{قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ ويَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ، وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ}

Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah (sunnah/petunjuk)ku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS Ali ‘Imran:31)

Langkah-Langkah Untuk Menang

Abu Fathan | 15:52 | 0 comments
Sejak lebih dari setengah abad yang lalu, umat Islam ditimpa bencana kekalahan bertubi-tubi. Kebanyakan orang lupa tentang sebab-sebab kekalahan dan musibah ini. padahal Allah berfirman :

قُلْ هُوَ مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِكُمْ

“Katakanlah : Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri” [Ali-Imran/3:165]

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman :

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ

“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)” [Asy-Syura/42:30]

Seandainya umat kita -baik penguasa maupun rakyat- mau menghayati Kitab Allah kemudian mengamalkan hukum-hukum serta hikmah-hikmahnya, niscaya mereka akan melakukan upaya-upaya untuk menang melawan musuh-musuhnya. Dan niscaya pula akan mengetahui sunatullah terhadap mahluk-Nya -yang tidak pernah berubah, berganti dan bergeser- sepanjang masa.

Faktor-faktor menang melawan musuh -sebagaimana dijelaskan dalam Kitab Allah- banyak, diantaranya :

1. Tauhid, Iman, Amal Shalih.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَىٰ لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا ۚ يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shaleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh-sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku” [An-Nur/24 : 55]

2. Siapa Yang Menolong Agama Allah, Niscaya Allah Akan Menolongnya.

Menolong agama Allah ialah :
Dengan menegakkan syari’at-Nya dan dengan mengikuti petunjuk Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, untuk mewujudkan peribadatan hanya kepada Allah, menghidupkan sunnah dan mematikan serta memberantas bid’ah.
Dengan memberikan loyalitas kepada Ahlus Sunnah wal Jama’ah serta memberikan permusuhan kepada pengikut hawa nafsu dan ahli bid’ah.
Dengan melaksanakan amar ma’ruf-nahi mungkar serta jihad melawan musuh-musuh Allah dimanapun mereka berada.
Menolong agama Allah ialah dengan mentaati Allah dan Rasul-Nya ; menjalankan perintah Allah dan Rasul-Nya serta meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

وَلَيَنْصُرَنَّ اللَّهُ مَنْ يَنْصُرُهُ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ

“Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama) Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa” [Al-Hajj/22:40]

Orang yang demikian keadaannya, niscaya tidak akan dapat dikalahkan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

إِنْ يَنْصُرْكُمُ اللَّهُ فَلَا غَالِبَ لَكُمْ ۖ وَإِنْ يَخْذُلْكُمْ فَمَنْ ذَا الَّذِي يَنْصُرُكُمْ مِنْ بَعْدِهِ

“Jika Allah menolong kamu, maka tak adalah orang yang dapat mengalahkan kamu (tidak memberi pertolongan), maka siapakah gerangan yang dapat menolong kamu (selain) dari Allah sesudah itu ?” [Ali-Imran/3:160]

3. Sabar Dan Taqwa Adalah Sebab Datangnya Pertolongan Dan Bantuan Allah

Sesungguhnya Allah telah menjanjikan orang yang bersabar dan bertaqwa untuk memberikan pertolongan, kemenangan, bantuan, keberuntungan dan punahnya tipu daya musuh. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

بَلَىٰ ۚ إِنْ تَصْبِرُوا وَتَتَّقُوا وَيَأْتُوكُمْ مِنْ فَوْرِهِمْ هَٰذَا يُمْدِدْكُمْ رَبُّكُمْ بِخَمْسَةِ آلَافٍ مِنَ الْمَلَائِكَةِ مُسَوِّمِينَ ﴿١٢٥﴾ وَمَا جَعَلَهُ اللَّهُ إِلَّا بُشْرَىٰ لَكُمْ

“Ya (cukup), jika kamu bersabar dan bertaqwa, dan mereka datang menyerang kamu dengan seketika itu juga, niscaya Allah menolong kamu dengan lima ribu Malaikat yang memakai tanda. Dan Allah tidak menjadikan pemberian bala-bantuan itu melainkan sebagai kabar gembira bagi (kemenangan)mu” [Ali-Imran/3:125-126]

وَإِنْ تَصْبِرُوا وَتَتَّقُوا لَا يَضُرُّكُمْ كَيْدُهُمْ شَيْئًا ۗ إِنَّ اللَّهَ بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطٌ

“Jika kamu bersabar dan bertaqwa, niscaya tipu daya mereka tidak sedikitpun mendatangkan kemudharatan kepadamu. Sesungguhnya Allah mengetahui segala apa yang mereka kerjakan” [Ali-Imran/3:120]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

وَاعْلَمْ أنَّ النَّصْرَ مَعَ الصَّبْرِ، وَأَنَّ الفَرَجَ مَعَ الكَربِ، وَأَنَّ مَعَ العُسرِ يُسراً

“Ketahuilah bahwa jalan keluar disertai kesulitan, bahwa kemenangan disertai kesabaran dan sesungguhnya bersama kesukaran terdapat kemudahan” [1]

4. Setiap Orang Yang Teraniaya (Dizalimi) Mendapat Janji Pedrtolongan Dari Allah, Apalagi Jika Ia Seorang Mukmin Yang Bertaqwa

Itu karena kezaliman adalah kegelapan. Allah telah mengharamkan kezaliman pada diri-Nya, dan Dia telah menjadikan kezaliman itu haram bagi mahluk-Nya. Allah memerintahkan supaya memberi pertolongan kepada orang yang dizalimi. Allah menjadikan do’anya orang yang terzalimi (teraniya) makbul dan tidak ada penghalang yang menutupi do’a itu dari Allah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

أُذِنَ لِلَّذِينَ يُقَاتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا ۚ وَإِنَّ اللَّهَ عَلَىٰ نَصْرِهِمْ لَقَدِيرٌ

“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesunguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu” [al-Hajj/22:39]

ذَٰلِكَ وَمَنْ عَاقَبَ بِمِثْلِ مَا عُوقِبَ بِهِ ثُمَّ بُغِيَ عَلَيْهِ لَيَنْصُرَنَّهُ اللَّهُ

“Demikianlah, dan barangsiapa membalas seimbang dengan penganiyayaan yang pernah ia derita kemudian ia dianiaya (lagi), pasti Allah akan menolongnya” [al-Hajj/22:60]

Terdapat pula riwayat bahwa Allah pada hari kiamat akan mengqishas kambing yang bertanduk karena menganiaya kambing yang tidak bertanduk.[2]

5. Mengikuti Agama Secara Benar Dijanjikan Mendapat Pertolongan

Allah subhanahu wa Ta’ala berfirman.

هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَىٰ وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ

“Dialah (Allah) yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (Al-Qur’an) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai” [at-Taubah/9:33]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

يَبْلُغَنَّ هَذَا الْأَمْرُ مَا بَلَغَ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ، وَلَا يَتْرُكُ اللَّهُ بَيْتَ مَدَرٍ وَلَا وَبَرٍ إِلَّا أَدْخَلَهُ اللَّهُ هَذَا الدِّينَ، بِعِزِّ عَزِيزٍ أَوْ بِذُلِّ ذَلِيلٍ، عِزًّا يُعِزُّ اللَّهُ بِهِ الْإِسْلَامَ، وَذُلًّا يُذِلُّ اللَّهُ بِهِ الْكُفْرَ

“Sungguh-sungguh perkara (Islam) ini akan mencapai apa yang dicapai oleh malam dan siang. Dan tidak akan tersisa sebuah rumah tembokpun, tidak pula rumah ilalangpun kecuali Allah akan masukkan agama ini ke dalamnya ; dengan kemulian orang mulia atau dengan kehinaan orang hina. Kemuliaan yang Allah muliakan Islam dengannya (orang mulia tersebut), dan kehinaan yang Allah hinakan kekafiran dengan orang hina tersebut”[3]

Ini adalah janji yang termuat dalam Kitab Allah dan tertuangkan melalui lisan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Janji Allah tidak mungkin diingkari, sebab Allah tidak mengingkari janji.

6. Perselisihan Adalah Sebab Kegentaran Dan Kekalahan.

Umat Islam tidak mengalami kekahan kecuali karena pertentangan dan perpecahan mereka. Seandainya mereka bersatu padu dalam kalimat tauhid, bersatu bahasanya, sama-sama berpegang teguh pada tali Allah, berjihad melawan musuh-musuhnya untuk menjunjung tinggi kalimat Allah dan menegakkan tauhidullah serta memberantas habis kemusyrikan, niscaya Allah menolongnya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

وَلَا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ ۖ وَاصْبِرُوا ۚ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ

“Dan janganlah kamu saling bertentangan (berbantah-bantahan), yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah menyertai orang-orang yang sabar” [Al-Anfal/8:46]

7. Melakukan Persiapan Untuk Berperang, Moril Maupun Materil.

Yaitu dengan melakukan upaya-upaya sesuai dengan Sunnah Nabawiyah yang telah ditempuh oleh para nabi, padahal para nabi adalah orang-orang yang sangat jujur dan tawakkal kepada Allah. Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah muncul dengan mengenakan dua buah baju zirah dalam salah satu pertempuran, beliau juga memakai pelindung kepala dalam peperangan.

Demikian pula para sahabatnya-pun mengenakan baju zirah yang menyelimuti seluruh tubuh. Dan ini semua tidak menghilangkan tawakkal kepada Allah Subahanhu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ

“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sangggupi dan kuda-kuda yang ditambat untuk berperang” [Al-Anfal/8:60]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menafsirkan ayat di atas dengan sabdanya.

مِنْ قُوَّةٍ أَلاَ إِنَّ الْقُوَّةَ الرَّمْىُ أَلاَ إِنَّ الْقُوَّةَ الرَّمْىُ أَلاَ إِنَّ الْقُوَّةَ الرَّمْىُ

“ Ketahuilah, sesungguhnya kekuatan itu adalah melepaskan anak panah (menepatkan sasaran -pen). Ketahuilah bahwa kekuatan adalah melepaskan anak panah (menepatkan sasaran-pen” [Hadits Riwayat Muslim]

(Demikianlah) kita memohon kepada Allah Subahanahu wa Ta’ala agar Dia memberikan taufiq kepada kita untuk melakukan usaha-usaha ke arah kemenangan melawan kaum Yahudi dan melawan semua musuh Islam lainnya. Pada hari kemenangan itulah kaum Mukminin bergembira ria mendapat pertolongan Allah. Dan itu tidaklah sulit bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala.

(Majalah Al-Ashalah Edisi 30/Th. V/15 Syawal 1421H. Penerjemah Ahmas Faiz Asifuddin)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun V/1422H/2001M.]
______
Footnote

[1] Hadits shahih seperti dikatakan oleh Syaikh Salim Al-Hilali dalam Iqazh Al-Hinam Muntaqa Jami’al-Ulum wa Hikam, hal.280, diriwayatkan oleh Ahmad, Abd bin Humaid dll

[2] Hadits Riwayat Tirmidzi. Ini merupakan sempurnanya keadilan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Terhadap binatang saja demikian, apalagi terhadap suatu masyarakat yang dikucilkan, diusir dari negerinya sendiri, dilarang menggunakan senjata untuk melakukan perlawanan terhadap musuhnya dan tempat tinggalnya di pencar-pencar.

[3] Hadits Shahih yang diriwayatkan oleh Ahmad, Ibnu Bisran, Thabrani, Ibnu Mandah, Al-Hafidz Abdul Ghani Al-Naqdisi, Al-Hakim dan lain-lainnya. Lihat Silsilah Shahihah No.3


Agar Benar Dalam Memanfaatkan Harta

Abu Fathan | 22:21 | 0 comments
Agama Islam yang sempurna telah mengatur dan menjelaskan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh kaum Muslimin untuk menyelenggarakan semua urusan dalam hidup mereka, demi kemaslahatan dan kebaikan mereka dalam urusan dunia maupun agama. Allâh Azza wa Jalla berfirman,

وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ

Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang berserah diri [An-Nahl/16:89].

Demikian juga penggunaan dan pemanfaatan harta diatur dan dijelaskan dalam syariat Islam yang mulia dan sempurna ini. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمْرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَا فَعَلَ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَا أَنْفَقَهُ وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَا أَبْلاَهُ

Tidak akan bergeser dua telapak kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai dia ditanya (dimintai pertanggungjawaban) tentang umurnya kemana dihabiskannya, tentang ilmunya bagaimana dia mengamalkannya, tentang hartanya; dari mana diperolehnya dan ke mana dibelanjakannya, serta tentang tubuhnya untuk apa digunakannya. [HR. At-Tirmidzi, no. 2417; Ad-Dârimi, no. 537; dan Abu Ya’la, no. 7434. Hadits ini dinilai sebagai hadits shahih oleh at-Tirmidzi dan al-Albani dalam as-Shahîhah, no. 946 karena banyak jalurnya yang saling menguatkan].

Hadits yang agung ini menunjukkan wajibnya mengatur pembelanjaan harta dengan menggunakannya untuk hal-hal yang baik dan diridhai oleh Allâh Azza wa Jalla , karena pada hari kiamat nanti manusia akan dimintai pertanggungjawaban tentang harta yang mereka belanjakan sewaktu di dunia. [Lihat Bahjatun Nâzhirîn Syarhu Riyâdhish Shâlihîn: 1/479]

Dari sudut pandang Islam, pertanggungjawaban seseorang atas harta yang pernah “dimiliki” akan dilihat dari dua sudut: Darimana dan bagaimana ia mendapatkannya lalu kemana dan bagaimana penggunaannya. Oleh karena itu, cara kita mendapatkan dan mengelolanya perlu memperhatikan prinsip-prinsip syariah, agar kita bisa melakukan pertanggungjawaban kelak di akhirat atas harta yang dititipkan tersebut.

BAGAIMANA MENGGUNAKAN HARTA KITA?

Pemanfaatan penggunaan harta dalam Islam dipandang sebagai kebaikan. Kegiatan ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan baik jasmani maupun ruhani sehingga mampu memaksimalkan fungsi kemanusiaannya sebagai hamba Allâh Azza wa Jalla dalam menggapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Kebahagiaan di dunia berarti terpenuhinya segala kebutuhan hidup manusia sebagai makhluk ekonomi. Sedang kebahagiaan di akhirat kelak berarti keberhasilan manusia dalam memaksimalkan fungsi kemanusiaannya (ibadah) sebagai hamba Allâh Azza wa Jalla sehingga mendapatkan kenikmatan ukhrawi (surga). Seseorang yang ingin mendapatkan kebahagian dunia akhirat dituntut harus mampu tunduk dan patuh pada peraturan dan ketentuan yang telah Allâh Azza wa Jalla ciptakan bersamaan dengan pelaksanaan segala aktifitas ekonomi manusia, termasuk di dalamnya ketentuan mengenai pemanfaatan harta yang dilakukan oleh umat Muslim.

Allâh Azza wa Jalla menjadikan dunia dan harta sebagai ladang akhirat dan memberikan kesempatan menggunakan harta dan dunia ini sebagai sarana menggapai surga. Apabila kita menanam biji kebaikan di dunia ini, akan menuai pohon dan buah kebaikan di akhirat nanti dan bila menanam bibit keburukan akan mendapatkan pohon dan buah keburukan tersebut. Demikianlah balasan sesuai dengan amalan dan buah pun sesuai dengan pohonnya. Nabi n pernah bersabda menggambarkan hal ini,

مَنْ قَالَ: سُبْحَانَ اللَّهِ العَظِيمِ وَبِحَمْدِهِ غُرِسَتْ لَهُ نَخْلَةٌ فِي الجَنَّةِ

Siapa yang mengucapkan” Subhanallah al-‘Azhim wa Bihamdihi” maka ditanamkan untuknya satu pohon kurma di syurga. [HR. At-Tirmidzi, no. 2757. Hadits ini shahih menurut syaikh al-Albani dalam Shahîh Sunan at-Tirmidzi].

Jelaslah pahala dan hukuman atau adzab Allâh Azza wa Jalla sesuai dengan amalan yang dilakukan manusia di dunia. Hal ini dijelaskan Allâh Azza wa Jalla dalam firman-Nya,

الْيَوْمَ تُجْزَىٰ كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ ۚ لَا ظُلْمَ الْيَوْمَ ۚ إِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ

Pada hari ini tiap-tiap jiwa diberi balasan dengan apa yang diusahakannya.Tidak ada yang dirugikan pada hari ini.Sesungguhnya Allâh amat cepat hisabnya. [Ghâfir/40:17]

Semua amalan akan ditulis dalam kitab amalan setiap orang. Tidak ada satu amalanpun baik kecil ataupun besar kecuali tertulis dan tercatat di kitab yang akan dibaca di akhirat nanti. Allâh Azza wa Jalla berfirman,

وَوُضِعَ الْكِتَابُ فَتَرَى الْمُجْرِمِينَ مُشْفِقِينَ مِمَّا فِيهِ وَيَقُولُونَ يَا وَيْلَتَنَا مَالِ هَٰذَا الْكِتَابِ لَا يُغَادِرُ صَغِيرَةً وَلَا كَبِيرَةً إِلَّا أَحْصَاهَا ۚ وَوَجَدُوا مَا عَمِلُوا حَاضِرًا ۗ وَلَا يَظْلِمُ رَبُّكَ أَحَدًا

Dan diletakkanlah kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang yang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata:”Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya; dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis). Dan Rabbmu tidak menganiaya seorang juapun”. [Al-Kahfi/18:49]

Oleh karena itu orang yang menggunakan dan memanfaatkan hartanya sesuai petunjuk Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka balasan sempurna ia dapatkan di hari kiamat, seperti dijelaskan dalam firman Allâh Azza wa Jalla,

وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَلِأَنْفُسِكُمْ ۚ وَمَا تُنْفِقُونَ إِلَّا ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللَّهِ ۚ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تُظْلَمُونَ

Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allâh), maka pahalanya itu untuk kamu sendiri. Dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridhaan Allâh. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikitpun tidak akan dianiaya. [Al-Baqarah/2:272].

Agar dapat memanfaatkan dan penggunaan harta dengan baik dan sesuai petunjuk Allâh Azza wa Jalla , diperlukan kiat atau tips, diantaranya:

1. Menentukan Prioritas Pemanfaatan Harta

Islam mengajarkan seorang Muslim mengenai mekanisme menentukan pemanfaatan harta untuk mencapai tujuan kebahagian hidupnya. Ini akan tercapai dengan dengan terpeliharanya lima kemashlahatan yang meliputi (a) dien (agama), (b) nafs (jiwa/hidup), (c) nasl (keluarga/keturunan), (d) mâl (harta/kekayaan), dan (e) aql (intelektual/akal). Kelima hal ini dikenal dengan Dharuriyat al-Khams.

Untuk memelihara ke-5 perkara ini, para Ulama menjelaskan adanya 3 Maslahat; yaitu (1) kebutuhan mendesak (dharuriyyat), (2) kesenangan dan kenyaman (hajiat), dan (3) kemewahan (tahsiniyat).

Kunci dari pemeliharaan kemaslahatan manusia terletak pada maslahat dharuriyyat yang mencakup kebutuhan-kebutuhan utama yang bersifat mendasar (basic needs) dan cenderung bersifat fleksibel mengikuti tempat, waktu dan dapat menyangkut kebutuhan sosiopsikologis. Kemudian kepada kemaslahatan berikutnya (hajiat) yang merupakan hal-hal yang tidak begitu vital, akan tetapi penting untuk menghilangkan kesukaran dan rintangan dalam hidup. Setelah itu adalah tahsiniyat, yang merupakan hal-hal yang berhubungan dengan kenyamanan saja, yang meliputi pelengkap dan penghias hidup. Misalnya, gelas kristal untuk minum dan Pulpen emas untuk belajar. Ketika seorang Muslim hendak memanfaatkan hartanya, maka ia harus melihat apakah tindakan tersebut benar-benar kebutuhan dharuriyyat dan hajiat bagi dirinya atau hanya sebatas ‘pemanis’ saja tahsiniat. Seorang Muslim yang bijak akan mendahulukan kebutuhan dharuriiyat-nya dibandingkan tahsiniyat-nya.

2. Prinsip Halal dan Thayyib Dalam Konsumsi

Islam mendorong penggunaan barang dan jasa yang halal dan baik serta bermanfaat. Semua barang yang tidak memiliki kebaikan dan tidak bisa membantu meningkatkan manusia, maka menurut Islam, barang itu tidak dapat dianggap sebagai milik atau aset umat Muslim. Oleh sebab itu, semua barang yang dilarang (untuk dikonsumsi) tidak dianggap barang dalam Islam.

Penggunaan prinsip halal dan thayyib (bermanfaat) dimaksudkan untuk memberikan kebebasan bagi setiap Muslim untuk menggunakan segala barang yang baik, bermanfaat bagi dirinya, menyenangkan, lezat dan lain sebagainya, selama barang itu halal dan thayyib.

Kebebasan yang diberikan Islam kepada setiap Muslim dalam berkonsumsi tak terlepas dari pandangan Islam itu sendiri bahwa pemanfaatan barang dan jasa merupakan suatu kebaikan. Konsumsi dan pemuasan (kebutuhan) tidak disalahkan dalam Islam selama keduanya tidak melibatkan segala yang tidak baik atau merusak.

Seorang Muslim harus senantiasa mengkonsumsi barang yang halal dan thayyib (bermanfaat) baginya seperti ikan, daging, dan lain sebagainya. Seorang Muslim yang baik tidak akan pernah mengkonsumsi khamr, daging babi serta akan senantiasa menjauhi perjudian dan spekulasi (Intangible goods) dalam penggunaan hartanya.

3.Menghindari Tabdzir dan Israf serta Tidak Kikir dalam Menggunakan Harta.

Ajaran Islam membolehkan umatnya menikmati kebaikan duniawi selama tidak melewati batas kewajaran. Seperti tidak melakukan perbuatan tabzîr dan Isrâf. Tabzîr artinya menghambur-hamburkan harta tanpa ada kemaslahatan yang terwujud. Ketika seseorang membeli sesuatu melebihi kadar kebutuhannya maka pada saat itu ia dapat dikategorikan sedang melakukan tabdzîr.

Islam melarang seorang Muslim membelanjakan hartanya dan menikmati kehidupan duniawi ini secara boros. Larangan ini cukup beralasan. Tabdzîr dilihat dari pandangan ekonomi dapat menyebabkan harta menyusut secara cepat. Ketiadaan harta akan berdampak pada rendahnya daya beli (low purchasing power) seseorang terhadap barang dan jasa. Hasilnya, berbagai macam kebutuhan manusia tidak akan terpenuhi secara maksimal.

Allâh Azza wa Jalla mengibaratkan orang-orang yang melakukan tabdzîr dengan saudara syaitan, sebagaimana terdapat pada ayat al-Qur’an mengenai larangan untuk bersikap boros,

وَآتِ ذَا الْقُرْبَىٰ حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا ﴿٢٦﴾ إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ ۖ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا

Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan, dan setan itu adalah sangat ingkar kepada tuhannya. [Al-Isrâ’/17:26-27].

Demikian juga lawan sikap ini dilarang dalam Islam. Sikap bakhil dan pelit dalam harta sehingga tidak mengeluarkannya sebagaimana petunjuk Allâh Azza wa Jalla dan menyangka itu adalah kebaikan adalah sikap yang salah dan buruk sekali. Oleh karena itu Allâh Azza wa Jalla mengancam orang-orang yang bakhil ini dengan firman-Nya,

وَلَا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ بِمَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ هُوَ خَيْرًا لَهُمْ ۖ بَلْ هُوَ شَرٌّ لَهُمْ ۖ سَيُطَوَّقُونَ مَا بَخِلُوا بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۗ وَلِلَّهِ مِيرَاثُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۗ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allâh berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allâh-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allâh mengetahui apa yang kamu kerjakan. [Ali-‘Imran/3:180]

Mereka tidak mubazir (berlebihan) dalam membelanjakan harta sehingga melebihi kebutuhan, dan (bersamaan dengan itu) mereka juga tidak kikir terhadap keluarga mereka sehingga kurang dalam (menunaikan) hak-hak mereka dan tidak mencukupi (keperluan) mereka, tetapi mereka (bersikap) adil (seimbang) dan moderat (dalam pengeluaran), dan sebaik-baik perkara adalah yang moderat (pertengahan). [Lihat Tafsir Ibnu Katsir:3/433].

Juga dalam firman-Nya,

وَلَا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَىٰ عُنُقِكَ وَلَا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَحْسُورًا

Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenngu pada lehermu (terlalu kikir) dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya (terlalu boros), karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal [Al-Isrâ’/17:29]

Imam asy-Syaukani rahimahullah ketika menafsirkan ayat ini, beliau berkata, “Arti ayat ini: larangan bagi manusia untuk menahan (hartanya secara berlebihan) sehingga mempersulit dirinya sendiri dan keluarganya, dan larangan berlebihan dalam berinfak (membelanjakan harta) sampai melebihi kebutuhan, sehingga menjadikannya musrif (berlebih-lebihan/mubazir). Maka ayat ini (berisi) larangan dari sikap ifrath (melampaui batas) dan tafrith (terlalu longgar), yang ini melahirkan kesimpulan disyariatkannya bersikap moderat, yaitu (sikap) adil (seimbang) yang dianjurkan oleh Allâh.” [Lihat Fathul Qadîr : 3/318]

Inilah yang dinamakan kesederhanaan yang menjauhi pola konsumsi berlebihan (conspicuous consumption) atau menjauhi prilaku bermewah-mewahan. Kesederhanaan adalah jalan tengah dari dua cara konsumsi yang ekstrim yaitu boros (tabzîr) dan kikir (bakhil).

4.Pemanfaatan Harta Untuk Masa Depan Akhi

Dalam Islam terdapat anjuran untuk memperhatikan kepentingan kehidupan akhirat, Allâh Azza wa Jalla berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allâh dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allâh, sesungguhnya Allâh Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.[Al-Hasyr/59:18]

Ayat tersebut merupakan landasan dari pemanfaatan harta untuk tujuan akhirat. Diantara penggunaan ini adalah:

a. Berinfaq di Jalan Allâh Azza wa Jalla

Allâh Azza wa Jalla menganjurkan kita untuk mengeluarkan harta kita untuk kepentingan dan aspek kebaikan yang ada disekitar kita secara terus menerus seperti dalam firman-Nya,

لِلْفُقَرَاءِ الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ لَا يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي الْأَرْضِ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُمْ بِسِيمَاهُمْ لَا يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا ۗ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ

(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allâh; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allâh), maka sesungguhnya Allâh Maha Mengetahui. [Al-Baqarah/2:273]

Semua ini dilakukan untuk mendapatkan ampunan dari semua dosa dan kesalahan agar menggapai surga.

b. Berjihad dengan Harta

Allâh Azza wa Jalla menjelaskan kepada kaum Mukminin sebuah perniagaan yang tidak pernah merugi di akhirat, apalagi di dunia dan mensifatkan perniagaan tersebut sebagai perniagaan terbaik. Perniagaan itu adalah berjihad di jalan Allâh Azza wa Jalla dengan harta dan jiwanya. Allâh Azza wa Jalla berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا هَلْ أَدُلُّكُمْ عَلَىٰ تِجَارَةٍ تُنْجِيكُمْ مِنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ ﴿١٠﴾ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ ﴿١١﴾ يَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَيُدْخِلْكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ وَمَسَاكِنَ طَيِّبَةً فِي جَنَّاتِ عَدْنٍ ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ ﴿١٢﴾ وَأُخْرَىٰ تُحِبُّونَهَا ۖ نَصْرٌ مِنَ اللَّهِ وَفَتْحٌ قَرِيبٌ ۗ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ

Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih? (yaitu) kamu beriman kepada Allâh dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allâh dengan harta dan jiwamu, itulah yang lebih baik bagimu jika kamu mengetahuinya, niscaya Allâh akan mengampuni dosa-dosamu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, dan (memasukkan kamu) ke tempat tinggal yang baik di surga ‘Adn. Itulah keberuntungan yang besar. Dan (ada lagi) karunia lain yang kamu sukai (yaitu) pertolongan dari Allâh dan kemenangan yang dekat (waktunya).Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang beriman. [Ash-Shaff/61:10-13]

Bahkan Allâh Azza wa Jalla memberikan pahala berperang pada orang yang memberikan hartanya untuk keperluan tentara yang berperang atau mencukupi kebutuhan keluarga tentara yang berperang, seperti dijelaskan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,

مَنْ جَهَّزَ غَازِيًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَقَدْ غَزَا وَمَنْ خَلَفَهُ فِي أَهْلِهِ فَقَدْ غَزَا

“Siapa yang mencukupi kebutuhan tentara yang berperang dijalan Allâh Azza wa Jalla maka telah berperang dan siapa yang menanggung kebutuhan keluarga tentara tersebut maka dia telah berperang juga.” [HR. Al-Bukhâri]

c. Sedekah Dengan Harta

Setiap orang tidak ingin merasakan siksaan neraka dan ingin selamat darinya. Untuk itu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk bersedekah dengan harta agar dilindungi dari neraka, seperti dijelaskan dalam sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,

اتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقَّةِ تَمْرَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ شِقَّةَ تَمْرَةٍ فَبِكَلِمَةٍ طَيِّبَةٍ

“Takutlah kalian (selamatkanlah diri kalian) dari api nereka walaupun dengan (bersedekah dengan) separuh buah kurma, siapa yang tidak mendapatkan separuh buah kurma maka dengan kata-kata yang baik.” [HR. Al-Bukhari (no. 1351) dan Muslim (no. 1016)].

Orang yang bersedekah di dunia dengan hartanya baik sedikit atau banyak akan mendapatkan perlindungan dari neraka di hari kiamat nanti. Bahkan tidak hanya itu saja, sedekah harta yang halal walaupun sedikit akan dikembangkan Allâh Azza wa Jalla menjadi seperti gunung. Hal inilah yang dijelaskan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,

مَنْ تَصَدَّقَ بِعَدْلِ تَمْرَةٍ مِنْ كَسْبٍ طَيِّبٍ، وَلاَ يَقْبَلُ اللَّهُ إِلَّا الطَّيِّبَ، وَإِنَّ اللَّهَ يَتَقَبَّلُهَا بِيَمِينِهِ، ثُمَّ يُرَبِّيهَا لِصَاحِبِهِ، كَمَا يُرَبِّي أَحَدُكُمْ فَلُوَّهُ، حَتَّى تَكُونَ مِثْلَ الجَبَلِ

“Siapa yang bersedekah dengan separuh buah kurma dari usaha yang bagus dan Allâh Azza wa Jalla tidak menerima kecuali yang bagus. Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla menerimanya dengan tangan kanan-Nya kemudian melipatgandakannya untuk pemiliknya sebagaimana seorang dari kalian mengembangbiakkan anak kudanya hingga menjadi seperti gunung.” (HR. Al-Bukhari).

Hal ini karena Allâh Azza wa Jalla berfirman:

يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ ۗ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ

Allâh memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allâh tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa. [Al-Baqarah/2:276]

Oleh Ustadz Kholid Syamhudi, Lc

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun XX/1437H/2016M.]

Solusi Khilafiyah

Abu Fathan | 17:42 | 0 comments
✍️ Seringkali kita dapatkan ketika mengoreksi sebuah kesalahan dalam beragama atau memberikan nasehat untuk meninggalkan sesuatu yang salah mereka menghadapi pernyataan-pernyataan seperti “Sudahlah biarkan saja, ini khan khilafiyah” atau “Orang sudah pergi ke bulan koq masih membahas khilafiyah” atau “Jangan merasa benar sendiri lah, ini khan khilafiyah”. Pada hakikatnya pernyataan-pernyataan tersebut datang dari orang-orang yang enggan menerima nasehat tapi tidak bisa membantah karena tidak memiliki ilmu, akhirnya dalih ‘khilafiyah’ pun dipakai.

📌 Jika Terjadi Perselisihan Wajib Berhukum Kepada Dalil Bukan ‘Khilafiyah’

🌷 Tentunya dipahami dengan pehamaman generasi terbaik umat Islam yaitu sahabat Nabi, tabi’in dan tabi’ut tabi’in. 
Maka tidak tepat sebagian orang yang jika ada perselisihan selalu menuntut toleransi terhadap semua pendapat, seolah semua pendapat itu benar semua, dan semuanya halal, hanya dengan dalih ‘ini khan khilafiyyah‘.

📚 Allah Ta’ala berfirman:

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

“Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa: 59)
Allah Ta’ala berfirman:

وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ

“Tentang sesuatu yang kalian perselisihkan maka kembalikan putusannya kepada Allah” (QS. Asy Syura: 10)

📚 Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ، تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ

“Sesungguhnya sepeninggalku akan terjadi banyak perselisihan. Maka hendaklah kalian berpegang pada sunnahku dan sunnah khulafa ar rasyidin. Peganglah ia erat-erat, gigitlah dengan gigi geraham kalian” (HR. Abu Daud 4607, Ibnu Majah 42, Shahih Sunan Abi Daud )

📌 Pendapat Ulama Bukan Dalil 
Tetapi Butuh Dalil

💢 Imam Abu Hanifah berkata:

لا يحل لأحد أن يأخذ بقولنا؛ ما لم يعلم من أين أخذناه

“Tidak halal bagi siapapun mengambil pendapat kami, selama ia tidak tahu darimana kami mengambilnya (dalilnya)” (Diriwayatkan Ibnu ‘Abdil Barr dalam Al Intiqa 145, Hasyiah Ibnu ‘Abidin 6/293. Dinukil dari Ashl Sifah Shalatin Nabi, 24)

💢 Imam Ahmad bin Hambal berkata:

لا تقلدني، ولا تقلد مالكاً، ولا الشافعي، ولا الأوزاعي، ولا الثوري، وخذ من حيث أخذوا

“Jangan taqlid kepada pendapatku, juga pendapat Malik, Asy Syafi’i, Al Auza’i maupun Ats Tsauri. Ambilah darimana mereka mengambil (dalil)” (Diriwayatkan oleh Ibnul Qayyim dalam Al I’lam 2/302. Dinukil dari Ashl Sifah Shalatin Nabi, 32)

💢 Imam Asy Syafi’i berkata:

أجمع الناس على أن من استبانت له سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم لم يكن له أن يدعها لقول أحد من الناس

“Para ulama bersepakat bahwa jika seseorang sudah dijelaskan padanya sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidak boleh ia meninggalkan sunnah demi membela pendapat siapapun” (Diriwayatkan oleh Ibnul Qayyim dalam Al I’lam 2/361. Dinukil dari Ashl Sifah Shalatin Nabi, 28 )

💢 Imam Malik berkata:

إنما أنا بشر أخطئ وأصيب، فانظروا في رأيي؛ فكل ما وافق الكتاب والسنة؛ فخذوه، وكل ما لم يوافق الكتاب والسنة؛ فاتركوه

“Saya ini hanya seorang manusia, kadang salah dan kadang benar. Cermatilah pendapatku, tiap yang sesuai dengan Qur’an dan Sunnah, ambillah. Dan tiap yang tidak sesuai dengan Qur’an dan Sunnah, tinggalkanlah..” (Diriwayatkan Ibnu ‘Abdil Barr dalam Al Jami 2/32, Ibnu Hazm dalam Ushul Al Ahkam 6/149. Dinukil dari Ashl Sifah Shalatin Nabi, 27)

🌷 Para ulama bukan manusia ma’shum yang selalu benar dan tidak pernah terjatuh dalam kesalahan. Terkadang masing-masing dari mereka berpendapat dengan pendapat yang salah karena bertentangan dengan dalil. Mereka kadang tergelincir dalam kesalahan

💢 Sulaiman At Taimi berkata,

لَوْ أَخَذْتَ بِرُخْصَةِ كُلِّ عَالِمٍ ، أَوْ زَلَّةِ كُلِّ عَالِمٍ ، اجْتَمَعَ فِيكَ الشَّرُّ كُلُّهُ

“Andai engkau mengambil pendapat yang mudah-mudah saja dari para ulama, atau mengambil setiap ketergelinciran dari pendapat para ulama, pasti akan terkumpul padamu seluruh keburukan” (Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya, 3172)

🏵️ Ibnu Qayyim Al Jauziyyah berkata: “Ucapan sebagian orang bahwa masalah khilafiyah itu tidak boleh diingkari, tidaklah benar. Dan pengingkaran biasanya ditujukan kepada pendapat, fatwa, atau perbuatan. Dalam pengingkaran pendapat, jika suatu pendapat menyelisihi sunnah atau ijma’ yang telah dikenal kebenaran nukilannya, maka pendapat tersebut wajib untuk diingkari menurut kesepakatan para ulama. Meskipun tidak secara langsung pengingkarannya, menjelaskan lemahnya pendapat tersebut dan penjelasan bahwa pendapat tersebut bertentangan dengan dalil, ini juga merupakan bentuk pengingkaran. Sedangkan pengingkaran perbuatan, jika perbuatan tersebut menyelisihi sunnah atau ijma’ maka wajib diingkari sesuai dengan kadarnya”.

Beliau melanjutkan: “Bagaimana mungkin seorang ahli fiqih mengatakan bahwa tidak boleh ada pengingkaran pada masalah khilafiyyah, padahal ulama dari semua golongan telah sepakat menyatakan secara tegas bahwa keputusan hakim jika menyelisihi Al-Qur`an atau As-Sunnah menjadi batal. Walaupun keputusan tadi telah sesuai dengan pendapat sebagian ulama. Sedangkan jika dalam suatu permasalahan tidak ada dalil tegas dari As-Sunnah atau ijma’ dan memang ada ruang bagi ulama untuk berijtihad dalam masalah ini, maka orang yang mengamalkannya tidak boleh diingkari. Baik dia seorang mujtahid maupun muqallid” (I’lamul Muwaqqi’in, 3/224)

📌 Menyikapi Perbedaan 
Madzhab Dan Pendapat


  1. Selain para nabi dan  rasul tidak ada manusia yang ma’shum bebas dari kesalahan.
  2. Menghormati para ulama tidak mesti harus menerima setiap yang mereka lontarkan. Sebagaimana juga sebaliknya tidak menerima pendapat mereka tidak berarti merendahkan martabat mereka.
  3. Kekeliruan para ulama dalam berijtihad tidak identik dengan dosa. Karena ijtihad mereka bisa benar dan bisa salah. Dalam dua keadaan tersebut mereka mendapatkan pahala dari Alfred Morris Rico Gathers Womens Jersey Jersey Allah.
  4. Tidak setuju dengan pendapat salah seorang ulama hendaknya dilandasi dengan dalil-dalil yang ada, bukan sekedar keterikatannya dengan madzhab tertentu.
  5. Tidak setuju terhadap pendapat seorang ulama tidak berarti boleh mencela dan merendahkan martabatnya.
  6. Tidak dibenarkan mencari-cari atau mengumpulkan kesalahan atau kekhilafan para ulama sebagai bahan untuk menjatuhkan martabatnya.

Lihatlah Dari Siapa Kamu Mengambil Ilmu Agamamu!

Abu Fathan | 19:17 | 0 comments
Menuntut ilmu agama untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat dan mewariskan amal shalih adalah tanda kebaikan yang Allâh Azza wa Jalla kehendaki bagi para hamba yang dipilih-Nya, sekaligus merupakan jalan menuju surga-Nya. Dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ يُرِدْ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ

Barangsiapa Allâh kehendaki baginya kebaikan maka Dia akan menjadikannya paham (berilmu) tentang (urusan) agama (Islam)[1]

Dalam hadits shahih lainnya, dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيْقًا إِلَى الْجَنَّةِ

Barangsiapa menempuh suatu jalan dengan tujuan untuk menuntut ilmu (agama), maka Allâh akan mudahkan baginya jalan menuju Surga[2]

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Hadits di atas (yang pertama) menunjukkan bahwa orang yang tidak dipahamkan dalam urusan agama maka (berarti) Allâh Subhanahu wa Ta’ala tidak menghendaki kebaikan baginya”[3]

Dan tentu saja, pemahaman agama yang dimaksud di sini adalah ilmu yang bermanfaat dan mewariskan amal shalih, inilah ilmu yang semakin dipelajari maka semakin menguatkan iman dan menumbuhkan rasa takut kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ

Sesungguhnya yang takut kepada Allâh di antara para hamba-Nya, hanyalah orang-orang yang berilmu [Fâthir/35:28]

Syaikh ‘Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah berkata, “Ayat ini merupakan dalil yang menunjukkan keutamaan ilmu agama, karena hal itu membangkitkan rasa takut kepada Allâh Azza wa Jalla .”[4]

Inilah sebab utama yang menjadikan ilmu agama mempunyai kedudukan dan keutamaan yang sangat besar, sebagaimana ucapan Imam Sufyan ats-Tsauri, “Sesunguhnya ilmu agama dipelajari tidak lain untuk meraih ketakwaan kepada Allâh Azza wa Jalla , maka dengan sebab (tujuan mulia inilah) ilmu agama lebih diutamakan (daripada amal lainnya). Kalau bukan karena tujuan ini maka niscaya ilmu agama sama (kedudukannya) dengan yang lain.”[5]

Oleh karena agungnya kedudukan dan keutamaan ilmu yang bermanfaat ini, maka tentu untuk mendapatkannya seorang hamba harus mengikuti adab-adab menuntut ilmu dan syarat-syaratnya, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh para Ulama Ahlus sunnah dalam kitab-kitab mereka yang menjelaskan adab-adab tersebut.

Di antara adab dan syarat yang paling penting dalam hal ini adalah mengetahui sumber pengambilan ilmu yang benar dan memahami siapa yang pantas dijadikan sebagai rujukan dan guru dalam menimba ilmu agama.

Imam besar Ahlus sunnah dari generasi Tabi’in, Muhammad bin Sirin berkata, “Sesungguhnya ilmu agama (yang kamu pelajari) adalah agamamu (yang akan membimbingmu meraih ketakwaan kapada Allâh), maka telitilah dari siapa kamu mengambil (ilmu) agamamu.”[6]

Artinya, janganlah kamu mengambil ilmu agama dari sembarang orang, kecuali orang yang telah kamu yakini keahlian dan kepantasannya untuk menjadi tempat mengambil ilmu.[7]

Fenomena Pemilihan Guru Agama Di Tengah Kaum Muslimin

Jika kita memperhatikan kondisi mayoritas kaum Muslimin dalam memilih guru atau sumber rujukan dalam ilmu agama, maka kita akan dapati kenyataan yang sangat menyedihkan dan bahkan memprihatinkan.

Kebanyakan kaum Muslimin justru lebih teliti dan berhati-hati dalam memilih dan menyeleksi sumber rujukan dalam urusan-urusan dunia mereka, seperti ketika mereka ingin berkonsultasi tentang kesehatan atau mengobati penyakit yang mereka rasakan, maka mereka akan sangat teliti mencari dokter yang spesialis, terkenal dan berpengalaman, bahkan termasuk memperhatikan alat-alat dan fasilitas canggih yang dimiliki oleh dokter tersebut. Demikian pula ketika mereka ingin memperbaiki kendaraan mereka misalnya, maka mereka akan sangat selektif mencari mekanik yang ahli, terkenal, perpengalaman dan memiliki peralatan serta fasilitas yang lengkap.

Adapun untuk urusan agama, maka kita dapati kebanyakan mereka sangat tidak selektif dalam mencari sumber rujukannya, bahkan terkesan ‘asal comot’ dan hanya memperturutkan hawa nafsu.

Di antara mereka, ada yang memilih guru agama atau penceramah hanya karena orang tersebut pandai melucu atau melawak, ada juga yang hanya karena orang tersebut populer dan sering muncul di televisi, bahkan ada juga yang hanya karena orang tersebut mantan artis terkenal dan seterusnya.

Sebagian yang lain ada yang memilih guru hanya dengan pertimbangan keindahan bahasa dan retorika dalam menyampaikan ceramah atau khutbah, atau pertimbangan-pertimbangan lain yang tentu jauh dari kriteria ilmu yang benar dan bermanfaat sebagaimana yang dijelaskan oleh para Ulama Salaf.

Semoga Allâh Azza wa Jalla meridhai dan merahmati Sahabat yang mulia, Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu yang berkata di hadapan murid-muridnya para Tabi’in, “Sesungguhnya kalian (saat ini) berada di jaman yang banyak terdapat orang-orang yang (benar-benar) berilmu, tapi sedikit yang pandai berkhutbah atau berceramah, dan akan datang setelah kalian nanti suatu jaman yang (pada waktu itu) banyak orang yang pandai berceramah tapi sedikit orang yang (benar-benar) berilmu.”[8]

Bahkan lebih dari itu, ilmu yang benar dan bermanfaat tidak hanya berupa hafalan yang kuat terhadap ilmu tapi tanpa melahirkan rasa takut kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan mewariskan amal shalih, sebagaimana firman-Nya:

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ

Sesungguhnya yang takut kepada Allâh diantara para hamba-Nya, hanyalah orang-orang yang berilmu (mengenal Allâh) [Fâthir/35:28].

Ketika mengomentari ayat di atas, Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata, “Bukanlah ilmu (yang bermanfaat) itu (hanya) dengan banyak (menghafal) hadits, akan tetapi ilmu itu (timbul) dari besarnya rasa takut (kepada Allâh Azza wa Jalla ).”[9]

Ilmu Yang Bermanfaat Dan Sumber Pengambilannya

Imam Ibnu Rajab al-Hambali berkata, “Ilmu yang bermanfaat dari semua ilmu adalah mempelajari dengan seksama dalil-dalil dari al-Qur’an dan Sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , serta (berusaha) memahami kandungan maknanya, dengan mendasari pemahaman tersebut dari penjelasan para Sahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , para Tabi’in (orang-orang yang mengikuti petunjuk para Sahabat), dan orang-orang yang mengikuti (petunjuk) mereka dalam memahami kandungan al-Qur’an dan Hadits, (begitu pula) dalam (memahami penjelasan) mereka dalam masalah halal dan haram, pengertian zuhud, amalan hati (pensucian jiwa), pengenalan (tentang nama-nama dan sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla) dan pembahasan-pembahasan ilmu lainnya, dengan terlebih dahulu berusaha untuk memisahkan dan memilih (riwayat-riwayat) yang shahih (benar) dan (meninggalkan riwayat-riwayat) yang tidak benar, kemudian berupaya untuk memahami dan menghayati kandungan maknanya.”[10]

Pemaparan di atas menunjukkan bahwa ilmu yang benar dan bermanfaat memiliki sumber yang jelas, yaitu al-Qur’an dan hadits-hadits yang shahih dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dengan pemahaman yang benar dari penjelasan para Sahabat g dan para Ulama Ahlu sunnah yang mengikuti jalan mereka dengan benar.

Mereka inilah yang direkomendasikan oleh Allâh Azza wa Jalla dalam firman-Nya:

وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari (kalangan) orang-orang muhajirin dan anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allâh ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada-Nya, dan Allâh menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar [At Taubah/9:100].

Jadi ilmu yang benar dan bermanfaat bukan hanya sekedar kepandaian berceramah atau menyusun kata-kata dan retorika yang indah, bahkan bisa jadi orang yang pandai berceramah dan menyampaikan kata-kata yang indah bukan orang yang memiliki ilmu yang benar.

Di atas telah dinukil ucapan Sahabat yang mulia, Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu yang berkata di hadapan murid-muridnya para Tabi’in.

Inilah di antara alasan utama yang menjadikan para Ulama Ahlus sunnah sangat berhati-hati dalam memilih guru dan mereka sangat keras memperingatkan para penutut ilmu dalam masalah ini.

Ini tentu sangat wajar dan pantas, karena mempelajari ilmu agama adalah sebab utama, dengan taufik dari Allâh Azza wa Jalla , yang akan menumbuhkan keimanan dan ketakwaaan kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala , maka untuk mewujudkan tujuan ini tentu sangat membutuhkan pembimbing dan guru yang baik. Karena dalam hal ini guru yang baik akan menjadi sumber kebaikan yang memberikan pengaruh baik kepada orang-orang yang belajar ilmu darinya. Ketika guru itu sendiri tidak memiliki kebaikan dan ilmu yang bermanfaat, maka bagaimana dia akan bisa memberikan pengaruh baik kepada orang lain? Salah satu ungkapan Arab yang terkenal mengatakan, “Orang yang tidak memiliki sesuatu maka dia tidak bisa memberikan apa-apa.”[11]

Dalam atsar yang telah dinukil di atas, Muhammad bin Sirin berkata, “Sesungguhnya ilmu agama (yang kamu pelajari) adalah agamamu (yang akan membimbingmu meraih ketakwaan kapada Allâh), maka telitilah dari siapa kamu mengambil (ilmu) agamamu.”[12]

Imam Ibrahim bin Yazid an-Nakha’i berkata, “Dulu para Ulama Salaf ketika datang kepada seorang (guru) untuk menimba ilmu agama, maka mereka meneliti (terlebih dahulu) bagaimana shalatnya, (pengamalannya terhadap) sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan penampilannya, kemudian barulah mereka mengambil ilmu darinya.”[13]

Bahkan dulunya para Ulama Salaf sangat teliti mencari informasi dan bertanya tentang keadaan, akhlak dan tingkah laku seseorang yang akan mereka jadikan sebagai guru untuk menimba ilmu agama.

Imam ‘Abdurrahman bin Yahya al-Mu’allimi berkata, “Dulunya para Ulama (Ahlus sunnah) sangat ketat dan teliti dalam menyeleksi para rawi (guru dalam periwayatan hadits). Salah seorang Ulama Salaf, yaitu al-Hasan bin Shalih bin Hayy (rawi hadits yang terpercaya dari generasi Atba’ut tabi’in) berkata, ‘Dulu jika kami ingin mendengar (mengambil riwayat) hadits dari seorang guru, maka kami akan bertanya (dengan teliti) tentang keadaannya, sampai-sampai ada yang bertanya, ‘Apakah kalian ingin menikahkannya?”[14]

Siapakah Yang Pantas Dijadikan Sebagai Guru Dan Siapa Yang Tidak Pantas?

Para Ulama Salaf, sejak jaman para Sahabat Radhiyallahu anhum dan kemudian diikuti oleh para Imam Ahlus sunnah setelah itu, mereka senantiasa membedakan dan menjelaskan siapa orang yang pantas diambil ilmu darinya dan siapa yang tidak pantas.

Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan dengan sanadnya dari Mujâhid bin Jabr al-Makki, dia berkata, “Suatu hari datang Busyair bin Ka’ab al-‘Adawi kepada ‘Abdullah bin ‘Abbâs Radhiyallahu anhu , lalu Busyair mulai menyampaikan hadits dan berkata, ‘Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda … Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda … Tetapi Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhu tidak mendengarkan hadits yang disampaikannya dan tidak menoleh kepadanya. Maka Busyair berkata, ‘Wahai Ibnu ‘Abbas! Mengapa aku melihat kamu tidak mau mendengarkan hadits yang aku sampaikan? (Pantaskah) aku menyampaikan kepadamu hadits dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kamu tidak mau mendengarkannya? Maka Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhu berkata, “Sesungguhnya kami (para Sahabat Radhiyallahu anhum) dulunya, ketika kami mendengar seseorang menyampaikan sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka kami segera menoleh kepadanya dan langsung mengarahkan pendengaran kami kepadanya, akan tetapi tatkala manusia telah menempuh jalan yang terpuji dan tercela, maka kamipun tidak mau mengambil ilmu dari mereka kecuali yang telah kami kenal.”[15]

Prinsip yang lurus ini kemudian diterapkan oleh generasi yang datang setelah para Sahabat g, Imam besar dari generasi Tabi’in, Muhammad bin Sirin rahimahullah berkata, “Dulunya para Salaf tidak menanyakan tentang sanad (riwayat hadits), lalu ketika terjadi fitnah (dengan banyaknya orang-orang yang menyimpang dan meyelisishi sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) para Salafpun (mulai bertanya tentang sanad riwayat hadits). Mereka berkata, ‘Sebutkan kepada kami rawi-rawi (hadits yang) kalian (sampaikan),’ Kemudian para Salaf melihat kepada (rawi-rawi tersebut) jika mereka adalah Ahlus sunnah maka hadits riwayat merekapun diterima, tapi jika mereka adalah ahli bid’ah maka hadits riwayat mereka ditolak.”[16]

Imam kota Madinah di jamannya, Imam Malik bin Anas rahimahullah, menjelaskan hal ini dengan lebih rinci dalam ucapan beliau, “Tidak boleh mengambil ilmu (agama) dari empat (type manusia) dan boleh mengambil ilmu dari selain mereka; Tidak boleh mengambil ilmu dari mubtadi’ (ahli bid’ah) yang mengajak (orang lain) kepada bid’ahnya; Tidak boleh mengambil ilmu dari orang dungu yang menampakkan kedunguannya terang-terangan; Tidak boleh mengambil ilmu dari orang yang selalu berdusta ketika berbicara dengan orang lain, meskipun dia jujur dalam (menyampaikan) hadits-hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ; Dan tidak boleh mengambil ilmu dari orang yang tidak mengetahui (ahli dalam) ilmu agama.”[17]

Bahkan pembahasan masalah penting ini dicantumkan oleh para Ulama Ahlus sunnah dalam kitab-kitab mereka yang memuat adab-adab menuntut ilmu agama. Seperti kitab Hilyatu Thâlibil ‘Ilmi karya Syaikh Bakr bin ‘Abdillah Abu Zaid rahimahullah. Beliau mencantumkan pembahasan khusus tentang larangan at-talaqqi ‘an al-mubtadi’ (larangan mengambil ilmu agama dari Ahli bid’ah). Beliau berkata, “Jauhilah abul jahl (orang yang bodoh) ahli bid’ah, yang terjangkiti penyimpangan akidah dan tertimpa awan pemikiran yang kacau. Dialah orang yang berhukum dengan hawa nafsu dan menamakannya sebagai akal (logika), serta berpaling dari dalil (al-Qur’an dan hadits yang shahih), padahal logika yang benar tidak lain ada pada dalil. Dialah orang yang selalu berpegang dengan (hadits) yang lemah dan berpaling dari (hadits yang) shahih. Orang seperti ini juga disebut sebagai ‘ahli syubhat’ (orang yang memiliki pemahaman agama yang rancu dan rusak) dan ‘ahli hawa’ (pengekor hawa nafsu). Oleh karena itu, Imam ‘Abdullah bin al-Mubarak rahimahullah menyebut Ahli bid’ah sebagai ‘al-asha-gir’ (orang-orang yang kecil/kerdil)”[18].

Termasuk yang diperingatkan oleh para Ulama untuk tidak dijadikan sebagai guru dalam ilmu agama adalah orang yang tidak dikenal pernah mempelajari dan mendalami ilmu sunnah sehingga pemahaman agamanya rancu atau minimal diragukan kebenarannya.

Imam ‘Abdurrahman bin Yazid bin Jabir asy-Syami rahimahullah berkata, “Tidak boleh mengambil ilmu kecuali kepada orang yang dipersaksikan (pernah) menuntut ilmu (sunnah).”[19]

Imam Syu’bah bin al-Hajjaj al-Bashri rahimahullah berkata, “Ambillah ilmu dari orang-orang yang dikenal.”[20]

Dalam hal ini Imam al-Khathib al-Bagdadi rahimahullah berkata, “Sepantasnya bagi penuntut ilmu untuk memilih guru yang dikenal pernah mempelajari hadits (sunnah) Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , serta diakui ketelitian dan kedalaman ilmunya.”[21]

Apakah Setiap Orang Yang Dikenal Shalih Dan Rajin Beribadah Secara Lahir Pantas Dijadikan Sebagai Guru Ilmu Agama?

Tidak diragukan lagi bahwa orang yang shalih dan taat beribadah adalah orang yang pantas untuk kita jadikan sebagai teman dekat dan panutan dalam amal shalih. Akan tetapi untuk menjadikan seseorang sebagai guru ilmu agama bukan hanya dengan melihat keshalihan dan ketekunan beribadah orang tersebut, kriteria yang juga harus ada pada orang tersebut adalah pemahaman Islam yang lurus dan jauh dari syubhat (kerancuan dalam memahami Islam), kedalaman dan penguasaan terhadap ilmu agama, sebagaimana yang telah dipaparkan di atas.

Imam besar dari generasi Tabi’in, Abu az-Zinad ‘Abdullah bin Dzakwan al-Madani rahimahullah berkata, “Aku pernah menjumpai di kota Madinah seratus orang (shalih) yang semuanya sangat jujur dan amanah, tapi tidak ada yang mempelajari ilmu hadits dari mereka, karena mereka bukan ahlinya (tidak pantas dijadikan guru).”[22]

Imam Malik rahimahullah berkata, “Aku pernah menjumpai di kota ini (kota Madinah) para syaikh yang utama, shalih dan rajin beribadah, mereka menyampaikan ilmu hadits, tapi aku tidak pernah mendengar (mempelajari) satu haditspun dari mereka, karena mereka tidak mengetahui (mendalami) ilmu hadits.”[23]

Bahkan beberapa uUlama Salaf menjelaskan bahwa tidak sedikit dari orang-orang shalih yang tidak memiliki keahlian dalam menyampaikan ilmu agama, justru dengan sebab itu mereka banyak melakukan kesalahan dalam menyampaikan hadits-hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sehingga riwayat hadits mereka tertolak.

Imam Yahya bin Sa’id al-Qaththan dan Abu ‘Ashim an-Nabil berkata, “Kamu tidak akan melihat (mendapati) orang-orang yang shalih lebih banyak berdusta (melakukan kesalahan) dalam suatu hal melebihi (ketika meriwayatkan) hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .[24]

Imam Muslim ketika mengomentari ucapan di atas, beliau rahimahullah berkata, “Lisan mereka melafazkan sesuatu yang dusta (karena salah dalam meriwayatkan hadits) tetapi mereka tidak sengaja berdusta.”[25]

Lebih lanjut, Imam at-Tirmidzi menjelaskan hal ini dalam ucapan beliau, “Terkadang ada orang shalih yang sangat rajin beribadah, tetapi dia tidak bisa menegakkan persaksian dan tidak bisa menghafalnya, demikian pula (dalam meriwayatkan) hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , karena hafalannya yang buruk dan kelalaiannya yang sangat parah.”[26]

Bahkan yang lebih parah dari semua itu, tersebarnya hadits-hadits palsu yang dinisbatkan kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan diantara sebabnya adalah riwayat dari orang-orang shalih tersebut, yang kemudian mudah diterima oleh kaum Muslimin karena bersangka baik dengan hanya melihat keshalihan mereka, sehingga kemudian hadits-hadits palsu tersebut mudah tersebar di tengah-tengah umat Islam.

Imam Ibnu ‘Adi rahimahullah berkata, “Orang-orang yang shalih selalu melakukan ini. Mereka meriwayatkan hadits-hadits yang palsu dan batil (rusak) tentang keutamaan amal-amal ibadah, beberapa orang di antara mereka yang dituduh oleh para Ulama ahli hadits sebagai pemalsu hadits-hadits tersebut.”[27]

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Para pemalsu hadits (atas nama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) ada beberapa kelompok, yang paling besar bahayanya adalah orang-orang yang dianggap zuhud (ahli ibadah) yang memalsukan hadits dengan niat ibadah, kemudian hadits-hadits palsu tersebut mudah tersebar (di tengah umat Islam) karena percaya kepada mereka.”[28]

Antara Berprasangka Baik Dan Memilih Guru Yang Pantas

Sebagian dari kaum Muslimin ada yang berkata, “Yang penting orang tersebut terlihat baik dan tidak terlihat menyimpang, maka kita boleh mengambil ilmu darinya, meskipun kita tidak mengenal keadaannya secara rinci, karena kita diperintahkan untuk berprasangka baik kepada setiap Muslim sampai ada bukti nyata dan jelas tentang keburukan dan kesalahannya.”

Apakah ucapan dan alasan ini bisa dibenarkan dalam hal memilih guru? Jawabannya: ucapan dan alasan tersebut jelas keliru, ditinjau dari beberapa segi, di antaranya:

1. Memang benar kita diperintahkan untuk berprasangka baik kepada setiap Muslim, selama tidak terlihat padanya keburukan dan kesalahan yang nyata. Akan tetapi dalam masalah memilih guru harus ada kriteria lain yang dipenuhi, yaitu pemahaman Islam yang lurus serta keahlian dan penguasaan terhadap ilmu agama, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.

Oleh karena itu, mayoritas Ulama ahli hadits membantah dan menyalahkan Imam Ibnu Hibban t yang menulis kitab ats-Tsiqât (rawi-rawi yang terpercaya) dan mencantumkan di dalamnya sejumlah rawi hadits yang tidak dikenal keadaannya oleh para Ulama ahli hadits, karena beliau hanya melihat penampilan lahir dari para rawi tersebut.

Imam Ibnu Hibban rahimahullah berkata, “Sesungguhnya orang yang ‘adil (terpercaya) adalah orang yang tidak diketahui ada al-jarh (kritikan atau celaan) padanya, karena kritikan adalah lawan dari pujian, maka barangsiapa yang tidak dicela berarti dia adalah orang yang dipuji sampai jelas adanya kritikan padanya.”[29]

Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullah menyanggah ucapan Imam Ibnu Hibban t tersebut, beliau berkata, “Pendapat Ibnu Hibban rahimahullah ini adalah pendapat yang aneh dan ditentang oleh mayoritas Ulama. Inilah metode yang ditempuh oleh Ibnu Hibban rahimahullah dalam kitab ats-Tsiqât yang ditulisnya. Dia mencantumkan sejumlah rawi dalam kitab tersebut (menganggapnya sebagai rawi-rawi yang terpercaya) padahal Imam Abu Hâtim (ar-Râzi) dan imam-imam lainnya menegaskan bahwa rawi-rawi tersebut adalah majhûl (tidak dikenal keadaannya)”[30].

Bahkan Imam al-Khathib al-Bagdadi rahimahullah mencantumkan bab khusus untuk menyanggah dan menjelaskan kesalahan pendapat ini dalam kitab beliau al-Kifâyah fi ‘ilmir riwâyah (hlm. 81), yaitu bab: Bantahan terhadap orang yang menganggap bahwa al-‘adâlah (keterpercayaan dalam riwayat hadits) adalah (hanya) dengan menampakkan keislaman dan tidak memperlihatkan kefasikan (keburukan) secara lahir.

Dalam bab ini beliau menjelaskan bahwa di samping kebaikan Islam secara lahir, sifat jujur serta amanah, kesucian (tidak menampakkan keburukan) dan lurusnya pemahaman. Cara untuk mengetahui sifat terpercaya seorang rawi sehingga riwayat haditsnya diterima adalah dengan menguji keadaannya dan meneliti perbuatannya, yang dengan itu kita yakin bahwa dia adalah rawi yang terpercaya atau tidak.[31]

Oleh karena itu, mayoritas Ulama berpendapat bahwa keterpercayaan seorang rawi dalam meriwayatkan hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yang ini juga berlaku dalam hal menentukan siapa yang pantas dijadikan sebagai guru agama, ditetapkan dengan salah satu dari dua hal:
Dikenalnya orang tersebut dengan sifat-sifat baik dan tersebarnya pujian kepadanya sebagai orang yang jujur, amanah dan terpercaya, seperti para Imam besar ahlus sunnah, misalnya Imam Malik bin Anas, Imam asy-Syafi’i, Imam Ahmad, Imam al-Bukhâri dan lain-lain.
Pernyataan dan penegasan dari para Imam Ahli hadits bahwa orang tersebut adalah terpercaya.[32]

2. Para Ulama Salaf sangat teliti dan selektif dalam memilih guru agama, bahkan mereka selalu mencari informasi yang lengkap tentang seseorang yang akan dijadikan sebagai guru ilmu agama, sebagaimana yang telah kami nukilkan di atas.

Imam Ibrahim bin Yazid an-Nakha’i berkata, “Dulu para Ulama salaf ketika datang kepada seorang (guru) untuk menimba ilmu agama, maka mereka meneliti (terlebih dahulu) bagaimana shalatnya, (pengamalannya terhadap) sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan penampilannya, kemudian barulah mereka mengambil ilmu darinya.”[33]

Imam ‘Abdurrahman bin Yahya al-Mu’allimi berkata, “Dulunya para Ulama (ahlus sunnah) sangat ketat dan teliti dalam menyeleksi para rawi (guru dalam periwayatan hadits). Salah seorang Ulama salaf, yaitu al-Hasan bin Shalih bin Hayy (rawi hadits yang terpercaya dari generasi Atba’ut tabi’in) berkata, ‘Dulu jika kami ingin mendengar (mengambil riwayat) hadits dari seorang guru, maka kami akan bertanya (dengan teliti) tentang keadaannya, sampai-sampai ada yang bertanya: Apakah kalian ingin menikahkannya?”[34]

Oleh karena itu, para Ulama Ahli hadits menolak dan menilai hadits seorang rawi yang keadaannya tidak dikenal (majhulul hal) sebagai hadits lemah.[35]

3. Orang yang tidak dikenal dan diketahui keadaannya, menurut para Ulama salaf, tidak pantas untuk dijadikan sebagai guru ilmu agama, meskipun tidak terlihat padanya keburukan dan penyimpangan, sebagaimana dalam jawaban poin pertama.

Di atas telah kami nukil dan jelaskan bahwa para Ulama salaf menolak mengambil ilmu dari orang-orang yang shalih dan rajin beribadah jika mereka tidak memiliki kedalaman dan penguasaan terhadap ilmu agama, sehingga tidak pantas dijadikan sebagai guru.

Kalau orang yang telah jelas keshalihan, ketekunan beribadah dan kejujurannya saja tidak bisa dijadikan sebagai guru jika tidak memenuhi kriteria tersebut di atas, apalagi orang yang tidak dikenal keadaannya, maka tentu lebih tidak pantas untuk dijadikan sebagai guru agama.

Mengapa Harus Mengikuti Metode Para Ulama Salaf?

Inilah metode para Ulama Salaf dalam menuntut ilmu dan memilih guru ilmu agama yang benar, guna meraih ilmu yang bermanfaat dan mewariskan amal shalih.

Tentu saja, metode inilah yang seharusnya kita ikuti dalam semua perkara agama kita, apalagi dalam urusan menuntut ilmu agama yang merupakan sebab utama limpahan taufik dari Allâh Azza wa Jalla untuk kebaikan hamba-Nya.

Inilah metode beragama yang diridhai Allâh Azza wa Jalla dan dijamin kebaikannya, sebagaimana dalam firman-Nya:

وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari (kalangan) orang-orang muhajirin dan anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allâh ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada-Nya, dan Allâh menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar [At-Taubah/9:100]

Dalam sebuah hadits yang shahih Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

خَيْرُ أُمَّتِي قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ

Sebaik-baik umatku adalah generasi yang aku diutus di masa mereka (para Sahabat g ), kemudian generasi yang datang setelah mereka, kemudian generasi yang datang setelah mereka[36].

Ketika menjelaskan makna hadits di atas, Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitakan (dalam hadits ini) bahwa generasi yang terbaik secara mutlak[37] adalah generasi di masa Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam (para Sahabat Radhiyallahu anhum), dan ini mengandung pengertian keunggulsn mereka dalam seluruh aspek kebaikan (dalam agama ini), karena kalau kebaikan mereka (hanya) dalam beberapa aspek (tidak sempurna dan menyeluruh) maka mereka tidak akan dinamakan (oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai) generasi yang terbaik secara mutlak.”[38]

Imam besar ahlus sunnah dari generasi Tabi’in, al-Hasan al-Bashri rahimahullah menggambarkan dampak positif dari ilmu yang bermanfaat di masa para Ulama salaf. Beliau rahimahullah berkata, “Dulu jika seseorang menuntut ilmu agama, maka tidak lama kemudian terlihat (pengaruh positif ilmu tersebut) pada sifat khusyu’ (tunduk)nya (kepada Allâh), tingkah lakunya, ucapannya, pandangannya dan (perbuatan) tangan (anggota badan)nya.”[39]

Beliau juga berkata, “Orang yang memahami ilmu agama adalah orang yang zuhud dalam (urusan) dunia, memiliki pemahaman yang dalam terhadap agama dan selalu tekun beribadah kepada Rabbnya.”[40]

Semoga Allâh Azza wa Jalla merahmati Imam Malik bin Anas yang berkata dalam ucapannya yang populer, “Tidak akan baik (keadaan) generasi terakhir umat ini kecuali dengan sesuatu (metode benar) yang telah memperbaiki (keadaan) generasi pertama umat ini.”[41]

Nasehat Dan Penutup

Menuntut ilmu adalah jalan menuju surga dan tanda kebaikan yang Allâh Azza wa Jalla kehendaki bagi seorang hamba-Nya. Oleh karena itu, barangsiapa mengikuti jalan yang benar dalam menuntut ilmu maka dia akan meraih kebaikan tersebut, dan sebaliknya, barangsiapa menyelisihi jalannya maka diapun tidak akan meraih kebaikan.

Syaikh Bakr bin ‘Abdillah Abu Zaid rahimahullah mencantumkan perkara agung ini sebagai adab yang sangat penting dalam menuntut ilmu. Beliau rahimahullah berkata, “Jadilah kamu sebagai salafi (pengikut manhaj Salaf) yang sebenarnya, (dengan menempuh) jalan (metode beragama) para salaf yang shalih dari (generasi) Sahabat Radhiyallahu anhum dan orang-orang yang setia mengikuti jejak mereka dalam semua perkara agama, baik dalam tauhid (aqidah), ibadah dan lain-lain. Istimewakan dirimu dengan selalu berkomitmen terhadap hadits-hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan membiasakan diri selalu mengamakan sunnah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta meninggalkan perdebatan (tanpa faidah), bantah-bantahan, berdalam-dalam membahas ilmu kalam, melakukan hal-hal yang menimbulkan dosa dan menghalangi dari syariat Islam.”[42]

Akhirnya, kami menutup tulisan ini dengan berdo’a dan memohon kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan agung, serta sifat-sifat-Nya yang maha tinggi dan sempurna agar Dia menganugrahkan kepada kita semua taufik-Nya untuk meraih ilmu yang bermanfaat dan mewariskan amal shalih, serta menjadikan kita semua tetap istiqamah di jalan-Nya yang lurus sampai kita menghadap-Nya nanti, Aamiin.

Oleh Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni MA

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XX/1437H/2016M.]
_______
Footnote
[1] HSR. Al-Bukhâri, no. 2948 dan Muslim, no. 1037

[2] HSR. Muslim, no. 2699

[3] Miftâhu Dâris Sa’âdah, 1/60

[4] Kitab Taisîrul Karîmir Rahmân, hlm. 688

[5] Dinukil oleh Imam Abu Nu’aim al-Ashbahani dalam kitab Hilyatul Auliyâ’, 6/362

[6] Dinukil oleh Imam Muslim dalam Muqaddimah Shahîh Muslim, 1/43-44 – Syarhu Shahîh Muslim

[7] Lihat penjelasan Imam al-Munawi dalam Faidhul Qadîr , 2/545 dan 6/383

[8] Atsar riwayat Imam al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad, no. 789 dan Abdurrazzak dalam al-Mushannaf, no. 3787, dishahihkan oleh Ibnu hajar dalam Fathul Bâri, 10/510 dan dihasankan olah Syaikh al-Albani dalam ash-Shahîhah, no. 3189), juga diriwayatkan dari ucapan Rasûlullâh n dan dishahihkan olah Syaikh al-Albâni dalam ash-Shahîhah, no 2510

[9] Dinukil oleh Imam Ibnu Katsir dalam tafsir beliau, 3/729

[10] Kitab Fadhlu ‘Ilmis Salaf ‘ala ‘Ilmil Khalaf, hlm. 6

[11] Dinukil oleh syaikh al-Albani dalam kitab at-Tawassul, ‘Anwâ’uhu wa Ahkâmuhu, hlm. 74

[12] Dinukil oleh Imam Muslim dalam Muqaddimah Shahîh Muslim (1/43-44 – Syarhu Shahih Muslim).

[13] Atsar riwayat Imam ad-Darimi dalam as-Sunan, 1/124 dengan sanad yang shahih.

[14] Kitab al-Anwârul Kâsyifah, hlm. 96. Atsar ini diriwayatkan oleh Imam al-Khathib al-Bagdadi dalam al-Kifâyah fi ‘Ilmir Riwâyah, hlm. 92

[15] Atsar yang shahih dalam Shahîh Muslim, 1/12

[16] Atsar yang shahih dalam Shahîh Muslim, 1/12

[17] Dinukil oleh al-Khathiib dalam al-Kifâyah, hlm. 160 dan adz-Dzahabi dalam Siyaru A’lâmin Nubalâ’, 8/67

[18] Kitab Hilyatu Thâlibil ‘Ilmi, hlm. 39

[19] Dinukil oleh Imam Ibnu Abi Hatim ar-Razi dalam al-Jarhu wat Ta’dîl, 2/28

[20] Dinukil oleh Imam Ibnu Abi Hatim ar-Razi dalam al-Jarhu wat Ta’dîl, 2/28 dan al-Khathib al-Bagdadi dalam al-Jâmi’u li Akhlâqir Râwi wa Adâbis Sâmi’, 1/190

[21] Kitab al-Jâmi’u li Akhlâqir Râwi wa Adâbis Sâmi’, 1/189

[22] Atsar shahih dalam Muqaddimah Shahîh Muslim, 1/12

[23] Dinukil oleh Imam al-‘Uqaili dengan sanadnya dalam kitab adh-Dhu’afâ’ al-Kabîr, 1/13-14

[24] Semua dinukil oleh Imam Ibnu Rajab al-Hambali dalam kitab Syarhu ‘Ilalit Tirmidzi, 1/387-388

[25] Kitab Muqaddimah Shahîh Muslim, 1/18

[26] Kitab Syarhu ‘Ilalit Tirmidzi, 1/387

[27] Kitab al-Kâmil fi Dhu’afâ-ir Rijâl, 3/216

[28] Kitab Tadrîbur Râwi, 1/332

[29] Kitab ats-Tsiqât, 1/13

[30] Kitab Lisânul Mîzân, 1/14

[31] Lihat kitab al-Kifâyah fi ‘Ilmir Riwâyah, hlm. 81

[32] Lihat kitab Dhawâ-bithul Jarhi wat Ta’dîl, hlm. 35-36

[33] Atsar riwayat Imam ad-Darimi dalam as-Sunan, 1/124 dengan sanad yang shahih.

[34] Kitab al-Anwârul Kâsyifah, hlm. 96. Atsar ini diriwayatkan oleh Imam al-Khathib al-Bagdadi dalam al-Kifâyah fi ‘Ilmir Riwâyah, hlm. 92

[35] Lihat penjelasan Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani t dalam kitab Taqrîbut Tahdzîb, hlm. 30 – cet. Daar Ibni Rajab

[36] HSR. Al-Bukhâri, 3/1335 dan Muslim, no. 2534

[37] Artinya kebaikan yang ada pada mereka adalah kebaikan yang sempurna dan menyeluruh pada semua aspek kebaikan dalam agama.

[38] Kitab I’lâmul Muwaqqi’în, 4/136- cet. Daarul jiil, Beirut, 1973

[39] Dinukil oleh Imam al-Khathib al-Bagdadi dalam kitab al-Jâmi’ li Akhlâqir Râwi wa Adâbis Sâmi’, 1/215

[40] Dinukil oleh Imam al-Khathib al-Mizzi dalam kitab Tahdzîbul Kamâl, 6/118

[41] Dinukil oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Iqtidhâ-ush Shirâthil Mustaqîm, hlm. 367 dan Imam Ibnul Qayyim dalam Igâtsatul Lahfân, 1/200

[42] Kitab Hilyatu Thâlibil ‘Ilmi, hlm. 12

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. BERITA SUNNAH - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger