{قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ ويَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ، وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ}

Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah (sunnah/petunjuk)ku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS Ali ‘Imran:31)

Sampai Manakah Batas Toleransi ?

Abu Fathan | 11:44 | 0 comments
Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala ; shalawat serta salam selalu tercurah untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga, para Sahabat, serta para pengikutnya sampai hari kiamat.

Amma ba’du,

Sesungguhnya agama kita terbangun di atas rasa toleransi dan menghilangkan kesusahan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

بُعِثْتُ بِالْحَنِيْفِيَةَ السَّمْحَةِ

Aku diutus dengan membawa agama yang lurus dan toleran.[1]

Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ

Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan suatu kesempitan untuk kamu dalam agama. [al-Hajj/22:78].

Sikap toleran dan menghilangkan kesempitan (kesusahan) merupakan ciri agama yang agung ini, berbeda dengan syariat agama-agama terdahulu yang banyak terdapat kekangan, dan belenggu yang menyusahkan, akibat dari penentangan dan penyelisihan mereka terhadap perintah-perintah Allah, serta sikap perlawanan mereka terhadap nabi-nabi yang diutus kepada mereka.

Sikap toleransi dan mempermudah dalam syariat Islam terdapat pada perintah, larangan dan pensyariatan Islam. Toleransi tidak bisa dimaknai dengan melepaskan atau meninggalkan hukum-hukum yang terkandung dalam syari’at, karena –jika demikian-, maka itu merupakan sikap lembek dalam urusan agama, bukan sikap toleransi yang diinginkan Islam.

Allah Ta’ala berfirman:

أَفَبِهَٰذَا الْحَدِيثِ أَنْتُمْ مُدْهِنُونَ

Maka apakah kamu menganggap remeh dengan al-Qur’an ini? [al-Waqi’ah/56:81]

Dan firman-Nya:

وَدُّوا لَوْ تُدْهِنُ فَيُدْهِنُونَ

Maka mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak lalu mereka bersikap lunak (pula kepadamu). [al-Qalam/68:9].

Dan musuh-musuh Islam tidak akan pernah ridha (suka) terhadap kita, sampai kita melepaskan agama secara menyeluruh serta mengikuti mereka.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَلَنْ تَرْضَىٰ عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَىٰ حَتَّىٰ تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ

Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. [al-Baqarah/2:120].

Dan firman-Nya:

وَدُّوا لَوْ تَكْفُرُونَ كَمَا كَفَرُوا فَتَكُونُونَ سَوَاءً

Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka). [an-Nisa’/4:89].

Berdebat dengan mereka secara baik merupakan suatu keharusan syar’i untuk memuaskan mereka dengan kebenaran. Apabila perdebatan tidak mendatangkan hasil, atau melalui perdebatan itu mereka ingin kita melepas atau meninggalkan sebagian ajaran agama, maka pada saat itu kita tidak boleh bersikap lemah lembut dengan mereka sehingga membuat mereka berharap terhadap keinginannya akan tetapi kita harus bersikap keras dan tegas terhadap mereka agar pupus semua harapan mereka.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ ۚ وَمَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ ۖ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ

Hai Nabi, perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah Jahanam, dan itu adalah seburuk-buruknya tempat kembali. [at-Tahrim/66:9].

Dan firman-Nya:

وَلَا تُجَادِلُوا أَهْلَ الْكِتَابِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِلَّا الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ

Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zhalim di antara mereka. [al-Ankabut/29:46].

Sikap lemah lembut bersama mereka dalam kondisi di atas termasuk dalam kategori meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya.

Kita sering melihat, membaca, dan mendengar dari para Khatib atau juru dakwah anjuran untuk bersikap toleran dengan para musuh Islam, karena agama kita adalah agama toleran dan penuh dengan rasa cinta. Perkataan seperti ini tidak sepenuhnya benar, sehingga perlu perincian, karena kalau tidak maka bias mendatangkan keburukan dan salah tafsir dari orang yang mendengarkan dan membacanya. Kewajiban kita adalah untuk berhati-hati dalam perkara ini serta meletakkan hal seperti ini pada tempatnya. Alangkah sering kita mengulangi dan mendengungkan perkataan-perkataan seperti ini, akan tetapi itu semua tidak cukup untuk merubah musuh-musuh Islam dari tabiat dan sikap mereka terhadap kita dan agama Islam. Ingatlah kejadian yang belum lama terjadi yaitu peristiwa perobekan mushaf (al-Qur’an) kemudian dilemparkan ke dalam WC, dan tindakan mencela Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ

Dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. [Ali Imran/3:118].

Sungguh, perbuatan-perbuatan mereka terhadap kaum Muslimin lebih parah daripada perkataan mereka, sebagaimana yang terjadi di Afghanistan, Irak, Bosnia, dan Herzegovina. Sungguh benar firman Allah Azza wa Jalla:

وَلَا يَزَالُونَ يُقَاتِلُونَكُمْ حَتَّىٰ يَرُدُّوكُمْ عَنْ دِينِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُوا

Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. [al-Baqarah/2:217].

Dan firman-Nya:

إِنْ يَثْقَفُوكُمْ يَكُونُوا لَكُمْ أَعْدَاءً وَيَبْسُطُوا إِلَيْكُمْ أَيْدِيَهُمْ وَأَلْسِنَتَهُمْ بِالسُّوءِ وَوَدُّوا لَوْ تَكْفُرُونَ

Jika mereka menangkap kamu, niscaya mereka bertindak sebagai musuh bagimu dan melepaskan tangan dan lidah mereka kepadamu dengan menyakiti(mu); dan mereka ingin supaya kamu (kembali) kafir. [al-Mumtahanah/60:2]

Ini yang bisa saya sampaikan. Kita mohon kepada Allah Ta’ala agar menolong agama-Nya dan meninggikan kalimat-Nya dan menghinakan para musuh-Nya.

وصلى الله وسلم على نبينا محمد و اله وصحبه

(Diangkat dari kitab al-Bayan li Akhtha’i Ba’dil Kuttab,3/325-326)

Syaikh DR. Syaikh Shâlih bin Fauzân Alu Fauzân

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun XVII/1435H/2013M.]
_______
Footnote
[1].HR Imam Ahmad (5/266) dari hadits Abu Umamah. Hadits ini dibawakan oleh Imam al-Bukhari secara mu’allaq dalam Kitabul Iman, Bab ad-Diinu Yusrun dengan lafazh

أَحَبُّ الدِّيْنِ إِلَى اللهِ الْحَنِيْفِيَةُ السَّمْحَةُ

Dan dibawakan dengan sanan yang bersambung dalam kitab Adabul Mufrad,no. 287 dari Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu.

Harta Haram Sumber Petaka Dunia Dan Akhirat

Abu Fathan | 11:43 | 0 comments
Setiap insan tentu mendambakan kehidupan yang berbahagia, damai dan jauh dari berbagai kesusahan. Untuk tujuan ini, orang rela mengorbankan harta, waktu dan tenaga yang mereka miliki demi meraih apa yang mereka ungkapkan sebagai ‘kebahagian dan ketenangan hidup yang sejati’.

Ironisnya, dalam upaya mencari kebahagiaan dan ketenangan hidup ini, di antara mereka ada yang menempuh jalan yang keliru dan justru menjerumuskan mereka kedalam jurang kesengsaraan dan malapetaka, dengan mengikuti godaan dan tipu daya setan yang selalu menghiasi keburukan amal perbuatan manusia. Allah berfirman:

أَفَمَنْ زُيِّنَ لَهُ سُوءُ عَمَلِهِ فَرَآهُ حَسَنًا ۖ فَإِنَّ اللَّهَ يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ

Apakah orang yang dihiasi perbuatannya yang buruk (oleh setan) lalu ia menganggap perbuatannya itu baik, (sama dengan dengan orang yang tidak diperdaya setan?), maka sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. [Fathir/35:8]

Allah Yang Maha Menciptakan, Menguasai dan Mengatur alam semesta beserta semua makhluk di dalamnya, Dialah yang memiliki dan menguasai segala bentuk kebaikan dan kebahagiaan yang dibutuhkan oleh semua manusia, dan semua itu akan diberikan kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara mereka. Allah Azza wa Jalla berfirman:

قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَنْ تَشَاءُ وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَاءُ ۖ بِيَدِكَ الْخَيْرُ ۖ إِنَّكَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

Katakanlah,”Ya Allah Yang maha memiliki semua kerajaan (kekuasaan di alam semesta), Engkau berikan kekuasaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kekuasaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan-Mu lah segala kebaikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu”.[Ali ‘Imran/3:26].

Dan orang-orang yang dikehendaki dan dipilih-Nya untuk meraih kebahagiaan hidup adalah orang-orang beriman yang selalu berpegang teguh dengan petunjuk-Nya. Allah berfirman:

فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُمْ مِنِّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَىٰ

Maka jika datang kepadamu (wahai manusia) petunjuk daripada-Ku, lalu barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, maka dia tidak akan tersesat dan tidak akan sengsara (dalam hidupnya). [Thaha/20:123].

Dalam ayat lain, Allah Azza wa Jalla berfirman:

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Barangsiapa mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik/bahagia (di dunia), dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka (di akhirat) dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. [An-Nahl/16:97].

KETENANGAN HIDUP DIRAIH DENGAN MATERI DUNIAWI?
Kebanyakan manusia menilai dengan kebodohannya bahwa kebahagiaan dan ketenangan hidup diraih dengan mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya dan menggapai kedudukan duniawi setinggi-tingginya, sebagai akibat dari kuatnya dominasi hawa nafsu dan sifat materialistis dalam diri mereka. Allah Azza wa Jallaberfirman:

يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الْآخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ

Mereka hanya mengetahui yang lahir (nampak) dari kehidupan dunia; sedangkan tentang (kehidupan) akhirat mereka lalai. [ar-Rum/30:7].

Artinya, mereka hanya memahami dan mengutamakan perhiasan duniawi yang tampak di mata mereka, sementara mereka melalaikan balasan kebaikan yang kekal abadi di akhirat [1]

Oleh karena itu, mereka berusaha sekuat tenaga dan berlomba-lomba mengumpulkan kekayaan duniawi, tanpa mengenal lelah dan waktu. Sifat tamak ini, paling tidak akan menyeret mereka kepada dua kerusakan dan keburukan besar:

1. Cinta kepada dunia/harta yang berlebihan.
2. Ambisi mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya tanpa peduli halal atau haram.

Dua kerusakan besar ini sudah cukup menjadi awal malapetaka besar bagi seorang hamba dan pada gilirannya akan membawa bencana-bencana besar lainnya, jika hamba dia tidak menyadari bahaya ini dan bertobat kepada Allah.

Renungkanlah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini:

وَالله ِ لاَ الْفَقْرَ أَخْشَى عَلَيْكُمْ, وَلَكِنْ أَخْشَى عَلَيْكُمْ أَنْ تُبْسَطَ عَلَيْكُمُ الدُّنْيَا كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ, فَتَنَافَسُوهَا كَمَا تَنَافَسُو وَتُهْلِكَكُمْ كَمَا أَهْلَكَتْهُمْ

Demi Allah, bukanlah kemiskinan yang aku takutkan (akan merusak agama) kalian, akan tetapi yang aku takutkan bagi kalian adalah jika (perhiasan) dunia dibentangkan (dijadikan berlimpah) bagi kalian sebagaimana (perhiasan) dunia dibentangkan bagi umat (terdahulu) sebelum kalian, maka kalian pun berlomba-lomba mengejar dunia sebagaimana mereka berlomba-lomba mengejarnya, sehingga (akibatnya) dunia (harta) itu membinasakan kalian sebagaimana dunia membinasakan mereka [2]

Arti sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam “… sehingga (akibatnya) dunia (harta) itu membinasakan kalian”: dunia menjerumuskan kalian ke dalam (jurang) kebinasaan, disebabkan persaingan yang tidak sehat untuk mendapatkannya, kecintaan yang berlebihan terhadapnya serta kesibukan dalam mengejarnya sehingga melalaikan dari mengingat Allah Subhanahu wa Ta’aladan balasan di akhirat [3].

Dalam hadits lain, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً, وَفِتْنَةُ أُمَّتِي الْمَالُ

Sesungguhnya pada setiap umat (kaum) ada fitnah (yang merusak/menyesatkan mereka) dan fitnah (pada) umatku adalah harta.

Maksudnya, menyibukkan diri dengan harta secara berlebihan adalah fitnah (yang merusak agama seseorang) karena harta dapat melalaikan pikiran manusia dari melaksanakan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan membuatnya lupa kepada akhirat, sebagaimana firman-Nya:

إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ ۚ وَاللَّهُ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ

Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu merupakan fitnah (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar. [at-Taghabun/64:15][4].

Dalam dua hadits di atas terdapat nasehat berharga bagi orang yang dibukakan baginya pintu-pintu harta, hendaknya dia mewaspadai bahaya dan fitnah harta, dengan tidak berlebihan dalam mencintainya dan terlalu berambisi dalam mengejarnya [5].

Maka mungkinkah seseorang akan merasakan ketenangan dan kebahagiaan dalam hidupnya kalau sifat yang merupakan sumber kebinasaan dan bencana ini selalu ada pada dirinya?. Bahkan tidak berlebihan jika dikatakan bahwa malapetaka dan bencana yang menimpa orang yang memiliki sifat ini akan terus bertambah besar seiring dengan semakin rakusnya dia mengejar harta benda duniawi dan banyaknya dia mengkonsumsi harta yang haram. Hal ini dikarenakan secara tabiat, nafsu manusia tidak akan pernah merasa puas dan cukup dengan harta dan kemewahan dunia yang dimilikinya, bagaimanapun berlimpahnya [6], kecuali orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan hal ini dalam sabda beliau: “Seandainya seorang manusia memiliki dua lembah (yang penuh berisi) harta/emas, maka dia pasti akan menginginkan lembah (harta) yang ketiga”[7].

Sifat rakus inilah yang akan terus memacunya untuk mengejar harta dan mengumpulkannya siang dan malam, dengan mengorbankan apapun untuk tujuan tersebut dan tanpa memperdulikan cara-cara yang halal atau haram. Sehingga tenaga dan pikirannya akan terus terkuras untuk mengejar ambisi tersebut, dan ini merupakan kerusakan sekaligus siksaan besar bagi dirinya di dunia, sebelum siksaan yang lebih besar di akhirat nanti.

Imam Ibnul Qayyim berkata:”Orang yang mencintai dunia/harta (secara berlebihan) tidak akan lepas dari tiga (kerusakan dan penderitaan): Kekalutan (pikiran) yang tidak pernah hilang, keletihan yang berkepanjangan dan penyesalan yang tiada berakhir [8].

Dalam hal ini, seorang Ulama Salaf berkata: “Barangsiapa yang mencintai dunia/harta (secara berlebihan), maka hendaknya dia mempersiapkan dirinya untuk menanggung berbagai macam penderitaan”[9].

DAMPAK BURUK DAN BENCANA DARI HARTA YANG HARAM DALAM KEHIDUPAN MANUSIA
Sebagaimana yang kami paparkan di atas bahwa kebahagiaan dan ketenangan hidup sejati hanya Allah akan anugerahkan kepada orang-orang yang berpegang teguh dengan petunjuk-Nya dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, termasuk dalam hal ini, menjauhi harta haram dan segala sesuatu yang didapatkan dengan cara yang tidak dibenarkan dalam Islam.

Allah enggan memberikan kebahagiaan dan ketenangan hidup bagi orang-orang yang berpaling dari petunjuk-Nya, di dunia dan akhirat, sebagaimana firman-Nya:

وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَىٰ ﴿١٢٤﴾ قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِي أَعْمَىٰ وَقَدْ كُنْتُ بَصِيرًا ﴿١٢٥﴾ قَالَ كَذَٰلِكَ أَتَتْكَ آيَاتُنَا فَنَسِيتَهَا ۖ وَكَذَٰلِكَ الْيَوْمَ تُنْسَىٰ

Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan/petunjuk-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit (sengsara) (di dunia), dan Kami akan menghimpunkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta. Berkatalah ia: “Wahai Rabbku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya seorang yang melihat”. Allah berfirman: “Demikianlah, dulu telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari inipun kamu dilupakan. [Thaha/20:124-126].

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Barangsiapa yang menyelisihi perintah-Ku dan ketentuan syariat yang Aku turunkan kepada Rasul-Ku, (dengan) berpaling darinya, melupakannya dan mengambil selain petunjuknya, maka baginya penghidupan yang sempit/sengsara, yaitu di dunia, sehingga dia tidak akan merasakan ketenangan (hidup) dan tidak ada kelapangan dalam hatinya. Bahkan hatinya sempit dan sesak karena penyimpangannya, meskipun (terlihat) secara lahir (hidupnya) senang, berpakaian, makan dan bertempat tinggal sesukanya, akan tetapi hatinya selalu diliputi kegundahan, keguncangan dan keraguan, karena dirinya jauh dari kebenaran dan petunjuk-Nya”[10].

Maka orang yang menimbun harta yang haram tidak mungkin merasakan kebahagiaan dan ketenangan sejati dalam hidupnya, berapapun banyaknya harta dan kemewahan duniawi yang dimilikinya, bahkan ini justru akan membawa penderitaan yang berkepanjangan dalam hidupnya.

Oleh karena itu, secara khusus, beberapa ulama ahli tafsir menafsirkan ‘penghidupan yang sempit/sengsara’ dalam ayat ini dengan kasbul haram (penghasilan/harta yang haram)[11], yang menandakan bahwa harta haram merupakan salah satu faktor utama yang menjadikan manusia selalu ditimpa bencana dan kesulitan dalam hidupnya.

Imam Ibnul Jauzi menukil ucapan Sahabat yang mulia, ‘Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, bahwa beliau berkata:”Penghidupan yang sempit (artinya) disempitkan baginya pintu-pintu kebaikan (penghasilan yang halal), sehingga dia tidak mendapatkan petunjuk kepada kebaikan dan dia mempunyai pengahasilan yang haram sebagai usahanya”.

Semakna dengan itu, Imam adh-Dhahhak dan ‘Ikrimah berkata, “Penghidupan yang sempit ini yaitu al-kasbul khabits (usaha/penghasilan yang buruk/haram)[12].

Berikut ini, beberapa keburukan dan kerusakan akibat harta yang didapatkan dengan cara haram, sebagaimana yang dijelaskan dalam dalil-dalil dari al-Qur’an dan hadits Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam :

1. Mengkonsumsi harta yang haram adalah perbuatan maksiat kepada Allah dan mengikuti langkah-langkah setat/Iblis. Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ ﴿١٦٨﴾ إِنَّمَا يَأْمُرُكُمْ بِالسُّوءِ وَالْفَحْشَاءِ وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ

Hai manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaithan karena sesungguhnya syaithan adalah musuh yang nyata bagimu. Sesungguhnya syaithan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, serta mengatakan tentang Allah apa yang tidak kamu ketahui. [al-Baqarah/2:168-169].

Mengikuti langkah-langkah syaithan adalah dengan mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah dan mengahalalkan apa yang diharamkan-Nya, termasuk dalam hal ini memakan harta yang haram.[13]

2. Ancaman adzab Neraka bagi orang yang mengkonsumsi harta haram. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:”Tidak akan masuk surga daging yang tumbuh dari (makanan) yang haram (dan) neraka lebih layak baginya”[14]

3. Mengkonsumsi harta haram adalah termasuk sebab utama tidak dikabulkannya doa dan ini adalah sebesar-besar bencana bagi hamba.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda menceritakan tentang seorang laki-laki yang melakukan perjalanan panjang, rambutnya acak-acakan, tubuhnya dipenuhi debu, ketika itu lelaki tersebut berdoa dengan mengangkat kedua tangannya ke langit dan menyebut nama Allah : Wahai Rabb, wahai Rabb..., lalu beliau bersabda:
(Sedangkan) laki-laki tersebut mengkonsumsi makanan dan minuman yang tidak halal, pakaiannya pun tidak halal dan selalu diberi (makanan) yang tidak halal, maka bagaimana mungkin permohonannya akan dikabulkan (oleh Allah)?[15].

Dalam hadits ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa orang tersebut sebenarnya telah menghimpun banyak faktor yang seharusnya memudahkan terkabulnya permohonan dan doanya, akan tetapi karena perbuatan maksiat yang dilakukannya, yaitu mengkonsumsi harta yang haram, sehingga dikabulkannya doa tersebut terhalangi.[16].

Inilah makna firman Allah Azza wa Jalla :

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ ۖ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ

Dan jika hamba-hamba-Ku bertanya tentang Aku, maka (jawablah) bahwa sesungguhnya Aku Maha Dekat, Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku. Maka hendaklah mereka memenuhi (segala perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam petunjuk [al-Baqarah/2:186].

Salah seorang ulama terdahulu, Yahya bin Mu’adz ar-Razi [17], mengungkapkan hal ini dalam ucapan beliau: "Janganlah sekali-kali kamu merasa (permohonanmu) terlalu lama tidak dikabulkan ketika kamu berdoa (kepada Allah), karena sungguh kamu (sendiri) yang telah menutup pintu-pintu pengabulan (doamu) dengan dosa-dosamu".[18].

Musibah apa yang lebih besar bagi hamba jika doanya tidak dikabulkan oleh Allah? Bukankah setiap saat dia punya kebutuhan dalam urusan dunia maupun agama? Lalu siapakah yang dapat memenuhi kebutuhan dan memudahkan urusannya selain Allah? Siapakah yang dapat mengabulkan permohonannya jika Allah berpaling darinya?

Maha benar Allah Azza wa Jalla yang berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ ۖ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ

Hai manusia, kamulah yang butuh kepada (rahmat) Allah; dan Allah Dia-lah Yang Maha Kaya (tidak membutuhkan sesuatu) lagi Maha Terpuji. [Fathir/35:15]

Bahkan karena doa merupakan inti dari ibadah shalat, maka dikhawatirkan shalat seorang yang mengkonsumsi harta yang haram tidak diterma oleh Allah. Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma berkata: “Allah tidak menerima shalat seorang yang di dalam perutnya ada (makanan) yang haram, sampai dia bertaubat kepada Allah dari perbuatan tersebut”[19].

4. Tidak diterimanya harta yang haram meskipun diinfakkan/dibelanjakan dalam ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya,”Sesungguhnya Allah Maha Baik dan Dia tidak menerima kecuali yang baik (halal)”[20].

Imam Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata,”Barangsiapa yang menginfakkan (harta) yang haram dalam ketaatan (kepada Allah), maka dia seperti orang yang membersihkan (mencuci) pakaian dengan air kencing, padahal pakaian tidak dapat dibersihkan kecuali dengan air (yang bersih dan suci), (sebagaimana) dosa tidak dihapuskan kecuali dengan (harta) yang halal”[21].

5. Mengkonsumsi harta yang haram merupakan sebab terhalangnya seseorang dari melakukan amal shaleh, sebagaimana mengkonsumsi harta yang halal merupakan sebab yang memotivasi manusia untuk beramal shaleh.

Allah mengisyaratkan eratnya keterkaitan antara mengkonsumsi makanan yang halal dengan semangat beramal shaleh, dalam firman-Nya:

يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا ۖ إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ

Wahai rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik (halal), dan kerjakanlah amal yang shaleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.[al-Mukminun/23:51].

Ayat ini menunjukkan bahwa mengkonsumsi makanan yang halal merupakan sebab yang mendorong manusia untuk beramal shaleh dan sebab diterimanya amal shaleh tersebut [22].

6. Mengkonsumsi harta yang haram termasuk sifat mayoritas orang-orang dimurkai oleh Allah Azza wa Jalla (orang-orang Yahudi). Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَتَرَىٰ كَثِيرًا مِنْهُمْ يُسَارِعُونَ فِي الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَأَكْلِهِمُ السُّحْتَ ۚ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Dan kamu akan melihat kebanyakan dari mereka (orang-orang Yahudi) bersegera berbuat dosa, permusuhan dan memakan yang haram. Sesungguhnya amat buruk apa yang mereka telah kerjakan itu. [al-Maidah/5:62]

Maka melakukan perbuatan ini berarti meniru dan menyerupai sifat mereka, padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk golongan mereka [23].

7. Tersebarnya harta yang haram merupakan sebab turunnya bencana dan azab dari Allah Azza wa Jalla kepada masyarakat.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ,”Apabila perbuatan zina dan riba telah tampak (tersebar) di suatu desa, maka sungguh mereka telah mengundang azab (dari) Allah untuk menimpa mereka [24].

Inilah makna firman Allah Azza wa Jalla :

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

Telah nampak kerusakan di darat dan di lautan disebabkan karena perbuatan tangan (maksia)[25] manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). [ar-Rum/30:41].

Demikian juga firman-Nya:

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ

Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan (dosa)mu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).[asy-Syura/42:30].

Oleh karena keburukan dan kerusakan ini, Imam adz-Dzahabi memasukkan perbuatan mengkonsumsi harta yang haram dengan cara apapun termasuk dosa-dosa yang sangat besar dalam kitab al-Kabair (hlm.118).

HARTA HALAL SEBAB KECUKUPAN, KELAPANGAN HATI DAN KETENANGAN HIDUP
Dalam doa masyhur yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu.

اَللَّهُمَّ اكْفِنِى بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنِى بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَكَ

Ya Allah, berikanlah kecukupan bagiku dengan rezeki-Mu yang halal (dan jauhkanlah aku) dari yang haram, serta cukupkanlah aku dengan karunia-Mu (sehingga aku tidak butuh) kepada selain-Mu [26].

Hadits yang agung ini memuat petunjuk bahwa rezeki yang halal adalah sebab kecukupan dan limpahan karunia dari Allah kepada manusia, dan jika Allah telah mencukupi seorang hamba dengan karunia-Nya maka siapakah yang dapat mencelakakan dan menghinakan hamba tersebut? Allah berfirman yang artinya: Bukankah Allah maka mencukupi hamba-Nya (dalam semua keperluannya)? [az-Zumar/39:36].

Dengan demikian, kecukupan, kelapangan hati dan ketenangan hidup manusia hanya dapat diraih dengan mengikuti petunjuk Allah dan mengikuti ketentuan syariat-Nya, termasuk dalam hal ini mencukupkan diri dengan harta yang halal dan menjauhi yang haram.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik (di dunia), dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka (di akhirat) dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. [an-Nahl/16:97].

Para Ulama Salaf menafsirkan makna “kehidupan yang baik (di dunia)” dalam ayat di atas denga “kebahagiaan hidup” atau “rezeki yang halal” dan kebaikan-kebaikan lainnya [27].

Dalam ayat lain, Allah menjanjikan kemudahan dan terbukanya pintu rezeki bagi orang yang selalu berpegang teguh dengan syariat-Nya, tidak terkecuali dalam hal mencari penghasilan yang baik dan halal.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا﴿٢﴾وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ

Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberikan baginya jalan keluar (dalam semua masalah yang dihadapinya), dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. [ath-Thalaq/65:2-3].

Dalam ayat berikutnya, Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا

Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan menjadikan baginya kemudahan dalam (semua) urusannya. [ath-Thalaq/65:4].

Artinya, Allah Azza wa Jalla akan meringankan dan memudahkan (semua) urusannya, serta mengadakan jalan keluar dan solusi yang segera baginya (untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya) [28].

SIFAT QANA’AH (SELALU MERASA CUKUP) ADALAH KEKAYAAN YANG PALING BERHARGA
Sifat rakus dan ambisi besar untuk mengejar perhiasan dunia menyeret seorang manusia untuk tidak pernah merasa puas sehingga dia selalu merasa hidup dalam kekurangan dan ketidakbahagiaan, bagaimanapun berlimpahnya harta yang dimilikinya, dan cukuplah ini sebagai bencana besar yang selalu menyertai hidupnya.

Renungkanlah hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut: Dari Zaid bin Tsabit Radhiyallahu anhu, ia berkata,”Kami mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Barangsiapa yang (menjadikan) dunia tujuan utamanya, maka Allah akan mencerai-beraikan urusannya dan menjadikan kemiskinan/tidak pernah merasa cukup (selalu ada) dihadapannya, padahal dia tidak akan mendapatkan (harta benda) duniawi melebihi dari apa yang Allah tetapkan baginya. Dan barangsiapa yang (menjadikan) akhirat niat (tujuan utama)nya, maka Allah akan menghimpunkan urusannya, menjadikan kekayaan/selalu merasa cukup (ada) dalam hatinya, dan (harta benda) duniawi datang kepadanya dalam keadaan rendah (tidak bernilai di hadapannya)”[29].

Oleh karena itu, yang menentukan kebahagiaan hidup dan ketenangan hati seorang hamba, dengan taufik dari Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah sifat qana’ah (merasa cukup dan puas dengan rezeki halal yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan) yang akan melahirkan sikap ridha dan selalu merasa cukup dalam diri manusia, dan inilah kekayaan yang sebenarnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

“Kekayaan itu bukanlah dengan banyaknya kemewahan dunia (harta), akan tetapi kekayaan (yang hakiki) adalah kekayaan (kecukupan) dalam jiwa (hati)”[30].

Sifat qana’ah ini adalah salah satu ciri yang menunjukkan kesempurnaan iman seseorang, karena sifat ini menunjukkan keridhaan orang terhadap segala ketentuan dan takdir Allah Azza wa Jalla.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
”Akan merasakan manisnya (kesempurnaan) iman, orang yang ridha kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai Rabb-nya dan Islam sebagai agamanya serta (Nabi) Muhammad sebagai rasul-nya”. [HR. Muslim no.34].

Arti "ridha kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai Rabb” adalah ridha kepada ketentuan dan pilihan-Nya, serta kepada apa yang diberikan dan yang tidak diberikan-Nya[31].

Lebih daripada itu, orang yang memiliki sifat qana’ah dialah yang akan meraih kebaikan dan kemuliaan dalam hidupnya di dunia dan di akhirat nanti, meskipun harta yang dimilikinya tidak banyak. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Sungguh sangat beruntung seorang yang masuk Islam, kemudian mendapatkan rezeki yang secukupnya dan Allah menganugerahkan kepadanya sifat qana’ah (merasa cukup dan puas) dengan rezeki yang Allah berikan kepadanya” [HR. Muslim no.1054].

Akhirnya, kami akhiri tulisan ini dengan memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna, agar Dia menganugerahkan kepada kita semua rezki yang halal dan menjauhkan kita dari harta yang haram, serta memudahkan kita memiliki sifat qana’ah dan semua sifat-sifat baik yang diridhai-Nya, sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan doa.

Wallahu a’lam.

Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XVI/1433H/2012M.]
_______
Footnote
[1]. Lihat Tafsir Ibnu Katsir 3/560 dan Taisir karimir Rahman halm. 636.
[2]. HSR al-Bukhari no.2988 dan Muslim no.2961.
[3]. Lihat catatan kaki Shahihul Bukhari 3/1152.
[4]. Lihat Faidhul Qadir 2/507.
[5]. Nasehat Imam Ibnu Baththal yang dinukil dalam Fathul Bari 11/245.
[6]. Lihat keterangan Imam Ibnul Qayyim dalam Ighatsatul Lahfan (hlm. 84 – Mawridul AmanI).
[7]. HR. Al-Bukhari no 6075 dan Muslim no.116.
[8]. Ighatsatul Lahfan (hlm. 83-84, Mawaridul Aman).
[9]. Dinukil oleh Imam Ibnul Qayyim dalam Ighatsatul Lahfan (hlm. 83, Mawaridul Aman).
[10]. Tafsir Ibnu Katsir 3/227.
[11]. Lihat penjelasan Imam Ibnul Jauzi dalam Zadul Masir 5/331.
[12]. Zadul Masir 5/332.
[13]. Lihat Zadul Msir 1/172 dan Taisir Karimir Rahman hlm.80.
[14]. HR. Ahmad 3/321, ad-Darimi no.2776 dan al-Hakim 4/468, dishahihkan oleh al-Hakim, disepakati oleh adz-Dzahabi dan al-Albani dalam Ash-Shahihah 6/108.
[15]. HR. Muslim no.1015.
[16]. Lihat Jami’ul ‘Ulumi wal Hikam hlm.105-107.
[17]. Biografi beliau dalam Siyaru A’lamin Nubala 13/15.
[18]. Diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman (no. 1154) dan dinukil oleh Imam Ibnu Rajab dalam Jami’ul ‘Ulumi wal Hikam hlm.108.
[19]. Dinukil oleh Imam adz-Dzahabi dalam al-Kabir hlm.118 dan Imam Ibnu Rajab dalam Jami’ul ‘Ulumi wal Hikam hlm.101.
[20]. HR. Muslim no.1015.
[21]. Dinukil oleh Imam adz-Dzahabi dalam al-Kabir hlm.118.
[22]. Lihat Taisirul Karimir Rahman hlm.81.
[23]. HR. Ahmad 2/50 dan Abu Dawud no.4031, berderajat hasan shahih menurut al-Albani.
[24]. HR. Al-Hakim 2/43 dan ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabir 1/178, dinyatakan shahih oleh al-Hakim, adz-Dzahabi dan al-Albani dalam Shahihul Jami’ish Shagir no.679.
[25]. Lihat Tafsir Ibnu Katsir 3/576.
[26]. HR. Ahmad 1/153, at-Tirmidzi 5/560 dan al-Hakim 4/468. Hadits ini dishahihkan oleh al-Hakim, disepakati oleh adz-Dzahabi. Hadits ini berderajat hasan menurut al-Albani. Lihat ash-Sahihah no.266.
[27]. Lihat Tafsir Ibnu Katsir 2/772.
[28]. Tafsir Ibnu Katsir 4/489.
[29]. HR. Ibnu Majah no.4105, Ahmad 5/183, ad-Darimi no.229, Ibnu Hibban no.680 dan lain-lain dengan sanad yang shahih. Hadits ini berderajat shahih menurut Ibnu Hibban, al-Bushiri dan al-Albani.
[29].HR. Al-Bukhari no.6081 dan Muslim no.120.
[31]. Lihat Fiqhul Asmail Husna hlm.81.

Wahyu Allah Subhanahu Wa Ta'ala Fondasi Agama

Abu Fathan | 20:48 | 0 comments
Allâh Azza wa Jalla Maha kasih sayang kepada para hamba-Nya, oleh karena itu Dia menurunkan kitab suci dan mengutus para Rasul. Allâh Azza wa Jalla memberikan wahyu kepada para Nabi dan Rasul yang Dia pilih dari para hamba-hamba-Nya. Dengan demikian kedudukan sebagai Rasul dan Nabi merupakan anugrah Allâh Subhanahu wa Ta’ala kepada hamba yang Dia pilih, manusia tidak bisa berusaha meraih kedudukan itu dengan usahanya. Allâh Azza wa Jalla selalu mengutus para Rasul-Nya sejak perbuatan syirik mulai nampak di muka bumi di zaman Nabi Nûh Alaihissallam, dan menutup kerasulan dan kenabian dengan Rasul dan Nabi terakhir, yang diutus kepada seluruh manusia, yaitu Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Keyakinan terhadap kebenaran wahyu Allâh kepada para Rasul dan Nabi, merupakan fondasi agama yang utama. Mengingkari keberadaan wahyu, atau memahaminya dengan pemahaman menyimpang bisa merobohkan agama dari akarnya. Oleh karena itu pada edisi ini –insya Allâh- akan kami sampaikan tentang masalah seputar wahyu, semoga Allâh Azza wa Jalla memberikan pemahaman yang benar dan baik kepada kita semua dalam masalah besar ini.

MAKNA WAHYU
Secara bahasa lafazh wahyu dan pecahannya disebutkan sebanyak 78 kali dalam al-Qur’ân (Mu’jam alfâzhil Qur’ân, bagian: Wawu Ha’ Ya’ , karya Syaikh Muhammad Fuad Abdul Baqi)

Para Ulama ahli bahasa Arab telah menjelaskan makna wahyu menurut bahasa Arab dalam kitab-kitab mereka, antara lain.

• Imam Ibnul Manzhûr rahimahullah berkata, “Wahyu adalah pemberitahuan secara tersembinyi atau rahasia.” (Lisânul ‘Arab, bagian: Wawu Ha’ Ya’ )

• Imam al-Fairuz Abâdi rahimahullah berkata, “Wahyu adalah isyarat, penulisan, yang ditulis, risalah, ilham, perkataan yang samar, dan semua yang engkau beritahukan kepada orang lain.” (Qâmûs al-Muhîth, bagian: Wawu Ha’ Ya’)
Sementara didalam al-Qur’ân, makna wahyu secara lughawi (bahasa Arab) juga digunakan, antara lain sebagai berikut:

1. Wahyu Allâh Azza wa Jalla kepada ibu Nabi Musa Alaihissalam (al-Qashash/28:7). Wahyu dalam ayat ini artinya ilham.

2. Wahyu Allâh Azza wa Jalla kepada lebah (an-Nahl/16:68). Wahyu dalam ayat ini artinya ilham atau insting kepada binatang.

3. Wahyu Nabi Zakaria Alaihissallam kepada kaumnya (Maryam/19:11). Wahyu dalam ayat ini artinya isyarat cepat dengan rumus.

4. Wahyu setan kepada orang-orang kafir (al-An’âm/6:121). Wahyu dalam ayat ini artinya bisikan setan untuk menyesatkan manusia.

5. Wahyu Allâh kepada para malaikat (al-Anfâl/8: 12). Wahyu dalam ayat ini artinya perintah Allâh Azza wa Jalla .

WAHYU SECARA ISTILAH SYARIAT
Ada beberapa ta’rîf yang disebutkan Ulama tentang makna wahyu, walaupun dengan kalimat yang berbeda-beda namun hakekatnya sama. al-Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan, “Di dalam istilah agama wahyu adalah pemberitahuan dengan syari’at. Dan terkadang istilah wahyu dimaksudkan sebagai obyeknya, yaitu yang diwahyukan, yaitu perkataan Allâh yang diturunkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ”. [Fathul Bâri, 1/14-15]

Di antara ta’rif yang cukup mewakili adalah perkataan imam lain az-Zarqani rahimahullah. Beliau menyatakan bahwa wahyu adalah, "Pemberitahuan Allâh kepada hamba pilihan-Nya akan semua perkara yang ingin Dia tunjukkan kepada hamba tersebut yang berupa hidayah dan ilmu, dengan cara rahasia dan tersembunyi, tidak biasa (terjadi) pada manusia.” [Manâhilul ‘Irfân, 1/63, karya az-Zarqani]

Dengan penjelasan ini kita mengetahui bahwa wahyu menurut syari’at hanya ditujukan kepada hamba pilihan Allâh, yaitu para Nabi atau Rasul. Oleh karena itu seseorang tidak bisa berusaha mendapatkan wahyu, sebagaimana anggapan sesat sebagian ahli filsafat atau orang-orang yang terpengaruh dengan mereka. Karena wahyu adalah semata-mata anugerah dari Allâh Subhanahu wa Ta’ala .

Dan karena Nabi Muhammad adalah Nabi terakhir, maka semua pengakuan orang tentang adanya wahyu Allâh kepada manusia setelah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat adalah kesesatan dan hawa nafsu. Walaupun sebagian orang menamakan dengan istilah wangsit, petunjuk, atau lainnya, karena perubahan nama tidak mengubah hakekat.

Ini dikecualikan wahyu Allâh kepada Nabi Isa q yang akan turun di akhir zaman, karena hakekatnya beliau diutus sebelum Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

PENGINGKARAN ORANG-ORANG KAFIR DAN BANTAHANNYA
Orang-orang kafir di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingkari wahyu Allâh yang turun kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan berbagai alasan. Berikut diantara alasan mereka dan sekaligus bantahannya:

1. Sebagian orang-orang kafir mengatakan bahwa al-Qur’ân hanyalah buatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri dengan usahanya, lalu beliau berdusta dengan menyatakannya sebagai wahyu Allâh Azza wa Jalla .

Bantahan:
Kalau Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam membuat al-Qur’ân sendiri, kenapa para ahli bahasa Arab, para penyair, dan para ahli filsafat, tidak membuat seperti al-Qur’ân ? Padahal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menantang mereka, dan menanti selama 23 tahun ? Ketidakmampuan mereka menunjukkan kedustaan mereka. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

أَمْ يَقُولُونَ تَقَوَّلَهُ ۚ بَلْ لَا يُؤْمِنُونَ﴿٣٣﴾فَلْيَأْتُوا بِحَدِيثٍ مِثْلِهِ إِنْ كَانُوا صَادِقِينَ

Ataukah mereka mengatakan, "Dia (Muhammad) membuat-buatnya". Sebenarnya mereka tidak beriman. Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal al-Qur'ân itu jika mereka orang-orang yang benar. [ath-Thûr/52: 33-34]

Bahkan Nabi Muhammmad Shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakan ayat Allâh yang menantang mereka untuk membuat satu surat seperti al-Qur’ân, dan menetapkan ketidak mampuan mereka. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَىٰ عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ وَادْعُوا شُهَدَاءَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ ﴿٢٣﴾ فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا وَلَنْ تَفْعَلُوا فَاتَّقُوا النَّارَ الَّتِي وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ ۖ أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ

Jika kamu (tetap) ragu tentang al-Qur'ân yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal al-Qur'ân itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allâh, jika kamu orang-orang yang benar. Maka jika kamu tidak dapat membuat(nya), dan pasti kamu tidak akan dapat membuat(nya), peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, (neraka itu) telah disediakan bagi orang-orang kafir. [al-Baqarah/2:23-24]

Demikian juga Allâh Azza wa Jalla menjelaskan bahwa seandainya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdusta atas nama Allâh, maka Allâh Azza wa Jalla pasti sudah menghukumnya, dan tidak ada seorangpun yang bisa menolongnya. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَلَوْ تَقَوَّلَ عَلَيْنَا بَعْضَ الْأَقَاوِيلِ﴿٤٤﴾لَأَخَذْنَا مِنْهُ بِالْيَمِينِ﴿٤٥﴾ثُمَّ لَقَطَعْنَا مِنْهُ الْوَتِينَ﴿٤٦﴾فَمَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ عَنْهُ حَاجِزِينَ﴿٤٧﴾وَإِنَّهُ لَتَذْكِرَةٌ لِلْمُتَّقِينَ

Seandainya dia (Muhammad) mengadakan sebagian perkataan (dusta) atas (nama) Kami, niscaya benar-benar Kami pegang Dia pada tangan kanannya [Kami beri tindakan yang sekeras-kerasnya], kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya. Maka sekali-kali tidak ada seorangpun dari kamu yang dapat menghalangi (Kami), dari pemotongan urat nadi itu. Dan sesungguhnya Al Quran itu benar-benar suatu pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa. [al-Hâqqah/69: 44-48]

2. Sebagian orang-orang kafir mengatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdusta atas nama Allâh.

Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

وَعَجِبُوا أَنْ جَاءَهُمْ مُنْذِرٌ مِنْهُمْ ۖ وَقَالَ الْكَافِرُونَ هَٰذَا سَاحِرٌ كَذَّابٌ

Dan mereka heran karena mereka kedatangan seorang pemberi peringatan (Rasul) dari kalangan mereka; dan orang-orang kafir berkata, "Ini adalah seorang ahli sihir yang banyak berdusta." [Shaad/38: 4]

Bantahan:
Tuduhan mereka ini sesungguhnya telah terbantah dengan beberapa hal di bawah ini:

a. Pernyataan mereka sendiri sebelum Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam diangkat sebagai utusan Allâh. mereka mengatakan bahwa beliau orang yang amanah dan jujur. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata kepada mereka :

أَرَأَيْتُمْ لَوْ أَخْبَرْتُكُمْ أَنْ خَيْلاً بِالوَادِي تُرِيْدُ أَنْ تُغِيْرَ عَلَيْكُمْ، أَكُنْتُمْ مُصَدِّقِيَّ ؟

'Apa pendapat kalian jika kuberitahukan kepada kalian bahwa satu pasukan berkuda Di balik lembah ini akan menyerang kalian, apakah kalian akan mempercayaiku ?

قَالُوْا مَاجَرَبْنَا عَلَيْكَ كَذِباً

Mereka menjawab: “Tentu, karena kamu tidak pernah berdusta”. [HR. Bukhâri, no. 4770]

b. Pertanyaan kaisar Heraklius kepada Abu Sufyân yang ketika itu masih kafir tentang keadaan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Apakah kamu menuduhnya berdusta sebelum dia mengatakan apa yang dia katakan (bahwa dia adalah seorang Nabi) ?”, Abu Sufyân menjawab, “Tidak”. Kemudian di akhir pembicaraan kaisar Heraklius berkata.

مَا كَانَ لِيَدَعَ الْكَذِبَ عَلَى النَّاسِ وَيَكْذِبُ عَلَى اللهِ

“Tidaklah seseorang selalu meninggalkan dusta kepada manusia, lalu dia berdusta atas (nama) Allâh”. [HR. Bukhâri, no. 7]

c. al-Walid bin Mughirah, seorang tokoh kafir Quraisy, menolak dengan tegas kemungkinan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdusta atas (nama) Allâh, dia berkata.

وَتَزْعَمُوْنَ أَنَّهُ كَذَابٌ، فَهَلْ جَرَبْتُمْ عَلَيْهِ شَيْئاً مِنَ الْكَذِبِ؟ فَقَالُوْا: لاَ

“Kamu mengatakan bahwa dia (Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) pendusta, apakah kamu pernah mendapatinya berdusta sedikit saja ?”, mereka menjawab, “Tidak”

3. Sebagian orang-orang kafir mengatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diajari oleh seseorang lalu beliau menyatakannya sebagai wahyu Allâh Azza wa Jalla . Allâh Azza wa Jalla menyebutkan perkataan mereka dan sekaligus membantahnya. Allâh Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

وَلَقَدْ نَعْلَمُ أَنَّهُمْ يَقُولُونَ إِنَّمَا يُعَلِّمُهُ بَشَرٌ ۗ لِسَانُ الَّذِي يُلْحِدُونَ إِلَيْهِ أَعْجَمِيٌّ وَهَٰذَا لِسَانٌ عَرَبِيٌّ مُبِينٌ

Dan sesungguhnya Kami mengetahui bahwa mereka berkata, "Sesungguhnya al-Qur'ân itu diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad)". Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya bahasa 'ajam (selain bahasa Arab), sedang al-Qur'ân adalah dalam bahasa Arab yang terang. [an-Nahl/16:103]

Yakni mereka menuduh bahwa al-Qur’ân yang didakwahkan oleh Nabi Muahammad n adalah berasal dari pengajaran seorang budak non Arab, padahal budak tersebut tidak tahu bahasa Arab, atau mengetahui sedikit bahasa Arab sekadar menjawab pertanyaan yang sangat diperlukan. Maka Allâh membantah mereka, bagaimana mungkin Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang membawa al-Qur’ân yang sempurna kefasihannya, ketinggian bahasanya, dan maknanya, belajar kepada orang non Arab ?! Orang yang menuduh demikian benar-benar tidak memiliki akal sedikitpun!

4. Sebagian orang-orang kafir mengatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang yang gila.
Ini merupakan tuduhan yang tidak masuk akal, sehingga memang tidak pantas dihiraukan. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

أَنَّىٰ لَهُمُ الذِّكْرَىٰ وَقَدْ جَاءَهُمْ رَسُولٌ مُبِينٌ﴿١٣﴾ثُمَّ تَوَلَّوْا عَنْهُ وَقَالُوا مُعَلَّمٌ مَجْنُونٌ

Bagaimanakah mereka dapat menerima peringatan, padahal telah datang kepada mereka seorang Rasul yang memberi penjelasan, kemudian mereka berpaling darinya dan berkata, "Dia adalah seorang yang menerima ajaran (dari orang lain) lagi pula seorang yang gila." [ad-Dukhân/44:13-14]

Dalam ayat lain Allâh Azza wa Jalla berfirman.

وَيَقُولُونَ أَئِنَّا لَتَارِكُو آلِهَتِنَا لِشَاعِرٍ مَجْنُونٍ﴿٣٦﴾بَلْ جَاءَ بِالْحَقِّ وَصَدَّقَ الْمُرْسَلِينَ

"Dan mereka berkata, "Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami karena seorang penyair gila?" Sebenarnya dia (Muhammad) telah datang membawa kebenaran dan membenarkan Rasul-rasul (sebelumnya). [Ash-Shaaffat/37: 36-37]

Bantahannya:
Jika beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam seorang yang gila, kenapa mereka menjadikannya sebagai hakim ketika menghadapi masalah penting, yaitu meletakkan Hajar Aswad di tempatnya ketika membangun Ka’bah ? Demikian juga tuduhan mereka bahwa selain gila, beliau juga seorang yang diajar oleh orang lain, dan beliau juga seorang penyair, bukankah ini tuduhan kontradiksi ? Tuduhan yang tidak perlu didengar. Barangsiapa siapa memperhatikan al-Qur’ân, maka dia akan mengetahui bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah datang membawa kebenaran yang nyata.

5. Sebagian orang-orang kafir mengatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang penyair.

Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

أَمْ يَقُولُونَ شَاعِرٌ نَتَرَبَّصُ بِهِ رَيْبَ الْمَنُونِ ﴿٣٠﴾ قُلْ تَرَبَّصُوا فَإِنِّي مَعَكُمْ مِنَ الْمُتَرَبِّصِينَ

Bahkan mereka mengatakan, "Dia adalah seorang penyair yang kami tunggu-tunggu kecelakaan menimpanya". Katakanlah, "Tunggulah, maka sesungguhnya akupun termasuk orang yang menunggu (pula) bersama kamu." [Ath-Thuur/52: 30-31]

Bantahan:
Sesungguhnya terdapat banyak perbedaan antara al-Qur’ân yang dibawa oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sya’ir. Seandainya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam benar seorang penyair tentu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan mendekati para penyair dan duduk bersama mereka. Namun yang terjadi adalah sebaliknya, beliau mencela mayoritas para penyair, sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :

وَالشُّعَرَاءُ يَتَّبِعُهُمُ الْغَاوُونَ﴿٢٢٤﴾أَلَمْ تَرَ أَنَّهُمْ فِي كُلِّ وَادٍ يَهِيمُونَ﴿٢٢٥﴾وَأَنَّهُمْ يَقُولُونَ مَا لَا يَفْعَلُونَ﴿٢٢٦﴾إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَذَكَرُوا اللَّهَ كَثِيرًا وَانْتَصَرُوا مِنْ بَعْدِ مَا ظُلِمُوا ۗ وَسَيَعْلَمُ الَّذِينَ ظَلَمُوا أَيَّ مُنْقَلَبٍ يَنْقَلِبُونَ

Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. Tidakkah kamu melihat bahwasanya mereka mengembara di tiap- tiap lembah, dan bahwasanya mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakan(nya)? kecuali orang-orang (penyair-penyair) yang beriman dan beramal saleh dan banyak menyebut Allâh dan mendapat kemenangan sesudah menderita kezaliman. Dan orang-orang yang zalim itu kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali. [Asy-Syu’ara/26: 224-227]

Yakni mayoritas para penyair adalah para pendusta, sehingga tidak pantas jika al-Qur’ân dianggap sebagai sya’ir. Oleh karena itu Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

وَمَا عَلَّمْنَاهُ الشِّعْرَ وَمَا يَنْبَغِي لَهُ ۚ إِنْ هُوَ إِلَّا ذِكْرٌ وَقُرْآنٌ مُبِينٌ

"Dan Kami tidak mengajarkan syair kepadanya (Muhammad) dan bersyair itu tidaklah layak baginya. Al-Qur'ân itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan. [Yâsîn/36: 69]

6. Sebagian orang-orang kafir mengatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang kahin (dukun).
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

فَذَكِّرْ فَمَا أَنْتَ بِنِعْمَتِ رَبِّكَ بِكَاهِنٍ وَلَا مَجْنُونٍ

Maka tetaplah memberi peringatan, dan disebabkan nikmat Rabbmu kamu bukanlah seorang dukun dan bukan pula seorang gila. [ath-Thûr/52:29]

Bantahan:
Kahin (dukun) adalah orang yang memberitakan perkara-perkara yang tersembunyi yang telah terjadi atau perkara-perkara yang akan terjadi. Dan kebanyakan mereka mengambil informasi dari jin, padahal Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak menjelaskan kesesatan dukun. Pertanyaan lain, apakah mungkin seorang dukun membuat suatu kitab yang berisi kebenaran mutlak seperti al-Qur’ân ? Sungguh, tuduhan ini hanyalah tudauhan palsu dan mengada-ngada. Ini mereka lontarkan karena mereka tidak mampu menghadapi argumen-argumen yang dibawa oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

7. Sebagian orang-orang kafir mengatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang penyihir.
Allâh Azza wa Jalla berfirman memberitakan kegelisahan orang-orang kafir dan tuduhan mereka yang membabi-buta. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

أَكَانَ لِلنَّاسِ عَجَبًا أَنْ أَوْحَيْنَا إِلَىٰ رَجُلٍ مِنْهُمْ أَنْ أَنْذِرِ النَّاسَ وَبَشِّرِ الَّذِينَ آمَنُوا أَنَّ لَهُمْ قَدَمَ صِدْقٍ عِنْدَ رَبِّهِمْ ۗ قَالَ الْكَافِرُونَ إِنَّ هَٰذَا لَسَاحِرٌ مُبِينٌ

Patutkah menjadi keheranan bagi manusia bahwa Kami mewahyukan kepada seorang laki-laki di antara mereka, "Berilah peringatan kepada manusia dan gembirakanlah orang-orang beriman bahwa mereka mempunyai kedudukan yang tinggi di sisi Rabb mereka". Orang-orang kafir berkata, "Sesungguhnya orang ini (Muhammad) benar-benar adalah tukang sihir yang nyata". [Yûnus/10: 2]

Bantahan:
Sihir adalah suatu ilmu yang bersumber dari setan, dan sungguh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan bahaya ilmu sihir bahkan kekafiran pelakunya, lalu bagaimana mungkin beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai tukang sihir. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

وَاتَّبَعُوا مَا تَتْلُو الشَّيَاطِينُ عَلَىٰ مُلْكِ سُلَيْمَانَ ۖ وَمَا كَفَرَ سُلَيْمَانُ وَلَٰكِنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ

Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (yaitu mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan lah yang kafir (mengerjakan sihir). mereka mengajarkan sihir kepada manusia. [al-Baqarah/2:102]

Jika Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam benar tukang sihir, maka pasti beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan menjelaskan kesesatan dan kehinaan para tukang sihir.

Dengan berbagai keterangan di atas kita tahu dengan jelas bahwa berbagai tuduhan orang-orang kafir di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah tuduhan-tuduhan dusta dan kontradiksi satu dengan yang lain. Ini semua menunjukkan kelemahan dan kegelisahan mereka menghadapi dakwah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Kemudian sebagian tuduhan orang-orang kafir di zaman dahulu itu ternyata dilanjutkan oleh sebagian orang-orang kafir di zaman ini, baik dari kalangan orientalis, atau orang-orang yang terpengaruh dengan perkataan mereka. Namun orang-orang kafir sekarang menutupi tuduhan itu dengan baju ilmiah dan riset, sehingga sebagian kaum Muslimin terpedaya. Oleh karena itu hendaklah kita selalu waspada dari segala usaha orang-orang kafir untuk menyesatkan umat Islam dari agamanya yang haq. Hanya Allâh Tempat memohon pertolongan.

Ustadz Abu Isma’il Muslim Al-Atsari

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XV/1433H/2012M.]

Menyingkap Syubhat Orientalis Tentang Hadits

Abu Fathan | 21:12 | 0 comments
Tidak di ragukan bahwa Hadits adalah masdar at talaqqi (sumber kedua pengambilan hukum) dalam Islam. Ia adalah wahyu dari Allâh Azza wa Jalla seperti al-Qur'ân. Dan sungguh Hadits yang mulia ini sejak kemunculan Islam telah menghadapi bermacam serangan, celaan dan kritikan dari musuh musuh Allâh dan Rasul-Nya baik dari non Muslim atau orang munafikin. Mereka ingin memadamkan cahaya Islam dengan bermacam makar dan propaganda, akan tetapi Allâh Azza wa Jalla tetap memelihara agama dan menyempurnakan cahaya-Nya.

يُرِيدُونَ لِيُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَاللَّهُ مُتِمُّ نُورِهِ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ

Mereka (orang orang kafir) ingin memadamkan cahaya (agama) Allâh dengan ucapan ucapan mereka, sedang Allâh tetap menyempurnakan cahaya (agama)-Nya sekalipun orang orang kafir tidak senang. [as-Shaf/61:8]

Sejak awal abad 20 Masehi, sungguh Hadits telah menghadapi bermacam hujatan, celaan dan kritikan dari kaum orientalis. Mereka menebarkan bermacam syubhat tentang Hadits dengan tujuan menjauhkan kaum Muslimin dari agama mereka dan menanamkan bermacam keraguan dalam diri kaum Muslimin. Mereka diikuti oleh para neo-orientalis dan kaum munafik yang membeo (pengikut) kepada mereka. Mereka rela menjual akidah dan prinsip agama mereka kepada non Muslim untuk menhancurkan Islam dari dalam dan menggunting kain dalam lipatan.

Diantara tokoh sentral orientalis yang berada dalam barisan terdepan dalam menghujat Islam dan mengkritisi Hadits adalah Ignaz Goldziher (1850–1921 M)[1] seorang Yahudi yang menulis kitab "al-Aqîdah wasy Syarî'ah fil Islâm" dan Joseph Schacht (1902-1969 M)[2] seorang Nasrani berasal dari Inggris, penulis kitab "Ushûl al-Fiqh al-Muhammadi". Karya tulis mereka inilah yang di jadikan sebagai rujukan dan referensi utama oleh dunia barat dalam mengkaji Islam terkhusus di kalangan para orientalis yang datang setelah mereka dan para pembeo (pengikut) mereka yang berasal dari dunia timur yang mempelajari Islam didunia barat, atau yang terkontaminasi dengan pemikiran mereka, terkhusus dalam mengkaji Hadits dan fiqih Islam.

Mereka telah menebarkan bermacam syubhat tentang Islam dan Hadits secara khusus, akan tetapi Allâh Subhanahu wa Ta’ala senatisa menjaga agamanya dan memelihara Hadits Nabi-Nya, dengan membangkitkan para Ulama dari masa kemasa untuk memperjuangkan Hadits dan membentenginya dari bermacam propaganda dan makar musuh Islam. Mereka menepis syubhat-syubhat yang dilancarkan para musuh yang menghujat Hadits, dengan dalil dan hujjah yang nyata dari al-Qur'ân dan Hadits serta logika yang sehat.

Berikut penulis akan sebutkan sebagian syubhat orientalis tentang Hadits, dan bantahan Ulama Islam terhadapnya.

SYUBHAT PERTAMA : Larangan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Dari Menulis Hadits.
Para orientalis dan para pengikut mereka mengatakan bahwa seandainya Hadits tersebut sebagai hujjah atau dalil tentu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menulisnya, dan para shahabat dan tabi'in yang datang sepeninggal beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentu akan melakukan hal itu, sehingga dengan demikian bisa di pastikan validitas atau kebenarannya, sebagaimana al-Qur'ân. Namun kenyataannya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang penulisan Hadits dan memerintahkan untuk menghapus apa yang pernah di tulis, begitu juga para shahabat dan tabi'in sepeninggal beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Bukan hanya itu saja, bahkan sebagian mereka tidak mau menyampaikan hadits atau mengurangi atau menyedikitkan hal itu dan bahkan sebagian yang lain melarang dari memberbanyak menyampaikan dan meriwayatkan hadits.[3]

Mereka menyebutkan dalam hal ini sebagian hadits, seperti hadits (yang artinya), "Janganlah kalian tulis dariku selain al-Qur'ân, barangsiapa yang menulis sesuatu selain al-Qur'ân maka hendaklah ia hapus"

Para orientalis mengatakan bahwa hadits-hadits yang melarang menulis Hadits adalah palsu, hadits tersebut hanya sebagai hasil proses perkembangan agama (idiologi), polotik dan sosial yang muncul dalam Islam, sebagaimana yang di katakan oleh toko orientalis: Ignaz Goldziher[5] .

Jawaban:
Pernyataan diatas adalah pendapat batil dan tidak benar, karena tidak berlandaskan penelitian yang objektif dan ilmiyah. Pendapat itu hanya berlandaskan hawa nafsu dan pemahaman yang salah serta rasa kebencian yang mendalam kepada Islam dan Hadits secara khusus, berikut beberapa argumentasi yang menjelaskan tentang kebatilannya :

Pertama: Tidak diragukan keshahihan hadits Abu Sa'id al-Khudri Radhiyallahu anhu yang meriwayatkan larangan Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari menulis hadits, sebagaimana yang di riwayatkan oleh Imam Muslim dalam shahihnya. Namun para orientalis dan para pengikut mereka menutup mata dan meninggalkan hadits-hadits yang memerintahkan para shahabat dan memotivasi mereka untuk menghapal hadits kemudian menyampaikan dan meriwayatkannya. Pada waktu yang sama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan ancaman keras terhadap kebohongan atas nama beliau, sebagaimana yang terdapat dalam hadits yang shahih, dalam hadits haji wada' beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

أَلَا لِيُبَلِّغْ الشَّاهِدُ الْغَائِبَ فَلَعَلَّ بَعْضَ مَنْ يُبَلَّغُهُ أَنْ يَكُونَ أَوْعَى لَهُ مِنْ بَعْضِ مَنْ سَمِعَهُ

Hendaklah yang hadir menyampaikan (apa yang ia dengar) kepada yang tidak hadir, boleh jadi sebagian yang menerimanya (hadits) lebih memahami (maksud)nya dari pada sebagian orang yang mendengar lansung[6] .

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا حَدِيثًا، فَحَفِظَهُ حَتَّى يُبَلِّغَهُ، فَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ، وَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ لَيْسَ بِفَقِيهٍ

Semogah Allâh menjadikan berseri-seri wajah seseorang yang mendengar dari kami sebuah hadits, lalu ia menghapalnya dan menyampaikannya (kepada orang lain), boleh jadi yang membawa fiqih (ilmu/hadits) menyampaikannya kepada orang yang lebih paham darinya, dan boleh jadi seseorang yang memiliki fiqih (hadits) bukanlah orang yang faqih (yang memahami secara mendalam tentang hadits tersebut, pen.)[7] .

Dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga besabda:

مَنْ حَدَّثَ عَنِّي بِحَدِيثٍ يُرَى أَنَّهُ كَذِبٌ، فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبِينَ

Barangsiapa yang menyampaikan atas namaku sebuah hadits, ia menduga/mengetahui bahwa itu suatu kebohongan, maka ia adalah salah seorang pembohong[8] .

Dan hadits-hadits yang lain yang senada yang memerintahkan untuk menghapal hadits dan menyampaikannya serta perintah untuk berhati-hati dalam hal itu, agar tidak menisbatkan kebohongan dan hadits hadits yang palsu kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Hal ini menjelaskan akan urgensi Hadits dalam Islam, bahwa ia adalah hujjah dan sumber hukum dalam segala perkara agama, bukan hasil proses perkembangan idologi, politik dan sosial yang dialami oleh kaum Muslimin, sebagaimana yang dikatakan oleh para orientalis dan para pembeo (pengikut) mereka.

Kedua: Telah terdapat hadits-hadits yang shahih yang memerintahkan dan mengizinkan untuk menulis hadits, sebagaimana dalam hadits berikut:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو، قَالَ: كُنْتُ أَكْتُبُ كُلَّ شَيْءٍ أَسْمَعُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُرِيدُ حِفْظَهُ، فَنَهَتْنِي قُرَيْشٌ وَقَالُوا: أَتَكْتُبُ كُلَّ شَيْءٍ تَسْمَعُهُ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَشَرٌ يَتَكَلَّمُ فِي الْغَضَبِ، وَالرِّضَا، فَأَمْسَكْتُ عَنِ الْكِتَابِ، فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَأَوْمَأَ بِأُصْبُعِهِ إِلَى فِيهِ، فَقَالَ: «اكْتُبْ فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا يَخْرُجُ مِنْهُ إِلَّا حَقٌّ»

Dari Abdullah Bin Amru beliau berkata: awalnya saya menulis segala sesuatu yang saya dengar dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , saya ingin menghafalnya, lalu kabilah Quraisy melarang saya, seraya berkata, 'Kamu menulis segala sesuatu yang kamu dengar dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sementara beliau adalah manusia, berkata dalam keadaan emosi dan ridho." Lalu saya tinggalkan menulis hadits, kemudian saya sampaikan hal itu kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , lalu beliau menunjuk dengan jari kemulutnya, seraya bersabda, "Tulislah, demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tiada yang keluar darinya kecuali kebenaran"[9] .

Dan dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Tulislah untuk Abu Syah"[10] .

Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berkata: "Tidak seorangpun dari para shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lebih banyak meriwaytkan hadits dari pada saya, kecuali Abdullah Bin Amr Bin Ash, maka sesungguhnya beliau menulis (hadits) dan saya tidak menulis(nya)"[11] .

Dan dari Abdullah Bin Amr Radhiyallahu anhuma , bahwa sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (artinya), "Ikatlah ilmu itu dengan tulisan"[12] .

Begitu juga telah diriwayatkan dari banyak para shahabat dan para tabi'in izin dan perintah untuk menulis hadits, diantara mereka (dari para shahabat): Abdullah bin Amr Bin 'Ash, al-Barâ' bin 'Azib, Umar bin Khaththab, Ali bin Abi Thâlib, Anas bin Mâlik, Jâbir Bin Abdullah dan Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhum [13] .

Adapun dari kalangan Tabi'in seperti: Sa'id Bin Jubair, Mujâhid, 'Athâ bin Abi Rabah, Raja' Bin Haiwah, Nâfi' maula Ibnu Umar, Hasan al-Basri dan yang lain [14] .

Nah, kenapa para orientalis dan para pengikut mereka –yang mengatakan bahwa mereka senantiasa bersikap objektif dan ilmiyah (!)-, kenapa mereka tutup mata dan tidak menukil hadits hadits dan perkataan para shahabat dan tabi'in yang mengizinkan dan memerintahkan untuk menulis dan meriwayatkan hadits, mana sikap objektif dan ilmiyah mereka dalam hal ini, atau mereka hanya bersikap objektif dalam perkara yang sesuai dengan hawa nafsu mereka, dan itulah kenyataannya, jadi pada dasarnya mereka adalah pengekor hawa nafsu.

Kemudian perlu di ketahui bahwa banyak dari para Ulama yang berpendapat bahwa hadits yang mengizikan untuk menulis Hadits telah menasakh (menghapus) hukum hadits yang melarang dari menulisnya, diantara mereka: Imam al-Bagawai dalam Syarhus sunnah (1/294), Ibnu Qutaibah dalam Ta'wîl Mukhtalafil Hadîts (hlm. 286), an-Nawawi dalam Syarah Shahîh Muslim (13/34) bahkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t menukil pendapat ini dari jumhur para ulama [15] .

Ketiga: Adapun perkataan para orientalis bahwa "larangan tersebut menjelaskan bahwa hadits bukanlah hujjah" ini adalah kebatilan yang nyata, sebab para Ulama telah menjelaskan bahwa larangan tersebut bukanlah larangan secara mutlak, akan tetapi karena beberapa faktor, diantaranya:

1. Larangan tersebut khusus tentang penulisan Hadits bersama al-Qur'an dalam satu lembaran, karena di khawatirkan akan terjadi percampurbauran antara al-Qur'an dan Hadits tanpa ada pembeda antara keduanya [16] .

2. Larangan tersebut khusus diwaktu turunnya al-Qur'an, karena di khawatirkan akan tercampur al-Qur'an dengan selainnya, sedangkan izin untuk menulis adalah diwaktu selain itu [17] .

3. Sebab larangan tersebut, karena kekhawatiran akan menyibukkan kaum Muslimin dari memperhatikan al-Qur'an dan lebih mengutamakan Hadits, sehingga akan menyebabkan ditinggalkan al-Qur'an dan di abaikan[18] .

4. Larangan tersebut di sebabkan kekhawatiran munculnya sikap mengandalkan tulisan saja sehingga meninggalkan hapalan, oleh karena imam Ibrahim an-Nakha'I mengatakan: "Tidaklah seseorang menulis kitab (ilmu) kecuali ia akan mengandalkannya"[19] .

Dari apa yang di utarakan jelaslah kebatilan perkataan para orientalis dan para pengikut mereka bahwa faktor yang menyebabkan larangan penulisan hadits adalah Nabi dan para shahabat tidak ingin ada kitab lain bersama al-Qur'an, dan tidak menghendaki Hadits menjadi landasan agama yang universal untuk selamanya seperti al-Qur'an serta menjelaskan bahwa para shahabat melakukan ijtihad dalam menghadapi Hadits dan tidak menerimanya.

Ini adalah pernyataan yang batil dan kesimpulan yang keliru yang jauh dari sikap objektif dan penelitian ilmiyah[20] .

SYUBHAT KEDUA : Keterlambatan Penulisan Hadits.
Para orientalis dan para pengikut mereka mengatakan: Penulisan Hadits baru di lakukan di awal abad kedua hijriyyah, karena yang pertama sekali memerintahkan untuk mengodifikasikan Hadits adalah khalifah Umar Bin Abdulaziz t yang menjabat sebagai khalifah pada tahun 99 H dan meninggal tahun 101 H.

Bahkan tokoh sentral orientalis Ignaz Goldziher mengatakan, "Sesungguhnya bagian terbesar dari hadits tiada lain kecuali hasil proses perkembangan religi (idiologi/pemikiran), politik dan sosial yang muncul pada abad pertama dan kedua, dan sesungguhnya tidak benar apa yang dikatakan bahwa hadits adalah dokumentasi (landasan) Islam pada masa awal kelahirannya, akan tetapi ia adalah peninggalan dari usaha Islam di zaman kematangan atau keemasannya"[21] .

Perkataan Ignaz Goldziher inilah yang di jadikan landasan oleh seluruh para orientalis yang datang sepeninggalnya, terkhusus Joseph Schacht dan para neo orientalis dalam keilmuan dan penelitian mereka tentang Islam [22] .

Dalam hal ini mereka berdalil dengan atsar yang di nukil oleh Imam Bukhâri dalam Shahîh nya. Beliau rahimahullah berkata, "Umar Bin Abdulaziz menulis surat kepada Abu Bakr Ibn Hazm, "Perhatikanlah hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu tulislah (kodifikasikanlah), sesungguhnya saya khawatir hilangnya ilmu dan meninggalnya para Ulama, dan janganlah kamu terima kecuali hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dan hendaklah kalian tebarkan ilmu, dan hendaklah kalian duduk di majlis ilmu agar orang yang tidak tahu menjadi tahu, maka sesungguhnya ilmu tidak akan binasa/hilang kecuali bila di rahasiakan (tidak di tebarkan)"[23]

Jawaban:
Apa yang di katakan para orientalis tentang keterlambatan penulisan Hadits adalah tidak benar. Hal itu disebabkan oleh kejahilan mereka tentang sejarah penulisan Hadits dan pengodifikasiannya serta perkembangannya, dan jauhnya mereka dari sikap ilmiyah dan objektif dalam hal ini, kebatilan tersebut di tinjau dari beberapa sisi:

Pertama: Bahwa mereka tidak memahami hakekat al-kitâbah yaitu: penulisan, at-tadwîn yaitu: pengodifikasian dan at-tashnîf yaitu penyusunan, mereka mencampuradukkan antara ketiga hakekat diatas.

Al-kitabah bukanlah at-tadwîn dan at-tadwîn bukanlah at-tashnîf. Al-kitâbah adalah hanya sekedar penulisan sesuatu tanpa perhatian untuk mengumpulkan lembaran lembaran yang di tulis dalam sebuah kitab, adapun at-tadwîn adalah tahapan yang datang setelah penulisan, yaitu mengodifikasikan lembaran lembaran yang telah di tulis dalam sebuah kitab. Adapun at-tashnîf (penyususnan) lebih khusus dari pengodifikasian, karena ia adalah penyusunan hadits-hadits yang telah di tulis dalam lembaran yang telah di kodifikasikan dalam fasal-fasal tertentu dan bab bab yang terpisah.

Berdasarkan hal ini, maka perkataan para Ulama bahwa awal pentadwinan (pengodifikasian) Hadits adalah pada akhir abad pertama, bukan berarti bahwa Hadits tidak ditulis selama masa itu. Namun maksudnya adalah bahwa Hadits telah ditulis dalam lembaran lembaran yang terpisah dan belum sampai kepada tahapan pengodifikasian (pengumpulan)nya dalam kitab khusus.

Inilah yang tidak dipahami oleh orientalis dan para pengikut mereka. Mereka memahami bahwa penulisan sama dengan pengodifikasian. Dari sini jelaslah kekeliruan orang yang memahami perkataan, "Orang yang pertama sekali mentadwin ilmu/Hadits adalah Imam Ibnu Syihab az-Zuhri" dengan orang yang pertama sekali menulis hadits adalah Imam az-Zuhri. Ini jelas kekeliruan yang nyata, karena penulisan bukan pengumpulan atau pengodifikasian.

Jadi perkataan di atas harus dipahami dan di terjemahkan dengan benar, yaitu orang yang pertama sekali mengodifaksikan lembaran lembaran hadits yang telah ditulis dan menyusunnya adalah imam az Zuhri rahimahullah[24]

Barangsiapa yang memprhatikan perkataan para Ulama dalam perkara ini maka akan jelas baginya bahwa maksud mereka adalah pengodifikasian bukan penulisan, seperti perkataan Hafidz Ibnu Hajar berikut:

أَوَّلُ مَنْ دَوَّنَ الْحَدِيْثَ ابْنُ شِهَابٍ الزُّهْرِيُّ عَلَى رَأْسِ المِائَةِ بِأَمْرِ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيْزِ، ثُمَّ كَثُرَ التَّدْوِيْنُ ثُمَّ التَّصْنِيْفُ، وَحَصَلَ بِذَلِكَ خَيْرٌ كَثِيْرٌ

Orang yang pertama sekali mentadwin (mengodifikasikan) hadits adalah Ibnu Syihab az-Zuhri pada awal tahun 100 (awal abad kedua hijriyah) berdasarkan perintah Umar Bin Abdulaziz, kemudian setelah itu bertambah banyak mengodifikasian kemudian penyusunan, dan dengan demikian terwujudlah kebaikkan yang banyak [25] .

Kedua: Bahwa khalifah Umar Bin Abdulaziz rahimahullah tatkala memerintahkan untuk mengodifikasiakan Hadits, bukan bearti beliau memulai dari sesuatu yang tidak ada. Beliau telah berpegang kepada lembaran-lembaran hadits yang telah ditulis sebelumnya di zaman Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah tersebar di seluruh penjuru dunia Islam tatkala itu. Ini adalah kenyataan ilmiyah dan bukti historis yang tidak bisa di pungkiri oleh orang orang yang bersikap ilmiyah dan objektif dalam penelitiannya.

Ketiga: Kenyataan diatas di perkuat oleh bukti sejarah yang otentik tentang penulisan Hadits dalam lembaran lembaran yang terpisah yang ada pada zaman para shabahat, berikut beberapa contoh tentang hal itu:

1. Perkataan Abu Hurairah Radhiyallahu anhu : Tatkala Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menaklukan kota Makkah, beliau berdiri di hadapan manusia seraya berkhutbah, lalu salah seorang dari penduduk Yaman, namanya Abu Syah bertanya kepada beliau: Wahai Rasulullah, tulislah untukku, beliau bersabda: "Tulislah untuk Abu Syah"[26] .

2. Begitu juga tulisan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memuat tentang sedekah, diyah, kewajiban agama dan Hadits Haditsnya yang beliau kirimkan kepada Amru Bin Hazm tatkala di utus ke negeri Yaman[27] .

3. Tulisan Abu Bakar ash-Shiddiq Radhiyallahu anhu kepada Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu tatkala beliau mengutusnya ke Bahrain, tentang kewajiban kewajiban sadakah/zakat yang telah di jelaskan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam [28] .

4. Tulisan Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhu yang beliau kirimkan kepada 'Utbah bin Farqad yang berada di Azerbejan yang berisi larangan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang larangan memakai kain sutera bagi lelaki, kecuali seukuran jari telunjuk dan jari tengah [29] .

5. As-Shahifah ash shadiqah (lembaran lembaran hadits yang autentik) ditulis dan di kumpulkan oleh Abdullah Bin Amru bin al 'Ash Radhiyallahu anhuma yang beliau dengar dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Sekalipun tulisan asli beliau tidak di temukan, akan tetapi kandungannya tetap terjaga utuh sebagaimana yang terdapat dalam musnad Imam Ahmad [30]. Kendati demikian ini tidak mengurai keabsahan shahifah tersebut karena ia pada dasarnya adalah hasil dari riwayat hadits yang beliau dengar dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sebagaimana yang terdapat dalam pernyataan beliau, "Awalnya saya menulis segala sesuatu yang saya dengar dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , saya ingin menghafalnya, laku kabilah Quraisy melarang saya, seraya berkata: kamu menulis segala sesuatu yang kamu dengar dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sementara beliau adalah manusia, berkata dalam keadaan emosi dan ridho, lalu saya tinggalkan menulis hadits, kemudian saya sampaikan hal itu kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , lalu beliau menunjuk dengan jari kemulutnya, seraya bersabda: "Tulislah, demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tiada yang keluar darinya kecuali kebenaran"[31] .

6. Ash shahifah ash shahihah yang di tulis oleh Hammam Bin Munabbih, suami anak perempuan Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , yang beliau tulis di hadapan Abu Hurairah. Shahifah ini memiliki keistimewahan khusus dalam pengodifakasian Hadits, sebab ia –alhamdulillah- masih di temukan dalam keadaan utuh sebagaimana yang diriwayatkan dan di tulis oleh Hammam Bin Munabbih dari Abu Hurairah langsung, maka pantaslah ia di namakan dengan "ash shahifah as-Shahîhah"[32] sebagaimana halnya dengan "ash shahifah ash-shadiqah" yang ditulis oleh Abdullah Bin Amru Bin Ash.

Itulah sebagian dari lembaran lembaran yang di tulis di zaman para shahabat yang memuat hadits hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dan masih banyak di lembaran lembaran yang lain yang di tulis oleh para shahabat Radhiyallahu anhum [32] . Hal ini menjelaskan kepada kita kebatilan pernyataan para orientalis bahwa Hadits baru ditulis di awal abad kedua hijriyah.

Hal ini juga menjelaskan kepada kita kebatilan perkataan orientalis bahwa Hadits adalah hasil proses perkembangan idiologi atau pemikiran, politik dan social atau budaya dalamkehidupan kaum Muslimin, bukan wahyu dan syari'at yang di turunkan oleh Allâh dan yang di ajarkan oleh Rasul kepada umatnya. Ini juga menjelaskan kebatilan ucapan yang senada yang dikatakan oleh neo orientalis bahwa Islam itu adalah budaya arab, bukan konsep atau sistim kehidupan yang relepan dengan zaman sekarang (!) atau kalimat yang senada dengannya, mereka pada dasarnya hanya membeo kepada para orientalis yang telah nyata kebencian mereka terhadap Islam, nah masih adakah dari kalangan mereka orang orang yang berfikir dengan objektif dan bersikap ilmiyah dalam penelitian mereka, jauh dari sikap tendensial dan fanatisme golongan??

SYUBHAT KETIGA: Periwayatan Hadits Dengan Makna.
Mereka mengatakan: Keterlambatan penulisan Hadits menimbulkan dampak negatif yang besar terhadap Hadits itu sendiri. Kondisi ini menyebabkan munculnya periwayatan Hadits dengan makna, sehingga metodelogi ini menjadi kaedah dasar yang invariabel yang diakui di kalangan Ulama hadits, sehingga menyebabkan perhatian mereka terhadap makna lebih besar dari perhatian terhadap lafal hadits. Sehingga hilanglah keaslian lafal-lafal hadits dan maknanya yang menyebabkan para ahli nahwu atau bahasa tidak berdalil dengan lafal-lafal hadits nabawi dalam menetapkan bahasa dan kaedah kaedah nahwu, karena kekhawatiran bahwa lafal-lafal tersebut telah di warni oleh kepribadian para perawi.[34]

Jawaban:
Pernyataan di atas juga tidak benar, jauh dari penelitian yang objektif dan ilmiyah, berdasarkan beberapa poin berikut:

Pertama : Periwayatan dengan makna bukanlah kaedah dasar dalam meriwayatkan hadits menurut Ulama hadits, bahkan yang menjadi kaedah dasar dalam hal ini adalah periwayatan hadits dengan lafadznya. Diantara bukti nyata yang menjelaskan hal ini adalah perbedaan pendapat para Ulama tentang hukum meriwayatkan hadits dengan makna kepada dua pendapat :

1. Periwayatan hadits dengan makna tidak diperbolehkan bagi orang yang tidak memahami makna dan maksud lafadz dalam bahasa arab, dan tidak mengetahui sinonim kata. Ini adalah perkara yang wajib tanpa ada perbedaan di kalangan Ulama. Karena orang yang tidak mengetahui hal tersebut tentu akan salah dalam meriwayatkannya. Adapun orang yang mengetahui makna dan maksud lafadz-lafadz bahasa arab dan perbedaannya, maka para Ulama salaf, ahlul hadits dan para fuqaha berbeda pendapat tentang hukumnya, mayoritas mereka membolehkan hal itu (meriwayatkan dengan makna) jika ia memastikan mampu menyampaikan makna lafadz hadits yang ia dengar.

2. Melarang meriwayatkan hadits dengan makna secara mutlak, bahkan wajib menukilkan lafadz hadits sebagaimana aslinya, tanpa ada pebedaan antara orang yang mengetahui makna lafadz atau tidak. Ini adalah pendapat mayoritas salaf, orang orang yang teliti dalam periwayatan hadits, dan ia adalah pendapat imam Malik dan mayoritas ahlulhadits dan Zhahiriyyah.

Jadi hukum asal periwayatan hadits adalah periwayatan dengan lafadz bukan dengan makna, adapun periwayatan dengan makna adalah cabang bukan asal, dan itupun hanya bagi orang yang menguasai dan memahami makna lafadz hadits, bukan secara mutlak[35] .

Kedua : Kendati hukum asal periwayatan hadits adalah dengan makna menurut pendapat para orientalis dan para pengikut mereka, akan tetapi tentu tidak akan menimbulkan dampak negatif yang besar terhadap hadits itu sendiri sebagaimana yang mereka bayangkan dan katakan, yaitu hilangnya kepercayaan terhadap keabsahan lafadz hadits dan maknanya. Karena perbedaan lafadz hadits-hadits nabawi tidak di sebabkan oleh periwayatan hadits dengan makna saja, akan tetapi ada factor-faktor yang lain yang menyebabkan hal itu, seperti perbedaan waktu dan tempat, kejadian dan kondisi, orang yang mendengar dan yang meminta fatwa, para utusan yang datang dan yang di utus, dan yang lain. Berdasarkan perbedaan tersebut maka berbeda pula jawaban dan lafadz hadits yang di sampaikan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Ketiga : Kemudian pernyataan mereka bahwa tidak seorangpun dari ahli bahasa dan nahwu dari kalangan mutaqaddimin berdalil dengan hadits. Seandainya ini benar bukan berarti mereka tidak membolehkan berdalil dengan hadits dalam penetapan kaedah bahasa Arab dan bukan juga karena ketidakabsahan berdalil dengan hadits dalam hal ini, akan tetapi karena ketidaktahuan mereka tentang hadits yang marfu' yang shahih dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , karena keterbatasan ilmu mereka dalam hal ini.

Akan tetapi hakekat keilmiyah menjelaskan kesalahan pernyataan diatas, karena para Ulama yang pakar bahasa dan ahli nahwu telah berdalil dengan hadits dalam menetapkan ilmu bahasa dan nahwu, seperti imam Ibnu Mâlik yang pakar nahwu dan ahli hadits. Beliau banyak berdalil dalam hadits dalam disiplin ilmu ini, oleh karena itu ash-Shafadi mengatakan, "Ibnu Malik adalah seorang yang alim dalam memutala'ah/mengkaji hadits, beliau sangat banyak berdalil (tentang nahwu/bahasa, pen.) dengan al Qur'an, jika ia tidak menemukan didalamnya dalil, maka beliau berpindah ke hadits, jika beliau tidak menemukan dalil dalam hadits maka beliau berpindah ke syi'ir syi'ar arab"[36] .

Jadi jelaslah kebatilan pernyataan diatas bagi orang orang yang masih perfikir dengan objektif dan besikap ilmiyah, akan tetapi para pengekor hawa nafsu tentu berpaling dari kebenaran dan hakekat yang valid [37] .

SYUBHAT KEEMPAT : Banyaknya Muncul Pemalsuan Dan Para Pemalsu Hadits Yang Menyebabkan Berkurangnya Kepercayaan Terhadap Hadits.
Mereka mengatakan, bahwa diantara dampak negatif dari keterlambatan penulisan hadits setelah abad pertama hijriyyah adalah terbuka luas pintu periwayatan dan pemalsuan hadits tanpa batas dan aturan. Semenjak fitnah terbunuhnya khalifah Utsman Bin Affan Radhiyallahu anhu sehingga jumlah hadits-hadits palsu yang berkembang telah melebihi puluhan ribu yang masih banyak terdapat dalam literatur literatur dan kitab kitab hadits yang ada di tangan kaum Muslimin di belahan dunia timur dan barat, yang menyebabkan berkurangnya kepercayaan terhadap keshahihan/keabsahan hadits dan menjadikan seseorang tidak percaya dengan Hadits [38] .

Kesimpulan dari syubhat ini adalah bahwa mereka mengingkari keberadaan Hadits sebagai hujjah dalam penetapan hukum dan mencela kredibilitas dan kejujuran para perawi hadits yang hidup di ketiga kurun yang mulia yaitu para shahabat, tabi'in dan tabi' tabi'in rahimahumullah.

Jawaban:
Pernyataan diatas jelas merupakan kebatilan dan kebohongan yang nyata, kesimpulan yang jauh dari penelitian yang ilmiyah dan sikap yang objektif, hal ini terlihat dari beberapa poin berikut :

Pertama : Tidak di pungkiri bahwasanya telah muncul para pembohong dan para pemalsu hadits yang membuat hadits-hadits palsu. Mereka menisbatkannya kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menebarkan bermacam fitnah. Namun para orientalis pura-pura bodoh atau mereka benar-benar bodoh tentang hakekat sejarah yang mewarnai dan mendominasi kehidupan kaum Muslimin tentang Hadits nabawiyyah. Karena betapa banyak para perawi hadits yang amanah dan jujur serta memiliki kredibilitas yang tinggi, begitu juga para Ulama hadits yang memiliki loyalitas besar kepada Hadits yang membentengi dan menjaga hadits-hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan benteng yang kuat yang tidak mampu di tembus oleh para pemalsu dan pembohong. Sehingga para Ulama hadits dengan taufik Allâh, kemudian dengan keilmuan yang luas, kejelian, kesungguhan dan kesabaran, mereka mampu menyingkap kedok para pembohong dan membongkar niat jelek mereka dan menepis segala proganda dan makar yang mereka lancarkan untuk menghancurkan Islam, sehingga tidak tertinggal sedikitpun peluang bagi para pemalsu dan pembohong untuk mempermiankan Hadits dan menodai kesuciannya. Sehingga muncullah banyak karya para Ulama yang mengupas dan menyingkap tentang prihal para pemalsu dan hadits hadits palsu[39] .

Kedua : Adapun perkataan para orientalis bahwa pemalsuan hadits telah muncul sejak zaman nabi dan pemalsuan tersebut di lakukan oleh para shahabat, maka ini jelas suatu kebohongan yang nyata, dan para shahabat berlepas diri dari kedustaan ini. Karena kondisi dan prihal para shahabat yang hidup bersama Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah mendapatkan rekomendasi dari Allâh dan Rasul-Nya, yang telah mengorbankan jiwa raga dan harta mereka untuk meperjuangkan agama Allâh, kecintaan kepada Allâh dan Rasul-Nya telah menyatu dengan darah dan daging mereka, mustahil dengan keadaan yang seperti ini mereka akan berbohong atas nama Allâh dan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sedang mereka telah mendengar dan membaca ayat ayat al-Qur'an dan hadits hadits nabawiyyah yang mengancam para pembohong dengan azab yang sangat pedih, seperti firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :

فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ كَذَبَ عَلَى اللَّهِ وَكَذَّبَ بِالصِّدْقِ إِذْ جَاءَهُ

Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat-buat dusta terhadap Allâh dan mendustakan kebenaran ketika datang kepadanya? [az-Zumar/39:32]

Dan firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :

قُلْ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُونَ

Katakanlah: "Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allâh tidak beruntung [Yunus/10:69]

Dan sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mutawatir :

مَنْ كَذَّبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

Barangsiapa yang sengaja berbohong atas namuku, maka ia telah menyiapkan tempat duduknya di neraka[40] .

Ketiga : Para Ulama berbeda pendapat kapan munculnya pemalsuan hadits, kepada dua pendapat:

1. Pemalsuan hadits muncul di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
2. Pemalsuan hadits muncul tatkala munculnya fitnah yang di kobarkan apinya oleh orang orang yang benci kepada Islam, dan secara spesifik muncul pada tahun 40 hijriyyah, pasca fitnah yang terjadi antara Ali dan Mu'awiyah Radhiyallahu anhuma . Dan bisa jadi muncul setelah fitnah pembunuhan Khalifah Utsman bin Affân Radhiyallahu anhu .

Terlepas dari pebedaan tersebut, yang jelas tidak mungkin pemalsuan tersebut muncul dari para shahabat g yang di kenal dengan kejujuran, amanah dan loyalitas tinggi terhadap agama dan Hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Adapun yang mengatakan bahwa pemalsuan tersebut muncul di zaman nabi, maka hal ini sama sekali tidak akan menimbulkan keraguan akan kejujuran para shahabat, sebab yang hidup dizaman Rasul juga banyak kaum munafikin yang menyembunyikan kebencian kepada Islam dan kaum Muslimin[41] .

Keempat : Sejak munculnya fitnah, maka para Ulama salaf dan ahli hadits telah melakukan usaha yang optimal dan mengambil langkah-langkah positif untuk menjaga kesucian Hadits dari makar para pemalsu, sehingga mereka sangat berhati hati dalam menerima riwayat, mereka tidak semena mena menerimanya kecuali bila diketahui kejujuran para rawinya dan keshahihan sanadnya, sebagaimana kata Iman Ibnu Sirin rahimahullah :

"لَمْ يَكُونُوا يَسْأَلُونَ عَنِ الْإِسْنَادِ، فَلَمَّا وَقَعَتِ الْفِتْنَةُ، قَالُوا: سَمُّوا لَنَا رِجَالَكُمْ، فَيُنْظَرُ إِلَى أَهْلِ السُّنَّةِ فَيُؤْخَذُ حَدِيثُهُمْ، وَيُنْظَرُ إِلَى أَهْلِ الْبِدَعِ فَلَا يُؤْخَذُ حَدِيثُهُمْ

Dahulunya mereka tidak menanyakan tentang sanad (hadits), maka tatkala terjadi fitnah, mereka mengatakan: sebutkan/jelaskan kepada kami para perawi kalian (sanad hadits), lalu di perhatikan siapa dari kalangan ahlussunnah maka diterima hadits mereka, dan di perhatikan siapa dari kalangan ahlulbid'ah maka tidak di terima hadits mereka"[42] .

Beliau juga mengatakan: "Sesungguhnya ilmu ini adalah agama, maka perhatikanlah dari siapa kalian mengambil agama kalian" [43].

Kelima : Kemudian para ulama telah menentukan persyaratan persyaratan yang sangat ketat dalam merima riwayat hadits dan untuk menentukan keshahihan hadits dari kepalsuannya, yang semuanya itu merupakan penyebab munculnya disiplin ilmu yang merupakan keistimewaan umat ini yang tidak di miliki oleh selain umat Islam, yaitu ilmu "Mushthalah Hadits", keilmuan yang sangat jeli dan teliti yang menjelaskan akan kejeniusan para ulama hadits dan kejelian mereka dalam menentukan kaedah kaedah dasar dalam periwayatan dan menghukumi hadits, ia merupakan benteng yang sangat kokoh untuk menjaga kesucian hadits dari kekotoran tangan tangan para perusak dan penebar fitnah dari kalangan ahlulbid'ah dan zindiq (munafik).

Dari apa yang di utarakan jelaskan kebatilan syubuhat syubuhat para orientalis dan para pembeo (pengikut) mereka dan nyatalah kebohongan mereka, dan bahwasanya hasil penelitian mereka tentang Islam dan Hadits hanya kesalahan belaka karena jauh dari metodelogi yang benar dan sikap yang objektif serta ilmiyah, yang pada hakekatnya hal itu tidaklah muncul dari mereka kecuali karena disebabkan kebencian yang mendalam terhadap Islam dan Hadits.

Oleh karena itu hendaklah kaum muslimin waspada dan berhati hati dari syubuhat syubuhat, makar makar dan propaganda propaganda musuh Islam dari kalangan non Islam dan para pengikut mereka dari kalangan munafikin yang berkedok Islam sementara mereka adalah orang yang telah menjual keislaman yang prinsip akidah mereka kepada musuh musuh Islam, sehingga mereka menjadi boneka boneka para orientalis dalam menghujat Islam dan Hadits, ibarat musuh dalam selimut yang menggunting kain dalam lipatan, Wallahul musta'aan.

Ustadz DR Muhammad Nur Ihsan

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XV/1433H/2012M.]
_______
Footnote
[1]. Lihat biografinya di kitab, al-A'lâm, karangan az-Zirikli (1/84).
[2]. Lihat biografinya di kitab al-'Uyûbul Manhajiyyah fi Kitâbâtil Mustasyriq Syakhat al Muta'alliqah bis Sunnah an Nabwiyyah" karangan Dr. Khalid bin Manshur ad-Durais. (hlm. 5-13).
[3]. Lihat kitab as-Sunnatun Nabawiyyah fi Kitâbât A'dail Islam –Munaqasyatuha war Raddu 'alaiha karangan 'Imad Sayyid Asy Syarbini (1/266).
[4]. HR Muslim dalam Shahihnya no. 3004. Dari hadits Abu Sa'id al-Khudri Radhiyallahu anhu
[5]. Dalam kitabnya al-Aqîdah wasy Syari'ah fil Islam, hlm. 53, 251. Dan lihat kitab as-Sunnatun Nabawiyyah fi Kitâbât A'dail Islam –Munaqasyatuha war Raddu 'alaiha 1/267 dan 348).
[6]. HR Bukhari (no. 7447) dan Muslim (no. 1679).
[7]. HR Abu Daud dalam sunannya no. 3660, dan Tirmizi dalam sunannya no. 2656, beliau berkata: "Hadits hasan".
[8]. Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Muqaddimah Shahihnya (1/8).
[9]. HR Abu Daud dalam Sunannya no. 3646, Ahmad dalam Musnad 2/162 dan al-Hâkim dalam Mustadrak 1/105, Hafidz Ibnu Hajar berkata, "Hadits ini mempunyai beberapa sanad yang saling menguatkan" Lihat : Fathul Bâri 1/250.
[10]. HR Bukhari no. 112 dan 2434 dan Muslim no. 448.
[11]. Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahihnya no. 113.
[12]. HR al-âakim dalama al-Mustadrak 1/106 dan ar-Ramahurmuzi dalam kitab al-Muhadditsul Fâshil, hlm. 365. Dan riwayatkan juga ar Ramahurmuzi dari hadits Anas bin Malik dalam kitab yang sama hal: 368 dan al Khathib al Bagdadi dalam Tarikh Bagdad 10/460, dan sanadnya saling menguatkan, dan dishohihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahîhul Jâmi' no. 4310 dan Silsilah Shahihah no. 2026.
[13]. Lihat perkataan mereka tentang izin menulis hadits dalam Sunnan ad-Darimi" 1/432-438, Taqyîdul Ilm, hlm. 87-98 dan al-Muhadditsul Fâshil, hlm. 370
[14]. Lihat perkataan mereka tentang izin menulis hadits dalam Sunnan ad-Darimi" 1/439-443, Taqyîdul Ilm, hlm. 99 dan al-Muhadditsul Fâshil, hlm. 376. Dan lihat juga kitab as-Sunnatun Nabawiyyah fi Kitâbât A'dail Islam –Munaqasyatuha war Raddu 'alaiha (1/286).
[15]. Lihat Majmû' Fatâwâ 18/318 dan 2/322.
[16]. Lihat Ma'âlimus Sunan (4/183) dan as-Sunnatun Nabawiyyah fi Kitâbât A'dail Islam –Munaqasyatuha war Raddu 'alaiha (1/288).
[17]. Lihat "Zaadul ma'aad" 3/457 dan Fathul bari 1/251.
[18]. Lihat as-Sunnatun Nabawiyyah fi Kitâbât A'dail Islam –Munaqasyatuha war Raddu 'alaiha (1/292-296).
[19]. Lihat : Mukaddimah "sunan ad darimi" 1/139 dan Taqyîdul 'Ilm (hlm. 58-60) dan as-Sunnatun Nabawiyyah fi Kitâbât A'dail Islam –Munaqasyatuha war Raddu 'alaiha (1/297).
[20]. Lihat bantahan terhadap pernyataan dan kesimpulan diatas kitab as-Sunnatun Nabawiyyah fi Kitâbât A'dail Islam –Munaqasyatuha war Raddu 'alaiha (1/302-307).
[21]. Al-Aqîdah wasy Syari'ah fil Islam" hlm. 53, 251, lihat: as-Sunnatun Nabawiyyah fi Kitâbât A'dail Islam –Munaqasyatuha war Raddu 'alaiha (1/348).
[22]. Lihat kitab as-Sunnatun Nabawiyyah fi Kitâbât A'dail Islam –Munaqasyatuha war Raddu 'alaiha (1/348).
[23]. Di riwayatkan oleh Bukhari –ta'liqan- dalam Kitab Ilmu dari Shahihnya 1/234.
[24]. Lihat as-Sunnatun Nabawiyyah fi Kitâbât A'dail Islam –Munaqasyatuha war Raddu 'alaiha (1/350-351).
[25]. Fathul Bâri" 1/251.
[26]. HR Bukhari dalam Shahihnya hadits no. 112.
[27]. HR Nasa'i dalam Sunannya no. 4853-4859 dan Abu Ubadi Qasim bin Sallam dalam kitab al-Amwâl hlm 358-362. Dan lihat Dalâilut Tautsîqil Mubakkir lis Sunnah karangan Dr. Imtiyaaz Ahmad hlm. 368, dan as-Sunnatun Nabawiyyah fi Kitâbât A'dail Islam –Munaqasyatuha war Raddu 'alaiha (1/353).
[28]. H.R Bukhari dalam shohihnya no. 1448, lihat Dirâsât fil Hadîtsin Nabawi wa Târîkh Tadwînihî karya Dr. Muhammad Mustapa Al A'dzami, 1/94. dan as-Sunnatun Nabawiyyah fi Kitâbât A'dail Islam –Munaqasyatuha war Raddu 'alaiha (1/353).
[29]. H.R Bukhari dalam shohihnya no. 5828.
[30]. Lihat Musnad Abdullah bin Amru bin Ash dalam Musnad Imam Ahmad" 2/158 s/d 227.
[31]. H.R Abu Daud dalam sunannya no. 3646, Ahmad dalam Musnad 2/162 dan al-Hâkim dalam Mustadrak 1/105, Hafidz Ibnu Hajar berkata, "Hadits ini mempunyai beberapa sanad yang saling menguatkan" Lihat Fathul Bâri 1/250.
[32]. Shahifah ini diriwayatkan dengan teksnya oleh Imam Ahmad dalam musnadnya 2/312 s/d 319. Dan telah di cetak berulang kali secara tersendiri dengan tahqiq Dr. Muhammad Humaidullah.
[33]. Lihat Dirâsât fil Hadîtsin Nabawi wa Târîkh Tadwînihî karya Dr. Muhammad Mustapa al-A'dzami, 1/92-142.
[34]. Lihat as-Sunnatun Nabawiyyah fi Kitâbât A'dail Islam –Munaqasyatuha war Raddu 'alaiha (1/375).
[35]. Lihat as-Sunnatun Nabawiyyah fi Kitâbât A'dail Islam –Munaqasyatuha war Raddu 'alaiha (1/376).
[36]. Bugyatul Wu'ât fi Thabaqât al Lugawiyyin wan Nuhât karya as-Suyuthi 1/134.
[37]. Lihat as-Sunnatun Nabawiyyah fi Kitâbât A'dail Islam –Munaqasyatuha war Raddu 'alaiha (1/385 s/d 394).
[38]. Lihat as-Sunnatun Nabawiyyah fi Kitâbât A'dail Islam –Munaqasyatuha war Raddu 'alaiha (1/395).
[39]. As-Sunnatun Nabawiyyah fi Kitâbât A'dail Islam –Munaqasyatuha war Raddu 'alaiha (1/399).
[40]. HR Bukhari no. 1291 dan Muslim no. 4.
[41]. Lihat as-Sunnatun Nabawiyyah fi Kitâbât A'dail Islam –Munaqasyatuha war Raddu 'alaiha (1/401-402).
[42]. Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Muqaddimah Shahihnya, hlm. 15.
[43]. Ibid, hal: 14.

Membongkar Akar Orientalisme

Abu Fathan | 18:33 | 0 comments
Setelah Allâh Azza wa Jalla mengutus Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan ajaran ilahi kepada kaum Muslimin. Bangsa Arab khususnya dan kaum Muslimin umumnya menjadi umat yang bersatu seperti bangunan yang kokoh, saling melengkapi dan saling menunjang antar bagiannya. Sehingga tercipta suasana kehidupan mapan, nyaman dan mulia. Kehidupan mulia ini membuat umat-umat non Islam menyimpan kebencian dan hasad. Berlatar belakang kebencian dan dengki ada sebagian orang Yahudi dan Majusi menyebarkan dan memasukkan makar dan tipu daya. Mereka merencanakan konspirasi dengan cermat dan matang untuk menggoyang dan menghancurkan bangunan kokoh umat Islam tersebut.

Pertama kali mereka menanam ranjau-ranjau pada barisan kaum Muslimin dengan menyelundupkan dan membuat makar politik sehingga berhasil membunuh khalifah Utsmân bin Affân Radhiyallahu anhu dan membunuh khalifah Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu sepupu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sekaligus khalifah yang keempat. Makar mereka tidak berhenti sampai disini, mereka terus berusaha merongrong dan menghancurkan barisan kaum Muslimin.

Langkah kedua, setelah berhasil mencerai beraikan barisan kaum Muslimin secara politik, mereka mulai mengokohkan dan menegakkan kelompok-kelompok sesat tersebut dengan menyebarkan aqidah Yahudi, Nashrani dan Majusi serta paganisme yang rusak pada kaum Muslimin. Mereka menguatkan aqidah yang rusak ini dengan melakukan kedustaan atas nama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan membuat hadits-hadits palsu. Melihat gelagat dan prilaku busuk ini, kaum Muslimin tidak tinggal diam. Mereka mulai bangkit untuk melawan dan berusaha menghancurkan makar dan tipudaya mereka ini. Mereka menyatukan barisan setelah al-Hasan bin Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu mengalah dan menyerahkan tumpuk kepemimpinan kaum Muslimin kepada Mu’awiyah bin Abi Sufyân Radhiyallahu anhu . Akhirnya urusan kaum Muslimin mulai teratur kembali dan barisan mereka bersatu lagi secara politik.[1]

Demikianlah umat Islam selalu menghadapi perang fisik dan pemikiran dengan para musuhnya. Para musuh Islam ini ingin menundukkan negara dan merampas tanah kaum muslimin serta aqidah mereka bukan karena dosa dan kesalahan yang diperbuat oleh kaum Muslimin. Gerakan mereka ini semata-mata karena kaum Muslimin menarik manusia kepada aqidah yang menuntun mereka agar beribadah hanya kepada Allâh Azza wa Jalla tidak kepada yang lain. Sebuah Aqidah yang menghormati fithrah dan akal manusia serta membimbing mereka menjadi insan berakhlak mulia dan jauh dari akhlak yang buruk dan rendah.

Meski tujuan Islam itu begitu mulia, namun tetap saja para musuh Islam tidak suka dengan ajaran Islam dan aqidahnya. Kebohongan demi kebohongan terus mereka buat terhadap Islam dan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Mereka mengerahkan segala kemampuan dan perangkat yang mereka miliki baik cetak maupun elektronik, audio maupun visual. Semuanya dikerahkan untuk menyerang kaum Muslimin dan ajaran Islam agar syubhat pemikiran dan kedustaan mereka masuk ke dalam aqidah dan akal pikiran kaum Muslimin.[2]

Salah satu tentara musuh Islam yang menjadi perintis penghancur kesucian dan kemuliaan ajaran Islam dan paling berbahaya bagi para pemuda Islam dan cendikiwan adalah orientalisme dan para tokohnya. Karena mereka bersembunyi dibalik propaganda penelitian ilmiyah yang obyektif dan penuh amanah ilmiyah. Dari sini para tokoh orientalis menulis buku-buku yang berhubungan dengan Islam dan aqidahnya. Sejak lebih dari seratus lima puluh tahun yang lalu hingga kini tokoh-tokoh orientalis telah menerbitkan lebih dari enam puluh ribu buku tentang Islam, kaum Muslimin dan negara mereka, sebagaimana disampaikan DR. Akram Dhiya’ al-Umari dalam buku Mauqif al-Mustasyriqin Minas Sirah was Sunnah, hlm 6-7.

Diantara tokoh-tokoh tersebut adalah Ignaz Goldziher (1850-1921) (197) dalam buku al-Aqîdah wa asy-Syarî’ah fil Islâm dan buku Târîkh Madzâhib at-Tafsîr al-Islâmi[3] . Demikian juga Arent Jan Wensinck (1882-1939) (417) dalam buku Aqîdah Islâmiyah, Nasy’atuha wa Tathawwuruha at-Târîkhi (dalam bahasa Inggris) dan buku Muhammed en de joden te Medina (dalam bahasa Belanda). Sir Hamilton Alexander Raskeen Gibb (1895-1971) (174) dalam buku Mohammedanism dan buku Modern Trends In Islam. Gustave E. Von Grunebaum (1909-1972) (182) dalam bukunya Medieval Islam (al-Islâm Fi al-‘Ashr al-Wasîth) dan buku Muhâwalât Fi Syarhil Islâm al-Mu’âshir.

APA ITU ORIENTALISME?
Para peneliti Islam mendefinisikan orientalisme dengan penelitian atau kajian akademi yang dilakukan non Muslimin dari non Arab baik dari negara timur (asia) ataupun barat terhadap aqidah, syariat, bahasa dan peradaban Islam dengan tujuan membuat keraguan pada agama yang lurus ini dan menjauhkan manusia darinya.[4]

Dengan demikian orientalis (al-mustasyriqûn) adalah istilah umum mencakup kelompok-kelompok non Arab yang bekerja di medan penelitian ilmu ketimuran secara umum dan Islam secara khusus. Tujuan mereka bukanlah untuk ilmu pengetahuan dan pendidikan, akan tetapi tujuannya adalah membuat dan menebar keraguan pada kaum Muslimin terhadap agama mereka. Sehingga kalau kita perhatikan misalnya penelitian mereka seputar al-Qur’ân pasti kita akan dapati kerancuan dan upaya peraguan. Kalaupun tidak ada lafadz yang menunjukkan hal itu dengan terang-terangan, tapi mesti mereka menggunakan ibarat yang samar dan dapat mengakibatkan keraguan.[5]

SECARA RESMI, KAPANKAH ORIENTALISME ITU ADA?[6]
Para peneliti berbeda pendapat tentang sejarah permulaan orientalisme ini, namun secara resmi dimulai dengan terbitnya ketetapan Majma’ (konferensi) gereja Viena pada tahun 1312 H dengan membentuk sejumlah lembaga penelitian bahasa Arab di sejumlah universitas Eropa. Dengan demikian memungkinkan adanya orientalisme ini secara tidak resmi sebelumnya. Oleh karena itu ahli sejarah hampir sepakat bahwa abad ke-13 adalah permulaan orientalis bersifat resmi

Sejak itu, mereka tidak berhenti mempelajari Islam dan bahasa arab dan menterjemahkan makna kandungan al-Qur’an dan sebagian kitab-kitab berbahasa Arab dan sastranya hingga masuk abad ke-18 Masehi. Ternyata sejumlah pakar barat muncul sebagai 0rientalis dan menerbitkan majalah-majalah di seluruh kerajaan dan negara Eropa. Mereka mencari manuskrip-manuskrip berbahasa Arab di negara Arab dan Islam lalu membelinya dari pemilik manuskrip yang kurang mengerti atau mencurinya dari perpustakaan umum. Mereka memindahkannya ke negara dan perpustakaan mereka. Akhirnya sejumlah besar manuskrip berbahasa Arab yang langka pindah ke perpustakaan Eropa hingga pada awal abad ke-19 M didapati dua ratus lima puluh ribu jilid dan ini terus bertambah hingga sekarang ini.

KARAKTERISTIK PEMIKIRAN ORIENTALISME [7]
Orientalisme memiliki karakteristik yang jelas dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pengertian orientalisme. Diantara yang terpenting adalah:

1. Terikat dan berhubungan erat dengan kolonialisme (imperalisme/penjajahan).
Khususnya penjajahan Inggris dan Prancis sejak akhir abad ke-18 hingga akhir perang dunia ke-2. Kemudian berhubungan erat dengan penjajahan Amerika Serikat hingga sekarang. Dimana penjajahan meluas maka meluas juga penelitian orientalisme. Kadah yang tidak dapat disangkal lagi bahwa penjajahan selalu ditemani orientalisme; karena ikatan antara keduanya adalah ikatan anggota bagiannya. Tidak ada satu negara kolonial kecuali memiliki lembaga orientalisme.

2. Terikat dan berhubungan langsung dengan misionaris (gerakan kristenisasi).
Sejarah kristenisasi terikat sekali dengan sejarah orientalisme. Keduanya tidak terpisahkan dalam sejarah kolonialisme politik, pemikiran dan akhlak.

3. Memiliki ikatan dan hubungan erat sekali dengan pembuatan ketetapan politik melawan Islam dan kaum Muslimin.
Perencanaan orientalisme untuk kristenisasi dunia Islam atau penghancurannya membuatnya memiliki ikatan kuat dan erat antara penelitian orientalisme dan pembuatan keputusan politik melawan kaum Muslimin. Banyak sekali orientalis yang dahulu atau sampai sekarang masih menjadi penasehat pemerintah mereka dalam perencanaan politik kolonialisme dan kristenisasi.

Sebagai contoh:
a. Christiaan Snouck Hurgronje (8/2/1857-26/6/1936)[8] Orientalis Belanda ini bekerja sebagai penasehat politik pemerintah Belanda dalam melawan masyarakat Islam Indonesia banyak dikenal masyarakat Indonesia. Disertasinya tentang Het Mekkanche Feest’(Perjalanan Haji ke Mekah). Ia tinggal di Indonesia, sebagai jajahan Belanda hingga 17 tahun dimulai dari tahun 1889 M dengan kedudukan sebagai penasehat pemerintah Belanda di Indonesia. Pertama bekerja selama dua tahun sebagai penasehat pemerintah Belanda di Indonesia dalam masalah Islam dan tinggal di Jawa. Kemudian pada bulan maret 1891 pindah menjadi penasehat dalam bahasa negara timur dan syariat Islam pada kantor pemerintah penjajah Belanda dan tinggal di Aceh pada 1891-1892. Setelah itu ia belajar bahasa melayu dan melakukan perjalanan ke Sumatra hingga menguasai bahasa melayu dengan baik dan menulis buku De Atjehers’ (Penduduk Aceh) dalam dua jilid (1893-1894). Baru pada tahun 1906 ia pulang ke Leiden, Belanda dan diangkat sebagai penasehat pemerintah belanda bidang urusan arab dan dalam negeri pada bulan januari 1907 M.

b. Duncan Black Macdonald (1863-1943 M) orientalis Inggris yang bekerja sebagau penasehat pemerintahnya dalam perncanaan politik melawan kaum muslimin di wilayah India.

c. Louis Massignon (1883-1962 M).[9] Seorang penasehat pemerintah Prancis dalam merancang politiknyta melawan kaum Muslimin di Afrika Utara dan khususnya al-Jazaair.

4. Tidak komitmen dengan obyektifitas dan tidak amanah ilmiyah.
Orientalis tidak bisa komitmen dengan obyektifitas dan amanah ilmiyah khususnya bila berhadapan dengan Islam. Bagaimanapun hebatnya mereka mendengungkan obyektifitas dan amanah ilmiyah, namun realitanya mendustakan hal tersebut. Nampaknya disebabkan oleh beberapa poin berikut:

• Pemeliharaan dan pembinaan gereja dan tokoh-tokohnya terhadap orientalis sejak permulaan perkembangannya hingga sekarang. Oleh karena itu seorang peneliti menyatakan bahwa para tokoh orientalis dalam karya-karya ilmiyahnya tidak mampu lepas dari pemikiran mereka yang terdahulu dan perasaan yang sudah terwarisi (dari agama mereka), sebagaimana banyak dari mereka memiliki tujuan-tujuan duniawi yang rusak dari penelitian orientalismenya. (lihat ar-Rasûl fi Kitâbât al-Mustasyriqin, hlm 16).

• Rusaknya Manhaj ilmi mereka karena tidak memperhatikan prinsip-prinsip dasarnya. Sebab dasar pemikiran orientalisme dari anggapan al-Qur’ân adalah produk manusia dan tidak mengimani kenabian dan kerasulan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

• Tidak memperhatikan sumber-sumber dasar Islam yang pokok dan mencukupkan dengan penelitian yang bersumber dari sumber rujukan yang tidak pokok dan asli.

• Banyak melakukan penipuan dan kebohongan dalam penelitian dengan menampakkan obyektifitas dan komprehensif data penelitian, kemudian memasukkan racun yang merusak secara diam-diam dengan cara dan uslub yang menampakkan kebenaran, ketelitian dan keakuratan pemikiran tersebut. Padahal realitanya tidak demikian.

SEBAB DAN PENDORONG MUNCULNYA ORIENTALISME.
Ada sejumlah sebab yang mendorong tokoh orientalis melakukan kebohongan atas Islam, diantaranya:

a. Sebab Agama.
Perang Salib menyisakan pengaruh yang sangat dalam di jiwa orang-orang Eropa, karena mereka melihat kemenangan ketentaraan dan peradaban yang dimiliki kaum Muslimin. Disamping itu penyebaran Islam yang begitu cepat ditengah pengikut Nashrani, sehingga mereka masuk Islam dengan puas. Sebagaimana juga orang-orang Nashrani banyak yang merasa kagum terhadap Islam dan kaum Muslimin. Semua ini mendorong para pendeta untuk melakukan gerakan pempelajaran bahasa Arab dan menterjemahkan peninggalan Islam dengan tujuan merusak citra baik Islam dalam pandangan masyarakat Nashrani. Kemudian berkembang menjadi upaya membuat keraguan terhadap kemulian dan kesucian Islam pada kaum Muslimin dan upaya kristenisasi pada kaum Muslimin.

Pendeta besar Petrus berteriak menyatakan bahwa sungguh al-Qur’ân adalah sumber penyimpangan dan terorisme yang mengancam tatanan agama Nashrani (Kristen). Apabila ingin mengalahkannya maka harus mempelajarinya dan menyeru (kepada masyarakat) bahwa al-Qur’ân adalah kitab suci penuh kontradiksi dan pertentangan dan juga berisi hal-hal yang ditolak akal.

Demikian juga persekutuan mereka dengan orang-orang Yahudi mendorong mereka memunculkan orientalisme ini. Orang-orang Yahudi ini mampu membentuk diri mereka untuk menjadi satu bagian pondasi pada gerakan orientalisme Eropa yang beragama Nashrani. Orang-orang Yahudi tidak ingin bekerja didalam gerakan ini sebagai orientalis Yahudi hingga mereka tidak terpisah dan kemudian kecil pengaruh mereka. Oleh karena itu mereka bekerja dengan nama orientalis Eropa. Dengan demikian mereka mendapatkan dua keuntungan:

1. Masuk secara langsung dalam gerakan orientalisme ini
2. Merealisasikan tujuan mereka merusak Islam. Ini yang menjadi keinginan mayoritas orientalis Nashrani.

Dari sini mereka meniupkan racun melawan Islam dan masuk dalam medan ini dalam keadaan sembunyi dibawah slogan ilmu.

b. Sebab Kolonialisme.
Walaupun sebab utamanya adalah agama namun ini menjadi perintis untuk penjajahan negara-negara Islam.

c. Sebab Ilmiyah.
Memang masih ada beberapa individu yang masuk dalam orientalisme dengan sebab pendorong senang mengetahui peradaban manusia dan pengetahuan serta aqidahnya.

d. Sebab Ekonomi Dan Perniagaan,
Disamping sebab-sebab di atas ada juga sebab ekonomi dan perniagaan. Orang-orang Eropa berusaha untuk menguasai negeri timur yang kaya dengan sumber daya alamnya untuk mendukung ekonomi mereka. Untuk itu diperlukan satu riset dan penelitian tentang kondisi alam dan lingkungan di negara timur tersebut. Riset penelitian inilah yang akan mendukung ekonomi Eropa dan kebangkitan industri mereka setelah revolusi industri yang terjadi setelah masa kebangkitan mereka.

TUJUAN DAN TARGET ORIENTALISME
Dari penjelasan tentang faktor pendorong dan sebab dibangunnya gerakan orientalisme ke negeri timur umumnya dan negara Islam secara khusus, dapat diambil beberapa tujuan gerakan ini sebagai berikut:

1. Gerakan orientalisme ini sejak awal bertujuan untuk menjaga penganut Nashrani untuk menyusup menjadi Muslim dengan konsentrasi merusak dan mencoreng wajah indah Islam agar orang-orang Nashrani yakin bahwa Islam itu tidak benar. (lihat lebih lanjut di kitab al-Mûjiz fil Adyân wal Madzâhib, hlm 181)

2. Kemudian berubah arah penelitian orientalisme setelah itu kepada obyek umat Islam. Mulailah mereka membuat kebohongan dan kedustaan atas aqidah dan syariat serta sumber rujukannya, agar melemahkan ruh Islam pada kaum Muslimin dan menyebarkan perpecahan internal kaum Muslimin serta berusaha sekuat tenaga untuk mengkristenisasikannya.

3. Kemudian terikat setelah itu dengan penjajahan di negara Islam dengan tujuan menguatkan kolonialisme tersebut. Dengan ini maka mereka mampu memaksa negeri-negeri tersebut tunduk menerima pemikiran mereka dan mengagungkan prinsip dasar kapitalis barat dan menghapus Islam dan orang yang komitmen dengannya.

Penulis buku al-Fikrul Islâmi al-Hadîts menyatakan bahwa tujuan dan target orientalis dengan segala jenisnya terfokus pada realisasi sikap jiwa yang rendah dan menimbulkan perasaaan kurang pada jiwa kaum Muslimin dan orang-orang timur serta membawa mereka dari jalan ini untuk ridha dan tunduk dengan bimbingan dan arahan barat. (hlm. 431)

Hal ini membuat para orientalis membuktikan kemajuan dan kehebatan Eropa dari satu sisi dan menampakkan semua gerakan yang mengajak kepada komitmen dengan Islam sebagai sesuatu yang kuno dan terbelakang.

Target dan tujuan yang dibawa para misionaris dan orientalis ini masih ada pada para murid mereka di negeri kita ini. Mereka menganggap kemajuan dan ketinggian peradaban hanya akan bisa dicapai dengan mengekor dan membeo kepada barat dan menjauhi Islam yang mereka gambarkan dengan bahasa fundamentalis dan lainnya.

SARANA ORIENTALISME MELANCARKAN SERANGANNYA
Para tokoh orientalis mengetahui dengan pasti bahwa kaum Muslimin tidak bisa dilemahkan kecuali dengan menjauhi mereka dari aqidah dan syariat Islam yang benar. Mereka menggunakan semua sarana yang ada untuk mewujudkan hal ini. Diantara yang terpenting adalah:

Pertama: Dalam Bidang Karya Tulis (at-Ta’liif).
1. Menulis buku-buku dalam tema yang beraneka ragam tentang Islam, pemikiran, Rasul dan al Qur`ân. Mayoritas karya tulis ini dipenuhi dengan tahrîf (penyimpangan) yang bersandar pada penukilan nash-nash atau memotong-motongnya. Juga dalam memahami realita sejarah dan hasilnya.

2. Mereka bekerja sama menulis ensiklopedia tentang Islam yang diberi nama “Dâ`irah al-Ma’ârif al-Islâmiyah” dan menerbitkannya dalam berbagai bahasa. Demikian juga menerbitkan ringkasannya dan dicetak dalam berbagai bahasa seperti enseklopedia tersebut. Para peneliti Islam menganggap ensiklopedia ini sebagai karya terbaik para orientalis dalam mewujudkan tujuan mereka terhadap Islam. Titik bahayanya adalah para orientalis mencurahkan segala kemampuan dan pena mereka untuk menerbitkan inseklopedia ini. Sehingga sekarang sudah menjadi sumber rujukan (referensi) bagi banyak peneliti Muslim dalam penelitiannya. Padahal berisi banyak sekali kerancuan dan kekeliruan serta fanatis besar dalam melawan Islam dan kaum Muslimin.

Kedua : Dalam Bidang Pendidikan Dan Tarbiyah.
Para tokoh orientalis mengarahkan gerakannya ketengah-tengah lembaga pendidikan dan tarbiyah dan menggunakannya sebagai sarana merealisasikan tujuan mereka secara sempurna. Mereka berusaha menanamkan prinsip-prinsip dasar pendidikan barat (westernisasi pendidikan) dalan jiwa anak-anak kaum Muslimin.

Demikian juga mereka memberikan ceramah-ceramah umum di perguruan tinggi dan lembaga pendidikan islam. Hingga mereka dipanggil dan dijadikan dosen tamu untuk mengajarkan Islam di banyak universitas di Kairo, Damaskus, Baghdad, Karachi, Lahore, Indonesia dan negara-negara Islam lainnya. Sungguh berbahaya sekali bagaimana anak-anak kaum Muslimin mengambil agamanya dari mulut para musuh Islam ?

Ketiga : Dalam Bidang Kemasyarakatan Dan Sosial Kemanusiaan.
Para misionaris dan orientalis mendirikan rumah sakit, lembaga sosial masyarakat (LSM), sekolah, penampungan pengungsi, panti asuhan dan lain-lain di negara Islam untuk mewujudkan tujuan mereka mengkristenkan dunia.

Keempat : Mu’tamar (Konfrensi) Dan Musyawarah Dunia.
Pada abad ke-19 mulai mengadakan berbagai konferensi internasional untuk orientalis (al-Mu’tamar ad-Dauliyah) untuk memperkuat koordinasi dan kerjasama diantara mereka. Konferensi pertama mereka terjadi di Paris tahun 1873 M, kemudian mengadakan setelah itu beberapa konferensi lagi hingga mencapai lebih dari tiga puluh konferensi internasional.

Kelima : Majalah-Majalah Orientalisme.
Gerakan orientalisme ini bergerak menerbitkan majalah, buletin dalam jumlah yang besar dapat mencapai lebih dari 300 majalah dalam berbagai bahasa. Kita sebutkan sebagai contoh saja:

1. Majalah “al-Islam” tahun 1895 M kemudian digantikan oleh majalah “al-‘Âlam al-Islâmi” tahun 1906 yaang di terbitkan oleh al-bi’tsah al-Ilmiyah al-Faransiyah di Maroko.
2. Majalah “Der lslam” pada tahun 1910 M di Jerman.
3. Majalah “Mirlslama” taahun 1912 M di Rusia
4. Majalah “The Muslim Word “ di Inggris tahun 11911 M didirikan oleh Samuel Marinus Zwemer.

Begitu besar upaya dan kesungguhan musuh-musuh Islam dalam menghancurkan Islam dan memporakporandakan kesatuan kaum Muslimin. Semuanya dilakukan untuk menghalangi manusia dari jalan kebenaran.

Semoga tulisan ini memberikan manfaat bagi kita dan menyadarkan kita akan besar usaha musuh Islam menyesatkan kita semua.

Maraji’
1. Min Iftirâ’ât al-Mustasyriqin ‘Ala al-Ushûl al-Aqîdah fi al-Islam, DR Abdulmun’im Fu’aad, Maktabah al-Ubaikaan, cetakan pertama tahun 1422/2001
2. Zawâbi’ Fi Wajhis Sunnah Qadîman wa Hadîtsan karya Syaikh Shalâhuddin Maqbûl Ahmad, Majma’ al-Buhuts al-ilmiyah al-Islamiyah, India, cetakan pertama tahun 1411-1991.
3. Mausû’ah al-Mustasyriqin , DR Abdurrahman Badawi, Darul Ilmi Lil Malayyin, Bairut, cet ketiga tahun 1993.
4. Dll.

Ustadz Kholid Syamhudi Lc,

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XV/1433H/2012M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Diambil secara bebas dari tulisan Syeikh DR. Rabi’ bin Hadi al-Madkholi dalam pengantar beliau atas kitab Zawâbi’ Fi Wajhis Sunnah Qadîman wa Hadîtsan karya Syaikh Shalâhuddin Maqbûl Ahmad, hlm 22).
[2]. Min Iftirâ’ât al-Mustasyriqin ‘Ala al-Ushûl al-Aqîdah fi al-Islam, DR Abdulmun’im Fu’aad, Maktabah al-Ubaikaan, cetakan pertama tahun 1422/2001, hlm 6-7)
[3]. Lihat Difâ’ 'anis Sunnah karya Muhammad bin Muhammad Abi Syahbah, hlm 328
[4]. Diambil dari Min Iftirâ’ât al-Mustasyriqin ‘Ala al-Ushûl al-Aqîdah fi al-Islam, hlm 18)
[5]. Lihat at-Tabsyîr wal Istisyrâq Hamalât wa Ahqâd, Muhammad Izat ath-Tahthaawi, hlm 35)
[6]. Diambil dari Min Iftirâ’ât al-Mustasyriqin ‘Ala al-Ushûl al-Aqîdah fi al-Islam, hlm 19-20)
[7]. Diambil dari Min Iftirâ’ât al-Mustasyriqin ‘Ala al-Ushûl al-Aqîdah fi al-Islam dengan tambahan dari bebrapa referensi seperti Mausû’ah al-Mustasyriqin).
[8]. (lihat Mausû’ah al-Mustasyriqin, Abdurrahman Badawi hlm 353-356).
[9]. Lihat tentang orientalis ini di Mausû’ah al-Mustasyriqin hlm 529
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. BERITA SUNNAH - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger