{قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ ويَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ، وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ}

Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah (sunnah/petunjuk)ku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS Ali ‘Imran:31)

Membela Islam

Abu Fathan | 01:44 | 0 comments
Ada beberapa ayat dalam al-Quran, yang memerintahkan kita untuk membela Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kita akan lihat beberapa ayat berikut,

Pertama, firman Allah,

وَلَيَنْصُرَنَّ اللَّهُ مَنْ يَنْصُرُهُ إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ

Sungguh Allah akan menolong orang yang membela-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa. (QS. al-Hajj: 40)

Allah juga berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ؛ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ

“Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong agama Allah, niscaya Dia akan menolong kalian dan mengokohkan kaki kalian.” (QS. Muhammad: 7)

Di ayat lain, Allah berfirman memerintahkan umat islam untuk membela Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ شَاهِدًا وَمُبَشِّرًا وَنَذِيرًا . لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُعَزِّرُوهُ وَتُوَقِّرُوهُ

Sesungguhnya Kami mengutus kamu sebagai saksi, pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, Supaya kalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, mendukung beliau, memuliakan beliau…. (QS. al-Fath: 8-9)

Apa makna membela dan menolong Allah?

Ada banyak ayat dalam al-Quran yang menggunakan istilah yang umumnya digunakan manusia.

Diantaranya, Allah membeli dari jiwa dan harta orang beriman dengan dibayar surga. Allah berfirman,

إِنَّ اللَّهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ

“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh…” (QS. at-Taubah: 111)

Di ayat lain, Allah menawarkan kepada manusia untuk menghutangi dan akan dibalas dengan berlipat ganda,

مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً

“Siapa yang memberikan pinjaman kepada Allah dengan kebaikan maka Allah akan mengganti dengan berlipat ganda.” (QS. al-Baqarah: 245)

Imam as-Sa’di menjelaskan surat Muhammad ayat 7,

هذا أمر منه تعالى للمؤمنين، أن ينصروا الله بالقيام بدينه، والدعوة إليه، وجهاد أعدائه، والقصد بذلك وجه الله، فإنهم إذا فعلوا ذلك، نصرهم الله وثبت أقدامهم

Ini merupakan perintah dari Allah kepada orang yang beriman agar mereka membela Allah dengan menjalankan agamanya, mendakwahkannya dan berjihad melawan musuhnya. Dan semua itu bertujuan untuk mengharap wajah Allah. Jika mereka melakukan semua itu, maka Allah akan menolong mereka dan mengokohkan kaki mereka. (Tafsir as-Sa’di, hlm. 785)

Ahlus Sunnah Adalah Ahlul Wasath

Abu Fathan | 09:16 | 0 comments
Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah Ahlul Wasath (ummat yang pertengahan di antara firqah-firqah[1] yang menyimpang)[2]. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjadikan ummat (Islam) ini sebagai ummat pertengahan (ummat yang adil dan terpilih), di kalangan semua ummat manusia, sebagaimana firman-Nya:

وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِّتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا

“Dan demikian pula telah Kami jadikan kamu (ummat Islam), ummat yang adil dan pilihan, agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.” [Al-Baqarah/2: 143]

Mereka (Ahlus Sunnah) adalah pertengahan di antara firqah-firqah (golongan-golongan) yang sesat. Menurut penjelasan Imam ‘Abdullah Ibnul Mubarak (wafat th. 181 H) dan Yusuf al-Asbath (wafat th. 195 H) bahwa golongan yang binasa (sesat) banyak jumlahnya, akan tetapi sumber perpecahannya ada empat firqah (golongan), yaitu:
Rafidhah.
Khawarij.
Qadariyyah.
Murji’ah.

Ada orang yang bertanya kepada ‘Abdullah Ibnul Mubarak tentang golongan Jahmiyyah, maka beliau menjawab: “Mereka itu bukan ummat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”[3]

Di antara keyakinan dan manhaj Ahlus Sunnah yang merupakan pertengahan adalah:
Mereka (Ahlus Sunnah) adalah pertengahan dalam masalah Sifat-Sifat Allah antara golongan Jahmiyyah dan Musyabbihah.

Jahmiyyah adalah aliran yang sesat dan dikafirkan oleh para ulama. Muncul pada akhir kekuasaan Bani Umayyah. Disebut demikian karena dikaitkan dengan nama tokoh pendirinya, yaitu Abu Mahraz Jahm bin Shafwan at-Tirmidzi yang dibunuh pada tahun 128 H. Di antara pendapat aliran ini adalah mengingkari Asma’ dan Sifat-Sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala, Al-Qur-an adalah makhluk (barang ciptaan) dan bahwa iman itu adalah hanya sekedar mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala, mereka berkeyakinan bahwa Surga dan Neraka itu fana (akan binasa) dan lain-lain.[4]

Musyabbihah yaitu aliran yang sesat dan termasuk ahlul bid’ah. Mereka menyamakan atau menyerupakan Sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya. Termasuk dalam golongan tamtsil ini adalah Jawaliqiyyah, Hisyamiyyah dan Jawaribiyyah.[5]

Sedangkan pandangan Ahlus Sunnah tentang Sifat Allah dapat dilihat dalam pembahasan Tauhid Asma’ wash Shifat.
Ahlus Sunnah pertengahan antara aliran Jabariyyah dan Qa-dariyyah dalam masalah af’alul ‘ibad (perbuatan hamba-Nya).

Jabariyyah adalah aliran yang sesat dan termasuk ahlul bid’ah. Berasal dari kata ‘jabr’ artinya paksaan. Dan mereka mempunyai pandangan bahwa manusia dalam segala perbuatan, gerak-gerik dan tingkah lakunya adalah dipaksa, tidak memiliki kekuasaan dan kebebasan. Mereka menafikan perbuatan hamba secara ha-kikat dan menyandarkannya kepada Allah. Termasuk dalam aliran ini adalah Jahmiyyah, mereka berpandangan seperti itu. Menurut Syahrastani bahwa Jabariyyah ada dua golongan: Jabariyyah Khalishah dan Jabariyyah Mutawassithah.[6]

Qadariyyah adalah aliran yang sesat dan termasuk ahlul bid’ah. Berasal dari kata ‘qadar’, artinya ketentuan Ilahi. Aliran ini tidak mengakui adanya qadar tersebut dan mengatakan manusialah yang menentukan nasibnya sendiri dan dialah yang membuat perbuatannya, terlepas dari kodrat serta iradat Ilahi. Termasuk dalam aliran ini adalah Mu’tazilah yang juga berpan-dangan sama.[7]

Pandangan Ahlus Sunnah Tentang Perbuatan Hamba adalah:

Pertama : Perbuatan hamba pada hakekatnya adalah ciptaan Allah Azza wa Jalla.

Kedua : Yang melaksanakan perbuatan tersebut adalah hamba itu sendiri secara hakiki.

Ketiga : Seorang hamba mempunyai kekuasaan (kemampuan) untuk melaksanakan perbuatannya secara hakiki dan mempunyai pengaruh atas terjadinya perbuatan tersebut. Dan Allah-lah yang memberi kemampuan kepada mereka untuk melakukan perbuatan tersebut.[8]

Imam Abu ‘Utsman ash-Shabuni (wafat th. 499 H) rahimahullah berkata: “Pemahaman Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah keyakinan bahwa perbuatan hamba adalah diciptakan Allah Azza wa Jalla. Dan mereka tidak ada yang membantah serta tidak ada keraguan sedikit pun. Sebaliknya, mereka menganggap orang yang mengingkari dan tidak menerima kenyataan itu sebagai orang yang menyimpang dari petunjuk dan kebenaran.”[9]
Mereka (Ahlus Sunnah) pertengahan dalam masalah ancaman Allah[10], antara Murji’ah dan aliran Wa’idiyyah, dari kalangan Qadariyyah dan selain mereka.

Murji’ah adalah aliran yang sesat dan termasuk ahlul bid’ah. Berasal dari kata irja’ yang berarti pengakhiran, sebab mereka mengakhirkan (memisahkan) amal dari iman. Mereka mengatakan: “Suatu dosa tidak membahayakan selama ada iman, sebagai-mana suatu ketaatan tidak berguna selama ada kekafiran.” Menurut mereka, amal tidaklah termasuk dalam kriteria iman, serta iman tidak bertambah dan tidak pula berkurang.[11]

Wa’idiyyah adalah aliran yang sesat dan termasuk ahlul bid’ah, berasal dari kata wa’iid yang berarti ancaman. Mereka berpendapat bahwa Allah harus melaksanakan ancaman-Nya, sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur-an. Oleh karena itu, mereka berpendapat bahwa pelaku dosa besar, apabila ia wafat tanpa bertaubat, maka ia akan kekal di dalam Neraka, sebagaimana yang diancamkan oleh Allah terhadap mereka, sebab Allah tidak akan menyalahi janji-Nya.[12]

Sedangkan menurut pandangan Ahlus Sunnah bahwasanya seorang Muslim yang berbuat dosa besar akan mendapat ancaman dengan Neraka apabila ia tidak bertaubat, jika Allah menghendaki, Dia akan mengampuninya, dan jika Allah menghendaki, Dia akan menyiksanya di dalam Neraka, akan tetapi ia tidak kekal di Neraka.[13]
Ahlus Sunnah pertengahan dalam hal nama-nama iman dan agama, antara golongan Haruriyyah dan Mu’tazilah, serta antara kaum Murji’ah dan Jahmiyyah.

Haruriyyah adalah aliran sesat dan termasuk ahlul bid’ah. Berasal dari kata haruura’ (حَرُوْرَاءُ), yaitu suatu tempat di dekat Kufah. Haruriyyah termasuk salah satu sekte dalam aliran Khawarij. Dinamakan demikian karena di tempat itulah mereka ber-kumpul ketika mereka keluar (memberontak) dari kekhalifahan ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu. Menurut mereka, pelaku dosa besar ada-lah kafir dan di akhirat ia kekal di dalam Neraka.[14]

Mu’tazilah adalah aliran yang sesat dan termasuk ahlul bid’ah. Mereka adalah pengikut Washil bin ‘Atha’ dan ‘Amr bin ‘Ubaid. Dikatakan Mu’tazilah karena mereka mengeluarkan diri (‘itizal) dari kelompok kajian al-Hasan al-Bashri (wafat tahun 110 H) rahimahullah, atau karena mereka mengisolir diri dari pandangan sebagian besar ummat Islam ketika itu dalam hal pelaku dosa besar, karena menurut Washil bin ‘Atha’, pelaku dosa besar berada dalam status antara iman dan kafir, tidak dikatakan beriman dan tidak pula dikatakan kafir, atau disebut dengan istilah mereka: manzilah bainal manzilatain (tempat di antara dua kedudukan, tidak mukmin dan tidak kafir). Dan jika tidak bertaubat, maka ia di akhirat akan kekal dalam Neraka.[15]

Adapun menurut Ahlus Sunnah, pelaku dosa besar dari kaum Muslimin masih tetap disebut Mukmin karena imannya, hanya saja ia itu fasiq karena perbuatan dosa besarnya. Atau dikatakan ia itu Mukmin yang kurang imannya, sedang urusannya di akhirat -apabila belum bertaubat- adalah terserah Allah, jika Allah Azza wa Jalla menghendaki, akan disiksa-Nya (sesuai dengan keadilan-Nya) dan jika Dia menghendaki akan diampuni-Nya (sesuai dengan sifat kasih-Nya).[16]
Ahlus Sunnah juga pertengahan antara golongan Rafidhah dan Khawarij, dalam masalah Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Rafidhah adalah aliran yang sesat dan termasuk ahlul bid’ah. Berasal dari kata ‘Rafadha’, artinya menolak. Salah satu sekte di dalam aliran Syi’ah. Mereka bersikap berlebih-lebihan terhadap ‘Ali dan Ahlul Bait, serta mereka menyatakan permusuhan terhadap sebagian besar Sahabat, khususnya Abu Bakar dan ‘Umar Radhiyallahu anhuma. Disebut Rafidhah, karena mereka menolak untuk membantu serta mendukung Zaid bin ‘Ali bin al-Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib pada masa kepemimpinan Hisyam bin ‘Abdil Malik. Sebabnya, karena mereka meminta kepada Zaid supaya menyatakan tidak berpihak kepada Abu Bakar dan ‘Umar, beliau menolak dan tidak mau sehingga mereka pun menolak untuk mendukungnya. Oleh karena itu mereka disebut Rafidhah.[17]

Khawarij adalah aliran yang sesat dan termasuk ahlul bid’ah. Berasal dari kata kharaja yang berarti keluar. Suatu aliran yang menyempal dari agama Islam dan mereka keluar dari para Imam pilihan dari kaum Muslimin. Bahkan mereka mengkafirkan ‘Ali dan Mu’awiyah serta para pendukung keduanya. Mereka (Khawarij) disebut demikian karena menyatakan keluar dari kekhalifahan ‘Ali setelah peristiwa Shiffin. Prinsip Khawarij yang paling mendasar ada tiga, yang mereka telah menyimpang, sesat dan menyesatkan kaum Muslimin:

Pertama : Mengkafirkan ‘Ali bin Abi Thalib, ‘Utsman bin ‘Affan dan dua hakim[18] Radhiyallahu anhum.

Kedua : Wajib keluar (berontak) dari penguasa yang zhalim.

Ketiga: Pelaku dosa besar adalah kafir dan di akhirat kekal dalam Neraka.[19]

Firqah yang pertama kali keluar dari ummat Islam adalah Khawarij, merekalah yang pertama kali mengkafirkan kaum Muslimin dengan sebab dosa besar, dan mereka juga yang meng-halalkan darah kaum Muslimin dengan sebab itu.[20]

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]
_______
Footnote
[1] Firqah adalah kelompok atau golongan, aliran, pemahaman yang menyimpang dari pemahaman para Sahabat Radhiyallahu anhum. Mereka mempunyai prinsip dan kaidah da-lam beragama yang berbeda dengan prinsip ‘aqidah dan manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah

[2] Untuk lebih jelas tentang pertengahan Ahlus Sunnah di antara firqah-firqah yang sesat, bacalah kitab Wasathiyyah Ahlus Sunnah bainal Firaq karya Dr. Muhammad Bakarim Muhammad Ba’abdullah, cet. I- Daarur Rayah, th.1415H

[3] Majmuu’ Fataawaa (III/350) oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah

[4] Lihat Maqaalaat Islamiyyiin (juz I) oleh Abul Hasan al-Asy’ari, al-Farqu bainal Firaq (hal. 158), al-Milal wan Nihal (hal. 86-88) oleh Syahrastani, Syarhul ‘Aqiidah al-Waasithiyyah (hal 185) oleh Khalil Hirras, tahqiq as-Saqqaf, dan Wasathiyyah Ahlis Sunnah (hal. 296).

[5] Lihat Syarhul ‘Aqiidah al-Waasithiyyah (hal. 185) oleh Khalil Hirras, tahqiq as-Saqqaf, al-Farqu bainal Firaq (hal. 170-174) dan Wasathiyyah Ahlis Sunnah (hal. 317-318).

[6] Lihat Maqaalaatul Islamiyyiin (I/338), al-Milal wan-Nihal (hal. 85) oleh Syah-rastani dan Wasathiyah Ahlis Sunnah (hal. 374-375).

[7] Lihat al-Farqu bainal Firaq (hal. 79) oleh al-Khatib al-Baghdadi, tahqiq Muhyidin ‘Abdul Hamid, al-Milal wan-Nihal (hal. 43-45) oleh Syahrastani dan Wasathiyyah Ahlis Sunnah (hal. 378).

[8] Lihat Wasathiyyah (hal. 379) dan Minhaajus Sunnah (II/298).

[9] Aqiidatus Salaf Ash-haabil Hadiits (hal. 90 no. 118)

[10] Lihat pembahasan tentang al-Wa’du wal Wa’iid pada buku ini (hal. 374-380).

[11] Lihat al-Milal wan-Nihal (hal. 139) oleh Syahrastani, Wasathiyyah Ahlis Sunnah (hal. 294-295).

[12] Lihat Syarhul ‘Aqiidah al-Waasithiyyah (hal. 188) oleh Khalil Hirras, tahqiq as-Saqqaf dan Wasathiyyah Ahlus Sunnah (hal. 355-356).

[13] Wasathiyyah Ahlus Sunnah (hal. 357).

[14] Lihat Maqaalaatul Islamiyyiin (I/167) oleh Abul Hasan al-Asy’ari, tahqiq Muhyidin ‘Abdul Hamid, Majmu’ al-Fataawaa (VII/481-482) oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Syarhul ‘Aqiidah al-Waasithiyyah (hal. 190) oleh Khalil Hirras, tahqiq as-Saqqaf

[15] Lihat al-Farqu bainal Firaq (hal. 15), Wasathiyyah (hal. 296-297, 341-343).

[16] Lihat Wasathiyyah Ahlis Sunnah (hal. 346) dan Syarhul ‘Aqiidah al-Waasithiyyah (hal. 191) oleh Khalil Hirras, tahqiq as-Saqqaf

[17] Lihat Minhaajus Sunnah (I/34-36) oleh Syaikhul Islam, tahqiq Dr. Muhammad Rasyad Salim, Maqaalaatul Islamiyyiin (I/65, 88, 136) dan Wasathiyyah Ahlis Sunnah (hal. 405-418)

[18] Yang dimaksud dengan dua hakim adalah dua orang utusan untuk melerai perselisihan antara ‘Ali dan Mu’awiyah. Dari pihak ‘Ali diutus Abu Musa al-Asy’ari dan dari pihak Mu’awiyah diutus ‘Amr bin al-‘Ash, رضوان الله عليهم أجمعين.

[19] Lihat Maqaalaatul Islaamiyyiin (I/167-168), al-Milal wan-Nihal (hal. 114-115) oleh Syahrastani, Fat-hul Baari (XII/283-284) dan Wasathiyyah (hal. 290-291).

[20] Majmuu’ Fataawaa (III/349 dan VII/481) oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah

Ahlus Sunnah Menasehati Pemerintah Dengan Cara Yang Baik, Tidak Mengadakan Provokasi Dan Penghasutan

Abu Fathan | 17:49 | 0 comments
Prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah, tidak mengadakan provokasi atau penghasutan untuk memberontak kepada penguasa meskipun penguasa itu berbuat zhalim. Tidak boleh melakukan provokasi baik dari atas mimbar, tempat khusus atau pun umum dan media lainnya. Karena yang demikian menyalahi petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Salafush Shalih.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِي سُلْطَانٍ فَلاَ يُبْدِهِ عَلاَنِيَةً، وَلَكِنْ يَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوْبِهِ، فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَ إِلاَّ كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ.

“Barangsiapa yang ingin menasihati penguasa, janganlah ia menampakkan dengan terang-terangan. Hendaklah ia pegang tangannya lalu menyendiri dengannya. Jika penguasa itu mau mendengar nasihat itu, maka itu yang terbaik dan bila si penguasa itu enggan (tidak mau menerima), maka sungguh ia telah melaksanakan kewajiban amanah yang dibebankan kepadanya.”[1]

Jika sudah ada dalil yang shahih, maka wajib bagi seorang Muslim untuk taat kepada Allah dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hujjah itu terdapat pada hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih dan tidak boleh menolak hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan beralasan kepada perkataan ulama atau perbuatan satu kaum atau siapa saja.[2]

Ahlus Sunnah tidak suka dan tidak rela dengan kezhaliman dan kemunkaran yang dilakukan oleh penguasa atau lainnya. Akan tetapi cara mengingkari kemunkaran yang dilakukan oleh penguasa dan cara menasihati penguasa harus sesuai dengan petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan atsar Salafush Shalih.

Menjelek-jelekkan penguasa, membeberkan aibnya, menyebutkan kekurangannya, menampakkan kebencian kepadanya di hadapan umum atau melalui media lainnya dan mengadakan provokasi, hal tersebut bukan cara yang benar. Bahkan cara ini menyalahi petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, berdosa karena menyalahi Sunnah, menimbulkan kerusakan dan bahaya yang lebih besar serta tidak ada manfaatnya. Orang yang melakukan hal demikian akan dihinakan Allah pada hari Kiamat.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ أَكْرَمَ سُلْطَانَ اللهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى فِي الدُّنْيَا أَكْرَمَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ أَهَانَ سُلْطَانَ اللهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى فِي الدُّنْيَا أَهَانَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.

“Barangsiapa yang memuliakan penguasa di dunia, akan dimuliakan Allah di akhirat, dan barangsiapa yang menghinakan penguasa di dunia, maka Allah akan hinakan dia pada hari Kiamat.”[3]

Imam Ibnu ‘Ashim dalam kitabnya, As-Sunnah, memberikan bab: “Apa-apa yang diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memerintahkan untuk memuliakan penguasa dan melarang keras untuk menghinakannya.”[4]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh kita untuk bersabar terhadap kezhaliman penguasa. Dan dengan kesabaran itu Allah akan berikan ganjaran yang besar.

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيْرِهِ شَيْئًا فَلْيَصْبِرْ عَلَيْهِ, فَإِنَّهُ لَيْسَ أَحَدٌ مِنَ النَّاسِ خَرَجَ مِنَ السُّلْطَانِ شِبْرًا, فَمَاتَ عَلَيْهِ إِلاَّ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً.

“Barangsiapa yang tidak menyukai sesuatu dari pemimpinnya maka hendaklah ia bersabar terhadapnya. Sebab, tidaklah seorang manusia keluar dari penguasa lalu ia mati di atasnya, melainkan ia mati dengan kematian Jahiliyyah.”[5]

Ahlus Sunnah wal Jama’ah berpendapat bahwa mentaati pemimpin secara ma’ruf merupakan salah satu dasar utama ‘aqidah. Dari sini para imam Salaf memasukkannya dalam kategori ‘aqidah. Jarang sekali kitab ‘aqidah melainkan (pasti) menyebutkan dan menjelaskannya. Ketaatan ini termasuk kewajiban syar’i atas setiap muslim; karena ini merupakan perkara asasi untuk mewujudkan ketertiban dalam negeri Islam.

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]
_______
Footnote
[1] HR. Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah (II/507-508, bab Kaifa Nashiihatur Ra’iyyah lil Wulaat, no. 1096, 1097, 1098), Ahmad (III/403-404) dan al-Hakim (III/290) dari ‘Iyadh bin Ghunm Radhiyallahu anhu.

[2] Lihat kaidah ke-5 pada bab Kaidah dalam Mengambil Dalil dalam Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i

[3] HR. Ahmad (V/42, 48-49), dari Abi Bakrah, Nufai’ bin al-Harits Radhiyallahu anhuma. Hadits ini hasan, lihat Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (V/375-376).

[4] Lihat as-Sunnah (II/475-476) oleh Ibnu Abi ‘Ashim

[5] HR. Muslim (no. 1849 (56))

============

Mari kita perhatikan seksama pesan-pesan Rasulullah ﷺ berikut. Nasehat yang sangat cocok di zaman fitnah ini, seakan beliau berada di tengah-tengah kita.
Pertama, sabda Rasulullah ﷺ,
خِيَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ
Sebaik-baik pemimpin kalian adalah mereka mencintai kalian dan kalian mencintai mereka, mereka mendo’akan kalian dan kalian mendo’akan mereka. Dan seburuk-buruk pemimpin kalian adalah yang membenci kalian dan an membenci mereka, mereka mengutuk kalian dan kalian mengutuk mereka“.
Kemudian seorang sahabat bertanya kepada Nabi ﷺ apakah boleh pemimpin semacam itu kita perangi dengan pedang (memberontak). “Ya Rasulullah, tidakkah kita perangi saja mereka dengan pedang?”
Nabi ﷺ menjawab,
َِ لَا مَا أَقَامُوا فِيكُمْ الصَّلَاةَ وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلَاتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُونَهُ فَاكْرَهُوا عَمَلَهُ وَلَا تَنْزِعُوا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ
TIDAK…! Selagi mereka mendirikan shalat bersama kalian. Jika kalian melihat dari pemimpin kalian sesuatu yg tak baik maka bencilah tindakannya dan janganlah kalian melepaskan ketaatan kepada mereka” (HR. Muslim No.3447).
Kemudian dalam hadis dari sahabat Hudzaifah bin Yaman radhiyallahu’anhu disebutkan, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,
يَكُوْنُ بَعْدِيْ أَئِمَّةٌ، لاَيَهْتَدُوْنَ بِهُدَايَ، وَلاَ يَسْتَنُّوْنَ بِسُنَّتِيْ
Akan ada sepeninggalku nanti para penguasa yang merek tidak berpegang dengan petunjukku dan tidak mengikuti sunahku.
Apa yang kuperbuat bila aku mendapatinya?” Tanya sahabat Hudzaifah.
Rasulullah menjawab,
تَسْمَعُ وَتُطِيْعُ لِلأَمِيْرِ، وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ، فَاسْمَعْ وَأَطِعْ!
Hendaknya kamu mendengar dan taat kepada penguasa tersebut, walaupun punggungmu dicambuk (menyengsarakan rakyat) dan hartamu dirampas olehnya (seperti korupsi), dengarlah perintahnya dan taatilah” (Hadis shahih, diriwayatkan Imam Muslim no.1476, 1847. Sebagian ulama (diantara Syaikh Muqbil Al Wadi’i rahimahullah menerangkan bahwa kalimat “walaupun punggungmu dicambuk dan hartamu dirampas olehnya” adalah dho’if).
Kedua, hadis dari sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiallahu’anhu, beliau berkata, “Rasulullah ﷺ bersabda kepada kami,
َ إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ بَعْدِي أَثَرَةً وَأُمُورًا تُنْكِرُونَهَا
Kalian akan menyaksikan sikap-sikap egois (red. kezaliman penguasa seperti korupsi dan lain-lain) sepeninggalku, dan beberapa perkara yang kalian ingkari” .
Para sahabat bertanya, “Lantas bagaimana anda menyuruh kami ya Rasulullah?
Nabi menjawab,
أَدُّوا إِلَيْهِمْ حَقَّهُمْ وَسَلُوا اللَّهَ حَقَّكُمْ
Tunaikanlah hak mereka dan mintalah kepada Allah hakmu!” (HR. Bukhori).
Ketiga, diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu anhuma, dari Nabi ﷺ beliau bersabda :
مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ عَلَيْهِ فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الجَمَاعَةَ شِبْرًا فَمَاتَ، إِلَّا مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
Barangsiapa yang melihat pada pemimpinnya sesuatu yang ia benci, maka hendaklah ia bersabar atas hal tersebut. Karena barangsiapa yang memisahkan diri dari jama’ah (persatuan kaum muslimin) satu jengkal lalu ia meninggal dunia, ia meninggal dunia seperti mati jahiliyah” (HR Bukhari : 7054, Muslim : 1849).
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. BERITA SUNNAH - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger