{قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ ويَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ، وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ}

Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah (sunnah/petunjuk)ku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS Ali ‘Imran:31)

Hanya Ada Satu Kebenaran

Abu Fathan | 23:00 | 0 comments
Oleh Ustadz Fariq Qasim Anuz

Permasalahan ini penting untuk diketahui oleh setiap muslim, lebih-lebih mereka yang berkiprah di bidang dakwah. Sebenarnya, pembahasan ini memuat suatu kaidah yang sangat dikenal oleh ulama salaf, tetapi menjadi asing di masa sekarang ini.

Kaidah itu berbunyi : Kebenaran itu satu. Kaidah ini berlaku dalam masalah-masalah ijtihadiyah yang diperselisihkan oleh ulama ahlus sunnah wal jama’ah.

Diharapkan risalah ini dapat menjadikan kita untuk mudah rujuk kepada kebenaran dalam masalah khilafiyah ijtihadiyah dan membuang sikap taklid buta serta tidak tabu untuk membicarakan masalah khilafiyah. Kedua diharapkan dari risalah ini agar kita toleran dengan saudara-saudara kita yang mempunyai pendapat yang berbeda selama perbedaan ini dalam hal ijtihadiyah bukan perbedaan aqidah atau yang bersifat prinsip. Agar kita toleran dengan saudara-saudara kita yang mempunyai pendapat berbeda selama kita semua tidak mengikuti hawa nafsu dan sudah optimal berusaha untuk mencapai kepada kebenaran.

PERMASALAHAN IKHTILAF/ KHILAFIYAH
Perlu diketahui bahwa yang saya maksud dengan ikhtilaf di sini adalah ikhtilaf tadladl, yaitu perbedaan pendapat yang saling menafikan (bertentangan). Di dalam ikhtilaf seperti ini yang benar hanya satu.

Ada juga macam ikhtilaf yang lain, yaitu ikhtilaf tanawwu’. Di dalam ikhtilaf tanawwu’ semua pendapat benar, seperti :
1. Dua perkara atau perbuatan yang disyari’atkan, seperti macam-macam do’a iftitah, bacaan sujud dan lainnya. Untuk bentuk seperti ini kadang-kadang salah satunya ada yang lebih utama.

2. Dua lafadz yang berbeda tetapi mempunyai makna yang sama atau mendekati. Contoh surat Al-Fatihah disebut juga dengan Ummul Kitab, aqiqah sama dengan nasikah. Kata “qadla”dalam firman Allah:

وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ

"Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia “ [al-Isra/17 : 23]

Ibnu Abbas berkata “qadla” berarti “ memerintahkan “, Mujahid mengatakan “ mewasiatkan “, Rabi bin Anas mengatakan “ mewajibkan “. Kata-kata “ memerintahkan “, “mewasiatkan“ dan “mewajibkan” mempunyai makna yang hampir sama.

3. Dua lafazh dengan makna berbeda, tetapi tidak saling menafikan bahkan saling melengkapi atau mencakup semua di dalamnya. Contoh kata “ an na’iim “ dalam firman Allah :

ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ

"Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu)." [at-Takatsur/102 : 8]

Sebagian ahli tafsir mengatakan “ an na’iim “ bermakna keamanan, kesehatan, kecukupan dalam makanan dan minuman. Sebagian mengatakan ringannya syari’at dan sebagian lagi mengatakan nikmat pendengaran dan penglihatan.
Dari sini jelas bahwa ikhtilaf tanawwu’ semuanya benar.

Untuk ikhtilaf tanawwu’, tidak boleh seseorang menyalahkan salah satunya. Syaikhul Islam mengatakan, “ Hanya kejahilan dan kezhaliman yang menjadikan seseorang mencela salah satunya atau lebih mengutamakan salah satunya tanpa maksud yang baik, atau tanpa ilmu atau tanpa keduanya. [1] 

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا

"Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh" [al-Ahzab/33 : 72]

Allah Subhanahu wa Ta'ala melarang kita berselisih dan mencela perselisihan dalam ayat-ayatNya diantaranya :

وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ ۖ وَاصْبِرُوا ۚ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ

"Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar" [al-Anfal/8 : 46]

Begitu pula Rasulullah shallallahu alaihi wasallam amat membenci perselisihan. Apabila beliau mendengar ada di antara sahabatnya yang berselisih, maka beliau marah dan segera menyelesaikannya sehingga mereka kembali sadar akan kekeliruannya, lalu berdamai dan bersatu dalam kebenaran.

Meskipun Allah menghendaki agar kita tidak berselisih (iradah syar’iyah) tetapi Allah juga menghendaki (iradah kauniyah) sesuai dengan hikmah-Nya bahwa perselisihan itu akan selalu ada dan tidak bisa dihilangkan.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً ۖ وَلَا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ إِلَّا مَن رَّحِمَ رَبُّكَ ۚ وَلِذَٰلِكَ خَلَقَهُمْ ۗ وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ لَأَمْلَأَنَّ جَهَنَّمَ مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ 

"Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka Senantiasa berselisih pendapat, Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. dan untuk Itulah Allah menciptakan mereka. kalimat Tuhanmu (keputusan-Nya) telah ditetapkan: Sesungguhnya aku akan memenuhi neraka Jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya". [Hud/11 : 118-119]

Memang di antara perselisihan antara ulama ada hal-hal yang sudah dipastikan mana yang benar dan mana yang salah. Tetapi banyak sekali di antara perselisihan tersebut terjadi dalam perkara-perkara ijtihadiyah yang dapat diupayakan kesepakatan. Sudahkah kita berusaha semaksimal mungkin untuk mencari kata sepakat ? Sudahkah kita berusaha menghilangkan kebodohan dari masyarakat kita berupa ta’ashub atau fanatik, baik fanatik hizbi (kelompok) ataupun madzhab, juga kultus individu ? Ataukah kita pura-pura bodoh akan kebenaran yang ada di depan mata kita lalu menolaknya karena mengikuti hawa nafsu atau berdalih dengan ucapan, ” Kebenaran itu banyak !”

IJTIHAD SEORANG ULAMA MUNGKIN BENAR DAN MUNGKIN SALAH
Siapa saja yang mengakui bahwa semua pendapat para ulama mujtahid dalam suatu masalah adalah benar dan setiap mujtahid itu benar, maka berarti dia telah mengucapkan kaidah yang tidak memiliki dalil, baik dari Al-Qur’an, As-Sunnah atau ijma’ para sahabat serta tidak dapat diterima oleh akal sehat.

Rasulullah shallalahu alaihi wasallam bersabda : ” Apabila seorang hakim memberi keputusan, lalu ia berijtihad, kemudian ia benar maka baginya dua pahala, dan jika ia memberi keputusan, lalu ia berijtihad kemudian salah, maka baginya satu pahala.” [HR. Bukhari dan Muslim]

Syaikhul Islam menjelaskan bahwa tidaklah setiap orang yang berijtihad dapat mencapai kebenaran. Tetapi selama ia berdalil dan bertaqwa kepada Allah sesuai dengan kesanggupannya, maka itulah yang Allah bebankan kepadanya. Allah tidak akan menghulumnya apabila ia salah. Ancaman dan hukuman itu baru berlaku bagi orang yang meninggalkan perintah dan melanggar larangan setelah tegak hujjah kepadanya [2]. Ijtihad yang salah ini tidak boleh diikuti apabila kita mengetahui mana yang benar dan mana yang salah[3]. Karena kita dituntut untuk mengikuti dalil, bukan mengikuti manusia.

Syaikhul Islam rahimahullah berkata, ” Tidak boleh bagi seseorang untuk berhujjah dengan ucapan seseorang dalam masalah perselisihan, karena sesungguhnya hujjah adalah nash dan ijma’ serta dalil yang diambil istimbathnya dari hal tersebut. Pengutamaannya ditentukan dengan dalil-dalil syari’at, bukan dengan sebagian ucapan ulama. Karena sesungguhnya ucapan para ulama itu baru menjadi hujjah disebabkan adanya dalil-dalil syari’at. Ucapan para ulama tersebut tidak dapat mengalahkan dalil-dalil syari’at.[4]

Perlu diingat bahwa kita wajib menghormati dan mencintai para ulama [5] meskipun ijtihad mereka ada yang salah, atau di antara ijtihad mereka ada yang kita yakini sebagai perbuatan bid’ah (setelah diadakan penelitian berdasarkan kaidah-kaidah ilmiyyah dan kriteria-kriteria secara ilmu ushul). Tetapi tidak boleh kita menuduhnya sebagai ahli bid’ah kecuali setelah jelas bagi kita bahwa hujjah telah ditegakkan atas mereka dan mereka tetap megikuti hawa nafsunya.

Syaikh Ali Hasan berkata, ”Sedangkan orang yang melakukan bid’ah, bisa jadi dia seorang mujtahid -sebagaimana telah dibicarakan-, maka orang yang berijtihad seperti ini, meskipun salah tidak bisa dikatakan sebagai ahli bid’ah. Sebaliknya bisa jadi ia jahil (bodoh). Maka ia tidak bisa dikatakan ahli bid’ah karena kejahilannya. Meskipun demikian ia tetap berdosa dikarenakan kesalahan dia meninggalkan kewajiban menuntut ilmu, kecuali apabila Allah menghendaki. Dan bisa jadi juga ada sebab-sebab lain yang menghalangi seseorang yang melakukan bid’ah untuk dikatakan sebagai ahli bid’ah. Berbeda dengan orang yang terus menerus melakukan bid’ahnya setelah nampak kebenaran olehnya, karena mengikuti nenek moyang, dan adat istiadatnya. Maka orang seperti ini pantas dan tepat untuk mendapatkan predikat sebagai ahli bid’ah, dikarenakan penolakannya dan pengingkarannya. [6] 

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

”Dan Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu [7] dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali ” [an-Nisa/4 : 115]

KEBENARAN ITU SATU
Berikut ini akan saya nukilkan tulisan dari para ulama dahulu dan sekarang. Semoga Allah memberi manfaat bagi kita semua.

Ibnul Qasim berkata, ”Saya telah mendengar dari Malik dan Laits tentang perselisihan para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, tidaklah seperti yang dikatakan orang-orang, ’Dalam perselisihan tersebut terdapat kelapangan.’ Tidak demikian yang ada adalah salah dan benar. [8]

Asyhab ,mengatakan bahwa Malik pernah ditanya tentang orang yang mengambil sebuah hadist dari seorang yang tsiqat (terpercaya) dan orang itu mendapatkannya dari sahabat Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, ” Apakah engkau berpendapat bahwa dalam perselisihan terdapat kelapangan ?” Imam Malik menjawab, ” Tidak demi Allah, sampai ia mendapatkan bahwa kebenaran itu satu. Adakah dua perkataan yang bertentangan keduanya benar ? yang hak dan yang benar itu hanya ada satu.” [9] 

Imam Al Muzani, sahabat Imam Syafi’i berkata : Para sahabat Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam telah berselisih. Lalu sebagian mereka menyalahkan yang lain dan mereka saling memperhatikan tiap perkataan di antara mereka dan mengomentarinya. Jika sekiranya mereka berpendapat semua perkataan mereka itu benar, tentu mereka tidak akan melakukan demikian. Pernah Umar bin Khathab marah karena terjadi perselisihan antara Ubay bin Ka’ab dengan Ibnu Mas’ud mengenai hukum salat dengan satu pakaian. Ubay mengatakan bahwa salat dengan satu pakaian itu baik dan indah. Sedangkan Ibnu Mas’ud megatakan bahwa hal itu dilakukan karena sedikit pakaian. Kemudian Umar keluar dengan marah dan berkata, ”Dua orang sahabat Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam telah berselisih, yaitu diantara orang-orang yang memperhatikan Rasul dan mengambil pendapat beliau. Ubay benar dan Ibnu Mas’ud tidak kurang (berusaha). Akan tetapi aku tidak mau mendengar setelah ini ada orang-orang yang berselisih tentang hal itu. Jika masih ada tentu aku akan melakukan ini dan itu.” [10] 

Imam Al Muzani mengatakan lagi : Katakanlah kepada orang-orang yang membolehkan perselisihan dan berpendapat mengenai dua orang alim yang berijtihad dalam suatu masalah. Salah seorang di antara mereka menyatakan halal dan yang lainnya menyatakan haram. Dikatakan bahwa ijtihad keduanya benar semua, ” Apakah engkau mengatakan ini dengan dasar ushul (pokok) atau qiyas ?” Apabila ia mengatakan dengan dasar pokok, maka katakanlah kepadanya, ” Bagaimana mungkin dengan dasar pokok padahal Al-Qur’an menolak perselisihan ?” Dan apabila ia mengatakan dengan dasar qiyas, maka katakanlah, ” Meangapa engkau membolehkan padahal pokok telah menolak perselisihan.” Hal ini tidak bisa diterima oleh orang yang berakal, lebih-lebih seorang alim. ” [11] 

Ibnu Abdil Bar (wafat 463 H) berkata : Sekiranya kebenaran itu terdapat di dalam dua hal yang bertentangan, maka tidak mungkin orang-orang salaf akan saling menyalahkan dalam ijtihad, keputusan dan fatwa-fatwa mereka. Dan pemikiran juga enggan menerima ada satu pendapat dan pendapat lain yang bertentangan dikatakan benar seluruhnya. Tepatlah apa yang dikatakan di dalam syair :

"Penetapan dua hal yang bertentangan secara bersamaan dalam satu hal Adalah seburuk-buruk kemustahilan yang datang".[12]

Syaikh Ali Hasan berkata, ”Maka perbedaan pendapat dalam perkara apapun, apakah dia itu sunnah atau bid’ah, mungkar atau bukan, tidaklah menjadikan seorang juru dakwah untuk diam dari menyampaikan kebenaran. Yaitu dengan mengenal bid’ah sesuai dengan kaidah-kaidah yang telah disebutkan sebelum ini dan menjelaskan kebenaran di dalamnya. Apabila setelah pembahasan, penelitian, dan pengkajian yang mendalam diperoleh hasil bahwa hal itu adalah bid’ah, maka wajib untuk menamapakkan kebenaran dan menyingkap syubhat-syubhat orang yang menyalahinya. [13]

Syaikh Ali Hasan menukil pula ucapan Imam Al-Khathabi dalam bukunya A’lamus Sunan bi Syarh Shahih Al Bukhary juz 3/2091-2092, ” Seorang berkata, ’Sesungguhnya manusia ketika mereka berbeda pendapat dalam hal minuman, mereka bersepakat atas haramnya khamr dan anggur dan berbeda pendapat menegenai selainnya. Maka kita harus mengikuti apa yang mereka sepakati tentang haramnya dan membolehkan apa-apa yang selainnya (yang masih diperselisihkan, pent.).’ Hal ini merupakan kesalahan fatal, padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan ornag –orang yang berselisih agar mereka mengembalikan kepada Allah dan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا 

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya" [an Nisa/4 : 59]

Imam As Syatibi setelah menukil ringkasan ucapan Al Khathabi dalam bukunya Al Muwafaqat 4/14 kenudian beliau mengomentarinya, ”Orang yang berkata tadi telah mengikuti syahwatnya dan menjadikan pendapat yang sesuai ( dengan dirinya ) sebagai hujjah. Dia telah mengambil pendapat tadi sebagai jalan untuk mengikuti hawa nafsunya, bukan jalan menuju taqwanya. Yang demikian itu jauh sekali untuk dikatakan melaksanakan perintah Allah dan lebih tepat untuk dikatakan sebagai orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai ilahnya.”[14] 

BEBERAPA ALASAN DAN JAWABANNYA
Ada beberapa alasan yang sering dijadikan pegangan oleh sebagian orang yang tidak sependapat dengan kaidah ” kebenaran itu satu ”.

Alasan Pertama : Perbedaan Pendapat Umatku Adalah Rahmat.
Ucapan ini sering dibawakan oleh sebagian orang dan mereka mengatakannya sebagai sabda Nabi Shallallahu alaihi wasallam.

Jawabannya : Jika engkau cinta kepada Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam, tentu engkau tidak akan berdusta atas namanya. Apalagi beliau telah bersabda : ” Barang siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja maka hendaklah ia menempatkan tempat duduknya dari api neraka.[15] 

Seorang yang takut terjerumus kepada perbuatan dusta atas nama Nabinya maka ia akan hati-hati dalam membawakan hadist, dengan mencari keterangan terlebih dahulu dari ulama hadist. Apabila ulama hadist pun berbeda pendapat tentang ke-shahih-an suatu hadist, maka ia berusaha sesuai dengan kemampunnya untuk meneliti dan memilih mana di antara mereka yang alasannya lebih kuat, bukan memilih pendapat yang sesuai dengan hawa nafsunya. Apalagi kalau para ulama hadist telah sepakat akan kelemahan atau kepalsuan suatu hadist maka kita harus mengikuti kesepakatan mereka.

Di bawah ini saya nukilkan tulisan Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah dalam Silsilah Al Ahadist Adl Dla’ifah mengenai hadist :

"Perbedaan pendapat ummatku adalah rahmat."

Hadist ini tidak ada asalnya. Para muhaddist sudah berusaha keras untuk mendapatkan sanad hadist ini tetapi mereka tidak mendapatkannya. Sampai beliau berkata, ” Al Munawi menukil dari as Subki bahwa ia berkata, ’Hadist ini tidak dikenal oleh para muhaddist dan saya belum mendapatkan baik dalam sanad shahih, dla’if atau maudlu. ’ Syaikh Zakaria Al Anshari menyetujui dalam ta’liq atas tafsir Al Baidawi 2/92/Qaaf (masih dalam manuskrip, pent.)”

Makna hadist ini pun diingkari oleh para ulama peneliti. Al Allamah Ibnu Hazm berkata dalam kitabnya Al Ihkam fi Ushulil Ahkam juz V hal. 64 setelah beliau mengisyaratkan bahwasanya ucapan itu bukan hadist, ”ini adalah ucapan yang paling rusak. Karena kalau perselisihan itu rahmat, tentu kesepakatan itu sesuatu yang dibenci dan tidak ada seorang muslim pun yang mengatakan demikian. Yang ada hanya kesepakatan atau perselisihan, rahmat atau dibenci. ” Di tempat lain beliau mengatakan, ” Batil atau Dusta. ”

Sesungguhnya di antara sebagian dampak buruk dari hadist ini bahwa banyak dari kaum muslimin menyetujui perbedaan pendapat yang sangat tajam di antara madzhab yang empat. Mereka tidak berupaya sama sekali untuk kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah yang shahih sebagaimana hal ini telah diperintahkan oleh imam-imam mereka sendiri semoga Allah meridhai mereka. Bahkan mereka berpendapat bahwa madzhab-madzhab imam radliallahu anhum tersebut sebagai syari’at-syari’at yang bermacam-macam. Mereka mengatakan demikian, padahal mereka tahu bahwa pertentangan dan kontradiksi itu tidak mungkin dipadukan kecuali dengan menolak sebagian yang bertentangan dengan dalil dan menerima yang lain sesuai dengan dalil. Tetapi hal ini tidak mereka lakukan! Dengan ini mereka telah menisbatkan kepada syari’at akan adanya kontradiksi. Ini merupakan bukti satu-satunya bahwa pertentangan bukanlah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala apabila mereka memperhatikan firman Allah :

أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ ۚ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِندِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا 

"Maka Apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya" [an Nisa/4 : 82]

Ayat di atas menyatakan dengan tegas bahwa pertentangan bukan dari Allah. Maka tidaklah benar menjadikan pertentangan sebagai syari’at yang diikuti atau rahmat yang turun.

Disebabkan hadist (yang tidak ada asalnya) ini dan yang lainnya, kebanyakan kaum muslimin setelah imam yang empat terus menerus sampai hari ini bertentangan dalam banyak masalah, baik masalah aqidah maupun muamalah. Seandainya mereka menganggap bahwa pertentangan itu buruk, -sebagaimana ucapan Ibnu Mas’ud [16] dan selainnya radliallahu anhum dan begitu juga banyak terdapat dalam Al Qur’an dan hadist-hadist nabi Shallallahu alaihi wasallam yang menunjukkan betapa buruknya pertentangan itu – tentu mereka akan bersegera untuk mencapai kata sepakat. Hal ini mungkin terjadi dalam banyak permasalahan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjelaskan berupa dalil-dalil untuk mengetahui mana yang benar dan mana yang salah, mana yang haq dan mana yang batil. Setelah itu baru bertoleransi sebagian terhadap yang lainnya dalam hal-hal yang masih diperselisihkan. ( maksudnya : setelah berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan kebenaran dan tidak didapat kepastian pendapat mana yang benar dalam masalah-masalah yang diperselisihkan. Sedangkan ucapan yang sebagian mereka lontarkan secara mutlak, ’kami bekerjasama dalam hal yang kami sepakati dan saling bertoleransi dalam hal yang kami perselisihkan.” Maka ini adalah kesalahan yang nyata sekali. [17] 

Akan tetapi untuk apa berusaha mencari kata sepakat kalau mereka berpendapat ”ikhtilaf itu rahmat” dan madzhab yang berbeda-beda itu sebagai syari’at yang bermacam-macam ? dan kesimpulannya: Sesungguhnya ikhtilaf itu tercela dalam syari’at. Maka wajib berusaha untuk menuntaskan darinya sebisa mungkin, dikarenakan pertentangan itu merupakan salah satu sebab kelemahan ummat. Allah berfirman:

وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ ۖ وَاصْبِرُوا ۚ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ 

"Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar." [al Anfal/8 : 46]

Sedangkan sikap ridha dengan pertentangan dan menamakannya sebagai ”rahmah”, maka hal ini menyalahi ayat-ayat Al Qur’an yang tegas-tegas mencelanya. Ia tidak bersandar kecuali kepada hadist yang tidak ada asalnya dari Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam.

Sampai disini mungkin ada pertanyaan, yaitu : Kadang terjadi pertentangan di antara para sahabat. Padahal mereka seutama-utama manusia, apakah celaan di atas mengenai mereka? Ibnu Hazm rahimahullah menjawabnya dalam Al Ihkam fi Ushulil Ahkam juz V/67-68, ia berkata : Sama sekali tidak. Celaan di atas tidaklah mengenai sahabat sedikitpun, dikarenakan mereka telah berjuang keras mencari jalan Allah dan pendapat yang benar. Maka jika di antara mereka ada yang salah, mereka mendapat satu pahala dikarenakan niatnya yang baik dalam menghendaki kebenaran. Terhapuslah dosa mereka dalam kesalahannya, karena mereka tidak bermaksud dan tidak sengaja serta tidak meremehkan dalam mencari kebenaran. Sedangkan yang benar diantara mereka mendapatkan dua pahala. Begitu pula untuk setiap muslim sampai hari kiamat dalam hal-hal yang tidak diketahui dan belum sampai kepadanya hujjah (dalil ).

Celaan dan ancaman tesebut, sebagaimana tertuang dalam nash, berlaku atas orang yang meninggalkan kewajiban berpegang pada tali Allah -Al Qur’an dan As Sunnah- setelah datang nash kepadanya dan setelah tegak hujjah atasnya. Kemudian setelah itu ia tetap bergantung kepada fulan dan fulan, taklid, sengaja untuk berselisih, mengajak kepada fanatik dan kebanggaan jahiliyah, bermaksud untuk berpecah belah, berupaya dalam pengakuannya untuk selalu mengembalikan (urusannya) kepada Al Qur’an dan As Sunnah yang shahih dengan keinginannya saja. Tetapi jika berselisih (antara nafsu dan nash), maka ia bergantung pada kejahilannya, meninggalkan Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam. Mereka itulah orang-orangyang selalu berselisih dan orang-orang yang tercela.

Tingkatan yang lain adalah mereka yang mempunyai iman yang tipis dan kurang ketaqwaannya. Mereka mencari perkara yang cocok dengan hawa nafsu mereka dari tiap pendapat yang ada. Mereka mengambil rukhsah (keringanan) dalam ucapan setiap ulama, taklid kepadanya. Bukan mencari apa-apa yang diwajibkan oleh nash-nash dari Allah dan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam.

Di akhir ucapannya, Ibnu Hazm mengisyaratkan tentang talfiq yang dikenal oleh para ahli fiqh, yaitu mengambil pendapat seorang alim tanpa dalil, melainkan mengikuti hawa nafsu atau rukhsah. Para ulama berbeda pendapat tentang kebolehannya. Tetapi yang benar adalah haram disebabkan beberapa alasan tertentu. Namun disini bukan tempatnya untuk menjelaskan permasalahan itu.

Mereka yang membolehkan talfiq ini mengambil dalil dari hadist yang tidak ada asalnya ini dan dengan alasan hadist ini pula seorang berkata. ” Barang siapa bertaqlid kepada seorang alim, ia akan menemui Allah dalam keadaan selamat.”

Semua ini merupakan sebagian dampak buruk dari hadist-hadist dla’if (termasuk di dalamnya hadist maudlu’, pent.) [18]. Maka berjhati-hatilah darinya apabila engkau mengharapkan keselamatan, Allah berfirman dalam surat Asy Syu’aara 88-89 :

يَوْمَ لَا يَنفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ 

"(yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna"

إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ 

"Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih".

Syaikh Al Albani menjelaskan pula dalam bukunya Shifat Shalat Nabi Shallallahu alaihi wasallam mengenai perbedaan pendapat para sahabat dengan ikhtilaf di kalangan para sahabat dengan ikhtilaf di antara muqallidin (orang-orang yang taqlid), dia berkata : Para sahabat berbeda pendapat sebagai suatu keterpaksaan, tetapi mereka mengingkari perselisihan dan menghindarinya ketika mereka mendapatkan jalan keluarnya. Sedangkan muqallidin tidak sepakat dan tidak berusaha untuk sepakat. Padahal besar kemungkinan kata sepakat itu bisa dicapai dalam sebagian besar permasalahan yang ada. Akan tetapi mereka menyetujui adanya perbedaan. Maka sungguh jauh berbeda antara keduanya. Ini dari segi sebab.

Adapun dari segi pengaruhnya, meskipun para sahabat berbeda pendapat dalam masalah-masalah furu’ tetapi mereka benar-benar menjaga persatuan. Sangat jauh sekali dari hal-hal yang memecah belah persatuan dan memporak-porandakan barisan. Umpamanya di antara mereka ada yang berpendapat bahwa membaca basmalah disyari’atkan dengan jahr (dikeraskan) dan yang lainnya berpendapat tidak jahr. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa bersentuhan dengan wanita membatalkan wudlu’, sebagian yang lain berpendapat tidak membatalkan wudlu’. Meskipun demikian mereka semua shalat di belakang imam yang satu. Tidak seorang pun di antara mereka menolak shalat di belakang imam dikarenakan ada perbedaan madzhab.[19]

Alasan Kedua : Perbuatan Atau Ucapan Seorang Sahabat Adalah Hujjah.
Banyak hadist-hadist dari Nabi Shallallahu alaihi wasallam yang dijadikan dalil oleh mereka. Salah satu di antaranya adalah hadist sahih, tetapi mereka salah dalam memahaminya. Sedangkan yang lainnya adalah hadist-hadist maudlu’.

Berikut ini adalah dalil yang mereka kemukakan, setelah itu saya nukilkan komentar ulama sebagai penjelasan atas dalil tersebut.

Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda : "Aku wasiatkan kepada kalian agar bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat meskipun (yang memerintahkan kalian ) seorang budak dari Habasyah (Ethiopia). Sesungguhnya siapa yang hidup sesudahku di antara kalian, maka kelak ia akan menjumpai perselisihan yang banyak. Maka haruslah kalian mengikuti sunnahku (jalanku) dan sunnah para khalifah yang mendapat petunjuk dan bimbingan. Berpegang teguhlah kalian dengannya, gigitlah dengan gigi geraham atas sunnah tersebut.." [20] 

Syaikh Salim bin Ied Al Hilali berkata (Dar’ul Irtiyab hal.7) : "Ketahuilah saudara-saudaraku seiman, semoga Allah membimbingmu kepada kebenaran, bahwasanya ’athaf (kata penyambung ”dan” dalam sabdanya, ” Haruslah kalian mengikuti sunnahku dan sunnah para khulafaur rasyidin, pent.) tidaklah berarti bahwa sunnah khulafaur rasyidin diikuti tanpa mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam. Melainkan mereka senantiasa mengikuti sunnah beliau Shallallahu alaihi wasallam dalam setiap jejak langkahnya. Oleh karena itu mereka dijuluki sebagai orang yang mendapatkan petunjuk dan bimbingan. Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam menisbahkan sunnah kepada mereka dikarenakan merekalah yang paling berhak dan seutama-utama manusia yang memahami sunnah tersebut. Pemahaman seperti ini mutawatir dari ulama-ulama rabbani yang dirahmati ini, di antaranya adalah:[21]

1. Ibnu Hazm Al Andalusi rahimahullah dalam kitabnya Al Ihkam fi Ushulil Ahkam juz 6 hal 76-78.
2. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam kitabnya Majmu’ Al Fatawa juz 1 hal. 282.
3. Al Qari rahimahullah dalam Mirqatil Mafatih juz 1 hal. 199.
4. Al Allamah Al Mubarakfury rahimahullah dalam Syarah At Tirmidzi Tuhfatul Ahwadzi juz 3 hal. 50 dan juz 7 hal. 420. Begitu pula Imam Syaukani dan Imam As Shan’ani rahimahullah berkata demikian.

Berkenaan dengan masalah ini ada hadist maudlu’ yang berbunyi: "Sahabat-sahabatku seperti bintang, dengan siapa saja kalian mengikuti di antara mereka, kalian mesti mendapat hidayah".

Berikut ini adalah petikan dari Syaikh Al Albani dalam Silsilah Hadist Ad Dha’ifah wal Maudu’ah juz 1 no. 58 dari halaman 144-145 : Hadist ini diriwayatkan oleh Ibnu Abdil bar dalam Jami’ul Ilmi 2/91 dan oleh Ibnu Hazm dalam Al Ihkam 6/82 (kemudian beliau menjelaskan tentang sebab maudlu’-nya hadist ini, pent.). Sedangkan orang yang men-shahih-kan hadist ini bersandar dengan ucapan As Sya’rani dalam Al Mizan 1/28, ” Hadist ini meskipun ada pembicaraan (kelemahan) menurut para muhaddist, tetapi hadist ini shahih menurut ahli kasyf.” Ucapan ini bathil dan sepantasnya tidak ditengok, karena cara men-shahih-kan hadist dengan jalan al kasyf adalah bid’ah sufi yang amat dibenci.

Kemudian Syaikh Al Albani menjelaskan bahwa cara al kasyf itu seandainya dibolehkan itupun sebatas sebagai pendapat yang bisa salah dan bisa benar, belum lagi kalau hawa nafsu yang masuk, sehingga banyak hadist-hadist palsu dan yang tidak ada asalnya menjadi shahih menurut keinginan hawa nafsu mereka.

Adapun hadist-hadist maudlu’ yang semakna dengan hadist di atas terdapat dalam Silsilah Dla’ifah juz 1 no. 59-62 dan penjelasannya dari halaman 146-153.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah telah menjelaskan tentang kaidah ” ucapan seorang sahabat bukan sebagai hujjah ” dalam Majmu’ Fatawa.

Beliau memberikan contoh yang banyak sekali mengenai pendapat sahabat yang bertentangan dengan nash-nash yang jelas. Kemudian beliau juga menjelaskan bahwa ’ucapan seorang yang sahabat sebagai hujjah” dapat berlaku apabila memenuhi dua persyaratan, yaitu :

Pertama : Tidak ada nash yang bertentangan dengan ucapan tersebut.
Kedua : Tidak ada sahabat lain yang mengingkarinya. [22] 

Alasan Ketiga : Apa Yang Dinisbahkan Kepada Imam Malik Yang Berkata, "Masing-masing mereka adalah benar".
Syaikh Al Albani rahimahullah berkata : Apabila seseorang berkata, "Apa yang engkau katakan tentang perkataan Imam Malik bahwa kebenaran itu satu, tidak berbilang, adalah bertentangan dengan apa yang terdapat di dalam kitab Al Madkhal Al Fikhi tulisan Al Ustadz Az Zarqa (1/89), Abu Ja’far Al Manshur dan Ar Rasyid menginginkan memilih madzhab Imam Malik dan kitabnya Al Muwaththa’ sebagai undang-undang peradilan bagi Daulah Abbasiyah. Kemudian Imam Malik mencegah mereka berdua melakukan hal yang demikian. Beliau berkata,’Sesungguhnya para sahabat Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam ini telah berselisih di dalam masalah furu’ dan mereka tersebar di berbagai negeri dan masing-masing mereka adalah benar."

Saya (Syaikh Al Albani) mengatakan : Kisah ini telah dikenal dan masyhur dari Imam Malik rahimahullah. Tetapi kata-kata terakhir yang berbunyi, ” Masing-masing mereka adalah benar, ” tidak saya ketahui asalnya berdasarkan penelitian saya dari riwayat-riwayat dan sumber-sumber yang saya dapatkan [23]. Kecuali satu riwayat yang dikeluarkan oleh Abu Nu’aim dalam Al Hilyah 6/332 dengan isnad yang terdapat didalamnya Al Miqdam bin Daud. Ia adalah salah seorang yang disebutkan oleh Adz Dzahabi dalam kitabnya Ad Dlu’afa. Itu pun dengan lafazh, ” Dan masing–masing menurut dirinya adalah benar. ” Ini menunjukkan bahwa riwayat yang terdapat dalam Al Madkhal telah mengalami perubahan lafazh.

Bagaimana tidak, padahal ini bertentangan dengan apa yang diriwayatkan oleh orang-orang tsiqat (terpercaya) dari Imam Malik bahwa kebenaran itu satu tidak berbilang, sebagaimana telah diterangkan terdahulu. Hal ini juga dipegang oleh setiap Imam dari para sahabat, tabi’in serta imam-imam mujtahid yang empat dan yang lainnya.[24] 

PENUTUP.
Setelah kita membaca penjelasan mengenai kaidah ” kebenaran itu hanya satu "Timbul pertanyaan, Bagaimana kita dapat mengetahui mana yang benar dan mana yang salah? Dan bagaimana kita dapat mengamalkan kebenaran tersebut?"

Jawabannya secara ringkas adalah :
Pertama : Ikhlas di dalam mencari kebenaran. Dengan modal ikhlash maka syaithan tidak berdaya dalam upayanya menyesatkan manusia.

Kedua : Ilmu yang benar.
Imam Syafi’i rahimahullah (wafat tahun 204 H) berkata [25] ” Seluruh ilmu selain Al Qur’an adalah melalaikan kecuali hadist dan ilmu fiqh dalam dien ini. Ilmu itu adalah yang ada padanya ucapan haddatsana sedangkan selain itu merupakan bisikan syaithan. ”

Ibnu Qayyim Al Jauziyah rahimahullah berkata dalam kitab I’lamul Muwaqqi’in, ’ Ilmu itu adalah firman Allah, sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam dan Ucapan para sahabat.”

Imam Al Auzai rahimahullah (wafat 158H) berkata : ” Haruslah engkau mengikuti jejak orang-orang salaf meskipun manusia menentangmu. Dan hati-hatilah engkau dari pemikiran-pemikiran manusia meskipun mereka menghiasinya dengan kata-kata yang manis kepadamu.[26]. Syaikh Ali Hasan mengatakan, ” Dengan sanad yang shahih” [27] 

Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam muqaddimah tafsirnya, ” Maka yang semestinya dilakukan dalam menceritakan perbedaan pendapat, yaitu engkau menguasai pendapat-pendapat yang ada. Lalu engkau sebutkan yang benar dan engkau salahkan yang salah. Lalu engkau sebutkan faedah khilaf dan buahnya agar perselisihan dan perbedaan pendapat itu tidak berkepanjangan dalam hal-hal yang tidak bermanfaat, sehingga engkau sibuk dengan hal tadi dan menyebabkan terbengkalainya mana yang lebih penting dari yang penting. Sedangkan orang-orang yang menceritakan perbedaan pendapat dalam satu masalah padahal ia belum menguasai pendapat-pendapat ulama yang ada, maka hal itu kurang, karena boleh jadi pendapat yang nanti ia tinggalkan adalah pendapat yang benar. Atau seseorang yang hanya menceritakan perbedaan pendapat yang ada, kemudian dibiarkannya saja tanpa menyebutkan mana yang benar, maka hal itu pun kurang. Begitu pula orang yang membenarkan pendapat yang salah dengan sengaja, berarti ia telah berdusta. Apabila hal itu dilakukan dengan tidak sengaja yaitu karena kejahilan maka dia telah berbuat kesalahan.[28] 

Untuk dapat memiliki ilmu yang dalam haruslah sabar karena dibutuhkan ilmu yang dalam haruslah sabar karena dibutuhkan waktu yang lama. Imam Syafi’i rahimahullah berkata : "Saudaraku, engkau akan tidak memperoleh ilmu kecuali memiliki enam perkara. Saya akan beritahu kepadamu keenamnya dengan jelas, yaitu : kecerdasan, perhatian, kesungguhan dan kecukupan (materi) dan didampingi oleh guru sera menempuh waktu yang lama".

Ketiga : Mengendalikan hawa nafsu agar tunduk kepada kebenaran
Hal ini sangat sulit, terlebih bagi jiwa manusia yang selalu mengajak kepada keburukan. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menjanjikan surga bagi orang yang takut kepada-Nya dan menahan hawa nafsunya. 

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَىٰ فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَىٰ 

"Dan Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsuny. Maka Sesungguhnya syurgalah tempat tinggal(nya)". [an Nazi’at/79 : 40-41]

Ya Allah, tunjukkanlah kepada kami bahwa yang benar itu benar dan berilah kami kemampuan untuk mengikutinya. Dan tunjukkanlah kepada kami bahwa yang bathil itu bathil dan berilah kami kemampuan untuk menjauhinya.

Semoga shalawat dan salam senantiasa Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam , keluarga dan para sahabatnya. Amin.

Maraji’
1. Mushaf Al Qur’anul Karim dan terjemahannya.
2. Diwan Al Imam Asy Syafi’i, Asy Syafi’i
3. Dar’ul Irtiyab’an Hadist Ma Ana ’Alaihi Al Yauma wal Ashab, Syaikh Salim bin Ied AL Hilali.
4. Fathul Bari, Al Hafidz ibnu Hajar Al Asqalani.
5. Ilmu Ushulil Bida’ , Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid Al Hallabi Al Atsari
6. Adtidla’ As Sirath Al Mustaqim li Mukhalafati Ashabil Jahim, Syaikhul Islam Ibnu taimiyah.
7. Irwa’ul Ghalil , Syeikh Al Albani
8. Jami Bayanil Ilmi wa Fadl-lih, Al Imam Ibnu Abdil Bar.
9. Majmu’ Fatawa , Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
10. Shahih AL Bukhari
11. Shifat Shalat Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, Syaikh Al Albani.
12. Silsilah Al Hadits Ad Dla’ifah wal Maudlu’ah, Syaikh Al Alabni
13. Tafsir Al Qur’an Al ‘Adhim, Al Imam Ibnu Katsir

[Disalin dari buku Hanya Ada SATU KEBENARAN (Mencari Kebenaran Dalam Masalah Khilafiyah Yang Kontradiktif), Cetakan I – Th.1424 H/ 2003 M. Penulis : Fariq Qasim Anuz, Penerbit : Darul Qolam Jakarta. Komp. DepKes. Jln. Rawa Bambu Raya No. A2 Pasar Minggu, Jakarta 12520, Telp. : ( 021 ) 78841426]
_______
Footnote
[1]. Lihat : Iqtidla As Shirat Al Mustaqiem, Ibnu Taimiyah rahimahullah juz 1 hal. 132-137, terdapat penjelasan mengenai ikhtilaf tadladl dan ikhtilaf tanawwu’
[2]. Lihat Majmu Fatawa juz 19, hal.213,216,217,227
[3]. Iqtidla’As Shiratal Mustaqim, hal. 268
[4]. Majmu Fatawa, juz 26 hal. 202
[5]. Raf’ul Malam ’an Aimmatil A’lam. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
[6]. Lihat Ilmu Ushulil Bida’, hal 209-210
[7]. Allah biarkan mereka bergelimang dalam kesesatan.
[8]. Jami’u Bayanil ’Ilmi juz 2 hal. 100. Lihat Sifat Shalat Nabi hal. 61
[9]. Jami’u bayanil ’Ilmi juz 2, hal.100. Lihat Sifat Shalat Nabi hal. 61
[10]. Jami’u bayanil ’Ilmi juz 2, hal.103. Lihat Sifat Shalat Nabi hal. 62
[11]. Jami’u bayanil ’Ilmi juz 2, hal.109. Lihat Sifat Shalat Nabi hal 62
[12]. Jami’u bayanil ’Ilmi juz 2, hal.108. Lihat Sifat Shalat Nabi hal. 63
[13]. Ilmu Ushulil Bida’, hal 192
[14]. Ilmu Ushulil Bida’, hal. 194
[15]. Hadist Mutawatir, diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan lainnya. Lihat Juga Fathul Bari juz 1, hal. 271, hadist no. 107, Ibnu Hajar Al Asqalani menjelaskan masalah ini dari hal. 270-275
[16]. HR. Abu Dawud no. 1960 dengan sanad shahih
[17]. Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid dalam Ilmu Ushulil Bida’
[18]. Lihat Silsilah Al Ahadist Dla’ifah juz 1, hadist no. 57, hal. 141-144, Syeikh Albani 
[19]. Lihat Sifat Shalat Nabi Shallallahu alaihi wasallam, hal. 64-65
[20]. HR. Abu Dawud no. 4607, At Tirmidzi (2/112-113), Ad Darimi (1/44-45), Ibnu Majah no. 43 dan 44, Ibnu Nashr dalam As Sunan hal. 21, Ibnu Hibban dalam Shahih-nya ( 1/4/4 Al Farisi ) dan lain-lian, Syeikh Al Albani menyatakan : Hadist shahih. (Lihat Irwa’ul Ghalil juz 8 hal. 107, hadist no. 2455
[21]. Keterangan para ulama tersebut dapat dilihat dalam Dar’ul Irtuyab hal. 17-25
[22]. Majmu’ Fatawa juz 1 hal. 282-284
[23]. Syaikh Al Albani menulis dalam catatan kakinya, ” Lihat Al Intiqa’ oleh Ibnu Asakir (6-7), dan Tadzkiratul Huffadz oleh Imam Adz Dzahabi 1/195.
[24]. Lihat Diwan Al Imam As Syafi’i hal. 117
[25]. Lihat Diwan Al Imam As Syafi’i hal. 117
[26]. Atsar riwayat Al Imam Al Khatib Al Bagdhadi dalam kitabnya Syarafu Ashabil Hadist hal. 7
[27]. Lihat ili Ushulil Bida’, hal 277
[28]. Tafsir Ibnu Katsir juz 1, bagian Muqaddimah hal. 5

Sesungguhnya Agama itu Mudah

Abu Fathan | 22:47 | 0 comments
Oleh Ummu Malik

Kerap kali manusia mengulang-ulang perkataan ini (yaitu ucapan "Sesungguhnya agama itu mudah"), akan tetapi (sebenarnya) mereka (tidak menginginkan) dengan ucapan itu, untuk tujuan memuji Islam, atau melunakkan hati (orang yang belum mengerti Islam) dan semisalnya. Yang diinginkan mereka adalah pembenaran terhadap perbuatan mereka yang menyelisihi syari'at. Bagi mereka kalimat itu adalah kalimat haq, namun yang diinginkan dengannya adalah sebuah kebatilan.

Ketika salah seorang diantara kita ingin memperbaiki perbuatan yang menyalahi syari'at, orang-orang yang menyalahi (syari'at itu) berhujjah dengan perkataan mereka : "Islam adalah agama yang mudah". Mereka berusaha mengambil keringanan yang sesuai dengan hawa nafsu mereka, dengan sangkaan bahwa mereka telah menegakkan hujjah bagi orang yang menasehati mereka agar mengikuti syariat yang sesuai dengan Al-Qur'an dan Sunnah.

Orang-orang yang menyelisihi syariat itu hendaknya mengetahui bahwa Islam adalah agama yang mudah. (Akan tetapi maknanya adalah) dengan mengikuti keringanan-keringanan yang diberikan Allah Jalla Jalaluhu dan RasulNya kepada kita.

Allah Jalla Jalaluhu dan RasulNya telah memberi keringanan bagi kita, ketika kita membutuhkan keringanan itu dan ketika adanya kesulitan dalam mengikuti (melaksanakan perintah) yang sebenarnya.

Asal dari ungkapan " Sesungguhnya agama itu mudah" adalah penggalan kalimat dari hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang diriwayatkan Abu Hurairah dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ ، فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا ، وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَىْءٍ مِنَ الدُّلْجَةِ

"Sesungguhnya agama itu mudah, dan sekali-kali tidaklah seseorang memperberat agama melainkan akan dikalahkan, dan (dalam beramal) hendaklah pertengahan (yaitu tidak melebihi dan tidak mengurangi), bergembiralah kalian, serta mohonlah pertolongan (didalam ketaatan kepada Allah) dengan amal-amal kalian pada waktu kalian bersemangat dan giat".

Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani menerangkan ungkapan "Sesungguhnya agama itu mudah" dalam kitabnya yang tiada banding (yang bernama) : 

فَتْحُ الْبَارِي بِشَرْحِ صَحِيْحِ الْبُخَارِي 

Fathul Baariy Syarh Shahih Al-Bukhari 1/116. 

Beliau berkata : "Islam itu adalah agama yang mudah, atau dinamakan agama itu mudah sebagai ungkapan lebih (mudah) dibanding dengan agama-agama sebelumnya. Karena Allah Jalla Jalaluhu mengangkat dari umat ini beban (syariat) yang dipikulkan kepada umat-umat sebelumnya. Contoh yang paling jelas tentang hal ini adalah (dalam masalah taubat), taubatnya umat terdahulu adalah dengan membunuh diri mereka sendiri. Sedangkan taubatnya umat ini adalah dengan meninggalkan (perbuatan dosa) dan berazam (berkemauan kuat) untuk tidak mengulangi.

Kalau kita melihat hadits ini secara teliti, dan melihat kalimat sesudah ungkapan "agama itu mudah", kita dapati Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memberi petunjuk kepada kita bahwa seorang muslim berkewajiban untuk tidak berlebih-lebihan dalam perkara ibadahnya, sehingga (karena berlebih-lebihan) ia akan melampui batas dalam agama, dengan membuat perkara bid'ah yang tidak ada asalnya dalam agama.

Sebagaimana keadaan tiga orang yang ingin membuat perkara baru (dalam agama). Salah seorang di antara mereka berkata : "Saya tidak akan menikahi perempuan", yang lain berkata : "Saya akan berpuasa sepanjang tahun dan tidak berbuka", yang ketiga berkata : "Saya akan shalat malam semalam suntuk". Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang mereka dari hal itu semua, dan memberi pengarahan kepada mereka agar membaguskan amal mereka semampunya, dan hendaknya dalam mendekatkan diri kepada Allah Jalla Jalaluhu, (beribadah) dengan ibadah yang telah diwajibkan Allah Jalla Jalaluhu kepada mereka.

Dan hendaknya mereka tidak membuat-buat perkara yang tidak ada asalnya dalam agama ini, karena mereka sekali-kali tidak akan mampu (mengamalkannya), (sebagaimana hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam) " Maka sekali-kali tidaklah seseorang memperberat agama melainkan akan dikalahkan".

Maka ungkapan "Agama itu mudah" maknanya adalah : "Bahwa agama yang Allah Jalla Jalaluhu turunkan ini semuanya mudah dalam hukum-hukum, syariat-syariatnya". Dan kalaulah perkara (agama) diserahkan kepada manusia untuk membuatnya, niscaya seorangpun tidak akan mampu beribadah kepada Allah Jalla Jalaluhu.

Maka jika orang-orang yang menyelisihi syariat tidak mendapatkan "kekhususan" (tidak mendapat celah sebagai pembenaran atas perbuatan mereka) dengan hadits diatas, mereka akan lari kepada hadits-hadits lain, yang dengannya mereka berhujjah bagi perbuatan mereka yang menggampang-gampangkan dalam perkara agama.

Diantara hadits-hadits yang mereka jadikan alasan dalam masalah ini, adalah sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

إنَّ اللَّهَ يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى رُخَصُهُ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ تُؤْتَى مَعْصِيَتُهُ

"Sesungguhnya Allah menyukai keringanan-keringanannya diambil sebagaimana Dia membenci kemaksiatannya didatangi/dikerjakan"

Dalam riwayat lain.

كَمَايُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى عَزَائِمُهُ

"Sebagaimana Allah menyukai kewajiban-kewajibannya didatangi"

Hadits lain adalah sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam

يَسِّرَا وَلَا تُعَسِّرَا وَبَشِّرَا وَلَا تُنَفِّرَا وَتَطَاوَعَا وَلاَ تَخْتَلِفَا

"AMudahkanlah, janganlah mempersulit dan membikin manusia lari (dari kebenaran) dan saling membantulah (dalam melaksanakan tugas) dan jangan berselisih" [Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim]

Hadits yang ketiga.

يَسِّرُوا وَلَا تُعَسِّرُوا وَبَشِرُوا وَلَا تُنَفِّرُو

"Mudahkanlah, janganlah mempersulit, dan berikanlah kabar gembira dan janganlah membikin manusia lari (dari kebenaran)".

Adapun hadits yang pertama, wajib bagi kita untuk mengetahui bahwa keringanan-keringanan dalam agama Islam banyak sekali, diantaranya : berbukanya musafir ketika bepergian, orang yang tertinggal dalam shalat boleh mengqadha (mengganti), orang yang tertidur atau lupa boleh mengqadha shalat, orang yang tidak mendapatkan binatang sembelihan dalam haji tamattu boleh berpuasa, tayamum sebagai ganti wudhu ketika tidak ada air atau ketika tidak mampu untuk berwudhu ... dan lainnya diantara keringanan yang banyak tidak diamalkan kecuali jika terdapat kesulitan dalam melaksanakan perintah yang sebenarnya.

Dan perlu kita perhatikan, bahwa keringanan-keringanan ini adalah syari'at Allah Jalla Jalaluhu dan sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam (dengan izin Allah Jalla Jalaluhu). Dan tidak diperbolehkan seorang muslim manapun, untuk mendatangkan (mengada-ada) keringanan (dalam masalah agama) tanpa dalil, karena hal ini adalah termasuk mengadakan perkara baru dalam agama yang tidak berdasar.

Dan perhatikanlah wahai saudaraku sesama muslim (surat Al-Baqarah ayat 185), yang menceritakan tentang puasa dan keringanan berbuka bagi orang yang sakit atau bepergian, lalu firman Allah Jalla Jalaluhu sesudah ayat itu.

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

"Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu"

Makna ini menerangkan makna mudah (menurut Allah Jalla Jalaluhu), yang maknanya adalah keringanan itu datangnya dari sisi Allah saja, tiada sekutu bagiNya. Atau (keringanan itu) dari syariat Rasulullah Shallallahju 'alaihi wa sallam dengan wahyu dari Allah Jalla Jalaluhu. Ayat ini juga menerangkan bahwa makna mudah itu dengan mengikuti hukum Allah Jalla Jalaluhu (yang tiada sekutu bagiNya) dan mengikuti syariatNya. Inilah yang bekenaan dengan hadits yang pertama tadi.

Adapun hadits yang kedua dan tiga, maka pengambilan dalil yang dilakukan oleh orang-orang yang mengikuti hawa nafsu serta menyelisihi syariat (dengan kedua hadits itu) adalah batil, dan termasuk merubah sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dari makna yang sebenarnya, dan keluar dari makna yang dimaksud.

Tafsir kedua hadits yang lalu berhubungan dengan para da'i yang menyeru kepada agama Islam. Dalam kedua hadits itu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memantapkan kaidah penting dari kaidah-kaidah dasar dakwah kepada Allah Jalla Jalaluhu, yaitu berdakwah dengan lemah lembut dan tidak kasar. Maka dakwah para dai yang sepatutnya disampaikan pertama kali kepada orang-orang kafir adalah Syahadat, lalu Shalat, Puasa , Zakat. Kemudian (hendaknya) mereka menjelaskan kepada manusia tentang sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu menerangkan amal perbuatan yang wajib, yang sunnah dan yang makruh. Jika melihat suatu kesalahan yang disebabkan karena kebodohan atau lupa, maka hendaklah bersabar dan mendakwahi manusia dengan penuh kasih sayang dan kelembutan serta tidak kasar. Allah Jalla Jalaluhu berfirman.

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ

"Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu" [Ali Imran/3 : 159]

Sesudah memahami hadits-hadits itu, dan penjelasan makna keringanan dan kemudahan. Maka saya berkata kepada orang-orang yang merubah dan mengganti makna-makna hadits-hadits tersebut (karena ingin mengenyangkan hawa nafsu mereka dengan perbuatan itu) :

"Bertaqwalah kepada Allah Jalla Jalaluhu dan ikutilah apa yang diperintahkan kepada kalian, dan jauhilah laranganNya, dan tahanlah (diri kalian) dari merubah sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan takutilah suatu hari yang kalian dikembalikan kepada Allah Jalla Jalaluhu lalu setiap jiwa akan disempurnakan dengan apa yang ia usahakan. Dan takutlah kalian jangan sampai diharamkan dari mendatangi telaga Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam lantaran kalian mengganti agama Allah Jalla Jalaluhu dan merubah sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam".

Saya mengharapkan dari Allah Jalla Jalaluhu yang Maha Hidup dan Maha Berdiri sendiri agar memberi petunjuk kepada kita dan kaum muslimin seluruhnya untuk mengikuti Al-Qur'an dan Sunnah NabiNya, dan agar Allah Jalla Jalaluhu mengajarkan kepada kita ilmu yang bermanfaat, dan memberi manfaat dari apa yang Dia ajarkan, serta memelihara kita dari kejahatan perbuatan bid'ah dan penyelewengan, serta kejahatan mengubah dan mengganti (syariat Allah).

[Disalin dari Majalah : Al Ashalah edisi 15-16 hal 33-35, diterjemahkan oleh Majalah Adz-Dzkhiirah Al-Islamiyah Edisi : Th. I/No. 03/Dzulhijjah 1423/Februari 2003, hal 5 -6.Terbitan Ma'had Ali Al-Irsyad Surabaya]

5 Sifat Haji Mabrur

Abu Fathan | 18:37 | 0 comments
Haji mabrur itulah yang didambakan setiap orang karena balasannya tentu saja surga. Namun haji mabrur bukanlah suatu slogan atau titel. Ada beberapa sifat yang mesti dipenuhi, barulah seseorang yang berhaji bisa menggapai derajat mulia tersebut.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا ، وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ
Di antara umrah yang satu dan umrah lainnya akan menghapuskan dosa di antara keduanya dan haji mabrur tidak ada bahasannya kecuali surga.” (HR. Bukhari no. 1773 dan Muslim no. 1349).
Hadits di atas disampaikan oleh Ibnu Hajar Al Asqolani ketika mengawali pembahasan dalam kitab haji pada hadits no. 708. Hadits tersebut menerangkan mengenai keutamaan haji mabrur dan balasannya adalah surga.
Ibnu ‘Abdil Barr dalam At Tamhid (22: 39) mengatakan bahwa haji mabrur adalah haji yang tidak ada riya’ (ingin dipandang orang lain), tidak sum’ah (ingin didengar orang lain), tidak ada rofats (kata-kata kotor di dalamnya), tidak melakukan kefasikan, dan berhaji dengan harta halal.
Kita dapat katakan bahwa sifat haji mabrur ada lima:
1- Ikhlas mengharap wajah Allah, tidak riya‘ dan sum’ah. Jadi haji bukanlah untuk cari titel atau gelar “Haji”. Tetapi semata-mata ingin mengharap ganjaran dari Allah.
2- Berhaji dengan rezeki yang halal karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا
Allah itu thoyyib (baik) dan tidaklah menerima kecuali dari yang baik” (HR. Muslim no. 1015).
3- Menjauh dari maksiat, dosa, bid’ah dan hal-hal yang menyelisihi syari’at. Hal-hal tadi jika dilakukan dapat berpengaruh pada amalan sholeh dan bisa membuat amalannya tidak diterima. Lebih-lebih lagi dalam melakukan haji. Dalam ayat suci Al Qur’an disebutkan firman Allah,
الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ
(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats (berkata kotor), berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji.” (QS. Al Baqarah: 197).
4- Berakhlak yang mulia dan bersikap lemah lembut, juga bersikap tawadhu’ (rendah hati) ketika di kendaraan, tempat tinggal, saat bergaul dengan lainnya dan bahkan di setiap keadaan.
5- Mengagungkan syi’ar Allah. Orang yang berhaji hendaknya benar-benar mengagungkan syi’ar Allah. Ketika melaksanakan ritual manasik, hendaklah ia menunaikannya dengan penuh pengagungan dan tunduk pada Allah. Hendaklah ia menunaikan kegiatan haji dengan penuh ketenangan dan tidak tergesa-gesa dalam berkata atau berbuat. Jangan bersikap terburu-buru sebagaimana yang dilakukan banyak orang di saat haji. Hendaklah punya sikap sabar yang tinggi karena hal ini sangat berpengaruh besar pada diterimanya amalan dan besarnya pahala.
Di antara bentuk mengagungkan syi’ar Allah, hendaklah ketika berhaji menyibukkan diri dengan dzikir, yaitu memperbanyak takbir, tasbih, tahmid dan istighfar. Karena orang yang berhaji sedang dalam ibadah dan berada dalam waktu-waktu yang mulia.
Demikianlah haji Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika ditilik, maka di dalamnya benar-benar berisi pengagungan terhadap syi’ar Allah. Itu nampak dari perkataan dan perbuatan beliau, semoga shalawat dan salam tercurahkan pada beliau.
Hanya Allah yang memberi taufik untuk menggapai haji mabrur.
Referensi:
Minhatul ‘Allam fii Syarh Bulughil Marom, Syaikh ‘Abdullah bin Sholih Al Fauzan, terbitan Dar Ibnil Jauzi, cetakan ketiga, tahun 1432 H, 5: 158-161.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Upah untuk Jagal dari Hasil Qurban ?

Abu Fathan | 18:37 | 0 comments
Sebagian jagal (tukang sembelih qurban) kadang mengambil jatah upahnya dari daging sembelihan qurban, walau ia juga sudah mendapatkan jatah bayaran. Kadang juga sebagai upah, jagal tersebut diberi kulit. Terkadang ia pun mendapatkan jatah daging yang lebih dari pembagian lainnya pada masyarakat. Jika asalnya warga diberi 1 kg daging, mungkin jagal bisa dapat jatah 2 kg. Lebihnya inilah yang dianggap sebagai tambahan upah. Padahal namanya qurban itu diserahkan segala hasilnya secara cuma-cuma (tabarru’an), bukan maksud mendapatkan timbal balik barang atau uang seperti dalam jual beli atau timbal balik jasa sebagaimana mengupahi. Karena jika sebagian hasil qurban semisal kulit atau daging diserahkan pada tukang jagal, maka itu sama saja menjual. Padahal telah terlarang menjual dari hasil qurban apa pun itu.

Nah, itulah pula yang disinggung kali ini mengenai kebiasaan sebagian panitia yang memanfaatkan hasil qurban untuk makan-makan mereka. Ini sebenarnya tidak jauh dari upah untuk panitia. Panitia yang menyembelih, memotong dan menguluti qurban sama saja dengan jagal, mereka bukanlah amil seperti dalam zakat, namun sebagai wakil shohibul qurban untuk menyembelih hewannya.

Masalah Upah untuk Jagal dari Hasil Qurban


Dalil terlarangnya memberi upah pada jagal dari hasil sembelihan qurban sebagaimana terdapat dalam riwayat yang disebutkan oleh ‘Ali bin Abi Tholib,

أَمَرَنِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ أَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ وَأَنْ أَتَصَدَّقَ بِلَحْمِهَا وَجُلُودِهَا وَأَجِلَّتِهَا وَأَنْ لاَ أُعْطِىَ الْجَزَّارَ مِنْهَا قَالَ « نَحْنُ نُعْطِيهِ مِنْ عِنْدِنَا ».

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkanku untuk mengurusi unta-unta qurban beliau. Aku mensedekahkan daging, kulit, dan jilalnya (kulit yang ditaruh pada punggung unta untuk melindungi dari dingin). Aku tidak memberi sesuatu pun dari hasil sembelihan qurban kepada tukang jagal. Beliau bersabda, “Kami akan memberi upah kepada tukang jagal dari uang kami sendiri”.” (HR. Muslim no. 1317)

Dari hadits ini, Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Tidak boleh memberi tukang jagal sebagian hasil sembelihan qurban sebagai upah baginya. Inilah pendapat ulama-ulama Syafi’iyah, juga menjadi pendapat Atho’, An Nakho’i, Imam Malik, Imam Ahmad dan Ishaq.” (Syarh Muslim, An Nawawi, 4: 453)
Dalam Kifayatul Akhyar (hal. 489) karya Abu Bakr bin Muhammad Al Husayinniy Al Hushniy Asy Syafi’i disebutkan, “Yang namanya hasil qurban adalah dimanfaatkan secara cuma-cuma, tidak boleh diperjualbelikan. Termasuk pula tidak boleh menjual kulit hasil qurban. Begitu pula tidak boleh menjadikan kulit qurban tersebut sebagai upah untuk jagal, walau qurbannya adalah qurban yang hukumnya sunnah.” Hal yang serupa disebutkan pula dalam Al Iqna’ fii Halli Alfazhi Abi Syuja’ karya Muhammad bin Muhammad Al Khotib (2: 452).

Namun sebagian ulama ada yang membolehkan memberikan upah kepada tukang jagal dengan kulit semacam Al Hasan Al Bashri. Beliau mengatakan, “Boleh memberi jagal upah dengan kulit.”  Imam Nawawi lantas menyanggah pernyataan tersebut, “Perkataan beliau ini telah membuang sunnah (ajaran Rasul -shallallahu ‘alaihi wa sallam-.” (Syarh Muslim, An Nawawi, 4: 453)

Dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah (5: 105) disebutkan, “Ulama Syafi’iyah dan Hambali berpendapat: Haram memberikan tukang jagal upah dari hasil qurban dengan alasan hadits ‘Ali radhiyallahu ‘anhu yang telah disebutkan. Namun kalau diserahkan kepada tukang jagal tersebut karena statusnya miskin atau dalam rangka memberi hadiah, maka tidaklah mengapa. Tukang jagal tersebut boleh saja memanfaatkan kulitnya. Namun tidak boleh kulit dan bagian hasil qurban lainnya dijual.”

Sehingga yang tepat, upah jagal bukan diambil dari hasil sembelihan qurban baik daging maupun kulitnya. Namun shohibul qurban hendaknya menyediakan upah khusus dari kantongnya sendiri untuk tukang jagal tersebut.

Masalah Jatah dan Makan-Makan Panitia


Panitia yang bertugas untuk menguliti, mengiris daging, membagi dan mendistribusikan ke masyarakat termasuk dalam kategori tukang jagal dan orang yang mengurusi hewan kurban. Panitia boleh menerima dan memakan daging kurban namun dalam kapasitas dia sebagai masyarakat yang diberi jatah pembagian daging kurban, sehingga daging yang ia bawa pulang sama dengan yang diperoleh tetangga lainnya yang tidak menjadi panitia.

Contoh cara pembagian yang dibolehkan: warga desa kampung A berqurban 5 ekor sapi & 13 ekor kambing. Setelah dihitung, masing-masing kepala keluarga mendapat jatah 2 Kg daging sapi dan ½ kg daging kambing. Semua merata tanpa memperhatikan status, baik panitia maupun bukan panitia.

Contoh cara pembagian yang terlarang 1: warga desa kampung A berqurban 5 ekor sapi & 13 ekor kambing. Setelah dihitung, masing-masing kepala keluarga mendapat jatah 2 Kg daging sapi dan ½ Kg daging kambing. Khusus untuk panitia mendapat jatah tambahan masing-masing ½ Kg daging sapi sebagai ganti jasa mereka yang telah mengurusi hewan qurban. Dalam keluarga Pak Ahmad ada 4 orang yang terlibat sebagai panitia, yaitu Pak Ahmad, Bu Ahmad, dan 2 putranya. Sehingga keluarga Pak Ahmad mendapat jatah 4 Kg daging sapi dan ½ Kg daging kambing. Keluarga Pak Ahmad mendapat kelebihan jatah 2 Kg sapi karena anggota keluarganya yang terlibat 4 orang x ½ Kg = 2 Kg.

Contoh cara pembagian yang terlarang 2: Sebagai bentuk imbal jasa bagi panitia qurban maka takmir mengambil 1 ekor kambing untuk disembelih sebagai jamuan makan bersama bagi panitia. Di samping itu, panitia juga mendapat jatah yang sama dengan warga lainnya. Dengan demikian, panitia mendapat tambahan jatah pembagian qurban yang mereka jadikan sebagai menu makan bersama.

Untuk keperluan kepanitiaan, baik untuk administrasi sekretariat, pembelian kantong plastik, sewa tenda, upah jagal dan orang-orang yang membatu dalam kepanitian, konsumsi dan transportasi hendaklah biayanya dibebankan kepada  takmir masjid, orang yang berkurban atau sumbangan lainnya. Daging kurban seluruhnya dibagi untuk masyarakat tanpa membedakan panitia atau bukan panitia.

Hanya Allah yang memberi taufik.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. BERITA SUNNAH - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger