{قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ ويَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ، وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ}

Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah (sunnah/petunjuk)ku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS Ali ‘Imran:31)

SIKAP & KEWAJIBAN UMMAT ISLAM ATAS TRAGEDI PALESTINA

Abu Fathan | 20:07 | 0 comments

Berikut penjelasan yang disampaikan oleh Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin ‘Umar Bazmul hafizhahullah ketika beliau menjawab pertanyaan tentang apa sikap dan kewajiban kita terkait dengan peristiwa yang menimpa saudara-saudara kita di Ghaza – Palestina. Penjelasan ini beliau sampaikan pada hari Senin 9 Muharram 1430 H dalam salah satu pelajaran yang beliau sampaikan, yaitu pelajaran syarh kitab Fadhlul Islam. Semoga bermanfaat.

***********

Kewajiban terkait dengan peristiwa yang menimpa saudara-saudara kita kaum muslimin di Jalur Ghaza Palestina baru-baru ini adalah sebagai berikut :

Pertama :
Merasakan besarnya nilai kehormatan darah (jiwa) seorang muslim. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Ibnu Majah (no. 3932) dari shahabat ‘Abdullah bin ‘Umar berkata : Saya melihat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam sedang berthawaf di Ka’bah seraya beliau berkata (kepada Ka’bah) :

“Betapa bagusnya engkau (wahai Ka’bah), betapa wangi aromamu, betapa besar nilaimu dan besar kehormatanmu. Namun, demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, sungguh kehormatan seorang mukmin jauh lebih besar di sisi Allah dibanding engkau, baik kehormatan harta maupun darah (jiwa)nya.” [1])

Dalam riwayat At-Tirmidzi (no. 2032) dengan lafazh :

Dari shahabat ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallah ‘anhuma, bahwa Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam naik ke atas mimbar kemudian beliau berseru dengan suara yang sangat keras seraya berkata :

“Wahai segenap orang-orang yang berislam dengan ucapan lisannya namun keimanannya tidak menyentuh qalbunya, janganlah kalian mengganggu kaum muslimin, janganlah kalian mencela mereka, dan janganlah kalian mencari-cari aib mereka. Karena barangsiapa yang mencari-cari aib saudaranya muslim, maka pasti Allah akan terus mengikuti aibnya. Barangsiapa yang diikuti oleh Allah segala aibnya, maka pasti Allah akan membongkarnya walaupun dia (bersembunyi) di tengah rumahnya.”

Maka suatu ketika Ibnu ‘Umar Radhiyallah ‘anhuma melihat kepada Ka’bah dengan mengatakan (kepada Ka’bah) : “Betapa besar kedudukanmu dan betapa besar kehormatanmu, namun seorang mukmin lebih besar kehormatannya di sisi Allah dibanding kamu.”

Al-Imam At-Tirmidzi berkata tentang kedudukan hadits tersebut : “Hadits yang hasan gharib.” Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi (no. 2032).

Seorang muslim apabila melihat darah kaum muslimin ditumpahkan, atau jiwa dibunuh, atau hati kaum muslimin diteror, maka tidak diragukan lagi pasti dia akan menjadikan ini sebagai perkara besar, karena terhormatnya darah kaum muslimin dan besarnya hak mereka.

Bagaimana menurutmu, kalau seandainya seorang muslim melihat ada orang yang hendak menghancurkan Ka’bah, ingin merobohkan dan mempermainkannya, maka betapa ia menjadikan hal ini sebagai perkara besar?!! Sementara Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam telah menegaskan bahwa “Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, sungguh kehormatan seorang mukmin jauh lebih besar di sisi Allah dibanding engkau (wahai Ka’bah), baik kehormatan harta maupun darah (jiwa)nya.”

Maka perkara pertama yang wajib atas kita adalah merasakan betapa besar nilai kehormatan darah kaum mukminin yang bersih, yang baik, dan sebagai pengikut sunnah Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam, yang senantiasa berjalan di atas bimbingan Islam. Kita katakan, bahwa darah (kaum mukminin) tersebut memiliki kehormatan yang besar dalam hati kita.

Kita tidak ridha -demi Allah- dengan ditumpahkannya darah seorang mukmin pun (apalagi lebih), walaupun setetes darah saja, tanpa alasan yang haq (dibenarkan oleh syari’at). Maka bagaimana dengan kebengisan dan peristiwa yang dilakukan oleh para ekstrimis, orang-orang yang zhalim, para penjajah negeri yang suci, bumi yang suci dan sekitarnya??! Innalillah wa inna ilaihi raji’un!!

Maka tidak boleh bagi seorang pun untuk tidak peduli dengan darah (kaum mukminin) tersebut, terkait dengan hak dan kehormatan (darah mukminin), kehormatan negeri tersebut, dan kehormatan setiap muslim di seluruh dunia, dari kezhaliman tangan orang kafir yang penuh dosa, durhaka, dan penuh kezhaliman seperti peristiwa (yang terjadi sekarang di Palestina) walaupun kezhaliman yang lebih ringan dari itu.

Kedua :
Wajib atas kita membela saudara-saudara kita. Pembelaan kita tersebut harus dilakukan dengan cara yang syar’i. Cara yang syar’i itu tersimpulkan sebagai berikut :
- Kita membela mereka dengan cara do’a untuk mereka. Kita do’akan mereka pada waktu sepertiga malam terakhir, kita do’akan mereka dalam sujud-sujud (kita), bahkan kita do’akan dalam qunut (nazilah) yang dilakukan pada waktu shalat jika memang diizinkan/diperintahkan oleh waliyyul amr (pemerintah).

Jangan heran dengan pernyataanku “dalam qunut nazilah yang dilakukan dalam shalat jika memang diizinkan/diperintahkan oleh waliyyul amr.” Karena umat Islam telah melalui berbagai musibah yang dahsyat pada zaman shahabat Nabi, namun tidak ada riwayat yang menyebutkan bahwa para shahabat melakukan qunut nazilah selama mereka tidak diperintah oleh pimpinan (kaum muslimin).

Oleh karena itu aku katakan : Kita membantu saudara-saudara kita dengan do’a pada waktu-waktu sepertiga malam terakhir, kita bantu saudara-saudara kita dengan do’a dalam sujud, kita membantu saudara-saudara kita dengan do’a saat-saat kita berdzikir dan menghadap Allah agar Allah menolong kaum muslimin yang lemah.

………….

Semoga Allah membebaskan kaum muslimin dari cengkraman tangan-tangan zhalim, dan mengokohkan mereka (kaum muslimin) dengan ucapan (aqidah) yang haq, serta menolong mereka terhadap musuh kita, musuh mereka, musuh Allah, dan musuh kaum mukminin.

Ketiga dan Keempat, terkait dengan sikap kita terhadap peristiwa Ghaza :
Kita harus waspada terhadap orang-orang yang memancing di air keruh, menyeru dengan seruan-seruan yang penuh emosional atau seruan yang ditegakkan di atas perasaan (jauh dari bimbingan ilmu dan sikap ilmiah), yang justru membuat kita terjatuh pada masalah yang makin besar.

Kalian tahu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berada di Makkah, berada dalam periode Makkah, ketika itu beliau mengetahui bahwa orang-orang kafir terus menimpakan siksaan yang keras terhadap kaum muslimin. Sampai-sampai kaum muslimin ketika itu meminta kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam agar menginzinkan mereka berperang. Ternyata Rasululllah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam hanya mengizinkan sebagian mereka untuk berhijrah (meninggalkan tanah suci Makkah menuju ke negeri Habasyah), namun sebagian lainnya (tidak beliau izinkan) sehingga mereka terus minta izin dari Rasulullah untuk berperang dan berjihad.

Dari shahabat Khabbab bin Al-Arat Radhiyallahu ‘anhu :

Kami mengadu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam ketika beliau sedang berbantalkan burdahnya di bawah Ka’bah –di mana saat itu kami telah mendapatkan siksaan dari kaum musyrikin–. Kami berkata kepada beliau : “Wahai Rasulullah, mintakanlah pertolongan (dari Allah) untuk kama? berdo’alah (wahai Rasulullah) kepada Allah untuk kami?”

Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam [2]) : “Bahwa dulu seseorang dari kalangan umat sebelum kalian, ada yang digalikan lubang untuknya kemudian ia dimasukkan ke lubang tersebut. Ada juga yang didatangkan padanya gergaji, kemudian gergaji tersebut diletakkan di atas kepalanya lalu ia digergaji sehingga badannya terbelah jadi dua, akan tetapi perlakuan itu tidaklah menyebabkan mereka berpaling dari agamanya. Ada juga yang disisir dengan sisir besi, sehingga berpisahlah tulang dan dagingnya, akan tetapi perlakuan itu pun tidaklah menyebabkan mereka berpaling dari agamanya. Demi Allah, Allah akan menyempurnakan urusan ini (Islam), hingga (akan ada) seorang pengendara yang berjalan menempuh perjalanan dari Shan’a ke Hadramaut, dia tidak takut kecuali hanya kepada Allah atau (dia hanya khawatir terhadap) srigala (yang akan menerkam) kambingnya. Akan tetapi kalian tergesa-gesa.
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari (no. 3612, 3852, 6941).

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam terus berada dalam kondisi ini dalam periode Makkah selama 13 tahun. Ketika beliau berada di Madinah, setelah berjalan selama 2 tahun turunlah ayat :

أُذِنَ لِلَّذِينَ يُقَاتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا ۚ وَإِنَّ اللَّهَ عَلَىٰ نَصْرِهِمْ لَقَدِيرٌ

Telah diizinkan bagi orang-orang yang diperangi karena mereka telah dizhalimi. Sesungguhnya Allah untuk menolong mereka adalah sangat mampu.” [Al-Haj : 39]

Maka ini merupakan izin bagi mereka untuk berperang.

Kemudian setelah itu turun lagi ayat :

وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا ۚ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ

“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kalian, (tetapi) janganlah kalian melampaui batas, karena Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” [Al-Baqarah : 190]

Kemudian setelah itu turun ayat :

فَقَاتِلُوا أَئِمَّةَ الْكُفْرِ ۙ إِنَّهُمْ لَا أَيْمَانَ لَهُمْ لَعَلَّهُمْ يَنتَهُونَ

Maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang (yang tidak dapat dipegang) janjinya, agar supaya mereka berhenti. [At-Taubah : 12]

قَاتِلُوا الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْآخِرِ

“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada Hari Akhir” [At-Taubah : 29]

Yakni bisa kita katakan, bahwa perintah langsung untuk berjihad turun setelah 16 atau 17 tahun berlalunya awal risalah. Jika masa dakwah Rasulullah adalah 23 tahun, berarti 17 tahun adalah perintah untuk bersabar. Maka kenapa kita sekarang terburu-buru??!

Kalau ada yang mengatakan : Ya Akhi, mereka (Yahudi) telah mengepung kita! Ya Akhi mereka (Yahudi) telah menzhalimi kita di Ghaza!!

Maka jawabannya : Bersabarlah, janganlah kalian terburu-buru dan janganlah kalian malah memperumit masalah. Janganlah kalian mengalihkan permasalahan dari kewajiban bersabar dan menahan diri kepada sikap perlawanan ditumpahkan padanya darah (kaum muslimin).

Wahai saudara-saudaraku, hingga pada jam berangkatnya aku untuk mengajar jumlah korban terbunuh sudah mencapai 537 orang, dan korban luka 2.500 orang. Apa ini?!!

Bagaimana kalian menganggap enteng perkara ini? Mana kesabaran kalian? Mana sikap menahan diri kalian? Sebagaimana jihad itu ibadah, maka sabar pun juga merupakan ibadah. Bahkan tentang sabar ini Allah berfirman :

ۗ إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍ

“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” [Az-Zumar : 10]

Jadi sabar merupakan ibadah. Kita beribadah kepada Allah dengan amalan kesabaran.

Kenapa kalian mengalihkan umat dari kondisi sabar menghadapi kepungan musuh kepada perlawanan dan penumpahan darah?

Kenapa kalian menjadikan warga yang aman, yang tidak memiliki keahlian berperang, baik terkait dengan urusan-urusan maupun prinsip-prinsip perang, kalian menjadikan mereka sasaran penyerbuan tersebut, sasaran serangan tersebut, dan sasaran pukulan tersebut, sementara kalian sendiri malah keluar menuju Beirut dan Libanon??! Kalian telah menimpakan bencana terhadap umat sementara kalian sendiri malah keluar (dari Palestina)??!

Oleh karena itu saya katakan : Janganlah seorang pun menggiring kita dengan perasaan atau emosi kepada membalik realita.

Kami mengatakan : bahwa wajib atas kita untuk bersabar dan menahan diri serta tidak tidak terburu-buru. Sabar adalah ibadah. Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam telah bersabar dengan kesabaran yang panjang atas kezhaliman Quraisy dan atas kezhaliman orang-orang kafir. Kaum muslimin yang bersama beliau juga bersabar. Apabila dakwah Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam selama 23 tahun, sementara 17 tahun di antaranya Rasulullah bersabar (terhadap kekejaman/kebengisan kaum musyrikin) maka kenapa kita melupakan sisi kesabaran?? Dua atau tiga tahu mereka dikepung/diboikot! Kita bersabar dan jangan menimpakan kepada umat musibah, pembunuhan, kesusahan, dan kesulitan tersebut. Janganlah kita terburu beralih kepada aksi militer!!

Wahai saudaraku, takutlah kepada Allah! Apabila Rasulullah merasa iba kepada umatnya dalam masalah shalat, padahal itu merupakan rukun Islam yang kedua, beliau mengatakan (kepada Mu’adz) : “Apakah engkau hendak menjadi tukang fitnah wahai Mu’adz?!!” karena Mu’adz telah membaca surat terlalu panjang dalam shalat. Maka bagaimana menurutmu terhadap orang-orang yang hanya karena perasaan dan emosinya yang meluap menyeret umat kepada penumpahan darah dan aksi perlawanan yang mereka tidak memiliki kemampuan, bahkan walaupun sepersepuluh saja mereka tidak memiliki kemampuan untuk melakukan perlawanan. Bukankah tepat kalau kita katakan (pada mereka) : Apakah kalian hendak menimpakan musibah kepada umat dengan aksi perlawanan ini yang sebenarnya mereka sendiri tidak memiliki kemampuan untuk melakukan perlawanan tersebut!

Tidak ingatkah kita ketika kaum kuffar dari kalangan Quraisy dan Yahudi berupaya mencabik-cabik Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam dalam perang Ahzab, setelah adanya pengepungan (terhadap Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam dan para shahabatnya) yang berlangsung selama satu bulan, lalu sikap apa yang Rasulullah lakukan? Yaitu beliau Shallahu ‘alaihi wa Sallam mengutus kepada qabilah Ghathafan seraya berkata kepada mereka : “Saya akan memberikan kepada kalian separoh dari hasil perkebunan kurma di Madinah agar mereka (qabilah Ghathafan) tidak membantu orang-orang kafir dalam memerangi kami.”

Kemudian beliau mengutus kepada para pimpinan Anshar, maka mereka pun datang (kepada beliau). Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam menyampaikan kepada mereka bahwa beliau telah mengambil kebijakan begini dan begini, kemudian beliau berkata : “Kalian telah melihat apa yang telah menimpa umat berupa kegentingan dan kesulitan?”

Perhatikan, bukanlah keletihan dan kesulitan yang menimpa umat sebagai perkara yang enteng bagi beliau Shallahu ‘alaihi wa Sallam. Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam tidak rela memimpin mereka untuk melakukan perlawanan militer dalam keadaan mereka tidak memiliki daya dan kemampuan, sehingga dengan itu beliau Shallahu ‘alaihi wa Sallam menerima dari shahabat Salman Al-Farisi ide untuk membuat parit (dalam rangka menghalangi kekuatan/serangan musuh).

Demikianlah (cara perjuangan Rasulullah), padahal beliau adalah seorang Rasul Shallahu ‘alaihi wa Sallam dan bersama beliau para shahabatnya. Apakah kita lebih kuat imannya dibanding Rasulullah?! Apakah kita lebih kuat agamanya dibanding Rasulullah??! Apakah kita lebih besar kecintaannya terhadap Allah dan agama-Nya dibanding Rasulullah dan para shahabatnya??!

Tentu tidak wahai saudaraku.

Sekali lagi Rasulullah tidak memaksakan (kepada para shahabatnya) untuk melakukan perlawanan (terhadap orang kafir). Bukan perkara yang ringan bagi beliau ketika kesulitan yang menimpa umat sudah sedemikian parah. Sehingga terpaksa beliau mengutus kepada qabilah Ghathafan untuk memberikan kepada mereka separo dari hasil perkebunan kurma Madinah (agar mereka tidak membantu kaum kafir menyerang Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam dan para shahabatnya). Namun Allah kuatkan hati dua pimpinan Anshar, keduanya berkata : ‘Wahai Rasulullah, mereka tidak memakan kurma tersebut dari kami pada masa Jahiliyyah, maka apakah mereka akan memakannya dari kami pada masa Islam? Tidak wahai Rasulullah. Kami akan tetap bersabar.’

Mereka (Anshar) tidak mengatakan : Kami akan tetap berperang. Namun mereka berkata : Kami akan bersabar. Maka tatkala mereka benar-benar bersabar, setia mengikuti Rasulullah, dan ridha, datanglah kepada mereka pertolongan dari arah yang tidak mereka sangka. Datanglah pertolongan dari sisi Allah, datanglah hujan dan angin, dan seterusnya. Bacalah peristiwa ini dalam kitab-kitab sirah, pada (pembahasan) tentang peristiwa perang Ahzab.

Maka, permasalahan yang aku ingatkan adalah : Janganlah ada seorangpun yang menyeret kalian hanya dengan perasaan dan emosinya, maka dia akan membalik realita yang sebenarnya kepada kalian.

Aku mendengar sebagai orang mengatakan, bahwa “Penyelesaian permasalahan yang terjadi adalah dengan jihad, dan seruan untuk berjihad!”

Tentu saya tidak mengingkari jihad, namun apabila yang dimaksud adalah jihad yang syar’i

Sementara jihad yang syar’i memilliki syarat-syarat, dan syarat-syarat tersebut belum terpenuhi pada kita sekarang ini. Kita belum memenuhi syarat-syarat terlaksananya jihad syar’i pada hari ini. Sekarang kita tidak memiliki kemampuan untuk melakukan perlawanan. Allah tidak membebani seseorang kecuali sebatas kemampuannya.

Apabila Sayyiduna ‘Isa u pada akhir zaman nanti akan berhukum dengan syari’at Muhammad Shallahu ‘alaihi wa Sallam, ‘Isa adalah seorang nabi dan bersamanya kaum mukminin, namun Allah mewahyukan kepadanya : ‘Naiklah bersama hamba-hamba-Ku ke Jabal Ath-Thur karena sesungguhnya Aku akan mengeluarkan suatu kaum yang kalian tidak mampu melawannya.’ Siapakah kaum tersebut? Mereka adalah Ya`juj dan Ma`juj.

Perampasan yang dilakukan oleh Ya’juj dan Ma’juj -mereka termasuk keturunan Adam (yakni manusia)- terhadap kawasan Syam dan sekitarnya seperti perampasan yang dilakukan oleh orang-orang kafir dan ahlul batil terhadap salah satu kawasan dari kawasan-kawasan (negeri-negeri) Islam. Maka jihad melawan mereka adalah termasuk jihad difa’ (defensif : membela diri). Meskipun demikian ternyata Allah Subhanahu wa Ta’ala mewahyukan kepada ‘Isa ‘alaihissalam – beliau ketika itu berhukum dengan syari’at Nabi Muhammad Shallahu ‘alaihi wa Sallam – : “Naiklah bersama hamba-hamba-Ku ke Jabal Ath-Thur. Karena sesungguhnya Aku akan mengeluarkan suatu kaum yang kalian tidak akan mampu melawannya.’

Allah tidak mengatakan kepada mereka : “Berangkatlah melakukan perlawanan terhadap mereka.” Allah tidak mengatakan kepada : “Bagaimana kalian membiarkan mereka mengusai negeri dan umat?” Tidak. Tapi Allah mengatakan : “Naiklah bersama hamba-hamba-Ku ke Jabal Ath-Thur. Karena sesungguhnya Aku akan mengeluarkan suatu kaum yang kalian tidak akan mampu melawannya.” Inilah hukum Allah.

Jadi, meskipun jihad difa’ tetap kita harus melihat pada kemampuan. Kalau seandainya masalahnya adalah harus melawan dalam situasi dan kondisi apapun, maka apa gunanya Islam mensyari’atkan bolehnya perdamaian dan gencatan senjata antara kita dengan orang-orang kafir? Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman :

وَإِن جَنَحُوا لِلسَّلْمِ فَاجْنَحْ لَهَا

“Jika mereka (orang-orang kafir) condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya (terimalah ajakan perdamaian tersebut).” [Al-Anfal : 61]

Apa makna itu semua?

Oleh karena itu Samahatusy Syaikh Bin Baz Rahimahullah menfatwakan bolehnya berdamai dengan Yahudi, meskipun mereka telah merampas sebagian tanah Palestina, dalam rangka menjaga darah kaum muslimin, menjaga jiwa mereka, dengan tetap diiringi mempersiapkan diri sebagai kewajiban menyiapkan kekuatan untuk berjihad. Persiapan kekuatan untuk berjihad dimulai pertama kali dengan persiapan maknawi imani (yakni mempersiapkan kekuatan iman), baru kemudian persiapan materi.

Maka kami tegaskan bahwa :

Kewajiban kita terhadap tragedi besar yang menimpa kaum muslimin (di Palestina) dan negeri-negeri lainnya :
- Bahwa kita membantu mereka dengan do’a untuk mereka, dengan cara yang telah aku jelaskan di atas.
- Kita menjadikan masalah darah kaum muslimin sebagai perkara besar, kita tidak boleh mengentengkan perkara ini. Kita menyadari bahwa ini merupakan perkara besar yang tidak diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya serta kaum muslimin.
- Kita waspada agar jangan sampai ada seorangpun yang menyeret kita hanya dengan perasaan dan emosi kepada perkara-perkara yang bertentangan dengan syari’at Allah Subhanahu wa Ta’ala.
- Kita mendekatkan diri dan beribadah kepada Allah dengan cara mengingatkan diri kita dan saudara-saudara kita tentang masalah sabar. Allah telah berfirman : “Bersabarlah sebagaimana kesabaran para ulul ‘azmi dari kalangan para rasul.” [Al-Ahqaf : 35] Karena sesungguhnya sikap sabar merupakan sebuah siasat yang bijaksana dan terpuji dalam situasi dan kondisi seperti sekarang. Sabar merupakan obat. Dengan kesabaran dan ketenangan serta tidak terburu-buru insya Allah problem akan terselesaikan. Kita memohon kepada Allah pertolongan dan taufiq. Adapun mengajak umat pada perkara-perkara yang berbahaya maka ini bertentangan dengan syari’at Allah dan bertentangan dengan agama Allah.

Kelima :
Memberikan bantuan materi yang disalurkan melalui lembaga-lembaga resmi, yaitu melalui jalur pemerintah. Selama pemerintah membuka pintu (penyaluran) bantuan materi dan sumbangan maka pemerintah lebih berhak didengar dan ditaati. Setiap orang yang mampu untuk menyumbang maka hendaknya dia menyumbang. Barangsiapa yang lapang jiwanya untuk membantu maka hendaknya dia membantu. Namun janganlah menyalurkan harta dan bantuan tersebut kecuali melalui jalur resmi sehingga lebih terjamin insya Allah akan sampai ke sasarannya. Jangan tertipu dengan nama besar apapun, jika itu bukan jalur yang resmi yang bisa dipertanggungjawabkan. Janganlah memberikan bantuan dan sumbanganmu kecuali pada jalur resmi.

Inilah secara ringkas kewajiban kita terhadap tragedi yang menimpa saudara-saudara di Ghaza. Saya memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar menolong dan mengokohkan mereka serta memenangkan mereka atas musuh-musuh kita dan musuh-musuh mereka (saudara-saudara kita yang di Palestina), serta menghilangkan dari mereka (malapetaka tersebut). Kita memohon agar Dia menunjukkan keajaiban-keajaiban Qudrah-Nya atas para penjajah, para penindas, dan para perampas yang zhalim dan penganiaya tersebut.

Footnote :

[1] Semula Asy-Syaikh Al-Albani mendha’ifkan hadits ini, sehingga beliau pun meletakkannya dalam Dha’if Sunan Ibni Majah dan Dha’if Al-Jami’. Namun kemudian beliau rujuk dari pendapat tersebut. Beliau menshahihkan hadits tersebut dan memasukkannya dalam Ash-Shahihah no. 3420.

[2] Dalam riwayat Al-Bukhari lainnya dengan lafazh disebutkan bahwa : Maka beliau langsung duduk dengan wajah memerah seraya bersabda : … .

Fatwa ‘Ulama Disalahgunakan Untuk Membenarkan Ambisi

Abu Fathan | 20:01 | 0 comments
Apa “dasar hukum” mereka dalam mendukung salah satu capres dan menghimbau kaum muslimin untuk mencoblos? Fatwa ‘Ulama Kibar mereka salah gunakan untuk membenarkan ambisi mereka. Maka untuk mendudukan permasalahan ini secara ilmiah, berikut pembahasan ringkas tentangnya. Semoga bermanfaat.
al-Ustadz Muhammad Ihsan hafizhahullah
Sebagian pendukung pemilu, baik dari kalangan partai politik maupun bukan, melegitimasi keikutsertaan mereka dalam pesta demokrasi berdalihkan fatwa sebagian ulama Ahlus Sunnah, seperti asy-Syaikh al-Albani, asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz, dan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahumullah.
Mengapa mereka tidak mengambil dan menyebarkan fatwa ulama mereka sendiri tentang disyariatkannya pemilu, namun justru menyebarkan fatwa para ulama Ahlus Sunnah?
Asy-Syaikh Muhammad al-Imam hafizahullah menjawabnya. Menurut beliau, ulama pemerintah dan partai di negeri muslimin memiliki sifat fanatik terhadap kelompok/partai. Karena penyakit hizbiyah itu membinasakan, umat manusia pun tidak merasa puas dengan fatwa mereka. Sebab, kaum muslimin paham bahwa ulama tersebut adalah orang-orang yang senantiasa mengaburkan berbagai urusan agama.
Demikianlah, termasuk talbis (pengaburan) mereka ialah menggunakan fatwa ulama Ahlus Sunnah demi kepentingannya tatkala mereka terdesak. Namun, tatkala tidak membutuhkannya, mereka akan berkata, “Para ulama Ahlus Sunnah adalah orang-orang yang bodoh, tidak memahami fiqhul waqi’ (realitas masyarakat).” Selain itu, mereka juga melontarkan berbagai tuduhan lain terhadap ulama Ahlus Sunnah.
Semestinya, kalau mau bersandar terhadap fatwa al-Albani, Ibnu Baz, dan Ibnu ‘Utsaimin; mereka harus mau menerima fatwa para ulama tersebut dalam permasalahan haramnya hizbiyah (fanatisme terhadap kelompok, golongan, atau partai), maulid Nabi, menyembelih binatang sembelihan bukan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, taklid (membebek) kepada Yahudi dan Nasrani, serta hal lainnya. Namun, la haula wa la quwwata illa billah. (Tanwir azh-Zhulumat, hlm. 248—249)
Adapun sebagian fatwa para ulama Ahlus Sunnah yang berkaitan dengan pemilu yang mereka sebarkan adalah fatwa asy-Syaikh al-Albani rahimahullah berikut.
Fatwa asy-Syaikh al-Albani rahimahullah
Pertanyaan: Apa hukum syar’i tentang pemilu untuk memilih anggota parlemen? Kita akan berusaha dari celah ini untuk menegakkan daulah Islam (negara Islam) dan khilafah yang terbimbing (dengan syariat)?
Jawaban:
Sesungguhnya hal yang paling membahagiakan kaum muslimin di negeri mereka adalah ditinggikannya bendera kalimat tauhid, Laa ilaha illallah, dan hukum yang berlaku di negeri itu adalah hukum syariat yang Allah Subhanahu wa Ta’ala turunkan.
Termasuk sesuatu yang tidak ada diragukan lagi adalah wajibnya seluruh kaum muslimin (sesuai dengan kemampuan mereka) untuk terus berusaha menegakkan daulah Islam yang berhukum dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Suatu hal yang pasti (tidak bisa ditawar lagi) menurut setiap muslim, hal itu tidak mungkin akan terealisasi kecuali (dengan dua hal), yaitu ilmu yang bermanfaat dan amal shalih. Golongan yang paling berhak menegakkan kedua hal penting tersebut adalah para ulama.
Para ulama mengajarkan ilmu yang bermanfaat kepada kaum muslimin yang ada di sekitar mereka. Tidak ada jalan untuk melakukan hal ini kecuali dengan melakukan tashfiyah (penyaringan) ilmu yang telah mereka warisi dari berbagai hal susupan (padahal itu bukan dari Islam), seperti kesyirikan dan keberhalaan, sampai mayoritas masyarakat memahami ucapan kalimat tauhid, Laa ilaha illa Allah, dan memahami bahwa kalimat thayyibah ini berkonsekuensi mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam hal peribadatan, sehingga tidak memohon pertolongan kecuali kepada-Nya, tidak menyembelih binatang kurban, dan tidak bernazar kecuali karena-Nya. Sampai kaum muslimin tidak beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali dengan syariat-Nya yang diturunkan melalui lisan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam . Ini adalah konsekuensi syahadat mereka, “Muhammad adalah Rasulullah.”
Prinsip ini menuntun mereka untuk membersihkan kitab-kitab fikih dari berbagai pendapat dan ijtihad yang menyelisihi sunnah yang shahih, sehingga ibadah mereka akan diterima. Hal itu juga menuntut untuk dibersihkannya sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari hal yang dimasukkan (disusupkan) ke dalamnya dari waktu ke waktu, seperti hadits dhaif dan palsu. Hal itu juga menuntut dibersihkannya suluk dari penyimpangan yang ada di thariqah syafi’iyah dan ghuluw dalam ibadah dan zuhud, serta hal lain yang bertentangan dengan ilmu yang bermanfaat.
Mereka mendidik diri mereka, keluarga, dan masyarakat muslimin di sekitarnya di atas ilmu yang bermanfaat ini. Dengan demikian, ilmu mereka kelak menjadi ilmu yang bermanfaat dan amalan adalah amalan yang saleh.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Rabbnya.” (al-Kahfi: 110)
Ketika kaum muslimin menegakkan tashfiyah (pembersihan) dan tarbiyah yang syar’i ini, kelak tidak akan Anda dapati orang yang mencampuradukkan wasilah/cara-cara syirik dengan wasilah yang syar’i. Sebab, mereka meyakini bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang membawa syariat yang sempurna berikut tujuan dan jalannya.
Di antara tujuan diturunkannya syariat, sebagai contoh, adalah melarang tasyabuh/menyerupai orang-orang kafir. Padahal demokrasi membangun sarana dan peraturan yang sesuai dengan sikap taklid/membebek terhadap orang kafir dan adat-istiadat mereka.
Di antara bukti taklid/membebek terhadap orang-orang kafir adalah cara memilih pemimpin negara dan anggota legislatif dengan pemungutan suara (pemilu). Ini adalah tata cara yang selaras dengan kekafiran dan kebodohan mereka. Mereka tidak membedakan antara iman dan kafir, antara saleh dan tidak, laki-laki dan perempuan. Rabb kita berfirman,
“Maka apakah patut Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir)?” (al-Qalam: 35)
Dia l berfirman tentang ucapan istri Imran,
“Dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan.” (Ali Imran: 32)
Demikian pula kaum muslimin (yang terus memerhatikan dua perkara yang mulia tersebut, yakni ilmu yang bermanfaat dan amal saleh) meyakini bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai menegakkan negara Islam hanyalah dengan dakwah kepada tauhid, memperingatkan umat dari berbagai peribadatan yang ditujukan kepada thaghut (segala sesuatu selain Allah Ta’ala), dengan mentarbiyah siapa saja yang sudah mau menerima dakwahnya di atas hukum-hukum syar’i, sampai mereka bersatu layaknya satu jasad. Apabila salah satu anggota tubuh merintih, rasa sakitnya akan dirasakan oleh anggota tubuh yang lain dengan demam dan tidak bisa tidur pada malam harinya. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits yang sahih. Tidak ada di antara mereka yang terus-menerus melakukan dosa besar, riba, zina, dan mencuri, kecuali sedikit sekali.
Barang siapa benar-benar ingin menegakkan daulah Islam, janganlah ia menyatukan dan mengumpulkan umat di atas perbedaan pemikiran dan pendidikan (tarbiyah) sebagaimana yang terjadi pada partai Islam sekarang ini. Mereka harus menyatukan pemikiran dan pemahaman mereka di atas prinsip Islam yang sahih, yaitu kitab dan sunnah di atas manhaj salafus shalih.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Dan di hari (kemenangan bangsa Rumawi) itu bergembiralah orang-orang yang beriman, karena pertolongan Allah.” (ar-Rum: 4—5)
Barang siapa berpaling dari manhaj ini ketika berupaya menegakkan daulah Islam lantas menempuh jalan orang kafir, dia seperti orang yang menyalakan api pemanas di musim panas.
Cukuplah hal ini sebagai kesalahan kalau tidak aku katakan sebagai dosa. Sebab, hal itu menyelisihi petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak menjadikan beliau sebagai suri teladan. Padahal Allah Ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (al-Ahzab: 21)
Pertanyaan ke-2:
Apa hukum syar’i tentang membantu dan memberikan suara terhadap orang-orang yang terkait dengan masalah tersebut (calon anggota legislatif)?
Jawaban:
Saya tidak menasihati seorang muslim pun mencalonkan diri supaya terpilih menjadi salah satu wakil di parlemen yang tidak berhukum dengan sesuatu yang diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, walau disebutkan oleh undang-undang dasar bahwa “agama negara adalah Islam.” Sungguh, hal ini dilakukan untuk melunturkan (idealisme) anggota parlemen yang masih bagus hati nuraninya!! Sebab, mereka tidak akan mampu mengubah sedikit pun perundang-undangan yang menyelisihi Islam. Hal ini sebagaimana yang terjadi di beberapa negara yang undang-undang dasarnya seperti itu.
Dia justru akan binasa seiring berjalannya waktu karena membenarkan sebagian hukum yang menyelisihi Islam dengan anggapan bahwa sekarang ini belum waktunya untuk mengubahnya. Hal ini bisa kita saksikan di beberapa negara. Ada anggota parlemen yang mengubah penampilan Islaminya menjadi penampilan barat. Penampilan itu terus dilakukan, dan dia diikuti oleh seluruh anggota parlemen lainnya!
Niatnya masuk parlemen untuk memperbaiki (mewarnai) anggota yang lain, namun ia justru merusak diri sendiri. Pada awalnya hujan rintik-rintik, kemudian deras sekali!
Oleh karena itu, kami tidak menyarankan seorang pun untuk mencalonkan diri.
Namun, saya tidak berpendapat kaum muslimin dilarang apabila ada calon anggota parlemen yang memusuhi Islam dan ada yang muslim, dari berbagai partai yang berbeda manhajnya. Kami menasihatkan dalam kondisi yang seperti ini agar setiap muslim memilih calon yang muslim saja dan yang paling dekat dengan manhaj ilmu yang shahih sebagaimana telah kami jelaskan di atas.
Inilah pendapatku. Meski demikian, aku tetap yakin bahwa pencalonan anggota parlemen dan pemilu tidak akan dapat merealisasikan tujuan yang diinginkan. Namun, hal ini termasuk upaya mengurangi kerusakan atau menepis kerusakan yang besar dengan melakukan kerusakan yang kecil, sebagaimana pernyataan para ahli fikih.
Pokok Masalah Fatwa Asy-Syaikh Albani yang Mereka Salah Pahami
1. Asy-Syaikh al-Albani mengatakan, “Sesungguhnya, hal yang paling membahagiakan bagi kaum muslimin di negeri mereka adalah ditinggikannya kalimat tauhid; dan hukum yang berlaku di dalamnya adalah hukum-hukum yang diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
Akan tetapi, kenyataannya, setiap partai saling meninggikan bendera partainya yang tidak ada simbol tauhid sedikit pun, lebih-lebih di masa kampanye. Partai yang paling kaya adalah partai yang paling banyak terpasang benderanya. Bendera-bendera itu dipasang di pinggir jalan, persimpangan, dan tempat strategis lainnya. Padahal, hukum yang mereka perjuangkan bukan Islam yang berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah dengan pemahaman para sahabat.
2. Asy-Syaikh al-Albani mengatakan, “Termasuk hal yang tidak diragukan adalah kaum muslimin semuanya (sesuai dengan kemampuan masing-masing) wajib berusaha menegakkan negara Islam yang berhukum dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah di atas metode pemahaman salaf yang shalih.”
Asy-Syaikh Muhammad al-Imam berkata, “Syubhat para politikus, ‘Kami mengikuti pemilu karena ingin menegakkan daulah Islamiyah!’.”
Bagaimana bisa mereka menegakkan daulah Islamiyah dan berhukum dengan syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala, sedangkan hal yang pertama kali harus mereka sepakati (ketika mencalonkan diri) adalah meninggalkan syariat Islam (dengan mengikuti demokrasi)? Bukankah pemilu merupakan bagian dari sistem yang diimpor dari orang-orang kafir?
Kalau saja mereka jujur akan menegakkan daulah Islamiyah, menurut anggapan mereka, mengapa mereka tidak memulainya dengan menolak pemilu?
Bagaimana bisa mereka rela bahwa hukum/aturan yang mengatur mereka adalah aturan Barat, lalu mereka menyatakan, “Kami akan menegakkan hukum Allah Ta’ala”?
Inti masalahnya adalah slogan-slogan kosong semata. (Tanwir azh-Zhulumat, hlm. 226)
3. Asy-Syaikh al-Albani mengatakan, “Suatu hal yang pasti dan tidak bisa ditawar lagi, menurut setiap muslim yang cermat, tegaknya negara Islam tidak mungkin akan terealisasi kecuali dengan dua hal, yaitu ilmu yang bermanfaat dan amal yang saleh. Golongan pertama yang melakukan hal tersebut adalah para ulama.”
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) al-Huda dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai.” (at-Taubah: 33)
Asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah menerangkan bahwa yang dimaksud dengan al-huda adalah ilmu yang bermanfaat, sedangkan agama yang benar adalah amal saleh. Agama yang Allah Ta’ala utus Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dengannya mencakup penjelasan terhadap kebenaran yang akan memisahkannya dari kebatilan, dalam hal nama, sifat, perbuatan Allah Ta’ala, hukum, dan berita. Agama tersebut mencakup pula perintah terhadap semua urusan yang bermanfaat bagi hati, ruh, dan badan, berupa keikhlasan beramal karena Allah Ta’ala semata, mencintai dan beribadah kepada-Nya. Agama tersebut mencakup pula perintah berakhlak mulia, berperangai baik, beramal saleh, dan beradab. Selain itu, mencakup pula larangan dari seluruh hal yang bertentangan dengan semua itu, seperti akhlak dan amalan jelek, yang akan membahayakan hati dan badan, baik di dunia maupun di akhirat.
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam membawa petunjuk (ilmu yang bermanfaat) dan agama yang benar (amal shalih) agar Dia meninggikannya (memenangkannya) di atas seluruh agama dengan hujah dan burhan/penjelasan, dengan pedang dan tombak, walaupun orang musyrik benci, dengki, dan membuat berbagai tipu daya. Sebab, makar yang jelek tidak akan merugikan selain pelakunya. Allah Ta’ala telah berjanji dan pasti akan menyempurnakannya.
Demokrasi dan pemilu akan senantiasa menjauhkan umat dari upaya mendapatkan ilmu yang bermanfaat dan amal saleh; digantikan dengan berbagai kegiatan yang menyimpang dari syariat, seperti pertemuan (anggota, pengurus, pimpinan, calon), kampanye, dll. Belum lagi masuknya berbagai syubhat. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.
Kebaikan mana yang akan mereka dapatkan? Ilmu tidak, amal pun bukan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ
“Barang siapa Allah kehendaki kebaikan baginya, Dia akan memberinya pemahaman dalam agama.” (Muttafaqun alaih dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan Radhiyallahu ‘anhu)
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Yang dapat dipahami dari hadits ini, barang siapa tidak mau mempelajari kaidah-kaidah Islam dan berbagai hal yang menjadi cabangnya, dia telah diharamkan dari kebaikan.” (Fathul Bari, 1/165)
Ditambah lagi tidak ada seorang alim ulama pun yang membimbing dan mengarahkan mereka, selain tokoh-tokoh mereka yang dilabeli “ulama”.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang salah satu sifat mulia para ulama,
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara para hamba-Nya, hanyalah ulama.” (Fathir: 28)
Sufyan ats-Tsauri rahimahullah mengatakan bahwa ulama itu ada tiga macam:
Orang yang berilmu tentang (nama, sifat, dan perbuatan) Allah Subhanahu wa Ta’ala dan takut kepada-Nya, namun dia tidak berilmu tentang syariat-Nya,
Orang yang berilmu tentang Allah Ta’ala dan syariat-Nya, serta takut kepada Allah Ta’ala. Itulah orang yang berilmu dengan sempurna.
Orang yang berilmu tentang syariat-Nya, namun tidak berilmu tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala sehingga tidak takut kepada Allah Ta’ala. Itulah orang alim yang jahat. (Sunnan ad-Darimi, 1/114 no. 363)
Peran ulama di tengah umat sangat penting, sebagaimana ucapan al-Hasan al Bashri rahimahullah, “Kalau tidak ada para ulama, sungguh umat manusia akan seperti binatang ternak.” (Mukhtashar Nashihat Ahli Hadits, 162)
Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Amalan yang jelek itu ibarat penyakit, sedangkan para ulama adalah obatnya. Apabila para ulama rusak (dengan politik dan semisalnya), siapa lagi yang bisa mengobati penyakit?” (al-Hilyah, 6/361)
4. Asy-Syaikh al-Albani mengatakan, “Di antara tujuan syariat yang dibawa oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, adalah melarang tasyabuh terhadap orang kafir, sedangkan demokrasi membangun cara dan aturan yang selaras dengan sikap taklid dan adat-istiadat mereka. Di antaranya dalam hal memilih presiden, wakil presiden, dan anggota legislatif dengan cara pemilu. Sungguh, ini adalah cara yang selaras dengan kekafiran dan kebodohan mereka.”
Ucapan asy-Syaikh al-Albani di atas memunculkan pertanyaan, “Apakah orang-orang yang berkecimpung dalam demokrasi berikut pemilunya meyakini hal ini? Padahal ini adalah salah satu prinsip Islam yang paling mendasar. Atau mereka justru menyatakan bahwa demokrasi itu dari Islam dan pemungutan suara/pemilu itu bagian dari Islam?” Na’udzubillah.
Benarlah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
بَادِرُوا بِالْأَعْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِي كَافِرًا أَوْ يُمْسِي مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا يَبِيعُ دِينَهُ بِعَرَضٍ مِنْ الدُّنْيَا
“Bersegeralah kalian melakukan amalan sebagai upaya menyelamatkan diri kalian dari berbagai fitnah yang seperti potongan-potongan malam yang gelap (karena dahsyatnya). Seseorang pada pagi hari dalam keadaan mukmin dan waktu sore sudah menjadi kafir. Atau, seseorang pada sore hari dalam keadaan mukmin kemudian masuk waktu pagi menjadi kafir, karena menjual agamanya demi keuntungan dunia.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah z)
5. Asy-Syaikh al-Albani mengatakan, “Barang siapa benar-benar ingin menegakkan negara Islam, janganlah ia mengumpulkan dan menyatukan kaum muslimin di atas perbedaan pemikiran dan tarbiyah (pendidikan) mereka sebagaimana realitas yang terjadi pada partai Islam sekarang ini. Mereka harus mempersatukan pemikiran dan pemahaman mereka di atas prinsip Islam yang sahih, yaitu di atas kitabullah dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sesuai dengan pemahaman salafus shalih.
Oleh karena itu, kami tidak menasihatkan kepada seorang pun untuk mencalonkan diri. Akan tetapi, aku tidak berpendapat rakyat muslim harus dilarang apabila dalam daftar caleg ada orang yang memusuhi Islam dan ada pula yang muslim, dari berbagai partai politik yang berbeda manhajnya. Dalam kondisi seperti ini, kami nasihati setiap muslim untuk memilih calon yang muslim dan paling dekat dengan manhaj ilmu yang shahih (aqidah as-shahih) sebagaimana yang telah dijelaskan.
Inilah pendapat saya. Meski demikian, saya berkeyakinan bahwa pencalonan anggota legislatif dan pemilu ini tidak dapat mewujudkan tujuan yang yang dimaksud di atas. Hal ini termasuk upaya meminimalkan kerusakan (yang akan terjadi) atau termasuk menepis kerusakan yang besar dengan kerusakan yang kecil, sebagaimana yang dikatakan oleh para ahli fikih.”
Asy-Syaikh Muhammad al-Imam menjelaskan, “Berkaitan dengan fatwa para ulama, fatwa itu terkait dengan ketentuan syar’i. Di antaranya ialah maslahat yang besar tersebut betul-betul akan terwujud, atau kerusakan yang besar tersebut akan benar-benar tertepis dengan melakukan kerusakan-kerusakan yang kecil, disertai sekian banyak ketentuan lain yang terkait dengan kaidah ini. Akan tetapi, orang yang bernafsu untuk berpartisipasi dalam pemilu tidak memerhatikan ketentuan ini.
Beliau menjelaskan bahwa syarat yang harus dipenuhi untuk mengambil kaidah, “Menempuh kerusakan yang kecil dalam rangka menepis kerusakan yang besar,” adalah sebagai berikut.
a. Kepentingan besar yang diharapkan betul-betul hakiki, bukan hanya angan-angan/kekhawatiran.
Jadi, kita tidak boleh melakukan kerusakan yang hakiki demi mendapatkan kepentingan yang berupa angan-angan. Kalau saja aturan demokrasi betul-betul membantu Islam dan syariatnya, tentu negara Islam seperti Mesir, Syam, Aljazair, Pakistan, Turki, atau negeri muslim yang lainnya sudah mendapatkan kemenangan sejak 60 tahun yang lalu.
b. Kepentingan yang diharapkan lebih besar daripada kerusakan yang dilakukan, ditimbang oleh para ulama yang mendalam ilmunya tentang syariat.
Kepentingan tersebut bukan berdasarkan penilaian orang yang tergila-gila dengan partai, gerakan, atau tokoh politiknya.
Barang siapa memahami kerusakan/kebobrokan demokrasi yang sangat banyak; seperti (1) hilangnya syariat Islam (karena diganti dengan demokrasi), (2) para rasul tidak lagi dibutuhkan, karena perkara halal dan haram ditakar dengan pendapat mayoritas, bukan dengan wahyu yang diberitakan oleh para rasul, (3) hilangnya al-wala’ dan al-bara’ (loyalitas dan permusuhan/kebencian) karena agama, (4) tersamarkannya prinsip akidah yang jelas dengan cara diputarbalikkan, (5) adanya pengambilan keputusan dengan suara terbanyak, (6) adanya ketentuan-ketentuan parlemen; maka tidak pantas ia berkata, “Sesungguhnya masuk ke dalam sistem seperti ini lebih ringan kerusakannya.”
Justru pendapat yang benar adalah sebaliknya. Seandainya kita terima anggapan bahwa kadar kerusakan dan kemaslahatannya sama, tetap akan berlaku kaidah ‘menepis kerusakan lebih didahulukan daripada mendapatkan kemaslahatan’. (Akan muncul pula pertanyaan), apakah tidak ada jalan untuk mendapatkan kemaslahatan selain dengan melakukan kerusakan tersebut?
Jika kita jawab bahwa tidak ada metode yang lain, berarti kita telah menghukumi metode Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak cocok untuk menegakkan hukum Allah Ta’ala di muka bumi ini pada masa yang lainnya.
Adapun orang yang mengikuti kebenaran meyakini bahwa cara demokrasi dan kepartaian hanya akan melemahkan umat. Karena itu, musuh-musuh Islam dari kalangan Yahudi, Nasrani, dan lainnya bersemangat memperjuangkan dan membela berhala ini (demokrasi). (Tanwir azh-Zhulumat, hlm. 249—250)

Meraih Ampunan Allah Al-Ghafur Di Bulan Ramadhan Yang Mulia

Abu Fathan | 02:25 | 0 comments
Oleh Syaikh Sa‘d bin Sa‘îd al-Hajri

Di antara nama Allah Azza wa Jalla adalah al-Ghafûr (Yang Maha Pengampun), dan di antara sifat-sifat-Nya adalah maghfirah (memberi ampunan). Sesungguhnya para hamba sangat membutuhkan ampunan Allah Azza wa Jalla dari dosa-dosa mereka, dan mereka rentan terjerumus dalam kubangan dosa. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَوْ لَمْ تُذْنِبُوْا لَذَهَبَ اللََّهُ بِكُمْ وَلَجَاءَ بِقَوْمٍ يُذْنِبُوْنَ فَيَسْتَغْفِرُوْنَ اللَّهَ فَيَغْفِرُ لَهُمْ

Seandainya kalian tidak berbuat dosa, niscaya Allah akan melenyapkan kalian, dan Dia pasti akan mendatangkan suatu kaum yang berbuat dosa, lalu mereka akan memohon ampun kepada Allah, lalu Dia akan mengampuni mereka. [HR. Muslim, no. 2749]

Dosa telah ditakdirkan pada manusia dan pasti terjadi. Allah Azza wa Jalla telah mensyariatkan faktor-faktor penyebab dosanya, agar hatinya selalu bergantung kepada Rabbnya, selalu menganggap dirinya sarat dengan kekurangan, senantiasa berintrospeksi diri, jauh dari sifat ‘ujub (mengagumi diri sendiri), ghurûr (terperdaya dengan amalan pribadi) dan kesombongan.

Dosa-dosa banyak diampuni di bulan Ramadhan, karena bulan itu merupakan bulan rahmat, ampunan, pembebasan dari neraka, dan bulan untuk melakukan kebaikan. Bulan Ramadhan juga merupakan bulan kesabaran yang pahalanya adalah surga. Allah Azza wa Jalla berfirman:

إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍ

Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala tanpa batas. [az-Zumar/39:10]

Puasa adalah perisai dan penghalang dari dosa dan kemaksiatan serta pelindung dari neraka. Dalam hadits shahîh dijelaskan:

الصَّحَابَةُ : أَمَّنْتَ يَا رَسُوْلَ اللَّه قَالَ : جَاءَنِيْ جِبْرِيْلُ فَقَالَ :بُعْدًا لِمَنْ أَدْرَكَ رَمَضَانَ فَلَمْ يُغْفَرْلَهُ قُلْتُ : آمِيْن فَلَمَّا رَقَيْتُ الشَّانِيَةُ قَالَ بُعْدًا لِمَنْ ذُكِرتَ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْكَ قُلْتُ : آمِِيْن فَلَمَّا رَقَيْتُ الشَّالِشَةَ قَالَ بُعْدًا لِمَنْ أَدْرَكَ أَبَوَاهُ الْكِبَرَ عِنْدَهُ فَلَمْ يُدْخِلاَهُ الْجَنَّةَ قُلْتُ آمِيْن

Sesungguhnya Nabi mengucapkan amîn sebanyak tiga kali tatkala Jibril berdoa. Para Sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah! Engkau telah mengucapkan amîn”. Beliau menjawab: “Jibril telah mendatangiku, kemudian ia berkata: “Celakalah orang yang menjumpai Ramadhan lalu tidak diampuni”. Maka aku menjawab: “Amîn”. Ketika aku menaiki tangga mimbar kedua maka ia berkata: “Celakalah orang yang disebutkan namamu di hadapannya lalu tidak mengucapkan salawat kepadamu”. Maka aku menjawab: “Amîn”. Ketika aku menaiki anak tangga mimbar ketiga, ia berkata: “Celakalah orang yang kedua orang tuanya mencapai usia tua berada di sisinya, lalu mereka tidak memasukkannya ke dalam surga”. Maka aku jawab: “Amîn”. [1]

Seorang Muslim yang berusaha mendapatkan ampunan dosa, akan berbahagia dengan adanya amalan-amalan shalih agar Allah Azza wa Jalla menghapuskan dosa dan perbuatan jeleknya, karena kebaikan bisa menghapus kejelekan.

Sebab-sebab ampunan yang disyariatkan itu di antaranya:

1. TAUHID
Inilah sebab teragung. Siapa yang tidak bertauhid, maka kehilangan ampunan dan siapa yang memilikinya maka telah memiliki sebab ampunan yang paling agung. Allah Azza wa Jalla berfirman:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَاءُ

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. [an-Nisâ‘/4:48]

Siapa saja yang membawa dosa sepenuh bumi bersama tauhid, maka Allah Azza wa Jalla akan memberikan ampunan sepenuh bumi kepadanya. Namun, hal ini berhubungan erat dengan kehendak Allah Azza wa Jalla. Apabila Diak berkehendak, akan mengampuni. Dan bisa saja, Dia Azza wa Jalla berkehendak untuk menyiksanya. Siapa yang merealisasikan kalimatut tauhîd di hatinya, maka kalimatut tauhîd tersebut akan mengusir kecintaan dan pengagungan kepada selain Allah Azza wa Jalla dari hatinya. Ketika itulah dosa dan kesalahan dihapus secara keseluruhan, walaupun sebanyak buih di lautan. ‘Abdullâh bin ‘Amr Radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: “Sesungguhnya Allah akan menyendirikan seorang dari umatku (untuk dihadapkan) di depan semua makhluk pada hari Kiamat. Lalu Allah menghamparkan sembilan puluh sembilan lembaran (catatan amal) miliknya. Setiap lembaran seperti sejauh mata memandang. Kemudian Allah berfirman: “Apakah kamu mengingkarinya? Apakah malaikat pencatat amalan menzhalimimu”. Maka ia pun menjawab: “Tidak wahai Rabbku”. Lalu Allah berfirman lagi: “Apakah kamu memiliki udzur?” ia menjawab: “Tidak ada wahai Rabb”. Lalu Allah berfirman: “(Yang benar) ada, sesungguhnya kamu memiliki kebaikan di sisi Kami, tidak ada kezhaliman atasmu pada hari ini”. Lalu dikeluarkan satu kartu berisi syahadatain. Kemudian Allah berfirman: “Masukanlah dalam timbangan!” Ia pun berkata: “Wahai Rabbku apa gunanya kartu ini dibandingkan lembaran-lembaran itu?” Maka Allah berfirman: “Sungguh kamu tidak akan dizhalimi”. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Selanjutnya lembaran-lembaran tersebut diletakkan dalam satu anak timbangan dan kartu tersebut di anak timbangan yang lain. Ternyata lembaran-lembaran terangkat tinggi dan kartu tersebut lebih berat. Maka tidak ada satu pun yang lebih berat dari nama Allah”. [2]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Qudsi menyatakan:

قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَاابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِيْ بِقُرَابِ اْلأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ لَقِيْتَنِي لاَ تُشْرِكُ بِيْ شَيْئًاَلأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً

Allah berfirman: Wahai anak keturunan Adam, seandainya kamu membawa dosa sepenuh bumi kemudian kamu menjumpai-Ku dalam keadaan tidak mempersekutukan sesuatu dengan-Ku (tidak berbuat syirik) tentu saja Aku akan membawakan untukmu sepenuh bumi ampunan. [HR Muslim].

Ini adalah keutamaan dan kemurahan dari Allah Azza wa Jalla dengan pengampunan seluruh dosa yang ada pada lembaran-lembaran tersebut dengan kalimat tauhid. Karena kalimat tauhid adalah kalimat ikhlas yang menyelamatkan pemiliknya dari adzab. Allah Azza wa Jalla menganugerahinya surga dan menghapus dosa-dosa yang seandainya memenuhi bumi; namun hamba tersebut telah mewujudkan tauhid, maka Allah Azza wa Jalla menggantikannya dengan ampunan.

2. DOA DENGAN PENGHARAPAN
Allah Azza wa Jalla memerintahkan berdoa dan berjanji akan mengabulkannya. Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ

Dan Rabbmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu”. [Ghâfir/40:60]

Doa adalah ibadah. Doa akan dikabulkan apabila memenuhi kesempurnaan syarat dan bersih dari penghalang-penghalang. Kadangkala, pengabulan itu tertunda, karena sebagian syarat tidak terpenuhi atau adanya sebagian penghalangnya.

Di antara syarat dan adab terkabulnya doa adalah kekhusyukan hati, mengharapkan ijâbah dari Allah Azza wa Jalla, sungguh-sungguh dalam meminta, tidak menyatakan insya Allah (Ya Allah Azza wa Jalla, kabulkanlah permintaanku bila Engkau menghendakinya-red), tidak tergesa-gesa mengharap pengabulan, memilih waktu-waktu dan keadaan yang mulia, mengulangulang doa tiga kali dan memulainya dengan pujian kepada Allah Azza wa Jalla dan shalawat, berusaha memilih makanan dan minuman yang halal dan lain-lain.

Di antara permohonan terpenting yang dipanjatkan seorang hamba kepada Rabbnya yaitu permohonan agar dosa-dosanya diampuni atau pengaruh dari pengampunan dosa seperti diselamatkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda Kepada seseorang yang berujar: “Saya tidak mengetahui doamu dengan perlahan yang juga dilakukan Mu’âdz.

”حَوْلَهَا نُدَنْدِنُ

Permohonan kami di seputar itu. [3]

Maksudnya doa kami itu berkisar pada permohonan agar dimasukkan surga dan diselamatkan dari neraka. Abu Muslim al-Khaulâni mengatakan: “Tidaklah datang kesempatan berdoa kepadaku, kecuali saya jadikan doa itu permohonan agar dilindungi dari api neraka.”

3. ISTIGHFÂR (MEMOHON AMPUNAN)
Permohonan ampun ini merupakan pelindung dari adzab, penjaga dari setan, penghalang dari dari kegelisahan, kefakiran dan penderitaan, pengaman dari masa paceklik dan dosa; meskipun dosa-dosa seseorang telah menggunung sampai menyentuh langit. Dalam hadits Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda bahwa Allah Azza wa Jalla berfirman :

يَاابْنَ آدَمَ إِنَّكَ مَادَعَوْتَنِي وَرَجَوْتَنِي غَفَرْتُ لَكَ عَلَى مَاكَانَ فِيْكَ وَلاَأُبَالِىْ يَاابْنَ آدَمَ لَؤْ بَلَغَتْ ذُنُوْ بُكَ عَنَانَ السَّمَاءِ ثُمَّ اسْتَغْفَرْتَنِيْ غَفَرْتُ لَكَ وَلاَ أُبَالِيْ يَاابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ أََتَيْتَنِيْ بِقُرَابِ اْلأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ لَقِيْتَنِيْ لاَ تُشْرِكُ بِي شَيْئًا َلأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً

“Wahai bani Adam, sesungguhnya selama engkau masih berdoa dan berharap kepada-Ku, maka Aku akan mengampunimu semua dosa yang ada padamu dan Aku tidak akan peduli; Wahai bani Adam, seandainya dosa-dosamu mencapai langit, kemudian engkau memohon ampun kepada-Ku, Aku akan mengampunimu dan Aku tidak peduli; Wahai bani Adam, seandainya engkau datang kepada-Ku dengan membawa kesalahan seukuran bumi kemudian engkau datang menjumpai-Ku dalam keadaan tidak berbuat syirik atau menyekutukanKu dengan apapun juga, maka sungguh Aku akan datang kepadamu dengan membawa ampunan seukuran bumi juga. [HR. at-Tirmidzi]

Membaca istighfâr adalah penutup terbaik bagi berbagai amalan, umur, serta penutup majelis.

4. BERPUASA DI SIANG HARI DAN SHALAT MALAM KARENA IMAN, MENGHARAPKAN BALASAN PAHALA DARI ALLAH AZZA WA JALLA, IKHLAS SERTA DALAM RANGKA TAAT KEPADA ALLAH AZZA WA JALLA
Dia berpuasa bukan dengan niat mengikuti orang banyak, juga tidak untuk mendapatkan sanjungan orang, tidak untuk melestarikan adat atau supaya sehat; juga tidak berniat pamer serta tidak untuk mensukseskan urusan duaniawi. Dia juga tidak berniat untuk mendoakan keburukan yang tidak pantas buat seorang Muslim. Dia melaksanakan ibadah puasa terdorong oleh niat beriman kepada Allah Azza wa Jalla, merealisasikan ketaatan kepada-Nya dan mengharapkan pahala dari Allah Azza wa Jalla. Dalam sebuah hadits dinyatakan :

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Barangsiapa yang berpuasa karena iman dan ingin mendapatkan pahala, maka diampuni semua dosanya yang telah lewat.[al-Bukhâri dan Muslim]

Alangkah luar biasanya seorang yang melaksanakan ibadah puasa lalu keluar dari ibadahnya dalam keadaan sebagaimana ketika dilahirkan oleh ibundanya, yaitu tidak menanggung dosa dan berhati suci.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى فَرَضَ صِيَامَ رَمَضَانَ عَلَيْكُمْ وَسَنَنْتُ لَكُم قِيَامَهُ فَمَنْ صَامَهُ وَقَامَهُ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا خَرَجَ مِنْ ذُنُوْبِهِ كَيَوْمَ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ

“Sesungguhnya Allah mewajibkan puasa Ramadhan dan saya menyunnahkan bagi kalian shalat malamnya. Maka barangsiapa melaksanakan ibadah puasa dan shalat malamnya karena iman dan karena ingin mendapatkan pahala, niscaya dia keluar dari dosadosanya sebagaimana saat dia dilahirkan oleh ibundanya.[4]

Dengan melaksanakan semua ini berarti seorang Muslim telah menjaga waktu siangnya dengan puasa, memelihara waktu malamnya dengan shalat tarawih serta berusaha mendapatkan ridha Allah Azza wa Jalla
.
5. MELAKSANAKAN SHALAT MALAM PADA LAILATUL QADAR KARENA IMAN DAN INGIN MENDAPATKAN PAHALA
Lailatul Qadar adalah suatu malam yang Allah Azza wa Jalla muliakan, melebihi semua malam lainnya, suatu malam saat Allah k menurunkan kitab-Nya.
Allah Azza wa Jalla berfirman :

إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ

Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Qur‘ân) pada malam kemuliaan. [al-Qadr/97:1]

Allah Azza wa Jalla menjadikan Lailatul Qadar ini lebih baik daripada seribu bulan. Pada malam ini para malaikat turun dan menjadikannya malam keselamatan dari segala keburukan dan dosa. Allah Azza wa Jalla mengkhususkan satu surat dalam al-Qur’ân yang membicarakan tentang malam ini. Orang yang terhalang dari berbagai kebaikan pada malam ini berarti dia terhalang dari semua kebaikan.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mencari Lailatul Qadar ini pada seluruh hari pada bulan Ramadhan, karena beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah beri’tikaf pada sepuluh hari pertama bulan Ramadhan, kemudian sepuluh hari kedua dan sepuluh hari terakhir. Orang yang ingin mendapatkan keberuntungan, maka dia akan antusias untuk melaksanakan shalat malam pada malam yang lebih baik dari delapan puluh tiga tahun dan empat bulan.

Dalam hadits, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ

Barangsiapa melaksanakan shalat malam pada bulan Ramadhan karena iman dan ingin mendapatkan pahala, maka dia diampuni semua dosanya yang telah lewat. [5]

Untuk mendapatkan ampunan di malam itu, tidak disyaratkan untuk menyaksikannya secara langsung. Namun syaratnya adalah orang melakukan qiyamul lail sebagaimana tertuang dalam hadits tersebut.

6. BERSEDEKAH
Bersedekah termasuk salah satu qurbah (ibadah yang mendekatkan diri) yang agung di hadapan Allah Azza wa Jalla . Dengannya, seorang hamba memperoleh kebaikan, sesuai dengan firman Allah Azza wa Jalla :

تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّىٰ تُنفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ ۚ وَمَا تُنفِقُوا مِن شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ

Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan. sesungguhnya Allah mengetahuinya. [Ali Imrân/3:92].

Dalam hadits Mu’âdz, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَلاَ أَدُلُّكَ عَلَى أَبْوَبِ الْخَيْرِ الصَّوْمُ جُنَّهٌ وَالصَّدَقَةُ تُطْفِىءُ الْخَطِيْئَةَ كَمَا يُطْفِىءُ الْمَاءُ النَّارَ وَصَلاَةُ الرَّجُلِ مِنْ جَوْفِ اللَّيْلِ

“Maukah aku tunjukkan kepadamu pintu-pintu kebaikan? Puasa adalah perisai. Bersedekah itu menghapus kesalahan sebagaimana air memadamkan api. Dan shalat seseorang di kegelapan malam …” [at-Tirmidzi no: 2541]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam orang yang sangat dermawan. Dan beliau lebih dermawan lagi di bulan Ramadhan saat beliau berjumpa dengan malaikat Jibril. Saat itu beliau lebih berbaik hati daripada angin yang bertiup sepoi-sepoi. Di antara bentuk sedekah terbaik adalah memberi makan orang yang puasa (ifthârus shâim). Disebutkan dalam hadits:

مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِشْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّا ئِمِ شَيْئًا

“Barang siapa memberi buka puasa bagi orang yang puasa maka ia memperoleh pahala sepertinya, tanpa mengurangi pahala orang itu sedikit pun.” [HR. at-Tirmidzi dan dishahîhkan oleh al-Albâni]

Pahala orang yang bersedekah dilipatgandakan sampai tujuh ratus lipat dan kelipatan yang lebih banyak lagi. Di bulan Ramadhan, penggandaan pahala itu semakin besar. Di antara pemandangan yang sangat menarik, antusiasme orang di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi dan masjid-masjid lainnya untuk memberi buka puasa bagi kaum Muslimin di bulan Ramadhan.

7. MELAKUKAN UMRAH
Ibadah umrah termasuk faktor yang menggugurkan dosa-dosa. Rasulullah bersabda:

الْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ

“Ibadah umrah ke ibadah umrah (berikutnya) adalah penggugur dosa antara keduanya. Dan pahala haji mabrur tiada lain adalah surga” [al-Bukhâri no: 1650]

Umrah di bulan Ramadhan pahalanya lebih besar daripada di bulanbulan lainnya. Dari Ibnu Abbâs Radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sehabis pulang dari haji Wada’ berkata kepada seorang wanita dari Anshar bernama Ummu Sinân : “Apa yang menghalangimu untuk berhaji (denganku).” Ia menjawab: “Abu Fulan (suaminya) memiliki dua onta. Salah satu dipakainya untuk berhaji dan yang lain untuk mengairi persawahan.”

Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya:

فَإِنَّ عُمْرَةً فِي رَمََضَانَ تَقْضِي حَجَّةً أَوْ حَجَّةً مَعِيْ

“Sesungguhnya umrah di bulan Ramadhan dapat mengganti haji bersamaku.”[HR Bukhâri no 1863; Muslim no 3028]

Betapa besar keberuntungan orang yang umrah di bulan Ramadhan. Ia bagaikan berhaji bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , seperti orang yang menyertai beliau dalam ihram, sai dan thawaf dan seluruh manasik haji beliau.

8. MENYEMPURNAKAN PUASA SEBULAN PENUH
Ada sekian banyak orang yang akan bebas dari api neraka di bulan Ramadhan, dan itu terjadi di setiap malam. Allah Azza wa Jalla menyempurnakan pahala orang-orang yang sabar tanpa perhitungan khusus. Ada Ulama yang mengatakan:

مَنْ صَامَ الشَّهْرَ وَاسْتَكْمَلَ اْلأَجْرَ وَأَدْرَكَ لَيْلَةَ الْقَدَرِ فَقَدْ فَازَ بِجَائِزَةِ الرَّبَّ

Barang siapa berpuasa sebulan penuh dan meraih pahala sempurna, dan berjumpa dengan malam lailatul qadar, sungguh ia telah menggapai hadiah dari Allah.

Semoga Allah Azza wa Jalla mengampuni dosa-dosa kita sekalian dan menutupi kekurangan-kekurangan kita dan memudahkan segala urusan kita.

Diambil dari kitab Tadzkîrul Anâm Bidurûs ash-Shiyâm, karya Syaikh Sa‘d bin Sa‘îd al-Hajri, Dâr Ibnul Jauzi hlm 265-27

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi, 06-07/Tahun XIII/1430/2009M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858197]
_______
Footnote
[1]. Penulis kitab Nadhratun Na’îm (10/5014) berkata : Hadits ini dikeluarkan al-Hâkim dalam Al-Mustadrak (4/154) dan berkata: hadits ini shahîh sanadnya, namun imam al-Bukhâri dan Muslim tidak mengeluarkannya. Imam adz-Dzahabi menyetujui hal ini. (Dishahîhkan al-Albâni dalam Shahîh at-Targhîb wat-Tarhîb).
[2]. HR at-Tirmidzi kitab Iman bâb Mâ Jâ‘a Fîman Yamûtu Wahuwa Yasyhadu An Lâ Ilâha Illallâh dan dishahîhkan al-Albâni dengan no. 2639
[3]. Dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni dalam Shahîhul Jâmi’ no. 3163
[4]. Penyusun kitab Nadhratun Na’îm mengatakan : Diriwayatkan oleh Imam an-Nasî’i 4/158 dan lafazh ini adalah lafazh imam an-Nasâ’i; diriwayatkan juga oleh Imam Ahmad 1/191. Syaikh Ahmad Syâkir mengatakan : “Sanad hadits ini shahîh.”
[5]. HR Imam Muslim, Kitâb Shalâtil Musâfirîn, bab At-Targhîb Fî Qiyâmi Ramadhân Wa Huwa Shalâtut Tarâwîh, no. 1778
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. BERITA SUNNAH - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger