{قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ ويَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ، وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ}

Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah (sunnah/petunjuk)ku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS Ali ‘Imran:31)

AMALAN DI AWAL DZULHIJJAH

Abu Fathan | 23:21 | 0 comments
Di antara nikmat yang Allah berikan kepada hamba-hamba-Nya adalah dijadikannya waktu-waktu tertentu menjadi waktu-waktu yang diutamakan oleh Allah, sehingga kita sebagai hamba dianjurkan untuk memperbanyak amal pada waktu-waktu tersebut. Di antara waktu yang diutamakan oleh Allah adalah sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah (diperkirakan 1  Dzulhijjah 1435 bertepatan pada Jum’at, 26 September 2014 –red). Ada beberapa amalan yang kita dianjurkan untuk memperbanyak melakukannya pada sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah tersebut.

Keutamaan sepuluh Hari Pertama Bulan Dzulhijjah

Keterangan mengenai keutamaan sepuluh hari pertama Bulan Dzulhijjah bisa kita dapati di dalam ayat Al Qur’an maupun di dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah berfirman (yang artinya), “Dan demi malam yang sepuluh.” (QS. Al Fajr : 2)

Para ahli tafsir menjelasakan bahwa diantara makna ‘malam yang sepuluh’ pada ayat tersebut adalah sepuluh hari pertama pada Bulan Dzulhijjah. Dalam Tafsir Juz ‘Amma dikatakan makna sepuluh malam terakhir tersebut adalah sepuluh hari pertama Bulan Dzulhijjah. Memaknai kata ‘malam’ dengan makna ‘hari’ bukanlah penafsiran yang aneh karena dalam bahasa arab terkadang kata ‘malam’ memang bisa dimaknai dengan ‘hari’, dan kata ‘hari’ terkadang bisa dimaknai dengan ‘malam’.

Perlu diketahui, Allah tidaklah memilih sesuatu yang digunakan untuk bersumpah kecuali sesuatu yang memiliki keutamaan atau keagungan. Dalam ayat tersebut, Allah menggunakan sepuluh hari pertama Bulan Dzulhijjah untuk bersumpah. Hal ini menunjukkan keutamaan dan keagungan sepuluh hari pertama Bulan Dzulhijjah.

Adapun di antara hadits yang menunjukkan tentang keutamaan sepuluh hari pertama Bulan Dzulhijjah adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada hari dimana amal shalih pada saat itu lebih dicintai oleh Allah daripada hari yang sepuluh ini (yaitu sepuluh hari pertama Bulan Dzulhijjah).”

Para sahabat bertanya, “Tidak pula jihad di jalan Allah?”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tidak pula jihad di jalan Allah, kecuali orang yang berangkat jihad dengan jiwa dan hartanya namun tidak ada yang kembali satupun.” (HR. Bukhari)

Di antara penyebab diutamakannya sepuluh hari pertama Bulan Dzulhijjah adalah karena di dalamnya terdapat hari ‘Arofah (tepatnya pada 9 Dzulhijah).  Hari ‘Arofah adalah hari yang sangat mulia di dalam Islam, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Di antara hari yang Allah banyak membebaskan seseorang dari neraka adalah hari ‘Arofah (yaitu untuk orang yang berada di ‘Arofah). Dia akan mendekati mereka lalu akan menampakkan keutamaan mereka pada para malaikat. Kemudian Allah berfirman : ‘Apa yang diinginkan oleh mereka?’ ” (HR. Muslim)

Dianjurkan Memperbanyak Amalan

Hendaknya setiap muslim dan muslimah menyibukkan diri pada sepuluh hari pertama Bulan Dzulhijjah dengan banyak melakukan amal ketaatan dalam rangka memanfaatkan kesempatan yang mulia ini. Setiap amalan yang dilakukan pada waktu ini akan dilipatgandakan. Bahkan sebuah amalan yang kurang utama pun jika dilakukan pada waktu ini akan menjadi amalan yang utama. Mujahid mengatakan, “Amalan di sepuluh hari pada awal Bulan Dzulhijah akan dilipatgandakan.”

Amalan-amalan yang Bisa Dilakukan

Berikut di antara amalan yang bisa kita lakukan pada sepuluh hari pertama Bulan Dzulhijjah :

Memperbanyak Puasa

Menurut penuturan para Istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau biasa melakukan puasa pada sepuluh hari pertama Bulan Dzulhijjah, dan ini menjadi kebiasaan rutin beliau. Sebagaimana dikisahkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Hunaidah bin Kholid, bahwasanya istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada sembilan hari awal Dzulhijah” (HR. Abu Dawud)

Melaksanakan Puasa ‘Arofah

Di antara puasa-puasa pada sepuluh hari tersebut ada puasa yang dinamakan dengan puasa ‘Arofah. Puasa ‘Arofah adalah puasa yang dilaksanakan bertepatan dengan waktu wukufnya para jamaah haji di ‘Arofah. Berpuasa pada hari ‘Arofah adalah amalan yang sangat besar keutamaannnya, sebagaimana disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Puasa ‘Arofah dapat menghapuskan dosa setahun yang lalu dan setahun akan datang. Puasa ‘Asyuro (sepuluh Muharram) akan menghapuskan dosa setahun yang lalu.” (HR. Muslim)

Dan perlu diingat, anjuran untuk melakukan puasa ‘Arofah hanyalah bagi kaum muslimin yang tidak melaksanakan haji. Adapun bagi yang sedang berhaji maka puasa tersebut tidak dianjurkan.

Memperbanyak Do’a

Diantara amalan yang dianjurkan pula untuk diperbanyak pada sepuluh hari pertama Bulan Dzulhijjah adalah do’a, terlebih pada hari ‘Arofah. Hal ini berdasarkan hadits yang telah dibawakan di atas dan juga berdasarkan sebuah hadits dari ‘Amr bin Syu’aib bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik do’a adalah do’a pada hari ‘Arofah.” (HR. Tirmidzi, hasan)

Bertahlil, Bertakbir, dan Bertahmid

Sahabat Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma mengisahkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada hari yang paling agung dan amat dicintai Allah untuk berbuat kebajikan di dalamnya daripada sepuluh hari (Dzulhijjah) ini. Oleh karena itu, perbanyaklah pada saat itu tahlil, takbir, dan tahmid.” (HR. Ahmad)

Maka kaum muslimin dianjurkan untuk bertahlil, bertakbir, dan bertahmid pada hari-hari tersebut dengan perorangan, tidak dengan berjamaah, karena itulah yang dilakukan oleh sahabat dan tabi’in. Adapun di antara lafazh yang bisa digunakan adalah : Allāhu Akbar, Allāhu Akbar, Lā Ilāha Illallāhu wallāhu Akbar, Allāhu Akbar wa Lillāhil ḥamdu.

Melaksanakan Ibadah Haji Dan Umroh

Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman Al Jibrin berkata, “Amal ini (haji dan umroh) adalah amal yang paling utama, berdasarkan berbagai hadits shahih yang menunjukkan keutamaannya, antara lain adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Dari umrah ke umrah adalah penghapus (dosa-dosa yang dikerjakan) di antara keduanya, dan haji yang mabrur balasannya tiada lain adalah surga” (HR. Bukhari dan Muslim)

Berkurban

Dianjurkan bagi kaum muslimin untuk berkurban pada pada hari raya ‘iedul adha (10 Dzulhijjah) dan hari-hari tasyriq (11–13 Dzulhijjah). Diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkurban dengan menyembelih dua ekor domba jantan berwarna putih dan bertanduk. Beliau sendiri yang menyembelihnya dengan menyebut nama Allah dan bertakbir, serta meletakkan kaki beliau di sisi tubuh domba itu”.(HR. Bukhari dan Muslim)



Tidak Mencabut atau Memotong Rambut dan Kuku bagi yang Hendak Berkurban

Amal ini disyari’atkan khusus bagi kaum muslimin yang hendak berkurban. Diriwayatkan dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kamu melihat hilal Bulan Dzulhijjah dan salah seorang di antara kamu ingin berkurban, maka hendaklah ia menahan diri dari (memotong) rambut dan kukunya”.(HR Muslim)

Larangan ini hanya dikhususkan bagi orang yang hendak berkurban saja, tidak termasuk istri dan anak-anaknya, kecuali jika masing-masing dari mereka berkurban. Diperbolehkan menyisir rambut meskipun terdapat beberapa rambutnya yang rontok.

Melaksanakan Shalat Idul Adha dan Mendengarkan Khutbahnya

Idul Adha adalah hari besar Islam yang hanya ada setahun sekali. Pada hari tersebut kaum muslimin disyariatkan untuk melaksanakan solat ‘Ied secara berjamaah dan mendengarkan khutbah. Maka sepatutnya bagi kaum muslimin untuk tidak melewatkan kesempatan setahun sekali ini.

Banyak Beramal Shalih

Dianjurkan pula untuk mengamalkan ibadah-ibadah sunnah lainnya, seperti memperbanyak shalat sunnah, bersedekah, membaca Al Qur’an, amar ma’ruf nahi munkar, dan lain sebagainya. Sebab amalan-amalan tersebut pada sepuluh hari tersebut akan dilipatgandakan pahalanya. Tentu selama amalan itu ikhlas karena Allah dan dituntunkan oleh Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Penutup

Demikian banyaknya amalan yang bisa kita lakukan pada sepuluh hari pertama Bulan Dzulhijjah. Semoga kita diberi semangat dan kesempatan oleh Allah Ta’ala untuk bisa melakukannya dan tidak menyia-nyiakan kesempatan yang telah diberikan-Nya. Aamiin.

Rujukan : Taisir Karimirrohman fii Tafsir Kalamil Mannan Karya Syaikh ‘Abdurrahman As Sa’di, Tafsir Juz ‘Amma Karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, dan Fadhlu Ayyami ‘Asyr Dzil Hijjah wal A’mal Waridah Fiiha Karya Syaikh ‘Abdullah Al Jibrin (diunduh dari http://www.saaid.net/ mktarat/ hajj/4.htm)

Penulis             : Muhammad Rezki Hr, S.T., M.Eng. (Alumni Ma’had Al ‘Ilmi Yogyakarta)

Muroja’ah        : Ustadz Aris Munandar, M.P.I

Mubahalah Senjata Terakhir Menghadapi Penentang Kebenaran

Abu Fathan | 19:16 | 0 comments
Ustadz Ahmad Sabiq Abdul Lathif Abu Yusuf

MUQODDIMAH

Di saat hawa nafsu menguasai, saat dakwah yang lembut dan penuh hikmah menemui jalan buntu, saat hujjah yang berlandaskan al-Qur’an dan as-sunnah serta pemahaman para ulama ti­dak dapat menundukkan hati yang sudah kadung mengeras. Saat kebenaran harus mentok dan keba­tilan semakin digandrungi. Maka dalam kondisi ke­pepet semacam itu Alloh Ta’ala memberikan jalan keluar bagi seseorang yang memegang kebenaran yang sedang berhadapan dengan pengusung keba­tilan untuk menggunakan sebuah jalan yang— insya Alloh — dengan cara itulah Alloh akan menampak­kan mana yang benar dan mana yang salah. Cara itulah yang dikenal dengan istilah “Mubahalah”.

Namun, sebagaimana syari’at Islam lainnya, mubahalah ini pun ada aturan dan caranya; kapan ia digunakan, bagaimana caranya, dan apa saja syaratnya. Insya Alloh, inilah yang akan kita bahas dalam kajian kita kali ini. Semoga bermanfaat.

Dan sebagai bentuk amanat ilmiyyah, pem­bahasan ini saya ringkaskan dari risalah Irsyadul Ibad Bifadhli Mubahalati Ahlil Kadzibi wal ‘Inad oleh Syaikh Fadhlulloh Muhammad Amin di http:llwww. hanein.info/vblshowthread.php?114311-%CF%A1 de­ngan tambahan dari beberapa referensi lainnya.

PENGERTIAN MUBAHALAH

Secara bahasa mubahalah (المب هلة) berarti saling melaknat. Berasal dari bahasa Arab بهل yang berarti melaknat.[1]

Adapun secara istilah mubahalah adalah hadirnya dua pihak yang saling berselisih bersama keluarga dan anak-anak keduanya di sebuah tempat tertentu, yang mana keduanya tidak bisa menyelesaikan per­masalahan agama antara keduanya dengan cara dia­log dan debat, sedangkan masing-masing mengang­gap yang lainnya sebagai pihak yang dusta dan batil, lalu keduanya berdo’a dengan penuh harap kepada Alloh Ta’ala agar yang salah dan dusta dari keduanya di­laknat dan dijauhkan dari rohmat Alloh Ta’ala.

DALIL MUBAHALAH

Disyari’atkannya mubahalah didasari oleh beberapa ayat dan hadits Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun ayat al-Qur’an, maka diantaranya adalah :

Pertama : Mubahalah Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan orang-orang Yahudi

Mubahalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan orang-orang Yahudi disebutkan oleh Alloh Ta’ala dalam dua ayat yaitu :

1. Surat al-Baqoroh [2] : 94-95

Alloh Ta’ala berfirman : Katakanlah: “Jika kamu (menganggap bahwa) kampung akhirat (surga) itu khusus untukmu di sisi Alloh, bukan untuk orang lain, maka inginilah kematian(mu), jika kamu memang benar.” Dan sekali-kali mereka tidak akan mengingini kematian itu selama-lamanya, karena kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat oleh tangan mereka (sendiri), dan Alloh Maha Mengetahui siapa orang-orang yang aniaya. (QS. al-Baqoroh [2]: 94-95)

Saat penafsiran ayat ini, Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata : Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhum berkata : ”AllohTa’ala berfirman kepada nabi-Nya :-al-Baqoroh[2]:94-maknanya:’Berdo’alah kalian agar kelompok yang paling dusta tertimpa kematian.’ Ternyata mereka enggan melakukannya. Lalu firman Alloh Ta’ala :-al-Baqoroh[2]:95-maknanya : ’Karena mereka mengetahui dan mengkufurinya, seandainya mereka berdo’a kematian, niscaya tidak tersisa satu pun orang yahudi di muka bumi kecuali akan mati.’”

Imam Ibnu Jarir rahimahullah berkata: “Telah sampai berita kepada kami bahwa Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Seandainya orang-orang Yahudi berdo’a kematian niscaya mereka semua akan mati, dan niscaya me­reka akan melihat tempat mereka di neraka.’ Sean­dainya orang-orang Yahudi keluar untuk muba­halah dengan Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam; niscaya mereka akan pulang tanpa menemukan lagi anak dan harta me­reka.”

Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah saat menafsirkan ayat ini berkata : “Ini adalah salah satu bentuk mubahalah antara mereka (Yahudi) dengan Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

2. Surat al-Jumu’ah [62] : 6-8

Alloh Ta’ala berfirman : Katakanlah: “Hai orang-orang yang menganut agama Yahudi, jika kamu mendakwakan bahwa sesungguhnya kamu sajalah kekasih Alloh bukan manusia-manusia yang lain, maka harapkanlah kematianmu, jika kamu adalah orang-orang yang benar. ” Mereka tiada akan mengharapkan kematian itu selama-lamanya disebabkan kejahatan yang telah mereka perbuat dengan tangan mereka sendiri. Dan Alloh Maha Mengetahui akan orang-orang yang zholim. Katakanlah: “Sesung­guhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, ke­mudian kamu akan dikembalikan kepada (Alloh), yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia beri­takan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (QS. al-Jumua’h [62]: 6-8)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Yang mirip de­ngan ayat ini (QS. al-Baqoroh [2]: 94-95) adalah firman AllohTa’ala : (QS. al-Jumu’ah [62]: 6-8) saat mereka (orang Yahudi) mengklaim bahwa mereka adalah anak-anak Alloh dan kekasih-Nya dan mereka mengatakan bahwa tidak akan masuk surga kecu­ali orang Yahudi atau Nasrani, maka mereka diajak untuk bermubahalah dan berdo’a kehancuran untuk salah satu di antara mereka yang paling ber­dusta, apakah mereka atau kaum muslimin. Dan tatkala mereka tidak mau (mubahalah) diketahui­lah bahwa merekalah (Yahudi) orang-orang yang zholim.”

Kedua : Mubahalah Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan orang-orang Nasrani

Alloh Ta’ala berfirman : Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakan­lah (kepadanya): “Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, istri-istri kami dan istri-­istri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Alloh dan kita minta supaya laknat Alloh ditimpakan kepada orang-orang yang dus­ta.” (QS. Ali Imron [3]: 61)

Ayat ini berhubungan dengan perdebatan an­tara orang-orang Nasrani dengan Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallamtentang Isa bin Maryam ‘alaihis salam. Mereka mengatakan bahwa Isa ‘alaihis salam adalah Tuhan atau anak AllohTa’ala. Dan Ro­sululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan kepada mereka aqidah yang benar, namun mereka tidak mau tunduk ke­pada kebenaran. Maka Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajak mereka mubahalah.

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Di sini Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajak utusan orang-orang Nasrani dari Najron setelah tegak hujjah atas mereka dalam perdebatan dan mereka tetap bersikeras (pada ke­batilannva), maka Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajak mereka untuk mubahalah. Alloh Ta’ala berfirman: —ayat di atas. Saat mereka mengetahui hal tersebut, maka seba­gian di antara mereka bicara pada sebagian lain­nya: ‘Demi Alloh, seandainya kalian bermubahalah dengan nabi ini tidak akan ada satu pun di antara kalian yang hidup. Maka saat itulah mereka akhir­nya mau menyerah dengan Cara membayar jizyah (semacam upeti) dalam keadaan hina. Maka Rosu­lulloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus kepada mereka seorang yang terpercava yaitu Abu Ubaidah bin al-Jarroh radhiyallahu ‘anhu untuk mengurusi hal tersebut.’ “

Ketiga : Mubahalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kaum musyrikin

Alloh Ta’ala berfirman : Katakanlah: “Barang siapa yang berada di dalam kese­satan, maka biarlah Tuhan yang Maha Pemurah memperpanjang tempo baginya, sehingga apabila mereka telah melihat apa yang diancamkan kepadanya, baik siksa maupun kiamat, maka mereka akan mengetahui siapa yang lebih jelek kedudukannya dan lebih lemah penolong-penolongnya. ” QS. Maryam [19]: 75)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Ini adalah muba­halahnya Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kaum musyrikin yang mengklaim bahwa keadaan mereka saat itu adalah berada di atas petunjuk, sebagaimana AllohTa’ala menyebutkan tentang mubahalah Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan orang-orang Yahudi.”

Adapun dalil dari sunnah Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

Dari Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu berkata: Telah datang Aqib dan Sayyid, dua tokoh Nasrani Najron kepada Rosululoh Shallallahu ‘alaihi wa sallam keduanya ingin bermubahalah. Maka salah satunya berkata: “Jangan engkau lakukan itu, jika memang benar dia seorang nabi, lalu kita mubahalah niscaya kita tidak akan beruntung, juga anak keturunan kita.” Akhirnya mereka mengatakan : “Kami akan memberikan apa yang engkau minta, maka utuslah kepada kami seorang yang terpercaya. Dan jangan engkau utus kepada kami kecuali seorang yang terpercaya.” Maka Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sungguh, saya akan me­ngutus pada kalian seorang yang benar-benar ter­percaya.” Para sahabat Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun ingin mendapatkan tugas tersebut, namun akhimya Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Bangkitlah wahai Abu Ubaidah bin jarroh.” Tatkala belau berdiri, maka Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Ini adalah orang yang terpercaya dari umat ini.”[2]

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Dalam ha­dits ini terdapat syariat mubahalah dengan orang yang menyelisihi (kebenaran) apabila tetap ngotot setelah tampak hujjah baginya. Ini pun pernah di­lakukan oleh Ibnu Abbasradhiyallahu ‘anhum, dan Imam al-Auza’i rahimahullah, juga sebagian para ulama. Dan dari pengala­man bahwa orang yang melakukan mubahalah dan dia itu orang yang salah, maka dia tidak akan hidup sampai satu tahun dari saat dia bermubahalah. Dan saya pun pernah mengalaminya bermubahalah dengan seorang yang ta’ashub dengan kelompok batil, akhirnya setelah itu dia hanya hidup dua bulan.”[3]

HUKUM MUBAHALAH

Mubahalah termasuk perkara yang disyari’atkan dalam agama Islam, sebagai salah satu sarana dak­wah apabila sudah menemukan jalan buntu, apa­bila hujjah dan dalil tidak lagi berfungsi.

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Alloh meme­rintahkan kepada Rosul-Nya untuk bermubahalah dengan orang-orang yang menentang kebenaran dalam masalah Isa bin Maryam ‘alaihis salam setelah tampak hujjah dan keterangan pada mereka.”

Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata: “Kesimpul­annya, bahwa Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa mendebat semua orang kafir, apa pun agamanya, sampai be­liau Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal dunia. Dan hal ini diteruskan oleh para sahabat sepeninggal beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan Alloh Ta’ala meme­rintahkan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mendebat mereka dengan baik, baik pada Surat Makkiyyah maupun Madaniyyah, Alloh Ta’ala juga memerintahkan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk ber­mubahalah dengan mereka setelah tampak bagi mereka hujjah dan keterangan. Dengan cara inilah agama ini tegak.” [4]

HAKIKAT MUBAHALAH

Mubahalah adalah salah satu cara syar’i yang digunakan untuk menghadapi lawan yang ba­til dan menentang kebenaran setelah segala daya dan upaya mengalami jalan buntu untuk menasi­hatinya, mendebatnya, serta berdialog dengannya. Sama saja apakah ini dilakukan dengan orang kafir atau pun sesama muslim. Hal ini untuk menunjuk­kan kebatilan apa yang diyakini oleh lawan. Ini di­lakukan dengan cara bersungguh-sungguh dalam berdo’a kepada AllohTa’ala dan ber-tadzorru’ kepada-Nya agar Alloh Ta’ala menampakkan mana di antara keduan­ya yang berada di atas kebatilan dan semoga Alloh Ta’ala menjauhkan hukuman-Nya segera kepadanya.

SYARAT-SYARAT MUBAHALAH

Apabila terpaksa harus menggunakan cara mubahalah, maka harus diperhatikan beberapa syarat berikut :

1. Ikhlas hanya mengharapkan keridhoan Alloh Ta’ala dan demi mengikuti sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Karena sebenarnya mubahalah ini adalah sebuah do’a dengan cara-cara tertentu. Sedangkan do’a adalah ibadah. Sebagaimana sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam : ”Do’a adalah ibadah.” [5]

Dan sebuah ibadah itu tidak akan diterima oleh Alloh Ta’ala melainkan dengan dua syarat utama, yaitu ikhlas hanya karena Alloh dan mengikuti sunnah Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Alloh Ta’ala berfirman : Barang siapamengharap perjumpaan dengan Robbnya, maka hendaknya ia mengerjakan amal yang sholih dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Robbnya. (QS. Al-Kahli [18] :110)

2. Memiliki ilmu yang mapan bahwa dia berada di atas kebenaran dan lawannya di atas kebatilan.

Hal ini telah sangat kuat diisyaratkan oleh Alloh Ta’ala dalam ayat mubahalah di atas. Alloh Ta’ala berfirman: “Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu)…” Dan ini berkonsekuensi bahwa seseorang yang akan melaksanakan mubahalah harus mengil­mui al-Qur’an dan as-sunnah dengan pemaham­an para ulama sunnah; karena kalau tidak begi­tu, dari mana dia mengetahui bahwa dia di atas kebenaran.

3. Dilakukan dalam sebuah perkara agama yang penting.

Yang mana perkara ini kalau tidak dilaksanakan mubahalah, maka akan tersamarkan antara kebenaran dan kebatilan, dan akan kaburlah perkaranya bagi umat. Hal tersebut karena Rosu­lulloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat radhiyallahu ‘anhuma, serta ulama tidak­lah menggunakan cara ini kecuali untuk perkara tersebut.

4. Sebelum mubahalah telah diusahakan segala daya dan upaya untuk berdiskusi, dialog, pe­nyampaian hujjah dan dalil, hingga perdebatan pun dilakukan.

Oleh karena itu, mubahalah ini tidak boleh jadi solusi pertama kali. Alloh Ta’ala menegaskan hal ini dalam mubahalah di atas. Di mana Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mubahalah dengan mereka tatkala hujjah dan keterangan syar’i sudah tidak lagi bermanfaat kepada mereka.

5. Keduanya mengajak keluarga dan anak-anak.

Sebagaimana yang secara tegas di firmankan Alloh Ta’ala dalam ayat di atas. Hal ini agar lebih me­nampakkan kemantapan bahwa dia benar-benar yakin kalau berada di atas kebenaran, karena yang jadi taruhannya bukan hanya dirinya namun orang-orang yang dia sayangi bahkan para jantung hatinya.

BOLEHKAH MUBAHALAH DIGUNAKAN UNTUK PERKARA DUNIAWI?

Pada dasarnya mubahalah adalah untuk sebuah perkara syar’i, baik masalah aqidah maupun lain­nya. Dan masalah tersebut adalah sebuah masalah yang penting, yang tersamarkan. Sehingga akan tampak kebenaran. Akan tetapi, tetap harus diingat bahwa mubahalah dilakukan apabila memang manfaatnya lebih banyak daripada mafsadatnya.

Imam Ibnu Qoyyim rahimahullah berkata saat beliau me­nyebutkan faedah-faedah dan kisah utusan Nasra­ni Najron yang diajak mubahalah oleh Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Termasuk sunnah Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berde­bat dengan ahlil bathil apabila telah tegak hujjah Alloh Ta’ala pada mereka dan mereka tetap tidak mau kembali pada kebenaran bahkan tetap ngotot pada kebatilannya agar mereka diajak mubahalah. AllohTa’ala telah memerintahkan ini kepada Rosul-Nya dan Alloh Ta’ala tidak berfirman bahwa ini tidak untuk umat­mu setelahmu. Abdulloh bin Abbas radhiyallahu ‘anhum, pernah me­ngajak mubahalah terhadap beberapa orang yang berselisih dengan beliau dalam sebagian masalah furu’ dan hal ini tidak diingkari oleh para sahabat lainnya. Demikian juga Imam Auza’i rahimahullah pernah me­ngajak Imam ats-Tauri rahimahullah untuk bermubahalah dalam masalah mengangkat tangan, dan ini juga tidak ada yang mengingkarinya. Karena ini semua adalah ter­masuk kesempurnaan hujjah.”[6]

Namun, untuk masalah duniawi, mubahalah sama sekali tidak boleh. Syaikh al-Albani rahimahullah pernah ditanya tentang penggunaan mubahalah untuk urusan dunia, maka beliau menjawab: “Tidak boleh menyeret hukum ini untuk urusan dunia, karena dua sebab :

Pertama : Karena kisah mubahalah ini terjadi dalam masalah aqidah

Kedua : Islam telah memiliki aturan dan kaidah dalam permasalahan (urusan) dunia. Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Yang menuntut wajib mendatangkan bukti, sedang­kan yang rnengingkari hanya wajib bersumpah.”[7]

Maka urusan dunia harus diselesaikan dengan cara ini. Tidak ada alasan vang mendesak untuk menggunakan cara mubahalah yang disyari’atkan oleh Alloh Ta’ala antara Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan orang-­orang Nasrani Najron yang mana mereka meng­ingkari tauhid dan ngotot untuk beraqidah trinitas. Namun, jika harus menyeret masalah ini kepada permasalahan lainnya yang tidak ada atsarnya atau haditsnya, maka yang memungkinkan ialah diba­wa pada perselisihan antara dua kelompok kaum muslimin yang berbeda pemikiran atau berbeda pada sebagian masalah aqidah, seperti kelompok Mu’tazilah dan Ahlus Sunnah. Karena itu, sangat mungkin jika seorang Mu’tazilah tetap sombong terhadap kebenaran untuk ditantang mubahalah oleh seorang Ahlus Sunnah, agar jelas siapa yang salah di antara keduanya. Namun, hal ini setelah berdialog dan berdalil dari masing-masing kelom­pok. Oleh karena itu, harus ada kesombongan salah satu dari keduanya, maka dengan itu kita jadikan laknat Alloh Ta’ala tertimpa pada orang yang dusta. Jika demikian, maka dimungkinkan membawa perkara mubahalah pada masalah seperti ini. Adapun ka­lau yang ditanyakan adalah masalah duniawi maka sama sekali tidak boleh digunakan cara mubahalah sebagaimana penjelasan saya tadi.” [8]

MANFAAT MUBAHALAH

Tidak ada satu pun syari’at Alloh Ta’ala dan Rosul-Nya melainkan akan membawa maslahat jika dilakukan dengan cara yang tepat dan dalam kondisi yang te­pat. Begitu Pula dengan mubahalah, jika dilakukan dengan cara yang tepat dalam kondisi yang tepat terhadap orang yang tepat, maka akan membawa maslahat yang besar. Di antaranya :

1. Hancurnya orang yang berada di atas kebatilan, baik segera maupun agak lama.

Hal ini berdasarkan beberapa riwayat yang telah berlalu dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhum tentang seandainya terjadi mubahalah antara Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan orang Yahudi maupun Nasrani.

Dan telah berlalu ucapan Imam Ibnu Hajar rahimahullah : “Dan dari pengalaman bahwa orang yang melakukan mubahalah dan dia itu orang yang salah, maka dia tidak akan hidup sampai satu tahun dari saat dia bermubahalah. Dan saya pun pernah mengalaminya bermubahalah dengan seorang yang ta’ashub (fanatik) dengan kelom­pok batil, akhirnya setelah itu dia hanya hidup dua bulan.”[9]

2. Orang yang tidak mau diajak mubahalah diang­gap sebagai kelompok yang salah, jika dia tidak punya alasan syar’i tentang alasannya menolak mubahalah.

Sebagaimana yang terjadi pada orang-orang Ya­hudi dan Nasrani pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

3. Meninggikan agama dengan nampaknya ke­benaran dan hancurnya kebatilan.

Dan ini terbukti setelah tampaknya hasil muba­halah.

KISAH PARA ULAMA YANG BERMUBAHALAH

Saya sebutkan di sini dua kisah saja dari kisah-­kisah para ulama yang pernah melakukan muba­halah :

Pertama : Imam Ibnu Hajar al-Asqolani rahimahullah dengan salah seorang pengikut Ibnu Arobi

Al-Hafizh as-Sakhowi rahimahullah dalam kitab al-jawahir wad Duror 3/1001 menceritakan tentang guru beliau al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah: “Meskipun beliau meru­pakan lautan ilmu dan tidak cepat marah, namun beliau akan sangat cepat marah kalau dalam mem­bela agama Alloh Ta’ala dan Rosul-Nya. Pernah suatu ke­tika terjadi antara beliau dengan sebagian penga­gung Ibnu Arobi, dia berdo’a: “Ya Alloh, jika Ibnu Arobi berada di atas kesesatan, maka laknatlah aku dengan laknat-Mu.” Lalu Imam Ibnu Hajar rahimahullah pun bedo’a: “Ya Alloh, jika Ibnu Arobi di atas kebenaran, maka laknatlah aku dengn laknat-Mu.”

Hasilnya, hanya selang dua bulan—tepatnya muba­halah tersebut terjadi pada bulan Romadhon tahun 797 dan pada bulan Dzulqo’dah—orang tersebut buta lalu mati.

Kedua : Syaikh Tsana’ulloh al-Amritsari rahimahullah dengan Mirza Ghulam Ahmad nabinya agama Ahmadiyah

Seorang ahli hadits India, Syaikh Tsana’ulloh al­-Amritsari rahimahullah (wafat 1367 H) pernah menantang Mirza Ghulam Ahmad al-Qodiyani pada tahun 1326 H bahwa barang siapa di antara keduanya yang ber­dusta dan berada di atas kebatilan, maka dia akan mati duluan dan terkena penyakit kolera. Akhirnya, selang beberapa waktu yang tidak lama, Mirza ter­kena penyakit kolera kemudian meninggal dunia, sedangkan Syaikh Tsana’ulloh rahimahullah, beliau hidup setelah itu empat puluh tahun lamanya.[10]

Disalin dari Majalah ALFURQON no. 105edisi: 01 thn ke 10 Sya’ban 1431H/Juli-Agst 2010M


[1] Lihat Mukhtarush Shihah 1/27


[2] HR. Bukhori-Muslim


[3] Fathul Bari 7/697


[4] Za’adul Ma’ad 3/642


[5] HR. Ashhabus Sunan dengan sanad shohih


[6] Zadul Ma’ad 3/653


[7] HR. Baihaqi dalam Sunan al-Kubro 10/252 No. 20990 dengan sanad hasan sebagaimana dikatakan oleh Imam Nawawi rahimahullah dan al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari 5/283. Al-Hafizh Ibnu Rojabrahimahullah telah me­maparkan semua jalan hadits ini dengan sangat bagus dalam kitab beliau Jami’ul Ulum wal Hikam hadits ke-33


[8] Kaset Silsilah Huda wan Nur No. 703


[9] Fathul Bari 7/697


[10] Nuzhotul Khow­athir wa Bahjatul Masami’ wa Nawadhir, Abdul Hayyi al-Hasani 8/95

Bahaya Dan Terapi Hasad

Abu Fathan | 23:03 | 0 comments
Hasad adalah kata yang jarang terdengar dalam bahasa Indonesia, namun sering diucapkan dalam bahasa Arab, diantaranya pada ayat terakhir surah Al Falaq. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan dari kejahatan orang yang hasad apabila ia hasad.” (QS. Al Falaq : 5)
Definisi Hasad
Hasad lebih sering diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan ungkapan iri hati atau dengki. Hasad adalah rasa tidak suka di dalam hati ketika orang lain mendapat nikmat dari Allah. Jadi semata-mata memiliki rasa tidak suka sudah tergolong hasad, tidak harus diiringi dengan harapan hilangnya nikmat tersebut. Dengan membenci datangnya nikmat kepada orang lain, maka itulah hasad, baik ia mengharapkan hilangnya nikmat tersebut dari orang yang jadi sasaran hasadnya atau tidak.
Larangan Hasad
Para pembaca yang budiman, hasad adalah penyakit hati yang dapat mendera siapa saja. Biasanya terjadi kepada orang yang memiliki profesi atau tujuan yang sama. Misalnya sesama pedagang, sesama dokter, sesama professor, sesama penuntut ilmu, sesama ustadz, sesama kiyai, bahkan sesama ulama.
Seorang muslim yang baik tidak sepantasnya merasa bahwa dirinya selamat dari sifat hasad. Namun ia sepantasnya berlindung kepada Allah dari sifat iri hati dan hasad ini karena itu adalah sifat tercela, penyakit hati, sifat hakiki yang dimiliki oleh kaum yahudi, dan dapat merusak amal. Allah melarang seseorang untuk iri hati kepada nikmat yang Allah lebihkan kepada orang lain.
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan (pun) ada bagian yang mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala sesuatau.” (QS. An Nisaa : 32)
Penyebab Hasad
Para pembaca yang semoga dirahmati oleh Allah, poin berikut akan membahas beberapa sebab munculnya sifat hasad pada diri seseorang.
1. Tidak bersyukur atas nikmat Allah
Orang yang hasad adalah orang yang tidak pandai bersyukur. Ia masih membandingkan nikmat yang Allah berikan kepadanya dengan nikmat orang lain. Seakan-akan Allah memberikan nikmat lebih kepada orang lain. Padahal nikmat yang Allah berikan pada dirinya, adalah yang terbaik bagi dirinya.
Sebagai contoh, ia dengki ketika tetangganya memiliki kendaraan baru. Padahal boleh jadi ketika ia yang diberikan nikmat kendaraan baru, justru ia gunakan untuk maksiat kepada Allah.
2. Buruk sangka kepada Allah
Orang yang hasad akan menganggap Allah tidak adil. Ia berpikir kenapa Allah berikan nikmat itu pada orang lain, namun tidak padanya?

Bahaya Sifat Hasad
Para pembaca yang semoga dimuliakan oleh Allah, hasad memiliki banyak keburukan apalabila seorang muslim terjangkiti penyakit ini. Diantaranya adalah :
1. Penyebab hati menjadi sakit
Hasad adalah sifat tercela yang menyebabkan hati seseorang menjadi sakit. Ketika seseorang terjangkit hasad, maka ia akan melakukan kemaksiatan yang dapat menyebabkan sakitnya hati. Terkadang seseorang tidak sadar hatinya sedang sakit karena berprasangka buruk kepada Allah. Kalau keadaan ini dibiarkan, sangat dikhawatirkan akan menyebabkan su-ul khatimah (mati yang jelek).
2. Ingkar kepada takdir Allah
Orang yang hasad pada hakikatnya tidak menyukai takdir yang telah Allah berikan pada dirinya. Ia tidak ridha dengan nikmat yang Allah tentukan untuk dirinya dan orang lain.
3. Kufur nikmat kepada Allah
Orang yang selalu membandingkan nikmat yang telah Allah berikan, sungguh ia telah menganggap Allah tidak adil. Ia merasa nikmat yang Allah berikan pada dirinya kurang, hingga jadilah ia sebagai orang yang tidak bersyukur dengan nikmat Allah.
4. Melahap kebaikan seseorang
Dalam suatu hadits disebutkan bahwa hasad itu ibarat api yang membakar kayu bakar. Karena orang yang hasad biasanya mencari celah orang yang ia sikapi dengan hasad sehingga melanggar syariat dan menyebutkan kejelekannya, bahkan berusaha menghilangkan nikmat yang ada pada diri orang lain. Sehingga habislah amal baiknya karena sifat hasadnya.
5. Menyebabkan hati yang sengsara
Orang yang hasad akan sengsara hatinya karena hidupnya dipenuhi prasangka yang bermacam-macam akibat nikmat yang Allah berikan pada selain dirinya. Ia akan bersusah hati jika nikmat yang Allah berikan pada orang lain, tidak ia dapatkan.
6. Menyerupai kaum yahudi
Hasad adalah salah satu sifat khas kaum yahudi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia bagian dari mereka” (HR. Ahmad dan Abu Dawud, derajat : shahih)
7. Tanda iman belum sempurna
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak sempurna iman kalian sampai kalian mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri” (HR. Bukhari dan Muslim)
Jika seseorang mendapatkan nikmat dari Allah, tentu ia tidak suka jika orang lain merasa tidak senang dengan nikmat tersebut. Bahkan ia akan lebih tidak suka lagi jika orang lain mengharapkan nikmat tersebut hilang dari dirinya. Demikian juga yang diharapkan orang lain dari diri kita ketika mereka memperolah kenikmatan.
8. Sibuk dengan perkara yang melalaikan
Orang yang hasad akan sibuk mengurusi urusan orang lain, bahkan sampai lupa bahwa ada dirinya sendirilah yang lebih layak untuk diurusi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Diantara tanda baiknya keislaman seseorang adalah meninggalkan perkara yang tidak ada manfaat bagi dirinya.” (HR. Tirmidzi, derajat : hasan)
Terapi Penyakit Hasad
Para pembaca yang budiman, sebenarnya jika kita tahu, bahwa nikmat yang telah Allah berikan kepada orang lain tidak akan mungkin bisa hilang tanpa kehendak Allah. Lantas kenapa dalam diri ini masih ada penyakit hasad? Berikut sedikit tips untuk membentengi diri kita dari penyakit hasad :
1. Merasa qana’ah dengan nikmat yang telah Allah limpahkan
Qana’ah adalah merasa cukup dengan nikmat yang telah Allah berikan. Dengan sikap qana’ah, maka ia akan menjadi hamba yang bersyukur. Ia akan tersibukkan dengan nikmat yang Allah berikan pada dirinya, sehingga ia tidak memiliki waktu untuk mengurusi nikmat orang lain.
2. Senang jika saudaranya mendapat nikmat
Jika diri ini mendapat nikmat, tentu diri ini akan senang. Begitu juga jika saudara kita mendapat nikmat dari Allah, sudah sepatutnya juga kita ikut senang.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Tidak sempurna iman kalian sampai kalian mencintai untuk saudaranya sebagaimana ia mencintai untuk dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim)
3. Memiliki sifat tawadhu’
Sejatinya, nikmat yang Allah berikan adalah titipan dari Allah, bahkan nikmat tersebut adalah ujian. Hendaknya seseorang memiliki sifat tawadhu’/rendah hati sehingga ia tidak perlu merasa iri hati atau menyombongkan diri.
4. Menjauhi sifat tamak dan rakus
Hendaknya seseorang zuhud dengan perkara dunianya, sehingga ia tidak terus-menerus disibukkan dengan mencari kenikmatan dunia semata.
5. Banyak mengingat mati
Abu Darda radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Seorang yang memperbanyak mengingat mati, niscaya akan sedikit gembiranya dan sedikit pula sifat hasadnya” (Hilyatul Auliya, 1/220)
6. Banyak berdoa kepada Allah
Hanya Allah lah tempat bersandar dan meminta pertolongan agar kita dijauhi dari sifat hasad.

Ada Hasad yang Dibolehkan
Para pembaca sekalian, ternyata ada hasad yang dibolehkan, dan dalam kasus ini bukanlah hasad yang tercela. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidak boleh hasad (ghibthah) kecuali pada dua orang, yaitu orang yang Allah anugerahkan padanya harta lalu ia infakkan pada jalan kebaikan dan orang yang Allah beri karunia ilmu (Al Qur’an dan As Sunnah), ia menunaikan dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Jika orang lain Allah berikan nikmat untuk dimudahkan dalam melakukan kebaikan (semisal dalam hadits di atas), hendaknya seseorang ghibthah (berniat mendapatkan nikmat tersebut) dan semangat berlomba-lomba dalam kebaikan.
Penutup
Sebagai penutup, penulis akan nukilkan perkataan Syaikul Islam Ibnu Taimiyah terkait dengan hasad. Beliau berkata, “Setiap jasad tidaklah bisa lepas dari yang namanya hasad. Namun orang yang berpenyakit (hati) akan menampakkannya, sedangkan orang yang mulia akan menyembunyikannya.” Wallahul muwaffiq
Penulis : Wiwit Hardi P (Alumni Ma’had Al ‘Ilmi Yogyakarta)
Muroja’ah : Ustadz Abu Salman, B.I.S
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. BERITA SUNNAH - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger