{قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ ويَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ، وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ}

Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah (sunnah/petunjuk)ku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS Ali ‘Imran:31)

Hudud Dalam Syariat Islam

Abu Fathan | 22:38 | 0 comments

Sungguh, Syariat Islam adalah syariat yang indah, karena membedakan orang yang berbuat baik dengan orang berbuat buruk. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

أَفَنَجْعَلُ الْمُسْلِمِينَ كَالْمُجْرِمِينَ


Apakah patut Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan para pelaku dosa [ al-Qalam/68:35]


Islam juga merupakan syariat yang mulia dan perkasa, karena ia akan menjadi sangat ramah dan penuh rahmat terhadap pemeluknya yang taat, sebaliknya menjadi tegas, adil, dan bijaksana terhadap pemeluknya yang tidak menjalankan syariatnya. Allâh Azza wa Jalla berfirman :


نَبِّئْ عِبَادِي أَنِّي أَنَا الْغَفُورُ الرَّحِيمُ﴿٤٩﴾وَأَنَّ عَذَابِي هُوَ الْعَذَابُ الْأَلِيمُ


Kabarkanlah kepada hamba-hamba-Ku, bahwa sesungguhnya Aku-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, dan bahwa sesungguhnya azab-Ku adalah azab yang sangat pedih. [al-Hijr/15:49-50]


Dan Islam juga merupakan syariat yang rahmatan lil alamin, penuh rahmat dalam segala aturannya. Hanya saja bentuk rahmat tersebut berbeda-beda, antara mereka yang taat, dengan mereka yang maksiat. Ingatlah kembali firman-Nya :


وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ


Rahmat-Ku itu meliputi segala sesuatu [al-A’râf/7:156]


Begitu pula sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :


إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الْإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْء


Sesungguhnya Allâh menggariskan kebaikan pada segala sesuatu [HR Muslim, no. 3615]


Inilah kemuliaan dan keagungan Syariat Islam, namun demikian, para musuh Allâh Azza wa Jalla selalu ingin menjatuhkan Agama Islam, diantaranya dengan cara mencari-cari Syariat Islam yang dapat mereka jadikan sebagai sasaran kritikan untuk menjatuhkan, yang salah satunya adalah Syariat Hudûd.


Tulisan ini merupakan lanjutan dari tulisan sebelumnya, yang merupakan usaha kecil dari penulis untuk menjawab banyak syubuhat yang dikemukakan para musuh Allâh dalam menjatuhkan Syariat Hudûd tersebut. Semoga Allâh Azza wa Jalla memberikan taufiq-Nya kepada kita semua.


1. Penegakan Hudûd, hanya menambah bencana dan tidak akan memperbaiki keadaan.

Misalnya pada kasus pembunuhan, hukuman qishash tidak akan mengembalikan nyawa orang yang sudah mati, bahkan akan menambah jumlah kematian. Pada kasus perzinaan, hukuman cambuk atau rajam, tidak akan mengembalikan kehormatan si pelaku. Pada kasus orang yang murtad, hukuman potong leher, tidak akan mengembalikan agamanya.


Jawaban:


Sebagai seorang yang beriman, kita harus yakin bahwa Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya tidak akan memutuskan suatu hal, kecuali kemaslahatannya jauh lebih besar, dari pada mafsadatnya. Setiap ada perintah, pasti ada hikmah dan maslahat yang besar di baliknya, walaupun kadang akal sebagian orang tidak mampu menalarnya, karena keterbatasannya.

Kita harus tahu, bahwa syariat hudûd ini adalah keputusan Allâh Yang Maha Hikmah, dan keputusan itu tidak lain bersumber dari pengetahuan-Nya Yang Maha Luas, belum lagi Dia juga sangat menyayangi makhluknya melebihi sayangnya ibu kepada anaknya sebagaimana ditegaskan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam (HR. Bukhari: 5999 dan Muslim: 2754). Sungguh tidak mungkin, Allâh Yang Maha Hikmah, Yang Maha Luas Ilmu-Nya, dan sangat menyayangi makhluk-Nya, memutuskan sesuatu yang hanya menambah bencana saja. Sungguh tidak mungkin Dia memutuskan sesuatu yang mafsadatnya lebih besar daripada maslahatnya.


Sedangkan pemahaman yang mengatakan; bahwa syariat hudûd ini hanya menambah bencana, datangnya dari makhluk yang tidak ma’shum, nalarnya terbatas, dan sering menilai sesuatu berdasarkan kapasitas dan lingkungannya.


Jika demikian keadaannya, tentunya keputusan Allâh harus didahulukan, dan diyakini kemaslahatannya. Adapun ketidak-tahuan manusia tentang hikmah dan maslahat tertentu di baliknya, maka itu semua bersumber dari keterbatasan nalar manusia.


Dalam Syariat Islam -begitu pula dalam peraturan lainnya- suatu hukum tidak harus murni kemaslahatan, tapi sudah cukup apabila kemaslahatannya lebih besar daripada mafsadatnya. Misalnya ketika menerangkan tentang khamr dan judi yang diharamkan, Allâh Azza wa Jalla berfirman :

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ ۖ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا


Mereka bertanya kepadamu tentang khamer dan perjudian ? Katakanlah, “Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”. [al-Baqarah/2:219]


Dari ayat ini, kita dapat memahami bahwa diharamkannya khamr dan judi, tidak murni karena kemaslahatan, tapi ada juga mafsadatnya, walaupun prosentasinya lebih kecil. Mafsadat itu berupa hilangnya beberapa manfaat yang ada pada keduanya akibat dari larangan ini.


Begitu pula Syariat hudûd, itu tidaklah murni kemaslahatan, tapi ada mafsadatnya yang prosentasinya lebih kecil. Jika boleh dimisalkan dalam dunia dagang, maka itu seperti orang yang ingin meraih untung 100 juta dengan mengorbankan 10 juta, tentunya ia tetap melihat hal tersebut sebagai keuntungan besar, dan akan melangkah untuk mendapatkannya.


Lihatlah pada hukuman potong leher dalam qishash, memang harus ada yang dikorbankan, tapi itu akan menjaga nyawa orang banyak. Karena jika qishash tidak ditegakkan, sangat mungkin terjadi pertumpahan darah antara kedua belah pihak, dan tentunya akan mengorbankan lebih banyak jiwa yang tidak bersalah. Jika qishash tidak ditegakkan, maka pembunuhan akan mudah dan sering terjadi, karena minimnya rasa takut saat melakukan pembunuhan. Bukankah ini merupakan mafsadat yang sangat besar ? Tak diragukan lagi, mengorbankan satu nyawa yang bersalah, lebih baik daripada membiarkan nyawa banyak orang yang tidak bersalah menjadi korban ?!


Baca Juga  Rajam Dan Potong (Tangan/Kaki) Termasuk Aturan Allah yang Disyariatkan Untuk Hamba-Nya

Belum lagi maslahat untuk pelaku pembunuhan, dengan dibunuhnya ia sebagai qhisash, maka dosa akibat pembunuhannya telah tertebus, sehingga dia tidak akan disiksa lagi di akhirat karena dosa pembunuhannya itu, padahal kita tahu; siksa di akhirat jauh lebih berat dari pada siksa di dunia.


Juga, orang yang menyadari dan tahu pasti bahwa dirinya akan di bunuh atau diekskusi mati, biasanya akan mengisi sisa hidupnya dengan banyak beribadah dan banyak bertaubat. Ini juga merupakan maslahat lain yang sangat besar bagi si pelaku … Dan tentunya masih banyak maslahat lain yang tidak mungkin disebutkan semua dalam tulisan ini.


Lihat pula pada kasus perzinaan, hukuman cambuk dan rajam, akan bermanfaat bagi pelakunya, dan juga bagi masyarakat luas.


Dengan ditegakkannya hukuman itu kepada pelaku perzinaan, maka pelakunya akan terhapus dosa besarnya, dan pada hukuman cambuk, bila pelaku masih hidup, tentu ia juga akan jera untuk mengulanginya lagi.


Sedang diantara maslahatnya untuk masyarakat luas; mereka akan terbebas dari keburukan pelaku perzinaan. Mereka juga akan menjadi masyarakat terhormat, aman, dan tidak tergoda melakukan keburukan yang sama.


Adapun pada hukuman mati bagi orang yang murtad, maka hukuman mati itu akan berguna untuk menghentikan perbuatan buruknya. Kita sudah tahu, perbuatan buruk orang kafir akan semakin menambah siksanya di akhirat, sedang perbuatan baiknya akan sia-sia tanpa pahala.


Hukuman itu juga sangat berguna untuk melindungi agama dan akidah masyarakat luas, hukuman itu akan melindungi mereka dari kekufuran. Sehingga dengan demikian, berarti mereka akan terlindungi dari azab neraka yang abadi. Sungguh ini merupakan maslahat yang sangat besar bagi mereka. Bukankah tujuan utama hidup di dunia ini untuk beribadah ? Padahal setelah diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ibadah tidak akan diterima kecuali dengan agama Islam yang dibawa oleh beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam .


Ada juga hudud yang dapat mengembalikan kehormatan seseorang, misalnya haddul qadzf (hukuman cambuk 80 kali bagi orang yang menuduh orang lain berbuat zina, tapi dia tidak bisa mendatangkan 4 saksi saat diminta). Saat seseorang dituduh melakukan perzinaan, tentu nama baik orang itu akan jatuh dan hancur. Namun nama baiknya akan kembali saat tuduhan itu tidak terbukti, dan si penuduh mendapat hukuman cambuk di depan halayak ramai.

Begitu pula hukuman rajam, ia bahkan dapat meninggikan derajat orang yang dirajam tersebut menjadi sangat mulia. Renungkanlah sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada wanita dari Kabilah Ghamidi yang meminta ditegakkan hukuman rajam untuk dirinya :


لَقَدْ تَابَتْ تَوْبَةً لَوْ قُسِمَتْ بَيْنَ سَبْعِينَ مِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ لَوَسِعَتْهُمْ، وَهَلْ وَجَدْتَ تَوْبَةً أَفْضَلَ مِنْ أَنْ جَادَتْ بِنَفْسِهَا لِلَّهِ تَعَالَى؟!


Sungguh dia (wanita ini) telah bertaubat dengan suatu taubat yang jika taubat itu dibagikan kepada 70 orang penduduk Madinah, tentu akan cukup bagi mereka. Adakah engkau dapati taubat yang lebih afdhal (lebih baik) daripada taubatnya dengan menyerahkan dirinya kepada Allâh Azza wa Jalla ? [HR. Muslim: 3209]


2. Penegakan hudûd bertentangan dengan kebebasan hidup bermasyarakat, dan pemaksaan kehendak kepada orang yang tidak sependapat dengan hukum itu.


 Jawaban:


Islam sangat menghargai kebebasan, tapi kebebasan untuk berbuat baik, bukan kebebasan untuk berbuat buruk atau kejahatan. Dan penulis yakin, tidak ada aturan yang memberi kebebasan kepada semua orang untuk melakukan kejahatan. Itulah sebabnya banyak kita temukan sanksi-sanksi dalam setiap peraturan dan undang-undang.

Jadi tidak benar, jika dikatakan bahwa penegakan hudûd bertentangan dengan kebebasan hidup bermasyarakat secara mutlak. Yang benar, penegakan hudûd bertentangan dengan kebebasan melakukan kejahatan, dan itu ada dalam semua peraturan. Yang berbeda adalah, manakah yang dianggap sebagai perbuatan buruk ? Tentunya tidak ada yang lebih tahu jawaban dari pertanyaan ini melebihi Allâh Azza wa Jalla . Sehingga jika Allâh Azza wa Jalla telah memutuskan bahwa perbuatan ini buruk, dosa besar, dan ada hukumannya secara khusus, maka itulah yang benar dan harus didahulukan.


Demikianlah syariat hudûd ini, semua hukuman tersebut datang dari Allâh Azza wa Jalla , dan tidak ada yang lebih tahu tentang hukuman yang paling pantas untuk kejahatan itu melebihi Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Sehingga sudah seharusnya syariat hudûd ini diterapkan, tidak lain untuk mewujudkan kemaslahatan tertinggi bagi umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat.


Adapun pernyataan, “Penegakan hudûd ini merupakan pemaksaan kehendak kepada orang yang tidak sependapat”, maka itu hanyalah tuduhan yang berat sebelah. Kenapa hanya ditujukan kepada syariat hudûd ? Bukankah semua peraturan harus diterapkan pada semua individu yang berada di bawahnya ?! Siapakah yang rela kehilangan nyawa ibu, atau bapak, atau istri, atau suami, atau orang-orang tercinta lainnya tanpa ada balasan setimpal kepada pembunuhnya ?! Bukankah dengan menerapkan hukuman kurungan penjara saja juga merupakan pemaksaan kehendak kepada orang yang tidak sependapat ?!

Baca Juga  Adakah Hukuman Yang Sepadan Cambuk?

Bukankah memaksakan kehendak Allâh Azza wa Jalla – yang sudah pasti benarnya – itu lebih pantas, daripada memaksakan kehendak makhluk -yang sudah pasti salahnya jika menyelisihi keputusan Allâh Azza wa Jalla -?! Sungguh segalanya telah jelas, bagi mereka yang berpikir dengan hati nurani yang jernih.


3. Penegakan hudûd untuk mereka yang murtad, bertentangan dengan norma kebebasan beragama, dan pendorong tumbuhnya sifat munafik dan orang-orangnya.


Jawaban:


Tidak ada pertentangan antara norma kebebasan beragama dengan hukuman mati bagi orang yang murtad. Karena Islam tidak memaksa mereka yang belum masuk Islam untuk masuk Islam. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ ۖ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ


Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. [al-Baqarah/2:256]


وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَآمَنَ مَنْ فِي الْأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا ۚ أَفَأَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّىٰ يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ


Dan jikalau Rabbmu menghendaki, pastilah semua orang yang ada dimuka bumi beriman seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?! [Yunus/10:99]


وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ ۖ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ


Dan katakanlah, “Kebenaran itu datangnya dari Rabbmu; maka barangsiapa ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir”. [al-Kahfi/18:29]


لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ


Untukmu agamamu, dan untukku agamaku. [al-Kafirun/109:6]


Adapun bagi orang yang sudah masuk Islam, maka syariat Islam harus berlaku baginya, siapapun dia tanpa pandang bulu, dan diantara syariat tersebut adalah sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam :


مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ


Barangsiapa mengganti agamanya, maka bunuhlah dia [HR. Bukhâri, no. 2794]


Hukuman itu juga baru akan diterapkan, apabila si pelaku murtad telah dinasehati dan diminta untuk bertaubat, dengan harapan ia akan kembali menjadi muslim yang baik kembali.


Penegakan syariat Islam -yang diantaranya syariat hudûd-, adalah suatu keniscayaan. Itu tidak bisa ditinggalkan hanya karena akan menimbulkan sifat munafik dan orang-orangnya. Itulah yang dicontohkan oleh Rasûlullâh n semasa hidupnya, meski ada orang-orang munafik, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap menegakkan syariat hudûd ini.

Tidak benar pula, bahwa penegakan syariat hudûd ini, dapat mendorong sifat munafik dan orang-orangnya. Yang benar, jika Islam semakin kuat, maka semakin banyak orang yang takut menampakkan permusuhannya terhadap syariat Islam. Sebaliknya, saat Islam melemah, maka semakin banyak orang yang berani terang-terangan menjatuhkan Islam.

Dan kenyataan itu tidak menjadikan kita berusaha melemahkan Islam. Karena mafsadah lemahnya Islam dan terang-terangnya para musuh Allâh Azza wa Jalla menjatuhkan Islam, jauh lebih besar dan lebih berbahaya.


4. Hukuman dalam syariat hudûd sangat identik dengan kekerasan


Jawaban.


Kita tahu bahwa hukum hudûd merupakan hukuman bagi pelaku dosa-dosa besar. Hukuman-hukuman itu hanya dijatuhkan kepada pelaku kejahatan-kejahatan kelas tinggi, sehingga sangat tidak adil dan sangat tidak bijaksana, apabila hukumannya tidak keras.

Syariat Islam juga telah menempuh cara yang halus, dengan banyak memberikan nasehat dan menjanjikan pahala bagi mereka yang meninggalkan kejahatan-kejahatan tersebut, begitu pula memberikan ancaman-ancaman siksa akhirat bagi mereka yang tetap nekad melakukannya. Sehingga syariat hudûd ini memang dikhususkan bagi mereka yang sudah tidak mempan lagi dengan cara yang halus, sehingga memang harus diberikan hukuman yang keras.

Kita harus tahu juga bahwa hukuman dalam syariat Islam, tidak hanya berupa hudûd, ada juga hukuman ta’zîr yang bentuk dan penentuan kadarnya dikembalikan kepada keputusan seorang qadhi (hakim). Ta’zîr ini bisa berupa hukuman ringan, bisa pula berupa hukuman berat, tergantung jenis pelanggaran yang dilakukan. Namun syariat ta’zîr ini, hanya boleh diterapkan pada pelanggaran-pelanggaran yang belum ditentukan hukumannya dalam syari’at hudûd.

Intinya : orang yang mengatakan; “Hukuman dalam syariat hudûd sangat identik dengan kekerasan”, sama dengan orang yang mengatakan: “Hukuman untuk kejahatan kelas tinggi sangat identik dengan kekerasan”. Dan ini bukanlah kekurangan, sebaliknya ini merupakan kelebihan, karena itu berarti menentukan sanksi sesuai dengan kadar kejahatan yang dilakukan, dan tentunya Allâh-lah yang paling tahu tentang bentuk dan kadar hukuman tersebut.

Oleh Ustadz Musyaffa Ad-Dariny MA


Muhkam Dan Mutasyabih

Abu Fathan | 02:15 | 0 comments

 يُرْشِدُ الْقُرْآنُ إِلَى الرُّجُوْعِ إِلَى الأَمْرِ الْمُحَقَّقِ عِنْدَ وُرُوْدِ الشُّبُهَاتِ وَالتَّوَهُّمَاتِ

Al-Qur’an memberikan petunjuk agar kembali kepada perkara-perkara yang sudah diketahui pasti dan sudah terbukti kebenarannya ketika ada syubhat-syubhat atau keragu-raguan datang menghampiri

Syaikh Khalid al-Musaiqih hafizhahullâh mengatakan bahwa kaidah ini sangat bermanfaat dan penting bagi orang-orang yang ingin memahami al-Qur’ân dan hadits-hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Karena al-Qur’ân dan hadits-hadits itu terbagi menjadi dua kelompok besar yaitu :

1.Muhkam yaitu ayat atau hadits yang hanya memiliki satu makna, tidak mengandung kemungkinan-kemungkinan lain.

2.Mutasyabih yaitu ayat atau hadits yang maknanya belum jelas karena maknanya lebih dari satu.

Orang yang disodori atau mendapati nash yang masih belum jelas maksud dan maknanya, hendaknya tidak bingung dan tidak terkecoh serta tidak menggoyahkan keyakinannya terhadap ayat atau hadits yang muhkam yang hanya memiliki satu makna dan tidak mempunyai kemungkinan-kemungkinan lainnya. Hendaklah dia mengembalikan apa yang belum jelas baginya itu kepada sesuatu yang sudah jelas. Contoh yang mudah yaitu firman Allâh Azza wa Jalla :

قُلْ هُوَ اللّٰهُ اَحَدٌ

Katakanlah: “Dia-lah Allâh, yang Maha Esa [Al-Ikhlas/112:1]

Ayat ini secara gamblang dan jelas menyebutkan bahwa Allâh Azza wa Jalla itu esa (hanya satu), tidak berbilang. Namun dalam ayat lain disebutkan dengan kata ganti yang seakan memberikan kesan lebih dari satu, misalnya firman Allâh Azza wa Jalla :

اِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَاِنَّا لَهٗ لَحٰفِظُوْنَ

Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya [Al-Hijr/15:9] dan firman Allâh Azza wa Jalla yang semisalnya.

Ayat pertama hanya memiliki satu makna yaitu Allâh Azza wa Jalla esa, sementara ayat kedua bisa bermakna tunggal dan bisa juga bermakna lebih dari satu. Apakah kita tetap bingung dengan ayat yang kedua ataukah makna yang kedua dikembalikan ke makna ayat pertama ? Jawabnya kita kembalikan ke makna ayat yang pertama. Inilah metode yang ditempuh oleh orang-orang yang memiliki ilmu yang mendalam.

Yang menjadi dasar kaidah ini adalah keyakinan kaum Muslimin bahwa kalamullah dan sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak ada yang bertentangan. Tentang kalâmullâh, Allâh Azza wa Jalla berfirman :

اَفَلَا يَتَدَبَّرُوْنَ الْقُرْاٰنَ ۗ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللّٰهِ لَوَجَدُوْا فِيْهِ اخْتِلَافًا كَثِيْرًا

Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’ân ? kalau sekiranya al-Qur’ân itu bukan dari sisi Allâh, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. [An-Nisa’/4:82]

Sedangkan tentang sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوٰى ٣ اِنْ هُوَ اِلَّا وَحْيٌ يُّوْحٰىۙ

Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).[an-Najm/53:3-4]

Jadi kesimpulannya, tidak ada pertentangan pada keduanya.[2]

Kaidah di atas terkadang diungkapkan dengan bahasa lain yaitu sesuatu yang masih diragukan tidak bisa menolak (menghilangkan) sesuatu yang sudah diketahui pasti dan sesuatu yang tidak diketahui tidak bisa menandingi sesuatu yang sudah yakini.

Ketika Allâh Azza wa Jalla memberitakan tentang orang yang mendalam ilmunya, Allâh Azza wa Jalla menyebutkan bahwa diantara metode mereka dalam menyelesaikan hal-hal yang belum jelas yaitu mereka mengatakan :

اٰمَنَّا بِهٖۙ كُلٌّ مِّنْ عِنْدِ رَبِّنَا ۚ

Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Rabb kami [Ali Imran/3:7]

Ketika menjelaskan ayat ini, syaikh Abdurrahman bin Nashir as-sa’di rahimahullah mengatakan bahwa orang-orang yang mendalam ilmunya itu mengimani ayat-ayat mutasyabihât itu dan mereka mengembalikan pengertiannya kepada yang ayat muhkam sambil mengatakan, ‘Semua ayat-ayat yang muhkam dan mutasyabih itu datangnya dari Rabb kami. Dan semua yang datang dari Rabb, tidak akan ada yang saling bertentangan antara yang satu dengan yang lainnya, semua sejalan, sebagiannya membenarkan sebagian yang lainnya dan  saling mendukung.”[3]

Jadi perkara-perkara yang muhkamah menjadi pegangan untuk memahami perkara-perkara yang masih samar dan masih dalam bentuk dugaan-dugaan. Allâh Azza wa Jalla mengingatkan kaum Muslimin agar tidak mencela kaum Muslimin lainnya :

لَوْلَآ اِذْ سَمِعْتُمُوْهُ ظَنَّ الْمُؤْمِنُوْنَ وَالْمُؤْمِنٰتُ بِاَنْفُسِهِمْ خَيْرًاۙ وَّقَالُوْا هٰذَآ اِفْكٌ مُّبِيْنٌ

Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohong itu orang-orang mukminin dan mukminat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata, “Ini adalah suatu berita bohong yang nyata.” [an-Nûr/24:12]

Dalam ayat ini Allâh Azza wa Jalla memerintahkan kaum Muslimin agar mengembalikan hal-hal yang masih bersifat praduga kepada apa yang sudah mereka ketahui pasti yaitu saudara-saudara mereka itu masih memiliki keimanan yang bisa membantu dia menangkal semua keburukan. Hendaklah mereka memegang hal yang sudah pasti ini dan tidak memperdulikan perkataan orang-orang yang menafikan ataupun mencelanya. (Dengan demikian dia akan terhindar dari berburuk sangka kepada sesama Mukmin dan tidak mudah terpengaruh oleh berita-berita tentang saudaranya sesama Muslim-red.)

Allâh Azza wa Jalla juga berfirman :

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَكُوْنُوْا كَالَّذِيْنَ اٰذَوْا مُوْسٰى فَبَرَّاَهُ اللّٰهُ مِمَّا قَالُوْا ۗوَكَانَ عِنْدَ اللّٰهِ وَجِيْهًا

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang menyakiti Musa; Maka Allâh membersihkannya dari tuduhan-tuduhan yang mereka katakan. dan adalah dia seorang yang mempunyai kedudukan terhormat di sisi Allâh.  [Al-Ahzab/33:69]

Kedudukan Nabi Musa Alaihissallam yang terhormat disisi Allâh Azza wa Jalla mampu menolak semua aib dan kekurangan yang dinisbatkan kepadanya Alaihissallam oleh orang-orang yang ingin mengganggu dan menyakiti beliau Alaihissallam. Karena seseorang yang tidak akan mendapatkan kedudukan terhormat disisi Allâh Azza wa Jalla sampai dia benar-benar bersih dari kekurangan dan berhias dengan perhiasan kesempurnaan yang sesuai dengan sifat-sifat kesempurnaan yang dimiliki oleh para nabi yang masuk dalam Ulul azmi. Allâh Azza wa Jalla mengingatkan umat ini agar tidak menempuh jalannya orang-orang yang menyakiti dan mengganggu nabi Musa Alaihissallam padahal beliau Alaihissallam memiliki kedudukan terhormat disisi Allâh Azza wa Jalla . Jika mereka menempuh jalan itu, berarti mereka telah menyakiti salah seorang rasul termulia dan tertinggi kedudukannya disisi Allâh Azza wa Jalla .

Allâh Azza wa Jalla berfirman :

فَمَاذَا بَعْدَ الْحَقِّ اِلَّا الضَّلٰلُ

Maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan. [Yûnus/10:32]

Juga berfirman :

وَيَرَى الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْعِلْمَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ اِلَيْكَ مِنْ رَّبِّكَ هُوَ الْحَقَّۙ وَيَهْدِيْٓ اِلٰى صِرَاطِ الْعَزِيْزِ الْحَمِيْدِ

Dan orang-orang yang diberi ilmu (ahli kitab) berpendapat bahwa wahyu yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu, itulah yang benar dan menunjuki (manusia) kepada jalan Rabb yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji. [Saba’/34:6]

_______

Footnote

[1] Diangkat dari al-Qawâ’idul Hisân, kaidah ke-67

[2] Sampai disini penjelesan Syaikh Khalid al-Musaiqih terhadap kaidah ke-67 ini

[3] Tafsir Taisir al-Karimir Rahman


Hindari Tolok Ukur Kebenaran Ala Jahiliyah

Abu Fathan | 17:49 | 0 comments

Setiap kali mendengar kata-kata jahiliyah, maka tergambarlah di benak kita dengan berbagai kebiasaan buruk yang dilakukan manusia sebelum kedatangan Islam. Dan memang, semua yang dikaitkan dengan kata-kata jahiliyah, semuanya memiliki konotasi buruk dan kita dilarang mengikutinya.

Alhamdulillah, secara umum masa Jahiliyah itu sudah berakhir[1] seiring dengan diutusnya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rasul dengan membawa Al Qur`an sebagai pedoman hidup. Namun, ini bukan berarti semua tradisi jahiliyah juga sudah terkikis habis. Tradisi atau tabiat jahiliyah masih ditemukan pada diri seseorang atau satu kelompok tertentu, atau bahkan pada satu wilayah negara. Sebagaimana tersirat dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar ada seseorang menghina kawannya dengan ucapan “Hai anak wanita hitam!” Kemudian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menegurnya dengan bersabda: “Apakah engkau menghinanya karena ibunya?” Lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّكَ امْرُؤٌ فِيكَ جَاهِلِيَّةٌ

Sesungguhnya engkau manusia yang masih terjerat tabiat jahiliyah [HR Muslim].

Juga sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

أَرْبَعٌ فِي أُمَّتِي مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ لَا يَتْرُكُونَهُنَّ الْفَخْرُ فِي الْأَحْسَابِ وَالطَّعْنُ فِي الْأَنْسَابِ وَالنِّيَاحَةُ عَلَى الْمَيِّتِ وَالْاسْتِسْقَاءُ بِالنُّجُومِ

Ada empat perkara jahiliyah yang ada pada umatku, mereka tidak meninggalkannya ; yaitu mencaci keturunan, membanggakan kedudukan, meratapi orang meninggal dunia, serta mengaitkan turunnya hujan dengan bintang-bintang.[2]

Juga ketika terjadi pertengkaran antara seorang Anshar dan Muhajirin, lalu masing-masing mencari pendukung. Seseorang yang dari Anshar memanggil orang Anshar “hai, orang Anshar!” dan dari Muhajirin memanggil orang Muhajirin, dia berkata “wahai kaum Muhajirin”. Menanggapi kejadian tersebut, Rasulullah bersabda,”Apakah kalian masih bangga dengan semboyan jahiliyah, sementara aku masih berada di tengah kalian? Tinggalkanlah fanatisme itu, karena itu berbau busuk!”

Dari sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas, para ulama berpendapat, masih adanya tradisi jahiliyah yang melekat di tengah masyarakat. Sehingga para ulama bangkit menjelaskannya, agar masyarakat menjauhinya dan tetap istiqamah menempuh jalan Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Karena tradisi jahiliyah bertentangan dengan syariat yang dibawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Diantara tradisi jahiliyah yang diperingatkan oleh para ulama agar dijauhi, yaitu tradisi jahiliyah dalam menilai sebuah kebenaran dan sumber nilai itu sendiri. Islam mengajarkan kepada penganutnya agar meyakini dan mengamalkan semua yang diperintahkan dalam Al Qur’an dan Sunnah berdasarkan pemahaman Salafush Shalih. Begitu juga dalam menilai sesuatu itu benar atau tidak, Islam mengajarkan agar mejadikan Al Qur’an dan Sunnah tolok ukurnya. Berbeda dengan tradisi jahiliyah, mereka menjadikan pendapat nenek moyang serta pendapat mayoritas orang sebagai tolok ukur. Yang sejalan dianggap benar dan yang bertentangan dinilai salah.

Beralasan Dengan Kebiasaan Mayoritas Manusia, Tanpa Melihat Dalilnya
Diantara kebiasaan jahiliyah, yaitu terpedaya dengan pendapat mayoritas, menjadikannya sebagai standar menilai kebenaran. Suatu kebenaran didasarkan kepada pendapat mayoritas. Sebaliknya, pendapat minoritas dianggapnya sebagai kebathilan tanpa melihat dalil-dalilnya. Penilaian yang didasarkan dengan argumen seperti di atas tanpa melihat dalil yang mendukungnya, merupakan cara pandang bathil dan bertentangan dengan Islam. Allah berfirman.

وَإِن تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي اْلأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللهِ

Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalanNya [Al An’am/6:116].

وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَيَعْلَمُونَ

Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. [Al A’raf/7:187].

وَمَاوَجَدْنَا لأَكْثَرِهِم مِّنْ عَهْدٍ وَإِن وَجَدْنَآ أَكْثَرَهُمْ لَفَاسِقِينَ

Dan Kami tidak mendapati kebanyakan mereka memenuhi janji. Sesungguhnya Kami mendapati kebanyakan mereka orang-orang yang fasik. [Al A’raf/7:102].

Dan masih banyak lagi ayat lain yang menjelaskan hal itu.

Jadi, yang menjadi tolok ukur kebenaran bukanlah mayoritas ataupun minoritas, akan tetapi, seharusnya adalah kebenaran itu sendiri, meskipun pendapat ini dianut oleh satu orang saja. Jika mayoritas manusia berjalan di atas pendapat yang bathil, maka harus ditolak. Oleh sebab itu, para ulama berkata “kebenaran itu tidak bisa dikenali dengan manusia, tetapi justru manusia itu dikenali dengan kebenaran”. Siapapun yang berjalan di atas kebenaran, maka ia harus diikuti.

Ketika menceritakan umat-umat terdahulu, Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitahukan bahwa minoritas sering berada dalam kebenaran. Sebagaimana firman Allah :

وَمَآءَامَنَ مَعَهُ إِلاَّ قَلِيلٌ

Dan tidak beriman bersama dengan Nuh itu kecuali sedikit. [Hud/11:40].

Dalam sebuah hadits terdapat riwayat yang menjelaskan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam diperlihatkan tentang pengikut para nabi terdahulu. Ada nabi yang diikuti oleh beberapa orang saja. Ada yang hanya disertai oleh seorang saja, bahkan ada nabi yang tanpa pengikut.

Jadi tolok ukur kebenaran bukan karena jumlah pengikutnya yang besar, tetapi tolok ukurnya adalah kebenaran atau kebathilan yang menyertainya. Setiap yang benar meskipun pengikutnya sedikit, maka harus dipegang teguh. Itulah jalan keselamatan. Dan semua kebathilan, tidak bisa berubah menjadi benar hanya karena jumlah pengikutnya yang banyak. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

بَدَأَ الْإِسْلَامُ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ

Islam itu muncul sebagai agama yang asing dan suatu saat akan kembali asing sebagaimana pertama kali muncul.[3]

Maksudnya ketika kejahatan, fitnah dan kesesatan melanda manusia, yang tersisa berpegang teguh dengan kebenaran hanyalah segelintir orang yang dianggap asing, hanya beberapa gelintir orang dari suku-suku yang ada, sehingga menjadi asing di tengah masyarakat. Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus, umat manusia berada dalam kekufuran dan kesesatan. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tampil mengajak manusia, namun hanya diterima oleh beberapa orang saja, yang kemudian terus bertambah banyak. Suku Quraisy, seluruh tanah Arab, juga seluruh dunia berada dalam kesesatan. Sementara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri mengajak umat manusia kepada kebenaran, tetapi yang menerima dakwah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengikutinya sangat sedikit dibandingkan dengan jumlah manusia di seluruh dunia. Allah berfirman :

وَمَآأَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ

Dan sebahagian besar manusia tidak akan beriman, walaupun kamu sangat menginginkannya. [Yusuf/12:103].

وَإِن تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي اْلأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللهِ

Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalanNya.[Al An’am/6:116].

Berargumentasi dengan Pendapat Leluhur (Nenek Moyang) Tanpa Meneliti Sumber Pendapat Itu.
Ketika para rasul datang membawa kebenaran dari Allah Azza wa Jalla, kaum jahiliyah membantahnya dengan menggunakan pendapat nenek moyang mereka. Ketika Nabi Musa Alaihissallam mengajak Fir’aun agar beriman, Fir’aun berdalih dengan pendapat orang-orang kafir terdahulu. Ini merupakan argumen yang bathil dan alasan ala jahiliyah. Begitu pula jawaban kaum Nabi Nuh Alaihissallam ketika diajak untuk beriman kepada Allah Azza wa Jalla, mereka justru berkata sebagaimana tersebut di dalam Al Qur`an :

مَاهَذَآ إِلاَّبَشَرٌ مِّثْلَكُمْ يُرِيدُ أَن يَتَفَضَّلَ عَلَيْكُمْ وَلَوْ شَآءَ اللهُ لأَنزَلَ مَلاَئِكَةً مَّاسَمِعْنَا بِهَذَا فِي ءَابَآئِنَا اْلأَوَّلِينَ

Orang ini tidak lain hanyalah manusia seperti kamu, yang bermaksud hendak menjadi seorang yang lebih tinggi dari kamu. Dan kalau Allah menghendaki, tentu Dia mengutus beberapa orang malaikat. Belum pernah kami mendengar (seruan yang seperti) ini pada masa nenek moyang kami yang dahulu. [Al Mukminun/23:24]

Mereka menolak dakwah Nabi Nuh Alaihissallam dengan pendapat nenek moyang mereka yang disangka benar. Adapun ajaran yang dibawa Nabi Nuh Alaihissallam dianggap salah, juga karena bertentangan dengan pendapat nenek moyang mereka. Begitu juga orang-orang kafir Quraisy ketika menyanggah dakwah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka mengatakan:

مَاسَمِعْنَا بِهَذَا فِي الْمِلَّةِ اْلأَخِرَةِ إِنْ هَذَآ إِلاَّ اخْتِلاَقٌ

Kami tidak pernah mendengar hal ini (mengesakan Allah) dalam agama yang terakhir; ini tidak lain hanyalah(dusta) yang diada-adakan. [Shad/38:7].

Maksud dari agama yang terakhir ialah, ajaran nenek moyang mereka. Ajaran yang dibawa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dianggap merupakan dusta. Mengapa? Tidak lain karena bertentangan dengan ajaran nenek moyang orang-orang Quraisy yang menyembah berhala. Mereka tidak kembali kepada agama kakeknya, yaitu Ibrahim Alaihissallam dan Ismail Alaihissallam. Tetapi justru menyanggahnya dengan merujuk kepada nenek moyang mereka yang lebih muda. Maksudnya bapak-bapak dan kakek-kakek mereka di Mekkah, yaitu orang-orang kafir Quraisy. Itulah kebiasaan orang-orang kafir jahiliyah, yaitu beralasan dengan orang-orang terdahulu, tanpa melihat sumber pengambilannya.

Padahal, semestinya orang yang berakal memperhatikan ajaran para rasul, lalu membandingkannnya dengan ajaran nenek moyangnya, agar tampak jelas antara yang haq dan yang bathil. Menutup diri sembari mengatakan “kami hanya menerima pendapat nenek moyang kami saja dan tidak menerima pendapat yang bertentangan dengannya” ini, bukanlah tradisi orang-orang yang berakal, lebih-lebih bagi yang menginginkan kesalamatan.

Sekarang ini, bila penyembah kubur dilarang melakukannya, biasanya mereka mengatakan, “ini merupakan tradisi di negeri fulan”, “ini kebiasaan anggota jama’ah fulan”, atau “inilah kebiasaan orang-orang terdahulu”. Begitu juga orang-orang yang terbiasa merayakan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bila dilarang, mereka akan membantah “ini sudah dilakukan oleh orang-orang sebelum kami, kalau memang perayaan ini bathil, tentu tidak akan mereka lakukan”.

Inilah di antara hujjah ala jahiliyah. Menjadi jelaslah bagi kita, bahwa yang boleh dijadikan sebagai ukuran hanyalah Al Qur`an, Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat yang mendapat bimbingan langsung dari Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Itulah tolok ukur kebenaran yang benar. Yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pasti benar. Allah tidak pernah menyuruh manusia mengikuti nenek moyangnya. Kalaulah tradisi nenek moyang sudah cukup bagi kita, tentu Allah Azza wa Jalla tidak akan mengutus seorang rasul ke dunia.

(Diangkat dari kitab Syarh Masail Jahiliyah, Karya Syaikh Shalih Fauzan bin Abdullah Al Fauzan)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun IX/1426H/2005M. ]
______
Footnote
[1] Lihat Syarh Masail Jahiliyah, hlm. 14.
[2] HR Bukhari dengan ringkas dan Muslim, dan lafazh dari Muslim no. 934.
[3] Dikeluarkan oleh Imam Muslim, no. 146.

Berpegang Dengan Kebenaran

Abu Fathan | 21:59 | 0 comments

Berpegang dengan Kebenaran, Tanpa Mengkonfrontasikannya dengan Perkataan Manusia.

Allah Azza wa Jalla berfiman

هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ

Dia-lah yang mengutus Rasulnya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas segala agama-agama, meskipun orang-orang musyrik benci. [As-Shaf/61 : 9]

Dalam ayat ini, Allah memberikan nikmat kepada semua manusia dengan mengutus Rasul dan Nabi terbaik kepada mereka dengan membawa sebaik-baik kitab dan risalahNya; yang mencakup penjelasan antara yang haq dan bathil, ilmu yang bermanfaat, amal shalih dan semua yang dibutuhkan oleh hamba demi kemaslahatannya di dunia dan akhirat, agar Allah meninggikan di atas semua agama dengan hujjah (argumen) dan penjelasan, dan agar Allah memenangkan orang-orang yang teguh melaksanakannya dengan pedang dan panah.

Allah memerintahkan kepada kaum mukminin agar berpegang teguh dengan agama yang benar dan manhaj yang jelas ini, dalam semua urusan mereka, supaya mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Allah memperingatkan kepada mereka agar tidak berpaling atau berpegang dengan agama yang lain. Allah Azza wa Jalla berfirman.

اتَّبِعُوا مَآأُنزِلَ إِلَيْكُم مِّن رَّبِّكُمْ وَلاَتَتَّبِعُوا مِن دُونِهِ أَوْلِيَآءَ قَلِيلاً مَاتَذَكَّرُونَ

Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabb-mu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selainNya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (dari padanya). [Al-A’raf/7 : 3].

Para ahli tafsir mengatakan, yang dimaksud (dengan kata مَآ , red) adalah Al Qur’an dan Sunnah ; karena ia sebagai penjelas dan tafsir bagi Al Qur’an.

Firman Allah Azza wa Jalla:

وَلاَتَتَّبِعُوا مِن دُونِهِ أَوْلِيَآءَ

dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selainNya

Maksudnya ialah janganlah kalian menjadikan mereka sebagai pemimpin dan mengikuti hawa nafsu mereka dan meninggalkan al haq karenanya.

Banyak dalil-dalil syara’, atsar dari para sahabat, para tabi’in dan para imam kaum muslimin yang memotivasi agar berpegang teguh dengan wahyu dan petunjuk yang dibawa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa membantahnya dengan perkataan manusia, meskipun orang itu memiliki derajat dan kedudukan tinggi. Apalagi sampai mendahulukan perkataan dan pendapat mereka daripada firman Allah Azza wa Jalla dan sabda Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Bagi setiap mukallaf, wajib untuk mengikuti kebenaran apabila jelas baginya tanpa tergantung kepada seseorang dalam menerima kebenaran. Banyak nash-nash (teks-teks) yang menunjukkan, bahwa jalan keselamatan bisa dicapai dengan berpegang kepada kebenaran, bukan kepada pribadi-pribadi (tertentu, red). Berdasarkan dengan kebenaran, perkataan-perkataan dan pendapat-pendapat itu ditimbang, sehingga menjadi jelas benar atau salahnya suatu perkataan dan pendapat.

Adapun bergantung kepada orang-orang tertentu, mengikuti perkataan, pendapat dan ijtihad mereka kemudian langsung menerimanya tanpa melihat kesesuaiannya dengan kebenaran yang dibawa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Allah, maka demikian ini merupakan cara yang berbahaya dan bertentangan dengan petunjuk Salafush Shalih.

Dikatakan oleh Imam Syatibi, ”Menjadikan seseorang sebagai hakim, tanpa memandang keberadaannya sebagai perantara hukum syar’i yang dituntut secara syar’i, sesungguhnya merupakan kesesatan. Dan hujjah penentu dan hakim tertinggi adalah syari’at, bukan yang lainnya. Kemudian kami katakan, demikianlah manhaj para sahabat Rasulullah, dan siapa saja yang membaca sejarah dan nukilan-nukilan dari mereka serta mempelajari keadaan mereka, pasti akan mengetahui hal ini dengan ilmu yang yakin.”

Beliau juga berkata,”Sungguh, kebanyakan orang tersesat akibat berpaling dari dalil-dalil dan (kemudian) bergantung kepada manusia. Mereka keluar dari (pemahaman, pent) para sahabat dan tabi’in. Mereka memperturutkan hawa nafsu dengan tanpa ilmu, sehingga keluar dari jalan yang lurus.”

Beliau juga mengatakan, bahwa mengekor kepada pribadi-pribadi merupakan ciri orang sesat.

Dalil-Dalil Wajibnya Berpegang Kepada Kebenaran
Di bawah ini, terdapat beberapa dalil syari’i dan atsar-atsar tentang kewajiban berpegang teguh kepada kebenaran dan mengenyampingkan ketergantungan kepada pribadi-pribadi tertentu.

Allah Azza wa Jalla berfirman,

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَتُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ سَمِيعٌ عَلِيمُُ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan RasulNya. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. [Al Hujurat/49 : 1].

Syaikh Abdurrahman As Sa’di berkata, ”Ayat ini memuat adab kepada Allah, RasulNya, mengagungkan, menghormati serta memuliakanNya. Allah memerintahkan kepada kaum mukminin dengan sesuatu yang menjadi konsekwensi keimanan mereka kepada Allah dan RasulNya. Yaitu dengan menjalankan perintah-perintah Allah dan menjauhi laranganNya. Dan hendaknya mereka berjalan mengikuti perintah Allah, mengikuti  sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam semua urusan, tidak mendahului Allah dan RasulNya; tidak mengatakan sesuatu, sehingga Allah mengatakannya. Mereka tidak memerintahkan, sehingga Allah memerintahkannya.

Disini juga terdapat larangan yang keras mendahulukan perkataan selain Rasulullah daripada sabdanya. Apabila sunnah Rasulullah telah jelas, maka wajib mengikuti dan mendahulukannya daripada perkataan yang lainnya, siapapun juga.

Allah Azza wa Jalla berfirman.

وَمَا مُحَمَّدٌ إِلاَّ رَسُولُُ قَدْ خَلَتْ مِن قَبْلِهِ الرُّسُلُ أَفَإِن مَّاتَ أَوْ قُتِلَ انقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ وَمَن يَنقَلِبُ عَلَى عَقِبَيْهِ فَلَن يَضُرَّ اللهَ شَيْئًا وَسَيَجْزِي اللهُ الشَّاكِرِينَ

Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad). Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun; dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur. [Ali Imran/3 : 144].

Syaikh Abdurrahman As Sa’di mengatakan : “Dalam ayat yang mulia ini terdapat petunjuk dari Allah untuk para hamba agar kokoh dalam satu kondisi, tidak goyah keimanannya atau sebagian konsekwensi keimanannya akibat kevakuman pemimpin, walaupun itu sulit. Demikian ini tidak dapat direalisir, kecuali dengan mempersiapkan semua urusan agama dengan sejumlah orang yang memiliki kemampuan. Apabila hilang salah satunya, maka ada orang lain yang menggantikan. Dan hendaknya semua kaum mukmin memiliki tujuan menegakkan agama Allah dan berjihad semampunya. Dan hendaknya mereka tidak memiliki tendensi pemimpin tertentu, dengan demikian semua urusan mereka menjadi stabil”.

Hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكِتَابٍ أَصَابَهُ مِنْ بَعْضِ أَهْلِ الْكُتُبِ فَقَرَأَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَغَضِبَ فَقَالَ أَمُتَهَوِّكُونَ فِيهَا يَا ابْنَ الْخَطَّابِ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ جِئْتُكُمْ بِهَا بَيْضَاءَ نَقِيَّةً لَا تَسْأَلُوهُمْ عَنْ شَيْءٍ فَيُخْبِرُوكُمْ بِحَقٍّ فَتُكَذِّبُوا بِهِ أَوْ بِبَاطِلٍ فَتُصَدِّقُوا بِهِ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ مُوسَى صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ حَيًّا مَا وَسِعَهُ إِلَّا أَنْ يَتَّبِعَنِي

Umar bin Khathab (datang) kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sambil membawa sebuah kitab yang ia dapatkan dari sebagian Ahli Kitab. Kemudian Nabi dibacakan kitab tersebut. Nabi marah dan bersabda,”Apakah engkau merasa bingung dengan apa yang ada di dalamnya, wahai putra Khathab? Demi Dzat, yang jiwaku berada di tanganNya. Sungguh aku telah datang kepada kalian dengan membawa sesuatu yang jelas. Janganlah kalian bertanya kepada Ahli Kitab tentang satu hal, karena (mungkin, red) mereka akan memberitahu kalian satu kebenaran, akan tetapi kalian mendustakannya. Atau mereka mengabarkan satu kebatilan, akan tetapi kalian percaya. Demi Dzat, yang jiwaku berada di tanganNya. Seandainya Musa masih hidup, maka wajib baginya untuk mengikutiku.[1]

Dari Anas bin Malik berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

لَا تَعْجَبُوا بِعَمَلِ أَحَدٍ حَتَّى تَنْظُرُوا بِمَا يُخْتَمُ لَهُ فَإِنَّ الْعَامِلَ يَعْمَلُ زَمَانًا مِنْ دَهْرِهِ أَوْ بُرْهَةً مِنْ دَهْرِهِ بِعَمَلٍ صَالِحٍ لَوْ مَاتَ عَلَيْهِ دَخَلَ الْجَنَّةَ ثُمَّ يَتَحَوَّلُ فَيَعْمَلُ عَمَلًا سَيِّئًا وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيَعْمَلُ زَمَانًا مِنْ دَهْرِه بِعَمَلٍ لَوْ مَاتَ عَلَيْهِ دَخَلَ النَّارَ ثُمَّ يَتَحَوَّلُ فَيَعْمَلُ عَمَلًا صَالِحًا فَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِعَبْدٍ خَيْرًا اسْتَعْمَلَهُ قَبْلَ مَوْتِهِ فَوَفَّقَهُ لِعَمَلٍ صَالِحٍ

Janganlah kalian merasa heran dengan amalan seseorang, sehingga kalian melihat amalan akhir hayatnya, karena mungkin seseorang beramal pada suatu waktu dengan amalan yang shalih, yang seandainya ia mati, maka ia masuk surga. Akan tetapi ia berubah dan mengamal perbuatan yang jelek. Dan mungkin seseorang beramal pada suatu waktu dengan suatu amalan jelek, yang seandainya ia mati, maka akan masuk neraka. Akan tetapi ia berubah dan beramal dengan amalan shalih. Maka apabila Allah menginginkan satu kebaikan kepada seorang hamba, Allah akan menunjukinya sebelum ia meninggal dan memberikan taufik kepadanya untuk beramal shalih.[2]

Juga dari beliau, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

لَا عَلَيْكُمْ أَنْ لَا تَعْجَبُوا بِأَحَدٍ حَتَّى تَنْظُرُوا بِمَ يُخْتَمُ لَهُ

Janganlah kalian merasa heran dengan seseorang sampai kalian mengetahui dengan amal apa ia mengakhiri hidupnya.[3]

Juga dari beliau.

يَخْرُجُ فِيكُمْ أَوْ يَكُوْنُ فِيكُمْ قَوْمٌ يَتَعَبَّدُونَ وَيَتَدَيَّنُوْنَ حَتَّى يُعْجِبُوكُم وَتُعْجِبُهُمْ أَنْفُسُهُمْ يَمْرُقُونَ مِنْ الدِّينِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنْ الرَّمِيَّةِ

Akan keluar atau akan ada pada kalian satu kaum yang beribadah dan taat beragama, sehingga kalian merasa takjub dengan mereka dan mereka bangga dengan diri mereka. Mereka keluar dari agama seperti keluarnya anak panah dari busurnya.[4]

Tiga Hal yang Menghancurkan Agama
Dari Umar bin Khathab, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

ثَلاَثٌ يَهْدِمَنَّ الدِّيْنَ : زَلَّةُ عَالِمٍ وَجِدَالُ مُنَافِقٍ بِالْقُرْآنِ وَأَئِمَّةٌ مُضِلَّوْنَ

Tiga hal yang menghancurkan agama ; kesalahan seorang ‘alim, perdebatan orang munafiq dengan menggunakan Al Qur’an dan para imam yang menyesatkan.[5]

Dari Abu Darda, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

إِنَّ مِمَّا أَخْشَى عَلَيْكُمْ زَلَّةَ الْعَالِمِ وَجِدَالَ الْمُنَافِقِ بِالْقُرْآنِ وَالْقُرْآنُ الْحَقُّ وَعَلَى الْقُرْآنِ مَنَارٌ كَأَعْلاَمِ الطَّرِيْقِ

Sesungguhnya diantara yang aku khawatirkan atas kalian, adalah kesalahan orang yang ‘alim, perdebatan orang munafiq dengan Al Qur’an. Sementara Al Qur’an adalah sebuah kebenaran, di atasnya ada cahaya seperti rambu-rambu bagi jalan.[6]

Dan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu, dia mengatakan,”Celakalah orang-orang yang mengekor karena kesalahan-kesalahan orang ‘alim.” Beliau ditanya : “Bagaimana itu bisa terjadi?” Ia berkata,”Seorang ‘alim berkata tentang sesuatu berdasarkan pendapatnya, kemudian sang pengikut mendapatkan orang yang lebih tahu tentang Rasulullah dari imamnya, tapi ia meninggalkan perkataan orang yang lebih tahu tersebut, kemudian pengikut itu berlalu.”

Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu berkata,”Janganlah kalian mengambil seseorang sebagai tauladan, karena kadang seseorang beramal dengan amalan ahli surga, kemudian ia berbalik karena ilmu Allah dan beramal dengan amalan ahli neraka, kemudian ia mati, sehingga menjadi ahli neraka. Dan kadang seseorang beramal dengan amalan ahli neraka, kemudian ia berbalik karena ilmu Allah dan beramal dengan amalan ahli surga, kemudian ia mati, lalu ia menjadi ahli surga. Kalaupun engkau harus mengikuti seseorang, maka ikutilah orang-orang yang sudah mati bukan orang yang masih hidup[7].

Tauladan Terbaik
Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu berkata,”Ingatlah. Jangan sekali-kali salah seorang diantara kalian bertaqlid kepada seseorang dalam masalah agama; jika panutannya beriman, ia ikut beriman; dan jika panutannya kufur, ia ikut kufur. Sesungguhnya tidak ada tauladan pada manusia”.

Beliau juga berkata: “Barangsiapa diantara kalian yang ingin menjadikan seseorang sebagai panutan, maka jadikanlah orang yang sudah mati sebagai panutan. Karena yang masih hidup tidak aman dari fitnah. Mereka (yang sudah mati itu, red) adalah para sahabat Rasulullah. Mereka adalah orang-orang yang paling utama (generasi terbaik) dari umat ini, hati mareka paling bertaqwa, paling dalam ilmunya, dan paling sedikit menyusahkan diri. Allah memilih mereka untuk menemani NabiNya, menegakkan agamaNya. Maka, fahamilahlah keutamaan mereka dan ikutilah jejak mereka. Sesungguhnya mereka berada diatas jalan yang lurus.”

Abdullah bin Mubarak berkata,”Bisa jadi seseorang yang memiliki kebaikan dan atsar yang baik dalam Islam, terjatuh kepada kekeliruan dan kesalahan, maka janganlah diikuti kesalahan serta kekeliruan orang tersebut.”

Imam Malik berkata: Tidaklah setiap perkataan orang itu harus diikuti, walaupun ia memiliki keutamaan, berdasarkan Allah berfirman.

الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ

Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. [Az Zumar/39 : 18].

Az- Zuhri berkata : Para ulama kita terdahulu mengatakan,”Berpegang teguh dengan Sunnah adalah keselamatan, dan ilmu akan dicabut dengan cepat. Hidupnya ilmu, berarti kekokohan agama dan dunia, sedangkan hilangnya ilmu, berarti kepunahan semua itu.”

Al-Auza’i mengatakan, ”Dikatakan, lima hal yang ditempuh oleh sahabat Nabi dan para tabi’in ; berpegang teguh dengan jama’ah, mengikuti Sunnah, memakmurkan masjid, membaca Al Qur’an dan berjihad dijalan Allah.”

Mujahid mengatakan,’Tidak ada seorangpun perkataannya (boleh, red) diambil dan ditinggalkan, kecuali Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Ibnu Khuzaimah berkata,”Tidaklah ada seseorangpun yang boleh berkata, kecuali bila telah benar kabar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Berpegang Teguh dengan Sunnah
Selayaknya bagi yang ingin mencari kebenaran dan mengikuti Sunnah agar mengikatkan dirinya dengan dasar yang agung dan jalan yang jelas ini. Yaitu berpegang teguh dengan Sunnah dan peri hidup para salafush shalih, berupa pengagungan terdahap dalil-dalil dan tidak mempertentangkannya dengan perkataan sipapun, apalagi mendahulukan perkataan orang atas dalil tersebut. Dan hendaknya tidak tertipu dengan kebaikan seseorang ataupun dengan amalan seseorang. Karena orang yang masih hidup tidak aman dari fitnah. Sesungguhnya sebaik-baik orang yang diikuti adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, yang Allah telah memberikan tazkiyah (pengakuan, red.) kepada mereka.

Allah telah berfirman di dalam kitabNya dan Nabi telah wafat. Dia ridha atas mereka dan para tabi’in yang mengikuti mereka dengan baik. Rasulullah telah bersabda tentang mereka.

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ

Sebaik-baik generasi adalah generasiku, kemudian yang setelahnya, kemudian yang setelahnya. [Muttafaq ‘alaih]

Semoga bermanfaat.

(Diterjemahkan dari majalah Al-Furqan, Edisi 254-255 oleh Adi Abdul Jabbar)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun VIII/1425H/2004M. Oleh Syaikh Rabi bin Hadi Al-Madkhali]
______
Footnote
[1] HR Ahmad, Ibnu Abi Ashim, dan dinyatakan hasan oleh Al Albani
[2] Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Ashim dalam kitab As Sunnah 1/174. Syaikh Al Albani mengatakan : Sanadnya shahih
[3] Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Ashim, Syaikh Al Albani mengatakan : Sanadnya shahih
[4] Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Ashim, Syaikh Al Albani mengatakan : Sanadnya shahih
[5] Dikeluarkan oleh Ibnu Abdil Barr dalam kitab Jami’ Bayan Ilmu wa Fadlihi
[6] Dikeluarkan oleh Ibnu Abdil Barr dalam kitab Jami’ Bayan Ilmu wa Fadlihi
[7] Al Jami’, Ibnu Abdil Barr

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. BERITA SUNNAH - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger