{قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ ويَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ، وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ}

Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah (sunnah/petunjuk)ku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS Ali ‘Imran:31)

Ghulûl, Dosa Besar

Abu Fathan | 09:54 | 0 comments
Agama Islam memerintahkan pemeluknya agar bersifat amanah dan menjauhi sifat khianat. Diantara bentuk khianat dalam masalah harta adalah ghulûl. Banyak nash yang melarangnya. Disebutkan dalam sebuah hadits:

عَنْ أُمِّ حَبِيبَةَ بِنْتِ الْعِرْبَاضِ، عَنْ أَبِيهَا: أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْخُذُ الْوَبَرَةَ مِنْ فَيْءِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، فَيَقُولُ: مَا لِي مِنْ هَذَا إِلَّا مِثْلَ مَا لِأَحَدِكُمْ إِلَّا الْخُمُسَ، وَهُوَ مَرْدُودٌ فِيكُمْ، فَأَدُّوا الْخَيْطَ وَالْمَخِيطَ فَمَا فَوْقَهُمَا، وَإِيَّاكُمْ وَالْغُلُولَ، فَإِنَّهُ عَارٌ وَشَنَارٌ عَلَى صَاحِبِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Dari Ummu Habîbah binti al-‘Irbâdh, dari bapaknya bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil rambut dari fai pemberian Allâh (harta ghanîmah), lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Saya tidak memiliki hak dari harta (ghanimah) ini kecuali seperti hak salah seorang diantara kalian darinya (juga), kecuali yang seperlima. Itupun dikembalikan kepada kamu. Maka serahkanlah (ghanimah/harta rampasan, baik berupa) benang, jarum dan semua barang lainnya yang lebih besar dari keduanya. Janganlah kamu melakukan ghulûl, karena itu merupakan celaan dan aib bagi pelakunya pada hari kiamat”. [Hadits hasan lighairihi. HR. Ahmad, no. 17154; Al-Bazzar, no. 1734; Ath-Thabrani dalam al-Ausath, no. 2443]


MAKNA GHULUL

Diantara makna ghulûl adalah khianat, adapun secara istilah, ghulûl adalah mengambil sesuatu dari ghanîmah (harta rampasan perang) sebelum pembagian. [al-Mausû’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, 31/272]

Imam Ibnu Qudâmah rahimahullah berkata, “Orang yang melakukan ghulûl adalah orang yang menyembunyikan ghanîmah yang berhasil dia dapatkan, sehingga imam (pemimpin) tidak mengetahuinya, dan dia tidak mengumpulkannya bersama ghanîmah”. [al-Mughni, 8/470]

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Asal arti ghulûl adalah khianat secara mutlak, kemudian istilah ghulûl khusus digunakan dengan arti khianat dalam urusan ghanîmah”. [Syarh Muslim, 4/216]

Termasuk ghulûl adalah seseorang mengambil sesuatu dari baitul mal kaum Muslimin, atau harta zakat dengan tanpa hak. Imam adz-Dzahabi rahimahullah berkata, “Dosa besar yang ke-22 adalah ghulûl dari ghanîmah, yaitu dari baitul mal kaum muslimin, atau harta zakat”. [al-Kabâ‘ir, hlm. 94, karya adz-Dzahabi]

Demikian juga hadiah-hadiah yang diberikan kepada pegawai termasuk ghulûl. Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya:

Kami pegawai negeri, pada bulan Ramadhân, kami diberi hadiah dan zakat dari sebagian pengusaha. Kami tidak bisa membedakan antara zakat dengan hadiah, karena kami tidak mengetahuinya. Pertanyaannya: Jika kami menerima harta tersebut, padahal kami tidak membutuhkan, lalu kami infakkan kepada para janda, anak yatim, orang miskin, apa hukumnya? Dan jika kami menggunakan sebagiannya untuk kami dan keluarga kami, apa hukumnya?

Syaikh menjawab:

Hadiah untuk pegawai itu termasuk ghulûl. Maksudnya, jika seseorang sebagai pejabat pemerintah, kemudian orang yang memiliki hubungan dengan tugas (pejabat itu) memberikan hadiah, maka itu termasuk ghulûl. Pejabat itu tidak boleh (tidak halal) mengambil hadiah itu sedikitpun, walaupun itu diberikan dengan senang hati. Misalnya: anda berdinas pada satu instansi, kemudian kepala bagian atau para pegawainya diberi hadiah, maka haram bagi mereka mengambilnya.

Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengutus Abdullah bin al-Lutbiyyah Radhiyallahu anhu mengurusi zakat. Ketika dia kembali, dia berkata, “Ini dihadiahkan kepadaku, sedangkan yang ini untuk kamu”. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri lalu berbicara kepada para sahabat. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Mengapa ada orang diantara kamu yang kami serahi tugas, lalu dia datang dan berkata, ‘Ini untuk kamu, sedangkan yang ini dihadiahkan kepadaku.’ Tidakkah dia duduk di rumah kedua ibu bapaknya, lalu dia perhatikan, apakah dia akan diberi hadiah atau tidak”.

Maka tidak halal bagi seorang pegawai pada sebuah instansi pemerintahan untuk menerima hadiah terkait dengan tugas mereka pada instansi tersebut. Karena kalau kita membuka pintu ini dengan mengatakan, “Pegawai boleh menerima hadiah”, berarti kita telah membuka (melegalkan) pintu suap. [Majmû’ Fatâwâ wa Rasâil al-‘Utsaimin, 18/359]

BAHAYA GHULUL

Ghulûl merupakan perbuatan khianat dan Allâh Azza wa Jalla pengkhianat. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْخَائِنِينَ

Sesungguhnya Allâh tidak menyukai orang-orang yang berkhianat. [Al-Anfâl/8: 58]

Dan barangsiapa mengambil barang secara ghulûl, maka dia akan dihinakan pada hari kiamat dengan membawa barang tersebut dan dipersaksiakan oleh makhluk yang lain. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَمَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَنْ يَغُلَّ ۚ وَمَنْ يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۚ ثُمَّ تُوَفَّىٰ كُلُّ نَفْسٍ مَا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ

Tidak mungkin seorang nabi berbuat ghulûl (berkhianat dalam urusan harta rampasan perang). Barangsiapa berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, kemudian tiap-tiap jiwa akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya. [Ali Imrân/3: 161]

Juga dijelaskan dalam hadits yang diceritakan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia berkata:

قَامَ فِينَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَذَكَرَ الغُلُولَ فَعَظَّمَهُ وَعَظَّمَ أَمْرَهُ، قَالَ: لاَ أُلْفِيَنَّ أَحَدَكُمْ يَوْمَ القِيَامَةِ عَلَى رَقَبَتِهِ شَاةٌ لَهَا ثُغَاءٌ، عَلَى رَقَبَتِهِ فَرَسٌ لَهُ حَمْحَمَةٌ، يَقُولُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَغِثْنِي، فَأَقُولُ: لاَ أَمْلِكُ لَكَ شَيْئًا، قَدْ أَبْلَغْتُكَ، وَعَلَى رَقَبَتِهِ بَعِيرٌ لَهُ رُغَاءٌ، يَقُولُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَغِثْنِي، فَأَقُولُ: لاَ أَمْلِكُ لَكَ شَيْئًا قَدْ أَبْلَغْتُكَ، وَعَلَى رَقَبَتِهِ صَامِتٌ، فَيَقُولُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَغِثْنِي، فَأَقُولُ لاَ أَمْلِكُ لَكَ شَيْئًا قَدْ أَبْلَغْتُكَ، أَوْ عَلَى رَقَبَتِهِ رِقَاعٌ تَخْفِقُ، فَيَقُولُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَغِثْنِي، فَأَقُولُ: لاَ أَمْلِكُ لَكَ شَيْئًا، قَدْ أَبْلَغْتُكَ

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri di hadapan kami, lalu menyebutkan ghulûl dan menyatakan besarnya urusan ghulûl. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jangan sampai pada hari kiamat aku bertemu seseorang dari kaalian yang memikul kambing yang mengembik di lehernya, memikul kuda yang meringkik di lehernya, lalu dia berkata, “Wahai Rasûlullâh! Tolonglah aku!”, lalu aku akan menjawab, “Aku tidak mampu menolongmu. Dahulu aku sudah menyampaikan kepadamu”.

Memikul harta (emas; perak; dll) di lehernya, lalu dia berkata. Wahai Rasûlullâh! Tolonglah aku!”, lalu aku akan menjawab, “Aku tidak mampu menolongmu. Dahulu aku sudah menyampaikan kepadamu”.

Memikul kain di lehernya yang bergoyang-goyang, lalu dia berkata, “Wahai Rasûlullâh! Tolonglah aku!”, lalu aku akan menjawab, “Aku tidak mampu menolongmu. Dahulu aku sudah menyampaikan kepadamu”. [HR. Al-Bukhâri, no. 3073; Muslim, no. 1831]

Bahkan ghulûl termasuk penyebab masuk neraka, walaupun pelakunya seakan seorang shalih. Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia berkata:

افْتَتَحْنَا خَيْبَرَ، وَلَمْ نَغْنَمْ ذَهَبًا وَلاَ فِضَّةً، إِنَّمَا غَنِمْنَا البَقَرَ وَالإِبِلَ وَالمَتَاعَ وَالحَوَائِطَ، ثُمَّ انْصَرَفْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى وَادِي القُرَى، وَمَعَهُ عَبْدٌ لَهُ يُقَالُ لَهُ مِدْعَمٌ، أَهْدَاهُ لَهُ أَحَدُ بَنِي الضِّبَابِ، فَبَيْنَمَا هُوَ يَحُطُّ رَحْلَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ جَاءَهُ سَهْمٌ عَائِرٌ، حَتَّى أَصَابَ ذَلِكَ العَبْدَ، فَقَالَ النَّاسُ: هَنِيئًا لَهُ الشَّهَادَةُ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: بَلْ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، إِنَّ الشَّمْلَةَ الَّتِي أَصَابَهَا يَوْمَ خَيْبَرَ مِنَ المَغَانِمِ، لَمْ تُصِبْهَا المَقَاسِمُ، لَتَشْتَعِلُ عَلَيْهِ نَارًا فَجَاءَ رَجُلٌ حِينَ سَمِعَ ذَلِكَ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِشِرَاكٍ أَوْ بِشِرَاكَيْنِ، فَقَالَ: هَذَا شَيْءٌ كُنْتُ أَصَبْتُهُ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: شِرَاكٌ – أَوْ شِرَاكَانِ – مِنْ نَارٍ

Kami menaklukkan Khaibar, kami tidak mendapatkan ghanimah berupa emas dan perak, tetapi kami mendapatkan ghanimah berupa sapi, onta, barang-barang dan kebun-kebun. Kemudian kami pergi bersama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Wadil Qura, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diikuti budaknya yang bernama Mid’am yang dihadiahkan oleh seseorang dari Bani adh-Dhibab. Ketika budak itu sedang menurunkan pelana Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , tiba-tiba sebuah anak panah nyasar datang dan mengenainya. Orang-orangpun berkata, “Selamat! Dia meraih syahid”. Maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak! Demi Allâh yang jiwaku di tanganNya! Sesungguhnya selimut yang dia ambil dari ghanimah Khaibar, yang belum dibagi, akan menyalakan api padanya.”

Ketika mendengar hal itu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , seorang laki-laki datang membawa satu tali atau dua tali sandal, lalu berkata, “Ini barang yang aku ambil”. Maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Satu tali sandal atau dua tali sandal dari neraka”. [HR. Al-Bukhâri, no. 4234; Muslim, no. 115]

Seandainya seseorang bersedekah dengan barang hasil ghulûl, maka sedekah itu tertolak, karena barang ghulûl bukan barang yang baik.

Abdullah bin Umar Radhiyallahu anhuma menyatakan bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَا تُقْبَلُ صَلَاةٌ بِغَيْرِ طُهُورٍ وَلَا صَدَقَةٌ مِنْ غُلُولٍ

Shalat tanpa bersuci tidak akan diterima, demikian juga sedekah dari ghulûl (tidak akan diterima). [HR. Muslim, no. 224]

Dengan berbagai bahaya ghulûl yang demikian besar, maka hendaklah orang-orang yang mengurusi harta umat, baik itu berupa zakat, infak, sedekah, kas masjid, dan lainnya, berhati-hati agar tidak mengambil harta umat demi kepentingan pribadi. Jika dia mengambil harta umat untuk akan menjadi sebab dia celaka di akhirat nanti.

Oleh Ustadz Abu Isma’il Muslim al-Atsari

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XIX/1436H/2015. ]

Apakah Al Qur’an Bebas Tafsir?

Abu Fathan | 11:41 | 0 comments
Pernyataan bahwa Al Qur’an itu bebas tafsir erat kaitannya dengan bahasan at tafsir bir ra’yi (penafsiran Al Qur’an dengan opini). Karena jika Al Qur’an dikatakan bebas tafsir artinya semua orang bebas untuk memaknai dan menafsirkan Al Qur’an dengan opini mereka masing-masing dan pemahaman masing-masing yang keluar dari benak mereka. Apakah yang demikian dibenarkan?

Pengertian at tafsir bir ra’yi

At tafsir bir ra’yi artinya penafsiran seseorang dalam menjelaskan makna-makna Al Qur’an dengan suatu pemahaman khusus yang hanya berlandaskan dengan ra’yu (opini) semata 1.
Tafsir dengan semata-mata opini adalah “langganannya” orang-orang menyimpang dari ahlul bid’ah dan munafiqin. Syaikh Manna’ Al Qathan menjelaskan, “Mayoritas yang menggunakan metode ini adalah ahlul bid’ah yang meyakini keyakinan-keyakinan batil. Mereka berbuat lancang terhadap Al Qur’an dengan menafsirkannya seseuai opini mereka, dan mereka dalam hal ini tidak memiliki teladan dari para sahabat Nabi juga para tabi’in., baik dalam pendapat-pendapat mereka maupun dalam tafsir-tafsir mereka. Mereka telah menulis beberapa tafsir yang dibangun di atas pemikiran yang demikian, seperti Tafsir Abdurrahman bin Kaisan Al AshamTafsir Al Jubba’iTafsir Abdul JabbarTafsir Ar RummaniTafsir Zamakhsyari, dan semisalnya”2.
Tafsir-tafsir yang demikian terkadang “menyihir” pembacanya dengan menggunakan ungkapan-ungkapan yang indah dan seolah “menyejukkan” hati yang membacanya namun di balik itu semua ada pemikiran dan keyakinan yang batil diselipkan. Disebutkan Syaikh Manna’ Al Qathan, “Diantara mereka ada yang menggunakan ungkapan-ungkapan yang indah yang menyamarkan madzhab batil mereka yang membuatnya laris di kalangan masyarakat. Sebagaimana yang dilakukan penulis tafsir Al Kasyaf dalam menyelipkan aqidah mu’tazilah di dalamnya”3.

Hukum at tafsir bir ra’yi

Menafsirkan Al Qur’an semata-mata dengan akal dan opini tanpa landasan ilmu yang benar, hukumnya haram dan terlarang melakukannya. Allah Ta’ala berfirman:
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya” (QS. Al Isra: 36).
Dari Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:
من قال في القرآن بغير علم فليتبوأ مقعده من النار
barangsiapa yang berkata tentang Al Qur’an tanpa ilmu maka siapkanlah tempat duduknya di neraka” 4.
Juga diriwayatkan dari Jundab bin Abdillah radhiallahu’anhu:
من قال في القرآن برأيه فأصاب فقد أخطأ
“barang siapa siapa yang berkata tentang Al Qur’an sebatas dengan opininya, lalu kebetulan ia benar, maka ia tetap salah” 5.
Oleh karena itu kita lihat generasi terbaik umat Islam yaitu para sahabat Nabi, para tabi’in, dan tabiut tabi’in, mereka tidak berani menafsirkan Al Qur’an jika mereka tidak tahu tafsirnya.
Abu Bakar Ash Shiddiq radhiallahu’anhu pernah ditanyan mengenai makna abban atau al abb dalam surat Abasa ayat 31: وَفَاكِهَةً وَأَبًّا, namun Abu Bakar mengatakan:
أي سماء تظلني؟ و أي أرض تقلني؟ إذا قلت في كلام الله ما لا أعلم
Langit mana yang akan menaungiku? Bumi mana yang akan menopangku? Jika aku berkata tentang kalamullah yang aku tidak ketahui (tafsirnya)” 6.
Suatu kala Sa’id bin Musayyib ditanya mengenai tafsir sebuah ayat, beliau mengatakan:
إنا لا نقول في القران شيئا
kami tidak (berani) beropini sedikit pun mengenai tafsir Al Qur’an” 7.
Beliau katakan demikian karena tidak tahu mengenai tafsir ayat tersebut.
Ath Thabari mengatakan: “Kabar-kabar dari para salaf ini bukti benarnya penyataan kami bahwa penafsiran ayat Al Qur’an tidak bisa diketahui ilmunya kecuali dengan penjelasan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, atau dengan adanya dalil yang mendukungnya. Tidak boleh seorang pun berkata tentang tafsirnya hanya dengan opininya. Jika kebetulan perkataannya benar, maka ia tetap salah atas perbuatannya yang berani bicara mengenai tafsir dengan semata opini. Karena perkataannya yang benar tersebut bukanlah kebenaran yang benar-benar ia yakini kebenarannya, melainkan hanya kira-kira dan sangkaan saja. Dan orang yang berbicara masalah agama dengan modal sangkaan, sama saja ia berbicara tentang Allah tanpa ilmu. Dan Allah telah melarang hal itu terhadap hamba-Nya. Allah berfirman:
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ
“Katakanlah: “Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui”(QS. Al A’raf: 33)” 8.
Dengan demikian jelaslah bahwa menafsirkan Al Qur’an dengan semata-mata akal dan opini adalah terlarang dan bukanlah teladan dari para salafus shalih.
Untuk lebih memperluas pemahaman, berikut ini kami sertakan penjelasan rinci para ulama mengenai masalah ini:
Penjelasan Dewan Fatwa IslamWeb
Mereka ditanya, “Salah seorang khatib ia memulai ceramahnya dengan menyebutkan larang bagi orang awam (yang tidak memiliki ilmu dan tidak biasa membaca kitab rujukan) untuk berdalam-dalam membahas makna Al Qur’an. Namun pernyataan tersebut diikuti dengan perkataan yang menurut saya aneh, yaitu ia mengatakan bahwa orang awam jika mengatakan sesuatu tentang Al Qur’an lalu kebetulan ia benar, maka ia tetap berdosa. Artinya, jika ia salah ia berdosa, benar pun ia berdosa. Sedangkan seorang mufti yang berilmu ia mendapatkan pahala jika ia benar ataupun jika ia salah. Apakah pernyataan ini benar? Mohon penjelasannya”.
Mereka menjawab:
“Pernyataan khatib tersebut benar. Karena orang awam tidak boleh berbicara tentang Al Qur’an dengan semata-mata opininya saja, tanpa bersandar kepada kitab tafsir rujukan atau dalil. At Tirmidzi dalam Sunan-nya membuat bab: Maa Ja’a fil Ladzi Yufassirul Qur’an Bira’yihi (Bab tentang orang yang menafsirkan Al Qur’an dengan opininya). Di dalam bab tersebut beliau membawakan hadits dari Ibnu Abbas radhiallahu’ahuma bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
من قال في القرآن بغير علم فليتبوأ مقعده من النار
barangsiapa yang berkata tentang Al Qur’an tanpa ilmu maka siapkanlah tempat duduknya di neraka”.
At Tirmidzi mengatakan: “hadits ini hasan shahih”.
Beliau juga mengeluarkan hadits dari Jundab bin Abdillah radhiallahu ‘anhu :
من قال في القرآن برأيه فأصاب فقد أخطأ
barang siapa siapa yang berkata tentang Al Qur’an sebatas dengan opininya, lalu kebetulan ia benar, maka ia tetap salah”.
At Tirmidzi lalu mengatakan:
كذا روي عن بعض أهل العلم من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم وغيرهم أنهم شددوا في هذا في أن يفسر القرآن بغير علم
“perkataan semisal ini juga diriwayatkan dari sebagian ahlul ilmi di kalangan para sahabat Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan yang selain mereka, yaitu bahwa mereka sangat keras terhadap perbuatan menafsirkan Al Qur’an tanpa ilmu”.
Penulis Tuhfatul Ahwadzi mengatakan:
من قال في القرآن برأيه أي بغير دليل يقيني أو ظني نقلي أو عقلي مطابق للشرعي قاله القاري … (ومن قالأي من تكلم (في القرآنأي في معناه أو قراءته (برأيهأي من تلقاء نفسه من غير تتبع أقوال الأئمة من أهل اللغة والعربية المطابقة للقواعد الشرعية بل بحسب ما يقتضيه عقله وهو مما يتوقف على النقلوقوله (من قال في القرآنأي في لفظه أو معناه (برأيه)أي بعقله المجرد (فأصابأي ولو صار مصيباً بحسب الاتفاق (فقد أخطأأي فهو مخطئ بحسب الحكم الشرعي.
“Yang dimaksud menafsirkan Al Qur’an dengan ra’yu (opini) adalah menafsirkan Al Qur’an dengan tanpa dalil yaqini atau dalil zhanni, baik dalil naqli maupun aqli (baca: qiyas) yang sesuai dengan syari’at. Ali Al Qari menjelaskan (dalam menafsirkan hadits Ibnu Abbas): [barangsiapa yang berkata] maksudnya menjelaskan sesuatu.[dalam Al Qur’an] maksudnya mengenai makna-makna Al Qur’an dan qira’ah-nya. [dengan opininya] maksudnya dengan pandangan yang ada di benaknya tanpa berusaha mencari-cari penjelasan para ulama yang ahli bahasa Arab dan penjelasan para ulama yang sesuai dengan kaidah-kaidah syariyyah. Bahkan ia hanya mencukupkan diri dengan apa yang muncul dari akalnya karena tidak ada pengetahuan tentang dalil naqli. Dan hadits [barangsiapa yang berkata tentan Al Qur’an] maksudnya tentang lafadz dan maknanya [dengan opininya] yaitu dengan akalnya semata [lalu ia benar] yaitu ia benar karena kebetulan [maka ia tetap salah]maksudnya ia tetap salah dalam tinjauan hukum syar’i”.
Ibnu Hajar menjelaskan:
اي أخطأ طريقة الاستقامة بخوضه في كتاب الله تعالى بالتخمين والحدس لتعديه بهذا الخوض مع عدم استجماعه لشروطه فكان آثماً به مطلقا ولم يعتد بموافقته للصواب لأنها ليست عن قصد ولا تحر، بخلاف من كملت فيه آلات للتفسير فإنه مأجور بخوضه فيه وإن أخطأ لأنه لا تعدي منه فكان مأجورا أجرين كما في رواية، أو عشرة أجور كما في أخرى إن أصاب، وأجر إن أخطأ كالمجتهد لأنه بذل وسعه في طلب الحق واضطره الدليل إلى ما رآه فلم يكن منه تقصير بوجه .
“Maksudnya ia telah menyalahi jalan yang lurus karena telah menafsirkan kitab Allah Ta’ala dengan menebak-nebak dan menerka maknanya, dan karena kelancangannya atas perbuatan tersebut, tanpa mengumpulkan syarat-syarat yang harus dimiliki seorang yang hendak menafsirkan Qur’an. Maka ia berdosa secara mutlak dan tidak dianggap perkataannya yang kebetulan betul karena itu hanya sekedar kebetulan dan bukan karena adanya usaha yang benar. Berbeda dengan orang yang telah terkumpul padanya syarat-syarat penafsir Qur’an, maka ia mendapatkan pahala jika menafsirkannya walaupun ia salah. Karena kesalahannya tersebut bukan karena kelancangan. Maka jika tafsirannya benar, ia mendapatkan dua pahala sebagaimana dalam suatu riwayat atau 10 pahala dalam riwayat yang lain. Dan jika tafsirannya salah, ia mendapatkan satu pahala, sebagaimana seorang mujtahid. Karena ia telah mengerahkan daya upayanya untuk mencari kebenaran dan ia telah mengolah dalil sebatas yang sesuai dengan yang mereka pahami, maka dari sisi ini pada diri mereka tidak ada sikap peremehan”.
Maka dari sini jelas bahwa seorang yang jahil tidak boleh berbicara mengenai Al Qur’an dengan semata-mata opininya. Adapun jika ia :
  • menukil perkataan yang ia dengan dari ulama
  • atau menukil tafsiran dari kitab rujukan yang dijadikan pegangan dalam ilmu tafsir,
  • atau ia berbicara mengenai perkara yang dharuri (sudah dipahami umumnya orang secara gamblang) semisal ia berdalil dengan ayat Qur’an tentang wajibnya shalat, atau tentang wajibnya amar ma’ruf nahi mungkar, dan perkara-perkara semisal yang secara gamblang telah diketahui semua orang, untuk sebatas berdalil bukan menafsirkan makna per maknanya
maka ini semua tidak mengapa. Berdasarkan perkataan Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma sebagaimana yang diriwayatkan oleh As Suyuthi dalam kitab Ad Durr:
تفسير القرآن على أربعة وجوه تفسير يعلمه العلماء وتفسير لا يعذر الناس بجهالته من حلال أو حرام وتفسير تعرفه العرب بلغتها وتفسير لا يعلمه إلا الله، فمن ادعى علمه فهو كاذب
“Tafsir Al Qur’an ada empat macam: [1] Tafsir yang hanya diketahui para ulama, [2] Tafsir yang semua orang tidak diberi udzur untuk mengaku tidak paham, berupa hukum halam dan haram, [3] Tafsir yang bisa diketahui oleh orang Arab dengan bahasanya, [4] Tafsir yang hanya diketahui oleh Allah, sehingga barangsiapa ada yang mengaku mengetahuinya maka ia seorang pendusta”.
Wallahu A’lam” 9.
Penjelasan Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan
Beliau mengatakan: “bahkan sebagian orang berbuat melebihi batas dalam menafsirkan Al Qur’an yaitu dengan menafsirkannya menggunakan falsafah kontemporer dan teori-teori sains. Ini adalah sikap lancang terhadap Al Qur’an. Lalu ketika hasil tafsiran tersebut sesuai dengan pendapat mereka, merekapun menamakan fenomena tersebut dengan ‘keajaiban ilmiah’. Ini adalah kesalahan besar kerena tidak boleh menafsirkan Al Qur’an dengan falsafah dan teori-teori demikian karena semua itu senantiasa berubah-ubah dan saling mendustakan satu dengan lainnya. Sedangkan Al Qur’an itu haq, makna-makna Al Qur’an juga haq, tidak ada pertentangan di dalamnya. Dan tidak berubah makna-maknanya dengan berjalannya waktu. Adapun pemikiran-pemikiran manusia dan info-info yang mereka miliki itu terkadang benar dan terkadang salah. Bahkan salahnya lebih banyak daripada benarnya. Betapa banyak teori yang hari ini dianggap benar namun di masa depan akan didustakan (dianggap salah). Maka tidak boleh mengait-ngaitkan Al Qur’an dengan teori-teori buatan manusia dan ilmu-ilmu buatan manusia yang sifatnya masih zhan, samar, penuh keraguan dan saling bertentangan.
Ilmu tafsir Qur’an memiliki kaidah-kaidah yang dikenal di kalangan ulama syari’at. Tidak boleh melangkahi kaidah-kaidah tersebut dan tidak menafsirkan Al Qur’an dengan tafsiran yang menerapkan kaidah-kaidah tersebut. Diantara kaidah tersebut adalah:
  • Menafsirkan Al Qur’an dengan Al Qur’an. Ayat-ayat yang mujmal (umum) diperinci lagi oleh ayat yang lain. Ayat-ayat yang muthlaq disebutkan secara muqayyad pada ayat yang lain.
  • Jika tafsir suatu ayat tidak terdapat pada ayat yang lain, maka cari penafsirannya pada sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Karena As Sunnah adalah penjelas Al Qur’an. Allah Ta’ala berfirman kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:
    وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
    Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan(QS. An Nahl: 44).
  • Jika tafsir ayat tersebut tidak terdapat pada As Sunnah, maka cari tafsirnya dari penjelasan para Sahabat Nabi. Karena merekalah yang paling mengetahui hal tersebut, dikarenakan para sahabat lah yang membersamai Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan Rasulullah telah mengajarkan ilmu-ilmu kepada mereka secara langsung termasuk juga mengajarkan Al Qur’an beserta tafsirnya secara talaqqi kepada mereka. Sampai-sampai diantara mereka ada yang mengatakan:
    ما كنا نتجاوز عشر آيات حتى نعرف معانيهن والعمل بهن
    kami tidak melewati 10 ayat sampai kami mengetahui makna-maknanya dan mengamalkannya
  • Jika tafsir ayat tersebut tidak terdapat pada penjelasan Sahabat Nabi, maka para imam kaum Muslimin merujuk pada penjelasan para tabi’in. Karena mereka menerima pengajaran ilmu dari para sahabat Nabi. Tafsiran yang diperselisihkan oleh para tabi’in dikembalikan juga kepada kaidah-kaidah bahasa Arab yang dengannya Al Qur’an diturunkan.
Penafsiran Al Qur’an tanpa mengikuti empat kaidah di atas, tidaklah diperbolehkan. Maka menafsirkan Al Qur’an dengan teori-teori kontemporer, dengan perkataan para dokter, pakar geografi, pakar astronomi, para pakar-pakar di televisi, ini semua batil dan tidak diperbolehkan. Karena ini adalah tafsir bir ra’yi (penafsiran dengan opini) dan hukumnya haram dengan keharaman yang fatal. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:
من قال في القرآن برأيه وبما لا يعلم فليتبوأ مقعدهمن النار
barangsiapa yang berkata tentang Al Qur’an dengan opininya dan dengan tanpa ilmu maka siapkanlah tempat duduknya di neraka” (HR. Ibnu Jarir, At Tirmidzi dan An Nasa’i).
Dalam riwayat lain:
من قال في القرآن برأيه فأصاب فقد أخطأ
barang siapa siapa yang berkata tentang Al Qur’an sebatas dengan opininya, lalu kebetulan ia benar, maka ia tetap salah”” 10.
Penjelasan Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin
Beliau ditanya, “Apakah setiap orang bisa menafsirkan Al Qur’an dengan opininya? Ataukah orang-orang yang ilmunya mapan saja yang dapat melakukannya? Dan apa dalilnya?”.
Beliau menjawab:
“Benar, menafsirkan Al Qur’an dengan sekedar opini saja tidaklah diperbolehkan. Baik bagi ulama maupun yang bukan ulama. Dan barang siapa yang berkata tentang Al Qur’an dengan sekedar opininya maka siapkanlah tempat duduknya di neraka. Dan yang dimaksud at tafsir bir ra’yi (menafsirkan dengan opini) adalah memaknai makna-makna yang ada di dalam Al Qur’an dengan pandangan sendiri bukan dengan makna yang ditunjukkan oleh teks ayat. Adapun memaknai Al Qur’an dengan makna yang ditunjukkan oleh teks ayat, jika seseorang memang mampu melakukannya karena ia mengetahui bahasa Arab dan ilmu ushul fikih dan kaidah-kaidah syar’iyyah maka tidak mengapa ia menafsirkan Al Qur’an sesuai dengan apa yang ditunjukkan oleh teks ayat. Jika ia tidak memiliki ilmu maka tidak boleh baginya untuk menafsirkan ayat karena hal ini sangat berbahaya. Karena orang yang menafsirkan Al Qur’an ia sedang menerjemahkan maksud dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka hendaknya seseorang menjauhi perbuatan menerjemahkan maksud firman Allah padahal Allah tidak memaksudkan demikian. Karena ini adalah perkara yang fatal dan bahaya sekali” 11.

Kesimpulan

Menafsirkan Al Qur’an semata-mata dengan akal dan opini tanpa landasan ilmu yang benar, hukumnya haram dan terlarang melakukannya. Menafsirkan Al Qur’an yang benar adalah menafsirkannya dengan ayat Al Qur’an yang lain, jika tidak terdapat pada ayat yang lain, maka cari penafsirannya pada As Sunnah, jika tidak terdapat pada As Sunnah, maka cari tafsirnya dari penjelasan para Sahabat Nabi, jika tidak terdapat pada penjelasan sahabat Nabi, maka merujuk pada penjelasan para tabi’in, jika tabi’in berselisih maka diambil pendapat terkuat yang sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan kaidah tafsir.
Semoga yang sedikit ini bermanfaat. Alhamdulillahilladzi bini’matihi tatimmshalihaat.
***
Penyusun: Yulian Purnama
Artikel Muslim.or.id
____
  1.  Mabahits fi Ulumil Qur’an, 351 ↩
  2.  Mabahits fi Ulumil Qur’an, 351 ↩
  3.  Mabahits fi Ulumil Qur’an, 351 ↩
  4. HR. At Tirmidzi 2950. Hadits ini diperslisihkan statusnya oleh para muhadditsin. At Tirmidzi berkata: “hasan shahih”. Namun yang tepat, hadits ini lemah karena terdapat perawi Abdul A’la Ats Tsa’labi yang statusnya dha’iful hadits. Hadits ini didhaifkan oleh Al Albani dalam Silsilah Ahadits Dha’ifah (1783), Ahmad Syakir dalamTa’liq Musnad Ahmad (3/341), dan para muhaqqiq lainnya. Namun hadits ini shahih secara mauquf dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu’anhu, dan dihukumi marfu’ karena isinya adalah hal yang tidak ada ruang untuk berijtihad. Sehingga hadits ini bisa digunakan untuk berhujjah. Selain itu, Syaikh Ibnu Baz dalam Fawaid Ilmiyah min Durus Baziyah (8/111) mengatakan: “hadits ini terdapat kelemahan, namun maknanya benar” ↩
  5. HR. Tirmidzi no. 2952. Hadits ini juga diperselisihkan statusnya, dihasankan oleh sebagian ulama, namun yang tepat ia adalah hadits yang lemah karena terdapat Suhail bin Abi Hazm, perawi yang lemah.Syaikh Ibnu Baz dalam Fawaid Ilmiyah min Durus Baziyah (8/111) mengatakan: “mengenai derajat hadits ini ada perselisihan yang ringan, namun maknanya benar” ↩
  6. Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf, dinukil dari Mabahits fi Ulumil Qur’an, 352 ↩
  7. Diriwayatkan oleh Malik dalam Al Muwatha, dinukil dari Mabahits fi Ulumil Qur’an, 352 ↩
  8.  Tafsir Ath Thabari 1/78-79, dinukil dari dinukil dari Mabahits fi Ulumil Qur’an, 352-353 ↩
  9. Sumber: http://fatwa.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=67614 ↩
  10. Sumber: http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=131224 ↩
  11. Sumber: http://islamport.com/w/ftw/Web/2190/757.htm


Hakikat Dunia Dalam Permisalan

Abu Fathan | 09:53 | 0 comments
Banyak sekali ayat dan hadits yang menjelaskan hakikat kehidupan dunia. Para Ulama juga sudah berusaha menjelaskan kepada umat manusia tentangnya, diantaranya Ibnu Qayyim rahimahullah . Untuk memudahkan orang memahami hakikat kehidupan Ibnul Qayyim rahimahullah memberikan permisalan-permisalan. Dalam kitab ‘Uddatus Shâbirin, beliau rahimahullah menghadirkan banyak sekali permisalan. Sebagiannya beliau rahimahullah ambilkan dari hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menggambar kehidupan dunia. Sebagian dari permisalan itu sudah disajikan dalam mabhats yang lain pada edisi ini. Berikut kami sajikan sebagian permisalan lain dengan sedikit penjelasan dari kitab Jâmi’ul Ulûm wal Hikam. Semoga bermanfaat !
Dunia ibarat bunga yang elok dipandang dengan aromanya yang semerbak mewangi.

Permisalahan ini disampaikan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah hadits yang disepakati keshahihannya. Hadits ini dari Abu Sa’id al-Khudriy Radhiyallahu anhu. Beliau Radhiyallahu anhu mengatakan, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri lalu berkata kepada manusia yang ada saat itu

لاَ وَاللهِ مَاأَخْشَى عَلَيْكُمْ إِلاَّ مَايُخْرِجُ اللهُ لَكُمْ مِنْ زَهْرَةِ الدُّنْيَا

Demi Allâh Azza wa Jalla , saya tidak mengkhawatirkan (apapun-red) atas kalian selain perhiasan dunia yang Allâh Azza wa Jalla keluarkan untuk kalian.

Salah seorang Sahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah! Apakah ada kebaikan yang membawa keburukan?’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam diam, kemudian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Bagaimana pertanyaanmu?” Orang itu mengatakan, ‘Wahai Rasulullah! Apakah ada kebaikan yang membawa keburukan?’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ الْخَيْرَ لَا يَأْتِي إِلَّا بِالْخَيْرِ وَإِنَّ مِمَّا يُنْبِتُ الرَّبِيعُ مَا يَقْتُلُ حَبَطًا أَوْ يُلِمُّ إِلَّا آكِلَةَ الْخَضِرِ كُلَّمَا أَكَلَتْ حَتَّى إِذَا امْتَلَأَتْ خَاصِرَتَاهَا اسْتَقْبَلَتِ الشَّمْسَ فَثَلَطَتْ وَبَالَتْ ثُمَّ اجْتَرَّتْ فَعَادَتْ فَأَكَلَتْ فَمَنْ أَخَذَ مَالاً بِحَقِّهِ يُبَارَكُ لَهُ فِيْهِ وَمَنْ أَخَذَ مَالاً بِغَيْرِ حَقِّهِ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الَّذِي يَأْكُلُ وَلَا يشْبع

Sesungguhnya kebaikan itu hanya mendatangkan kebaikan. Sesungguhnya diantara tumbuhan musim semi itu ada yang bisa menyebabkan kematian (hewan yang memakannya-red) karena kekeyangan atau hampir menyebabkan kematiannya kecuali hewan yang memakan tumbuhan hijau sampai ketika perutnya terasa penuh dia menghadap ke arah matahari (untuk berjemur) lalu mengeluarkan kotoran kemudian kencing lalu mengunyah lagi. Setelah itu dia kembali lagi dan mengkonsumsi rerumputan lagi. Barangsiapa mengambil harta sesuai dengan haknya, maka dia akan beri keberkahan padanya. Dan barangsiapa mengambil harta tidak sesuai haknya, maka dia seperti orang yang makan tapi tidak pernah kenyang.

Dalam hadits ini Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitahukan bahwa Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam khawatir dunia (harta) akan memfitnah umatnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menamakannya zahrah (bunga) sebagai bentuk penyerupaan dunia dengan bunga yang wangi semerbak, elok dipandang tapi tidak bisa bertahan lama, sementara dibelakang bunga itu ada buah yang jauh lebih baik dari bunga tersebut dan lebih tahan lama.

Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

وَإِنَّ مِمَّا يُنْبِتُ الرَّبِيعُ مَا يَقْتُلُ حَبَطًا أَوْ يُلِمُّ

Sesungguhnya diantara tumbuhan musim semi itu ada yang bisa menyebabkan kematian (hewan yang memakannya-red) karena kekeyangan atau hampir menyebabkan kematiannya.

Permisalan ini termasuk permisalan terbaik yang berisi peringatan (terhadap manusia agar waspada-red) dari kehidupan dunia, (tidak) tenggelam dalam kehidupannya dan berlebihan dalam mencintainya. Karena binatang ternak bisa terpikat dengan tumbuhan musim semi, lalu dia memakannya dengan lahap. Bisa jadi tumbuhan di musim semi yang telah memikatnya itu bisa menyebabkan dia mati kekenyangan.

Begitu juga dengan kecintaan atau ambisi seseorang terhadap harta, bisa jadi ambisi itu menyebabkan dia mati atau hampir menyebabkan kematian. Betapa banyak orang kaya mati terbunuh karena harta mereka. Mereka sangat berambisi untuk menumpuk harta sementara harta yang ditumpuk itu dibutuhkan oleh orang lain lalu orang lain itu tidak bisa mendapatkan harta itu kecuali dengan cara membunuh orang-orang kaya itu atau dengan cara-cara yang mengancam nyawa si pemilik harta seperti pengambilan secara paksa.

Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

إِلَّا آكِلَةَ الْخَضِرِ

Kecuali binatang ternak yang memakan tumbuhan

Ini merupakan permisalan bagi orang yang mengambil dunia sesuai dengan kebutuhannya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumpamakannya dengan binatang ternak yang mengkonsumsi tanaman hijau seperlunya. Dia memakannya hanya sampai perutnya kenyang.

Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

اسْتَقْبَلَتِ الشَّمْسَ فَثَلَطَتْ وَبَالَتْ

Dia menghadap ke arah matahari (berjemur) lalu mengeluarkan kotoran dan kencing.

Dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini terdapat tiga faidah:
Binatang ternak itu setelah memenuhi kebutuhan dari padang rumput, dia segera meninggalkan padang itu lalu ia menderum (duduk) menghadap ke arah matahari supaya apa yang telah dimakannya itu (berproses dan) bisa keluar.
Binatang itu meninggalkan dan berpaling dari apa yang membahayakan dirinya berupa ambisi terhadap apa yang ada diladang, lalu dia berbalik arah menuju sesuatu yang bermanfaat yaitu menghadap ke arah matahari (berjemur) untuk menghasilkan panas yang bisa membantu pematangan makanan yang dikonsumsinya lalu mengeluarkannya.
Binatang ternak ini mengeluarkan dan membuang makanan yang dikumpulkan dalam perutnya melalui kencing dan kotoran. Setelah apa yang dimakan itu keluar, dia bisa istirahat. Seandainya apa yang dimakan itu tetap berada di dalam perut dan tidak bisa keluar, maka tentu makanan itu akan membunuhnya.

Begitu juga dengan orang berambisi mengumpulkan harta, maka untuk kebaikannya mestinya dia melakukan seperti apa yang dilakukan binatang ternak itu.

Bagian depan dari hadits di atas adalah permisalan yang menggambarkan ambisi orang dalam memperoleh dan menumpuk harta. Orang ini seumpama binatang ternak yang terbawa ambisi untuk memakan (sebanyak-banyaknya) sampai akhirnya mati kekenyangan atau hampir mati. Orang yang sangat berambisi (terhadap harta/dunia) bisa jadi mati atau terancam jiwanya. Karena saat musim semi, berbagai macam rerumputan dan sayuran tumbuh, lalu ada binatang ternak yang memakan sebanyak-banyaknya sampai akhirnya menyebabkan perutnya pecah karena dia memakan makanan melebihi daya tampung perutnya. Begitu juga orang yang sangat berambisi menumpukkan dunia dengan segala cara lalu dia menyimpannya atau membelanjakannya dengan cara yang tidak benar.

Dibagian akhir hadits tersebut, terdapat perumpamaan yang menyerupakan orang yang tidak berlebih-lebihan dalam masalah dunia dengan binatang herbivora (hewan pemakan tumbuh-tumbuhan) yang mengkonsumsi tumbuh-tumbuhan yang bermanfaat untuknya. Kerakusan dan keinginannya tidak menyeret dia mengkonsumsi sesuatu melebihi keperluannya. Dia hanya mengkonsumsi sesuatu sesuai kebutuhannya. Begitu pula orang yang tidak berlebihan dalam masalah dunia ini, dia mengambil harta seperlunya lalu beralih melakukan sesuatu yang bermanfaat untuknya.

Kotoran dan air kencing yang dikeluarkan oleh binatang itu ibarat harta yang dikeluarkan atau diinfakkan dengan benar. Jika harta yang seharusnya dikeluarkan itu ditahan atau disimpan, maka itu akan menyebabkan dia celaka. Dengan mengeluarkannya, berarti dia telah terselamatkan dari akibat buruk menumpuk harta dengan hanya mengambil seperlunya saja dan terhindar dari akibat buruk menyimpan harta dengan cara mengeluarkan apa yang seharusnya dia keluarkan, sebagaimana binatang ternak itu terselamatkan dengan cara membuang kotoran mengeluarkan air kencing.

Dalam hadits ini juga terdapat isyarat agar kita berlaku sedang-sedang saja, bersikap tengah-tengah antara ambisi yang bisa menyebabkan kematian dan berpaling dari harta secara totalitas sehingga menyebabkan kelaparan.

Hadits ini juga berisi arahan bagi orang yang memiliki harta banyak untuk menjaga kesehatan diri dan hatinya yaitu dengan mengeluarkan dan menginfakkannya serta tidak bakhil yang menyebabkan kematian.
Dunia seperti danau besar penuh air yang hampir kering karena disesaki manusia dan hewan

Dunia ibarat danau besar yang penuh air dan menjadi sumber air penghidupan bagi manusia dan hewan-hewan. Perlahan-lahan, (debit air) danau itu pun menipis karena volume yang datang kepadanya begitu banyak, sampai akhirnya tidak tersisa kecuali sedikit saja yang keruh di dasar danau. Air yang sedikit itu kini telah dikencingi oleh binatang-binatang, sementara manusia dan hewan-hewan ternak mencebur ke dalamnya. Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahîhnya, no.2967 dari ‘Utbah bin Ghazwân bahwa ia menyampaikan khutbah kepada mereka. Di dalamnya, ia mengatakan:

إِنَّ الدُّنْيَا قَدْ أَذِنَتْ بِصَرْمٍ، وَوَلَّتْ حَذَّاءً، وَلَمْ يَبْقَ مِنْهَا إِلَّا صُبَابَةٌ كَصُبَابَةِ الْإِنَاءِ يَتَصَابُّهَا صَاحِبُهَا، وَإِنَّكُمْ مُنْتَقِلُونَ مِنْهَا إِلَى دَارٍ لَا زَوَالَ لَهَا، فَانْتَقِلُوا بِخَيْرِ مَا بِحَضْرَتِكُمْ

Sesungguhnya dunia sudah mengisyaratkan akan berakhir, berjalan cepat tanpa disadari, dan tidak tersisa darinya kecuali sekedar sisanya saja layaknya sisa air dalam teko, yang dituangkan oleh pemiliknya. Dan sesungguhnya kalian akan berpindah darinya menuju tempat tinggal yang tidak ada masa kehancurannya. Maka, berpindahlah kalian darinya dengan membawa segala yang terbaik yang kalian miliki.

‘Abdullâh bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu berkata:

إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى جَعَلَ الدُّنْيَا كُلَّهَا قَلِيلًا، وَمَا بَقِيَ مِنْهَا إِلَّا الْقَلِيلُ مِنَ الْقَلِيلِ، وَمَثَلُ مَا بَقِيَ مِنْهَا كَالثَّغْبِ – يَعْنِي الْغَدِيرَ – شُرِبَ صَفْوُهُ وَبَقِيَ كَدَرُهُ

Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla menjadikan seluruh dunia itu sedikit. Dan yang tersisa itu amat sedikit dari yang sudah sedikit. Sisanya serupa dengan air kolam kecil yang telah diminum bagiannya yang jernih, dan tersisa air yang keruhnya.[1]
Permisalan Yang menggambar betapa banyak orang yang tertipu dengan dunia dan tidak begitu percaya dengan adanya akhirat

Ibnu Abi Dunya meriwayatkan dari Ishak bin Ismail dari Rauh bin Ubadah dari Hisyam bin Hasan, ‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada para Sahabatnya:

إِنَّمَا مَثَلِي وَمَثَلُكُمْ وَمَثَلُ الدُّنْيَا كَمَثَلِ قَوْمٍ سَلَكُوا مَفَازَةً غَبْرَاءَ، حَتَّى إِذَا لَا يَدْرُونَ مَا قَطَعُوا مِنْهَا أَكْثَرَ أَمْ مَا بَقِيَ مِنْهَا، أَنْفَدُوْا الزَّادَ وَحَسَرُوْا الظَّهْرَ، وَبَقَوْا بَيْنَ ظَهْرَانَي الْمَفَازَةِ لاَ زَادَ وَلاَ حَمُوْلَةَ ، فَأَيْقَنُوا بِالْهَلَكَةِ، فَبَيْنَا هُمْ كَذَلِكَ إِذْ خَرَجَ عَلَيْهِمْ رَجُلٌ فِي حُلَّةٍ، يَقْطُرُ رَأْسُهُ، فَقَالُوا: إِنَّ هَذَا قريب عَهْدٍ بِالرِّيفِ، وَمَاجَاءَكُمْ هَذَا إِلاَ مِنْ قَرِيْبٍ فَلَمَّا انْتَهَى إِلَيْهِمْ، فَقَالَ: يَا هَؤُلَاءِ عَلاَمَ أَنْتُمْ ؟ قَالُوا: عَلَى مَا تَرَى، قَالَ: أَرَأَيْتُكُمْ إِنْ هَدَيْتُكُمْ إِلَى مَاءٍ رُوَاءٍ، وَرِيَاضٍ خُضْرٍ؟ مَا تَجْعَلُوْنَ لِيْ ؟ قَالُوا: لاَ نَعْصِيْكَ شَيْئًا، قَالَ: عُهُودَكُمْ، وَمَوَاثِيقَكُمْ باللهِ، قَالَ: فَأَعْطَوْهُ عُهُودَهُمْ، وَمَوَاثِيقَهُمْ لَا يَعْصُونَهُ شَيْئًا، فَأَوْرَدَهُمْ مَاءً وَ رِيَاضًا خُضْرًا ، فَمَكَثَ فِيْهِمْ مَا شَاءَ اللهُ، ثُمَّ قَالَ: يَا هَؤُلاَءِ الرَّحِيْلُ ! قَالُوْا إِلَى أَيْنَ ؟ قَالَ : إِلَى مَاءٍ لَيْسَ كَمَائِكُمْ وَإِلَى رِيَاضٍ لَيْسَتْ كَرِيَاضِكُمْ ، فَقَالَ جُلُّ الْقَوْمِ: وَاللهِ مَا وَجَدْنَا هَذَا هَذَا حَتَّى ظَنَنَّا أَنْ لَنْ نَجِدَهُ وَمَا نَصْنَعُ بِعَيْشٍ خَيْرٍ مِنْ هَذَا ؟! وَقَالَتْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ وَهُمْ أَقَلُّهُمْ : أَلَمْ تعطوا هَذَا الرَّجُلَ عُهُودَكُمْ، وَمَوَاثِيقَكُمْ بالله لَا تَعْصُونَهُ شيئا، وَقَدْ صَدَقَكُمْ فِي أَوَّلِ حَدِيثِهِ، فو اللهِ ليصدقنكم في آخِرِهِ ، فَرَاحَ فيمن اتبعه وتخلف بقيتهم فبدرهم عدو فَأَصْبَحُوا بَيْنِ قَتيِلٍ وَأَسِيرٍ

Sesungguhnya permisalanku, kalian dan dunia seperti satu kaum yang sedang melalui satu wilayah yang tidak diketahui jalan keluarnya, sampai ketika mereka tidak tahu, apakah jalan yang sudah mereka tempuh itu lebih banyak ataukah yang tersisa yang lebih banyak? Mereka kehabisan bekal dan keletihan. Mereka masih berada di tengah-tengah wilayah tersebut, tanpa bekal dan kemampuan, sehingga mereka yakin bahwa mereka pasti akan mati. Ketika mereka dalam kondisi sepeti itu, tiba-tiba ada seorang lelaki berjalan kea rah mereka dalam keadaan rambutnya agak basah. (Melihat ini-red)mereka mengatakan, ‘Sesungguhnya orang ini baru saja datang dari sebuah perkampungan yang subur. Orang ini baru datang dari tempat yang dekat.’ Ketika orang itu sampai ketempat mereka, dia bertanya, “Wahai orang-orang! Bagaimana keadaan kalian? Mereka menjawab, “Sebagaimana yang engkau lihat.” Orang itu berkata lagi, “Bagaimana pendapat kalian jika aku bisa menunjukkan kepada kalian tempat air yang segar dan kebun yang hijau. Apa yang akan berikan untukku?” Mereka menjawab, “Kami tidak akan melanggar ucapanmu sedikitpun.” Orang itu mengatakan, ‘Peganglah janji kalian karena Allâh.’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Mereka berjanji dengan nama Allâh Azza wa Jalla untuk akan melanggar ucapan orang itu sedikitpun. Lalu orang itu membawa mereka ke air dan kebun yang menghijau. Orang itu tinggal bersama mereka sampai waktu yang dikehendaki Allâh Azza wa Jalla, kemudian dia mengatakan, ‘Wahai orang-orang! Ayo kita berangkat!’ (Mendengar perintah ini-red) Mereka mengatakan, ‘Kemana?’ Orang itu menjawab, ‘Menuju air yang tidak sama dengan air kalian (saat ini-red) dan menuju kebun yang tidak sama dengan kebun kalian (saat ini). Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Sebagian diantara mereka mengatakan, ‘Demi Allâh! Kita tidak mendapatkan ini kecuali setelah kita putus asa dari mendapatkannya. Lalu bagaimana dengan kehidupan yang lebih baik dari ini?[2] Kemudian sebagian kecil diantara mereka mengatakan, ‘Bukanlah kalian sudah berjanji dengan nama Allâh Azza wa Jalla kepada orang ini untuk tidak melanggar perintahnya sedikitpun. Dia sudah membuktikan kebenaran bagian awal ucapannya kepada kalian. Demi Allâh! Dia pasti akan membuktikan kebenaran bagian akhir ucapannya kepada kalian.’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Lalu orang itu pergi bersama dengan orang-orang yang mengikutinya, sementara sebagian besar mereka tidak ikut. Tidak lam kemudian mereka tinggal itu diserang musuh, sehingga sebagian diaantara mereka mati terbunuh dandiantara mereka ada yang menjadi tawanan musuh.

Penyusun Jami’ul Ulum wal hikam mengatakan bahwa permisalan sangat cocok dan sesuai dengan keadaan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan umatnya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang kepada kepada orang Arab, saat itu mereka merupakan orang-orang yang paling hina, jelek kehidupan dunia mereka. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyeru mereka agar menempuh jalan keselamatan dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah membuktikan kebenaran berbagai ucapan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sebagaimana permisalan seorang lelaki (dalam di atas) yang mendatangi suatu kaum yang tengah berputus asa karena kehabisan bekal di daerah yang mereka tidak kenal. Lalu orang itu menunjukkan sumber air dan daerah perkebunan yang hijau menawan. Dengan terbuktinya sebagian ucapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka banyak orang yang mengikuti Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjanjikan kepada pengikutnya untuk menaklukkan Roma dan Persia serta mengusai kekayaan mereka. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengingatkan mereka agar tidak tertipu dengannya dan memerintahkan mereka untuk berusaha keras keras dan bersungguh-sungguh untuk akhirat. Setelah itu, mereka mendapati yang dijanjikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu semuanya benar. Ketika Roma dan Persia (dunia) sudah mampu mereka kuasai, sebagaimana yang dijanjikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sebagian mereka tersibukkan dengan kesibukan untuk menumpuk kekayaan, berlomba-lomba dalam masalah dunia, merasa cukup dengan tinggal di dunia dan bersenang-senang dengan kesenangan dunia. Mereka tidak lagi menyiapkan diri untuk menyongsong kehidupan akhirat. Sebagian kecil saja yang tetap berpegang teguh dengan wasiat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk bersungguh-sungguh meraih akhirat.

Kelompok yang sedikit ini adalah kelompok yang selamat dan akan berjumpa dengan Nabi mereka di akhirat, kerena mereka telah menempuh jalan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , melaksanakan wasiatnya dan mentaati perintahnya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Namun kebanyakan manusia terus terlena, mabuk dunia dan terus sibuk menumpuk dunia. Kesibukan mereka dengan dunia telah melalaikan mereka dari akhirat. Dalam kondisi seperti itu, tiba-tiba kematian datang menjemput mereka, sehingga binasalah mereka, ibarat kaum yang diserang musuhnya secara tiba-tiba sehingga pilihan mereka antara menjadi tawanan atau mati terbunuh. [Lihat Jami’ul Ulum, hlm. 1127]

Itulah diantara permisalan yang menggambarkan hakikat kehidupan dunia, masihkah kita membiarkan diri kita tertipu dengannya?

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XIX/1436H/2015M.]
_______
Footnote 

[1] Diriwayatkan oleh Al-Bukhâri dalam Shahîhnya no.2964, dengan lafazh :

مَا غَبَرَ – مَابَقِيَ- مِنْ الدُّنْيَا إِلَّا كَالثَّغْبِ شُرِبَ صَفْوُهُ وَبَقِيَ كَدَرُهُ

Lafazh di atas diriwayatkan oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak, 4/320 dari Abdullah secara marfu’ dengan lafazh yang sama dengan yang dibawakan oleh Ibnul Qayyim. Hadits ini dinilai shahih dan disepakati oleh imam adz-Dzahabi rahimahullah. Dan dinilai hasan oleh syaikh al-Albani rahimahullah dalam Silsilah Ahâdîts ash-Shahîhah, no. 1625

[2] Mereka seakan menyampaikan ketidak percayaannya kepada orang yang akan membimbingnya menuju kepada kehidupan yang lebih baik. Jika kehidupan yang seperti itu saja mereka bisa dapatkan setelah merasa putus asa, lalu bagaimana dengan kehidupan yang lebih baik? Seakan suatu yang mustahil-red

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. BERITA SUNNAH - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger