{قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ ويَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ، وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ}

Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah (sunnah/petunjuk)ku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS Ali ‘Imran:31)

Syubhat Para Pemberontak

Abu Fathan | 18:53 | 0 comments
Orang-orang yang tidak menjadikan nash Al-Kitab dan As-Sunnah serta atsar salaf sebagai acuan karena tidak bernilai di dalam hati mereka, sebaliknya mereka akan menjadikan acuan dan rujukan pemikiran-pemikiran yang kebanyakannya diserap dari luar Islam, mereka akan melemparkan banyak syubhat, di antaranya :

Satu: Keluar dari ketaatan terhadap penguasa (memberontak) hanyalah kalau mengangkat senjata.


Jawab : Fadhilatusy Syaikh Doktor Sholeh As-Sadlan ditanya : “Saya melihat Syaikh tidak membatasi keluar (dari ketaatan,–pent.) hanya dengan senjata bahkan Syaikh menganggap bahwa keluar kadang dengan lisan …?”.

Beliau menjawab : “Ini adalah pertanyaan yang penting. Sebagian dari ikhwah kadang melakukan hal ini dengan niat yang baik dengan keyakinan bahwa keluar hanyalah dengan (mengangkat) senjata saja. Namun sebanarnya, keluar (dari ketaatan) tidaklah terbatas hanya dengan kekuatan senjata atau menentang dengan cara-cara yang sudah terkenal saja, bahkan sesungguhnya keluar dengan kalimat lebih parah daripada keluar dengan senjata. Karena sesungguhnya keluar dengan senjata dan anarkhis tidak akan terjadi kecuali dengan kalimat, maka kami katakana kepada ikhwah yang dikuasai oleh semangat dan kami menyangka di antara mereka ada kesholihan -insya Allah-, wajib bagi mereka untuk pelan-pelan, dan kami katakan kepada mereka, pelan-pelan karena sikap keras dan anarkhis akan melahirkan sesuatu dalam hati, mendidik hati yang lunak tidak mengenal kecuali melawan dan juga membuka jalan di hadapan orang-orang yang punya tujuan tertentu untuk berbicara dan mengungkapkan apa yang ada dalam hati-hati mereka, kadang-kadang benar dan kadang-kadang batil. Maka tidak ada keraguan bahwa memberontak dengan lisan dan menyebarkan tulisan dengan berbagai macam cara atau menyebarkan kaset-kaset atau ceramah-ceramah atau seruan-seruan yang membangkitkan manusia yang tidak sesuai dengan syari’at, maka saya yakin bahwa ini adalah dasar pemberontakan dengan senjata. Maka saya peringatkan dari hal itu dengan peringatan yang keras, dan saya katakan kepada mereka, kalian harus melihat/memperhatikan akibat-akibat yang akan terjadi dan melihat kepada orang-orang yang telah mendahului kalian dalam masalah ini. Dan agar mereka melihat kepada fitnah yang dirasakan oleh sebagian masyarakat Islam apa sebabnya dan apa jalan yang menyebabkan mereka mengalami keadaan sepeerti itu. Dan apabila kita sudah mengetahui hal itu maka kita akan mengerti bahwa memberontak dengan lisan dan sibuk dengan sarana-sarana komunikasi dan transportasi untuk membuat manusia lari, memanas-manasi, anarkhis atau kekerasan akan menimbulkan fitnah dalam hati”. (Lihat : ‘Ulama’us Su’udiyah Yu`akkiduna ‘alal Jama’ah hal. 5-6)

Maka kesimpulannya bahwa memberontak dengan lisan lebih berbahaya daripada dengan senjata, sebagaimana dalam riwayat dari Usamah bin Zaid, dikatakan kepada beliau : “Tidakkah kamu masuk kepada ‘Utsman dan berbicara kepadanya ?”, maka beliau menjawab : “Apakah kalian berpendapat bahwa nanti dikatakan bahwa saya berbicara dengannya kalau kalian dengar ?!, demi Allah, sungguh saya telah berbicara –antara saya dengan di saja- dan saya tidak akan membuka suatu perkara yang saya tidak suka menjadi orang yang pertama kali membukanya”.

Berkata Al-Qodhy ‘Iyadh : “Maksud Usamah adalah bahwa dia tidak akan membuka pintu secara terang-terangan untuk mengingkari Imam, sebab ditakutkan dari akibatnya (yang jelek,–pent.) bahkan beliau lemah lembut dan menasehatinya dengan sembunyi-sembunyi karena yang demikian itu lebih mudah untuk diterima”. (Lihat : Fathul Bary 13/52)

Berkata Syaikh Al-Albany : “Yang dimaksud adalah mengingkari Imam secara terang-terangan di khalayak ramai, karena dari pengingkaran secara terang-terangan ditakutkan akibatnya (yang jelek), sebagaimana yang telah terjadi pada pengingkaran terhadap Utsman yang terang-terangan menyebabkan terbunuhnya beliau”. (Lihat : Mukhtashor Shohih Muslim hal. 335)

Ini adalah contoh dan kenyataan yang terjadi dari beribu-ribu kisah dan kenyataan yang tercatat dan terpelihara dalam sejarah sebagai pelajaran yang sangat berharga dan bermanfaat khususnya bagi orang-orang yang demam politik praktis dan semangat yang membabi buta dalam mengingkari penguasa.

Salah seorang Amir Andalusia yang bernama Al-Hakam bin Hisyam bin Ad-Dakhil termasuk raja yang sangat sombong, fasik dan kejam. Tetapi banyak ulama yang berada dalam negaranya, sampai-sampai dikatakan bahwasanya ada 4000 ulama di Cordova (Ibu Kotanya,–pent.). Maka mulailah mereka merasa susah atas pelanggaran-pelanggaran dan kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh Al-Hakam bin Hisyam, lalu mereka membangkitkan/memanas-manasi manusia atas amirnya dan berusaha untuk melepaskan diri darinya. Mereka menyangka bahwa tidak halal lagi untuk bersabar atas kelakuan-kelakuannya yang jelek dan tercela. Mereka lalu bermusyawarah untuk menurunkannya dari kekuasaan, dan mereka mempercayakan urusannya kepada salah seorang ahli syuro di Cordova karena kesholihannya, akalnya dan agamanya. Maka merekapun memberitahu kepadanya semua perkara dan mulailah dia memperlihatkan sikap condong kepada mereka. Maka iapun mengundang mereka kemudian ia memberitahu Al-Hakam tentang keadaan mereka, maka Al-Hakampun mengutus kepada mereka sebagian mata-matanya yang kemudian duduk di belakang tirai dan penulis mereka menulis apa saja yang dikatakan oleh mereka tentang Al-Hakam. Maka salah seorang dari mereka mengulurkan tangannya ke belakang tirai dan iapun melihat mata-mata itu. Iapun berdiri dan merekapun berdiri dan mereka berkata : “Kamu telah melakukannya wahai musuh Allah”. Maka siapa yang lari pada waktu itu maka dia yang selamat dan siapa yang tidak maka ditangkap, sekitar 77 orang dipenggal leher-leher mereka dan disalib. Mulailah Al-Hakam mengumpulkan dan menyiapkan tentara-tentaranya dan manusiapun menjadi berani dan marah sehingga terjadilah peperangan di Ar-Robd yang mana pada peperangan itu, Al-Hakam membunuh kurang lebih 40000 rakyatnya yang tidak berdosa yang mana mereka berlebih-lebihan dalam merendahkan Al-Hakam, sampai-sampai mereka pernah memanggil Al-Hakam dengan suara yang keras dari tempat ibadah mereka di malam hari “Sholat, sholat, wahai orang yang mabuk”. (Lihat Siyar a’lamin Nubala` 8/255-257)

Dua: Keluar dari ketaatan penguasa dalam rangka menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar.


Jawab : Al-Imam Ibnu Qoyyim berkata : “Jika mengingkari kemungkaran mengharuskan timbulnya yang lebih mungkar dan lebih dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya maka tidak boleh mengingkarinya walaupun Allah membenci kemungkaran itu dan murka terhadap pelakunya seperti mengingkari para raja dan penguasa dengan keluar dari mereka, karena sesungguhnya hal itu azab segala kejelekan dan fitnah sampai akhir zaman.

Dan para shahabat telah minta izin kepda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam untuk memerangi penguasa yang mengakhirkan shalat dari waktunya. Mereka berkata : “Apakah kami memerangi meraka ? beliau menjawab : Tidak, selama mereka menegakkan shalat dan beliau bersabda : Siapa yang melihat dari amirnya suatu yang dia benci maka hendaklah ia bersabar dan janganlah ia mencabut tangan dari ketaatan padanya. Dan siapa yang memperhatikan apa yang terjadi dalam agama Islam berupa fitnah-fitnah besar maupun kecil maka dia melihatnya dari ditelantarkannya azab ini dan tidak bersabar atas kemungkaran dan menuntut hilangnya kemungkaran tersebut maka melahirkan dari kemungkaran yang lebih besar”.

Dan perhatiakanlah terjadi yang dialami gurunya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah bersama murid-muridnya, Ibnu Qoyyim bercerita : “Saya mendengar Syeikhul Islam berkata : Saya dan sebagian shahabt-shahabatku pernah melewati suatu kaum dizaman tartar, diantara mereka ada yang sedang minum khamar, maka orang yang bersamaku mengingkari mereka, maka saya mengingkari apa yang dia lakukan dan saya katakan padanya : Sesungguhnya Allah mengharamkan khamar karena menghalangi zikir kepada Allah, menghalangi sholat sementara mereka, khamar mencegahnya untuk membunuh jiwa dan menawan anak-anak dan mengambil harta benda maka tinggalkanlah mereka”. (Lihat : I’lamul Muwaqqia 3/6-8).

Tiga: Penguasa sekarang tidak sama dengan penguasa di zaman dahulu, penguasa dahulu memberlakukan syari’at Islam, adil dan menyayangi rakyatnya, adapun sekarang adalah sebaliknya.

Jawab : Telah terdahulu dalil-dalil yang mewajibkan untuk taat kepada penguasa baik yang adil maupun yang zholim, maka sebagai tambahan, kami nukilkan beberapa nukilan.

Berkata Imam Abul Walid Ath-Thurthusyi : “Jika kamu mengatakan bahwa sesungguhnya penguasa-penguasa sekarang tidak sama dengan penguasa-penguasa dahulu maka rakyat sekarang juga tidak sama dengan rakyat dahulu. Dan kamu tidak boleh mencela penguasamu jika kamu melihat peninggalan-peninggalan penguasa-penguasa dahulu lebih utama daripada kalau penguasamu mencela kamu jika melihat peninggalan-peninggalan rakyat yang dahulu. Maka jika penguasa zholim kepadamu maka wajib bagi kamu untuk bersabar dan mereka yang menanggung dosa.

Dan selalu saya mendengar manusia mengatakan : ‘Amal-amal kalian adalah pelayan-pelayan kalian’, ‘Sebagaimana keadaan kalian demikian pula (keadaan orang yang) dikuasakan atas kalian’, sampai saya mendapatkan makna ini di dalam Al-Qur`an, Allah Ta’ala berfirman :

وَكَذَلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضاً بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

“Dan demikianlah Kami jadikan sebahagian orang-orang yang zalim itu menjadi teman bagi sebagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan”. (QS. Al-An‘am : 129)

Dan dikatakan : ‘Apa yang kalian ingkari dari zaman kalian maka sesungguhnya yang merusaknya atas kalian adalah amalan kalian’.”.

Berkata Abdul Malik bin Marwan : “Berlaku adillah kepada kami wahai segenap rakyatku, kalian menginginkan dari kami siroh (sejarah hidup) seperti siroh Abu Bakar dan Umar sementara kalian tidak berprilaku pada kami tidak pula pada diri-diri kalian dengan siroh Abu Bakar dan Umar”. (Lihat Sirajul Muluk 100-101 dengan perantara Fiqhu As-Siyasah Asy-Syar’iyyah)

Dan Imam Abdul Lathif bin Abdurrahman bin Hasan Alu Asy-Syaikh telah menyingkap syubhat dan kerancuan ini dengan gamblang dan jelas sebagaimana dalam Ad-Duror As-Saniyyah 7/177-178, beliau berkata : “Orang-orang yang terfitnah itu (dengan syubhat seperti ini,–pent.) tidak tahu bahwa kebanyakan penguasa kaum muslimin semenjak zaman Yazid bin Mu’awiyah –kecuali ‘Umar bin ‘Abdil Aziz dan orang-orang yang dikehendaki Allah dari Bani Umayyah- mereka telah terjatuh dalam perbuatan lancang, kejadian-kejadian besar diantaranya pemberontakan dan kerusakan dalam wilayah kaum muslimin. Meskipun demikian, sejarah dan perjalanan hidup para Imam Ahli ilmu dan tokoh-toko besar bersama mereka (penguasa,–pent.) dikenal dan masyhur. Tidaklah mereka mencabut tangan dari ketaatan dari apa yang Allah dan Rasul-Nya perintahkan dengannya berupa syari’at-syari’at Islam dan kewajiban-kewajiban agama. Saya sebutkan sebagai contoh yaitu : Al-Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqofy, kekuasaannya terkenal dengan kezholiman, penindasan, melampaui batas dalam menumpahkan darah, melanggar apa-apa yang diharamkan Allah dan pembunuhan terhadap tokoh-tokoh umat seperti Sa’id bin Jubair dan mengepung Ibnu Zubair yang telah berlindung di Masjidil Haram dan melanggar kehormatan dan membunuh Ibnu Zubair walaupun penduduk Makkah, tokoh-tokoh Madinah, Yaman dan kebanyakan tokoh-tokoh ‘Iraq telah memberikan ketaatan dan bai’at.

Dan Hajjaj merupakan pengganti dari Marwan kemudian dari anaknya Abdul Malik , tidak ada seorangpun dari para khalifah yang mengamanatkan kekuasaan kepada Marwan bahkan Ahlul Halli wal ‘Aqd tidak pula membai’atnya. Meskipun demikian, tidak seorangpun dari ulama yang menolak untuk taat dan tunduk pada Marwan pada perkara-perkara yang boleh taat padanya berupa rukun-rukun Islam dan kewajiban-kewajibannya. Ibnu Umar dan orang-orang yang mendapati Hajjaj dari kalangan shahabat Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam tidak melepaskan diri dan tidak pula menahan/menghalangi untuk taat padanya dalam hal-hal yang mengokohkan Islam dan menyempurnakan iman.

Demikian pula tokoh-tokoh yang hidup di zamannya dari kalangan tabi’in seperti : Ibnul Musayyab, Al-Hasan Al-Bashry, Ibnu Sirin, Ibrahim At-Taimy dan ulama-ulama seperti mereka dari tokoh-tokoh umat. Hal ini terus berlangsung di antara ulama umat dari tokoh-tokoh dan Imam-Imamnya. Mereka tetap memerintahkan untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya, berjihad di jalan-Nya bersama setiap penguasa yang sholih maupun yang jahat sebagaimana yang dikenal dalam buku-buku ushuluddin dan aqidah.

Demikian pula halnya Bani Abbas, mereka menguasai negeri-negeri kaum muslimin secara paksa dengan kekuatan pedang dan tidak ada seorangpun dari kalangan ulama dan tokoh agama yang membantu mereka. Mereka membunuh sejumlah besar dari Bani Umayyah, para penguasa dan wakil-wakilnya, mereka membunuh Ibnu Hubairah Gubernur Iraq, membunuh Khalifah Marwan bahkan diceritakan bahwa para algojo mereka membunuh 80 orang Bani Umayyah dalam sehari, meletakkan permadani-permasdani di atas mayat-mayat mereka dan duduk diatasnya sambil berpesta pora, makan-makan dan minum-minum.

Meskipun demikian, sejarah para imam seperti : Al-Auza‘iy, Malik, Az-Zuhry, Al-Laits bin Sa’ad, ‘Atho` bin Abi Rabah dalam menyikapi penguasa (Bani Abbasiyah –pent.) tidaklah samar bagi yang mempunyai ilmu dan menelaah (kitab-kitab sejarah,-pent.) Kemudian generasi Ahli Ilmu yang kedua seperti : Imam Ahmad bin Hanbal, Muhammad bin Isma’il (Al-Bukhory), Muhammad bin Idris (Asy-Syafi’iy), Ahmad bin Nuh, Ishaq bin Rahawaih dan saudara-saudara mereka yang lain … terjadi di zaman mereka dari para penguasa bid’ah-bid’ah yang besar, pengingkaran sifat-sifat (Allah) dan mereka diajak untuk mengakuinya, diuji dengan hal tersebut bahkan sampai dibunuh, seperti Ahmad bin Nashr, walaupun demikian tidak ada seorangpun di antara mereka yang mencabut ketaatan dari penguasa dan tidak pula berpendapat bolehnya memberontak kepada mereka.

Belajarlah untuk Mengatakan “Saya Tidak Tahu”

Abu Fathan | 18:20 | 0 comments

بسم الله الرحمن الرحيم

الحمد لله رب العالمين و صلى الله و سلم و بارك على نبينا محمد و آله و صحبه أجمعين, أما بعد:

1 – عن مَسْرُوقٍ قال كنا عِنْدَ عبد اللَّهِ جُلُوسًا وهو مُضْطَجِعٌ بَيْنَنَا فَأَتَاهُ رَجُلٌ فقال: يا أَبَا عبد الرحمن إِنَّ قَاصًّا عِنْدَ أَبْوَابِ كِنْدَةَ يَقُصُّ وَيَزْعُمُ أَنَّ آيَةَ الدُّخَانِ تجيء فَتَأْخُذُ بِأَنْفَاسِ الْكُفَّارِ وَيَأْخُذُ الْمُؤْمِنِينَ منه كَهَيْئَةِ الزُّكَامِ فقال عبد اللَّهِ وَجَلَسَ وهو غَضْبَانُ: (يا أَيَّهَا الناس اتَّقُوا اللَّهَ من عَلِمَ مِنْكُمْ شيئاً فَلْيَقُلْ بِمَا يَعْلَمُ وَمَنْ لم يَعْلَمْ فَلْيَقُلْ الله أَعْلَمُ فإنه أَعْلَمُ لِأَحَدِكُمْ أَنْ يَقُولَ لِمَا لَا يَعْلَمُ الله أَعْلَمُ فإن اللَّهَ عز وجل قال لِنَبِيِّهِ صلى الله عليه و سلم: قُلْ ما أَسْأَلُكُمْ عليه من أَجْرٍ وما أنا من الْمُتَكَلِّفِينَ.

Artinya: ” Masruq rahimahullah berkata: ” Kami pernah duduk bersama Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau sambil tiduran di antara kami, lalu datang seorang laki-laki dan berkata: ” Wahai Abu Abdirrahman (panggilan untuk Abdullah bin Mas’ud-pent), ada seorang tukang dongeng di daerah Kindah (sebuah tempat di daerah Kufah-pent) bercerita dan mendakwakan tentang ayat di dalam surat Ad-Dukkan, (bahwa akan ada asap yang datang pada hari kiamat-pent) lalu mencabut jiwa-jiwa orang kafir dan mengambil orang-orang beriman seperti terjadinya flu terhadap mereka, lalu Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu duduk dalam keadaan marah dan berkata: ” Wahai manusia, takutlah kepada Allah, barangsiapa di antara kalian yang mengetahui sesuatu maka katakanlah sesuatu yang dia ketahui saja dan barangsiapa yang tidak mengetahui maka katakanlah: ” Allah a’lam (Allah lebih mengetahui) “, karena sesungguhnya orang yang paling berilmu dari kalian adalah seseorang yang mengatakan terhadap apa yang dia tidak ketahui: “Allah a’lam (Allah lebih mengetahui)”, sesungguhnya Allah telah berfirman kepada nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam: “Katakanlah (hai Muhammad): ” Aku tidak meminta upah sedikit pun kepadamu atas dakwahku; dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan”. (QS. Shaad: 86″. HR. Bukhari, no. 4531 dan Muslim, no. 7244).

2 – عن ابن مَسْعُودٍ رضي الله عنه قال: (إن الذي يُفْتِي النَّاسَ في كل ما يستفتي لَمَجْنُونٌ).

Artinya: “Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata: ” Sesungguhnya yang berfatwa kepada manusia di setiap apa yang ditanyakan kepadanya, adalah benar-benar orang gila”. (Riwayat shahih oleh ad-Darimi (1/171), ath-Thabarani di dalam al-Mu’jam al-Kabir, no. 7923, al-Khathib di dalam kitab al-Faqih wa al-mutafaqqih (2/417) dari riwayat al-A’masy dari Abu Wa’il dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu).

3 – عن علي بن أبي طالب رضي الله عنه قال: (يا بردها على الكبد!! أن تقول لما لا تعلم الله أعلم).

Artinya: “Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata: ” Sungguh sangat sejuk di dalam hati…ketika kamu mengatakan sesuatu yang kamu tidak ketahui: “Allah a’lam (Allah lebih mengetahui)”. (Riwayat shahih oleh Ad-Darimi (1/175,176), Ibnu Asakir di dalam kitab Tarikh Dimasyq (42/510) dan al-Khathib di dalam kitab al-Faqih wa al-Mutafaqqih (2/362) dari riwayat ‘Atha’ ni as-saib dari Abul Bakhtari dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu).

4 – عن ابن عمر رضي الله عنهما: (أنه سئل عن شيء فقال لا ادري ثم قال أتريدون أن تجعلوا ظهورنا جسوراً لكم في نار جهنم، أن تقولوا أفتانا ابن عمر بهذا). (صحيح)

Artinya: “Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma pernah ditanya tentang sesuatu, lalu beliau menjawab: “ Laa adri (saya tidak tahu), kemudian beliau berkata: “Apakah kalian ingin menjadikan punggung kami jembatan bagi kalian di neraka Jahannam, kalian mengatakan: ” Ibnu Umar telah berfatwa dengan ini “. (Riwayat shahih oleh al-Fasawi di dalam kitab al-Ma’rifah wa at-Tarikh (1/hal. 266) dan al-Khathib di dalam kitab al-Faqih Wa al-Mutafaqqih (2/hal: 364) dan Ibnu Asakir di dalam kitab Tarikh Dimasyq (31/hal. 168) dari riwayat Ibnul Mubarak dari haiwah bin Syuraih dari ‘Uqbah bin Muslim).

5 – عن ابن عمر رضي الله عنهما: (أن رجلا سأله عن مسألة؟ فقال: لا علم لي بها، فلمَّا أدبر الرجل قال ابن عمر: نِعْمَ ما قال ابن عمر!! سُئِلَ عَمَّا لا يعلم فقال: لا علم لي بها)

Artinya: “Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma pernah ditanya oleh seseorang tentang sebuah permasalahan, beliau menjawab: ” Saya tidak ada ilmu tentang permasalahan itu “, ketika orang tersebut berpaling, Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata: ” Sungguh baik perkataan Ibnu Umar!!, ditanya tentang sesuatu yang dia tidak ketahui maka dia mengatakan: ” Saya tidak ada ilmu tentang permasalahan itu “. (Riwayat shahih ad-Darimy (1/no. 179), al-Hakim (3/no. 6378) dan Ibnu Asakir di dalam kitab Tarikh Dimasyq (31/hal. 168) dari riwayat Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma).

6 – عن خالد بن أسلم قال: خرجنا مع عبد الله بن عمر نمشي فلحقنا أعرابي، فقال: أنت عبد الله بن عمر؟ قال: نعم، قال: سألت عنك فدللت عليك فأخبرني: أترث العمة؟ فقال ابن عمر: لا أدري، فقال: أنت لا تدري ولا ندري، قال: نعم اذهب إلى العلماء بالمدينة فسلهم، فلمَّا أدبر؛ قَبَّل ابنُ عمرَ يديه فقال: نعمَّ ما قال أبو عبد الرحمن سُئل عمَّا لا يدري فقال: لا أدري).

Artinya: ” Khalid bin Aslam berkata: ” Kami pernah berjalan bersama Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, lalu ada seorang A’rabi (dari kampung Arab) menghampiri kami dan berkata: “Apakah engkau Abdullah bin Umar? “, beliau (Abdullah bin Umar) menjawab: ” Iya “, orang dari kampung Arab ini berkata: “Aku bertanya tentang engkau lalu aku diberi unjuk tentang keberadaan engkau, maka sekarang beritahukanlah kepadaku: “Apakah bibi mewarisi? “, Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma menjawab: ” Laa adri (saya tidak tahu) “, orang tersebut berkata: ” Kamu tidak mengetahuinya dan kitapun tidak mengetahuinya, (bagaimana ini?), Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata: ” Iya (demikian), pergilah kepada para ulama di kota Madinah, bertanyalah kepada mereka “, ketika hendak pergi orang tersebut mencium kedua tangan Abdullah bin Umar seraya berkata: ” Sungguh baik apa yang dikatakan Abu Abdirrahman (yaitu: Abdullah bin Umar) ditanya tentang sesuatu yang dia tidak ketahui maka beliau menjawab: ” Saya tidak tahu “. (Riwayat Hasan oleh al-Baihaqi di dalam kitab as-Sunan al-Kubra (4/no. 7021) dan disebutkan oleh Ibnu hajar di dalam kitab Taghligh at-Ta’liq (3/hal. 5) dari beberapa riwayat berasal dari Ahmad bin Syu’aib, beliau berkata: “Aku telah diberitahukan oleh Bapakku, beliau mendapatkan riwayat dari Yunus dari Ibnu Syihab dari Khalid bin Aslam dia berkata:…”)

7 – عن عبد الرحمن بن أبي ليلى قال: (أدركت عشرين ومائة من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم، فما كان منهم مُحَدِّثٌ إلا وَدَّ أنَّ أخاه كفاه الحديث، ولا مفت إلا وَدَّ أنَّ أخاه كفاه الفتيا). (حسن)

Artinya: “Abdurrahman bin Abi Layla berkata: “Aku telah bertemu dengan 120 orang dari shahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, maka tidak ada seorangpun di antara mereka sebagai juru bicara kecuali menginginkan kawannya yang mencukupkan pembicaraan dan tidak seorang dari mereka sebagai pemberi fatwa kecuali menginginkan kawannya yang lain yang menyampaikan fatwa “. (Riwayat hasan di sebutkan oleh Ibnul Mubarak di dalam kitab Zuhud,no. 58, ad-Darimi (1/135), Ibnu Hibban di dalam kitab ats-Tsiqat (9/hal. 215) dan yang lainnya dari riwayat ‘Atha bin Saib dari Abdurrahman bi Abi layla).

8 – عن ابن حصين قال: (إِنَّ أَحَدَهُمْ لَيُفْتِي في الْمَسْأَلَةِ وَلَوْ وَرَدَتْ على عُمَرَ بنِ الخَطَّابِ لَجَمَعَ لها أَهْلَ بَدْرٍ).

Artinya: ” Ibnu Hushain rahimahullah berkata: ” Sungguh seorang dari mereka suka memberi fatwa dalam sebuah permasalahan, seandainya permasalahan tersebut sampai kepada Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu niscaya beliau mengumpulkan para pejuang peperangan Badr “. (Riwayat hasan oleh al-Baihaqi di dalam kitab al-Madkhal (1/no. 803) dan dari jalannya Ibnu Asakir di dalam kitab Tarikh Dimasyq (38/hal. 410, 411) dari beberapa riwayat dari Abi Syihab al-Hannath dari Ibnu Hushain dengan riwayat ini).

9 – قال سفيان الثوري رحمه الله: (أدركت الفقهاء وهم يكرهون أن يجيبوا في المسائل والفتيا، ولا يفتون حتى لا يجدوا بُداً من أن يفتوا).

Artinya: ” Sufyan ats-Tsaury rahimahullah berkata: “Aku menemui para ahli fikih, mereka membenci untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dan permintaan fatwa dan mereka tidak berfatwa sampai tidak mendapatkan alasan kecuali harus berfatwa “. (Riwayat shahih dikeluarkan oleh al-Ajurry di dalam kitab Akhlaq al-ulama, no. 80, dari Ja’far bin Muhammad Ash Shundali, beliau berkata: “Kami telah diberitahukan oleh Muhammad bin al-Mutsanna, beliau berkata: “Aku telah mendengar Bisyr bin al-Harits berkata: “Aku telah mendengar al-Mua’fa bin Imran menyebutkan tentang Sufyan…”).

10 – وعن الأعمش قال: (ما سَمِعْتُ إِبْرَاهِيمَ – يَعْنِيِ النَّخَعِي- يقول قطُّ حَلالٌ ولا حَرَامٌ، إنَّما كان يقول: كانوا يكرهون، وكانوا يستحبُّون).

Artinya: ” al-A’masy rahimahullah berkata: “Aku tidak pernah mendengar sekalipun Ibrahim an-Nakha-i mengatakan halal tidak haram, dia hanya mengatakan: ” Mereka membencinya dan mereka menganjurkannya “. (Sanadnya hasan diriwayat oleh ad-Darimi (1/184) beliau berkata: “Kami telah diberitahukan oleh Harun, dia mendapatkan riwayat dari Hafsh, dia mendapatkan riwayat dari al-A’masy).

11 – عن الشَّعْبِيِّ قال : (لَا أَدْرِي نِصْفُ الْعِلْمِ).

Artinya: “Asy-Sya’bi rahimahullah berkata: ” Perkataan “Aku tidak tahu ” adalah setengah ilmu “. (Riwayatnya shahih dikeluarkan oleh ad-Darimi (1/180) dan al-Baihaqi di dalam kitab al-Madkhal (1/ no. 810) dari riwayat-riwayat dari Abu ‘Uwanah dari Mughirah dari Asy-Sya’bi).

12 – عن عبد الله بن يزيد بن هرمز قال: (يَنْبَغِي لِلْعَالِمِ أَنْ يُوَرِّثَ جُلَسَاءَهُ من بَعْدِهِ لَا أَدْرِي حتى يَكُونَ ذلك أَصْلًا في أَيْدِيهِمْ يَفْزَعُونَ إلَيْهِ، فَإِذَا سُئِلَ أَحَدُهُم عَمَّا لا يَدْرِيِ قَاَلَ لا أَدْرِيِ).

Artinya: “Abdullah bin Yazid bin Hurmuz rahimahullah berkata: ” Semestinya bagi seorang yang berilmu untuk mewariskan kepada murid-muridnya setelahnya, perkataan ” Saya Tidak Tahu “, sampai itu menjadi prinsip di tangan-tangan mereka, mereka selalu condong kepadanya, jika salah seorang mereka ditanya tentang sesuatu yang dia tidak ketahui, dia mengatakan: ” Saya tidak Tahu “. (Riwayat shahih di keluarkan oleh al-Fasawi di dalam kitab al-ma’rifat wa at-Tarikh (1/hal. 367) dari beberapa jalan dari Ibnu Wahb dari Malik, beliau berkata: “Aku telah mendengar Abdullah bin Yazid bin Hurmuz berkata: “…”).

13- عن يَحْيَى بن سَعِيدٍ قال:سَأَلْتُ ابْنًا لِعَبْدِ اللَّهِ بن عُمَرَ عن مَسْأَلَةٍ فلم يَقُلْ فيها شيئا فَقِيلَ له إنَّا لَنُعْظِمُ أَنْ يَكُونَ مِثْلُكَ ابن إمَامِ هُدًى تُسْأَلُ عن أَمْرٍ ليس عِنْدَكَ فيه عِلْمٌ، فقال أَعْظَمُ وَاَللَّهِ من ذلك عِنْدَ اللَّهِ وَعِنْدَ من عَرَفَ اللَّهَ وَعِنْدَ من عَقَلَ عن اللَّهِ أَنْ أَقُولَ ما ليس لي بِهِ عِلْمٌ أو أُخْبِرَ عن غَيْرِ ثِقَةٍ)

Artinya: ” Yahya bin Sa’id rahimahullah berkata: “Aku bertanya kepada anak Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma tentang sebuah permasalahan, beliau tidak menjawab sesuatupun dari pertanyaan tersebut, lalu ada yang berkata kepada beliau: ” Sungguh kami merasa sangat keheranan, orang sepertimu, anaknya seorang pemimpin (di dalam ilmu) yang memberikan petunjuk, ditanya sebuah perkara dan kamu tidak mempunyai ilmu di dalamnya, maka beliau (anak Abdullah bin Umar) menjawab: ” Demi Allah lebih heran lagi dari itu, di sisi Allah dan bagi orang yang mengenal Allah, bagi orang yang mengetahui akan Allah yaitu aku mengatakan sesuatu yang aku tidak memilki ilmu akannya atau aku diberitahukan dari orang yang tidak dipercaya “. (Riwayat shahih dikeluarkan oleh asy-Syafi’ie di dalam kitab al-Musnad (1/hal. 342) dan di dalam kitab al-Umm (6/104), ad-Darimi di dalam al-Musnad (1/no. 114) dari beberapa riwayat dari Sufyan bin ‘Uyainah dari Yahya bin Sa’id).

14- وقال أحمد بن حنبل قال سمعت الشافعي قال سمعت مالكاً قال سمعت ابن عجلان قال: (إذا أغفل العالم لا أدري أصيبت مقاتله).

Artinya: “Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata: “Aku telah mendengar asy-Syafi’ie berkata: “Aku telah mendengar Malik berkata: “Aku telah mendegar bin ‘Ajlan berkata: ” Jika seorang yang berilmu lalai dari perkataan ” Saya tiak tahu “, maka perkataannya terkena kesalahan “. (Riwayat shahih oleh al-Ajurry di dalam kitab akhlaq al-Ulama (no. 106), al-Baihaqi di dalam kitab al-Madkhal (1/812) dan dari jalannya Ibnu Shalah meriwayatkan di dalam kitab Adab al-Mufti dan al-Mustafti (1/177), beliau berkata: “Riwayat sanadnya agung dan jarang sekali karena di dalamnya terkumpul para imam yang tiga, sebagian meriwayatkan sebagian yang lain”).
Wallahu a’lam.

و صلى الله و سلم و بارك على نبينا محمد و آله و صحبه أجمعين, و الحمد لله رب العلمين

Disusun oleh Abu Abdillah Ahmad Zainuddin

Bentuk-Bentuk Perendahan Sunnah Nabi

Abu Fathan | 21:50 | 0 comments
Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda:

لاَ أُلْفِيَنَّ أحدَكم مُتَّكِئًا على أريكته يأتيه الأمر من أمري مما أمرت به أو نهيت عنه فيقول لا ندري ما وجدنا في كتاب الله اتبعناه

“Aku sungguh tidak ingin mendapati salah seorang dari kalian dalam keadaan bertelekan di atas dipannya, datang kepadanya suatu perkara agama baik perintahku maupun laranganku lalu ia berkata, “Kami tidak tahu, apa yang kami temui dalam Al-Qur’an maka kami laksanakan””[1]

Berkata Al-Mubarokfuri, “Hadits ini adalah salah satu dari dalil-dalil dan tanda-tanda kenabian. Sungguh apa yang dikabarkan Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam ini telah menjadi kenyataan. Ada seseorang di Funjab di daerah India menamakan dirinya Ahli Qur’an, namun sungguh jauh berbeda antara dia dan ahli Qur’an yang hakiki. Yang benar ia adalah ahli kekufuran. Padahal sebelum itu ia adalah termasuk orang-orang yang sholeh lalu syaitanpun menyesatkannya dan menggelincirkannya dan menjauhkannya dari jalan yang lurus. Maka akhirnya diapun mengucapkan kata-kata yang bukan merupakan perkataan orang-orang yang beragama Islam. Dia menolak keras seluruh hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam dan sibuk dengan penolakan ini. Ia berkata, “Seluruh hadits-hadits ini merupakan kedustaan dan kebohongan atas nama Allah, yang benar hanyalah wajib mengamalkan Al-Qur’an yang agung saja, tidak perlu mengamalkan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam walaupun hadits-hadits tersebut shahih dan mutawatir. Barangsiapa yang beramal tidak hanya dengan Al-Qur’an saja maka dia termasuk dalam firman Allah

(وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ﴾ (المائدة: من الآية44)

“Barang siapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.”
(QS. 5:44)

Dan perkataan-perkataannya yang lain yang merupakan kekufuran. Dia telah memiliki pengikut yang banyak yang merupakan orang-orang bodoh. Para pengikutnya menjadikannya sebagai imam (pemimpin) mereka. Para ulama di zamannya telah memvonis akan kafirnya orang ini.”[2]

أَلآ إني أُوْتِيْتُ الكتابَ ومثلَه معه لاَ يُوْشِكُ رَجُلٌ شبعان على أريكته يقول عليكم بهذا القرآن فما وجدتم فيه من حلال فأَحِلُّوْهُ وما وجدتم فيه من حرام فحرموه ألا لا يحل لكم لحم الحمار الأهلي ولا كل ذي ناب من السَّبُعِ ولا لُقَطَةُ مُعاهَدٍ إلا أن يستغني عنها صاحبُها ومن نزل بقوم فعليهم أن يَقْرُوْهُ فإن لم يَقْرُوْهُ فله أن يُعْقِبَهم بمثلِ قِرَاه

“Ketahuilah, sesungguhnya aku telah diberikan (oleh Allah) Al-Quran dan yang semisalnya (yaitu sunnah Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam) bersama Al-Qur’an. Sungguh hampir ada seorang laki-laki yang duduk di atas dipannya dalam keadaan kekenyangan berkata, “Wajib bagi kalian (untuk berpegang) dengan Al-Qur’an ini, apa yang kalian temui dalam Al-Qur’an dari hal-hal yang halal maka halalkanlah dan apa yang kalian temui berupa hal-hal yang diharamkan maka haramkanlah”. Ketahuilah tidak halal bagi kalian daging keledai negri dan tidak halal juga semua hewan bertaring dari binatang buas dan tidak halal juga apa yang terjatuh dari orang kafir mu’ahad (yaitu yang memiliki perjanjian damai dengan kaum muslimin) kecuali jika ia sudah tidak membutuhkannya. Barangsiapa yang mampir di suatu kaum maka wajib bagi kaum tersebut untuk menjamunya. Jika mereka tidak menjamunya maka boleh baginya untuk mengambil ganti seharga nilai jamuan mereka”[3]

Berkata At-Thibi, “Pada pengulangan perkataan tanbih (yaitu perkataan أَلآ dan لاَ) menunjukan buruk dan penghinaan yang timbul dari kemarahan yang sangat besar terhadap orang yang meninggalkan sunnah dan meninggalkan beramal dengan hadits Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam dan mencukupkan beramal dengan Al-Qur’an saja. (Kemarahan ini timbul akibat meninggalkan hadits karena Al-Qur’an-pen) bagaimana lagi dengan orang yang mengutamakan akalnya (sehingga meninggalkan hadits karena akalnya)??[4]

Apa yang dikawatirkan Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam sekarang telah terjadi. Betapa banyak orang yang menolak hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam dengan dalih Al-Qur’an sudah cukup sebagai petunjuk dan kita tidak butuh kepada sunnah-sunnah Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam. Lupakah mereka dengan firman Allah

( وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ﴾ (الحشر: من الآية7)

Apa saja yang datang dari Rasul kepada kalian maka terimalah dia, dan apa saja yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya. (QS. 59:7)

Tidakkah mereka membaca firman Allah:

(وَإِنْ تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا وَمَا عَلَى الرَّسُولِ إِلَّا الْبَلاغُ الْمُبِينُ﴾ (النور: من الآية54)

“Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. Dan tiada lain kewajiban rasul hanya menyampaikan (amanat Allah) dengan terang” (QS 24:54)

Allah telah menyebutkan tentang kewajiban taat kepada Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam dalam Al-Qur’an sebanyak 33 kali, apakah mereka tidak membacanya??

عن عبد الله قال لعنَ اللهُ الواشماتِ والمُوْتَشِمَاتِ والْمُتَنَمِّصَاتِ وَالْمُتَفَلِّجاَتِ لِلْحُسْنِ الْمُغَيِّرَاتِ خَلْقَ اللهِ فبلغ ذلك امرأة من بني أسد يقال لها أم يعقوب فجاءت فقالت إنه بلغني أنك لعنت كيت وكيت فقال ومالي لا ألعن من لعن رسول الله صلى الله عليه وسلم ومن هو في كتاب الله فقالت لقد قرأت ما بين اللوحين فما وجدت فيه ما تقول قال لئن كنت قرأتيه لقد وجدتيه أما قرأت وما آتاكم الرسول فخذوه وما نهاكم عنه فانتهوا قالت بلى قال فإنه قد نهى عنه قالت فإني أرى أهلَك يفعلونه قال فاذْهبِي فانْظُرِي فذهبت فنظرتْ فلم تر من حاجتها شيئا فقال لو كانت كذلك ما جامعَتْنَا

Dari Abdullah bin Mas’ud ia berkata, “Allah melaknat para wanita pembuat tato, para wanita yang minta untuk di tato, para wanita yang menghilangkan rambut yang tumbuh di wajah, para wanita yang meminta untuk dihilangkan rambut yang tumbuh di wajahnya, para wanita yang mengkikir giginya (sehingga timbul kerenggangan diantara gigi-giginya) untuk memperindah gigi-giginya, yaitu para wanita[5] yang merubah ciptaan Allah”. Perkataan Ibnu Mas’ud inipun sampai kepada seorang wanita dari bani Asad yang dikenal dengan Ummu Ya’qub lalu iapun mendatangi Ibnu Mas’ud dan berkata kepadanya, “Telah sampai kepadaku bahwasanya engkau melaknat demikian dan demikian”. Ibnu Mas’ud berkata, “Kenapa aku tidak melaknat orang yang telah dilaknat oleh Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam dan telah disebutkan dalam Al-Qur’an (bahwa dia terlaknat)”. Wanita itu berkata, “Aku telah membaca apa yang diantara dua sampul (yaitu tempat diletakkannya lembaran-lembaran Al-Qur’an) namun aku tidak mendapatkan apa yang engkau katakan[6]”. Ibnu Mas’ud berkata, “Kalau engkau telah membaca Al-Qur’an (seluruhnya) tentunya engkau telah mendapatkan hal itu. Tidakkah engkau membaca firman Allah

(وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ﴾ (الحشر: من الآية7)

Apa saja yang datang dari Rasul kepada kalian maka terimalah dia, dan apa saja yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya. (QS. 59:7)??”

Wanita itu berkata, “Tentu saya telah membacanya”. Ibnu Mas’ud berkata, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam telah melarang perbuatan-perbuatan tersebut”. Wanita tersebut berkata, “Sesungguhnya istrimu (yaitu Zainab binti Abdillah Ats-Tsaqofi) telah melakukan hal-hal terlarang tersebut!”. Ibnu Mas’ud berkata, “pergilah engkau dan lihatlah (apa benar hal itu)!”. Maka wanita itupun pergi dan sama sekali tidak mendapatkan apa yang dia katakan. Maka Ibnu Mas’ud berkata, “Kalau memang istriku sebagaimana yang engkau katakan maka ia tidak akan berkumpul denganku (yaitu akan aku ceraikan dia)[7]!!”

عن عبد الله بن أبي بكر بن عبد الرحمن أنه قال لعبد الله بن عمر إنا نجد صلاة الحضر وصلاة الخوف في القرآن ولا نجد صلاة السفر في القرآن فقال له عبد الله بن عمر ابن أخي إن الله جل وعلا بعث إلينا محمدا رسول الله صلى الله عليه وسلم ولا نعلم شيئا فإنما نفعل كما رأيناه يفعل

Dari Abdullah bin Abu Bakr bin Abdurrahman ia berkata kepada Abdullah bin Umar, “Kita menemukan sholat orang mukim (yiatu sholat biasa tatkala tidak safar) dan sholat khouf (sholat dalam keadaan perang) dalam Al-Quran namun kita tidak menemukan solat safar dalam Al-Qur’an”. Maka Abdullah bin Umar berkata kepadanya, “Wahai anak saudaraku sesungguhnya Allah telah mengutus kepada kita Muhammad sebagai rasul (utusan) Allah sedangkan kita tidak mengetahui apa-apa, kita hanya tinggal melakukan sebagaimana yang kita lihat Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam melakukannya”[8]

Dari Abu Nadroh atau selainnya berkata, “Kami sedang duduk bersama ‘Imron bin Husain dan kami sedang mengulang-ngulang ilmu, lalu ada seseorang yang berkata, “Janganlah kalian berbicara kecuali dengan apa yang terdapat dalam Al-Qur’an”. Imronpun berkata, “Sungguh engkau adalah orang yang goblok, apakah engkau temui dalam Al-Quran (penjelasan) bahwa sholat dhuhur dan sholat ashar empat rakaat, bacaan dalam kedua sholat tersebut tidak dikeraskan?, sholat magrib tiga rakaat, pada dua rakaat pertama dibaca dengan suara keras adapun rakaat yang ketiga tidak?, sholat isya empat rakaat, dua rakaat yang pertama dibaca dengan suara yang keras adapun dua rakaat yang terakhir tidak??”[9]

Kita tanyakan kepada para pengingkar sunnah Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam, “Bagaimana cara kalian sholat dan haji??, bukankah dalam Al-Qur’an Allah hanya mengatakan وَأَقِيْمُا الصَّلاَةَ “Dan dirikanlah sholat!” dan hanya berfirman ( ﴿وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً﴾ (adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah) tanpa menjelaskan tata cara sholat dan tata cara haji??. Ataukah kalian katakan bahwa Allah memerintahkan sholat dan haji tanpa menjelaskan tata caranya??, ataukah kalian mengatakan bahwa ibadah sholat dan haji tidak wajib karena tidak jelas tata caranya?? Apakah masuk akal Allah memerintahkan seseorang untuk melaksanakan suatu perkara tanpa menjelaskan tata cara pelaksanaannya??. Apakah kalian juga mengingkari adanya adzan sholat karena tidak terdapat dalam Al-Qur’an?? Demikian juga zakat, tidak terdapat tata cara penunaiannya dalam Al-Qur’an apakah juga kalian ingkari??, bahkan bisa dikatakan hampir seluruh hukum-hukum yang disebutkan dalam Al-Qur’an hanya secara global adapun perinciannya dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam, apakah lantas kalian menolak hampir seluruh syari’at Islam???? Maka tidak diragukan lagi akan kekafiran kalian.

Umar bin Al-Khottob berkata,

إِنَّهُ سيأتي ناسٌ يُجادلونكم بشُبُهاتِ القُرآن، فَخذوهم بالسُنَنِ فَإن أصحابَ السنن أعلمُ بكتاب الله

“Sesungguhnya akan datang golongan manusia yang mereka mendebat kalian dengan menggunakan ayat-ayat Al-Qur’an yang syubhat[10] maka lawanlah mereka dengan sunnah-sunnah Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam, karena sesungguhnya orang-orang yang menguasai sunnah-sunnah Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam merekalah yang paling paham dengan kandungan Al-Qur’an”[11]

Firanda Andirja

Catatan Kaki:

[1] HR At-Thirmidzi no 2800, Abu Dawud no 4605, dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani

[2] Tuhfatul Ahwadzi 7/461

[3] HR Abu Dawud, Dishohihkan oleh syaikh Al-Albani dalam silsilah shahihah 6/871. Dikatakan bahwa hukum yang terakhir ini (boleh bagi sang tamu untuk mengambil ganti senilai hara jamuan) adalah jika tamu tersebut adalah orang yang dalam keadaan darurat (‘Aunul Ma’bud 12/232)

[4] Sebagaimana dinukil oleh Al-Mubarokfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi 7/462

[5] Dan sifat ini (yang merubah ciptaan Allah) mencakup seluruh wanita yang disebutkan sebelumnya (yang mentato, yang minta di tato, yang menghilangkan rambut yang tumbuh di wajah, yang meminta untuk dihilangkan rambut yang tumbuh di wajahnya, dan yang mengkikir giginya hingga ada kerenggangan diantara gigi-giginya). Oleh karena itu Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam mengatakan المُغَيِّرَاتِ tanpa huruf wawu وَ (Umdatul qori’ 19/225)

[6] (yaitu aku tidak mendapatkan dalam Al-Qur’an penyebutan bahwa para wanita-wanita tersebut terlaknat)

[7] Umdatul Qori 19/226. dalam riwayat yang lain مَا جَامَعْتُهَا “ aku tidak akan manjimaknya (menggaulinya)”. HR Al-Bukhati no 4886, 4887, 5931, 5939, 5943, dan 5948

[8] Mawarid Adz-Dzom’an 1/56

[9] At-Tamhid, karya Ibnu Abdilbar 1/151

[10] Ayat-ayat Al-Qur’an ada yang muhkam dan ada yang syubhat. Adapun yang muhkam yaitu ayat-ayat yang jelas maknanya sehingga tidak bisa ditarik ulur maknanya. Adapun ayat yang sybuhat adalah ayat yang jelas maknanya bagi orang-orang yang dalam ilmunya namun kurang jelas maknanya bagi orang-orang yang ilmunya kurang. Sehingga oang-orang yang di dalam hatinya ada kesesatan akan memanfaatkan ayat-ayat seperti ini untuk mendukung hawa nafsu mereka.

[11] Atsar riwayat Ad-Darimi no 119

Berlebih-lebihan Kepada Nabi

Abu Fathan | 21:39 | 0 comments
عن ابن عباس سمع عمر رضي الله عنه يقول على المنبر سمعت النبي صلى الله عليه وسلم يقول لا تطروني كما أطرت النصارى بن مريم فإنما أنا عبده فقولوا عبد الله ورسوله

Dari Ibnu Abbas, dia mendengat Umar berkata di atas mimbar, “Saya mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian terlalu berlebih-lebihan kepadaku sebagaimana orang-orang Nasrani telah berlebih-lebihan kepada Isa bin Maryam, sesunggunhya aku hanyalah seorang hamba Allah maka katakanlah hamba Allah dan RasulNya” HR Al-Bukhari no 3445, 6830

Perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam “Sesungguhnya aku hanyalah seorang hamba Allah” menunjukan bahwa beliau hanyalah manusia biasa, demikian juga para nabi yang lain. Oleh karena itu para nabi makan, minum, beristri, memiliki keturunan, mereka juga ditimpa dengan penyakit, mereka meninggal, bahkan ada di antara mereka yang dibunuh.

· Dalil-dalil yang menunjukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang manusia sangat banyak, di antaranya:

(ُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ﴾ (الكهف: من الآية110)

Katakanlah:”Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku…” (QS 18:110).

(قُلْ سُبْحَانَ رَبِّي هَلْ كُنْتُ إِلَّا بَشَراً رَسُولاً﴾ (الاسراء:93)

Katakanlah:”Maha suci Rabbku, bukankah aku ini hanya seorang manusia yang menjadi rasul” (QS. 17:93).

Kedua ayat ini jelas menunjukkan bahwa Allah memerintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyampaikan kepada umatnya bahwa dia adalah seorang manusia biasa seperti mereka

(وَقَالُوا مَالِ هَذَا الرَّسُولِ يَأْكُلُ الطَّعَامَ وَيَمْشِي فِي الْأَسْوَاقِ لَوْلا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مَلَكٌ فَيَكُونَ مَعَهُ نَذِيراً﴾ (الفرقان:7)

Dan mereka berkata:”Mengapa Rasul ini memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar Mengapa tidak diturunkan kepadanya seorang malaikat agar malaikat itu memberikan peringatan bersama-sama dengan dia, (QS. 25:7)

Berkata Ibnu Katsir, “Allah mengabarkan tentang keras kepalanya orang-orang kafir dan pembangkangan mereka serta pendustaan mereka terhadap kebenaran tanpa hujjah dan dalil dari mereka. Mereka hanya bisa beralasan (untuk mendustakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) dengan perkataan mereka, “Mengapa ada Rasul yang makan makanan sebagaimana kami juga memakan makanan dan ia membutuhkan makanan sebagaimana kami, dan ia berjalan di pasar yaitu dia bolak-balik ke pasar dalam rangka mencari penghasilan dan untuk berdagang” Ayat ini jelas menunjukan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti manusia yang lainnya, tidak sebagaimana perkataan sebagian orang yang mengatakan bahwa tubuh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terang mengeluarkan cahaya sehingga beliau tidak memiliki bayangan karena cahaya matahari terpantul terkena cahaya tubuh beliau. Bantahan akan hal ini sebagai berikut:

- Kalau seandainya demikian tentunya orang-orang kafir akan langsung beriman karena melihat cahaya tubuh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam karena mereka tahu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah manusia biasa. Namun kenyataannya mereka mendustakan kerasulan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan alasan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak ada bedanya dengan mereka sama-sama manusia, sebagaimana hal ini juga dikatakan kepada nabi-nabi terdahulu

(قَالُوا مَا أَنْتُمْ إِلَّا بَشَرٌ مِثْلُنَا وَمَا أَنْزَلَ الرَّحْمَنُ مِنْ شَيْءٍ إِنْ أَنْتُمْ إِلَّا تَكْذِبُونَ)

”Mereka menjawab:”Kalian tidak lain hanyalah manusia seperti kami dan Allah Yang Maha Pemurah tidak menurunkan sesuatupun, kalian tidak lain hanyalah para pendusta belaka”. (QS. 36:15)

- Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di payungi tatkala melempar jumroh Aqobah

عن يحيى بن الحصين عن أم الحصين جدته قالت حججت مع رسول الله صلى الله عليه وسلم حجة الوداع فرأيت أسامة وبلالا وأحدهما آخذ بخطام ناقة النبي صلى الله عليه وسلم والآخر رافع ثوبه يستره من الحر (و في رواية: من الشمس) حتى رمى جمرة العقبة

Dari Yahya bin Al-Hushoin dari nenek beliau Ummul Hushoin, ia berkata, “Aku berhaji bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu haji wada’ maka aku melihat Usamah dan Bilal, salah satu dari mereka berdua memegang kendali unta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan yang lainnya mengangkat bajunya menutupi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam karena panas (dalam riwayat yang lain[1] : karena matahari) hingga Nabi selesai melempar jumroh Aqobah”[2]

Kalau memang tubuh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bercahaya sehingga cahaya matahari terpantul dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memiliki bayangan tentunya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak butuh untuk dipayungi karena ia tidak akan merasa kepanasan karena terik matahari.

- Kisah ‘Aisyah yang berbaring di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala beliau sholat.

عن عائشة زوج النبي صلى الله عليه وسلم أنها قالت كنت أنام بين يدي رسول الله صلى الله عليه وسلم ورجلاي في قبلته فإذا سجد غمزني فقبضت رجلي فإذا قام بسطتهما قالت والبيوت يومئذ ليس فيها مصابيح

Dari ‘Aisyah Istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata, “Saya tidur di depan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kedua kakiku berada di kiblatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (yaitu ditempat sujud beliau). Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sujud maka beliau memegangku maka akupun melipat kedua kakiku, dan jika ia telah berdiri maka aku kembali menjulurkan kedua kakiku”. Aisyah berkata, “Pada waktu itu rumah-rumah belum ada lampunya”[3]

Berkata Imam An-Nawawi mengomentari perkataan Aisyah “Pada waktu itu rumah-rumah belum ada lampunya”, “Aisyah menyampaikan alasannya, ia berkata “Seandainya jika di rumah-rumah ada lampunya maka aku sudah melipat kedua kakiku tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak sujud sehingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak butuh untuk menyentuhku (mengisyaratkan kepadaku bahwa ia ingin sujud)”[4]. Hadits ini jelas sekali menunjukkan bahwa tubuh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengeluarkan cahaya, karena kalau mengeluarkan cahaya tentunya ‘Aisyah tidak butuh lagi terhadap lampu.

(وَمَا أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ مِنَ الْمُرْسَلِينَ إِلَّا إِنَّهُمْ لَيَأْكُلُونَ الطَّعَامَ وَيَمْشُونَ فِي الْأَسْوَاقِ وَجَعَلْنَا بَعْضَكُمْ لِبَعْضٍ فِتْنَةً أَتَصْبِرُونَ وَكَانَ رَبُّكَ بَصِيراً﴾ (الفرقان:20)

“Dan Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelum kamu, melainkan mereka memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar.Dan Kami jadikan sebahagian kamu cobaan bagi yang lain. Sanggupkah kamu bersabar Dan Rabbmu Maha Melihat”. (QS. 25:20)

(وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلاً مِنْ قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجاً وَذُرِّيَّةً ﴾(الرعد:38)

”Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan.”. (QS. 13:38)

(إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُمْ مَيِّتُونَ﴾ (الزمر:30)

“Sesungguhnya kamu akan mati dan sesungguhnya mereka akan mati (pula)”. (QS. 39:30)

( وَقَتْلَهُمُ الْأَنْبِيَاءَ بِغَيْرِ حَقٍّ ﴾ (آل عمران: من الآية181) ﴿ وَقَتْلِهِمُ الْأَنْبِيَاءَ بِغَيْرِ حَقٍّ﴾ (النساء: من الآية155)

“…dan perbuatan mereka membunuh nabi-nabi tanpa alasan yang benar..” (QS 3:181, 4:155)

· Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengetahui ilmu goib (kecuali sebagian ilmu goib yang Allah kabarkan kepadanya), diantara dalil-dalil akan hal ini:

قُلْ لا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ الْغَيْبَ إِلا اللَّهُ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ

Katakanlah:”Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah”, dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan. (QS. 27:65)

(إِنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْأَرْحَامِ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَداً وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ﴾ (لقمان:34)

“Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS. 31:34)

عن الرُّبَيِّعِ بنت مُعَوِّذٍ قالت دخل علي النبي صلى الله عليه وسلم غداةَ بُنِيَ عَلَيَّ فجلس على فراشي كمَجْلََِسِك مني وجُوَيْرِيَات يضربن بالدف يندُبْنَ من قتل من آبائهن يوم بدر حتى قالت جارية وفينا نبي يعلم ما في غد فقال النبي صلى الله عليه وسلم لا تقولي هكذا وقولي ما كنت تقولين

Dari Ar-Rubayyi’ binti Mu’awwidz, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang menemuiku di pagi hari dimana aku diserahkan[5] kepada suamiku, lalu ia duduk di tempat tidurku ini sebagaimana engkau (Kholid bin Dzakwan)[6] duduk dihadapanku sekarang, dan anak-anak wanita kecil sedang menandungkan sya’ir-sya’ir yang berisi pujian-pujian terhadap bapak-bapak mereka yang meninggal pada waktu perang Badar hingga ada salah seorang anak yang berkata, “Dan bersama kami seorang Nabi yang mengetahui apa yang akan terjadi besok”. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata kepada anak itu, “Janganlah engkau berucap demikian, ucapkanlah apa yang tadi telah engkau ucapkan (yaitu sya’ir-sya’ir yang berisi puji-pujian)”[7]

(قُُلْ لا أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعاً وَلا ضَرّاً إِلَّا مَا شَاءَ اللَّهُ وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لَاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ إِنْ أَنَا إِلَّا نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ﴾(لأعراف:188)

Katakanlah:”Aku tidak berkuasa menarik kemanfa’atan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman”. (QS. 7:188)

Oleh karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengetahui apa yang akan terjadi di masa datang maka beliaupun ditimpa dengan kemudhorotan. Di antaranya beliau memakan kambing yang merupakan hadiah dari seorang wanita yahudi yang diberi racun.

أن يهودية من أهل خيبر سمت شاة مصلية ثم أهدتها لرسول الله صلى الله عليه وسلم فأخذ رسول الله صلى الله عليه وسلم الذراع فأكل منها وأكل رهط من أصحابه معه ثم قال لهم رسول الله صلى الله عليه وسلم ارفعوا أيديكم وأرسل رسول الله صلى الله عليه وسلم إلى اليهودية فدعاها فقال لها أسممت هذه الشاة قالت اليهودية من أخبرك قال أخبرتني هذه في يدي للذراع قالت نعم قال فما أردت إلى ذلك قالت قلت إن كان نبيا فلن يضره وإن لم يكن استرحنا منه فعفا عنها رسول الله صلى الله عليه وسلم ولم يعاقبها وتوفي بعض أصحابه الذين أكلوا من الشاة وأحتجم رسول الله صلى الله عليه وسلم على كاهله من أجل الذي أكل من الشاة حجمه أبو هند بالقرن والشفرة وهو مولى لبني بياضة من الأنصار

Dari Jabir bin Abdillah bahwasanya ada seorang wanita yahudi dari penduduk Khaibar meletakkan racun pada kambing pangang kemudian menghadiahkannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil paha kambing tersebut dan memakannya. Sekelompok sahabat (kurang dari 10 orang) ikut memakan kambing beracun tersebut bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian (tatkala sedang makan) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada mereka, “Angkat tangan-tangan kalian (yaitu berhenti makan)!”. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus seseorang kepada wanita yahudi tersebut untuk memanggilnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada wanita itu, “Apakah engkau meletakkan racun pada kambing ini?”, wanita tersebut berkata, “Siapakah yang mengabarkanmu?”, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Paha kambing ini yang mengabarkan aku”. Wanita itu berkata, “Iya (akulah meletakkan racun)”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Apa yang engkau kehendaki?”, wanita itu berkata, “Aku berkata seandainya orang ini (yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) adalah seorang Nabi maka racun ini tidak akan membahayakannya, dan jika ia bukan seorang nabi maka kami akan beristirahat darinya (karena akan mati setelah teracuni)”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memaafkan wanita tersebut dan tidak menghukumnya. Sebagian sahabat yang ikut memakan kambing beracun itu meninggal. Aku membekam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada bagian atas punggung beliau karena racun yang dimakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut dan Abu Hind (seorang budak milik bani Bayadhoh dari kaum Ansor) membekam Rasulullah di tempat yang bernama Al-Qorn dengan menggunakan pisau yang lebar”[8]

‘Ikrimah mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berbekam dan ia dalam keadaan muhrim karena memakan kambing beracun yang berasal dari seorang wanita. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih terus merasakan sakitnya” As-Sunan Al-Kubro 4/377

Hadits ini jelas menunjukan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sama sekali tidak mengetahui apa yang akan terjadi di masa depan, jangankan besok hari bahkan satu detik di masa depan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak tahu apa yang akan terjadi. Kalau Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tahu mestinya dia tidak akan memasukkan secuil dagingpun dalam mulut beliau, apalagi sampai membiarkan sebagian para sahabatnya meninggal karena memakan kambing beracun tersebut.

Contoh yang lain adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terluka tatkala perang Uhud.

عن سهل قال لما كسرت بيضة النبي صلى الله عليه وسلم على رأسه وأدمي وجهه وكسرت رباعيته وكان علي يختلف بالماء في المجن وكانت فاطمة تغسله فلما رأت الدم يزيد على الماء كثرة عمدت إلى حصير فأحرقتها وألصقتها على جرحه فرقأ الدم

Dari Sahl –semoga Allah meridhainya-, ia berkata, “Tatkala pecah pelindung kepala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan wajah beliau berdarah dan pecah gigi seri beliau Ali bolak-balik mengambil air dengan menggunakan perisai (sebagai wadah air) dan Fatimah mencuci darah yang ada di wajah beliau. Tatkala Fatimah melihat darah semakin banyak lebih daripada airnya maka Fatimahpun mengambil hasir (yaitu tikar yang terbuat dari daun) lalu diapun merobeknya dan menempelkan robekan tersebut pada luka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka berhentilah aliran darar” HR Al-Bukhari no 2903

Kalau memang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui ilmu goib tentunya ia tidak akan terluka demikian parahnya apalagi sampai banyak dari para sahabat yang terbunuh tatkala perang Uhud, karena kalau ia tahu ilmu goib maka ia akan mengetahui siasat apa yang digunakan oleh orang-orang musyrik tatkala perang.

Contoh yang lain tatkala Aisyah kehilangan kalungnya tatkala itu ia sedang dalam perjalanan di malam hari bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya (termasuk ayahnya Abu Bakar As-Siddiq). Mereka saat itu tidak memiliki air yang cukup untuk berwudlu kemudian perjalanan terhenti (atas perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) demi untuk mencari kalung Aisyah yang hilang tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus sebagian para sahabatnya untuk mencari kalung tersebut. Orang-orang mendatangi Abu Bakar mengeluh atas apa yang terjadi gara-gara Aisyah. Abu Bakarpun mencela Aisyah. Hingga tatkala subuh hari dan tiba waktu sholat mereka mencari air untuk berwudlu namun mereka tidak mendapatkan air maka turunlah ayat tentang bolehnya tayammum. Lihat kisah selengkapnya dalam HR Al-Bukhari no 334

Renungkanlah…jangankan apa yang akan terjadi di masa depan, bahkan apa yang terjadi di masa yang di alami Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau juga tidak tahu. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak tahu dimana kalung Aisyah yang hilang, bahkan beliau memerintahkan para sahabat untuk mencari kalung tersebut. Kalau beliau mengetahui dimana letak barang hilang (sebagaimana pengakuan sebagian orang-orang yang mengaku-ngaku diri mereka adalah wali) tentunya beliau tidak perlu repot-repot semalaman mencari kalung hilang tersebut.

Contoh yang lain, kisah tentang tuduhan terhadap Aisyah bahwa ia telah berbuat serong bersama Sofwan bin Al-Mu’aththil As-Sulami. Kemudian tersebar berita ini di kota Madinah dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun tidak mengetahui hakekat kejadian yang sebenarnya. Beliaupun tidak meminta kepada jin untuk mencari berita. Hingga akhirnya Allah yang memberitahu beliau bahwa berita tersebut tidak benar. Lihat kisah selengkapnya dalam HR Al-Bukhari no 4141

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إني لم أومر أن أنقب قلوب الناس ولا أشق بطونهم

“Sesungguhnya aku tidak diperintah untuk memeriksa isi hati manusia dan membelah perut mereka” HR Al-Bukhari no 4351

عن أسامة قال بعثنا رسول الله صلى الله عليه وسلم في سرية فصبحنا الحرقات من جهينة فأدركت رجلا فقال لا إله إلا الله فطعنته فوقع في نفسي من ذلك فذكرته للنبي صلى الله عليه وسلم فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم أقال لا إله إلا الله وقتلته قال قلت يا رسول الله إنما قالها خوفا من السلاح قال أفلا شققت عن قلبه حتى تعلم أقالها أم لا فما زال يكررها علي حتى تمنيت أني أسلمت يومئذ

Dari Usamah bin Zaid ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus kami bersama pasukan kecil maka kamipun menyerang beberapa dusun dari qobilah Juhainah, maka akupun berhadapan dengan seseorang (tatkala dia telah kalah dan akan aku bunuh) dia mengucapkan la ilaha illallah, akupun tetap menikamnya. Namun setelah itu aku merasa tidak enak akan hal itu maka akupun menceritakan hal itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Apakah ia mengucapkan la ilha illallah lantas engkau tetap membunuhnya??”. Aku berkata, “Ya Rasulullah, dia mengucapkannya hanya karena takut pedangku!”, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Mengapa engkau tidak membelah hatinya hingga engkau tahu bahwa dia mengucapkannya karena takut atau tidak!?”. Berkata Usamah, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terus mengulang-ngulang perkataannya kepadaku itu hingga aku berangan-angan seandainya aku baru masuk Islam saat itu” HR Muslim 1/96

Ibnu Hajar berkata, “Rasulullah berkata, “Mengapa engkau tidak membelah hatinya…” maknanya “Sesungguhnya engkau (wahai Usamah) jika engkau tidak mampu untuk melakukannya maka cukuplah engkau menilai perkataannya” Fathul Bari 12/243

Kisah Usamah ini jelas sekali bahwa para sahabat juga tidak mengetahui hati manusia, karena isi hati manusia adalah termasuk perkara yang ghoib. Oleh karena itu para sahabat tidak mengetahui orang-orang munafik yang menyembunyikan kekafirannya dalam dada mereka.

عن أم سلمة رضي الله عنها أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال إنكم تختصمون إلي ولعل بعضكم ألحن بحجته من بعض فمن قضيت له بحق أخيه شيئا بقوله فإنما أقطع له قطعة من النار فلا يأخذها

Dari Ummu Salamah bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya kalian berselisih di hadapanku, dan bisa jadi sebagian kalian lebih pandai mengungkapkan hujjahnya (argumennya) daripada yang lain. Barangsiapa yang aku memutuskan hukum dengan memberikan sesuatu dari hak milik saudaranya baginya karena kepandaian berbicaranya maka sesungguhnya aku telah memberikannya sebuah bongkahan api maka janganlah ia mengambilnya” HR Al-Bukhari no 2680

Hadits ini sangat jelas bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengetahui isi hati manusia, karena kalau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahuinya tentu ia tidak akan tertipu dengan kepandaian berbicara seseorang yang berdusta.

Dan masih banyak lagi contoh yang menunjukkan bahwa beliau tidak mengetahui ilmu ghoib.

Tidak sebagaimana kumpulan syair (yang bernama Burdah) yang dibuat oleh Al-Bushiri yang terlalu belebih-lebihan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga akhirnya malah terjatuh dalam kesyirikan. Al-Bushiri berkata dalam syairnya menyeru kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

فإن من جودك الدنيا وضرَّتَها ومن علومك علمَ اللوح والقلم

Sesungguhnya diantara kedermawananmu adalah dunia dan akhirat dan diantara ilmumu adalah ilmu lauhil mahfuz dan yang telah dicatat oleh pena (yang mencatat di lauhil mahfuz apa yang akan terjadi hingga hari kiamat)

Hal ini jelas merupakan kesyirikan dan menyamakan kedudukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Allah. Karena hanya Allahlah yang mengetahui ilmu lauhil mahfuz, pengucap syair ini telah mengangkat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga pada derajat ketuhanan dan ini merupakan kekufuran yang nyata.

Berkata Syaikh Utsaimin, “Ibnu Rojab berkata, “Sesungguhnya penyair ini tidak meninggalkan sesuatupun milik Allah, jika dunia dan seisinya serta akhirat adalah merupakan bagian dari kedermawanan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas mana bagian Allah?”. Kita bersaksi bahwa orang yang mengucapkan perkataan ini ia tidak bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba Allah, bahkan ia bersaksi bahwa Muhammad lebih tinggi dari Allah, bagaimana ia bisa sampai berlebih-lebihan begini??. Sikap berlebih-lebihan ini lebih parah dari apa yang dilakukan oleh Kaum Nashrani yang mengatakan bahwa Isa adalah anak Allah dan Allah adalah salah satu dari Tuhan yang tiga”[9]

· Nabi tidak bisa memberikan kemanfaatan bagi dirinya sendiri dan tidak bisa mencegah kemudhorotan dari dirinya sendiri

Allah berfirman:

(قُلْ لا أَمْلِكُ لِنَفْسِي ضَرّاً وَلا نَفْعاً إِلَّا مَا شَاءَ اللَّهُ﴾ (يونس:49)

Katakanlah:”Aku tidak berkuasa mendatangkan kemudharatan dan tidak (pula) kemanfaatan kepada diriku, melainkan apa yang dikehendaki Allah” (QS. 10:49)

(قُُلْ لا أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعاً وَلا ضَرّاً إِلَّا مَا شَاءَ اللَّهُ وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لَاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ إِنْ أَنَا إِلَّا نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ﴾(لأعراف:188)

Katakanlah:”Aku tidak berkuasa menarik kemanfa’atan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman”. (QS. 7:188)

Dua ayat di atas jelas sekali menunjukan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak bisa mendatangkan kemanfaatan bagi dirinya dan tidak bisa mencegah datangnya mudhorot kepadanya karena yang menguasai itu semua hanyalah Allah

أن أبا هريرة رضي الله عنه قال قام رسول الله صلى الله عليه وسلم حين أنزل الله عز وجل ﴿وأنذر عشيرتك الأقربين﴾ قال يا معشر قريش -أو كلمة نحوها- اشتروا أنفسكم لا أغني عنكم من الله شيئا يا بني عبد مناف لا أغني عنكم من الله شيئا يا عباس بن عبد المطلب لا أغني عنك من الله شيئا ويا صفية عمة رسول الله لا أغني عنك من الله شيئا ويا فاطمة بنت محمد سليني ما شئت من مالي لا أغني عنك من الله شيئا

Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Tatkala Allah menurunkan ayat﴿وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ﴾ “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat!”, (QS. 26:214), Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berdiri dan berseru, “Wahai kaum Quraisy – atau perkataan yang mirip ini-, selamatkanlah jiwa kalian sesungguhnya aku tidak bisa menolong kalian sama sekali. Wahai bani Abdu Manaf, aku sama sekali tidak bisa menolong kalian. Wahai Abbas bin Abdilmuttholib, aku tidak bisa menolongmu sama sekali. Wahai Sofiyah bibinya Rasululllah, aku sama sekali tidak bisa menolongmu. Wahai Fatimah putri Muhammad, mintalah kepadaku apa yang engkau kehendaki dari hartaku, aku sama sekali tidak bisa menolongmu” HR Al-Bukhari no 4771

Bahkan orang-orang terdekat dari kerabat karib beliau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya bisa mengatakan “Selamatkan jiwa kalian masing-masing sesungguhnya aku sama sekali tidak bisa menolong kalian” Berkata Syaikh Sulaiman bin Abdillah “Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak berkuasa menarik kemanfa’atan bagi dirinya dan tidak (pula) menolak kemudharatan dari dirinya dan tidak mampu mencegah adzab Allah yang akan menimpanya jika ia bermaksiat kepada Allah sebagaimana firman Allah

(قُلْ إِنِّي أَخَافُ إِنْ عَصَيْتُ رَبِّي عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيمٍ﴾ (الأنعام:15) (الزمر:13 )

Katakanlah:”Sesungguhnya aku takut akan azab hari yang besar (hari kiamat), jika aku mendurhakai Rabbku” (QS. 6:15) (QS 39:13)

maka bagaimana beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa memberikan kemanfaatan kepada selainnya dan menolak kemudharatan dari orang lain?, atau mencegah adzab Allah dari orang lain?. Adapun syafaat beliau kepada sebagian para pelaku maksiat (kelak di hari akhirat) adalah atas karunia yang bersumber dari Allah bagi beliau dan bagi para pelaku maksiat tersebut, bukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi syafaat kepada siapa saja yang ia kehendaki dan memasukkan ke surga siapa yang dia kehendaki!!”[10]

Oleh karena itu hanyalah kepada Allah karena Dialah satu-satunya yang menguasai kemanfaatan dan kemudharatan. Tidak sebagaimana perkataan Al-Bushiri dalam bait-bait syair “Burdah”nya menyeru kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

يا أكرمَ الخلْقِ ما لِي مَنْ أَلُوْذُ به سِواكَ عند حلولِ الحادثِ العَمَم

إن لم تكن في مَعَادِي آخذًا بِيَدِيْ فضلا وإلا فَقُلْ يا زَلَّةَ القَدَمِ

Wahai makhluk yang paling mulia tidak ada bagiku tempat untuk bersandar selain engkau tatkala terjadi bencana yang menyeluruh

Jika engkau pada hari akhirat kelak tidak mengambil tanganku dengan karuniamu, dan (jika tidak demikian) maka katakanlah wahai yang tergelincir (dalam kebinasaan)

Perkataan ini jelas merupakan kesyirikan kepada Allah.[11]

Berkata Syaikh Sulaiman, “Sungguh menakjubkan syaitan menghiasi kekufuran dan kesyirikan ini sehingga nampak pada mereka merupakan bentuk cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pengagungan kepadanya dan meneladaninya. Demikanlah pekerjaan syaitan yang terlaknat, dia pasti mencampurkan kebatilan dengan kebenaran agar bisa laris kekufuran dan kesyirikan tersebut…”[12]

Bahkan bait-bait ini tidak boleh dibaca sembarangan, namun harus memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu seperti, harus berwudlu[13], menghadap kiblat, dan yang membacanya harus mengerti apa isi bait-bait tersebut. Tidak diragukan lagi bahwa ini adalah buat-buatanya orang-orang sufi yang ingin agar mereka saja yang bisa membaca bait-bait tersebut dengan benar. Apalagi telah nampak sebuah kelompok khusus yang dikenal sebagai pembaca burdah, sehingga sering dipanggil untuk membaca bait-bait burdah ini pada acara-acara selamatan, syukuran, ataupun acara kematian[14]

Berkata Syaikh Abdurrahman bin Hasan, “Al-Bushiri mengagungkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan perkara-perkara yang membuatnya marah dan sedih. Kemarahan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memuncak hanya karena perkara yang dibawah (lebih ringan) dari apa yang dikatakan oleh Al-Bushiri sebagaimana diketahui orang-orang yang berilmu…”[15]

Imam As-Syaukani berkata, “Lihatlah bagiamana ia (Al-Bushiri) menafikan semua tempat berlindung kecuali hamba Allah dan Rasul-Nya dan melupakan Tuhannya sendiri dan Tuhannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, inna lillahi wa inna ilaihi raji’un”[16]

Berkata Syaikh Utsaimin, “Sikap berlebih-lebihan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengantarkan kepada pemyembahan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana kenyataan yang terjadi sekarang. Ada orang yang berdoa meminta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah di sisi kuburan beliau dengan berkata, “Wahai Rasulullah, tolonglah kami, Wahai Rasulullah pertolonganmu, Siramilah kami dengan hujan, wahai Rasulullah negeri kami kering, musim kemarau…” dan demikianlah doa-doa mereka. Bahkan aku melihat dengan mata kepalaku sendiri seseorang berdoa kepada Allah dibawah mizab ka’bah[17] dengan membelakangi ka’bah dan menghadap ke Madinah karena menurut dia menghadap kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih mulia dan lebih afdhol dibanding menghadap kiblat. Na’udzubillah.

Sebagian mereka berkata, “Ka’bah lebih afdhol daripada hujroh[18], namun jika Nabi berada dalam hujroh tersebut maka demi Allah ka’bah sama sekali tidak lebih afdhol daripada hujroh, tidak cuma ka’bah bahkan ‘Arsy dan para malaikat yang mengangkat ‘Arsy, tidak juga surga”. Ini merupakan sikap berlebih-lebihan yang tidak diridhoi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi kita dan juga bagi dirinya. Yang benar memang jasad Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih afdhol, adapun perkataan hujroh lebih afdhol daripada ka’bah, Arsy, dan surga karena Rasulullah ÷ berada di dalamnya adalah kesalahan yang sangat besar. Semoga Allah menyelamatkan kita dari hal ini” Al-Qoul Mufid 1/372

Firanda Andirja

Catatan Kaki:

[1] HR Muslim 312

[2] HR Muslim 311, Ahmad (6/402)

[3] HR Al-Bukhari no 382, Muslim 262

[4] Al-Minhaj 4/453, Perkataan Aisyah ini menunjukan bahwa beliau tatkala itu tidak tidur pulas, karena jika tidurnya pulas maka ia tidak akan bisa merasakan apa-apa sama saja jika ada lampu di rumah atau tidak ada lampunya (lihat Umdatul Qori 4/114)

[5] Yaitu tinggal bersama suaminya setelah sebelumnya masih bersama walinya. Karena terkadang terjadi pernikahan namun sang istri belum langsung tinggal bersama sang suami, sebagaimana pernikahan Aisyah dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

[6] Yaitu perawi hadits yang meriwayatkan dari Ar-Rubayyi’ binti Mu’awwidz

[7] HR Al-Bukhari no 4001, 5147

[8] HR Abu Dawud 4/173, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Misykat Al-Masobiih no 5931

[9] Al-Qoul Mufid 1/69

[10] Taisir Al-‘Azizil Hamid hal 215

[11] Jika mereka yang melantunkan perkataan Bushiri ini berkata, “Maksud dari perkataan Bushiri “Wahai makhluk yang paling mulia tidak ada bagiku tempat untuk bersandar selain engkau tatkala terjadi bencana yang menyeluruh” adalah ia meminta syafaat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Allah, maka kita katakan, “Perkataan Bushiri “Jika engkau pada hari akhirat kelak tidak mengambil tanganku dengan karuniamu, dan (jika tidak demikian) maka katakanlah wahai yang tergelincir (dalam kebinasaan)” menunjukan bahwa ia meminta langsung kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karunia Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?? Padahal syafaat adalah semata-mata karunia Allah yang Allah idzinkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan semata-mata milik Allah. Dan meminta syafaat merupakan doa, dan doa adalah ibadah yang sangat agung yang hanya diserahkan kepada Allah. Oleh karena itu semestinya meminta syafaat hanyalah kepada Dzat Yang menguasai seluruh syafaat, yang tidak ada syafaat kecuali dengan idzinNya” Maka perkataan Bushiri ini tidak bisa dipungkiri merupakan kesyirikan yang sangat jelas. (Taisir Al-‘Azizil Hamid hal 183)

[12] Taisir Al-‘Azizil Hamid hal 263

[13] Prof DR Syaikh Abdurrozaq menjelasakan bahwa yang sangat menyedihkan banyak sekali kaum muslimin yang mengapalkan bait-bait ini, hingga anak-anakpun ikut menghapalkannya. Barangsiapa yang membaca bait-bait ini dengan syarat harus diatas wudhu, maka tatkala ia berwudhu ia telah terlepas dari hadats kecil, kemudian tatkala ia melantunkan bait-bait burdah karya Al-Bushiri ini maka ia telah kembali berhadats, bukan sekedar hadats kecil, bahkan hadats yang terbesar yaitu kesyirikan dan kekufuran yang terkandung dalam bait-bait tersebut.

[14] Lihat muqoddimah diwan Al-Bushiri

[15] Ad-Duror As-Sunniah 9/80 dan lihat 9/49,84,193.

[16] Ad-Dur An-Nadid hal 26

[17] Mizab yaitu tempat aliran air yang berada di atas ka’bah

[18] Hujoh yaitu tempat Nabi ÷ dikuburkan

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. BERITA SUNNAH - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger