{قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ ويَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ، وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ}

Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah (sunnah/petunjuk)ku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS Ali ‘Imran:31)

Bertaubat Dari Harta Haram

Abu Fathan | 08:19 | 0 comments
PENDAHULUAN

Alhamdulillah, selawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.

Hidup di masyarakat yang heterogen seperti di negeri ini tentunya memiliki dinamika yang berbeda dengan hidup di masyarakat yang homogen. Perbedaan budaya, ideologi, dan tingkat kepatuhan masyarakat terhadap hukum agamanya tampak dengan nyata. Kondisi semacam ini tentunya menuntut kita bersikap bijak. Dengan demikian kita dapat mewujudkan kepentingan kita tanpa harus bergesekan atau berbenturan dengan aturan, peraturan, norma masyarakat apalagi hukum syariat. Terlebih dalam banyak kesempatan Anda tidak memiliki wewenang dan bahkan keberanian untuk sekedar menunjukkan sikap apalagi melakukan satu perubahan.

Coba Anda bayangkan, ketika Anda belanja di supermarket, Anda menyaksikan khamar, daging babi, dan berbagai barang haram lainnya diperjualbelikan. Atau mungkin pula ketika sebagai penjual, Anda mengetahui dengan yakin bahwa mata pencaharian calon pembeli anda menyimpang alias haram secara syariat. Kondisi semacam ini tentuk mengusik ketenangan batin Anda, sehingga Anda meragukan status halal keuntungan yang Anda peroleh dari bertransaksi dengan mereka.

ALASAN SUATU HARTA DIHARAMKAN?
Secara hukum syariat, suatu harta dapat dinyatakan haram karena dua alasan:

1. Haram karena alasan yang melekat pada harta itu (zatnya), semisal khamar, daging babi, dan yang semisal.

2. Haram karena adanya kesalahan dalam metode mendapatkannya, semisal harta yang diperoleh dengan cara merampas, menipu, akad riba, dan yang serupa.

Harta haram karena alasan yang melekat padanya, semisal bankai, babi, khamer dan yang semisal. Allah Ta’ala berfirman:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَنْ تَسْتَقْسِمُوا بِالْأَزْلَامِ

Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. [al-Ma’idah/5 :3]

Status haram harta jenis ini berlaku bagi semua orang,. Tidak ada bedanya antara yang mendapatkannya dengan cara mencuri, menipu, atau dengan cara membeli, warisan atau hibah atau akad serupa lainnya.

Sahabat Anas ibn Malik Radhiyallahu anhu mengisahkan bahwa Sahabat Abu Talhah bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam perihal beberapa anak yatim yang menerima warisan berupa khamar. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menanggapi pertanyaan Abu Talhah ini dengan bersabda: “Tumpahkanlah.” Mendengar jawaban itu, Sahabat Abu Talhah berkata, “Tidaklah lebih baik bila khamar itu aku proses agar menjadi cuka?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Tidak.” [HR Ahmad, Abu Dawud, dan lainnya]

Karena keharaman harta ini bersifat permanen dan berlaku atas semua orang maka haram untuk diperjualbelikan.

Sahabat ‘Abdullah ibn ‘Abbas Radhiyallahu anhuma mengisahkan, “Suatu hari datang seorang lelaki membawa hadiah berupa sekantong minuman khamar untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka menanggapi hadiah ini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tahukah engkau bahwa Allah telah mengharamkan minuman khamar?’ Lelaki itu menjawab, ‘Tidak’, dan selanjutnya ia berbisik kepada seseorang. Melihat tamunya berbisik-bisik, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya: ‘Apa yang engkau bisikan kepadanya?’ Lelaki itu menjawab, ‘Saya memintanya untuk menjualkan khamar tersebut.’ Menanggapi pengakuan tamunya ini Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إنَّ الَّذِي حَرَّمَ شُرْ بَهَا حَرَّمَ بَيْعَهَا

"Sejatinya Allah yang mengaharamkan minum khamar juga mengharamkan penjualannya.’” [HR Muslim]

Keharaman memperjualbelikan harta jenis ini berlaku baik diperjualbelikan secara langsung atau hasil olahannya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

قَاتَلَ اللَّهُ الْيَهُودَ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَ لَمَّا حَرَّمَ عَلَيْهِمْ شُحُو مَهَا أَجْمَلُوهُ ثُمَّ بَاعُوهُ فَأَكَلُوا ثَمَنَهُ

“Semoga Allah membinasakan kaum Yahudi, sejatinya tatkala Allah Azza wa Jalla mengharamkan lemak hewan ternak atas mereka, maka mereka melelehkannya hingga menjadi minyak, lalu mereka menjualnya dan menikmati hasil penjualannya.” [Muttafaq ‘alaihi]

Pembaca yang budiman, keharaman harta jenis ini tiada berubah walaupun di kemudian hari Anda mendapatkan adanya sebagian manfaat atau nilai ekonomis padanya. Karena itu, tidak sepantasnya Anda terkejut apalagi goyah keimanan Anda gara-gara mendengar atau membaca keterangan tentang daging babi yang memiliki manfaat dan nialai ekonomis tinggi.

Percayalah bahwa walaupun daging babi memiliki nilai ekonomis tinggi, namun tetap saja mudarat dampak buruknya berlipat ganda dari manfaatnya. Demikianlah faktanya, setiap yang diharamkan pastilah mudaratnya lebih besar dibanding manfaatnya, karena itu dalam al-Quran al-Karim benda-benda haram disebut dengan al-khabais (benda-benda kotor).

Allah berfirman:

وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ

Menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk. [al-A’raf/7 : 157]

Berdasarkan ayat ini, sebagian ulama dengan tegas menyatakan. “Segala yang Allah Ta’ala halalkan pastilah baik, bermanfaat bagi kesehatan badan dan keutuhan agama umat manusia. Sebaliknya, segala yang Allah Ta’ala haramkan pastilah buruk, dan merusak kesehatan badan dan keutuhan agama umat manusia. [Tafsir Ibn Katsir 3/488]

Adapun harta yang diharamkan karena tata cara memperolehnya terlarang, maka keharamannya harnya berlaku atas sebagian orang saja, yaitu atas orang yang mendapatkannya dengan cara haram. Hasil curian haram atas pencuriannya, namun halal bagi pemiliknya. Harta hasil korupsi, maka haram atas koruptornya, sedangkan bagi rakyat maka harta itu halal hukumnya. Dengan demikian, keharaman harta jenis ini hanya berlaku dari satu arah. Sebagimana yang dapat kita pahami dari hukum riba yang ditegaskan pada ayat berikut:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ ﴿٢٧٨﴾ فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba ( yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu: kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. [al-Baqarah /2 : 278-279]

Cermatilah bagaimana pada ayat dia atas dengan jelas Allah Ta’ala memerintahkan agar para rentenir membatalkan bunga/riba yang telah mereka sepakati dan hanya memungut pokok utangnya saja. Dengan cara ini mereka dapat terbebas dari perbuatan menzalimi atau merugikan orang lain dan juga tidak dizalimi atau dirugikan.

Kesimpulannya, orang yang mendapatkan harta ini dengan cara halal maka halal pula harta tersebut baginya. Sebagai contoh sederhana, seorang pencuri haram untuk menikmati hasil curiannya. Namun, tidak diragukan bahwa harta hasil curian itu halal bagi pemiliknya yang sah. Bahkan andai pemiliknya yang sah memaafkan pencuri tersebut maka harta curian itu yang sebelumnya haram atasnya, sekejap berubah menjadi halal.

Dikisahkan bahwa suatu hari Sahabat Safwan ibn Umayyah Radhiyallahu anhu tidur di masjid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbantalkan bajunya. Di saat terlelap dalam tidurnya, bajunya dicuri oleh seseorang. Namun, pencuri bajunya itu berhasil ditangkap dan segera dihadapkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka segera Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar pencuri itu dipotong tangannya. Mengetahui pencuri bajunya akan segera dipotong tangannya, Sahabat Safwan Radhiyallahu anhu merasa iba, sehingga ia berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ”Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, apakah tangannya akan engkau potong karena ia mencuri bajuku? Ketahuilah bahwa aku telah menghalalkan bajuku untuknya.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menanggapi ucapan Sahabat Safwan Radhiyallahu anhu dengan bersabda:

فَهَلاَّ كَانَ هَذَا قَبْلَ أَنْ تَأْتِيَنِي بِهِ

“Mengapa tidak engkau maafkan sebelum engkau melaporkannya kepadaku?”” [Ahmad, Abu Dawud, al-Baihaqi, dan lainnya]

Ibn Taimiyyah rahimahulla menyatakan, “Dengan penjelasan ini maka jelaslah bahwa orang yang bekerja dengan cara halal, atau menyewakan kendaraan, properti, atau lainnya lalu ia mendapatkan upah, maka upa itu halal dan tidak haram. Baginya, sama saja mengetahui bahwa penyewanya mendapatkan uangnya dengan cara halal atau ia tidak mengetahuinya. Namun, bila ia mengetahui bahwa pembelinya mendapatkannya dengan cara merampas, atau mencuri, atau melalui cara yang tidak halal baginya, maka pada kondisi semacam ini ia terlarang untuk menerimanya sebagai upah atau harga barang dagangannya.” [Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyyah 29/330]

Penjelasan al-Imam Ibn Taimiyyah ini selaras dengan praktik Amirulmukminin ‘Umar ibn al-Khattab Radhiyallahu anhu. Suwaid ibn Gafalah mengisahkan bahwa pada suatu hari Sahabat Bilal Radhiyallahu anhu mengadukan kepada Amirulmukminin perihal beberapa pegawainya yang memungut upeti dalam bentuk minuman khamar dan hewan babi. Mendapat laporan ini, segera Amirulmukminin ‘Umar ibn al-Khattab Radhiyallahu anhu mengeluarkan perintah:

لاَ تَأْ خُذُوْا مِنْهُمْ، وَلَكِنْ وَلَوهم بَيْعَهَا، وَخُذُوْا أَنْتُمْ مِنَ الثَّمَنِ

“Janganlah kalian menerima upeti dalam bentuk khamar dan babi, namun biarkan mereka (orang Yahudi dan Nasrani yang tinggal di negeri Islam) memperjualbelikannya kepada sesama mereka. Dan bila telah terjual, maka kalian boleh menerima uang hasil penjualannya.” [Riwayat Abu ‘Ubaid dalam kitabnya al-Amwal riwayat no. 115, ‘Abdurrazzaq dalam kitabnya al-Musannaf 6/23, dan lainnya]

Al-Imam Abu ‘Ubaid rahimahullah mengomentari riwayat ini dengan berkata, “Riwayat ini menjelaskan bahwa kala itu petugas khilafah menerima upeti dan pajak tanah dari orang-orang kafir yang tinggal di negeri Islam dalam bentuk khamar dan babi. Dan selanjutnya petugas yang notabene beragamakan Islam itu menjual khamar dan babi tersebut. Praktik semacam inilah yang diingkari oleh Sahabat Bilal Radhiyallahu anhu dan selanjutnya dilarang oleh Khalifah ‘Umar Radhiyallahu anhu. Sebagai solusinya, beliau mengizinkan para petugasnya untuk memungut upeti dan pajak tanah dari hasil penjualan khamar dan babi tersebut, selama yang menjualnya ialah orang-orang kafir tersebut. Alasan beliau membuat keputusan semacam ini karena secara hukum khamar dan babi dianggap sebagai harta kekayaan orang-orang kafir, namun tidak boleh dijadikan sebagai bagian dari harta kekayaan umat Islam.”

Penjelasan ini tentang perubahan status hukum suatu harta seperti ini oleh sebagian ulama ahli fikih dituangkan dalam satu kaidah yang berbunya:

تَبَدُّلُ سَبَبِ الْمِلْكِ قَائِمٌ مَقَامَ تَبَدُّلِ الذَّاتِ

“Pergantian jalur kepemilikan suatu benda, dianggap sebagai pergantian fisik benda tersebut.” [al-Qqwa’id wa al-Dawabit al-Fiqhiyyah al-Mutadamminah li al-Taisir 1/71]

Inilah kedua alasan diharamkannya suatu harta atas umat Islam, yang masing-masing alasan ini memiliki perincian yang beraneka ragam sebagaimana dijelaskan di atas.

CARA BERTOBAT DARI KEDUA JENIS HARTA HARAM
Adapun cara bertobat dari dosa memiliki atau mendapatkan kedua jenis harta haram tersebut di atas maka dengan cara:

1. Menyesal, karena telah memakan atau menggunakan barang yang haram untuk dimakan atau digunakan.

2. Bertekad untuk tidak mengulanginya.

3. Memohon ampun kepada Allah atas dosa memakan atau menggunakan harta yang haram untuk digunakan.

4. Bial harta haram tersebut diharamkan karena alasan cara mendapatkannya yang terlarang, maka wajib untuk mengembalikan harta tersebut kepada pemiliknya atau meminta untuk dimaafkan. Baik pemiliknya adalah perorangan atau instansi pemerintah atau perusahaan atau lainnya. Allah Azza wa Jalla menjelaskan tentang tata cara bertobat dari harta riba:

وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ

Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. [al-Baqarah/2 : 279]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَأْ خُذَنَّ أَحَدُكُمْ مَتَاعَ صَاحِبِهِ لَعِبًاجَادًّا وَإِذَا أَخَذَأَحَدُكُمْ عَصَاأَخِيهِ فَلْيَرْدُدْهَا عَلَيْهِ

“Janganlah engkau mengambil barang milik temanmu, baik hanya sekedah bermain-main atau sungguh-sungguh. Dan bila engkau mengambil barang milik saudaramu, maka segera kembalikanlah kepadanya.” [Ahmad 4/221 dan lainnya]

Pada hadits lain beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لأِحَدٍ مِنْ عِرْضِهِ أَوْشَيْءٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ قَبْلَ أَنْ لاَ يَكُوْنَ دِيْنَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظلَمَتِهِ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ

“Barangsiapa pernah melakukan tindak kezaliman kepada seseorang, baik dalam urusan harga dirinya, atau hal lainnya, maka segeralah ia meminta untuk dimaafkan, sebelum tiba hari yang tiada lagi dinar atau dirham. Bila hari itu telah tiba maka akan diambilkan dari pahala amal salehnya dan diberikan kepada orang yang ia zalimi sebesar tindak kezalimannya. Dan bila ia tidak memiliki pahala kebaikan, maka akan diambilkan dari dosa-dosa orang yang ia zalimi dan akan dipikulkan kepadanya. [al-Bukhari hadits no. 2317]

Namun, bila Anda tidak dapat mengembalikannya kepada pemiliknya karena suatu alasan yang dibenarkan secara syariat, maka sedekahkanlah harta tersebut atas nama pemiliknya. Dengan cara ini, berarti Anda menyiapkan diri dengan menabungkan pahala sebesar hartanya yang Anda ambil. Dengan demikian, bila kelak ia menuntut haknya di hari Kiamat, maka Anda telah menyiapkan pahala sedekah sebesar hartanya yang Anda ambil dengan cara-cara yang tidak benar, sebagaimana ditegaskan pada hadits di atas.

Demikian paparan singkat dan sederhana tentang tata cara bertobat dari memiliki atau menggunakan harta haram. Semoga paparan singkat dan sederhana ini bermanfaat bagi Anda.

Wallahu Ta’ala a’lam bi al-sawab.
Ustadz Dr. Muhammad Arifin Baderi

[Disalin dari Majalah Al-Furqon, Edisi 6, Tahun ke-13/Muharram 1435.]

Perdamaian Itu Lebih Baik

Abu Fathan | 11:37 | 0 comments
Kaum Muslimin rahimakumullâh
Ketahuilah wahai saudara-saudaraku, sesungguhnya taqwa kepada Allâh Azza wa Jalla adalah bekal terbaik bagi setiap orang yang mengharap rahmat-Nya. Dengan taqwa, seseorang akan mendapatkan rezeki dari arah yang tidak disangka dan dia akan mendapatkan kemudahan setelah kesusahan, dan kelapangan setelah kesempitan. Allâh Azza wa Jalla berfirman.

أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ ﴿٦٢﴾ الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ

"Ingatlah sesungguhnya wali-wali (kekasih-kekasih) Allâh itu tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula)mereka bersedih hati.(Yaitu ) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa. [Yunus/10: 62 – 63]

Kaum Muslimin rahimakumullâh
Sesungguhnya pengetahuan manusia, keinginan, dan watak mereka itu berbeda-beda meskipun mereka berasal dari bapak dan ibu yang sama (yaitu Nabi Adam dan Hawa). Dan sebenarnya ini merupakan ujian, sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :

وَجَعَلْنَا بَعْضَكُمْ لِبَعْضٍ فِتْنَةً أَتَصْبِرُونَ ۗ وَكَانَ رَبُّكَ بَصِيرًا

Dan kami jadikan sebagian kamu cobaan bagi sebagian yang lain. Maukah kamu bersabar? dan adalah Tuhanmu Maha Melihat. [al-Furqân/25:20]

Sebagian orang ada yang berkepribadian bijak, arif dan penuh toleran. Dia tidak mudah emosi dengan sedikit kalimat yang dia dengar.

Sebagian lagi, ada juga yang ceroboh, nekat, mudah tertipu, tidak sabar, mudah tersulut perkataan lalu berlaku konyol. Lisan dan tindak-tanduknya mendahului akalnya.

Kaum Muslimin rahimakumullâh
Seorang Mukmin adalah seorang juru damai yang agung, yang bisa menghimpun bukan memecah belah, yang memperbaiki bukan merusak; Bijak dalam mendamaikan pihak yang bertikai. Dan sebagai imbal baliknya, banyak orang yang mendoakan kebaikan untuknya dan memujinya karena dia telah mendamaikan dan menyelamatkan dari perpecahan.

Orang yang memperhatikan realita saat ini, dia akan dapati adanya keretakan yang menggores kemurnian kecintaan dan jalinan persaudaraan. Hal ini nampak dari hawa nafsu yang dituruti, kebakhilan dan ketamakan yang diikuti, dan kebanggan terhadap pendapat sendiri.

Sungguh benar Rasûlullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau bersabda :

إِنَّ الشَّيْطَانَ قَدْ أَيِسَ أَنْ يَعْبُدَهُ الْمُصَلُّونَ فِي جَزِيْرَةِ الْعَرَبِ، وَلَكِنْ فِي التَّحْرِيْشِ بَيْنَهُمْ

Sesungguhnya syaitan telah putus asa dari (mendapatkan) penyembahan dari orang-orang yang shalat di jazirah arab, akan tetapi dia akan selalu mengadu domba di antara mereka. [HR. Muslim no. 2812]

Ketika terjadi pertengkaran dan pertikaian, maka perdamaian menjadi suatu yang sangat terpuji. Jika perselisihan adalah keburukan, pertengkaran dan pertikaian adalah aib, maka sebaliknya, perdamaian dan usaha mendamaikan adalah sebuah rahmat. Meski perbedaan pendapat pada manusia adalah hal yang telah digariskan oleh Allâh Azza wa Jalla sebagaimana firman-Nya :

وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِين

Jikalau Rabbmu menghendaki , tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat. [Hud/11:118]

Namun Allâh mengecualikan darinya orang-orang yang mendapat rahmat-Nya.

إِلَّا مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ

Kecuali orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. [Hud/11:119]

Perdamaian yang terwujud pada umat akan menjadikannya indah, namun jika hilang maka berbagai buruk tidak akan terhindarkan.

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَالصُّلْحُ خَيْرٌ

Dan perdamaian itu lebih baik [an-Nisâ/4:128]

Allâh Azza wa Jalla juga berfirman:

فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَصْلِحُوا ذَاتَ بَيْنِكُمْ

Sebab itu bertaqwalah kepada Allâh dan perbaikilah hubungan diantara sesamamu. [al-Anfâl/8:1]

لَا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَاحٍ بَيْنَ النَّاسِ

Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat makruf atau mengadakan perdamaian diantara manusia. [an-Nisâ/4:114]

إِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا

Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya. [al-Hujurât/49:9]

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ

Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah saudara. [al-Hujurât/49:10]

Dan sungguh tidak ada di dunia juru damai yang sekelas dengan Rasûlullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Beliau mendamaikan suku-suku, antar individu-individu dan kelompok masyarakat. Beliau juga mendamaikan pasangan suami-istri, dua orang yang berutang-piutang, dan juga juru damai dalam penegakkan hak harta, nyawa dan kehormatan. Bagaimana tidak, padahal beliau sendiri bersabda :

أَلاَ أُخْبِركُمُ بِأَفْضَلَ مِنْ دَرَجَةِ الصِّياَمِ وَالصَّلاَةِ وَالصَّدَقَةِ؟ قَالُوْا: بَلَى، قَالَ: صَلاَحُ ذَاتِ البَيْنِ؛ فَإِنَّ فَسَادَ ذَاتِ البَيْنِ هِيَ الحَالِقَةُ

Maukah aku beritahukan kepadamu perkara yang lebih utama daripada puasa, shalat dan sedekah ? Para sahabat menjawab, “Tentu wahai Rasûlullâh.” Beliau bersabda, “Yaitu mendamaikan perselisihan diantara kamu, karena rusaknya perdamaian diantara kamu adalah pencukur (perusak agama)”. [HR. Abu Dawud dan Tirmidzi]

Disebutkan di dalam sebuah hadits:

عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ أَهْلَ قُبَاءَ اقْتَتَلُوْا حَتَّى تَرَامَوا بِالْحِجَارَةِ، فَأَخْبَرَ رَسُوْلَ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِذَلِكَ، فَقَالَ: اذهبُوا بنا نُصلِح بينهم

Dari Sahal bin Sa'ad Radhiyallahu anhu bahwa penduduk Quba' telah bertikai hingga saling lempar batu, lalu Rasûlullâh shallallahu 'alaihi wasallam dikabarkan tentang peristiwa itu, maka beliau bersabda: Mari kita pergi untuk mendamaikan mereka. [HR. Bukhari]


Wahai kaum muslimin, semoga Allâh selalu menjaga kita semua.
Sesungguhnya perdamaian termasuk diantara sebab munculnya rasa cinta dan perekat keretakan. Terkadang perdamaian itu lebih baik daripada hukum yang diputuskan hakim. Dalam perdamaian, ada pahala dari Allâh Azza wa Jalla dan ada dosa yang dihapuskan. Termasuk didalamnya, pertikaian dalam rumah tangga.

Namun untuk kita sadar bersama, bahwa semua upaya damai itu tidak akan terwujud kecuali dibarengi keinginan kuat yang nyata serta niat tulus dari semua pihak, antara juru damai dan yang didamaikan. Karena Allâh Azza wa Jalla mengaitkan perdamaian itu dengan adanya kemauan yang baik dari semua pihak. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

إِنْ يُرِيدَا إِصْلَاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا

Jika kedua orang hakim itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allâh memberi taufiq kepada suami – istri itu. [an-Nisâ/4:35]

Suatu ketika, Imam Hasan al Bashri rahimahullah didatangi oleh dua orang yang bertikai dari Tsaqif. Lalu sang Imam berkata, “Kalian berdua masih satu kelompok dan satu kerabat, (kenapa) masih saja bertikai ?” Mereka menjawab, “ Wahai Abu Sa’id, kami hanya ingin damai.” Beliau rahimahullah berkata, “Ya. Kalau begitu kalian bicaralah!” Akan tetapi keduanya malah saling melempar tuduhan dusta ke lawannya. Melihat ini, sang Imam menjawab, “Demi Allâh ! Kalian dusta ! Bukan perdamaian yang kalian inginkan, karena Allâh Azza wa Jalla berfirman :

إِنْ يُرِيدَا إِصْلَاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا

Jika kedua orang hakim itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allâh memberi taufiq kepada suami – istri itu. [an -Nisâ/4:35]

Oleh karenanya bertakwalah wahai para hamba Allâh ! Sudahi dan hentikanlah pertengkaran dan pertikaian, terutama yang disebabkan hal-hal remeh.

Allâh Azza wa Jalla berfirman :

فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ

Maka barangsiapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan ) Allâh. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim. [asy-Syûrâ/42:40]

Semoga Allâh Azza wa Jalla memberkahi saya dan anda semuanya dengan al-Qur’an dan mencurahkan manfaat dari isinya berupa ayat-ayat dan hikmahNya yang Maha Bijak. Itulah yang aku ucapkan, jika itu benar maka kebenaran dari Allâh. Jika ada yang salah maka dari diri saya sendiri dan dari syetan. Dan aku beristighfar kepada Allâh, sesungguhnya Ia Maha Pengampun.

(Khutbah jum’at Syaikh Dr. Su’ud asy-Syuraim –hafidzahullah– dengan judul “ash-Shulhu Khair (Perdamaian Itu Lebih Baik)”, di Masjidil Haram pada tanggal 12-02-1433 H)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XVI/1433H/2012M.]

Jangan Taati Ulama Dalam Hal Maksiat

Abu Fathan | 22:47 | 0 comments
Kalimat Lâ ilâha illa Allâh yang diucapkan oleh seorang Muslim memiliki makna yang sangat agung. Diantara maknanya adalah mengesakan Allâh Azza wa Jalla dengan ketaatan dalam menghalalkan apa yang Allâh Azza wa Jalla halalkan dan mengharamkan apa yang Allâh Azza wa Jalla haramkan.

Maka barangsiapa mentaati selain Allâh Subhanahu wa Ta’ala dalam menghalalkan apa yang Allâh Subhanahu wa Ta’ala haramkan dan mengharamkan apa yang Allâh Subhanahu wa Ta’ala halalkan, sedangkan dia mengetahui hal itu, berarti dia telah menyekutukan Allâh Subhanahu wa Ta’ala dalam ketaatan.

Allâh Azza wa Jalla berfirman memberitakan tentang orang-orang Yahudi dan Nashâra yang telah mengangkat orang-orang ‘alim dan rahib-rahib mereka sebagai “tuhan-tuhan” selain Allâh. Dia Azza wa Jalla berfirman :

اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلَٰهًا وَاحِدًا ۖ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۚ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ

Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai rabb-rabb selain Allâh, dan (juga mereka menjadikan Rabb ) al-Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh beribadah kepada Ilah Yang Maha Esa; tidak ada Ilah (yang berhak diibadahi) selain Dia. Maha suci Allâh dari apa yang mereka persekutukan. [at-Taubah/9:31]

Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Arbâb adalah jama’ dari rabb, artinya: Pengatur dan Pemilik. (Bentuk) pengaturan (Allâh) ada dua macam: pengaturan yang berkaitan dengan taqdir dan pengaturan yang berkaitan dengan syari’at. Barangsiapa mentaati Ulama’ dalam menyelisihi perintah atau keputusan Allâh dan Rasul-Nya, maka dia telah menjadikan mereka sebagai rabb selain Allâh dengan penilaian pengaturan yang berkaitan dengan syari’at, karena dia menilai mereka sebagai para pembuat syari’at, dan menilai pembuatan syari’at itu sebagai syari’at yang diamalkan”. [al-Qaulul Mufîd ‘ala Kitâbit Tauhîd, 2/101]

Ayat ini dijelaskan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh sahabat ‘Adi bin Hâtim Radhiyallahu anhu sebagai berikut:

عَنْ عَدِيِّ بْنِ حَاتِمٍ قَالَ أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَفِي عُنُقِي صَلِيبٌ مِنْ ذَهَبٍ فَقَالَ يَا عَدِيُّ اطْرَحْ عَنْكَ هَذَا الْوَثَنَ وَسَمِعْتُهُ يَقْرَأُ فِي سُورَةِ بَرَاءَةَ ((اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ)) قَالَ أَمَا إِنَّهُمْ لَمْ يَكُونُوا يَعْبُدُونَهُمْ وَلَكِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا أَحَلُّوا لَهُمْ شَيْئًا اسْتَحَلُّوهُ وَإِذَا حَرَّمُوا عَلَيْهِمْ شَيْئًا حَرَّمُوهُ

Dari ‘Adi bin Hatim, dia berkata, “Aku mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sedangkan pada leherku ada (kalung) salib yang terbuat dari emas. Maka beliau bersabda, 'Hai ‘Adi, buanglah berhala itu darimu!” Dan aku mendengar beliau membaca (ayat al-Qur’an) dalam surat Barâ’ah (at-Taubah, yang artinya), “Mereka (orang-orang Yahudi dan Nashrani) menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai rabb-rabb (tuhan-tuhan) selain Allâh”, beliau bersabda, 'Sesungguhnya mereka itu (para pengikut) tidaklah beribadah kepada mereka (orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka). Akan tetapi jika mereka (orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka) menghalalkan sesuatu untuk mereka, merekapun menganggap halal. Jika mereka (orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka) mengharamkan sesuatu untuk mereka, merekapun menganggap haram”. [HR. Tirmidzi, no: 3095; dihasankan oleh Syaikh al-Albâni]

Di dalam riwayat yang lain dengan lafazh :

عَنْ عَدِيِّ بْنِ حَاتِمٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَفِي عُنُقِي صَلِيبٌ مِنْ ذَهَبٍ فَسَمِعْتُهُ يَقُوْلُ (اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّه)ِ قَالَ: قُلْتُ: يَارَسُوْلَ اللهِ! إِنَّهُمْ لَمْ يَكُونُوا يَعْبُدُونَهُمْ. قَالَ: أَجَلْ , وَلَكِنْ يُحِلُّوْنَ مَا حَرَّمَ اللهُ فَيَسْتَحِلُّونَهُ وَيُحَرِّمُوْنَ عَلَيْهِمْ مَا أَحَلَّ اللهُ فَيُحَرِّمُوْنهُ , فَتِلْكَ عِبَادَتُهُمْ لَهُمْ

Dari ‘Adi bin Hatim Radhiyallahu anhu, dia berkata: “Aku mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sedangkan pada leherku terdapat (kalung) salib yang terbuat dari emas. ‘Adi bin Hâtim juga berkata: “Dan aku mendengar beliau membaca (ayat al-Qur’an, yang artinya), “Mereka (orang-orang Yahudi dan Nashrani) menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai rabb-rabb (tuhan-tuhan) selain Allah”. ‘Adi bin Hâtim berkata, 'Wahai Rasûlullâh, sesungguhnya mereka itu (para pengikut) tidaklah beribadah kepada mereka (orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka)”. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ya, akan tetapi mereka (orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka) menghalalkan apa yang Allâh haramkan, lalu merekapun menganggapnya halal. Dan mereka (orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka) mengharamkan apa yang Allâh halalkan, lalu merekapun menganggapnya haram. Itulah peribadahan mereka (para pengikut) kepada mereka (para pendeta)”. [HR. al-Baihaqi di dalam Sunan al-Kubra, 1/166, dinukil dari asy-Syirku fil Qadîm wal Hadîts, hlm. 1109, karya: Abu Bakar Muhammad Zakaria]

al-Baihaqi juga meriwayatkan dari Abul Bakhtari, dia berkata :

سُئِلَ حُذَيْفَةُ بْنُ الْيَمَانِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنْ هَذِهِ الْأَيَةِ ((اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّه)ِ أَكَانُوْا يُصَلُّوْنَ لَهُمْ ؟ قَالَ: لاَ, وَلَكِنَّهُمْ كَانُوْا يُحِلُّوْنَ لَهُمْ مَا حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِمْ فَيَسْتَحِلُّونَهُ وَيُحَرِّمُوْنَ عَلَيْهِمْ مَا أَحَلَّ اللهُ لَهُمْ فَيُحَرِّمُوْنهُ, فَصَارُوْا بِذَلِكَ أَرْبَابًا

Hudzaifah bin al-Yaman Radhiyallahu anhu ditanya tentang ayat ini (yang artinya), “Mereka (orang-orang Yahudi dan Nashrani) menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai rabb-rabb (tuhan-tuhan) selain Allah”. Apakah mereka (para pengikut itu) melakukan shalat kepada mereka (para pendeta) ? Beliau Radhiyallahu anhu menjawab, “Tidak ! Akan tetapi mereka (orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka) menghalalkan apa yang Allâh haramkan atas mereka, lalu merekapun menganggapnya halal. Dan mereka (orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka) mengharamkan apa yang Allâh halalkan, lalu merekapun menganggapnya haram. Sehingga dengan sebab itu jadilah mereka (para pendeta) sebagai rabb-rabb (tuhan-tuhan)”. [HR. al-Baihaqi di dalam Sunan al-Kubra, 1/166, dinukil dari asy-Syirku fil Qadîm wal Hadîts, hlm. 1109, karya: Abu Bakar Muhammad Zakaria]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “ar-Rabî’ bin Anas berkata, 'Aku bertanya kepada Abul ‘Aliyah, 'Bagaimana rububiyah yang ada pada Bani Israil (yakni para pengikut yang menjadikan para pendeta sebagai tuhan-pen) ?' Beliau menjawab, “Rubûbiyah (pada mereka) itu adalah bahwa mereka mendapati dalam kitab Allâh apa-apa yang diperintahkan dan dilarang buat mereka, lalu mereka mengatakan, “Kita tidak akan mendahului para pendeta kita dengan sesuatupun. Apa yang mereka perintahkan kepada kita, kita laksanakan, dan apa yang mereka larang, kita tinggalkan, karena perkataan mereka.” Mereka meminta nasehat kepada manusia (para tokoh mereka-pent) dan membuang kitab Allâh di belakang punggung mereka. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan bahwa peribadahan para pengikut itu kepada para pendeta adalah dalam hal menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal, bukan dengan melakukan shalat dan puasa untuk para pendeta (dan bukan pula-red) berdo'a kepada mereka dari selain Allâh. Inilah peribadahan (penyembahan) kepada manusia. Dan itu peribadahan kepada harta. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskannya. Dan Allâh Azza wa Jalla menyebutkan bahwa itu merupakan kemusyrikan dengan firman-Nya.

لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۚ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ

“Tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allâh dari apa yang mereka persekutukan. (at-Taubah/9:31)”. [Majmû’ Fatâwâ, 7/66]

Tentang syirik taat ini, Allâh Azza wa Jalla juga menyebutkan dalam firman-Nya :

وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ ۗ وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَىٰ أَوْلِيَائِهِمْ لِيُجَادِلُوكُمْ ۖ وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ

Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allâh ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik. [al-An’âm/6:121]

Ayat ini dijelaskan oleh sahabat Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhu, sebagai berikut:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ فِي قَوْلِهِ عَزَّ وَجَلَّ وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرْ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ قَالَ خَاصَمَهُمْ الْمُشْرِكُونَ فَقَالُوا مَا ذَبَحَ اللَّهُ فَلَا تَأْكُلُوهُ وَمَا ذَبَحْتُمْ أَنْتُمْ أَكَلْتُمُوهُ

Dari Ibnu ‘Abbas tentang firman Allâh Azza wa Jalla (yang artinya), “Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allâh ketika menyembelihnya”, beliau Radhiyallahu anhu berkata: “Orang-orang musyrik membantah orang-orang beriman, mereka mengatakan, “Apa yang Allâh sembelih, kamu tidak mau memakannya, sedangkan apa yang kamu sembelih sendiri kamu memakannya”. [HR. an-Nasai, no: 4437; dishahihkan oleh al-Albani]

Imam as-Sindi rahimahullah menjelaskan maksud hadits ini dalam syarah beliau, “Yaitu orang-orang musyrik membantah orang-orang beriman, mereka menunjukkan dalil kebatilan agama umat Islam dengan mengatakan, 'Kamu (umat Islam) mengharamkan penyembelihan Allâh, yaitu bangkai, namun kamu menghalalkan penyembelihan kamu. Ini perkara yang jauh (dari kebenaran)!” Maka Allâh Subhanahu wa Ta’ala menurunkan firman-Nya (yang artinya), “Dan janganlah kamu memakan...al-Ayat” untuk membantah syubhat tersebut. Kesimpulan jawabannya adalah bahwa penyembelihan itu menjadi halal hanyalah karena disebut nama Allâh padanya, sementara bangkai tidak disebut nama Allâh padanya, sehingga bangkai menjadi haram.” [Syarah Nasa'i, karya as-Sindi]

Ibnul A’rabi rahimahullah berkata, “Seorang Mukmin menjadi musyrik hanya dengan sebab mentaati orang musyrik dalam keyakinannya yang merupakan tempat kekafiran dan keimanan. Jika dia mentaatinya dalam perbuatan, sedangkan keyakinannya selamat selalu di atas tauhid dan pembenaran, maka dia orang yang bermaksiat, maka fahamilah itu di seluruh tempat (dalam al-Qur’an-pen)”. [Ahkâmul Qur’ân, 2/752; dinukil dari al-Hukmu bi ghairi Mâ Anzalallâh, hlm. 170-171, cet: ke 4, th: 1421 H, karya: Syaikh Dr. Khalid al-‘Anbari]Al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Ayat ini menunjukkan bahwa barangsiapa menghalalkan sesuatu dari apa-apa yang Allâh haramkan maka dia menjadi musyrik. Allâh Azza wa Jalla telah mengharamkan bangkai secara tegas, maka jika ada seseorang menerima hukum halalnya bangkai dari selain Allah, maka dia telah berbuat syirik”. [al-Jâmi’ li Ahkâmil Qur’ân, 7/77-78; dinukil dari al-Hukmu bi ghairi Mâ Anzalallâh, hlm: 171]

Az-Zajjaj rahimahullah mengatakan, “Dalam firman Allâh Azza wa Jalla (yang artinya), “Jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik”, merupakan dalil bahwa semua orang yang menghalalkan apa yang Allâh haramkan, atau mengharamkan apa yang Allâh halalkan, maka dia orang musyrik. Dia dinamakan musyrik karena dia menetapkan hakim (pembuat hukum) selain Allâh Azza wa Jalla , inilah perbuatan syirik”. [Mahâsinut Ta’wîl, 6/2491. Dinukil dari al-Hukmu bi ghairi Mâ Anzalallâh, hlm: 170-171]

Namun yang perlu diketahui bahwa ketaatan dalam menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal itu ada perincian hukum bagi pelakunya. Syaikhul Islam rahimahullah menjelaskan masalah ini dengan gamblang dengan perkataannya, “Mereka ini, orang-orang yang menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai rabb-rabb (tuhan-tuhan), yang mana mereka taati dalam menghalalkan apa-apa yang Allâh haramkan, dan mengharamkan apa-apa yang Allâh halalkan, ada dua macam :

Pertama, mereka (para pengikut) itu tahu bahwa para pendeta telah mengganti agama Allâh, lalu mereka mengikuti para pendeta itu dalam pergantian ini. Sehingga mereka meyakini penghalalan apa yang Allâh haramkan dan pengharaman apa yang Allâh halalkan, karena mengikuti pemimpin-pemimpin mereka, padahal mereka tahu bahwa para pemimpin mereka menyelisihi agama para Rasul, maka ini adalah sebuah kekafiran. Allâh dan Rasul-Nya telah menghukuminya sebagai kemusyrikan, walaupun para pengikut ini tidak melakukan shalat dan tidak bersujud untuk para pemimpin mereka. Maka barangsiapa mengikuti orang lain dalam menyelisihi agama, padahal dia tahu itu menyelisihi agama, dan dia meyakini apa yang dikatakan orang lain itu, tidak meyakini apa yang telah dikatakan oleh Allâh dan Rasul-Nya, maka dia menjadi orang musyrik seperti mereka (Yahudi dan Nashara).

Kedua, bahwa keyakinan dan iman mereka dengan pengharaman yang halal dan penghalalan yang haram itu tetap,[1] akan tetapi mereka (para pengikut) mentaati mereka (para pemimpin) dalam bermaksiat kepada Allâh, sebagaimana yang dilakukan oleh seorang Muslim ketika melakukan kemaksiatan dengan tetap meyakini bahwa itu sebuah kemaksiatan, maka mereka ini memiliki hukum sebagaimana pelaku maksiat semacam mereka.

Kemudian orang yang mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram itu, jika dia seorang mujtahid yang berniat mengikuti Rasul, akan tetapi kebenaran yang sebenarnya samar baginya, sementara dia juga bertaqwa kepada Allâh sesuai dengan kemampuannya, maka orang ini tidak akan disiksa oleh Allâh dengan sebab kesalahannya, bahkan Allâh memberinya pahala atas ijtihadnya, yang dengannya dia telah mentaati Rabbnya.

Tetapi orang yang mengetahui bahwa itu menyalahi apa yang dibawa oleh Rasul, kemudian dia tetap mengikuti kesalahannya itu, dan dia menyimpang dari perkataan Rasul, maka orang ini mendapatkan bagian dari kemusyrikan yang dicela oleh Allâh Azza wa Jalla . Apalagi jika dia mengikutkan hawa-nafsunya, membelanya dengan lidah dan tangannya, padahal dia tahu bahwa orang yang diikuti itu menyelisihi Rasul, maka ini merupakan kemusyrikan yang pelakunya berhak mendapatkan hukuman atasnya”. [Majmû’ Fatâwâ, 7/70]

Setelah kita mengetahui penjelasan-penjelasan di atas, maka alangkah banyaknya manusia di zaman ini yang terjerumus ke dalam penyimpangan ini, baik mereka sadari atau tidak mereka sadari. Hanya Allâh Tempat memohon pertolongan.

Ustadz Ustadz Abu Isma’il Muslim al-Atsari

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XV/1433H/2012M.]
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. BERITA SUNNAH - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger