{قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ ويَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ، وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ}

Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah (sunnah/petunjuk)ku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS Ali ‘Imran:31)

Menyikapi Rezeki Yang Diberikan Oleh Allah

Abu Fathan | 23:22 | 0 comments
Ketahuilah ! Rezeki bagaikan hujan yang tidak terbagi secara merata. Hujan, terkadang turun di daerah pegunungan, tidak di padang sahara atau sebaliknya; Terkadang turun di pedesaan tidak di perkotaan atau sebaliknya dan begitu seterusnya.

Hujan bisa membawa rahmat, tapi terkadang bisa mendatangkan derita. Ingatlah ketika Allâh Azza wa Jalla menenggelamkan kaum Nabi Nûh Alaihissallam yang membangkang! Dengan apa Allâh Subahnahu wa Ta’ala membinasakan mereka? Dengan hujan yang menyebabkan banjir dahsyat.

Begitulah harta atau bahkan dunia secara umum ! Allâh Subahnahu wa Ta’ala tidak membagikannya merata kepada setiap orang. Ada yang kaya, ada yang miskin dan ada yang berkecukupan. Harta, terkadang bermanfaat bagi hamba, terkadang harta bisa menyeretnya kelembah nista yang berujung derita.

Jika kita semua sudah mengetahui dan menyadari bahwa rezeki telah diatur oleh Allâh Azza wa Jalla , semua telah dibagi oleh Allâh Azza wa Jalla, lalu apa yang harus kita lakukan ? Buat apa kita mengeluh dengan rezeki yang sedikit ? Buat apa kita iri dengan orang lain ? Buat apa merasa hina ? Apakah harta bisa menjamin pemiliknya akan masuk surga ? Apakah dunia bisa menjamin untuk mendapatkan keridhaan Allâh Subahnahu wa Ta’ala ?

Kepada orang-orang yang telah diberikan harta lebih dan berkecukupan, kita katakan, ‘Buat apa kalian bangga dengan kekayaan kalian ? Karena Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

)قُمْتُ عَلَى بَابِ الْجَنَّةِ فَإِذَا عَامَّةُ مَنْ دَخَلَهَا الْمَسَاكِينُ …وَقُمْتُ عَلَى بَابِ النَّارِ فَإِذَا عَامَّةُ مَنْ دَخَلَهَا النِّسَاءُ

Saya pernah berdiri di pintu surga, ternyata sebagian besar yang masuk ke dalamnya adalah orang-orang miskin…Dan saya pun pernah berdiri di pintu neraka, ternyata sebagian besar yang masuk ke dalamnya adalah para wanita [HR. al-Bukhâri dan Muslim]

Hadits yang kami bawakan adalah peringatan untuk semua orang kaya dan berkecukupan. Dalam hadits di atas, dengan sangat jelas, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa penghuni surga kebanyakan berasal dari orang-orang miskin. Lalu bagaimana dengan orang-orang kaya ? Oleh karena itu, kita memperhatikan harta-harta kita dengan lebih seksama lagi, dari mana diperoleh dan bagaimana pergunaannya ?

Sesungguhnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda :

يَدْخُلُ فُقَرَاءُ الْمُؤْمِنِينَ الْجَنَّةَ قَبْلَ الأَغْنِيَاءِ بِنِصْفِ يَوْمٍ ، خَمْسِ مِئَةِ عَامٍ

Orang-orang fakir yang beriman akan masuk surga mendahului orang-orang kaya selama setengah hari (di akhirat), (yang setara) dengan lima ratus tahun (di dunia). [HR. an-Nasâi dan Ibnu Mâjah dengan sanad yang hasan]

Suatu ketika, sesaat setelah membaca ayat :

أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ

Bermegah-megahan telah melalaikan kamu [ At-Takâtsur/102:1]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

يَقُولُ ابْنُ آدَمَ : مَالِى مَالِى – قَالَ – : وَهَلْ لَكَ يَا ابْنَ آدَمَ مِنْ مَالِكَ إِلاَّ مَا أَكَلْتَ فَأَفْنَيْتَ, أَوْ لَبِسْتَ فَأَبْلَيْتَ, أَوْ تَصَدَّقْتَ فَأَمْضَيْتَ

(Nanti) Seorang anak Adam akan berkata, “Hartaku! Hartaku!” (Allâh pun) berfirman, “Wahai anak adam! Tidaklah engkau mendapatkan sesuatu apapun dari hartamu kecuali apa-apa yang kamu makan kemudian engkau buang serta apa-apa yang engkau kenakan kemudian engkau menjadikannya lusuh atau apa-apa yang engkau sedekahkan kemudian engkau lupakan

Orang kaya bisa saja membeli makanan yang sangat mahal sampai 100 porsi atau lebih. Tetapi, apakah dia sanggup menghabiskan semuanya dalam satu waktu ? Tentu tidak. Orang kaya bisa saja membeli pakaian yang sangat mahal sampai 1000 jenis pakaian atau lebih. Tetapi, apakah dia bisa memakai semuanya dalam satu waktu ? Tentu tidak.

Harta yang banyak ketika pemiliknya wafat, apakah akan dibawa mati pula ? Tidak ! Harta tersebut akan menjadi hak ahli warisnya. Jadi, apa yang sebenarnya yang dicari di dunia ini ?

Apakah ketenaran ? Apakah pujian ? Apakah kedudukan di dunia ?

Subhânallâh! Sungguh hina jika yang menjadi tujuan hidup adalah hal-hal tersebut.

Bersedekahlah! Ber-infaq-lah di jalan Allâh! Bukakanlah pintu-pintu kebaikan untuk orang lain. Sesungguhnya sedekah itu tidak akan mengurangi harta, sebagaimana disabdakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Mudah-mudahan kita termasuk orang yang bisa mencari rezeki dengan cara yang halal dan baik serta dapat memanfaatkannya di jalan yang diridhai oleh Allâh Subahnahu wa Ta’ala .

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :

فَوَاللَّهِ مَا الْفَقْرَ أَخْشَى عَلَيْكُمْ وَلَكِنِّي أَخْشَى أَنْ تُبْسَطَ عَلَيْكُمُ الدُّنْيَا كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ قَبْلَكُمْ فَتَنَافَسُوهَا كَمَا تَنَافَسُوهَا وَتُهْلِكَكُمْ كَمَا أَهْلَكَتْهُم

Demi Allâh! Bukanlah kemiskinan yang saya takutkan pada kalian. Akan tetapi yang saya takutkan pada kalian adalah dunia dilimpahkan kepada kalian sebagaimana telah dilimpahkan kepada orang-orang sebelum kalian, Sehingga kalian berlomba-lomba mengejarnya sebagaimana mereka berlomba-lomba mengejarnya dan dunia akan menghancurkan kalian sebagaimana dia telah menghancurkan mereka. [HR. al-Bukhâri dan Muslim]

Hadits di atas dengan gamblang menjelaskan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak terlalu mengkhawatirkan jika umatnya miskin. Justru yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam takutkan adalah keadaan umatnya yang berlomba-lomba mengejar dunia, sehingga melalaikan mereka dari akhirat.

Setelah kita mengetahui hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini, mestinya kita mau mengaca diri dan menilai diri kita sejujurnya. Adakah kita termasuk orang-orang yang terlalaikan oleh keindahan dunia yang menipu ini ?

Kekayaan apakah yang sebenarnya harus kita miliki ?

Coba perhatikan hadits dibawah ini:

لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ

Bukanlah yang dinamakan kekayaan itu dengan banyaknya barang, akan tetapi kekayaan (yang sesungguhnya) adalah kekayaan jiwa/hati

Hadits tersebut menjelaskan bahwa kekayaan hakiki adalah kekayaan hati yang dimiliki oleh seorang Mukmin, yaitu rasa puas, ridha dan bersyukur atas apa yang telah diberikan oleh Allâh Azza wa Jalla . Inilah yang dinamakan dengan qanâ’ah. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam diberikan rasa qanâ’ah yang sangat tinggi.

Islam Menjunjung Tinggi Kelemahlembutan

Abu Fathan | 20:10 | 0 comments
Tabligh akbar Syaikh Dr. Shalih bin Sa’ad As-Suhaimi Hafidzahullah (pengajar tetap di Masjid Nabawi Madinah An-Nabawiyyah, sekaligus doktor pada bidang Aqidah di Universitas Islam Madinah)

Syaikh membuka tabligh Akbar dengan membawakan hadits bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi kabar gembira bahwa barangsiapa yang berkumpul di salah satu rumah dari rumah-rumah Allah (yaitu masjid) untuk mempelajari membaca Al-Qur’an dan mempelajari petunjuknya maka dia akan turun ketenangan di antara mereka, dilimpahi rahmat, dikelilingi malaikat, dan disebut-sebut di majelis Allah subhanahu wa Ta’ala.
*Kelembutan (Ar-Rifq)* adalah perkara yang agung dan merupakan salah satu akhlak mulia yang ada pada diri Rasulullah sebagaimana Allah mensifati Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :

وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ

Sungguh, kamu mempunyai akhlak yang agung” [Al-Qalam : 4]
Pembahasan Sikap Kelemah-lembutan pagi ini akan kita bahas sbb :
  1. Dalil-dalil tentang wajibnya bersikap lemah-lembut
  2. Dalil yang menunjukkan bahwa lemah lembut adalah sikap yang terpuji dalam Islam dan bagaimana Rasulullah menerapkannya
  3. Dampak positif dengan memiliki sifat lemah-lembut ini
✅1. Dalil-dalil tentang wajibnya bersikap lemah-lembut
Diantara dalil-dalilnya adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala adalah ketika menjelaskan bahwa beliau Rasulullah adalah orang yang penyayang dan memiliki rasa belas kasih terhadap orang-orang yang beriman.
Allah Ta’ala berfirman.

لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُم بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ

Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, yang berat memikirkan penderitaanmu, sangat menginginkan kamu (beriman dan selamat), amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mu’min” [At-Taubah : 128]
Allah juga menjelaskan bahwa beliau adalah orang yang ramah dan lemah lembut.

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللَّهِ لِنتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ

Dengan sebab rahmat Allah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentu mereka menjauh dari sekelilingmu [Ali Imran : 159]
Allah juga menjelaskan bahwa para sahabat yang mulia senantiasa saling bekasih sayang. Allah Ta’ala berfirman :

مُّحَمَّدٌ رَّسُولُ اللَّهِ ۚ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ

Muhammad itu adalah utusan Allah. Orang-orang yang selalu bersamanya bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesame mereka” [Al-Fath : 29] 
*Adapun dalil-dalil dari Hadits sbb* :
▶Dari Aisyah radhiallahu anha :

يَا عَائِشَةُ إِنَّ اللَّهَ رَفِيْقٌ يُحِبُ الرِّفْقَ وَيُعْطِى عَلَى الرِّفْقِ مَا لاَ يُعطِِي عَلَى الْعُنْفِ وَمَالاَ يُعْطِي عَلَى مَا سِوَاهُ

“Wahai Aisyah, sesunguhnya Allah itu Mahalembut dan mencintai kelembutan. Allah memberi kepada kelembutan hal-hal yang tidak diberikan kepada kekerasan dan sifat-sifat lainnya”
✅2. Kehidupan Rasulullah shallahu alaihi wa sallam dalam mempraktekkan sikap lemah lembut
Dari Anas Bin Malik Radhiyallahu’anhu ia berkata :
”Saya membantu Rasulullah Shallallahu’alaihiwassalam selama sepuluh tahun. Demi Allah , beliau tidak pernah berkata kasar kepadaku. Tidak pernah beliau berkata, ‘ kenapa kamu melakukan demikian’ atau ‘ kenapa tidak engkau lakukan demikian”  (H.R Bukhari Muslim dan selain keduanya)
Perlu kita renungkan tentang kisah menakjubkan, yaitu dikisahkan dalam sebuah hadits bahwa suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang duduk-duduk bersama para shahabat radhiyallahu ‘anhum di dalam masjid. Tiba-tiba muncul seorang ‘Arab badui (kampung) masuk ke dalam masjid, kemudian kencing di dalamnya. Maka, dengan serta merta, bangkitlah para shahabat yang ada di dalam masjid, menghampirinya seraya menghardiknya dengan ucapan yang keras. *Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mereka untuk menghardiknya dan memerintahkan untuk membiarkannya sampai orang tersebut menyelesaikan hajatnya*. Kemudian setelah selesai, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta untuk diambilkan setimba air untuk dituangkan pada air kencing tersebut. (HR. Al Bukhari)
Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam *memanggil ‘Arab badui tersebut dalam keadaan tidak marah ataupun mencela. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menasehatinya dengan lemah lembut* :
“Sesungguhnya masjid ini tidak pantas untuk membuang benda najis (seperti kencing,dll) atau kotor. Hanya saja masjid itu dibangun sebagai tempat untuk dzikir kepada Allah, shalat, dan membaca Al Qur’an.” (HR. Muslim)
Melihat sikap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang demikian lembut dan halusnya dalam menasehati, timbullah rasa cinta dan simpati ‘Arab badui tersebut kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka ia pun berdoa: “Ya Allah, rahmatilah aku dan Muhammad, dan janganlah Engkau merahmati seorangpun bersama kami berdua.”
Mendengar doa tersebut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tertawa dan berkata kepadanya:
“Kamu telah mempersempit sesuatu yang luas (rahmat Allah).” (HR. Al Bukhari dan yang lainnya)

Mafsadah yang bisa ditimbulkan jika beliau melarang Arab Badui itu dengan keras ketika dia belum selesai menuntaskan hajatnya tsb :
  • Teguran yang keras bisa jadi menyebabkan arab dusun tersebut meninggalkan agama Islam dan murtad
  • Bisa jadi dia kaget dan berlari dan najisnya tercecer kemana-mana sehingga lebih sulit membersihkannya
  • Bisa menyebabkan sakit bagi dirinya karena kencingnya tidak tuntas.
  • Menjadikan manusia berpaling dari petunjuk Islam.
Contoh lain bagaimana akhlaq Rasulullah yang lemah-lembut ketika menasihati orang lain sebagaimana dalam hadits sahih :
▶Suatu hari ada seorang pemuda yang mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, izinkan aku berzina!”
Orang-orang pun bergegas mendatanginya dan menghardiknya, “Diam kamu! Diam!”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Mendekatlah.”
Pemuda itu pun mendekat lalu duduk.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Relakah engkau jika ibumu dizinai orang lain?”
“Tidak, demi Allah, wahai Rasul!” sahut pemuda itu.
“Begitu pula orang lain, tidak rela kalau ibu mereka dizinai.”
Lanjut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Relakah engkau jika putrimu dizinai orang?”
“Tidak, demi Allah, wahai Rasul!” pemuda itu kembali menjawab.
“Begitu pula orang lain, tidak rela jika putri mereka dizinai.”
“Relakah engkau jika saudari kandungmu dizinai?”
“Tidak, demi Allah, wahai Rasul!”
“Begitu pula orang lain, tidak rela jika saudara perempuan mereka dizinai.”
“Relakah engkau jika bibi – dari jalur bapakmu – dizinai?”
“Tidak, demi Allah, wahai Rasul!”
“Begitu pula orang lain, tidak rela jika bibi mereka dizinai.”
“Relakah engkau jika bibi – dari jalur ibumu – dizinai?”
“Tidak, demi Allah, wahai Rasul!”
“Begitu pula orang lain, tidak rela jika bibi mereka dizinai.”
*Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan tangannya di dada pemuda tersebut sembari berkata, “Ya Allah, ampunilah kekhilafannya, sucikanlah hatinya, dan jagalah kemaluannya.”*
Setelah kejadian tersebut, pemuda itu tidak pernah lagi tertarik untuk berbuat zina. (H.R. Ahmad, no. 22211; sanadnya dinilai shahih oleh Syaikh Al-Albani.)
Kisah lain tentang sikap dan akhlaq Nabi dalam berdakwah yaitu *ketika beliau berdakwah ke Thoif dan mendapat perlakuan yang buruk di sana oleh penduduknya yaitu beliau pun pergi dari thoif dengan wajah bersedih dan datang Malaikat Jibril alihissalam, lalu Jibril berseru: ‘Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah mendengar perkataan kaummu kepadamu dan penolakan mereka terhadapmu. Dan Allah Azza wa Jalla telah mengirimkan malaikat penjaga gunung untuk engkau perintahkan melakukan apa saja yang engkau mau atas mereka’. Malaikat (penjaga) gunung memanggil Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengucapkan salam lalu berkata: ‘Wahai Muhammad! Jika engkau mau, aku bisa menimpakan Akhsabain’.” (Dua gunung besar di Mekkah)
*Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “(Tidak) namun aku berharap supaya Allah Azza wa Jalla melahirkan dari anak keturunan mereka orang yang beribadah kepada Allah semata, tidak mempersekutukan-Nya dengan apapun jua”*. [HR Imam al-Bukhâri dan Imam Muslim].
✅3. Pengaruh positif sikap Lemah lembut dalam Dakwah kepada Allah
Telah berlalu hadits tentang pengaruh sikap lemah lembut dan lunak dalam menghadapi manusia ini diantaranya :

إِنَّ الرِّفْقَ لَا يَكُونُ فِي شَيْءٍ إِلَّا زَانَهُ وَلَا يُنْزَعُ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا شَانَهُ

“Sesungguhnya sifat lemah lembut itu tidak berada pada sesuatu melainkan dia akan menghiasinya (dengan kebaikan)..”
✔Diantara dampak positif terbesar dari sikap ini adalah mudahnya manusia menerima dakwah Islam ini
✔Orang yang paling dekat dengan kedudukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kelak di hari Qiyamat adalah orang yang paling memiliki akhlaq mulia
✔Mudahnya tersebar ajaran Islam di kalangan manusia sebagaimana di Negara Indonesia, yaitu agama ini tidak tersebar dengan kekerasan namun melainkan dengan sikap lemah lembut dan akhlaq yang mulia. Jihad dalam penyebaran Islam tetap disyariatkan namun sesuai dengan aturan-aturan syar’i dan bukan sebagaimana yang dipahami secara serampangan oleh sebagian kelompok.
✔Para da’i dan muballigh hendaknya menghiasi dirinya dengan sikap ini agar memudahkan orang-orang untuk menerima Islam dan membawa keberhasilan dalam dakwahnya. Allah memerintahkan pada 2 nabiNya yaitu Nabi Musa dan Nabi Harun untuk tetap berdakwah dengan perkataan lembut kepada Fir’aun padahal Allah subhanahu wa ta’ala telah mengetahui bahwa Fir’aun tidak akan menerima dakwah tersebut.
✔Termasuk perkara tidak diterimanya Islam adalah dari *orang-orang yg tidak memahami petunjuk Allah dengan menampilkan sikap yang ekstrem dan kasar dalam berdakwah dengan alasan berjihad di jalan Allah sebagaimana perbuatan teror dari kaum khawarij baik di masa ini maupun di masa yang lalu. Kelompok yang melakukan terror tersebut tidaklah memahami Islam sesuai dengan pemahaman Nabi dan para sahabatnya dan mereka hendaknya bertanya kepada para ulama Rabbaniy yang mengajarkan agama Islam dengan lurus.*
💠Sebagai penutup bahwa dakwah dan sikap lemah-lembut jangan salah dipahami sebagai dakwah yang mengorbankan prinsip-prinsip dasar islam demi untuk mengikuti keridhaan sebagian manusia, ini adalah sesuatu yang tidak dibenarkan. *Kita haruslah tetap mendakwahkan tauhid, sunnah, mengajak orang salat berjamaah, termasuk diantaranya mendakwahkan tentang hijab (menutup aurat bagi muslimah) walaupun banyak dari manusia yang membencinya dan walaupun mereka mengatakan bahwa dakwah ini adalah dakwah yang keras. Tetaplah mendakwahkan Islam dengan hikmah dan sikap lemah lembut tanpa mengorbankan prinsip-prinsip dasar Islam demi mendapatkan keridhaan manusia.*
Ahad 19 Syawal 1437 H (24 Juli 2016)
Rekaman Dapat Dilihat di Link => http://desasalaf.blogspot.com/
✒ Rizal Abu Ayyub
Masjid Nurul Iman Blok M Square, Jakarta pada hari Ahad, 19 Syawwal 1437 H/ 24 Juli 2016, pukul 09:16 – Selesai.

Tidak Boleh Menyebut Masyarakat Jahilliyah

Abu Fathan | 16:45 | 0 comments
Setelah diutusnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, zaman jahiliyah telah berakhir. Karena banyak manusia telah mengenal islam dan sadar akan aturan. Meskipun beberapa karakter dan kebiasaan buruk jahiliyah terkadang masih melekat pada diri sebagian orang.


Selanjutnya istilah ini digunakan untuk menyebut keadaan masyarakat sebelum diutusnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan,
الجاهلية : ما كان قبل الإسلام
Jahilliyah adalah masa sebelum islam. (Fathul Bari, 10/468).
Jahiliyah dari kata al-Jahl [الجهل] yang artinya kebodohan.Jahiliyah adalah masa sebelum diutusnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka dinamakan demikian, karena kebodohan mereka yang keterlaluan.tidak mengenal hak Allah dan hak makhluk.
Sekalipun ada penyimpangan yang dilakukan sebagian masyarakat muslim, namun kita tidak boleh menyebut mereka dengan masyarakat jahiliyah. Menyebut ‘masyarakat jahiliyah’ berarti menganggap mereka semua bodoh dan tidak tahu aturan. Sementara di tangah meraka masih banyak orang baik.
Karena itulah, sebagian ulama mengatakan penggunaan istilah jahiliyah dibagi menjadi 2:
[1] Untuk menyebut individu
Boleh digunakan untk menyebut orang yang melakukan penyimpangan.
[2] Untuk menyebut keseluruhan masyarakat.
Para ulama penyebutan semacam ini, karena tidak semua melakukan pelanggaran yang sama.
Syaikhul Islam mengatakan,
فالناس قبل مبعث الرسول صلى الله عليه وسلم كانوا في حال جاهلية… وكذلك كل ما يخالف ما جاءت به المرسلون من يهودية ، ونصرانية : فهي جاهلية ، وتلك كانت الجاهلية العامة ، فأما بعد مبعث الرسول صلى الله عليه وسلم قد تكون في مصر دون مصر، وقد تكون في شخص دون شخص… فأما في زمان مطلق : فلا جاهلية بعد مبعث محمد صلى الله عليه وسلم ؛ فإنه لا تزال من أمته طائفة ظاهرين على الحق إلى قيام الساعة
Manusia sebelum diutusnya Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam mereka dalam kondisi jahiliyah…. Demikian pula semua yang menyimpang dari ajaran para rasul, seperti yahudi, atau nasrani maka itu jahiliyah. Itulah jahiliyah umum. Namun setelah diutusnya Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, kebiasaan jahilliyah terkadang ada di sebagian negara dan tidak ada di tempat lain, terkadang ada pada diri seseorang, yang tidak ada di orang lain… namun jika disebut secara mutlak, tidak ada lagi jahiliyah setelah diutusnya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena di tengah umat ini akan selalu ada sekelompok orang yang berpegang dengan kebenaran sampai kiamat. (Iqtidha’ Shirathal Mustaqim, 1/258).

Menjaga Hidayah Dengan Mengerjakan Amal Shalih

Abu Fathan | 17:58 | 0 comments
Bersyukur kepada Allâh Azza wa Jalla atas anugerahkan hidayah yang telah Allâh Azza wa Jalla berikan kepada kita dengan menjadikan kita sebagai kaum Muslimin. 

Namun kita tidak boleh lalai dalam menjaga hidayah ini. 

Karena berbagai fitnah yang datang silih berganti senantiasa mengancam keberadaan hidayah yang ada di dada kita. 

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan umatnya agar mewaspadai fitnah yang bisa merusak keimanan dan mengancam keberlangsungan hidayah di hati kaum Muslim. 

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

بَادِرُوْا بِالْأَعْمَـالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْـمُظْلِمِ، يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِي كَافِرًا، أَوْ يُمْسِي مُـؤْمِنًـا وَيُصْبِحُ كَافِرًا، يَبِيْعُ دِيْنَهُ بِعَرَضٍ مِنَ الدُّنْيَا.

Bersegeralah mengerjakan amal-amal shalih 
karena fitnah-fitnah itu seperti potongan malam yang gelap; 
di pagi hari seseorang dalam keadaan beriman dan di sore hari menjadi kafir, 
atau di sore hari dalam keadaan beriman dan di pagi hari menjadi kafir. 
Ia menjual agamanya dengan keuntungan duniawi yang sedikit. 

[HR. Muslim (no. 118 (186)), at-Tirmidzi (no. 2195), Ahmad (II/304, 523), Ibnu Hibban (no. 1868-Mawârid), dan selainnya dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu]

Menunda Hal Yang Dianjurkan

Abu Fathan | 11:07 | 0 comments
Jika ada suatu perkara yang dianjurkan dalam syariat namun tidak sampai wajib, tidak diwajibkan oleh Allah kepada kita dan tidak pula diwajibkan oleh Rasulullah kepada kita, jika melakukannya di tengah masyarakat beresiko dapat menimbulkan fitnah, maka menunda melaksanakannya hingga tepat waktunya dalam rangkata’liful qulub kepada masyarakat adalah perkara yang baik.
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika ingin mengembalikan pondasi bangunan Ka’bah sebagaimana yang dibuat oleh Nabi Ibrahim, Rasulullah memandang bahwa hal ini akan menimbulkan kehebohan di kalangan kaum Quraisy. Maka beliaupun bersabda kepada ‘Aisyah radhiallahu’anha:
لولا أن قومك حديث عهد بكفر؛ لأسست الكعبة على قواعد إبراهيم
kalau bukan karena kaummu yang baru saja lepas dari kekufuran, akan aku bangun kembali pondasi Ka’bah sesuai dengan dibuat oleh Ibrahim” 
(HR. Bukhari – Muslim).
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menunda pengembalian pondasi Ka’bah, menunda keinginan dan tidak mengajak orang untuk melakukannya, semata-mata karena khawatir membuat kaum Quraisy atau sebagian dari mereka lari dari berpegang teguh dan mengikuti ajaran Rasulullah, ketika baru saja mereka mendapatkan hidayah kepada al haq. Maka Rasulullah pun menundanya.
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. BERITA SUNNAH - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger