. Muslim no. 44

[8] Pembahasan ini diringkas dari Huququn Nabi bainal Ijlal wal Ikhlal, hal.40-46, Hubbun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wa ‘alamatuhu, hal. 13-15. Kami pernah memuat tulisan ini dalam risalah kecil yang berjudul Mengenal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Antara Mencintai dan Melecehkan, diterbitkan oleh Pustaka Muslim, Jumadats Tsaniyah, 1428 H

[9] HR. Muslim no. 2276, Watsilah bin Al Asqo’

[10] I’lamul Muwaqi’in ‘an Robbil ‘Alamin, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, 1/7, Darul Jail, 1973.

[11] HR. Tirmidzi no. 3546 dan Ahmad (1/201). At Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan shohih ghorib. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shahih

[12] Diriwayatkan oleh Ath Thobroniy dalam Al Mu’jam Al Kabir no. 8770. Al Haytsamiy mengatakan dalam Majma’ Zawa’id bahwa para perowinya adalah perawi yang dipakai dalam kitab shohih.

[13] Majmu’ Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 28/471, Darul Wafa’, cetakan ketiga, tahun 1426 H.

[14] HR. Bukhari no. 2805, 4048 dan Muslim no. 1903.

[15] HR. Muslim no. 2541.

[16] Minhajus Sunnah An Nabawiyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 7/459, Muassasah Qurthubah, cetakan pertama, tahun 1406 H.

[17] Minhajus Sunnah An Nabawiyah, 3/463.

[18] Ash Shorim Al Maslul ‘ala Syatimir Rosul, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 568, Dar Ibnu Hazm, cetakan pertama, tahun 1417 H.

[19] HR. Abu Daud no. 3660, At Tirmidz no. 2656, Ibnu Majah no. 232 dan Ahmad (5/183). Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat makna hadits ini dalam Faidul Qodir, Al Munawi, 6/370, Mawqi’ Ya’sub.

[20] HR. Bukhari no. 3461

[21] Lihat penjelasan dalam tulisan Mahabbatun Nabi wa Ta’zhimuhu (yang terdapat dalam kumpulan risalah Huququn Nabi baina Ijlal wal Ikhlal), ‘Abdul Lathif bin Muhammad Al Hasan, hal. 89, Maktabah Al Mulk Fahd, cetakan pertama, 1422 H.

[22] HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718

[23] Lihat Mahabbatun Nabi wa Ta’zhimuhu, hal. 89.

[24] Majmu’ Fatawa, 25/298.

[25] As Sunan wal Mubtada’at Al Muta’alliqoh Bil Adzkari wash Sholawat, 138-139

[26] Al Hawiy Lilfatawa Lis Suyuthi, 1/183

[27] Syarh Al ‘Aqidah Ath Thohawiyah, Syaikh Sholih Alu Syaikh, 1/266, Asy Syamilah.

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. BERITA SUNNAH - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger