{قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ ويَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ، وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ}

Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah (sunnah/petunjuk)ku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS Ali ‘Imran:31)

Menzhalimi Rakyat Termasuk Dosa Besar

Abu Fathan | 16:48 | 0 comments
Mentaati pemerintah Muslim dalam perkara yang bukan maksiat merupakan kewajiban agama yang telah disepakati oleh Ahlus Sunnah wal Jamâ'ah. Bahkan ini merupakan salah satu prinsip Ahlus Sunnah yang menyelisihi para ahli bid'ah dan pengikut hawa nafsu.

Sebaliknya pemerintah yang menjadi pemimpin harus menjalankan kewajibannya dengan sebaik-baiknya, karena di akhirat pasti akan dituntut tanggungg jawab. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

كُلُّكُمْ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، فَالإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالرَّجُلُ فِي أَهْلِهِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالمَرْأَةُ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا رَاعِيَةٌ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا، وَالخَادِمُ فِي مَالِ سَيِّدِهِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

Setiap kamu adalah pemimpin (pengatur) dan akan ditanya tentang kepemimpinannya. Seorang imam (pemimpin negara) adalah pemimpin (pengatur) dan akan ditanya tentang kepemimpinannya. Seorang laki-laki (kepala rumah tangga) adalah pemimpin (pengatur) terhadap keluaganya dan akan ditanya tentang kepemimpinannya. Seorang wanita (ibu rumah tangga) adalah pemimpin (pengatur) di rumah suaminya dan akan ditanya tentang kepemimpinannya. Seorang pelayan adalah pemimpin (pengatur) pada harta tuannya dan akan ditanya tentang kepemimpinannya. [HR. Al-Bukhâri, no. 2558, dari Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma]

DI ANTARA KEWAJIBAN PENGUASA
Di antara kewajiban pemerintah adalah memutuskan hukum terhadap rakyat dengan hukum yang Allâh Azza wa Jalla turunkan. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ

Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allâh, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. [Al-Mâidah/5:49]

Pemimpin juga harus bersikap tulus kepada rakyatnya, baik dalam masalah agama maupun dalam urusan dunia. Yaitu dengan cara menyebarkan akidah yang benar dan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , lewat ta’lîm (pengajaran), hukum dan dakwah menuju agama Allâh berdasarkan ilmu. Termasuk kewajiban pemimpin adalah melarang bid’ah-bid’ah, seperti membangun masjid-masjid di dekat pekuburan yang disembah, tempat-tempat (yang dianggap keramat atau membawa berkah), masyâhid (situs-situs yang dianggap peninggalan orang-orang shalih, dan semacamnya), dan tempat-tempat yang diziarahi. 

Rakyat juga memiliki hak-hak lain yang menjadi kewajiban penguasa untuk memenuhinya, yaitu hak-hak untuk mendapatkan perlakuan baik dan perhatian. Penguasa juga tidak boleh memberikan beban yang tidak mampu mereka lakukan. Penguasa memenuhi pelayanan-pelayanan yang berkaitan dengan kebutuhan kehidupan sesuai dengan kemampuannya. 

Imam Abu Dawud meriwayatkan dari Shahabat Nabi yang bernama Abu Maryam al-Azdi Radhiyallahu anhu, dia berkata:

دَخَلْتُ عَلَى مُعَاوِيَةَ فَقَالَ: مَا أَنْعَمَنَا بِكَ أَبَا فُلَانٍ - وَهِيَ كَلِمَةٌ تَقُولُهَا الْعَرَبُ - فَقُلْتُ: حَدِيثًا سَمِعْتُهُ أُخْبِرُكَ بِهِ، سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: مَنْ وَلَّاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ شَيْئًا مِنْ أَمْرِ الْمُسْلِمِينَ فَاحْتَجَبَ دُونَ حَاجَتِهِمْ، وَخَلَّتِهِمْ وَفَقْرِهِمْ، احْتَجَبَ اللَّهُ عَنْهُ دُونَ حَاجَتِهِ وَخَلَّتِهِ، وَفَقْرِهِ قَالَ: فَجَعَلَ رَجُلًا عَلَى حَوَائِجِ النَّاسِ

Aku menemui (penguasa) Mu’awiyah, lalu dia berkata, ‘Kami senang bertemu denganmu, apa yang menyebabkan kamu menemuiku hai Abu Fulan?’ –itu adalah ungkapan yang biasa diucapkan oleh bangsa Arab- Aku menjawab, ‘Sebuah hadits yang pernah aku dengar, aku akan memberitakan kepadamu. Aku telah mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barangsiapa dijadikan oleh Allâh sebagai pemimpin yang mengurusi sesuatu dari urusan kaum Muslimin, lalu dia menutupi diri dari keperluan, kebutuhan, dan kefakiran mereka, niscaya Allâh menutupi diri dari keperluan, kebutuhan, dan kefakirannya”. Dia berkata, ‘Kemudian Mu’awiyah menetapkan seseorang untuk mengurusi kebutuhan-kebutuhan rakyat’. [HR. Abu Dâwud, no. 2948; dishahihkan oleh syaikh al-Albani] 

Makna hadits ini, pemimpin yang tidak mau menemui dan mengurusi rakyatnya yang memiliki kebutuhan-kebutuhan, maka Allâh Azza wa Jalla juga tidak akan menemui dan mengurusi kebutuhan-kebutuhannya. 

Lihatlah alangkah bijaknya Shahabat Mu’âwiyah Radhiyallahu anhu, dan alangkah taatnya terhadap agama yang dianutnya. Begitu mendengar hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dia langsung mengamalkannya.

Karena sangat kasih sayang kepada umatnya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan kebaikan untuk penguasa yang berbuat baik kepada rakyatnya, dan mendoakan keburukan buat penguasa yang berbuat buruk kepada rakyatnya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa:

اللهُمَّ، مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَشَقَّ عَلَيْهِمْ، فَاشْقُقْ عَلَيْهِ، وَمَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَرَفَقَ بِهِمْ، فَارْفُقْ بِهِ

Wahai Allâh, barangsiapa mengurusi sesuatu dari urusan umatku, lalu dia menyusahkan mereka, maka susahkanlah dia, dan barangsiapa mengurusi sesuatu dari urusan umatku, lalu dia bersikap lembut kepada mereka, maka bersikaplah lembut kepadanya”. [HR. Muslim, no.182]

Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan hadits ini dengan menyatakan, “Sabda Beliau ini termasuk larangan yang sempurna agar penguasa tidak menyusahkan manusia (rakyat-pen), dan anjuran paling agung untuk bersikap lembut kepada mereka. Banyak hadits-hadits yang semakna dengan ini”. [Syarah Nawawi, 12/213]

Pemimpin jangan sampai berlaku curang dan menipu rakyat, karena akibatnya sangat berat. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:

مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللَّهُ رَعِيَّةً يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ إِلاَّ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ 

Tidak ada seorang hamba yang Allâh memberikan kekuasaan kepadanya mengurusi rakyat, pada hari dia mati itu dia menipu rakyatnya, kecuali Allâh haramkan surga atasnya. [HR. Muslim, no. 142]

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

مَنْ حَمَلَ عَلَيْنَا السِّلَاحَ فَلَيْسَ مِنَّا، وَمَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا

Barangsiapa menyerang kami dengan senjata maka dia bukan dari kami, dan barangsiapa berbuat curang kami maka dia bukan dari kami. [HR. Muslim, no. 101]

Ancaman ‘diharamkan surga’ dan ‘bukan dari kami’ menunjukkan bahwa perbuatan curang tersebut merupakan kezhaliman dan dosa besar. Wallâhul Musta’ân.

Ya Allâh! Jadikanlah para pemimpin kami, pemimpin yang diberkahi, pemimpin yang akan membawa kebaikan dunia dan kebaikan akhirat yang kekal abadi.

Oleh Ustadz Abu Isma’il Muslim al-Atsari

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XVIII/1436H/2014M.]


Aqidah Makna Dan Urgensinya

Abu Fathan | 19:35 | 0 comments
Sesungguhnya ilmu tentang aqidah merupakan ilmu yang sangat mulia, karena ilmu aqidah membahas tentang dzat Allah Azza wa Jalla , sifat-sifat-Nya, hak-Nya untuk diibadahi, dan yang berkaitan dengannya. Al-Bazdawi rahimahullah berkata, "Sesungguhnya kemuliaan dan keagungan suatu ilmu tergantung pada apa yang diilmui, dan tidak ada yang lebih besar daripada dzat Allâh Azza wa Jalla dan sifat-sifatNya yang dibahas oleh ilmu (aqidah) ini.” [Kasyful Asrâr, 1/8]

MAKNA AQIDAH:
Aqidah dalam bahasa Arab diambil dari kata al-‘aqd, artinya: kuat, ikatan, kokoh, mengokohkan. [Lihat: Lisânul ‘Arab, bab ‘aqada]

Sedangkan secara istilah, aqidah artinya: Keimanan yang kuat kepada Allâh, dan hak-Nya yang berupa tauhid, keimanan kepada malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para nabi-Nya, hari akhir, serta keimanan kepada takdir yang baik dan yang buruk. Dan perkara lainnya yang bercabang dari pokok-pokok ini dan termasuk padanya yang termasuk ushuludin (pokok-pokok agama). [Lihat Risâlah al-‘Aqîdah ash-Shahîhah, karya Syaikh Abdul ‘Aziz bin Bâz, hlm. 3-4; dan Risâlah Mujmal Ushûl Aqîdah Ahlis Sunnah wal Jamâ’ah, hlm.5] 

NAMA-NAMA LAIN DARI ILMU AQIDAH

SUNNAH
Banyak Ulama Salaf menyebut aqîdah shahîhah (akidah yang benar) dengan nama ‘sunnah’. Ini untuk membedakannya dari keyakinan-keyakinan dan pendapat-pendapat firqah-firqah (golongan-golongan) sesat. Karena akidah yang benar yaitu aqidah Ahlus Sunnah wal-Jamâ’ah diambil dari Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sedangkan sunnah merupakan penjelas al-Qur’ân.

Sebagian Ulama Salaf telah menulis kitab-kitab akidah dan mereka menamakannya dengan ‘as-sunnah’, di antaranya kitab as-Sunnah karya Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah, kitab as-Sunnah karya imam Ibnu Abi ‘Ashim, dan lainnya. 

USHÛLUDIN
Sebagaimana sebagian Ulama menamakan akidah dengan ushûludin (pokok-pokok agama), karena agama Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam terbagi menjadi i’tiqâdât (keyakinan-keyakinan) dan ‘amaliyyât (amalan-amalan). Yang dimaksudkan dengan ‘amaliyyât adalah ilmu tentang syari’at-syari’at dan hukum-hukum yang berkaitan dengan cara amalan, seperti hukum-hukum shalat, zakat, jual-beli, dan lainnya. ‘Amaliyyât juga dinamakan far’iyyah atau furû’ (cabang). ‘Amaliyyât adalah semacam cabang untuk ilmu akidah. Karena akidah adalah ketaatan yang paling mulia, dan kebenaran aqidah merupakan syarat diterimanya ibadah-ibadah yang dilakukan. Jika akidah rusak, ibadah tidak diterima dan pahalanya batal. Sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla : 

وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu. "Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi. [Az-Zumar/39: 65]

Imam Ibnu Abil ‘Izzi rahimahullah telah berkata di dalam mukaddimah syarah Thahâwiyah:

(أَمَّا بَعْدُ) فَإِنَّهُ لَمَّا كَانَ عِلْمُ أُصُولِ الدِّينِ أَشْرَفَ الْعُلُومِ، إِذْ شَرَفُ الْعِلْمِ بِشَرَفِ الْمَعْلُومِ. وَهُوَ الْفِقْهُ الْأَكْبَرُ بِالنِّسْبَةِ إِلَى فِقْهِ الْفُرُوعِ، وَلِهَذَا سَمَّى الْإِمَامُ أَبُو حَنِيفَةَ - رَحْمَةُ الله تعالى - مَا قَالَهُ وَجَمَعَهُ فِي أَوْرَاقٍ مِنْ أُصُولِ الدِّينِ"الْفِقْهَ الْأَكْبَرَ"وَحَاجَةُ الْعِبَادِ إِلَيْهِ فَوْقَ كُلِّ حَاجَةٍ، وَضَرُورَتُهُمْ إِلَيْهِ فَوْقَ كُلِّ ضَرُورَةٍ؛ لِأَنَّهُ لَا حَيَاةَ لِلْقُلُوبِ، وَلَا نَعِيمَ وَلَا طُمَأْنِينَةَ، إِلَّا بِأَنْ تَعْرِفَ رَبَّهَا وَمَعْبُودَهَا وَفَاطِرَهَا، بِأَسْمَائِهِ وَصِفَاتِهِ وَأَفْعَالِهِ، وَيَكُون مَعَ ذَلِكَ كُلِّهِ أَحَبَّ إِلَيْهَا مِمَّا سِوَاهُ، وَيَكُون سَعْيُهَا فِيمَا يُقَرِّبُهَا إِلَيْهِ دُونَ غَيْرِهِ مِنْ سَائِرِ خَلْقِهِ. وَمِنَ الْمُحَالِ أَنْ تَسْتَقِلَّ الْعُقُولُ بِمَعْرِفَةِ ذَلِكَ وَإِدْرَاكِهِ عَلَى التَّفْصِيلِ، فَاقْتَضَتْ رَحْمَةُ الْعَزِيزِ الرَّحِيمِ أَنْ بَعَثَ الرُّسُلَ بِهِ مُعَرِّفِينَ، وَإِلَيْهِ دَاعِينَ، وَلِمَنْ أَجَابَهُمْ مُبَشِّرِينَ، وَلِمَنْ خَالَفَهُمْ مُنْذِرِينَ، وَجَعَلَ مِفْتَاحَ دَعْوَتِهِمْ، وَزُبْدَةَ رِسَالَتِهِمْ، مَعْرِفَةَ الْمَعْبُودِ سُبْحَانَهُ بِأَسْمَائِهِ وَصِفَاتِهِ وَأَفْعَالِهِ، إِذْ عَلَى هَذِهِ الْمَعْرِفَةِ تُبْنَى مَطَالِبُ الرِّسَالَةِ كُلِّهَا مِنْ أَوَّلِهَا إِلَى آخِرِهَا ثُمَّ يَتْبَعُ ذَلِكَ أَصْلَانِ عَظِيمَانِ أَحَدُهُمَا: تَعْرِيفُ الطَّرِيقِ الْمُوَصِّلِ إِلَيْهِ، وَهِيَ شَرِيعَتُهُ الْمُتَضَمِّنَةُ لِأَمْرِهِ وَنَهْيِهِ وَالثَّانِي: تَعْرِيفُ السَّالِكِينَ مَا لَهُمْ بَعْدَ الْوُصُولِ إِلَيْهِ مِنَ النَّعِيمِ الْمُقِيمِ 

Amma ba’du: Sesungguhnya ilmu ushûludin merupakan ilmu yang paling mulia, karena kemuliaan ilmu dengan sebab kemuliaan yang diilmui. Ilmu akidah adalah fiqih akbar (terbesar) dibandingkan dengan fiqih furu’. Oleh karena itu Imam Abu Hanifah menamakan ushûludin (pokkok-pokok agama) yang telah beliau katakan dan kumpulkan pada lembaran-lembaran kertas dengan nama fiqih akbar. Keperluan hamba terhadap ilmu akidah mengungguli seluruh keperluan dan kebutuhan yang paling pokok. Karena sesungguhnya hati tidak akan bisa hidup, merasakan kenikmatan dan ketentraman, kecuali jika hati itu mengenal Rabbnya, sesembahannya, dan Penciptanya, mengenal dengan nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, dan perbuatan-perbuatanNya. Bersamaan dengan itu semua, Allâh Azza wa Jalla menjadi yang paling dia cintai, dan berusaha untuk mendekatkan diri kepada-Nya bukan kepada yang lain-Nya. 

Akal sendiri mustahil bisa mengetahui dan memahami semua hal-hal di atas secara rinci. Oleh karena itu, dengan kasih sayang-Nya, Allâh mengutus rasul untuk mengenalkan-Nya, mengajak manusia menuju Allâh, memberikan kabar gembira kepada orang-orang yang menyambut (dakwah) mereka, dan memberikan peringatan kepada orang-orang yang menyelisihi mereka. Allâh Azza wa Jalla menetapkan bahwa yang menjadi pembuka dakwah dan inti risalah mereka adalah ma’rifah (mengenal) Allâh Azza wa Jalla , mengenal nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, dan perbuatan-perbuatan-Nya. Karena semua permasalahan risalah dari awal sampai akhir dibangun di atas ma’rifah ini. Kemudian setelah itu diikuti dengan dua prinsip yang besar:

Pertama: Pengenalan tentang jalan yang akan bisa menghantarkan kepada-Nya, yaitu syari’at-Nya yang memuat perintah dan larangan Allâh Azza wa Jalla .

Kedua: Pemberitahuan tentang kenikmatan abadi yang akan didapatkan oleh orang-orang yang menempuh jalan tersebut. [Syarah ath-Thahâwiyah, penerbit: Al-Auqaaf as-Su’udiyyah, hlm. 17]

Karena mayoritas masalah-masalah akidah termasuk ushûl (pokok-pokok), dan karena mayoritas masalah-masalah amaliyyah termasuk furu’ (cabang-cabang), maka akidah disebut ushûludin, sedang hukum-hukum amaliyah disebut furu’. Oleh karena itu sebagian Ulama menamakan karya-karya tulis mereka dalam masalah akidah dengan ushûludin, seperti: Al-Ibânah ‘an Ushûlid Diyânah, karya Abul Hasan al-Asy’ari; Masâil min Ushûlid Diyânât karya Abu Ya’la; Sullamul Wushûl ila Ilmil Ushûl, karya al-Hakami, dan lainnya.

Walaupun sebagian Ulama mengkritisi pengunaan istilah ushûludin hanya untuk masalah akidah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata.

بَلْ الْحَقُّ أَنَّ الْجَلِيلَ مَنْ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْ الصِّنْفَيْنِ " مَسَائِلُ أُصُولٍ " وَالدَّقِيقَ " مَسَائِلُ فُرُوعٍ ". 

Namun, yang benar adalah perkara besar dari keduanya adalah masalah-masalah ushûl, sedangkan perkara yang daqîq (samar/kecil) adalah perkara-perkara furu’”. [Lihat: Majmû’ Fatâwâ, 6/56; juga lihat 3/364, 367 dan 19/134]

FIQIH AKBAR
Sebagian Ulama juga menamakan ilmu akidah dengan fiqih akbar (fikih terbesar), karena akidah adalah pokok agama, sedang furu'nya yaitu fiqih amalan dinamakan fiqih ash-ghar. Imam Abu Hanîfah telah menyusun masalah akidah dan dia menamakannya dengan al-fiqhul akbar.

AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH
Mereka adalah para Shahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan sebaik-baiknya sampai hari kiamat. Mereka adalah orang-orang yang berpegang dengan aqîdah shahîhah (akidah yang benar) yang terbebas dari noda bid’ah dan khurafat. Yaitu akidah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan disepakati oleh para Shahabat Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . 

Mereka dinamakan Ahlus Sunnah karena amalan mereka mengikuti sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang merupakan penjelas al-Qur’ân. Mereka mengamalkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ 

Berpeganglah kepada Sunnahku dan Sunnah para khalîfah yang mendapatkan petunjuk dan lurus. Peganglah dan giggitlah dengan gigi geraham. Jauhilah semua perkara baru (dalam agama), karena semua perkara baru (dalam agama) adalah bid’ah, dan semua bid’ah merupakan kesesatan. [HR. Ahmad, 4/126, 127; Abu Dâwud no: 4607; Tirmidzi, no. 2676; Ibnu Mâjah, no. 4244; dan lainnya dari al-‘Irbâdh bin Sâriyah] 

Mereka tahu bahwa petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah petunjuk terbaik, sehingga mereka lebih mengedepankannya daripada petunjuk manusia yang lain.

Mereka dinamakan al-Jamâ’ah karena mereka bersatu mengikuti sunnah Nabi dan ijma’ Salaf umat ini. Mereka bersatu di atas kebenaran dan di atas akidah Islam yang bebas dari noda-noda.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menamakan dengan al-firqah an-nâjiyah (golongan yang selamat) yang mengikuti sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan jalan para Sahabat. 

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menamakan mereka dengan al-Jamâ’ah. Dalam hadits shahih dari Mu’âwiyah bin Abi Sufyân, dia berkata: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ أَهْلَ الْكِتَابَيْنِ افْتَرَقُوا فِي دِينِهِمْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً، وَإِنَّ هَذِهِ الْأُمَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً - يَعْنِي: الْأَهْوَاءَ -، كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلَّا وَاحِدَةً، وَهِيَ الْجَمَاعَةُ، وَإِنَّهُ سَيَخْرُجُ فِي أُمَّتِي أَقْوَامٌ تَجَارَى بِهِمْ تِلْكَ الْأَهْوَاءُ كَمَا يَتَجَارَى الْكَلْبُ بِصَاحِبِهِ، لَا يَبْقَى مِنْهُ عِرْقٌ وَلَا مَفْصِلٌ إِلَّا دَخَلَهُ "

Sesungguhnya telah berpecah-belah di dalam agama mereka menjadi 72 agama. Dan sesungguhnya umat (Islam) ini akan berpecah-belah menjadi 73 agama –yakni hawa nafsu- semuanya di dalam neraka kecuali satu, yaitu al-Jama’ah. Dan sesungguhnya akan muncul di kalangan umatku kaum-kaum yang hawa nafsu-hawa nafsu itu akan menjalar pada mereka sebagaimana penyakit rabies menjalar pada penderitanya, tidak tersisa satu urat dan satu sendi kecuali penyakit itu memasukinya. [HR. Ahmad, 4/102; Abu Dawud, 4597; Ibnu Abi Ashim di dalam as-Sunnah, 1,2,65, dengan sanad yang hasan]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Oleh karena itu golongan yang selamat disifati dengan Ahlus Sunnah wal Jamâ’ah. Adapun golongan-golongan yang lainnya adalah orang-orang yang nyeleneh, berpecah-belah, berbuat bid’ah, dan mengikuti hawa nafsu. Semboyan golongan-golongan itu adalah menyelisihi al-Kitab, as-Sunnah, dan al-Ijma’. Barangsiapa berkata berdasarkan al-Kitab, as-Sunnah, dan al-Ijma’ dia termasuk Ahlus Sunnah wal Jamâ’ah”. [Majmû’ Fatâwâ, 3/345-346]

Penamaan dengan Ahlus Sunnah wal Jamâ’ah adalah penamaan yang tepat, membedakan pemilik aqidah shahihah dan para pengikut Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari golongan-golongan sesat yang tidak berjalan di atas petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Di antara golongan-golongan itu ada yang mengambil akidahnya dari akal manusia dan ilmu kalam (filsafat) yang mereka warisi dari para filosof Yunani, lalu mereka lebih mengutamakannya daripada firman Allâh Azza wa Jalla dan sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan diantara mereka ada yang menolak nash-nash syari’at yang telah pasti, atau mereka mentakwilkannya (menyimpangkan artinya) karena semata-mata akal mereka yang dangkal tidak menerima kandungan nash-nash tersebut.

Di antara golongan-golongan tersebut adalah: para filosof, Qadariyah, Maturudiyah, Jahmiyah, Mu’tazilah, dan Asy’aryah, yang mereka bertaqlid kepada Jahmiyah pada sebagian pemikiran mereka.

Di antara golongan-golongan yang sesat ada yang mengambil akidahnya dari pendapat-pendapat guru-guru dan imam-imam mereka, yang berdasarkan hawa nafsu. Seperti: Shûfiyah, Râfidhah, dan lainnya. Mereka mendahulukan perkataan guru-guru dan imam-imam daripada firman Allâh dan sabda Rasûl-Nya.

Sebagaimana sebagian golongan-golongan yang sesat itu ada yang menisbatkan diri kepada pendirinya dan pembangun prinsip-prinsip akidahnya. Seperti Jahmiyah, nisbat kepada Jahm bin Shafwan, dan seperti Asy’ariyah nisbat kepada Abul Hasan al-Asy’ari. Walaupun al-Asy’ari sudah meninggalkan akidahnya menuju akidah Ahlus Sunnah wal-Jamâ’ah, namun para pengikutnya terus mengikuti akidahnya yang menyimpang yang telah ditinggalkannya. Juga seperti al-Abadhiyh nisbat kepada Abdullah bin Abadh, dan lainnya.

Di antara golongan-golongan yang sesat itu ada yang menisbatkan diri kepada sebagian pemikiran-pemikirannya yang sesat, atau kepada sebagian perbuatan-perbuatannya yang buruk. Seperti Râfidhah nisbat kepada rafadh (penolakan) imâmah (kepemimpinan) Abu Bakar Radhiyallahu anhu dan Umar Radhiyallahu anhu, dan berlepas diri dari keduanya. Qadariyah nisbat kepada penolakan adanya takdir. Khawârij nisbat kepada khurûj (memberontak) kepada pemerintah, dan selain mereka.

Allâh Azza wa Jalla menyelamatkan Ahlussunnah dari menisbatkan diri dan mengikuti selain sunnah Nabi yang ma'shûm (bersih) dari kesalahan. Mereka tidak memiliki nama yang mereka nisbatkan kepada selain sunnah.

Seorang laki-laki bertanya kepada imam Mâlik rahimahullah, “Siapakah Ahlus Sunnah wahai Abu Abdullah?” Dia menawab, “Orang-orang yang tidak memiliki gelar yang menjadi identitasnya, bukan Jahmiyah, bukan Râfidhah, dan bukan Qadariyah”. [Riwayat Ibnu Abdil Barr dalam al-Intiqa, hlm. 35]

Sebagian Ulama menyebut Ahlus Sunnah dengan ash-hâbul hadits atau ahlul hadits. Karena mereka memberikan perhatian kepada hadits-hadits Nabi, baik secara riwayah (periwayatan) maupun dirâyah (ilmu untuk mengetahui syarat-syarat riwayat, keadaan perawi-perawi dan syarat-syarat mereka, jenis-jenis periwayatan, dan yang berkaitan dengannnya), dan mereka mengikuti kandungan hadits, baik berupa akidah maupun hukum. Hadits dan sunnah adalah dua lafzah yang maknanya berdekatan.

Ahlussunnah juga disebut firqah manshûrah (golongan yang ditolong) sampai hari kiamat. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut mereka dengan sabdanya:

وَلَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي عَلَى الْحَقِّ مَنْصُورَةٌ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللَّهِ

Sekelompok dari umatku akan selalu di atas kebenaran, ditolong, sampai datang perintah Allâh. [HR. Ibnu Hibban, no. 6714; Al-Baihaqi di dalam Sunan al-Kubra, no. 18617. Dishahihkan syaikh Al-Albani dan Syu’aib al-Arnauth]

Dan mereka adalah firqah an-nâjiyah sebagaimana disebutkan dalam hadits Mu’awiyah yang telah berlalu.

Oleh Prof. Dr. Abdullah bin Abdul ‘Aziz bin Hammâdah al-Jibrin

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XVIII/1436H/2014M.]
_______
Footnote
Disadur oleh Abu Isma’il Muslim al-Atsari dari kitab Tashîl al-‘Aqîdah al-Islâmiyyah, hlm. 1-4, penerbit: Darul ‘Ushaimi lin Nasyr wa Tauzi’

Islam Adalah Satu-Satunya Agama Yang Benar

Abu Fathan | 17:21 | 0 comments
Satu-satunya agama yang benar, diridhai dan diterima oleh Allâh Azza wa Jalla adalah Islam. Agama-agama selain Islam, tidak akan diterima oleh Allâh Azza wa Jalla . Karena agama-agama tersebut telah mengalami penyimpangan yang fatal dan telah dicampuri dengan tangan-tangan kotor manusia. Setelah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus, maka orang Yahudi, Nasrani dan yang lainnya wajib masuk ke agama Islam, mengikuti Rasûlullâh k . Allâh Azza wa Jalla berfirman:

إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ 

Sesungguhnya agama di sisi Allâh ialah Islam. [Ali ‘Imrân/3:19]

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

أَفَغَيْرَ دِينِ اللَّهِ يَبْغُونَ وَلَهُ أَسْلَمَ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ طَوْعًا وَكَرْهًا وَإِلَيْهِ يُرْجَعُونَ

Maka mengapa mereka mencari agama yang lain selain agama Allâh, padahal apa yang ada dilangit dan di bumi berserah diri kepada-Nya, (baik) dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada-Nya-lah mereka dikembali-kan?” [Ali ‘Imrân/3:83]

Allâh Azza wa Jalla juga berfirman:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا 

Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu. [Al-Mâidah/5:3]

Allâh Azza wa Jalla juga berfirman:

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ

Dan barangsiapa mencari agama selain agama Islam, dia tidak akan diterima, [Ali ‘Imrân/3:85]

Apabila orang Yahudi dan Nashrani tidak masuk dalam agama Islam yang dibawa oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka mereka pasti menjadi penghuni neraka Jahannam. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَالَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ! لَا يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هـٰذِهِ اْلأُمَّةِ يَهُوْدِيٌّ وَلَا نَصْرَانِيٌّ، ثُمَّ يَمُوْتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ، إِلَّا كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ

Demi Rabb yang diri Muhammad berada di tangan-Nya, tidaklah seorang dari umat Yahudi dan Nasrani yang mendengar diutusnya aku (Muhammad), lalu dia mati dalam keadaan tidak beriman dengan apa yang aku diutus dengannya (Islam), niscaya dia termasuk penghuni neraka.[1] 

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Rasul yang terakhir dan penutup. Syari’at yang Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bawa menghapus syari’at sebelumnya. Allâh Azza wa Jalla tidak menerima agama dari seorang hamba selain dari agama Islam. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam diperintahkan oleh Allâh Azza wa Jalla untuk mengajak orang-orang Yahudi dan Nashrani masuk ke dalam agama Islam, karena setelah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus, maka tidak ada Nabi lagi sesudah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak ada agama kecuali agama Islam. Bahkan seandainya Nabi Musa Alaihissallam masih hidup, maka dia wajib mengikuti agama Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Sebagaimana yang terjadi pada ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu, ketika itu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memegang dan membaca lembaran Taurat, maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَمُتَهَوِّكُوْنَ فِيْهَا يَا ابْنَ الْـخَطَّابِ؟ وَالَّذِيْ نَفْسِـيْ بِيَدِهِ ، لَقَدْ جِئْتُكُمْ بِهَا بَيْضَاءَ نَقِيَّةً ، لَا تَسْأَلُوْهُمْ عَنْ شَيْءٍ فَيُخْبِرُوْكُمْ بِحَـقٍّ فَتُكَذِّبُوْا بِهِ ، أَوْ بِبَاطِلٍ فَتُصَدِّقُوْا بِهِ ، وَالَّذِيْ نَفْسِـيْ بِيَدِهِ ، لَوْ أَنَّ مُوْسَى كَانَ حَيًّا مَا وَسِعَهُ إِلَّاأَنْ يَتَّبِعَنِـيْ

Apakah engkau merasa ragu, wahai ‘Umar bin al-Khaththab? Demi Allâh yang diri Muhammad ada di tangan-Nya, sungguh aku telah membawa kepada kalian agama ini dalam keadaan putih bersih. Janganlah kalian tanya kepada mereka tentang sesuatu, sebab nanti mereka kabarkan yang benar namun kalian mendustakan, atau mereka kabarkan yang bathil lalu kalian membenarkannya. Demi Allâh yang diri Muhammad berada di tangan-Nya! Seandainya Nabi Musa itu hidup, maka tidak boleh baginya melainkan harus mengikuti aku[2] 

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَىٰ كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ ۚ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ

Katakanlah (Muhammad): ‘Wahai ahli Kitab, marilah (kita menuju) kepada suatu kalimat (pegangan) yang sama antara kami dan kamu, bahwa kita tidak menyembah selain Allâh dan kita tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun dan bahwa kita tidak menjadikan satu sama lain tuhan-tuhan selain Allâh.’ Jika mereka berpaling maka katakanlah (kepada mereka): ‘Saksikanlah, bahwa kami termasuk orang-orang muslim.” [Ali ‘Imrân/3:64]

Pada zaman Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Allâh Azza wa Jalla telah menjelaskan dalam al-Qur'ân bahwa Yahudi dan Nasrani selalu berusaha untuk memurtadkan dan menyesatkan kaum Muslimin dan mengembalikan mereka kepada kekafiran, mengajak kaum Muslimin kepada agama Yahudi dan Nasrani. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَدَّ كَثِيرٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّونَكُمْ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِكُمْ كُفَّارًا حَسَدًا مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ

Banyak di antara ahli Kitab menginginkan sekiranya mereka dapat mengembalikan kamu setelah kamu beriman menjadi kafir kembali, karena rasa dengki dari dalam diri mereka, setelah kebenaran jelas bagi mereka.[Al-Baqarah/2:109]

Allâh Azza wa Jalla berfirman,

وَلَنْ تَرْضَىٰ عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَىٰ حَتَّىٰ تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ 

Dan orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan ridha kepada kamu (Muhammad) sebelum engkau mengikuti agama mereka. [Al-Baqarah/2:120]

Ayat-ayat di atas menjelaskan bahwa Islam satu-satunya agama yang benar, adapun selain Islam tidak benar dan tidak diterima oleh Allâh Azza wa Jalla . Ayat-ayat di atas juga menjelaskan bahwa orang Yahudi dan Nasrani tidak senang kepada Islam serta tidak ridha kecuali jika umat Islam mengikuti mereka. Mereka berusaha untuk menyesatkan dan memurtadkan umat Islam dengan berbagai cara. Saat ini gencar sekali dihembuskan propaganda penyatuan agama, yang menyatakan konsep satu Tuhan tiga agama. Hal ini tidak bisa diterima, baik secara nash (dalil al-Qur'ân dan as-Sunnah) maupun akal. Ini hanyalah angan-angan semu belaka. Kesesatan ini telah dibantah oleh Allâh Azza wa Jalla dalam al-Qur'ân:

وَقَالُوا لَنْ يَدْخُلَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ كَانَ هُودًا أَوْ نَصَارَىٰ ۗ تِلْكَ أَمَانِيُّهُمْ ۗ قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ ﴿١١١﴾ بَلَىٰ مَنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَلَهُ أَجْرُهُ عِنْدَ رَبِّهِ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata, ‘Tidak akan masuk Surga kecuali orang-orang Yahudi atau Nasrani.’Itu (hanya) angan-angan mereka.Katakanlah, ‘Tunjukkan bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang-orang yang benar. Tidak! Barangsiapa menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allâh, dan ia berbuat baik, dia mendapat pahala di sisi Rabb-nya dan tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.’”[Al-Baqarah/2:111-112]

Allâh Azza wa Jalla kemudian menjelaskan bahwa orang yang ikhlas dan ittiba’, tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan mereka akan mendapat balasan yang menggembirakan di akhirat. Sedangkan propaganda tersebut merupakan tipuan mereka (orang Yahudi dan Nasrani) agar kaum Muslimin keluar dari ke-Islamannya dan memeluk agama Yahudi atau Nasrani. Bahkan mereka memberikan iming-iming, jika mengikuti agama mereka, orang Islam akan mendapat petunjuk. Padahal Allâh Azza wa Jalla memerintahkan kita untuk mengikuti agama Ibrâhîm Alaihissallam yang lurus, agama tauhid yang terpelihara. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَقَالُوا كُونُوا هُودًا أَوْ نَصَارَىٰ تَهْتَدُوا ۗ قُلْ بَلْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا ۖ وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ

Dan mereka berkata, ‘Jadilah kamu (penganut) Yahudi atau Nasrani, niscaya kamu mendapat petunjuk.’Katakanlah, ‘(Tidak!) tetapi (kami mengikuti) agama Ibrahim yang lurus.Dan dia tidak termasuk orang yang mempersekutukan Allâh. [Al-Baqarah/2:135]

Untuk itu, kita wajib berhati-hati dan waspada terhadap propaganda-propaganda sesat, yang menyatakan bahwa, ‘Semua agama adalah baik’, ‘kebersamaan antar agama’, ‘satu tuhan tiga agama’, ‘persaudaraan antar agama’, ‘persatuan agama’, ‘perhimpunan agama samawi’, ‘persatuan agama Ibrahimiyyah’, ‘persatuan agama Ilahi’, ‘persatuan kaum beriman’, ‘pengikut millah’, ‘persatuan umat manusia’, ‘persatuan agama-agama tingkat nasional’, ‘persatuan agama-agama tingkat internasional’, ‘persaudaraan agama’, ‘satu surga banyak jalan’, ‘dialog antar umat beragama’. Muncul juga dengan nama ‘persaudaraan Islam-Nasrani’ atau ‘Himpunan Islam Nasrani Anti Komunisme’ atau ‘Jaringan Islam Liberal (JIL)’.

Semua slogan dan propaganda tersebut bertujuan untuk menyesatkan umat Islam, dengan memberikan simpati ke agama Nasrani dan Yahudi, mendangkalkan pengetahuan umat Islam tentang Islam yang haq, menghilangkan ‘aqidah al-wala' wal bara’ (cinta/loyal kepada kaum Mukminin dan berlepas diri dari selainnya), dan mengembangkan pemikiran anti agama Islam. Dari semua sisi hal ini sangat merugikan Islam dan umatnya.

Semua propaganda sesat tersebut merusak ‘aqidah Islam, padahal ‘aqidah merupakan hal yang paling pokok dan asas dalam agama Islam ini, karena agama ini mengajarkan prinsip ibadah yang benar kepada Allâh Azza wa Jalla .

Oleh karena itu, seorang yang beriman kepada Allâh Azza wa Jalla sebagai Rabb-nya, Islam sebagai agamanya, dan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai Nabinya, tidak boleh ikut dalam seminar-seminar, perkumpulan, pertemuan, yayasan dan organisasi mereka. Tidak boleh pula menjadi anggota mereka. Bahkan ia wajib menjauhinya, mewaspadainya dan takut terhadap akibat buruknya. Ia harus menolaknya, memusuhinya dan menampakkan penolakannya secara terang-terangan serta mengusirnya dari negeri kaum Muslimin. Ia wajib mengikis pemikiran sesat itu dari benak kaum Muslimin, membasmi sampai ke akar-akarnya, mengucilkannya, dan membendungnya. Pemerintah Muslim wajib menegakkan sanksi murtad terhadap pengikut propaganda tersebut, setelah terpenuhi syarat-syaratnya dan tidak adanya penghalang. Hal itu dilakukan demi menjaga keutuhan agama dan sebagai peringatan terhadap orang-orang yang mempermainkan agama, dan dalam rangka mentaati Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam serta demi tegaknya syari’at Islam yang suci.

Hendaknya setiap Muslim mengetahui hakikat propaganda ini. Ia tidak lain hanyalah benih-benih filsafat yang berkembang di alam politik yang berujung pada kesesatan. Muncul dengan mengenakan baju baru untuk memangsa korban, memangsa ‘aqidah mereka, tanah air mereka dan merenggut kekuasaan mereka.

Oleh karena itu, wajib bagi kaum Muslimin untuk bara’[3] (berlepas diri dari kekufuran). 

Mudah-mudahan makalah ini bermanfaat untuk kaum Muslimin serta menambah keyakinan mereka tentang benarnya agama Islam dan wajib berlepas diri dari semua kesyirikan dan kekafiran. Dan kita wajib untuk bermuamalah dengan baik sesuai dengan syari’at Islam dan tidak boleh sekali-kali mengorbankan aqidah dan agama dalam bermuamalah dan lainnya.

Maraaji’:
1. Tafsîr ath-Thabari.
2. Tafsîr Ibni Katsîr, tahqiq Sami Salamah.
3. Al-Ibthâl Linazhariyyatil Khalthi baina Dînil Islam wa Ghairihi minal Adyân karya Syaikh Bakr bin ‘Abdillah Abu Zaid, cet. Daar ‘Alamul Fawaa-id, cet II/ th. 1421 H.
4. Al-Madkhal lidirâsatil ‘Aqîdatil Islâmiyyah ‘ala Madzhab Ahlis Sunnah wal Jamâ’ah.
5. Prinsip Dasar Islam.
6. Syarah Aqidah Ahlus Sunnah wal Jamâ’ah.

Oleh Al-Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas حفظه الله

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XVIII/1436H/2014M.]
_______
Footnote
[1]. Shahih: HR. Muslim no 153 (240) dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[2]. Hasan: HR. Ahmad (III/387), Ad-Darimi (I/115), dan Ibnu Abi ‘Ashim dalam Kitâbus Sunnah (no. 50), dari Shahabat Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu dan lafazh ini milik Ahmad. Derajat hadits ini hasan karena memiliki banyak jalur yang saling menguatkan, lihat Hidâyatur Ruwât (I/136, no. 175)]
[3]. Kata al-bara' dalam bahasa Arab mempunyai banyak arti, antara lain menjauhi, membersihkan diri, melepaskan diri dan memusuhi. Kata bari-a (بَرِئَ) berarti membebaskan diri dari melaksanakan kewajiban-nya terhadap orang lain. Sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :

بَرَاءَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى الَّذِينَ عَاهَدْتُمْ مِنَ الْمُشْرِكِينَ

“(Inilah pernyataan) pemutusan hubungan dari Allâh dan Rasul-Nya kepada orang-orang musyrik yang kamu (kaum muslimin) mengadakan perjanjian (dengan mereka).”[At-Taubah/9:1]. 

Maksudnya, membebaskan diri dengan peringatan tersebut.

Dalam terminologi syari’at Islam, al-bara’ berarti penyesuaian diri seorang hamba terhadap apa yang dibenci dan dimurkai Allâh, berupa perkataan, perbuatan, keyakinan dan kepercayaan serta orang. Jadi, ciri utama al-bara' adalah membenci apa yang dibenci Allâh secara terus-menerus dan penuh komitmen.

Dosa Adalah Penyebab Hukuman Atau Siksa

Abu Fathan | 22:23 | 0 comments
Segala sesuatu itu berada dalam kekuasaan Allâh dan segala sesuatu yang ada dalam kekuasaan Allâh berjalan sesuai dengan perintah-Nya. Dan semua kesusahan yang menimpa munusia merupakan akibat dari perbuatan mereka sendiri. Allâh Azza wa Jalla itu maha adil lagi bijaksana. Semua manusia hidup dibawah naungan rahmat karena sebab kebaikan yang telah mereka lakukan, atau dibawah adzab akibat dari perbuatan buruk yang telah mereka kerjakan. Ketika seorang hamba itu istiqâmah di atas syariat Allâh, maka kehidupan dunianya akan lurus dan mendatangkan banyak manfaat, bukan madharat, juga dia akan mendapatkan pahala yang berlipat ganda kelak di akhirat. Allâh akan memudahkan baginya segala bentuk kesulitan, dia akan dilayani oleh yang jauh maupun yang dekat, dan akan terdapat banyak kebaikan pada masyarkatnya, sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَٰكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. [Al-A’râf/7:96]


Allâh juga berfirman mengenai Ahli kitab:

وَلَوْ أَنَّهُمْ أَقَامُوا التَّوْرَاةَ وَالْإِنْجِيلَ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِمْ مِنْ رَبِّهِمْ لَأَكَلُوا مِنْ فَوْقِهِمْ وَمِنْ تَحْتِ أَرْجُلِهِمْ

Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat dan Injil dan (al-Qur'an) yang diturunkan kepada mereka dari Rabbnya, niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas dan dari bawah kaki mereka. [Al-Mâidah/5:66]

Dan tidak ada yang mengurangi (menghalangi) nikmat tersebut kecuali dosa yang dia lakukan. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

فَكُلًّا أَخَذْنَا بِذَنْبِهِ 

Maka masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosanya [Al-Ankabût/29:40]

Allâh juga berfirman:

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ

Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allâh memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu). [As-Syûrâ/42:30]

Juga firman-Nya:

مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ ۖ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ

Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allâh, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. [An-Nisâ'/4:79]

Dari Abdillah Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma , beliau Radhiyallahu anhuma berkata, "Rasûlullâh mendatangi kami seraya bersabda, "Wahai kaum muhajirin! Ada lima hal jika menimpa kalian, dan aku memohon perlindungan dari Allâh agar lima hal tersebut tidak kalian temukan; (1) Tidaklah perbuatan keji muncul pada suatu kaum kemudian mereka terang-terangan melakukannya kecuali akan tersebar pada mereka penyakit levra dan penyakit-penyakit lainnya yang tidak pernah ada pada orang-orang sebelum mereka; (2) tidaklah mereka mengurangi timbangan dan takaran niscaya mereka akan ditimpa musim kekeringan dan kezhaliman para pemimpin; (3) Tidaklah mereka enggan untuk mengeluarkan zakat harta mereka kecuali Allâh Azza wa Jalla akan enggan untuk menurunkan hujan dari langit, kalau bukan karena hewan ternak, mereka tidak akan mendapatkan hujan; (4) Tidaklah pula mereka melanggar janji Allâh dan Rasul-Nya kecuali Allâh akan menjadikan musuh mereka berkuasa atas mereka, musuh yang akan merampas sebagian harta benda yang mereka miliki; (5) Apabila para pemimpin mereka tidak berhukum dengan kitab Allâh, atau mereka memilah-milah apa yang telah Allâh turunkan, niscaya Allâh akan menghadirkan permusuhan diantara mereka. [Dikeluarkan oleh Ibnu Mâjah dan dishahihkan oleh Imam al-Albani rahimahullah] 

Beginilah buruknya keadaan akibat dosa, tidaklah terjadi pada suatu kaum kecuali akan mendatangkan keburukan. Musuh akan muncul menghilangkan atau merampas kekayaan dan rezeki- rezeki mereka, merusak kehormantan mereka dan mengekang kebebasan mereka. Mereka akan ditimpa kemungkaran-kemungkaran yang sesuai dengan besarnya dosa yang telah mereka lakukan, kebaikan akan luput dari mereka sebanyak ketaatan yang luput dari mereka. Sungguh Allâh maha bijaksana dalam memberi hukuman, dan kita hanya meminta pertolongan darinya.

JENIS HUKUMAN 
Hukuman ada dua jenis :

1.Hukuman Jenis Pertama; Hukuman Qadariah, yaitu semua musibah fisik yang menimpa manusia berupa kefakiran, kekeringan, harga yang melambung tinggi, kezhaliman para pemimpin, berkuasanya para musuh, rusaknya harta dan anak-anak, hilangnya ketentraman hidup, gempa bumi, banjir, longsor dan lain-lain, sebagai akibat dari perbuatan dosa yang mereka lakukan, sebagaimana dielaskan oleh Allâh dalam banyak firman-Nya, diantaranya :

Kefakiran, kekeringan dan kekurangan buah-buahan karena dosa-dosa yang mereka lakukan. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَلَقَدْ أَخَذْنَا آلَ فِرْعَوْنَ بِالسِّنِينَ وَنَقْصٍ مِنَ الثَّمَرَاتِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ

Dan sesungguhnya Kami telah menghukum (Fir'aun dan) kaumnya dengan (mendatangkan) musim kemarau yang panjang dan kekurangan buah-buahan, supaya mereka mengambil pelajaran. [Al-A’râf/7:130]

Adapun banjir, penenggelaman ke dasar bumi, dan yang lainnya, sesuai dengan firman Allâh Azza wa Jalla :

فَكُلًّا أَخَذْنَا بِذَنْبِهِ ۖ فَمِنْهُمْ مَنْ أَرْسَلْنَا عَلَيْهِ حَاصِبًا وَمِنْهُمْ مَنْ أَخَذَتْهُ الصَّيْحَةُ وَمِنْهُمْ مَنْ خَسَفْنَا بِهِ الْأَرْضَ وَمِنْهُمْ مَنْ أَغْرَقْنَا ۚ وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيَظْلِمَهُمْ وَلَٰكِنْ كَانُوا أَنْفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ

Maka masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosanya, maka di antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur, dan di antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan di antara mereka ada yang Kami tenggelamkan, dan Allâh sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri. [Al-Ankabut/29:40]

Yang lebih berat dari itu semua adalah mereka dihukum dengan hilangnya keimanan dan hidayah, serta tidak bermanfaatnya ilmu yang dimiliki. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَنُقَلِّبُ أَفْئِدَتَهُمْ وَأَبْصَارَهُمْ كَمَا لَمْ يُؤْمِنُوا بِهِ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَنَذَرُهُمْ فِي طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُونَ

Dan (begitu pula) Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti mereka belum pernah beriman kepadanya (al-Qur'ân) pada permulaannya, dan Kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatannya yang sangat. [Al-An’âm/6:110]

Dan firman-Nya.

فَلَمَّا زَاغُوا أَزَاغَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ ۚ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ

Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allâh memalingkan hati mereka; dan Allâh tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik." [As-Shaf/61:5]

Ibnu Qayyim rahimahullah mengatakan dalam Zâdul Ma’âd, "Barangsiapa memiliki pengetahuan tentang alam ini dan awal mulanya, maka dia akan mengetahui bahwa semua kerusakan yang terjadi di udara, tumbuh-tumbuhan, hewan dan keadaan keluarga, mucul setelah penciptaan yaitu ada dengan sebab yang mengakibatkan hal-hal itu terjadi. Perbuatan bani Adam dan penyelisihan mereka terhadap para rasul akan tetap mendatangkan bagi mereka kerusakan yang bersifat umum dan khusus, akan mendatangkan penyakit, kekeringan, hilangnya berkah bumi, tumbuhan dan buah-buahan. Perkara-perkara ini datang silih berganti. Jika pengetahuanmu belum meliputi ini semua maka cukuplah bagi kamu firman Allâh Azza wa Jalla :

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ 

Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supaya Allâh merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). [Ar-Rûm/30:41]

Terapkan ayat ini dengan keadaan alam ini! Cocokkan ayat ini dengan realita yang terjadi sekarang ini! Kamu akan bisa melihat bagaimana terjadinya penyakit, hama pada buah-buahan, pertanian, hewan ternak, di setiap waktu. Kamu juga akan bisa melihat penyakit yang satu menimbulkan penyakit yang lainnya. Setiap kali manusia melakukan kezhaliman dan kejahatan, Allâh Azza wa Jalla mendatangkan bagi mereka penyakit dan kerusakan pada sumber gizi mereka, buah-buahan, udara, air, badan, bentuk, rupa, dan akhlak mereka, akibat dari perbuatan zhalim mereka. Dahulu biji gandum dan biji-bijian lainnya lebih besar dari yang ada sekarang. Imam Ahmad meriwayatkan dengan sanadnya, bahwa terdapat disebagian gudang Bani Umayyah karung yang berisi biji gandum sebesar biji kurma tertulis di atasnya: seperti inilah yang tumbuh di masa keadilan. 

Kisah ini beliau rahimahullah sebutkan dalam Musnadnya setelah sebuah hadits yang beliau riwayatkan.

Kebanyakan penyakit dan kerusakan ini merupakan sisa dari adzab yang Allâh Azza wa Jalla timpakan kepada umat terdahulu. Sisa adzab ini diperuntukkan bagi mereka yang terdapat pada mereka perbuatan-perbuatan umat terdahulu sebagai bentuk hukuman, keadilan dan penunaian. Ini telah diisyaratkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

بَقِيَّةُ رِجْزٍ وَعَذَابٌ أُرْسِلَ عَلَى طَائِفَةٍ مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ

Sesungguhnya dia merupkan sisa dari kotoran atau azab yang dikirimkan kepada Bani Israil

Allâh Azza wa Jalla juga menimpakan angin puting beliung kepada suatu kaum selama tujuh malam dan delapan hari, kemudian Allâh Azza wa Jalla menyisakan sedikit dari hari-hari tersebut.

Allâh Azza wa Jalla menjadikan perbuatan baik dan buruk saling berkaitan dengan akibatnya. Tidak mau melakukan kebaikan, tidak mengeluarkan zakat atau sedekah merupkan sebab hujan tidak turun dari langit yang menyebabkan kekeringan dan pacekelik. Allâh Azza wa Jalla juga menjadikan perbuatan zhalim terhadap orang-orang miskin, curang dalam timbangan dan takaran, serta sikap semena-mena terhadap orang lemah, sebagai sebab timbulnya kezhaliman para pemimpin. Para pemimpin yang tidak memiliki rasa iba dan kasih sayang, pada hakikatnya merupakan hasil dari perbuatan rakyat yang muncul dalam bentuk para pemimpin. Terkadang juga dalam bentuk penyakit yang merata, atau rasa sedih, dan kebingungan yang mendera jiwa, dan tidak lepas darinya. Terkadang juga dalam bentuk terhalangnya berkah dari langit dan bumi. 

Orang yang berakal akan memandang setiap penjuru alam ini untuk menyaksikan dan melihat keadilan dan kebijaksanaan Allâh Azza wa Jalla , sehingga dengan itu dia akan tahu bahwa para Rasul dan pengikutnya berada dalam jalan keselamatan. Adapun selain mereka, maka mereka berada di atas jalan kebinasaan, menuju tempat kebinasaan, Allâh maha mampu melakukan segala urusan, tidak ada yang bisa membantah hukum yang telah ditetapkan-Nya, dan tidak ada yang mampu menolak perintah-Nya, dan hanya kepada Allâh meminta taufik. Selesai perkataan Ibnul Qayyim. 

2. Hukuman Jenis Kedua: Hukuman Syar’i yaitu Allâh mengharamkan kepada mereka apa yang telah dihalalkan. Allâh l berfirman:

وَعَلَى الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا كُلَّ ذِي ظُفُرٍ ۖ وَمِنَ الْبَقَرِ وَالْغَنَمِ حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ شُحُومَهُمَا إِلَّا مَا حَمَلَتْ ظُهُورُهُمَا أَوِ الْحَوَايَا أَوْ مَا اخْتَلَطَ بِعَظْمٍ ۚ ذَٰلِكَ جَزَيْنَاهُمْ بِبَغْيِهِمْ ۖ وَإِنَّا لَصَادِقُونَ

Dan kepada orang-orang Yahudi, Kami haramkan segala binatang yang berkuku dan dari sapi dan domba, Kami haramkan atas mereka lemak dari kedua binatang itu, selain lemak yang melekat di punggung keduanya atau yang di perut besar dan usus atau yang bercampur dengan tulang. Demikianlah Kami hukum mereka disebabkan kedurhakaan mereka; dan sesungguhnya Kami adalah Maha Benar. [Al-An’am/6:146]

Allâh mengabarkan bahwa Dia mengharamkan kepada mereka beberapa hal dikarenakan kezhaliman dan sikap melampaui batasa mereka. Diharamkan kepada mereka setiap hewan berkuku seperti unta dan semisalnya, Allâh juga mengharamkan lemak sapi dan kambing kecuali yang menempel pada punggung, usus, dan tulang.

Contohnya juga kisah Bani Israil yang mempersulit diri mereka ketika diperintahkan untuk menyembelih sapi betina sebagaimana disebutkan dalam surat al-Baqarah. Allâh Azza wa Jalla memerintahkan mereka untuk menyembelih sapi manapun yang mudah mereka dapatkan, akan tetapi mereka membangkang perintah Allâh Azza wa Jalla dengan melontarkan banyak pertanyaan yang akhirnya mempersulit mereka. Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhuma berkata, "Seandainya mereka mengambil sapi yang paling mudah bagi mereka, niscaya itu sudah cukup. Akan tetapi mereka mempersulit diri mereka sehingga Allâh Azza wa Jalla mempersulit mereka." Ini diriwayatkan oleh Ibnu jarir dalam tafsirnya. 

Maksudnya, Allâh Azza wa Jalla menimpakan kepada mereka belenggu dan beban dengan cara mempersulit sifat sapi yang diperintahkan untuk disembelih disebabkan karena dosa pembangkangan mereka terhadap perintah Allâh Azza wa Jalla.

Oleh Syaikh Abdulmalik bin Ahmad bin al-Mubarak Ramadhani

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XVIII/1436H/2014M.]
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. BERITA SUNNAH - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger