{قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ ويَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ، وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ}

Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah (sunnah/petunjuk)ku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS Ali ‘Imran:31)

Hubungan Antara ‘Aqidah dan Syari’at

Abu Fathan | 06:25 | 0 comments

Termasuk perkara yang secara pasti telah diketahui dalam agama Islam, bahwa din (agama Islam) meliputi ‘aqidah dan syari’at, ilmu dan amal. Keduanya merupakan kesatuan. Memisahkan di antara keduanya merupakan kesesatan yang nyata.

MAKNA AQIDAH
Secara bahasa, ‘aqidah berasal dari kata al ‘aqdu. Artinya: mengikat, memutuskan, menguatkan, mengokohkan, keyakinan, dan kepastian.[1] Adapun secara istilah, aqidah memiliki makna umum dan khusus.[2]

Makna ‘aqidah secara umum adalah, keyakinan kuat yang tidak ada keraguan bagi orang yang meyakininya, baik keyakinan itu haq ataupun batil.

Sedangkan aqidah dengan makna khusus adalah, aqidah Islam, yaitu: pokok-pokok agama dan hukum-hukum yang pasti, yang berupa keimanan kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para nabi-Nya, hari akhir, serta beriman kepada takdir yang baik dan yang buruk, serta perkara lainnya yang diberitakan oleh Allah di dalam al Qur`an dan oleh Rasul-Nya di dalam hadits-hadits yang shahih. Termasuk aqidah Islam, yaitu kewajiban-kewajiban agama dan hukum-hukumnya yang pasti. Semuanya itu wajib diyakini dengan tanpa keraguan.

MAKNA SYARI’AT[3]
Secara bahasa, syari’at berasal dari kata asy-syar’u. Yang memiliki arti: membuat jalan, penjelasan, tempat yang didatangi, dan jalan. Adapun secara istilah, syari’at memiliki makna umum dan khusus.

Makna syari’at secara umum ialah, agama yang telah dibuat oleh Allah, mencakup ‘aqidah (keyakinan) dan hukum-hukumnya. Sebagaimana tersebut dalam firman Allah Ta’ala:

شَرَعَ لَكُمْ مِّنَ الدِّيْنِ مَا وَصّٰى بِهٖ نُوْحًا وَّالَّذِيْٓ اَوْحَيْنَآ اِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهٖٓ اِبْرٰهِيْمَ وَمُوْسٰى وَعِيْسٰٓى اَنْ اَقِيْمُوا الدِّيْنَ وَلَا تَتَفَرَّقُوْا فِيْهِۗ كَبُرَ عَلَى الْمُشْرِكِيْنَ مَا تَدْعُوْهُمْ اِلَيْهِۗ اَللّٰهُ يَجْتَبِيْٓ اِلَيْهِ مَنْ يَّشَاۤءُ وَيَهْدِيْٓ اِلَيْهِ مَنْ يُّنِيْبُۗ

Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa, yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah-belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).[asy-Syura/42:13].

Imam Abu Ja’far Ibnu Jarir ath-Thabari meriwayatkan dari as-Suddi tentang firman Allah Ta’ala “Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh“, dia berkata: “(Maksudnya) yaitu agama semuanya (yakni semua bagian-bagiannya, pen.)”.

Dari Qatadah tentang firman Allah Ta’ala “Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh“, dia berkata: “Allah telah mengutus Nuh ketika Dia mengutusnya dengan syari’at, dengan menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram”.[4]

Juga firmanNya:

ثُمَّ جَعَلْنٰكَ عَلٰى شَرِيْعَةٍ مِّنَ الْاَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ اَهْوَاۤءَ الَّذِيْنَ لَا يَعْلَمُوْنَ

Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syari’at (peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.[al Jatsiyah/45:18].

Imam Ibnu Jarir berkata tentang ayat ini: “Allah Yang Maha Tinggi sebutanNya berkata kepada NabiNya, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,’Kemudian Kami jadikan kamu –hai Muhammad- berada di atas suatu thariqah, sunnah, minhaj (tiga kata ini artinya jalan) para rasul yang telah Kami perintahkan sebelummu’.”[5]

Imam Ibnu Katsir berkata tentang ayat ini: “Yaitu, ikutilah apa yang telah diwahyukan kepadamu dari Rabb-mu (Penciptamu, Penguasamu), tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Dia, dan berpalinglah dari orang-orang musyrik”.[6]

Imam asy-Syaukani dalam menjelaskan ayat ini, dia berkata:
Arti syari’at menurut bahasa Arab adalah, pendapat, agama, dan jalan yang terang. Syari’at juga berarti tempat air yang didatangi oleh para peminumnya. (Dalam bahasa Arab, jalan disebut) syari’, karena ia merupakan jalan menuju tujuan. Adapun yang dimaksudkan syari’at di sini -yakni menurut istilah agama- yaitu apa yang Allah syari’atkan (buat peraturan) yang berupa agama, bentuk jama’nya adalah syaro-i’.

(Arti ayat ini) ialah, Kami telah menjadikan kamu –wahai Muhammad- berada di atas suatu jalan yang jelas dari urusan (agama itu) yang akan mengantarkanmu menuju al haq. “Maka ikutilah syari’at itu”, yaitu amalkanlah hukum-hukumnya pada umatmu. “Dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui”, terhadap tauhidullah dan syari’a-syari’at-Nya untuk hamba-hamba-Nya, mereka adalah orang-orang kafir Quraisy dan yang menyetujui mereka.[7]

Dari keterangan ini, jelaslah bahwa istilah syari’at pada ayat-ayat ini mencakup semua bagian agama yang dibawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yang berupa al haq (kebenaran) dan al huda (petunjuk), dalam masalah ‘aqidah dan hukum-hukum.

Sedangkan makna syari’at secara khusus, yaitu peraturan yang dibuat oleh Allah yang berupa hukum-hukum, perintah-perintah, dan larangan-larangan. Hal ini seperti firman Allah Ta’ala:

لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَّمِنْهَاجًا

Untuk tiap-tiap umat di antara kamu (maksudnya, umat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan umat-umat yang sebelumnya), Kami berikan syari’at (aturan) dan jalan yang terang.[al Maidah/5:48).

Telah diketahui bahwa maksud syari’at (aturan) dalam ayat ini adalah peraturan-peraturan, bukan aqidah. Karena aqidah seluruh nabi semua sama, sedangkan peraturannya berbeda-beda sesuai dengan keadaannya.[8]

Dengan demikian kita mengetahui, bahwa syari’at memiliki makna umum dan khusus. Jika syari’at disebut sendiri, maka yang dimaksudkan adalah makna umum, yaitu agama Islam secara keseluruhan. Sebaliknya, jika syari’at disebut bersama aqidah, maka yang dimaksudkan adalah makna khusus, yaitu hukum-hukum, perintah-perintah, dan larangan-larangan dalam masalah agama yang bukan ‘aqidah (keyakinan).

HUBUNGAN AQIDAH DENGAN SYARI’AT
Istilah ‘aqidah, jika disebut secara umum (sendirian), berarti menyangkut pokok-pokok dan hukum-hukum syari’at dan keharusan dalam mengamalkannya. Sebagaimana istilah syari’at jika disebut secara umum (sendirian), maka itu menyangkut perkara-perkara keimanan dan pokok-pokok serta hukum-hukum syari’at yang pasti, yaitu ‘aqidah. Sebagaimana di atas telah dijelaskan dari firman Allah Ta’ala:

شَرَعَ لَكُمْ مِّنَ الدِّيْنِ مَا وَصّٰى بِهٖ نُوْحًا وَّالَّذِيْٓ اَوْحَيْنَآ اِلَيْكَ

Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu. [asy-Syura/42:13].

Dengan demikian, maka ‘aqidah dan syari’at merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Sebagaimana telah diketahui bahwa iman itu meliputi keyakinan dan amalan. Keyakinan inilah yang disebut dengan aqidah, dan amalan ini yang disebut syari’at. Sehingga iman itu mencakup aqidah dan syari’at, karena memang iman itu, jika disebutkan secara mutlak (sendirian) maka ia mencakup keyakinan dan amalan, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا بِاللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوْا وَجَاهَدُوْا بِاَمْوَالِهِمْ وَاَنْفُسِهِمْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۗ اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الصّٰدِقُوْنَ

Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. mereka Itulah orang-orang yang benar. (QS al Hujurat/49:15).

Juga fimanNya:

اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ اِذَا ذُكِرَ اللّٰهُ وَجِلَتْ قُلُوْبُهُمْ وَاِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ اٰيٰتُهٗ زَادَتْهُمْ اِيْمَانًا وَّعَلٰى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَۙالَّذِيْنَ يُقِيْمُوْنَ الصَّلٰوةَ وَمِمَّا رَزَقْنٰهُمْ يُنْفِقُوْنَۗ اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُؤْمِنُوْنَ حَقًّاۗ لَهُمْ دَرَجٰتٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَمَغْفِرَةٌ وَّرِزْقٌ كَرِيْمٌۚ

Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah, gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal. (Yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Rabb-nya dan ampunan serta rizki (nikmat) yang mulia. [al-Anfal/8:2-4].

Dan ayat-ayat lain yang menunjukkan, bahwa iman itu terdiri dari keyakinan dan amalan.

Imam Muhammad bin Nashr al Marwazi berkata di dalam kitab ash-Shalat: “Perumpamaan iman pada amalan, adalah seperti qalbu (hati, jantung) pada badan; keduanya tidak bisa dipisahkan. Tidak ada seseorang yang memiliki badan yang hidup, namun tidak ada qalbunya. Juga tidak ada orang yang memiliki qalbu, namun tanpa badan. Keduanya merupakan dua perkara yang berbeda, namun hukumnya satu, sedangkan maknanya berbeda. Perumpamaan keduanya juga seperti biji yang memiliki luar dan dalam, sedangkan biji itu satu. Tidak dikatakan dua, karena sifat keduanya yang berbeda. Maka demikian juga amalan-amalan Islam dari (ajaran) Islam adalah iman sebelah luar, yaitu termasuk amalan-amalan anggota badan. Sedangkan iman adalah Islam sebelah dalam, yaitu termasuk amalan-amalan hati”.[9]

Oleh karena itu, memisahkan syari’at dengan aqidah, tidaklah dibenarkan menurut agama.

MENERAPKAN SYARI’AT
Menerapkan syari’at Allah di muka bumi merupakan kewajiban setiap muslim, secara individu atau jama’ah, sebagai penguasa atau rakyat. Karena setiap orang mengemban amanah, dan setiap orang akan dimintai tanggung jawab atas amanah tersebut. Allah Ta’ala berfirman memerintahkan RasulNya untuk memutuskan perkara manusia dengan apa yang telah Allah turunkan:

وَاَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ وَلَا تَتَّبِعْ اَهْوَاۤءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ اَنْ يَّفْتِنُوْكَ عَنْۢ بَعْضِ مَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ اِلَيْكَۗ فَاِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ اَنَّمَا يُرِيْدُ اللّٰهُ اَنْ يُّصِيْبَهُمْ بِبَعْضِ ذُنُوْبِهِمْ ۗوَاِنَّ كَثِيْرًا مِّنَ النَّاسِ لَفٰسِقُوْنَ

Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. [al Maidah/5:49].

Allah Ta’ala juga telah berfirman memerintahkan manusia untuk mengikuti syari’at-Nya dan meninggalkan siapa saja yang bertentangan dengannya:

اتَّبِعُوا مَآ أُنزِلَ إِلَيْكُم مِّن رَّبِّكُمْ وَلاَ تَتَّبِعُوا مِن دُونِهِ أَوْلِيَآءَ قَلِيلاً مَا تَذَكَّرُونَ

Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (dari padanya). [al A’raaf/7:3].

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Allah Ta’ala memerintahkan untuk mengikuti apa yang diturunkan dari–Nya secara khusus, dan Dia memberitahukan bahwa barangsiapa mengikuti selain-Nya, maka dia telah mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya”.[10]

KEWAJIBAN MENERAPKAN SYARI’AT ATAS SETIAP MUSLIM
Sebagian orang beranggapan bahwa menegakkan syari’at itu kewajiban penguasa, sehingga mereka selalu menuntut penguasa untuk menerapkan hukum-hukum Allah, sedangkan mereka sendiri nampak jauh dari tuntunan syari’at. Ini adalah pemahaman yang sempit, karena sesungguhnya menegakkan hukum Allah merupakan kewajiban setiap muslim, baik dia sebagai penguasa atau rakyat biasa. Setiap orang bertanggung jawab dengan tugasnya masing-masing.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

Maka demi Rabb-mu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman, hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (QS an Nisaa`/4:65).

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Allah Ta’ala bersumpah dengan diri-Nya yang mulia, yang suci, bahwa seseorang tidak beriman sampai dia menjadikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai hakim di dalam segala perkara. Apa yang beliau putuskan adalah haq, yang wajib diterima secara lahir dan batin. Oleh karena inilah Allah berfirman “kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya”, yaitu jika mereka telah menjadikanmu sebagai hakim, mereka mentaatimu di dalam batin mereka, kemudian tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka tunduk kepadanya lahir-batin, menerimanya dengan sepenuhnya, tanpa menolak dan membantah”.[11]

Allah Azza wa Jalla juga berfirman:

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلاَ مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللهُ وَرَسُولَهُ أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةَ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَن يَعْصِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً مُّبِينًا

Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.[al Ahzab/33:36].

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Ayat ini, (bersifat) umum dalam segala perkara. Yaitu, jika Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan sesuatu, maka tidak ada hak bagi siapapun menyelisihinya. Dan di sini, tidak ada pilihan (yang lain) bagi siapapun, tidak ada juga pendapat dan perkataan”.[12]

Oleh karena itulah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

كُلُّكُمْ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ فِي أَهْلِهِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا رَاعِيَةٌ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا وَالْخَادِمُ فِي مَالِ سَيِّدِهِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ قَالَ فَسَمِعْتُ هَؤُلَاءِ مِنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَحْسِبُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَالرَّجُلُ فِي مَالِ أَبِيهِ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

Setiap kamu adalah pemimpin, dan akan ditanya tentang kepemimpinannya. Maka imam adalah pemimpin, dan akan ditanya tentang kepemimpinannya. Seorang laki-laki (kepala rumah tangga) adalah pemimpin terhadap keluaganya, dan akan ditanya tentang kepemimpinannya. Seorang wanita (ibu rumah tangga) adalah pemimpin di dalam rumah suaminya, dan akan ditanya tentang kepemimpinannya. Seorang pelayan adalah pemimpin pada harta tuannya, dan akan ditanya tentang kepemimpinannya. [HR Bukhari, no. 2558, dari Ibnu ‘Umar]

Dengan demikian, maka setiap orang wajib menegakkan syari’at Islam sesuai dengan kemampuannya, baik ia sebagai pejabat atau sebagai rakyat.

KEWAJIBAN MENERAPKAN SYARI’AT DALAM SEGALA ASPEK KEHIDUPAN
Termasuk perkara yang pokok dalam agama Islam, bahwa seorang muslim berkewajiban masuk ke dalam agama Islam secara total, sesuai dengan kemampuannya. Seorang muslim wajib mengikuti Islam dalam masalah ‘aqidah (keyakinan), ‘ibadah (ketundukan hamba kepada Penciptanya), mu’amalah (hubungan antar manusia), politik, ekonomi, sosial, budaya, dan lainnya dalam segala aspek kehidupan ini. Sehingga menerapkan syari’at Islam bukan hanya yang berkaitan dengan ibadah mahdhah (murni) dan urusan pribadi saja. Juga bukan hanya yang berkaitan dengan pemerintahan saja. Bahkan wajib menegakkan hukum Allah dalam seluruh aspek kehidupan, sesuai dengan kemampuan. Semua sisi syari’at Islam adalah penting. Dan yang paling penting adalah aspek aqidah, yaitu tauhid.

Allah Ta’ala mengecam orang-orang Yahudi yang mengimani sebagian ajaran kitab Taurat dan mengingkari sebagaian lainnya, dalam firman-Nya:

اَفَتُؤْمِنُوْنَ بِبَعْضِ الْكِتٰبِ وَتَكْفُرُوْنَ بِبَعْضٍۚ فَمَا جَزَاۤءُ مَنْ يَّفْعَلُ ذٰلِكَ مِنْكُمْ اِلَّا خِزْيٌ فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا ۚوَيَوْمَ الْقِيٰمَةِ يُرَدُّوْنَ اِلٰٓى اَشَدِّ الْعَذَابِۗ وَمَا اللّٰهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُوْنَ

Apakah kamu (Bani Israil) beriman kepada sebahagian al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari Kiamat, mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat. [al Baqarah/2:85].

Walaupun sebab turunnya ayat ini mengenai orang-orang Yahudi, tetapi kandungannya bersifat umum, yang juga menyangkut orang-orang yang memiliki sifat seperti mereka dari kalangan kaum Muslimin. Sebagaimana telah diketahui dari kaidah tafsir:

اَلْعِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ لاَ بِخُصُوْصِ السَّبَبِ

Yang dinilai adalah dengan keumuman lafazh, bukan dengan kekhususan sebab.

Allah juga berfirman memerintahkan orang-orang beriman untuk memasuki agama Islam secara total, sebagaimana firman-Nya:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا ادْخُلُوْا فِى السِّلْمِ كَاۤفَّةً ۖوَّلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِۗ اِنَّهٗ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ

Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu. [al Baqarah/2:208].

Semua itu harus dilakukan dengan ikhlas untuk Allah Rabbul-‘Alamin.

قُلْ اِنَّ صَلَاتِيْ وَنُسُكِيْ وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِيْ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَۙ لَا شَرِيْكَ لَهٗ ۚوَبِذٰلِكَ اُمِرْتُ وَاَنَا۠ اَوَّلُ الْمُسْلِمِيْنَ

Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadah qurbanku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)”.[al An’am/6:162-163].

ANCAMAN MENYIMPANG DARI HUKUM ALLAH
Banyak ayat-ayat al Qur`an dan hadits-hadits Nabi yang mengancam orang-orang yang menyimpang dari hukum Allah Ta’ala. Di antaranya adalah firmanNya:

اَلَمْ تَرَ اِلَى الَّذِيْنَ يَزْعُمُوْنَ اَنَّهُمْ اٰمَنُوْا بِمَآ اُنْزِلَ اِلَيْكَ وَمَآ اُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيْدُوْنَ اَنْ يَّتَحَاكَمُوْٓا اِلَى الطَّاغُوْتِ وَقَدْ اُمِرُوْٓا اَنْ يَّكْفُرُوْا بِهٖ ۗوَيُرِيْدُ الشَّيْطٰنُ اَنْ يُّضِلَّهُمْ ضَلٰلًا ۢ بَعِيْدًا وَاِذَا قِيْلَ لَهُمْ تَعَالَوْا اِلٰى مَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ وَاِلَى الرَّسُوْلِ رَاَيْتَ الْمُنٰفِقِيْنَ يَصُدُّوْنَ عَنْكَ صُدُوْدًاۚ

Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan setan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. Apabila dikatakan kepada mereka: “Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul”, niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu. [an-Nisaa`/4:60-61].

Hendaklah kita mengetahui bahwa semua hukum yang bertentangan dengan hukum Allah adalah hukum jahiliyah. Allah berfirman:

اَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُوْنَۗ وَمَنْ اَحْسَنُ مِنَ اللّٰهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُّوْقِنُوْنَ

Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?[al Maidah/5:50].

Semoga Allah memberikan petunjuk kepada semua kaum Muslimin untuk mengamalkan syari’at Allah dalam seluruh sisi kehidupan mereka.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun X/1427H/2006M. Oleh Ustadz Abu Ismail Muslim Al-Atsari]
_____
Footnote
[1] Mu’jamul Wasith, Bab عقد .
[2] At-Talazum Bainal ‘Aqidah wasy-Syari’ah, hlm. 9, karya Syaikh Dr. Nashir bin Abdul Karim al ‘Aql.
[3] Ibid., hlm. 10-11.
[4] Lihat dua riwayat ini di dalam Tafsir ath-Thabari, Juz 11, hlm. 134.
[5] Tafsir ath-Thabari, Juz 11, hlm. 258.
[6] Tafsir Ibnu Katsir, Juz 4, hlm. 191.
[7] Tafsir Fathul-Qadir, Juz 5, hlm. 11.
[8] Lihat Tafsir ath-Thabari, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Fathul-Qadir, pada ayat ini.
[9] Kitabul-Iman, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, hlm. 283.
[10] I’lamul Muwaqqi’in (2/46), Penerbit Darul-Hadits, Kairo, Th. 1422 H / 2002 H.
[11] Tafsir Ibnu Katsir, surat an-Nisaa`/4 ayat 65.
[12] Ibid., surat al Ahzab/33 ayat 36.

Pentingnya Belajar Dari Sejarah

Abu Fathan | 06:49 | 0 comments

Sejarah dan peradaban Islam merupakan bagian penting yang tidak mungkin dipisahkan dari kehidupan kaum Muslimin dari masa ke masa. Betapa tidak, dengan memahami sejarah dengan baik dan benar, kaum Muslimin bisa bercermin untuk mengambil banyak pelajaran dan membenahi kekurangan atau kesalahan mereka guna meraih kejayaan dan kemuliaan dunia dan akhirat.

Semoga Allâh Azza wa Jalla meridhai sahabat yang mulia, Abdullah bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu yang mengungkapkan hal ini dalam ucapannya, “Orang yang berbahagia (beruntung) adalah orang yang mengambil nasehat (pelajaran) dari (peristiwa yang dialami) orang lain.”[1]

Dalam al-Qur’ân Allâh Subhanahu wa Ta’ala bersumpah dengan al-‘ashr (masa/jaman) karena padanya banyak terdapat peristiwa-peristiwa yang bisa menjadi bahan renungan dan pelajaran bagi manusia. Itulah jaman meraih keberuntungan dan amal shaleh bagi orang-orang yang beriman, serta saat mendapatkan kerugiaan dan kecelakaan bagi orang-orang yang berpaling dari petunjuk-Nya[2]. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

وَالْعَصْرِ ﴿١﴾ إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ ﴿٢﴾ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ

Demi masa ! Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman, mengerjakan amal shaleh, saling menasehati supaya mentaati kebenaran, dan saling menasihati supaya menetapi kesabaran [al-‘Ashr/103:1-3]

Oleh karena itulah, Imam asy-Syâfi’i rahimahullah menggambarkan agungnya kedudukan surah al-‘Ashr ini dengan ucapannya, “Seandainya Allâh Azza wa Jalla tidak menurunkan (dalam al-Qur’ân) sebuah argumentasi bagi semua makhluk-Nya kecuali surah ini (saja) maka itu cukup bagi mereka.”[3]

Kisah-Kisah Dalam Al-Qur’an dan Hadits-Hadits yang Shahih
Sebaik-baik kisah sejarah yang dapat diambil pelajaran dan hikmah berharga darinya adalah kisah-kisah yang terdapat dalam ayat-ayat al-Qur’ân dan hadits-hadits yang shahîh dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Karena kisah-kisah tersebut disamping sudah pasti benar, bersumber dari wahyu Allâh Azza wa Jalla yang maha benar, juga karena kisah-kisah tersebut memang disampaikan oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala untuk menjadi pelajaran bagi orang-orang yang berakal sehat. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِأُولِي الْأَلْبَابِ ۗ مَا كَانَ حَدِيثًا يُفْتَرَىٰ وَلَٰكِنْ تَصْدِيقَ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيلَ كُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ

Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka (para Nabi dan umat mereka) itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal (sehat). al-Qur’an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, serta sebagai petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman [Yusuf/12:111]
.
Artinya : Kisah-kisah yang menggambarkan keadaan para Nabi dan umat mereka tersebut, serta yang menjelaskan kemuliaan orang-orang yang beriman dan kebinasaan orang-orang kafir yang mendustakan seruan para nabi, berisi pelajaran bagi orang-orang yang beriman untuk memantapkan keimanan mereka dan menguatkan ketakwaan mereka kepada Allâh Azza wa Jalla dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya”[4].

Syaikhul Islam Muhammad bin ‘Abdul Wahhâb rahimahullah menjelaskan bahwa diantara manfaat memahami kisah-kisah tersebut adalah bisa menjadi sebab untuk meraih ridha Allâh Azza wa Jalla . Beliau rahimahullah berkata, “Termasuk hal yang paling jelas (manfaatnya dalam kebaikan) bagi orang-orang (beriman) yang memiliki pemahaman (yang benar) adalah (merenungkan) kisah-kisah orang-orang yang terdahulu maupun orang-orang jaman sekarang, (yaitu) kisah orang-orang yang taat kepada Allâh dan kemuliaan yang Dia berikan kepada mereka, serta kisah orang-orang yang durhaka kepada-Nya dan kehinaan yang Dia timpakan kepada mereka. Barangsiapa yang tidak bisa memahami kisah-kisah tersebut dan tidak dapat mengambil manfaat darinya maka (sungguh) tidak ada jalan (kebaikan) untuknya. Sebagaimana firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :

وَكَمْ أَهْلَكْنَا قَبْلَهُمْ مِنْ قَرْنٍ هُمْ أَشَدُّ مِنْهُمْ بَطْشًا فَنَقَّبُوا فِي الْبِلَادِ هَلْ مِنْ مَحِيصٍ

Dan berapa banyaknya umat-umat yang telah Kami binasakan sebelum mereka yang mereka itu lebih besar kekuatannya daripada mereka ini, maka mereka (yang telah dibinasakan itu) telah pernah menjelajah di beberapa negeri. Adakah (mereka) mendapat tempat lari (dari kebinasaan)? [Qaaf/50: 36].

Salah seorang ulama salaf berkata, “Kisah-kisah (dalam al-Qur’an) adalah tentara-tentara Allâh”, artinya : Kisah-kisah tersebut tidak bisa disanggah oleh para penentang kebenaran…

Oleh karena itu, wahai hamba Allâh ! Bersungguh-sungguhlah untuk memahami tali yang menghubungkan Allâh Subhanahu wa Ta’ala dengan hamba-hamba-Nya ini, karena barangsiapa yang berpegangteguh dengannya maka dia akan selamat (dari kebinasaan) dan barangsiapa yang berpaling darinya maka dia akan binasa”[5].

Kisah-Kisah Keteladanan dan Peneguh Keimanan.
Kisah-kisah sejarah para Nabi adalah termasuk sebab utama untuk mengokohkan dan menyempurnakan keimanan dalam hati orang-orang yang beriman.

Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَكُلًّا نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ ۚ وَجَاءَكَ فِي هَٰذِهِ الْحَقُّ وَمَوْعِظَةٌ وَذِكْرَىٰ لِلْمُؤْمِنِينَ

Dan semua kisah para rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman [Hûd/11:120]

Dalam ayat ini jelas sekali menunjukkan bahwa kisah-kisah dalam al-Qur’an tentang ketabahan dan kesabaran para Nabi dalam memperjuangkan dan mendakwahkan agama Allâh sangat berpengaruh dalam meneguhkan hati dan keimanan orang-orang yang beriman di jalan Allâh Azza wa Jalla.

Ketika menafsirkan ayat ini, imam Ibnu Katsîr rahimahullah berkata, “Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Semua yang Kami ceritakan padama tentang kisah para rasul yang terdahulu bersama umat-umat mereka, ketika mereka berdialog dan beradu argumentasi (dengan umat-umat mereka), ketabahan para Nabi dalam (menghadapi) pengingkaran dan penyiksaan (dari musuh-musuh mereka), serta bagaimana Allâh Azza wa Jalla menolong orang-orang yang beriman dan menghinakan musuh-musuh-Nya (yaitu) orang-orang kafir, semua ini adalah termasuk perkara yang (bisa) meneguhkan hatimu, wahai Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , agar engkau bisa mengambil teladan dari saudara-saudaramu para Nabi yang terdahulu.”[6]

Khususnya yang berhubungan dengan Nabi kita, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , meneladani kehidupan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beragama merupakan kewajiban dan keutamaan besar bagi orang-orang beriman yang ingin meraih ridha Allâh Azza wa Jalla . Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allâh dan (balasan kebaikan pada) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allâh [al-Ahzâb/33:21].

Ketika menafsirkan ayat ini, imam Ibnu Katsîr rahimahullah berkata, “Ayat yang mulia ini merupakan landasan yang agung dalam meneladani Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam semua ucapan, perbuatan dan keadaan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam”[7]

Keutamaan besar ini tentu tidak dapat diraih oleh seorang Muslim kecuali dengan memahami sirah (sejarah perjalanan hidup) Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , karena sejarah perjalanan hidup beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan petunjuk terbesar untuk memahami dan megikuti jalan kebaikan yang pernah ditempuh oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam[8].

Itulah sebabnya mengapa para Ulama memberikan perhatian besar dalam hal ini, dengan menulis kitab-kitab khusus tentang sirah (sejarah perjalanan hidup) Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sejak beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam lahir sampai wafat. Demikian pula biografi orang-orang yang mengikuti petunjuk beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan baik, dari kalangan para sahabat Radhiyallahu anhum dan para ulama salaf setelah mereka.

Diriwayatkan dari ‘Ali bin Husain Zainul ‘Abidin rahimahullah bahwa beliau berkata, “Dulu kami diajarkan tentang (sejarah) peperangan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana al-Qur’an diajarkan kepada kami.”[9]

Imam Abu Hanifah rahimahullah mengungkapkan hal ini dalam ucapan beliau yang terkenal, “Kisah-kisah (keteladanan) para Ulama dan duduk di majelis mereka lebih aku sukai dari pada kebanyakan (masalah-masalah) fikih, karena kisah-kisah tersebut (berisi) adab dan tingkah laku mereka (untuk diteladani).”[10]

Lebih lanjut, imam as-Sakhawi rahimahullah menukil keterangan Abu Ishâk Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim ats-Tsa’labi rahimahullah tentang beberapa manfaat dan hikmah dari kisah-kisah dalam al-Qur’an yang Allâh Azza wa Jalla sampaikan kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai keadaan para Nabi dan umat-umat yang terdahulu, yaitu:

  1. Sebagai argumentasi dan bukti yang menunjukkan kebenaran nubuwwah (kenabian) Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan risalah yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bawa dari Allâh Azza wa Jalla .
  2. Untuk meneladani sifat-sifat mereka yang dipuji oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan menjauhi sifat-sifat yang dicela-Nya.
  3. Untuk meneguhkan jiwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta menampakkan kemuliaan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan umat beliau, karena umat ini dilindungi Allâh Azza wa Jalla dari berbagai ujian yang ditimpakan-Nya kepada umat-umat terdahulu, diberi keringanan dalam beberapa hukum syariat dan diistimewakan dengan berbagai kemuliaan yang tidak diberiakan-Nya kepada umat-umat lain.
  4. Sebagai pelajaran dan pendidikan bagi umat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sebagaimana yang diisyaratkan dalam beberapa ayat al-Qur’an, di antaranya :

لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِأُولِي الْأَلْبَابِ

Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka (para Nabi dan umat mereka) itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal (sehat) [Yûsuf/12:111]

  1. Untuk mengabadikan nama baik dan mengenang jejak-jejak terpuji mereka, sebagaimana doa Nabi Ibrahim Alaihissallam dalam al-Qur’ân :

وَاجْعَلْ لِي لِسَانَ صِدْقٍ فِي الْآخِرِينَ

Dan jadikanlah aku (ya Allâh) buah tutur yang baik bagi orang-orang yang (datang) kemudian.[As-Syu’arâ/26:84] ”[11]

Mencintai Orang-Orang yang Shalih Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala
Demikian pula, dengan membaca sejarah hidup orang-orang yang shaleh dan mengenal sifat-sifat baik mereka, akan memudahkan tumbuhnya rasa cinta kepada mereka karena Allâh Azza wa Jalla. Ini merupakan salah satu ciri kesempurnaan iman, sebagimana sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ

Ada tiga sifat, barangsiapa yang memilikinya maka dia akan merasakan manisnya iman (kesempurnaan iman): menjadikan Allâh dan rasul-Nya lebih dicintai daripada (siapapun) selain keduanya, mencintai orang lain semata-mata karena Allâh, dan merasa benci (enggan) untuk kembali kepada kekafiran setelah diselamatkan oleh Allâh sebagaimana enggan untuk dilemparkan ke dalam api.[12]

Sifat mulia ini merupakan sebab utama meraih keutamaan besar di sisi Allâh Azza wa Jalla , yaitu dikumpulkan bersama orang-orang shaleh tersebut di surga kelak, karena seseorang akan dikumpulkan bersama orang yang dicintainya pada hari kiamat nanti.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

أَنْتَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ

Engkau bersama orang yang kamu cintai (di surga kelak)”.

قَالَ أَنَسٌ فَمَا فَرِحْنَا بِشَيْءٍ فَرَحَنَا بِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْتَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ قَالَ أَنَسٌ فَأَنَا أُحِبُّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ مَعَهُمْ بِحُبِّي إِيَّاهُمْ وَإِنْ لَمْ أَعْمَلْ بِمِثْلِ أَعْمَالِهِمْ

Sahabat yang mulia, Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu (yang meriwayatkan hadits ini dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) berkata, “Kami (para sahabat Radhiyallahu anhum) tidak pernah merasakan suatu kegembiraan (setelah masuk Islam) seperti kegembiraan kami sewaktu mendengar sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Engkau bersama orang yang kamu cintai (di surga kelak)”, maka aku mencintai Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Abu Bakr dan Umar Radhiyallahu anhuma, dan aku berharap akan (dikumpulkan oleh Allâh Azza wa Jalla ) bersama mereka (di surga nanti) karena kecintaanku kepada mereka, meskipun aku belum mengerjakan amalan seperti amalan mereka.[13]

Penutup
Masih banyak manfaat dan faidah besar lainnya dari sejarah Islam yang dibukukan oleh para Ulama kita. Imam as-Sakhawi rahimahullah sampai menulis sebuah kitab khusus untuk menjelaskan hal ini sekaligus menyanggah orang-orang yang meremehkan dan mengecilkan arti pentingnya ilmu sejarah Islam. Kitab beliau tersebut berjudul “al-I’lânu bit Taubîkhi liman Dzâmat Târîkh” (Mengumumkan celaan terhadap orang-orang yang meremehkan sejarah).

Semoga Allâh Azza wa Jalla senantiasa memudahkan kita untuk mengambil teladan dan petunjuk yang baik dari kisah-kisah para Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam al-Qur’an dan sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , serta memuliakan kita dengan dikumpulkan di surga kelak bersama para Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , para shidiq, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang yang shaleh, Amin.

وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَٰئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ ۚ وَحَسُنَ أُولَٰئِكَ رَفِيقًا

Dan barangsiapa yang mentaati Allâh dan Rasul(-Nya), mereka itu akan (dikumpulkan) bersama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allâh, yaitu: para Nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya [an-Nisâ’/4:69].

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun XV/1433H/2012M. Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni MA]
_____
Footnote
[1] HSR Muslim , no. 2645
[2] Lihat kitab Hâsyiyatu Tsalâtsatil Ushûl, hlm. 12
[3] Dinukil oleh syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Hâsyiyatu Tsalâtsatil Ushûl, hlm. 14
[4] Lihat kitab Aisarut Tafâsîr (2/236).
[5] Mukhtasharu Sîratir Rasûl Shallallahu ‘alaihi wa sallam, hlm. 9
[6] Kitab Tafsîr al-Qur’ânil ‘Azhîm, Ibnu Katsir (2/611).
[7] Tafsîr al-Qur’ânil ‘Azhîm, Ibnu Katsir (3/626)
[8] Lihat kitab Marwiyyâtu Ghazwatil Hudaibiyyah, hlm. 8
[9] Dinukil oleh imam al-Khatib al-Baghdadi dalam kitab al-Jâmi’ li Akhlâqir Râwi (2/252).
[10] Dinukil oleh imam Ibnu ‘Abdil Barr dengan sanadnya dalam kitab Jâmi’u Bayânil ‘Ilmi wa Fadhlihi (no. 595).
[11] Kitab al-I’lânu bit Taubîkhi liman Dzâmat Târîkh, hlm. 36-37), dengan ringkas dan penyesuaian.
[12] HSR al-Bukhari (no. 16 dan 21) dan Muslim (no. 43).
[13] HSR al-Bukhari (no. 3485) dan Muslim (no. 2639).

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. BERITA SUNNAH - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger