{قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ ويَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ، وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ}

Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah (sunnah/petunjuk)ku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS Ali ‘Imran:31)

Ketika Agama Telah Mengharamkan

Abu Fathan | 22:21 | 0 comments
Islam yang dibawa oleh Al Musthafa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, datang sebagai rahmat bagi semesta alam. Allah Ta’ala berfirman,


وَما أَرْسَلْناكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِلْعالَمِينَ


Kami tidak mengutus engkau, Wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh manusia” (QS. Al Anbiya: 107)



Secara bahasa,


الرَّحْمة: الرِّقَّةُ والتَّعَطُّفُ


rahmat artinya kelembutan yang berpadu dengan rasa iba (Lihat Lisaanul Arab).


Atau dengan kata lain rahmat dapat diartikan dengan kasih sayang. Jadi dapat kita katakan bahwa datangnya Islam adalah bentuk kasih sayang Allah kepada seluruh makhluk.


Kasih sayang tersebut tersurat dan tersirat dalam seluruh ajaran Islam, baik yang berupa larangan maupun perintah. Namun, benarlah firman Allah Ta’ala,



وَقَلِيلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ


Hanya sedikit hamba-Ku yang bersyukur” (QS. Saba’: 13)


Karena kita masih sering melihat di tengah-tengah kaum muslimin zaman ini, ada orang yang ketika dijelaskan kepadanya hal-hal yang dilarang oleh agama, dengan congkaknya ia berkata: ‘Sedikit-sedikit koq haram!‘. Padahal larangan agama adalah bentuk kasih sayang Allah kepada hamba-Nya.


Yang Haram Itu Berbahaya dan Merugikan


Salah satu konsekuensi Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin adalah, setiap ajaran Islam mengajak kepada perkara yang baik bagi manusia dan melarang perkara yang buruk bagi manusia. Sebagaimana diungkapkan dalam kaidah fiqhiyyah:


الشَارِعُ لَا يَـأْمُرُ إِلاَّ ِبمَا مَصْلَحَتُهُ خَالِصَةً اَوْ رَاجِحَةً وَلاَ يَنْهَى اِلاَّ عَمَّا مَفْسَدَتُهُ خَالِصَةً اَوْ رَاجِحَةً


Islam tidak memerintahkan sesuatu kecuali mengandung 100% kebaikan, atau kebaikan-nya lebih dominan. Dan Islam tidak melarang sesuatu kecuali mengandung 100% keburukan, atau keburukannya lebih dominan



Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di berkata, “Kaidah ini meliputi seluruh ajaran Islam, tanpa terkecuali. Sama saja, baik hal-hal ushul (pokok) maupun furu’ (cabang), baik yang berupa hubungan terhadap Allah maupun terhadap sesama manusia. Allah Ta’ala berfirman,


إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ


Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran” (QS. An Nahl: 90)


Dalam ayat ini dijelaskan bahwa setiap keadilan, kebaikan, silaturahim pasti diperintahkan oleh syariat. Setiap kekejian dan kemungkaran terhadap Allah, setiap gangguan terhadap manusia baik berupa gangguan terhadap jiwa, harta, kehormatan, pasti dilarang oleh syariat. Allah juga senantiasa mengingatkan hamba-Nya tentang kebaikan perintah-perintah syariat, manfaatnya dan memerintahkan menjalankannya. Allah juga senantiasa mengingatkan tentang keburukan hal-hal dilarang agama, kejelekannya, bahayanya dan melarang mereka terhadapnya”[1].


Dan tidak diragukan lagi bahwa setiap makhluk dan benda di alam ini pasti memiliki manfaat dan kebaikan meski hanya sedikit. Benda yang paling hina di dunia ini pun masih mengandung manfaat walau kecil sekali. Jika semua hal yang memiliki kebaikan itu dihalalkan niscaya semua hal di dunia ini akan halal dan tidak ada yang haram. Oleh karena itulah Islam melarang segala sesuatu yang keburukannya lebih dominan meski ia memiliki sedikit kebaikan atau manfaat. Allah Ta’ala berfirman,


يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا


Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”” (QS. Al Baqarah: 219)



Terkadang seseorang enggan meninggalkan apa yang telah diharamkan oleh agama karena menganggap hal tersebut bermanfaat baginya. Seseorang enggan meninggalkan korupsi karena berjudi membuatnya mendapat uang, seseorang enggan meninggalkan daging babi karena rasanya enak, seseorang enggan meninggalkan musik karena membuat hatinya terhibur, seseorang enggan meninggalkan rokok karena membuat pikirannya plong, dan seterusnya. Lihatlah bagaimana para sahabat ridwanullah ‘alaihim ajma’in, bersikap terhadap larangan agama, mereka berkata,


نَهَانَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ أَمْرٍ كَانَ لَنَا نَافِعًا وَطَوَاعِيَةُ اللَّهِ وَرَسُولِهِ أَنْفَعُ لَنَا


Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pernah melarang sesuatu yang kami anggap lebih bermanfaat. Namun taat kepada Allah dan Rasul-Nya tentu lebih bermanfaat bagi kami” (HR. Muslim, no. 4027)


Apalah artinya sedikit mengorbankan manfaat duniawi demi ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya? Apalah artinya merelakan sedikit keuntungan duniawi untuk menjunjung aturan agama? Apalah artinya sedikit melewatkan kemudahan hidup di dunia, untuk menjadi seorang hamba yang setia dan taat? Apalah artinya sedikit bagian dari dunia yang fana ini untuk mendapatkan dunia yang lebih kekal?


وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى



Akhirat itu lebih baik dan lebih kekal” (QS. Al-A’laa: 17)


Bahkan lebih dari itu, pelanggaran terhadap aturan agama tidak hanya mendatangkan kerugian di akhirat, bahkan juga menjadi sebab datangnya bencana di dunia. Dan ini jelas sebuah kerugian. Allah Ta’ala berfirman:


فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ


Hendaknya orang yang menentang ajaran Rasulullah itu takut, akan datangnya musibah atau adzab besar yang menimpa mereka” (QS. An Nuur: 63)


Oleh karena itu, bagi orang-orang yang hendak melanggar larangan agama, hendaknya lebih bijak menimbang untung-rugi bagi dirinya.


Yang Haram Lebih Sedikit Dari Yang Halal


Orang yang berkata: ‘sedikit-sedikit koq haram‘ tidak menyadari betapa Allah Ta’ala menghalalkan jauh lebih banyak hal baginya dari pada yang haram. Misalnya, makanan yang halal jauh lebih banyak dari pada yang haram. Allah Ta’ala tidak membatasi makanan halal dengan menyebutkan jenis-jenisnya, sedangkan pada makanan yang haram Allah memberikan batasan dengan menyebutkan jenis-jenisnya. Artinya, seluruh makanan yang ada di bumi itu halal kecuali beberapa jenis saja. Allah Ta’ala berfirman, menghalalkan makanan dan minuman secara umum,



كُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِي


Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan” (QS. Al A’araf: 31)


Lalu Allah Ta’ala berfirman menyebutkan beberapa jenis saja Ia diharamkan,


وَمَا لَكُمْ أَلَّا تَأْكُلُوا مِمَّا ذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلَّا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ


Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya” (QS. Al An’am: 119)


Dan beberapa jenis lagi dijelaskan dalam hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari sini para ulama menarik sebauh kaidah fiqih:



الأصل في العبادات الحظر, و في العادات الإباحة


Hukum asal ibadah adalah terlarang, hukum asal ‘adah adalah boleh


‘Adah adalah semua perkara non-ibadah, misalnya makanan, minuman, pakaian, pekerjaan, alat-alat, dan lainnya. Semuanya halal dan boleh selama tidak diketahui ada dalil yang mengharamkannya. Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di menjelaskan: “Semua perkara ‘adah baik berupa makanan, minuman, pakaian, kegiatan-kegiatan non-ibadah, mu’amalah, pekerjaan, hukum asalnya mubah dan halal. Orang yang mengharam perkara ‘adah, padahal Allah dan Rasul-Nya tidak mengharamkan, ia adalah mubtadi‘”[2]



Jika demikian kita ketahui betapa banyak hal yang hukumnya mubah dan halal. Sungguh kalau kita mau menghitung hal-hal yang dihalalkan oleh Allah tidak akan terhitung banyaknya,


وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَتَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا


Jika engkau menghitung nikmat Allah engkau tidak akan sanggup” (QS. Ibrahim: 34)


Dari nikmat yang tidak terhingga banyaknya ini, mengapa ketika Allah melarang sedikit saja kita masih merasa berat meninggalkannya??


Setiap Orang Mampu Meninggalkan Yang Haram


Allah Ta’ala menurunkan Islam sebagai agama yang mudah dilaksanakan oleh manusia. RasulullahShallallahu’alaihi Wasallam bersabda,



إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ ، فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا


Sesungguhnya agama itu mudah. Orang yang berlebihan dalam agama akan kesusahan. Maka istiqamahlah, atau mendekati istiqamah, lalu bersiaplah menerima kabar gembira” (HR. Bukhari no.39)


Sebagian orang salah paham terhadap hadits ini sehingga berkata: “Bagi saya shalat 5 kali sehari itu susah, karena agama itu mudah maka tidak shalat tidak mengapa”. Sehingga dengan alasan ini banyak orang menerjang larangan syariat dengan alasan sulit meninggalkannya. Dengan kata lain, mereka memaknai ‘mudah’ dan ‘susah’ sesuai selera masing-masing. Apa yang menurutnya ‘susah’ ia tinggalkan walau syariat memerintahkannya, apa yang menurutnya ‘mudah’ ia kerjakan walau agama melarangnya.


Tentu tidak demikian maksud hadits ini. Cukuplah firman Allah Ta’ala menafsirkan hadits yang mulia ini:


لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا


Allah tidak membebani manusia kecuali sesuai kemampuannya” (QS. Al Baqarah: 286)



Ayat ini tegas menyatakan bahwa setiap ajaran agama yang diturunkan oleh Allah Ta’ala melalui Rasul-Nya sudah sesuai dengan kemampuan manusia untuk mengerjakannya. Dengan kata lain, setiap ajaran agama itu sudah mudah dan mampu dilaksanakan oleh manusia secara umum.


Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di menjelaskan makna hadits tersebut, “Maksudnya, agama Islam itu ringan dan mudah, baik dalam aqidah, akhlak, amal-amal ibadah, perintah dan larangannya…. semuanya ringan dan mudah. Setiap mukallaf akan merasa mampu melaksanakannya, tanpa kesulitan dan tanpa merasa terbebani. Aqidah Islam itu ringan, akan diterima oleh akan sehat dan fitrah yang lurus. Kewajiban-kewajiban dalam Islam juga perkara yang sangat mudah” [3]


Jadi, Anda merasa berat meninggalkan hal yang haram? Yakinlah bahwa sebenarnya Anda mampu.


Sami’na Wa Atha’na


Jika atasan anda, atau orang yang anda hormati melarang anda terhadap sesuatu, tentu anda pun akan mematuhinya bukan? Maka bagaimana lagi jika larangan itu datang dari Dzat yang menciptakan anda, memberikan nikmat berlimpah, menghembuskan kehidupan pada diri anda, Dzat Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Dzat Yang Menguasai Hari Pembalasan kelak, tentu lebih layak kita mematuhinya bukan?


Demikianlah sikap seorang hamba Allah yang sejati. Sebagaimana dicirikan sendiri oleh Allah Ta’ala:


إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ


Hanya ucapan orang-orang beriman, yaitu ketika mereka diajak menaati Allah dan Rasul-Nya agar Rasul-Nya tersebut memutuskan hukum diantara kalian, maka mereka berkata: Sami’na Wa Atha’na (Kami telah mendengar hukum tersebut dan kami akan taati). Merekalah orang-orang yang beruntung” (QS. An Nuur: 51)



Jadi, ketika agama telah mengharamkan sesuatu, akan taatkah Anda?


Semoga Allah memberi taufik.




[1] Qawaid Wal Ushul Al Jami’ah, hal.27


[2] Qawaid Wal Ushul Al Jami’ah, hal.74


[3] Bahjah Qulub Al Abrar, hal. 106


Semakin Semangat Ibadah di Akhir Ramadhan

Abu Fathan | 19:08 | 0 comments

Telah Dibaca :

free counter

Sebagian kaum muslimin di akhir Ramadhan malah tersibukkan dengan hal-hal dunia. Dirinya lebih memikirkan pulang mudik, baju baru dan silaturahmi kepada kerabat. Contoh dari suri tauladan kita tidaklah demikian. Di akhir Ramadhan, Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih tersibukkan dengan ibadah, apalagi shalat malam.

Raih Lailatul Qadar

Selayaknya bagi setiap mukmin untuk terus semangat dalam beribahadah di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan lebih dari lainnya. Di sepuluh hari terakhir tersebut terdapat lailatul qadar. Allah Ta’ala berfirman,

لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ

Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan” (QS. Al Qadar: 3). Lailatul qadar adalah malam yang penuh kemuliaan. Telah terdapat keutamaan yang besar bagi orang yang menghidupkan malam tersebut. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Barangsiapa melaksanakan shalat pada lailatul qadar karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 1901)

An Nakho’i mengatakan, “Amalan di lailatul qadar lebih baik dari amalan di 1000 bulan.” (Lihat Latho-if Al Ma’arif, hal. 341). Mujahid, Qotadah dan ulama lainnya berpendapat bahwa yang dimaksud dengan lebih baik dari seribu bulan adalah shalat dan amalan pada lailatul qadar lebih baik dari shalat dan puasa di 1000 bulan yang tidak terdapat lailatul qadar (Zaadul Masiir, 9/191).

Kapan Lailatul Qadar Terjadi?

Lailatul Qadar itu terjadi pada sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ

Carilah lailatul qadar pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari no. 2020 dan Muslim no. 1169)

Terjadinya lailatul qadar di malam-malam ganjil lebih memungkinkan daripada malam-malam genap, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى الْوِتْرِ مِنَ الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ

Carilah lailatul qadar di malam ganjil dari sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari no. 2017)

Tidak Perlu Mencari Tanda

Sebagian orang sibuk mencari tanda kapan lailatul qadar terjadi. Namun sebenarnya tanda tersebut tidak perlu dicari. Tugas kita di akhir Ramadhan, pokoknya terus perbanyak ibadah. Karena kalau sibuk mencari tanda malam tersebut, kita malah tidak akan memperbanyak ibadah. Walaupun memang ada tanda-tanda tertentu kala itu. Tanda tersebut di antaranya:

Pertama, udara dan angin sekitar terasa tenang. Sebagaimana dari Ibnu Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Lailatul qadar adalah malam yang penuh kemudahan dan kebaikan, tidak begitu panas, juga tidak begitu dingin, pada pagi hari matahari bersinar tidak begitu cerah dan nampak kemerah-merahan.” (HR. Ath Thoyalisi dan Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman, lihat Jaami’ul Ahadits 18/361, shahih)

Kedua, malaikat turun dengan membawa ketenangan sehingga manusia merasakan ketenangan tersebut dan merasakan kelezatan dalam beribadah yang tidak dirasakan pada hari-hari yang lain.

Ketiga, manusia dapat melihat malam ini dalam mimpinya sebagaimana terjadi pada sebagian sahabat.

Keempat, matahari akan terbit pada pagi harinya dalam keadaan jernih, tanpa sinar yang menyorot. Dari Ubay bin Ka’ab, ia berkata, “Malam itu adalah malam yang cerah yaitu malam ke dua puluh tujuh (dari bulan Ramadlan). Dan tanda-tandanya ialah pada pagi harinya matahari terbit berwarna putih tanpa sinar yang menyorot.” (HR. Muslim no. 762)

Jika Engkau Dapati Lailatul Qadar

Sangat dianjurkan untuk memperbanyak do’a pada lailatul qadar, lebih-lebih do’a yang dianjurkan oleh suri tauladan kita –Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam- sebagaimana terdapat dalam hadits dari Aisyah. Beliau radhiyallahu ‘anha berkata,

يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ عَلِمْتُ أَىُّ لَيْلَةٍ لَيْلَةُ الْقَدْرِ مَا أَقُولُ فِيهَا قَالَ « قُولِى اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّى

Wahai Rasulullah, apa pendapatmu jika aku mengetahui suatu malam adalah lailatul qadar. Apa yang mesti aku ucapkan saat itu?” Beliau menjawab, ”Katakanlah: ‘Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu anni’ (Ya Allah sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf yang menyukai permintaan maaf, maafkanlah aku).” (HR. Tirmidzi no. 3513, Ibnu Majah no. 3850, dan Ahmad 6/171, shahih)

Lebih Giat Ibadah di Akhir Ramadhan

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terlihat lebih rajin di akhir Ramadhan lebih dari hari-hari lainnya, sebagaimana disebutkan dalam hadits,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَجْتَهِدُ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مَا لاَ يَجْتَهِدُ فِى غَيْرِهِ.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat bersungguh-sungguh pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan melebihi kesungguhan beliau di waktu yang lainnya.” (HR. Muslim no. 1175)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi contoh dengan memperbanyak ibadahnya saat sepuluh hari terakhir Ramadhan. Untuk maksud tersebut beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai menjauhi istri-istri beliau dari berhubungan intim. Beliau pun tidak lupa mendorong keluarganya dengan membangunkan mereka untuk melakukan ketaatan pada malam sepuluh hari terakhir Ramadhan.

‘Aisyah mengatakan,

كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ ، وَأَحْيَا لَيْلَهُ ، وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ

Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memasuki sepuluh hari terakhir (bulan Ramadhan), beliau mengencangkan sarungnya (untuk menjauhi para istri beliau dari berjima’), menghidupkan malam-malam tersebut dan membangunkan keluarganya.” (HR. Bukhari no. 2024 dan Muslim no. 1174). Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Disunnahkan untuk memperbanyak ibadah di akhir Ramadhan dan disunnahkan pula untuk menghidupkan malam-malamnya dengan ibadah.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8:71)

Sufyan Ats Tsauri mengatakan, “Aku sangat senang jika memasuki sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan untuk bertahajud di malam hari dan giat ibadah pada malam-malam tersebut.” Sufyan pun mengajak keluarga dan anak-anaknya untuk melaksanakan shalat jika mereka mampu. (Latho-if Al Ma’arif, hal. 331)

Menghidupkan Malam Penuh Kemuliaan

Adapun yang dimaksudkan dengan menghidupkan lailatul qadar adalah menghidupkan mayoritas malam dengan ibadah dan tidak mesti seluruh malam. Bahkan Imam Asy Syafi’i dalam pendapat yang dulu mengatakan, “Barangsiapa yang mengerjakan shalat Isya’ dan shalat Shubuh di malam qadar, ia berarti telah dinilai menghidupkan malam tersebut”. (Latho-if Al Ma’arif, hal. 329). Menghidupkan malam lailatul qadar pun bukan hanya dengan shalat, bisa pula dengan dzikir dan tilawah Al Qur’an (‘Aunul Ma’bud, 4/176). Namun amalan shalat lebih utama dari amalan lainnya di malam lailatul qadar berdasarkan hadits, “Barangsiapa melaksanakan shalat pada malam lailatul qadar karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 1901).

Jika seorang meraih lailatul qadar dengan i’tikaf, itu lebih bagus. Namun i’tikaf bukanlah syarat untuk dapati malam kemuliaan tersebut. Begitu pula bukanlah syarat mesti di masjid untuk dapati lailatul qadar. Juwaibir pernah mengatakan bahwa dia pernah bertanya pada Adh Dhohak, “Bagaimana pendapatmu dengan wanita nifas, haidh, musafir dan orang yang tidur (namun hatinya tidak lalai dalam dzikir), apakah mereka bisa mendapatkan bagian dari lailatul qadar?” Adh Dhohak pun menjawab, “Iya, mereka tetap bisa mendapatkan bagian. Siapa saja yang Allah terima amalannya, dia akan mendapatkan bagian malam tersebut.” (Latho-if Al Ma’arif, hal. 341).

Semoga Allah beri taufik kepada kita sekalian untuk terus perbanyak ibadah di akhir-akhir Ramadhan dan moga kita juga termasuk hamba yang mendapatkan malam penuh kemuliaan, lailatul qadar. Wallahu waliyyut taufiq.

Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

Panggang-Gunung Kidul, 17 Ramadhan 1432 H (17/08/2011)

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Menuju Cinta Hakiki

Abu Fathan | 22:37 | 0 comments
Telah Dibaca :
free counter

Oleh: Al Ustadz Dzulqarnain

Mencermati perjalanan kata “cinta” di tengah manusia adalah suatu hal yang mengherankan bagi penuntut kehidupan kekal abadi, pengelana ke negeri akhirat. Dalam kehidupan ini, banyak insan rela untuk berkorban bagi siapa yang dia cintai, tidak peduli dengan rintangan yang harus dihadapi guna membuat yang dia cintai tenang dan bahagia. Betapa dia memberikan perhatian kepada kecintaannya dan berusaha untuk memenuhi segala kebutuhannya. Terasa hatinya gundah-gulana tatkala yang dicintainya dirundung duka dan kesedihan. Atau amatlah besar kepedihan hati dan kesengsaraan tatkala dia mendapatkan dari yang dia cintai ada yang selain dari apa yang dia harapkan.

Memang merupakan tabiat manusia untuk mencintai siapa yang berbuat baik kepadanya, atau paling tidak membalas budi kepadanya, dan ini adalah dasar pokok tumbuhnya cinta pada sebagian manusia kepada sebahagian lainnya. Namun, bukankah segala nikmat dan kebaikan yang dia dapatkan dari orang yang dicintainya adalah berasal dari Allah?


“Dan apa saja nikmat yang ada pada kalian, maka dari Allah-lah (datangnya), dan bila kalian ditimpa oleh kemudharatan, maka hanya kepada-Nyalah kalian meminta pertolongan.” [An-Nahl: 53]



Adakah suatu nikmat yang dia berikan kepada orang yang dia cintai tidak berasal dari Allah ‘Azza wa Jalla, sedang dia mengetahui bahwa hanya milik Allah-lah segala yang di langit dan di bumi?


Inilah letak keheranan sekaligus renungan pelajaran dalam samudra kehidupan yang penuh dengan cobaan dan godaan ini.


Pembaca yang terhormat, ketahuilah bahwa tiada kebahagiaan dan keberuntungan yang lebih besar dari kecintaan kepada Allah. Itulah surga dunia dan kenikmatan hakiki.


Kecintaan kepada Allah adalah kenikmatan jiwa, kehidupan ruh, kegembiraan diri, energi hati, cahaya akal, penyejuk mata dan kemakmuran batin. Tiada hal yang lebih nikmat dan lebih sejuk bagi hati yang sehat, jiwa yang baik, dan akal yang jernih dari kecintaan kepada Allah, rindu untuk beribadah kepada-Nya dan berjumpa dengan-Nya.


Kecintaan kepada Allah ialah ruh kehidupan, siapa yang luput darinya maka tergolong ke dalam bangkai-bangkai yang berjalan. Ia adalah cahaya, siapa yang tidak berbekal dengannya maka dia akan berada dalam lautan kegelapan. Ia adalah penyembuh, siapa yang tidak memilikinya maka hatinya akan terjangkit oleh seluruh penyakit. Dan ia adalah kelezatan, siapa yang tidak menemukannya maka hidupnya hanya sekedar gundah gulana dan kepedihan.

Kecintaan kepada Allah inilah yang mengantarkan hamba kepada negeri yang hanya dapat dicapai setelah menjalani berbagai rintangan dan kesulitan. Dan dengan cinta inilah, seorang hamba meraih kedudukan dan derajat yang didambakan oleh setiap hamba yang shalih.

Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ الإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا ، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ لِلَّهِ ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ


“Ada tiga perkara, yang barangsiapa perkara-perkara tersebut terdapat padanya, maka dia akan merasakan kelezatan iman, (yaitu) hendaknya Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai dari selain keduanya, hendaknya dia cinta kepada seseorang, tidaklah dia mencintainya kecuali karena Allah dan hendaknya dia benci untuk kembali kepada kekafiran sebagaimana dia benci untuk dilemparkan ke dalam neraka.”


Membahas masalah kecintaan kepada Allah adalah menyibak samudra yang sangat luas. Namun cukuplah di sini kita mengisyaratkan akan tiga hal.


Kecintaan kepada Allah adalah pondasi ibadah.


Berkata Ibnu Taimiyah, “Kecintaan kepada Allah, bahkan kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya termasuk kewajiban yang paling agung, dasarnya yang paling besar dan pondasinya yang mulia. Bahkan dia adalah dasar setiap amalan, dari berbagai amalan keimanan dan agama.”


Ibnul Qayyim bertutur pula, “Pondasi ibadah adalah cinta kepada Allah. Bahkan mengesakan Allah adalah dengan kecintaan itu, di mana segala cinta hanya untuk Allah. Tidak boleh selain Allah dicintai bersama Allah. Akan tetapi kecintaannya hendaknya karena Allah dan pada Allah, sebagaimana dia mencintai para nabi dan rasul, para malaikat dan para wali. Kecintaannya kepada mereka adalah dari kesempurnaan kecintaannya kepada Allah dan bukan cinta kepada mereka bersama Allah.”


Maksudnya bahwa segala cinta itu hanya untuk Allah. Bila seorang hamba memberi cinta kepada makhluk, maka kecintaan tersebut juga karena Allah dan karena melaksanakan perintah-Nya, sebagaimana seorang mukmin cinta kepada para nabi, para malaikat, kaum mukminin dan selainnya. Adapun siapa saja yang mencintai makhluk dengan cinta ibadah, atau di samping cinta kepada Allah dia juga mencintai makhluk maka hal tersebut tergolong perbuatan kesyirikan yang mengeluarkan pelakunya dari keislaman, sebagaimana dalam firman Allah,


“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat dzalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaa-Nya (niscaya mereka menyesal).” [Al-Baqarah: 165]



Tanda-tanda Cinta kepada Allah


Berikut ini beberapa ayat yang menjelaskan tanda-tanda kecintaan kepada Allah.


Di antaranya adalah firman Allah,


“Katakanlah, “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [Âli ‘Imrân: 31]


Ayat ini menjelaskan bahwa tanda kecintaan seorang hamba kepada Allah dengan mengikuti Rasulullah shallalâhu ‘alaihi wa sallam dalam segala tuntunan dan syariat yang beliau bawa, secara zhahir maupun bathin.



Selanjutnya, firman Allah Ta’âlâ,


“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kalian yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah-lembut terhadap orang-orang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.” [Al-Mâ`idah: 54]


Dalam ayat ini terdapat empat tanda kecintaan hamba kepada Allah:


Pertama, dia berlemah lembut kepada sesama mukmin.


Kedua, dia bersikap keras dan benci kepada orang-orang kafir.



Ketiga, dia berjihad di jalan Allah dengan segala kemampuannya, baik dengan harta, lisan, badan maupun hatinya.


Keempat, dia tidak takut terhadap celaan manusia dalam menjalankan perintah-perintah Allah ‘Azza wa Jalla.


Selain itu, dari tanda kecintaan kepada Allah Subhânahu wa Ta’âla adalah mendahulukan Allah dan Rasul-Nya di atas segala perkara. Allah Jalla Sya’nuhu berfirman,


“Katakanlah, “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat-tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan Keputusan-Nya,” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” [At-Taubah: 24]



Dari tanda kecintaan hamba kepada Allah adalah benci kepada apa yang dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya.


Sebab-sebab Penumbuh Cinta kepada Allah


Ibnul Qayyim rahimahullâh menyebutkan sepuluh sebab yang akan menumbuhkan dan menambah rasa cinta seorang hamba kepada Rabb-nya. Berikut sepuluh sebab tersebut.


1. Membaca Al-Qur`ân dengan tadabbur dan memahami maknanya.


2. Memperbanyak ibadah nafilah (sunnah) setelah menunaikan ibadah-ibadah wajib.



3. Memperbanyak dzikir kepada Allah dalam segala keadaan.


4. Lebih mendahulukan pelaksanaan dari apa yang dicintai oleh Allah, walaupun hal tersebut menyelishi hawa nafsunya.


5. Membawa hati untuk mencermati nama-nama dan sifat-sifat Allah dan menelusuri taman-tamannya.


6. Menyaksikan kebaikan, kebajikan dan nikmat-nikmat Allah kepada makhluk-Nya.


7. Menundukkan diri di hadapan Allah Subhânahu wa Ta’âla.



8. Berkhalwat dan bermunajad kepada-Nya di waktu malam, terkhusus pada sepertiga malam terakhir.


9. Duduk dengan orang-orang shalih.


10. Menghindari segala sebab yang bisa memisahkan antara hatinya dengan Allah ‘Azza wa Jalla.


Tentunya sepuluh sebab di atas bersumber dan dari berbagai keterangan Al-Qur’an dan As-Sunnah.


Semoga Allah menjadikan kita semua sebagai orang-orang yang senantiasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya dan beramal dengan ketaatan. Wallâhu Ta’âla A’lam.


Dahsyatnya Ibadah Di Kala “Kelalaian” Mendominasi Masyarakat

Abu Fathan | 02:47 | 0 comments
Telah Dibaca :
free counter

Ada sebuah inti sari hikmah yang dipetik oleh para ulama tentang keutamaan shalat tarawih di akhir malam dibandingkan dengan shalat sunnah yang dikerjakan pada selain waktu tersebut. Kata mereka, akhir malam adalah waktu di mana manusia tengah terlelap, sehingga bisa dipastikan rasio perbandingan antara mereka yang bangun beribadah di waktu tersebut dengan yang tidak adalah sangat minim. Pada momentum seperti itulah, para musafir pencari cinta dan ridha Allah melakukan “pencurian start”. Mereka jauh mendahului kita dalam hal raihan “bonus” akhirat—bahkan dunia—di saat kita tengah asyik tidur dalam buaian selimut hangat.

DALIL-DALIL KEUTAMAAN IBADAH DI SAAT KEBANYAKAN MANUSIA LALAI DARINYA


Semakna dengan di atas—sebagaimana penjelasan Imam Ibnu Rajab—adalah keinginan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengakhirkan shalat ‘Isya sampai menjelang tengah malam. Tatkala pada suatu malam yang larut beliau keluar menuju masjid untuk menemui para Sahabat yang sudah menanti beliau sejak lama demi menunaikan shalat ‘Isya berjamaah, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada mereka,



مَا يَنْتَظِرُهَا أَحَدٌ مِنْ أَهْلِ الأَرْضِ غَيْرُكُمْ


“Tak ada satu pun orang—saat ini—dari penduduk bumi yang menunggu shalat ‘Isya ini kecuali kalian.” [Shahih Bukhari, no. 569, 570] (Hadits ini juga mengisyaratkan tentang keutamaan para Sahabat radhiallaahu’anhum ajma’iin. Sekaligus hujjah yang mendukung pendapat wajibnya shalat berjamaah di masjid bagi laki-laki).


Imam Ibnu Rajab rahimahullah memberikan komentar terhadap hadits tersebut,



وَفِيْ هَذَا إِشَارَةٌ إلَى فَضِيْلَةِ التَّفَرُّدِ بِذِكْرِ اللهِ فِيْ وَقْتٍ مِنَ الأَوْقَاتِ لاَ يُوْجَدُ فِيْهِ ذَاكِرٌ لَهُ


Di sini terdapat isyarat tentang keutamaan menyendiri dalam berzikir pada Allah, di saat tidak ada orang yang berzikir pada-Nya.” [Lathaa-iful Ma’aarif, hal. 251-252]


Hanya saja beliau tidak melazimkan atau merutinkan shalat ‘Isya saat larut malam, karena khawatir akan memberatkan umatnya.


Dalam sebuah hadits tentang keutamaan berpuasa di bulan Sya’ban, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan alasan beliau mengamalkannya,


شَعْبَان بَيْنَ رَجَب وَرَمَضَانَ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ تُرْفَعُ فِيْهِ أَعْمَالُ الْعِبَادِ، فَأَحَبُّ أَنْ لاَ يُرْفَعَ عَمَلِيْ إِلاَّ وَأَنَا صَائِمٌ



“Bulan Sya’ban itu berada di antara Rajab dan Ramadhan, banyak manusia yang melalaikannya. Saat itu (Sya’ban) amal-amal hamba diangkat, dan aku menyukai jika amal-amalku tidaklah diangkat melainkan aku tengah berpuasa.” [Hadits Hasan, lihat Ash-Shahiihah, no. 1898, dan Shahiih Targhiib wat Tarhiib, no. 1022, oleh al-Albani rahimahullaah]


Imam Ibnu Rajab rahimahullaah mengatakan, “pada hadits tersebut terdapat dalil tentang dicintainya amalan yang dikerjakan saat manusia dalam keadaan lalai dari ketaatan…” [Lathaa-iful Ma’aarif, hal. 251]



TIGA MANFAAT IBADAH, DI SAAT WABAH “LALAI” MELANDA


Setidaknya ada tiga manfaat luar biasa yang bisa diraih dari peribadatan kepada Allah di saat kelalaian melanda mayoritas manusia (disarikan dari Lathaa-iful Ma’aarif, hal. 252-254):


Pertama: Ibadah yang dilakukan sudah pasti tersembunyi, dan amalan yang punya sifat demikian, sangat-sangat dicintai Allah. Kalaupun tampak di mata orang lain, sungguh hal tersebut terkesan asing alias tidak lazim di tengah mayoritas manusia yang hanyut dalam kelupaan akan statusnya sebagai hamba Allah. Nah, di sinilah nilai lebihnya, menunjukkan betapa kuatnya kadar cinta dan keikhlasan seorang hamba kepada pencipta-Nya.


Jika keikhlasan sudah mengakar di hati, bisa dipastikan segenap fadhilah ikhlas yang dijanjikan Allah melalui Alquran ataupun melalui lisan Rasul-Nya, akan bisa digapai.



Dan demikianlah para Salaf dahulu, mereka sangat senang menyembunyikan amalan sunnah mereka agar senantiasa menjadi rahasia antara hamba dan Allah saja. Diriwayatkan bahwa Qotadah rahimahullah pernah memberikan nasihat,


يُسْتَحَبُّ لِلصَّائِمِ أَنْ يَدَّهَنَ حَتَّى تَذْهَبَ عَنْهُ غُبْرَةُ الصِّيَامِ


“Dianjurkan bagi yang berpuasa untuk membasahi diri (sehingga tampak segar) demi menghilangkan kesan lusuh karena puasa (agar amalan puasa tersebut tetap tersembunyi dari dugaan manusia).” [dinukil dari Lahtaa-iful Ma’aarif, hal. 252]


Kedua: Ganjaran kebaikan yang akan diraih dari ibadah di saat kebanyakan manusia lalai, lebih besar. Karena para ulama menjelaskan bahwa ganjaran suatu amal akan bertambah besar seiring bertambah besarnya pengorbanan, kesabaran jiwa, dan kepayahan yang dirasakan demi menunaikan amal tersebut, tentunya selama hal tersebut merupakan konsekuensi lazim suatu amalan, bukan pengorbanan dan kepayahan yang sengaja dicari-cari [lihat Al-Majmuu’ al-Fataawa: 10/620-622, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah].



Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan hal ini dalam sabdanya kepada Ibunda ‘Aisyah radhiallaahu’anha saat ingin menyempurnakan umrahnya.


وَلَكِنَّهَا عَلَى قَدْرِ نَصَبِكِ


“Hanya saja (ganjaran) ibadah itu bergantung pada kadar kepayahan yang engkau alami.” [Shahih Muslim, no. 1211]


Jika kita cermati, jiwa manusia cenderung merasa berat untuk melaksanakan amal-amal kebajikan ketika mayoritas orang—pada saat yang sama—tengah merayakan kesenangan yang melalaikan mereka dari ibadah. Jiwa manusia condong ingin merasakan apa yang tengah dirasakan oleh kebanyakan orang.



Renungkanlah keunikan ibadah puasa! Saat Ramadhan, boleh dibilang segenap kaum muslimin menunaikannya tanpa ada rasa berat yang berarti, sebabnya sederhana, selain digerakkan oleh iman, juga dikarenakan kita tidak sendiri dalam menahan lapar dan dahaga. Namun giliran tiba sunnah puasa 6 hari di bulan Syawwal, yang melakukannya di antara kita mungkin bisa dihitung dengan jari. Jiwa kita cenderung merasa berat untuk menanggung rasa lapar—demi ridha Allah—seorang diri, sementara di sekitar kita orang-orang tengah berpesta dengan beragam makanan dan aneka kue lebaran. Kiranya inilah salah satu sebab mengapa puasa 6 hari di bulan Syawwal begitu besar ganjarannya di sisi Allah.


Ketiga: Menyendiri dalam ibadah di kala kebanyakan manusia tenggelam dalam dosa dan kelalaian, bisa menjadi tameng dari azab Allah yang bersifat menyeluruh atas segenap manusia. Allah berfirman,


وَلَوْلا دَفْعُ اللَّهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَفَسَدَتِ الأرْضُ وَلَكِنَّ اللَّهَ ذُو فَضْلٍ عَلَى الْعَالَمِينَ


“…seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian umat manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam.” [Q.S. Al-Baqarah: 25]


Di antara para ulama—termasuk Imam Ibnu Rajab rahimahullah—, ada yang menafsirkan ayat di dengan ungkapan; “terhalangnya kehancuran di muka bumi akibat dosa-dosa manusia, disebabkan kemurahan Allah atas orang-orang taat yang masih hidup di tengah-tengah mereka para pelaku maksiat.” [Lathaa-iful Ma’aarif, hal. 256]



Dahulu, sebagian Salaf mengatakan,


ذَاكِرُ اللهِ فِي الْغَافِلِيْنَ كَمَثَلِ الَّذِيْ يَحْمِي الْفِئَةَ الْمُنْهَزِمَةَ، وَلَوْلاَ مَنْ يَذْكُرُ اللهَ فِي غَفْلَةِ النَّاسِ لَهَلَكَ النَّاسُ


“Mereka yang berzikir pada Allah di tengah kelalaian banyak orang, seperti perisai yang melindungi sekelompok masyarakat yang tengah menjadi target serangan musuh. Jika saja bukan karena orang yang berzikir pada Allah saat lalainya manusia, niscaya manusia akan binasa.”


***


Referensi utama:


Lathaa-iful Ma’aarif, Ibnu Rajab al-Hambali, Cet.-5, Daar Ibn Katsir, 1420


Al-Majmuu’ al-Fataawaa, Ibnu Taimiyyah, Majma’ al-Malik Fahd, 1416



Shahih al-Bukhaari & Shahih Muslim, li asy-Syaikhain


Shahiih at-Targhiib wat Tarhiib, al-Albani, Cet.-5, Daar al-Ma’aarif


Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah, al-Albani, Cet.1, Daar al-Ma’aarif


Penulis: Ustadz Johan Saputra Halim (Pengajar Ma’had Abu Hurairah, Mataram, NTB)

Artikel www.pengusahamuslim.com

Hindari Koran, Tadabburi Al-Qur'an

Abu Fathan | 19:08 | 0 comments
Telah Dibaca :
free counter

Sekarang ini membaca koran sudah menjadi rutinitas yang nyaris tidak bisa ditinggalkan oleh manusia. Dimana-mana tersedia bacaan yang satu ini, di rumah, kantor, restoran, warung, bahkan sebagian orang ada yang menyempatkan diri membaca koran di toilet. Seakan koran sudah seperti bacaan wajib bagi mereka. Sikap yang berbeda mereka tujukan untuk al-Qur’ân, sebuah kitab yang menjadi pedoman hidup. Al-Qur'ân nyaris tidak tersentuh, apalagi diperhatikan. Mereka lebih hafal nama koran, atau tokoh-tokoh dalam koran daripada nama surat-surat al-Qur’ân. Bahkan lebih ironinya lagi, banyak dari mereka yang tampak tekun memelototi koran, ternyata tidak bisa baca al-Qur’ân. Sebegitu pentingkah berbagai sajian koran bagi mereka ? Sehingga rela meluangkan waktu ditengah kesibukannya untuk membaca dan mengikuti buah tangan para wartawan.

Allâh Azza wa Jalla telah menyediakan bacaan bagi orang-orang yang beriman. Bacaan yang sangat berkualitas, berisi hidayah yang menunjukkan hal-hal terbaik bagi mereka. Membacanya adalah ibadah yang berbuah pahala, bahkan pada setiap huruf dihitung satu pahala.

Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لَا أَقُولُ آلم حَرْفٌ وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلَامٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ

"Barangsiapa membaca satu huruf dari kitabullah, maka ia akan mendapatkan satu kebaikan, dan satu kebaikan akan dibalas dengan sepuluh kali lipat. Aku tidak mengatakan alif laam miim adalah satu huruf, tetapi alif itu satu huruf, laam itu satu huruf, dan miim itu satu huruf" [1]

Al-Qur'an adalah bacaan yang tidak ada kebohongan dan kebatilan di dalamnya, dari depan maupun dari belakang. Sebuah bacaan yang akan mendatangkan ketenangan jiwa dan kekhusyukan hati. Itulah al-Qur’ânul Karîm, Kalâmullâh yang diturunkan kepada Nabi-Nya yang terakhir, Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Membaca al-Qur'ân adalah ibadah yang tidak selayaknya diremehkan apalagi ditinggalkan oleh seorang Muslim. Membaca al-Qur'ân termasuk dzikrullâh yang sangat agung. Allâh Subhanahu wa Ta'ala telah menjanjikan pahala dan keutamaan yang sangat besar bagi orang yang senantiasa membaca dan mempelajari al-Qur’ân.

Allâh Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

إِنَّ الَّذِينَ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَنفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً يَرْجُونَ تِجَارَةً لَّن تَبُورَ لِيُوَفِّيَهُمْ أُجُورَهُمْ وَيَزِيدَهُم مِّن فَضْلِهِ ۚ إِنَّهُ غَفُورٌ شَكُورٌ

"Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allâh dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi, agar Allâh menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karuniaNya. Sesungguhnya Allâh Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri". [Fâthir/35:29-30]

Dan Allâh Azza wa Jalla telah memerintahkan kita supaya membacanya dengan tartil dan sungguh-sungguh.

أَوْ زِدْ عَلَيْهِ وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلًا

"Dan bacalah al-Qur'ân itu dengan tartil (perlahan-lahan)". [al-Muzammil/73:4].

ذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلَاوَتِهِ أُولَٰئِكَ يُؤْمِنُونَ بِهِ ۗ وَمَن يَكْفُرْ بِهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ

"Orang-orang yang telah Kami berikan al kitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenar-benarnya". [al-Baqarah/2:121]

Yaitu membacanya dengan memperhatikan hukum-hukum tajwîd, kaidah-kaidah bacaan, mentadabburi kandungan dan mengamalkan isinya.

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam juga telah menganjurkan kita untuk senantiasa membaca, mentadabburi, mempelajari, mengajarkan dan memperhatikannya.

Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ القُرْآنَ وَ عَلَّمَهُ

"Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari al-Qur'ân dan mengajarkannya".[2]

Bahkan kalaupun belum lancar, kita tetap dianjurkan untuk membacanya.

Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

الْمَاهِرُ بِالْقُرْآنِ مَعَ السَّفَرَةِ الْكِرَامِ الْبَرَرَةِ وَالَّذِى يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَيَتَتَعْتَعُ فِيهِ وَهُوَ عَلَيْهِ شَاقٌّ لَهُ أَجْرَانِ

"Orang yang mahir membaca al-Qur'ân akan bersama rombongan Malaikat yang mulia lagi terpuji. Dan orang yang terbata-bata dan sulit membacanya akan mendapatkan dua pahala". [3]

Dan dengan membaca al-Qur'ân, seorang mukmin akan terbedakan dengan fasik, Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

مَثَلُ الْمُؤْمِنِ الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَالْأُتْرُجَّةِ طَعْمُهَا طَيِّبٌ وَرِيحُهَا طَيِّبٌ وَمَثَلُ الَّذِي لَا يَقْرَأُ كَالتَّمْرَةِ طَعْمُهَا طَيِّبٌ وَلَا رِيحَ لَهَا وَمَثَلُ الْفَاجِرِ الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَمَثَلِ الرَّيْحَانَةِ رِيحُهَا طَيِّبٌ وَطَعْمُهَا مُرٌّ وَمَثَلُ الْفَاجِرِ الَّذِي لَا يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَمَثَلِ الْحَنْظَلَةِ طَعْمُهَا مُرٌّ وَلَا رِيحَ لَهَا

"Perumpamaan seorang mukmin yang membaca al-Qur'ân adalah seperti al-utrujjah (sejenis jeruk), aromanya harum dan rasanya enak. Dan perumpamaan seorang mukmin yang tidak membaca al-Qur'ân adalah seperti buah kurma yang tidak memiliki aroma tapi manis rasanya. Perumpamaan seorang fasiq yang membaca al-Qur'ân seperti ar-raihaanah, aromanya wangi tapi rasanya pahit dan perumpamaan seorang fasiq yang tidak membaca al-Qur'ân seperti al-hanzhalah, rasanya pahit dan tidak memiliki aroma".[4]

Disamping itu, al-Qur'ân juga akan menjadi pemberi syafa'at baginya pada hari Kiamat. Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

اقْرَؤُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَجِيءُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيعًا لأَصْحَابِهِ

"Bacalah Al-Qur’an, karena ia akan datang pada hari kiamat sebagai pemberi syafa’at bagi pembacanya". [5]

Setiap kali membaca al-Qur'ân, seorang Mukmin akan naik derajatnya satu tingkatan. Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

يَجِيءُ الْقُرْآنُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيَقُولُ يَا رَبِّ حَلِّهِ فَيُلْبَسُ تَاجَ الْكَرَامَةِ ثُمَّ يَقُولُ يَا رَبِّ زِدْهُ فَيُلْبَسُ حُلَّةَ الْكَرَامَةِ ثُمَّ يَقُولُ يَا رَبِّ ارْضَ عَنْهُ فَيَرْضَى عَنْهُ فَيُقَالُ لَهُ اقْرَأْ وَارْقَ وَتُزَادُ بِكُلِّ آيَةٍ حَسَنَةً

"Al-Qur’an akan datang pada hari kiamat seraya berkata, “Wahai Rabbku, hiasilah ia (penghafal al-Qur’ân).” Maka iapun dipakaikan mahkota kemuliaan. Lalu al-Qur'ân berkata, “Wahai Rabbku, tambahkanlah untuknya.” Maka iapun dipakaikan jubah kemuliaan. Lalu al-Qur'ân berkata, “Wahai Rabbku, ridhailah ia.” Maka Allâh pun meridhainya. Kemudian dikatakan kepadanya (penghafal al-Qur’an), “Bacalah dan naiklah, untuk tiap-tiap ayat akan ditambahkan bagimu satu pahala.". [6]

Dan masih banyak lagi keutamaan yang disebutkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang keutamaan membaca al-Qur'ân. Lalu pantaskah kita ganti yang lebih utama ini dengan sesuatu yang rendah ?

Bukankah menyibukkan diri dengan tilâwah al-Qur'ân dan menghafalnya lebih utama daripada menyibukkan diri membaca koran ?

Mengabaikan al-Qur'ân dan beralih kepada koran akan menyebabkan kekosongan hati dan kehampaan pikiran. Sebagian orang jahil apabila sedang kosong, ia sibuk menelaah. Menelaah apa? Menelaah majalah, koran dan tabloid. Bukankah lebih baik mengisi kekosongan waktu dengan membaca atau menghafal al-Qur'ân ? Terlebih bagi seorang penuntut ilmu. Bahkan salah satu penyebab seorang penuntut ilmu itu mengalami future (sindrom) adalah beralih dari al-Qur'ân ke koran.

Termasuk bentuk fitnah pada hari ini adalah promosi-promosi terselubung yang banyak sebarkan oleh orang-orang kafir dan fasik melalui berbagi media audio visual maupun cetak, melalui program-program radio dan televisi, majalah, koran, buku dan selebaran-selebaran. Orang-orang jahil kembali menjadi korban dengan mengkonsumsi barang-barang itu. Merekapun percaya, meyakini kebenarannya, menggandrunginya dan akhirnya terpedaya. Tanpa sadar mereka mengagumi keyakinan dan ibadah orang-orang kafir. Orang-orang awam akan melahap semua yang ada di koran-koran itu.

Ini merupakan bahaya besar yang dapat menerkam setiap orang jahil yang tidak punya tameng ilmu untuk menangkis syubhat-syubhat tersebut. Sebagian orang yang merasa berilmu beralasan bahwa kesibukannya membaca koran adalah untuk mengetahui fiqhul waqi’, mengetahui perkembangan terkini. Inilah syubhat mereka. Sehingga membaca koran menjadi kegiatan utama sementara membaca al-Qur'ân menjadi kegiatan nomor sekian bahkan tidak masuk agenda sama sekali.

Syaikh Abdul Mâlik ar-Ramadhâni hafizhahullâh telah membantah syubhat seperti ini. Beliau hafizhahullâh mengatakan, “Alangkah besar kejahatan para pendidik itu! Karena mereka telah memalingkan umat dari penyakit sesungguhnya! Lalu bagaimana umat bisa mendapatkan obatnya?! Betapa besar musibah ini! Musibah yang memalingkan umat dari jalan Allâh Azza wa Jalla ! Memalingkan umat dari ilmu al-Qur'ân dan as-Sunnah, dari mengangungkan keduanya dan berkumpul di majelis-majelis Ulama kepada ilmu politik terkini dan berkumpul mendengarkannya dari media-media informasi politik audio maupun visual (radio dan televisi), koran-koran maupun majalah! Yang mana kejujuran adalah suatu hal yang tabu! Bahkan berlalu tanpa acuh di hadapan para pengikut al-Qur'ân dan as-Sunnah! Hobbi mereka adalah melihat video (film) dan membaca majalah al-Bayân dan as-Sunnah [7]. Setiap hari, setiap pekan bahkan setiap bulan tidak ada waktu dan kecenderungan mendengarkan ayat al-Qur'ân! Silakan tanya sendiri, sudah berapa lama kitab shahîhain (Shahih Bukhâri dan Muslim) nyaris tidak tersentuh sementara tidak sesaatpun mereka lepas dari koran yang menghidangkan berita-berita terkini dan berita-berita lalu! Semua urusan terpulang kepada Allâh!

Jangan buru-buru menyanggah! Karena yang saya paparkan tadi bukanlah ilmu hingga perlu dibahas, itu hanyalah kabar tentang realita yang terjadi!

Abu Nu'aim rahimahullah meriwayatkan dalam kitab al-Hilyah [8] dengan sanadnya dari seorang lelaki dari Bani Asyja' ia berkata, "Orang-orang mendengar berita kedatangan Salman al-Fârisi di masjid. Merekapun ramai-ramai mendatangi beliau Radhiyallahu 'anhu dan berkumpul di hadapannya, jumlah yang hadir ketika itu mencapai ribuan orang.

Ia melanjutkan, "Salman pun bangkit dan berkata, "Duduklah, duduklah! Setelah semua hadirin duduk, beliau Radhiyallahu 'anhu membuka majelis dengan membacakan surat Yûsuf. Seketika saja mereka bubar dan meninggalkan majelis hingga hanya sekitar seratusan saja yang tersisa. Melihat itu Salmân Radhiyallahu 'anhu marah. Beliau Radhiyallahu 'anhu berkata, "Apakah kata-kata manis penuh tipuan yang kalian inginkan ? Aku bacakan ayat-ayat Allâh kepada kalian lalu kalian bubar?!"

Barangkali Salman al-Fârisi Radhiyallahu 'anhu sengaja memilih surat Yûsuf karena di dalamnya terkandung anjuran qanâ'ah (mencukupkan diri) dengan kisah-kisah yang tersebut dalam Kitâbullâh, bukan dengan kisah-kisah dan hikayat-hikayat yang digandrungi orang banyak. Itulah yang disebutkan Allâh Azza wa Jalla :

نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ أَحْسَنَ الْقَصَصِ

"Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik". [Yûsuf/12:3]

Dan karena mengikuti sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam diminta membacakan kisah-kisah, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam membacakan kepada mereka ayat-ayat yang diturunkan Allâh Subhanahu wa Ta'ala kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam surat Yûsuf ini.

Seperti itu pulalah yang dilakukan oleh Umar Radhiyallahu 'anhu ketika melihat orang-orang lebih suka membaca kitab yang bercerita tentang keajaiban-keajaiban umat terdahulu.[9]

Semoga Allâh meridhai para Salaf ! Betapa besar kesungguhan mereka dalam mengikuti sunnah nabi!”

Kemudian beliau melanjutkan, “Umar bin al-Khathtab Radhiyallahu 'anhu serta para sahabat lainnya telah mendengar desas-desus bahwa raja Ghassân hendak menyerang mereka. Namun hal itu tidak menghalangi mereka untuk menuntut ilmu dengan alasan mengikuti perkembangan ! Sangat disayangkan sekali, bila Anda memasuki perpustakaan-perpustakaan umum yang biasa dikunjungi oleh para pelajar, akan Anda lihat mereka lebih banyak berkumpul di bagian majalah dan koran-koran sedang asyik mengulas berita. Padahal perpustakaan itu dipenuhi dengan koleksi kitab-kitab tauhid, tafsir dan hadits. Jarang sekali Anda lihat mereka menjamah kitab-kitab tersebut kecuali bila terpaksa, misalnya untuk menulis makalah untuk meraih gelar atau untuk mencari sesuap nasi. Kecuali segelintir pelajar saja yang memang benar-benar berminat menimba ilmu agama! Sungguh aneh memang! Berapa banyak diantara mereka yang tidak memiliki buku doa harian dan dzikir nabawi. Wajar saja karena dzikir dan wirid mereka bersama siaran-siaran radio dan televisi serta berita-berita koran ! Wallâhul Musta'ân.

Syaikh al-Albâni rahimahullah mengkritik perkataan Nashir al-Umar tentang referensi fiqih wâqi' yang mengatakan, "Berita politik dan informasi dari media massa merupakan referensi terpenting sekarang ini. Dalam bentuk media cetak (koran dan majalah) maupun audio visual (radio dan televisi). Sebagai contoh : koran, majalah, tabloid, bulletin, informasi dari sejumlah kantor berita internasional, siaran radio dan televisi, kaset, piagam dan beberapa media informasi modern lainnya"

Salah seorang hadirin bertanya kepada Syaikh al-Albâni rahimahullah , "Bagaimana pandangan Anda tentang referensi tersebut ?" Syaikh al-Albâni rahimahullah menjawab, "Itu musibah! Kita semua tahu bahwa berita yang disebarkan oleh orang kafir ke negara-negara Islam hanyalah untuk memperdaya kaum Muslimin. Lalu bagaimana mungkin berita-berita seperti itu digunakan untuk mengetahui situasi dan kondisi ? Sebagai konsekuensinya, harus dibentuk tim wartawan atau reporter Muslim yang tugasnya khusus mempelajari berita-berita itu menurut kode etik aqidah dan agama. Tim ini harus independen, tidak boleh bergantung kepada pihak lain sebagaimana yang Anda singgung tadi. Sumber berita yang Anda sebutkan tadi tentu tidak sama dengan konsekuensi yang saya sebutkan ini !"

Nashir al-Umar berusaha membela diri, ia mengklaim telah memberi batasan-batasan dan pantangan-pantangan, ia menyebutkan diantaranya :

"Pertama, memegang teguh kaedah-kaedah dasar syariat, pedoman ilmiah dan logika dalam menganalisa berita, memprediksi kemungkinan dan meramalkan masa depan.

Kedua, mengecek kebenaran berita dan teliti dalam menyampaikannya. Saya telah menjelaskan masalah ini sebagai berikut : Tindakan yang tepat, menjauhi bahaya dan kesalahan serta memperhatikan batasan-batasan tersebut dalam menerima berita."

Syaikh al-Albâni rahimahullah berkata: "Akan tetapi hal itu tidak mungkin diwujudkan. Anda meletakkan kaedah yang teoritis dan cuma berlaku di atas kertas saja! Hal itu tidak mungkin diwujudkan kecuali dengan konsekuensi yang saya sebutkan tadi. Dan itu merupakan tanggung jawab pemerintah, bukan tanggung jawab kelompok tertentu apalagi orang-perorang. Sebagaimana yang kami ketahui, saluran radio BBC London bukanlah milik pemerintah, namun milik perusahaan swasta.

Syaikh rahimahullah melanjutkan: "Jadi harus ada lembaga atau badan yang didirikan atas kesepakatan negara-negara Islam untuk melaksanakan fardhu kifâyah ini dalam rangka membantu memahami berita-berita tersebut. Jika pemerintah tidak sanggup -–dalam hal ini pemerintahlah yang paling berhak dan paling kuasa melaksanakan fardhu kifayah tersebut-- barulah badan-badan swasta yang ditangani oleh kaum Muslimin yang punya kepedulian dalam masalah ini yang melaksanakannya. Mereka harus menugaskan pekerja-pekerjanya untuk menukil berita-berita itu, sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang kafir. Jika hal itu terlaksana barulah kita tidak lagi bergantung kepada pihak lain dalam mengolah berita musuh dan seteru kita. Kemudian barulah kita coba menerapkan batasan-batasan yang Anda sebutkan tadi. Sebab, tidak seorangpun dapat memastikan kebenaran berita-berita itu selama masih bersumber dari orang-orang kafir. Sama halnya bila kita ingin memastikan kebenaran sejumlah berita dalam Taurat dan Injil, manakah yang benar dan mana yang salah. Hal itu hanya dapat dilakukan setelah membandingkannya dengan berita orang yang terpercaya lagi tsiqah.....Jika mereka itu tidak ada, maka putuslah mata rantai orang-orang yang ingin menyelami fiqh waqi' dan hanya bersandar kepada berita-berita yang datang dari negera kafir dan sesat serta berita-berita dari orang fasik dan jahat. Maka tidaklah mungkin merealisasikan gagasan-gagasan Anda itu. Oleh sebab itu, fiqh waqi' seperti yang Anda sebutkan itu hanyalah teori belaka, tidak mungkin diwujudkan di alam nyata. Kecuali dengan mendirikan suatu badan yang menugaskan beberapa orang untuk menukil berita lewat jalur terpercaya sebagaimana halnya proses pengolahan berita yang tertuang dalam ilmu mushtalah hadits."

al-Umar berkata, "Bagaimana jika kita menunggu sampai hal itu ada, wahai Syaikh?"

Syaik al-Albâni rahimahullah menanggapi, "Hal itu sangat sulit diwujudkan!"

al-Umar berkata, "Bukankah kita boleh mengambil faedah dari sebagian orang, wahai Syaikh...."

Syaikh al-Albâni rahimahullah menjawab: "Semoga Allâh memberkati Anda, berhubung melimpahnya berita dan banyaknya sumber berita dari kalangan kaum kafir, maka akibatnya seseorang akan tenggelam ditelan gelombang berita tersebut. Hal itu sangat sulit terealisasi sekarang ini !"[10]

Syaikh Muhammad bin Utsaimin rahimahullah berkata, "Apa sandaran fiqih yang mereka sebut fiqh waqi' itu ? Apakah koran, majalah dan siaran-siaran radio ? Bukankah berita-berita koran, majalah dan radio itu banyak bohongnya ? Media-media informasi cetak maupun eletronik sekarang ini tidak bisa dijadikan sandaran. Boleh jadi beberapa rancangan terdahulu sudah basi karena keadaan ternyata berubah! Bilamana seorang yang berakal memperhatikan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kurun waktu dua puluh tahun terakhir ini tentu ia dapat mengetahui bahwa seluruh prediksi yang mereka sebutkan itu tidak lagi riil. Oleh sebab itu menurut kami memalingkan para pemuda dari menuntut ilmu agama dan mengalihkannya kepada berita-berita fiqih waqi' itu, membolak-balik majalah, koran dan mendengar siaran-siaran berita merupakan penyimpangan manhaj!"[11]

Itulah nasihat dari para ulama rabbani kepada umat khususnya kepada para pemuda dan kalangan penuntut ilmu. Janganlah terpedaya dengan syubhat-syubhat yang menyesatkan, sehingga kita terpalingkan dari kebenaran dan hidayah, wallahul musta’ân.

Oleh Ustadz Abu Ihsan al-Atsari

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi, 04-05/Tahun XIV/1431/2010M.]

_______

Footnote

[1]. HR at-Tirmidzi dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu 'anhu, dan dishahihkan oleh al-Albâni rahimahullah dalam Silsilah Shahihah (3327).

[2]. HR Bukhâri dari Utsmân bin Affân Radhiyallahu 'anhu.

[3]. HR Bukhâri dan Muslim dari 'Aisyah Radhiyallahu 'anha.

[4]. HR Bukhâri dan Muslim Abu Musa al-Asy’âri Radhiyallahu 'anha.

[5]. HR Muslim dari Abu Umâmah Radhiyallahu 'anhu

[6]. HR Tirmidzi dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu dan dihasankan oleh al-Albâni dalam Shahihul Jâmi’ (8030).

[7]. Majalah al-Bayân dan as-Sunnah yang diterbitkan oleh Yayasan Muntada Islami Birmingham London UK yang dikepalai oleh Muhammad Surur! Bukan majalah as-Sunnah kita ini, seperti yang dikira oleh sebagian penyebar fitnah berusaha melakukan kebohongan publik dan fitnah keji, wallahul musta’aan.

[8]. Hilyatul Auliyâ', I/203

[9]. Diriwayatkan oleh Ibnul Dharis dalam Fadhâilul Qur'ân (88) dan al-Khathib dalam al-Jâmi' (1490), dicantumkan juga oleh Ibnul Jauji dalam kitab Tarikh Umar, hlm. 145.

[10]. Dinukil dari kaset Silsilatul Huda wan Nûr bertajuk Fiqhul Waqi', berisi rekaman dialog antara Syaikh al-Albâni rahimahullah dengan Nashir al-Umar pada tahun 1412 H.

[11]. Dinukil dari kaset bertajuk: "Dialog Syeikh Abul Hasan Al-Ma'ribi dengan Syeikh Ibnu Baz dan Ibnu Utsaimin"
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. BERITA SUNNAH - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger