{قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ ويَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ، وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ}

Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah (sunnah/petunjuk)ku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS Ali ‘Imran:31)

Ahlus Sunnah Paling Sayang Kepada Umat

Abu Fathan | 23:06 | 0 comments
Oleh Ustadz Kholid Syamhudi Lc

Allâh Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan kekhususan dan keistimewaan kepada Ahlu sunnah dengan menunjukkan merekakepada kebenaran dan mengikuti jalan yang lurus.Allâh Subhanahu wa Ta’ala menganugerahkan keistimewaan banyak yang tidak dimiliki semua golongan dan seluruh keyakinan lainnya. Sebab, keyakinan Ahlu Sunnah dibangun dari al-Qur`ân dan Sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , tanpa dikotori dengan pemikiran ilmu kalam dan filsafat. Aqidah mereka suci bersih, memberikan keyakinan dan ketenangan yang memenuhi jiwa mereka dan menjadikan para pengikutnya sangat mengagungkan al-Qur`ân dan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bersatu diatasnya. Oleh karena itu, mereka adalah orang yang paling mengerti tentang kebenaran dan paling kokoh diatasnya, berbeda halnya dengan para pengikut hawa nafsu dan bid’ah. Mereka dengan komitmen besar terhadap kebenaran dan ilmu mereka yang sempurna terhadap kebenaran menjadi orang yang paling sayang kepada orang lain dan paling mudah untuk kembali kepada kebenaran.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Para imam AhluSunnah wal Jamaah dan ahli ilmu dan iman memiliki ilmu, keadilan dan rahmat, sehingga mereka mengetahui kebenaran yang mereka miliki sesuai dengan sunnah, selamat dari bid’ah dan berbuat adil terhadap orang yang keluar dari Ahlu Sunnah, walaupun menzhalimi mereka, sebagaimana firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ ۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

Hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allâh, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. [Al-Mâidah/5:8].

Serta merahmati semua makhluk.Ahlu Sunnah wal Jamaah menginginkan bagi mereka kebaikan, hidayah dan ilmu, tidak bermaksud buruk pada mereka langsung. Bahkan apabila menghukum mereka dan menjelaskan kesalahan, kebodohan dan kezhaliman mereka, dimaksudkan untuk menjelaskan kebenaran, rahmat kepada makhluk dan amar ma’ruf nahi mungkar serta menjadikan seluruh agama hanya untuk Allâh dan menegakkan kalimat Allâh agar tinggi.”[Ar-Radd ‘alal BakriII/490].

Jalan Ahlu sunnah wal jamaah dibangun diatas ilmu dan keadilan, bukan di atas kebodohan dan kezhaliman, sehingga mereka lebih rahmat kepada ahlil bid’ah dari sebagian sekte dan kelompok mereka, sebagaimana dijelaskan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah , “Ahlu Sunnah terhadap semua kelompok dari ahlil bid’ah lebih baik dari sebagian mereka terhadap sebagian yang lain. Bahkan sikap Ahlu Sunnah terhadap Rafidhah lebih baik dan lebih adil dari sikap sebagian Rafidhah terhadap sebagaian mereka sendiri. Hal ini sudah diakui oleh mereka semua dan mereka berkata, ‘Kalian berbuat adil kepada kami yang tidak pernah sebagian kami berbuat adil kepada sebagian lainnya’. [MinhâjuAs-Sunnah V/157-158].

Hal ini karena ahlu sunnah menerima sifat mulia ini langsung dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.Dahulu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling mengenal kebenaran dan paling besar rahmat dan kelembutannya kepada orang lain. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan risalah Islam dan menunaikan amnah serta berjihad dengan sempurna hanya untuk menampakkan kebenaran dan beliau terkadang marah besar untuk membela kebenaran, seperti dalam kisah yang diceritakan ‘Abdullâh bin ‘Amru bin al-‘Ash tentang perseteruan para Shahabat terkait takdir hingga suara mereka meninggi, lalu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dalam keadaan marah dengan wajah yang merah-padam dan melempari mereka dengan debu seraya berkata:

«مَهْلًا يَا قَوْمِ، بِهَذَا أُهْلِكَتِ الْأُمَمُ مِنْ قَبْلِكُمْ، بِاخْتِلَافِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ، وَضَرْبِهِمُ الْكُتُبَ بَعْضَهَا بِبَعْضٍ، إِنَّ الْقُرْآنَ لَمْ يَنْزِلْ يُكَذِّبُ بَعْضُهُ بَعْضًا، بَلْ يُصَدِّقُ بَعْضُهُ بَعْضًا، فَمَا عَرَفْتُمْ مِنْهُ، فَاعْمَلُوا بِهِ، وَمَا جَهِلْتُمْ مِنْهُ، فَرُدُّوهُ إِلَى عَالِمِهِ»

Tenanglah wahai orang-orang, dengan sebab inilah umat-umat sebelum kalian binasa. Dengan sebab perselisihan mereka atas para Nabi dan mereka mengadu sebagain dari kitab suci dengan sebagian yang lainnya. Sungguh al-Qur`ân tidak diturunkan untuk sebagiannya mendustakan sebagian lainnya, bahkan untuk sebagiannya membenarkan sebagaian lainnya. Semua yang telah kalian ketahui, maka amalkanlah dan tidak kalian ketahui, serahkan kepada orang yang mengetahuinya.[R. Ahmad dalam al-Musnad no. 6072 dan dishahîhkan al-Albâni dalam Syarh al-Aqîdah ath-Thahâwiyah no. 218].

Walaupun demikian, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah nabi yang penuh rahmat seperti dijelaskan dalam firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :

لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.[at-Taubah/9 :128].

Dalam hadits yang dikeluarkan Imam al-Bukhâri rahimahllah dan Muslim rahimahullah dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma , beliau berkata:

ما خُيِّرَ رسولُ اللهِ – صلى الله عليه وسلم – بَيْنَ أَمْرَيْنِ قَطُّ إلا أَخَذَ أَيسَرَهُمَا؛ مَا لَمْ يَكُنْ إِثْماً، فَإِنْ كانَ إِثْمًا؛ كانَ أَبْعَدَ النَّاسِ مِنْهُ، وَ الله ما انْتَقَمَ رسولُ اللهِ – صلى الله عليه وسلم – لِنَفْسِهِ في شَيْءٍ [يؤتى إليه] قَطُّ؛ إِلا أَنْ تُنْتَهَكَ حُرْمَةُ اللهِ، فَيَنْتَقِمَ بِها للهِ.

Tidaklah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam diminta memilih antara dua perkara, kecuali mengambil yang paling ringan dari keduanya selama tidak dosa.Apabila berupa dosa, maka beliau adalah orang yang paling jauh darinya. Demi Allâh,Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah membalas untuk dirinya sedikitpun kecuali bila kesucian Allâh dirusak sehingga beliau membalasnya karena Allâh.[Muttafaqun ‘alaihi].

Lihat saja aneka ragam gangguan dan rintangan dalam dakwah Beliau sehingga satu hari ‘Aisyah istri beliau bertanya:

يَا رَسُولَ اللهِ، هَلْ أَتَى عَلَيْكَ يَوْمٌ كَانَ أَشَدَّ مِنْ يَوْمِ أُحُدٍ؟ فَقَالَ: ” لَقَدْ لَقِيتُ مِنْ قَوْمِكِ وَكَانَ أَشَدَّ مَا لَقِيتُ مِنْهُمْ يَوْمَ الْعَقَبَةِ، إِذْ عَرَضْتُ نَفْسِي عَلَى ابْنِ عَبْدِ يَالِيلَ بْنِ عَبْدِ كُلَالٍ فَلَمْ يُجِبْنِي إِلَى مَا أَرَدْتُ، فَانْطَلَقْتُ وَأَنَا مَهْمُومٌ عَلَى وَجْهِي، فَلَمْ أَسْتَفِقْ إِلَّا بِقَرْنِ الثَّعَالِبِ، فَرَفَعْتُ رَأْسِي فَإِذَا أَنَا بِسَحَابَةٍ قَدْ أَظَلَّتْنِي فَنَظَرْتُ فَإِذَا فِيهَا جِبْرِيلُ، فَنَادَانِي، فَقَالَ: إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ قَدْ سَمِعَ قَوْلَ قَوْمِكَ لَكَ، وَمَا رُدُّوا عَلَيْكَ، وَقَدْ بَعَثَ إِلَيْكَ مَلَكَ الْجِبَالِ لِتَأْمُرَهُ بِمَا شِئْتَ فِيهِمْ “، قَالَ: ” فَنَادَانِي مَلَكُ الْجِبَالِ وَسَلَّمَ عَلَيَّ، ثُمَّ قَالَ: يَا مُحَمَّدُ، إِنَّ اللهَ قَدْ سَمِعَ قَوْلَ قَوْمِكَ لَكَ، وَأَنَا مَلَكُ الْجِبَالِ وَقَدْ بَعَثَنِي رَبُّكَ إِلَيْكَ لِتَأْمُرَنِي بِأَمْرِكَ، فَمَا شِئْتَ، إِنْ شِئْتَ أَنْ أُطْبِقَ عَلَيْهِمُ الْأَخْشَبَيْنِ “، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «بَلْ أَرْجُو أَنْ يُخْرِجَ اللهُ مِنْ أَصْلَابِهِمْ مَنْ يَعْبُدُ اللهَ وَحْدَهُ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا»

Wahai Rasûlullâh, apakah ada hari yang menimpamu lebih berat dari hari Perang Uhud? Beliau menjawab: “Sungguh aku telah aku dapati dari kaummu (gangguan-gangguan) dan yang paling berat yang aku dapati dari mereka adalah Hari ‘Aqabah. Ketika aku tawaran diriku kepada Ibnu Abdi Yalail bin Abdi Kulaal, namuniatidak menerimaku seperti yang aku inginkan.Kemudian aku pergi dalam keadaan duka yang tampak diwajahku, sehingga aku tidak sadar kecuali sudah berada di Qarnu ats-Tsa’âlib, lalu aku angkat kepalaku sekonyong-konyong mendapati awan yang menaungiku, lalu aku melihat ternyata ada Jibril di sana lalu memanggilku seraya berkata: Sesungguhnya Allâh Subhanahu wa Ta’ala telah mendengar komentarkaummu padamu dan semua yang mereka tolak atasmu. Sungguh telah mengutus kepadamu malaikat gunung untuk kamu perintahkan sesukamu pada mereka”. Beliau berkata, “Lalu malaikat gunung memanggilku dan mengucapkan salam kepadaku kemudian berkata: Wahai Muhammad, sesungguhnya Allâh telah mendengar perkataan kaummu kepadamu dan aku malaikat gunung telah diutus Rabbmu kepadamu untuk kamu perintahkan sesuai kehendakmu. Jika kamu mau, aku tumpahkan gunung Akhsyabain pada mereka . Lalu Rasulullah n bersabda: Saya berharap Allâh keluarkan dari sulbi mereka (keturunan mereka) orang yang beribadah kepada Allah saja tanpa kesyirikan”.[Muttafaqun ‘alaihi].

Demikianlah, para Salafus shâlih mencontoh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mengenal kebenaran dan rahmat kepada makhluk. Ada 3 contoh tentang hal ini:
Abu Umâmah al-Bâhili Radhiyallahu anhu ,seorang Shahabat yang selalu bicara kebenaran dan merahmati makhluk. Imam Syâthibi dalam kitab al-I’tishâm menceritakan, bahwa ada cerita dari Abu Ghâlib Hazawwar, beliau menyatakan, “Aku berada di Syam, lalu al-Muhallab mengirim tujuh puluh kepala dari Khawârij, dan kemudian dipamerkan di Darj Damaskus. Waktu itu, aku berada diatas rumahku. Setelah itu, lewatlah Abu Umâmah Radhiyallahu anhu . Akupun turun dan mengikutinya. Ketika beliau berhenti melihat orang-orang Khawârij tersebut, maka keluarlah air matanya dan berkata, ‘Subhânallâh, apa yang syaithan perbuat pada Bani Adam! (3x)”. “Anjing Jahannam… anjing Jahannam, seburuk-buruk orang yang terbunuh dikolong langit (3x)”. “Sebaik-baiknya yang terbunuh adalah yang memeranginya. Beruntunglah orang yang membunuh mereka atau terbunuh oleh mereka. Kemudian ia berpaling kepadaku, seraya berkata, “Wahai Abu Ghâlib! Sungguh engkau berada di negeri yang kebanyakan penduduknya dari kalangan mereka, maka semoga Allâh melindungimu dari mereka”. Aku berkata, “Aku melihatmu menangis ketika melihat mereka”. Beliau menjawab, “Aku menangis karena rahmat ketika melihat mereka dahulu termasuk ahlu Islam”. (lihat lebih lengkap dalam al-I’tishâm 1/71-72). Lihatlah bagaimana Abu Umamah Radhiyallahu anhu kasihan terhadap kaum Khawarij sebagai bukti jelas rahmatAhlusunnah kepada orang lain.
Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah yang dijuluki Imam Ahlu Sunnah, berbicara haq dan kokoh diatasnya. Hal itu terjadi dalam fitnah khalqulQur`ân. Waktu itu, beliau berbicara dengan keyakinan penuh bahwa al-Qur`ân adalah kalam Ilâhi bukan makhluk dan bersabar atas semua cobaan dan fitnah yang menimpanya dari para pembesar Mu’tazilah ketika itu dan dari para khalifah yang mengikuti mereka, seperti al-Ma`mûn, al-Mu’tashim dan al-Wâtsiq. Ibnu Muflih rahimahullah berkata, “Ketika salah seorang dari mereka mendatangi Imam Ahmad di dalam penjara seraya berkata kepada beliau, ‘Wahai Abu ‘Abdillâh! Engkau memiliki tanggung-jawab atas orang banyak dan engkau mempunyai anak-anak serta memiliki udzur’. Orang itu mengesankan seakan-akan merupakan persoalan yang mudah untuk memenuhi permintaan menjawab al-Qur`ân adalah makhluk. Lalu Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah menjawab, “Apabila ini adalah akalmu, maka aku telah beristirahat!!” (Al-Âdâb asy-Syar’iyyahII/87).

Imam adz-Zhahabi rahimahullah berkomentar tentang ujian Imam Ahmad ini dengan berkata, “Menyampaikan kebenaran adalah perkara agung yang membutuhkan kekuatan dan keikhlasan. Seorang yang ikhlas tanpa kekuatan tidak mampu melaksanakannya dan orang kuat tanpa keikhlasan, maka akan merugi. Siapa yang melakukannya dengan ikhlas dan kekuatan yang sempurna, iaadalah seorang shiddîq. Dan siapa yang lemah, maka jangan sampai tidak ada rasa sakit dan pengingkaran dengan hati. Tidak ada setelah itu keimanan”.[Siyar A’lâm an-Nubalâ 11/234].

Beliau rahimahullah juga menyatakan, “Imam Ahmad bin Hambal adalah sesosok pria yang lembut. Namun, ketika melihat orang-orang menerima dan berpaling dari kebenaran, ketika itu hilanglah semua kelembutannya dan naiknya urat dahinya serta matanya memereah dan hilanglah sudah kelembutan tersebut”. [Siyar A’lâm Nubalâ 11/238].

Walaupun mengalami kekerasan dan tertawan di penjara dari para khalifah waktu itu, akan tetapi, beliau tetap berkata, “Semua yang menjelek-jelekkan aku, telah halal kecuali ahli bid’ah dan aku telah menjadikan Abu Ishâq (al-Mu’tashim) dalam kehalalan (telah kumaafkan), sebab aku mendapati Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا ۗ أَلَا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ

Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada.Apakah kamu tidak ingin bahwa Allâh mengampunimu?(QS. an-Nûr/24:22) dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Abu Bakar Radhiyallahu anhu untuk memaafkan dalam kisah Misthâh dan berkata, “Memaafkan lebih utama dan apa manfaat bagimu ketika saudaramu seagama disiksa karena engkau?” [LihatTârîkh al-IslâmI/1877].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t seorang yang berjihad dengan lisan dan senjatanya dalam memerangi sekte sesat, baik dengan bantahan-bantahan ilmiyah kepada ahli kitab, membongkar kedustaan sekte bathiniyah dan berdialog dengan kaum Sufi dan Ahli kalam. Semua itu dalam rangka menjelaskan dan menyampaikan kebenaran. Beliau seorang yang sangat besar rasa sayang dan rahmatnya kepada orang-orang yang menyelisihi beliau. Hal ini diungkapkan oleh murid beliau Ibnul Qayyim t dengan penyataan, “Satu hari, aku mendatangi beliau -Ibnu Taimiyah- memberikan kabar gembira tentang kematian musuhnya yang paling besar, paling kuat permusuhan dan gangguannya kepada beliau. Beliau memarahiku dan mengingkariku serta mengucapkan innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji’ûn. Kemudian beliau langsung bergegas bangun menuju rumah keluarga musuhnya tersebut untuk berta’ziyah dan berkata, “Aku menjadi penggantinya untuk kalian dan tidak ada satu perkara yang kalian butuhkan bantuannya kecuali aku akan membantunya”. Lalu keluarga musuhnya tersebut bahagia dengan sikap beliau dan mendoakan kebaikan bagi [Madârij as-SâlikînII/345].

Ketika Ibnu Taimiyah rahimahullah sakit menjelang wafatnya, salah seorang musuh beliau datang menemui beliau dan memohon maaf kepadanya dan memohon untuk dihalalkan dan dimaafkan. Maka, beliau menjawab, “Aku telah menghalalkanmu (memaafkan) dan seluruh orang yang memusuhiku yangtidak mengetahui aku berada diatas kebenaran”. Dalam perkataan lain yang semakna, ” Aku sungguh telah memaafkan Sultan al-Mâlik an-Nâshir, karena memenjarakan aku. Sebab, ia melakukannya lantaran ikut-ikutan saja dengan orang lain dan punya udzur yang bisa diterima serta tidak melakukannya karena kepentingan pribadinya. Bahkaniamelakukannya karena berita yang telah sampai kepadanya yang ia anggap benar dan Allâh kmaha mengetahui bahwa hal itu tidak benar. Aku juga memaafkan semua orang yang pernah ada masalah antara dirinya dengannya, kecuali orang yang memusuhi Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya”. [al-A’lâm al-‘Aliyah Fî Manâqib Ibnu Taimiyah hlm. 82].

Sedangkan Ibnu Makhlûf, Qadhi Malikiyah berkata, “Aku tidak pernah melihat orang seperti Ibnu Taimiyah. Kami berusaha mencelakakannya, namun tidak mampu. Dan beliau sebenarnya mampu melakukannya, namun memaafkan kami dan mengalahkan kami”. [Lihat al-Bidâyah wan Nihâyah 14/54].

Hendaknya kita semua berada diatas manhaj yang lurus ini dan menghindari cara-cara buruk ahli bidah.Marilah kita mengajak manusia untuk berpegang teguh dengan manhaj ini dan mengajak mereka untuk menerapkan semua ajaran Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabat serta para imam-imam Ahli Sunnah. Semoga bermanfaat.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XVIII/1436H/2015M.]

Kisah Ashhâbul-Kahfi, Kisah Para Pemuda Yang Menakjubkan

Abu Fathan | 11:20 | 0 comments
Sangat banyak kisah dari umat terdahulu yang difirmankan Allâh di dalam kitab-Nya yang mulia, Al-Qur`ânil-Karim. Yang secara nyata menunjukkan betapa besar faidahnya untuk menuntun umat manusia kepada hidayah. Karena paparan kisah termasuk media pembelajaran yang penting. Apalagi, biasanya seseorang mempunyai kecenderungan lebih mudah untuk meresapi pesan-pesan moral dari sebuah cerita yang shahih.

ASHABUL-KAHFI, PARA PEMUDA YANG TEGUH MEMPERTAHANKAN KEIMANAN

Dalam surat al-Kahfi, Allâh Azza wa Jalla menyampaikan salah satu kisah kehidupan masa lalu. Yakni yang dikenal dengan ashhâbul-kahfi, yaitu para pemuda penghuni goa, yang dikisahkan secara global.

Dalam sebuah keterangan disebutkan, bahwa mereka memeluk agama Nabi ‘Isa bin Maryam. Akan tetapi, al-Hâfizh Ibnu Katsir rahimahullah merajihkan, bahwa pemuda-pemuda itu hidup sebelum perkembangan millah Nashraniyah. Seandainya mereka memeluk agama Nashrani, tentu para pendeta Yahudi tidak memiliki data tentang mereka. Sedangkan peristiwaashhâbul-kahfi, merupakan tema yang dikemukakan oleh Yahudi kepada kaum Quraisy untuk “menguji” kebenaran kenabian Rasûlullâh Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , selain pertanyaan tentang Dzul-Qarnain dan roh. Ini menunjukkan bahwa peristiwa tersebut sudah terbukukan dalam kitab-kitab ahli kitab, dan terjadi sebelum kemunculan agama Nashrani.Wallahu a’lam. [2]

Al-Kahfi, artinya sebuah gua di gunung, dan menjadi tempat pelarian para pemuda tersebut. Allâh berfirman:

إِذْ أَوَى الْفِتْيَةُ إِلَى الْكَهْفِ فَقَالُوا رَبَّنَا آتِنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًا

(Ingatlah) tatkala pemuda-pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua, lalu mereka berdoa: “Wahai Rabb kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu, dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)”. [Al-Kahfi/18:10]

Allâh Azza wa Jalla mengabarkan bahwa mereka adalah para pemuda yang lari untuk menyelamatkan keimanan mereka dari kaum mereka yang sudah terjerat oleh kesyirikan dan pengingkaran terhadap hari kebangkitan, supaya fitnah itu tidak menimpa mereka. Mereka mengungsi ke sebuah goa yang berada di gunung.[3]

Ketika memasuki gua tersebut, mereka berdoa kepada Allâh memohon rahmat dan belas-kasih-Nya. Dikatakan oleh Syaikh Asy-Syinqithi rahimahullah, bahwa permohonan mereka tersebut merupakan doa yang agung dan mencakup seluruh kebaikan.

Dari doa para pemuda itu, terdapat satu sisi yang ditekankan oleh Syaikh as-Sa’di rahimahullah, yakni, mereka telah menggabungkan atau memadukan antara (usaha yaitu) lari dari fitnah dengan menuju ke suatu tempat yang bisa menjadi persembunyian, (dipadukan) dengan ketundukan dan permintaan kepada Allâh agar dimudahkan urusannya, dan tidak menyandarkan urusan-urusan kepada diri mereka sendiri dan kepada sesama makhluk lainnya.[4]

Tentang jadi diri para pemuda tersebut, Allâh Azza wa Jalla berfirman:

إِنَّهُمْ فِتْيَةٌ آمَنُوا بِرَبِّهِمْ وَزِدْنَاهُمْ هُدًى

Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Rabb mereka, dan Kami tambah pula untuk mereka petunjuk. [Al-Kahfi/18:13]

Allâh Subhanahu wa Ta’ala memberitahukan, mereka adalah sekumpulan pemuda yang menerima kebenaran dan lebih lurus jalannya daripada generasi tua dari kalangan mereka, yang justru menentang dan bergelimang dengan agama yang batil.

Para pemuda tersebut hanya beriman kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala semata, tidak seperti kaum mereka. Maka, Allâh Subhanahu wa Ta’ala mensyukuri keimanan mereka, dan kemudian menambahkan hidayah atas diri mereka. Maksudnya, disebabkan hidayah kepada keimanan, maka Allâh Azza wa Jalla menambahkan petunjuk kepada mereka, yakni berupa ilmu yang bermanfaat dan amal shalih. Sebagaimana firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala , yang artinya, “Dan Allâh akan menambahi petunjuk kepada mereka yang telah mendapatkan petunjuk.[ Maryam/19:76].[5]

Bertolak dari penegasan Allâh Azza wa Jalla di atas bahwa mereka merupakan sekumpulan pemuda yang beriman, sebuah kesimpulan menarik dikemukakan oleh al-Hâfizh Ibnu Katsir rahimahullah, beliau rahimahullah mengatakan, “Oleh karena itu, kebanyakan orang yang menyambut dakwah Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya berasal dari kalangan para pemuda. Sedangkan para orang tua dari kaum Quraisy, kebanyakan masih memegangi agama mereka, tidak memeluk Islam kecuali sedikit saja. Demikianlah Allâh Azza wa Jalla mengabarkan, bahwa mereka itu adalah para pemuda.” [6]

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَرَبَطْنَا عَلَىٰ قُلُوبِهِمْ إِذْ قَامُوا فَقَالُوا رَبُّنَا رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ لَنْ نَدْعُوَ مِنْ دُونِهِ إِلَٰهًا ۖ لَقَدْ قُلْنَا إِذًا شَطَطًا

Dan Kami telah meneguhkan hati mereka di waktu mereka berdiri, lalu mereka berkata, “Rabb kami adalah Rabb langit dan bumi, kami sekali-kali tidak menyeru ilah selain Dia, sesungguhnya kami kalau demikian telah mengucapkan perkataan yang amat jauh dari kebenaran”. [Al-Kahfi/18:14]

Saat menjelaskan maksud ayat ini, al-Imam ath-Thabari rahimahullah menyatakan, “Dan Kami (Allâh) mengilhamkan kesabaran kepada mereka dan mengokohkan hati mereka dengan cahaya keimanan, hingga jiwa mereka berlepas diri dari sebelumnya, yaitu kebiasaan hidup yang menyenangkan. [7]

Allâh Subhanahu wa Ta’ala mengkaruniakan atas mereka keteguhan dan kekuatan untuk bersabar, sehingga mereka berani menyampaikan di hadapan orang-orang kafir, ““Rabb kami adalah Rabb langit dan bumi, kami sekali-kali tidak menyeru ilah selain Dia, sesungguhnya kami kalau demikian telah mengucapkan perkataan yang amat jauh dari kebenaran “.[8]

Kemantapan dan keteguhan hati bagi mereka sangat dibutuhkan. Karena, seluruh penduduk memusuhi mereka, sedangkan usia mereka pada waktu itu masih muda, yang bisa saja dipengaruhi oleh orang tua. Akan tetapi Allâh Azza wa Jalla telah meneguhkan hati mereka. Demikian menurut tinjauan Syaikh al-‘Utsaimin rahimahullah .[9]

Dalam pernyataan itu, para pemuda tersebut telah memadukan antara ikrar terhadap tauhid rubûbiyyah dengan tauhîd ulûhiyyah dan konsisten dengannya, disertai dengan penjelasan bahwa Allâh-lah Dzat yang Haq, dan selain-Nya merupakan kebatilan. Ini menunjukkan, mereka benar-benar mengenal Rabb dan adanya tambahan hidayah pada mereka.[10]

هَٰؤُلَاءِ قَوْمُنَا اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ آلِهَةً ۖ لَوْلَا يَأْتُونَ عَلَيْهِمْ بِسُلْطَانٍ بَيِّنٍ ۖ فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَىٰ عَلَى اللَّهِ كَذِبًا

Kaum kami ini telah menjadikan selain Dia sebagai ilah-ilah (untuk disembah). Mengapa mereka tidak mengemukakan alasan yang terang (tentang kepercayaan mereka). Siapakah yang lebih zhalim daripada orang-orang yang mengada-ada kebohongan terhadap Allâh. [Al-Kahfi/18:15]

Para pemuda itu ingin menunjukkan argumentasi, mengapa mereka mengasingkan diri dari kaumnya. Kata mereka: “Orang-orang menjadikan sesembahan selain Allâh, menyembah selain Allâh. (Mengapa) mereka tidak membuktikan bahwa sesembahan itu benar, dan menunjukkan faktor yang menjadi penyebab mereka menyembahnya?”

Jadi, ada dua tuntutan pada kaum mereka. Yaitu: (1) meminta pembuktian bahwa sesembahan mereka adalah ilah (sesembahan yang haq), (2) meminta pembuktikan, bahwa ibadah yang mereka lakukan adalah benar. Dan dua hal ini, mustahil dapat dibuktikan oleh orang-orang tersebut. Karena mereka tidak mampu membantah argumentasi para pemuda tersebut, maka kekerasan fisik akan menjadi langkah mereka selajutnya.

Dalam kondisi demikian, jika muncul fitnah yang mengancam agama seseorang, maka disyariatkan bagi seseorang untuk menyingkirkan diri dari khalayak demi keselamatan agamanya.[11] Itulah yang dilakukan oleh para pemuda tadi, sebagaimana disebutkan pada ayat berikutnya,

وَإِذِ اعْتَزَلْتُمُوهُمْ وَمَا يَعْبُدُونَ إِلَّا اللَّهَ فَأْوُوا إِلَى الْكَهْفِ يَنْشُرْ لَكُمْ رَبُّكُمْ مِنْ رَحْمَتِهِ وَيُهَيِّئْ لَكُمْ مِنْ أَمْرِكُمْ مِرْفَقًا

Dan apabila kamu meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain Allâh, maka carilah tempat berlindung ke dalam gua itu, niscaya Rabbmu akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepadamu dan menyediakan sesuatu yang berguna bagimu dalam urusan kamu. [Al-Kahfi/18:16]

Sebagian pemuda berkata kepada yang lain, “Jika kalian berhasil mengasingkan diri dari kaum kalian dengan jasad-jasad dan agama, maka tidak tersisa (sikap) kecuali menyelamatkan diri dari keburukan mereka dan menempuh langkah-langkah yang dapat mewujudkannya. Lantaran para pemuda tersebut tidak memiliki kekuatan untuk memerangi kaumnya, dan tidak mungkin pula mereka tinggal bersama di tengah kaumnya dengan keyakinan yang berbeda”.[12] Sehingga cara yang mereka tempuh ialah berlindung di dalam goa[13] dengan harapan dapat mereguk rahmat dan kemudahan dari Allâh Azza wa Jalla .

Tidaklah disangkal, bahwa Allâh Subhanahu wa Ta’ala telah mencurahkan sebagian rahmat-Nya dan memudahkan urusan mereka dengan petunjuk yang lurus dalam urusan mereka. Karenanya, Allâh Subhanahu wa Ta’ala menjaga agama dan fisik mereka, serta menjadikannya termasuk tanda-tanda kekuasaan-Nya di hadapan makhluk. Bahkan tempat untuk tidur mereka, berada dalam pemeliharaan yang tinggi.[14] Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَتَرَى الشَّمْسَ إِذَا طَلَعَتْ تَزَاوَرُ عَنْ كَهْفِهِمْ ذَاتَ الْيَمِينِ وَإِذَا غَرَبَتْ تَقْرِضُهُمْ ذَاتَ الشِّمَالِ وَهُمْ فِي فَجْوَةٍ مِنْهُ ۚ ذَٰلِكَ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ ۗ مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِ ۖ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ وَلِيًّا مُرْشِدًا

Dan kamu akan melihat matahari ketika terbit, condong dari gua mereka ke sebelah kanan, dan bila matahari terbenam menjauhi mereka ke sebelah kiri sedang mereka berada dalam tempat yang luas dalam gua itu. Itu adalah sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Allâh. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allâh, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barangsiapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tidak akan mendapat seorang pemimpin pun yang dapat memberi petunjuk kepadanya. [Al-Al-Kahfi/18:17]

Mereka berada dalam tempat yang luas dari gua itu. Keadaan demikian, supaya hawa dan arus udara mengenai mereka, dan kandungan udara yang buruk dapat keluar. [15]

Peristiwa tersebut termasuk tanda kebesaran Allâh Azza wa Jalla . Para pemuda tersebut mendapat bimbingan Allâh Azza wa Jalla untuk menuju gua tersebut, dan Allâh menjadikan mereka tetap hidup, sinar matahari dan angin mengenai mereka, sehingga fisik mereka tetap terjaga. [16]

Di akhir ayat ini, Allâh Subhanahu wa Ta’ala menyampaikan bahwa Dia-lah yang memberi petunjuk kepada para pemuda itu menuju hidayah di tengah kaum mereka. Siapa saja yang dianugerahi hidayah, sungguh ia telah meraih petunjuk. Dan barang siapa disesatkan, maka tidak ada seorang pun yang sanggup meluruskannya. [17]

Dalam kisah ini tersirat sebuah peringatan, bahwa kita tidak boleh meminta hidayah kecuali hanya kepada Allâh. Begitu pula kita tidak perlu bimbang saat melihat ada orang yang tersesat. Karena kesesatan seseorang itu berada di tangan Allâh Azza wa Jalla . Kita mengimani takdir, tidak murka lantaran melihat kesesatan yang terjadi dari Allâh Azza wa Jalla . Kewajiban kita, mengarahkan mereka yang telah sesat.[18]

ALLAH AZZA WA JALLA MEMELIHARA TUBUH MEREKA

وَتَحْسَبُهُمْ أَيْقَاظًا وَهُمْ رُقُودٌ ۚ وَنُقَلِّبُهُمْ ذَاتَ الْيَمِينِ وَذَاتَ الشِّمَالِ ۖ وَكَلْبُهُمْ بَاسِطٌ ذِرَاعَيْهِ بِالْوَصِيدِ ۚ لَوِ اطَّلَعْتَ عَلَيْهِمْ لَوَلَّيْتَ مِنْهُمْ فِرَارًا وَلَمُلِئْتَ مِنْهُمْ رُعْبًا

Dan kamu mengira mereka itu bangun padahal mereka tidur; dan kami balik-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri, sedang anjing mereka mengunjurkan kedua lengannya di muka pintu gua. Dan jika kamu menyaksikan mereka, tentulah kamu akan berpaling dari mereka dengan melarikan (diri) dan tentulah (hati) kamu akan dipenuhi dengan ketakutan terhadap mereka. [Al-Al-Kahfi/18:18].

Syaikh ‘Abdur-Rahman as-Sa’di rahimahullah mengutip keterangan para Ulama tafsir, beliau rahimahullah mengatakan: “Hal itu karena mata mereka tetap terbuka supaya tidak rusak, sehingga orang yang melihat, menyangka mereka terjaga padahal sedang tidur. Ini juga merupakan pemeliharaan Allâh terhadap tubuh-tubuh mereka. Karena umumnya gesekan bumi mampu menggerogoti tubuh yang bersentuhan dengannya. Di antara ketentuan Allâh Subhanahu wa Ta’ala , Dia membolak-balikkan tubuh mereka ke kanan dan ke kiri,[19] sehingga tidak menyebabkan bumi merusak tubuh mereka, meskipun Allâh Maha Kuasa menjaga tubuh mereka tanpa perlu membolak-balikannya. Akan tetapi, Allâh Maha Bijaksana. Dia ingin memberlakukan sunnah-Nya di alam semesta dan mengaitkan faktor-faktor sebab dan akibat.

Anjing yang menyertai ashhabul kahfi, pun tertidur seperti mereka pada waktu berjaga-jaga. Anjing tersebut mengunjurkan kedua lengannya di muka pintu gua.

Adapun penjagaan mereka dari kalangan manusia, Allâh Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan bahwa mereka dijaga dengan perasaan takut yang Allâh Subhanahu wa Ta’ala tebarkan. Seandainya ada orang melihat mereka, niscaya hatinya akan sarat dengan rasa takut dan lari tunggang langgang. Inilah faktor yang menyebabkan mereka bisa tinggal lama, dan tidak ada seorang pun yang berhasil melacak mereka, padahal keberadaannya dari kota tersebut sangat dekat sekali. Dalil yang menunjukkan dekatnya tempat mereka, yaitu tatkala mereka terbangun, dan salah seorang mengutus temannya agar membeli makanan di kota, sedangkan yang lain menunggu kedatangannya. Ini menunjukkan betapa dekat gua yang mereka tempati dari kota.[20]

BERAPA LAMA MEREKA TINGGAL DI GUA

Ketika Allâh Azza wa Jalla membangunkan mereka dari tidur lelap, mereka saling bertanya dan berselisih tentang sudah berapa lamakah mereka tertidur dalam gua tersebut. Mereka mengira bahwa mereka baru menghabiskan sehari atau setengah hari saja, karena Allâh membangunkan ash-habul kahfi dari tidur panjang mereka, dalam keadaan fisik, rambut dan kulit yang sehat seperti kondisi semula, tanpa mengalami perubahan sedikit pun. [21]

Padahal mereka sudah melewati ratusan tahun, sebagai firman-Nya:

وَلَبِثُوا فِي كَهْفِهِمْ ثَلَاثَ مِائَةٍ سِنِينَ وَازْدَادُوا تِسْعًا

Dan mereka tinggal dalam gua mereka tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun (lagi). [Al-Kahfi/18:25]

Imam ath-Thabari rahimahullah menyebutkan tujuan mereka dibangunkan ialah agar mereka mengetahui betapa agung kekuasaan Allâh, keajaiban perbuatan-Nya atas makhluk ciptaan-Nya, pembelaan-Nya terhadap para wali-Nya, dan supaya mereka semakin mengetahui secara jelas kondisi mereka, yakni keberdaan mereka yang benar-benar berlepas diri dari peribadahan kepada berhala, dan mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allâh semata.[22]

Setelah dibangkitkan dari tidur panjang, mereka mengutus salah seorang diantara mereka untuk membeli makanan yang mereka butuhkan dan tidak lupa mereka berpesan kepada teman yang diutusnya untuk berlaku sopan santun agar tidak memancing kecurigaan kaumnya.

Allâh Azza wa Jalla berfirman.

وَكَذَٰلِكَ أَعْثَرْنَا عَلَيْهِمْ لِيَعْلَمُوا أَنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ وَأَنَّ السَّاعَةَ لَا رَيْبَ فِيهَا إِذْ يَتَنَازَعُونَ بَيْنَهُمْ أَمْرَهُمْ ۖ فَقَالُوا ابْنُوا عَلَيْهِمْ بُنْيَانًا ۖ رَبُّهُمْ أَعْلَمُ بِهِمْ ۚ قَالَ الَّذِينَ غَلَبُوا عَلَىٰ أَمْرِهِمْ لَنَتَّخِذَنَّ عَلَيْهِمْ مَسْجِدًا

Dan demikian (pula) Kami mempertemukan (manusia) dengan mereka, agar manusia itu mengetahui, bahwa janji Allâh itu benar, dan bahwa kedatangan hari Kiamat tidak ada keraguan padanya. Ketika orang-orang itu berselisih tentang urusan mereka, orang-orang itu berkata: “Dirikanlah sebuah bangunan di atas (gua) mereka, Rabb mereka lebih mengetahui tentang mereka”. Orang-orang yang berkuasa atas urusan mereka berkata: “Sesungguhnya kami akan mendirikan sebuah rumah peribadatan di atasnya“. [Al-Kahfi/18:21].

Syaikh Abdur-Rahman as-Sa’di rahimahullah menjelaskan tentang ayat ini, Allâh Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan kalau Dia berkehendak memperlihatkan keadaan ashhabul-kahfi kepada khalayak di masa itu. Kejadian itu –wallahu a’lam– setelah mereka terjaga, dan kemudian mengutus salah seorang di antara mereka untuk membeli makanan. Mereka memerintahkan temannya agar menyamar dan merahasiakan (perkara mereka). Allâh Subhanahu wa Ta’ala berkehendak terhadap satu kejadian yang berisi kemaslahatan bagi orang-orang dan tambahan pahala bagi para pemuda itu. Yaitu, ketika orang-orang menyaksikan salah satu tanda kebesaran- Allâh pada mereka (ash-habul-kahfi) dengan mata mereka sendiri. Sehingga mereka pun menyadari bahwasanya janji Allâh Subhanahu wa Ta’ala benar-benar ada, tidak ada keraguan padanya, juga tidak ada lagi kemustahilan setelah dahulu berselisih tentang urusan para pemuda itu. Sebagian mengakui datangnya janji Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan hari Pembalasan. Sebagian lain meniadakannya. Kemudian Allâh Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kisah ash-habul-kahfi sebagai tambahan ilmu dan keyakinan bagi kaum Mukminin dan hujjah (penggugat) bagi orang-orang yang menentang. Jadilah pahala dalam perkara ini untuk mereka. [23]

Selanjutnya, orang-orang yang berkuasa ingin mendirikan bangunan di atas makam mereka. Kata Abul-Faraj Ibnul-Jauzi rahimahullah , kalangan Ulama tafsir mengatakan, yang dimaksud orang-orang yang memegang kendali urusan para pemuda itu, ialah raja dan bawahan-bawahannya yang Mukmin.[24] Mereka ini berniat untuk membangun tempat peribadahan di tempat makam para pemuda itu. Bangunan tersebut difungsikan untuk beribadah kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala di dalamnya dan mengingat-ingat para pemuda tersebut serta peristiwa yang terjadi pada mereka. Jadi, bukan dari kalangan kaum kuffar, seperti diungkapkan sebagian orang. Karena membangun masjid termasuk sifat kaum Mukminin[25]

Namun perlu diperhatikan bahwa perbuatan tersebut tidak lantas bisa dijadikan landasan untuk melegalkan pembangunan masjid di (sekitar) kuburan, seperti yang terjadi di sebagian negeri kaum Muslimin. Karena Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarangnya dan mencela para pelakunya.

PELAJARAM DARI KISAH INI

Orang yang menyelamatkan agamanya dari fitnah, niscaya Allâh Subhanahu wa Ta’ala akan menyelamatkannya. Seseorang yang bersungguh-sungguh mencari keselamatan, niscaya Allâh Subhanahu wa Ta’ala akan menyelamatkannya. Seseorang yang berlindung kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala , niscaya Allâh akan melindunginya dan menjadikannya sebagai sumber hidayah bagi orang lain. Barang siapa menuai kehinaan di jalan Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan dalam mencari keridhaan-Nya, niscaya kesudahan bagi urusannya adalah kemuliaaan yang agung dari arah yang tidak dia sangka. Dan apa yang ada di sisi Allâh itu lebih baik bagi orang-orang yang patuh.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XVIII/1436H/2015M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079 ]
_______
Footnote
[1] Diringkas dari Rubrik Tafsir Majalah As-Sunnah, Tahun ke XI edisi 4 dan 5

[2] Tafsîrul-Qur`ânil-‘Azhîm (5/146) secara ringkas.

[3] Tafsîrul Qur`ânil ‘Azhîm (5/145), Tafsîr Sûratil-Kahfi, hlm. 22.

[4] Taisîrul-Karîmir-Rahmân, hlm. 471.

[5] Taisîrul-Karîmir-Rahmân, hlm. 471, Tafsîrul-Qur`ânil-‘Azhîm (5/146).

[6] Tafsîrul-Qur`ânil-‘Azhîm (5/146).

[7] Jâmi’ul-Bayân (15/237).

[8] Al-Jâmi’ li Ahkâmil-Qur`ân (10/318).

[9] Tafsîr Sûratil-Kahfi, hlm. 26.

[10] Taisirul-Karîmir-Rahmân, hlm. 472.

[11] Tafsîrul-Qur`ânil-‘Azhîm (5/148).

[12] Taisirul-Karîmir-Rahmân,

[13] Allâh l mengabarkan kisah mereka untuk dipahami dan direnungkan, tanpa memberitahukan letak gua tersebut. Sebab tidak ada faidah dan tujuan syar’i yang berkaitan dengannya. Andaikata penyebutan tempat gua tersebut mengandung maslahat agama, sudah tentu Allâh dan Rasul-Nya menunjukkan tempatnya. Al Hâfizh Ibnu Katsir rahimahullah secara ringkas dalam Tafsîrul-Qur`ânil-‘Azhîm (5/149).

[14] Taisirul-Karîmir-Rahmân, hlm. 472.

[15] Taisirul-Karîmir-Rahmân, hlm. 472.

[16] Tafsîrul-Qur`ânil-‘Azhîm (5/150)

[17] Tafsîrul-Qur`ânil-‘Azhîm (5/150)

[18] Tafsîr Sûratil-Kahfi, hlm. 34.

[19] Kadang-kadang mereka berada di sisi kanan, kadang berada di atas sisi kiri. Allâh tidak menyebutkan punggung dan perut, sebab tidur di sisi kanan atau kiri itu yang paling baik. Dengan cara itu, terjadi keseimbangan aliran darah pada tubuh. Bila tidur hanya dengan satu arah, maka dikhawatirkan bagian atas akan mengalami kekurangan aliran darah. Allâh Subhanahu wa Ta’ala dengan hikmah-Nya membolak-balikan tubuh mereka. Lihat Tafsîr Sûratil-Kahfi, hlm. 35.

[20] Taisîrul-Karîmir-Rahmân, hlm. 472.

[21] Tafsîrul-Qur`ânil-‘Azhîm (4/145).

[22] Jâmi’ul-Bayân (9/265), Tafsîrul-Qur`ânil-‘Azhîm (5/145).

[23] Taisirul-Karîmir-Rahmân, hlm. 504.

[24] Zâdul Masir (3/74).

[25] Adhwâul Bayan 82

Bentuk-Bentuk Kesombongan

Abu Fathan | 18:51 | 0 comments
Sebagian orang menyangka bahwa kesombongan itu letaknya dalam hati saja, sehingga dengan perbuatannya semata-mata seseorang itu tidak bisa dikatakan sombong. Benarkah demikian? Ternyata tidak. Karena walaupun pada asalnya kesombongan itu di dalam hati, akan tetapi bisa memunculkan bentuk-bentuk kesombongan yang dapat diketahui oleh panca indra. Inilah di antara bentuk kesombongan-kesombongan yang harus ditinggalkan:
Takabbur Terhadap Al-Haq

Di antara bentuk kesombongan terburuk adalah menolak kebenaran. Kesombongan ini menyebabkan dia tidak bisa mengambil faedah ilmu dan tidak bisa menerima al-haq serta tidak tunduk kepada al-haq. Terkadang ia meraih pengetahuan, namun jiwanya tidak mau tunduk terhadap al-haq, sehingga ia tidak bisa mendapatkan manfaat dari ilmu yang berhasil dia raih, sebagaimana Allâh Azza wa Jalla memberitakan tentang kaum Fir’aun:

وَجَحَدُوا بِهَا وَاسْتَيْقَنَتْهَا أَنْفُسُهُمْ ظُلْمًا وَعُلُوًّا ۚ فَانْظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُفْسِدِينَ

Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka), padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya. Maka perhatikanlah betapa kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan. [An-Naml/27: 14]

Orang yang takabbur terhadap al-haq –walaupun kebenaran itu datang kepadanya lewat perantara anak kecil atau orang yang dia benci dan musuhi- , maka sebenarnya dia takabbur kepada Allâh Azza wa Jalla , karena Allâh Azza wa Jalla adalah al-Haq, perkataan-Nya adalah haq, agama-Nya haq, al-haq merupakan sifat-Nya, dan al-haq itu berasal dari-Nya dan untuk-Nya. Jika seseorang menolak al-haq, enggan menerimanya, maka sesungguhnya dia menolak Allâh Azza wa Jalla dan takabbur terhadap-Nya. Dan barangsiapa takabbur terhadap Allâh Azza wa Jalla , niscaya Allâh Azza wa Jalla akan menghinakannya.

Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Menolak al-haq yaitu seseorang menolak kebenaran berdasarkan penilaian dirinya dan fikirannya. Dia melihat bahwa dirinya lebih besar dari kebenaran. Tandanya adalah seseorang yang didatangkan kepadanya dalil-dalil dari al-Kitab dan as-Sunnah, tetapi dia tidak menerima, bahkan dia terus mengikuti pendapatnya, maka ini adalah sebentuk penolakan terhadap kebenaran. Banyak orang hanya membela dirinya, jika dia telah berpendapat dengan satu pendapat, tidak mungkin dia meninggalkannya, walaupun dia tahu pendapatnya itu menyelisihi kebenaran. Sikap ini sesungguhnya menyelisihi agama dan akal. Yang wajib adalah seseorang itu kembali mengikuti kebenaran, di manapun ia dapati, walaupun kebenaran itu menyelisihi pendapatnya. Sesungguhnya sikap ini lebih mulia baginya di sisi Allâh dan di sisi manusia, serta lebih menyelamatkannya. Janganlah engkau menyangka, jika engkau meninggalkan pendapatmu menuju kebenaran, itu akan merendahkan kedudukanmu di kalangan manusia, namun justru itu akan meninggikan kedudukanmu, dan mansuia akan mengetahui bahwa engkau hanya mengikuti kebenaran. Adapun orang yang menentang, dan terus mengikuti pendapatnya, serta menolak kebenaran, maka ini adalah orang yang sombong. Kita berlindung kepada Allâh Azza wa Jalla.” [Diringkas dari Syarah Riyâdhus Shâlihîn, bab: Keharaman Kesombongan dan ujub]
Takabbur Terhadap Manusia.

Yaitu seseorang memandang dirinya di atas manusia lainnya, sehingga dia menganggap dirinya besar dan meremehkan yang lain. Kesombongan ini akan mendorong kepada kesombongan terhadap perintah Allâh Azza wa Jalla . Sebagaimana kesombongan Iblis terhadap nabi Adam Alaihissallam mendorongnya untuk enggan melaksanakan perintah Allâh untuk sujud kepada Adam Alaihissallam. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

فَسَجَدَ الْمَلَائِكَةُ كُلُّهُمْ أَجْمَعُونَ ﴿٧٣﴾ إِلَّا إِبْلِيسَ اسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ ﴿٧٤﴾ قَالَ يَا إِبْلِيسُ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ ۖ أَسْتَكْبَرْتَ أَمْ كُنْتَ مِنَ الْعَالِينَ ﴿٧٥﴾ قَالَ أَنَا خَيْرٌ مِنْهُ ۖ خَلَقْتَنِي مِنْ نَارٍ وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِينٍ

Lalu seluruh malaikat-malaikat itu bersujud semuanya, kecuali Iblis; dia menyombongkan diri dan adalah dia termasuk orang-orang yang kafir. Allâh berfirman, “Hai Iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi?”. Iblis berkata: “Aku lebih baik daripadanya, karena Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah”. [Shaad/38: 73-76]
Kesombongan Dengan Pakaian.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ قَالَ أَبُو بَكْرٍ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَحَدَ شِقَّيْ إِزَارِي يَسْتَرْخِي إِلَّا أَنْ أَتَعَاهَدَ ذَلِكَ مِنْهُ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَسْتَ مِمَّنْ يَصْنَعُهُ خُيَلَاءَ

Barangsiapa menyeret pakaiannya dengan sebab sombong, Allâh tidak akan melihatnya pada hari kiamat. Lalu Abu Bakar berkata, “Sesungguhnya terkadang salah satu sisi sarungku turun, kecuali jika aku menjaganya”. Maka Nabi bersabda, “Engkau tidak termasuk orang yang melakukannya dengan sebab sombong”. [HR. Al–Bukhâri dan lainnya dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma]
Kesombongan Dengan Perbuatan.

Kesombongan dengan perbuatan bisa berupa memalingkan wajahnya dari manusia, berjalan dengan berlagak, dan lainnya. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ

Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allâh tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. [Luqmân/31: 18]

Bahaya Kesombongan

Abu Fathan | 18:49 | 0 comments
Sesungguhnya bahaya kesombongan itu sangat besar, banyak orang binasa karenanya. Diantara bahaya kesombongan adalah kesombongan merupakan dosa pertama yang dilakukan makhluk. Kesombongan adalah dosa pertama yang dilakukan Iblis. Allâh Ta’ala berfirman:

وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ أَبَىٰ وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ

Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para Malaikat, “Sujudlah kamu kepada Adam!,” Maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir. [Al-Baqarah/2: 34]

Diantara bahaya kesombongan juga adalah neraka menjadi tempat kembali mereka, sebagaimana ketika Allâh Azza wa Jalla menyebutkan sifat sombong orang-orang kafir dalam firman-Nya:

قِيلَ ادْخُلُوا أَبْوَابَ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا ۖ فَبِئْسَ مَثْوَى الْمُتَكَبِّرِينَ

Masukilah pintu-pintu neraka Jahannam itu, sedang kamu kekal di dalamnya”. Maka neraka Jahannam itulah seburuk-buruk tempat bagi orang-orang yang menyombongkan diri. [Az-Zumar/39:72]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ أَهْلَ النَّارِ كُلُّ جَعْظَرِيٍّ جَوَّاظٍ مُسْتَكْبِرٍ جَمَّاعٍ مَنَّاعٍ وَأَهْلُ الْجَنَّةِ الضُّعَفَاءُ الْمَغْلُوبُونَ

Sesungguhnya penduduk neraka adalah semua orang yang kasar lagi keras, orang yang bergaya sombong saat berjalan, orang yang bersombong, orang yang banyak mengumpulkan harta, orang yang sangat bakhil. Adapun penduduk surga adalah orang-orang yang lemah dan terkalahkan. [Hadits Shahih Riwayat Ahmad, 2/114; al-Hâkim, 2/499]

Mereka akan merasakan berbagai macam siksaan di neraka Jahannam, akan diliputi kehinaan dari berbagai sisi, dan akan diminumi nanah penduduk neraka. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يُحْشَرُ الْمُتَكَبِّرُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَمْثَالَ الذَّرِّ فِي صُوَرِ الرِّجَالِ يَغْشَاهُمْ الذُّلُّ مِنْ كُلِّ مَكَانٍ فَيُسَاقُونَ إِلَى سِجْنٍ فِي جَهَنَّمَ يُسَمَّى بُولَسَ تَعْلُوهُمْ نَارُ الْأَنْيَارِ يُسْقَوْنَ مِنْ عُصَارَةِ أَهْلِ النَّارِ طِينَةَ الْخَبَالِ

Pada hari kiamat orang-orang yang sombong akan digiring dan dikumpulkan seperti semut kecil, di dalam bentuk manusia, kehinaan akan meliputi mereka dari berbagai sisi. Mereka akan digiring menuju sebuah penjara di dalam Jahannam yang namanya Bulas. Api neraka yang sangat panas akan membakar mereka. Mereka akan diminumi nanah penduduk neraka, yaitu thinatul khabal (lumpur kebinasaan). [Hadits Hasan. Riwayat al-Bukhâri dalam al-Adabul Mufrad, no. 557; Tirmidzi, no. 2492; Ahmad, 2/179; dan Nu’aim bin Hammad dalam Zawâ‘id Az-Zuhd, no. 151]

Hakekat Kesombongan

Abu Fathan | 18:47 | 0 comments
Kesombongan (al-kibr) adalah melihat diri sendiri melebihi al-haq (kebenaran) dan al-khalq (makhluk; orang lain). Jadi, orang yang sombong melihat dirinya di atas orang lain dalam sifat kesempurnaan.

Kesombongan ada dua yaitu kesombongan terhadap al-haq (kebenaran), dan kesombongan terhadap al-khalq (makhluk/manusia).

Seorang manusia, tatkala melihat dan menganggap dirinya besar atau mulia, dia akan menganggap orang lain kecil dan merendahkannya. Dia akan memandang al-haq (kebenaran) akan menghancurkan kedudukannya dan mengecilkan posisinya. Dan dia melihat manusia lainnya seolah-olah binatang, karena dianggap bodoh dan hina. [Lihat at-Tawâdhu’ fî Dhauil Qur’ânil Karîm was Sunnah ash-Shahîhah, hlm. 35, karya syaikh Salîm bin ‘Ied al-Hilâli]

Dalam hadits, Rasûlullâh n telah menjelaskan makna kesombongan:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ عَنِ النَّبِىِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِى قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ. قَالَ رَجُلٌ إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً. قَالَ : إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ.

Dari Abdullah bin Mas’ûd, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak akan masuk surga orang yang ada kesombongan seberat biji sawi di dalam hatinya.” Seorang laki-laki bertanya, “Sesungguhnya semua orang senang bajunya bagus, sandalnya bagus, (apakah itu kesombongan?”) Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Sesungguhnya Allâh Maha Indah dan menyintai keindahan. Kesombongan adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia”. 
[HR. Muslim, no. 2749]

Dakwah Bukan Kerja Sambilan

Abu Fathan | 10:48 | 0 comments
Mengajak manusia menuju jalan Allah bukan pekerjaan mudah. Berdakwah bukan pekerjaan sampingan atau pengisi waktu senggang yang bisa dikerjakan seenaknya. Dakwah adalah tugas agung dan pekerjaan yang mulia.


Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَمَنۡ أَحۡسَنُ قَوۡلٗا مِّمَّن دَعَآ إِلَى ٱللَّهِ وَعَمِلَ صَٰلِحٗا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ ٱلۡمُسۡلِمِينَ ٣٣

Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh dan berkata, “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?” (Fushshilat: 33)
Dakwah adalah pekerjaan berat yang harus ditempuh dengan penuh keikhlasan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَمَآ أُمِرُوٓاْ إِلَّا لِيَعۡبُدُواْ ٱللَّهَ مُخۡلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ حُنَفَآءَ وَيُقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤۡتُواْ ٱلزَّكَوٰةَۚ وَذَٰلِكَ دِينُ ٱلۡقَيِّمَةِ ٥

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan itulah agama yang lurus. (al-Bayyinah: 5)
Dakwah adalah tugas suci yang dibangun di atas bashirah (hujah yang nyata/ilmu). Allah subhanahu wa ta’alaberfirman,

قُلۡ هَٰذِهِۦ سَبِيلِيٓ أَدۡعُوٓاْ إِلَى ٱللَّهِۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا۠ وَمَنِ ٱتَّبَعَنِيۖ وَسُبۡحَٰنَ ٱللَّهِ وَمَآ أَنَا۠ مِنَ ٱلۡمُشۡرِكِينَ ١٠٨

Katakanlah, “Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujah yang nyata.” (Yusuf: 108)
Dakwah juga harus dilakukan di atas hikmah, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala.

ٱدۡعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِٱلۡحِكۡمَةِ وَٱلۡمَوۡعِظَةِ ٱلۡحَسَنَةِۖ

“Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (an-Nahl: 125)
Apabila dakwah dilakukan semata-mata mencari wajah Allah subhanahu wa ta’ala, di atas ilmu, dan sesuai dengan metode Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallaminsya Allah dakwah akan membuahkan hasil, sebagaimana halnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau menuai hasil yang membahagiakan dan menyejukkan pandangan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

إِذَا جَآءَ نَصۡرُ ٱللَّهِ وَٱلۡفَتۡحُ ١  وَرَأَيۡتَ ٱلنَّاسَ يَدۡخُلُونَ فِي دِينِ ٱللَّهِ أَفۡوَاجٗا ٢ فَسَبِّحۡ بِحَمۡدِ رَبِّكَ وَٱسۡتَغۡفِرۡهُۚ إِنَّهُۥ كَانَ تَوَّابَۢا ٣

“Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, bertasbihlah dengan memuji Rabbmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima tobat.” (an-Nashr:1—3)
Sayang, sebagian orang menyangka bahwa dakwah hanyalah memerintah, melarang, mengajak, atau mencegah, tanpa memedulikan sisi hikmah dalam hal metodologi penyampaian, memahami kondisi kejiwaan mad’u, atau sisi lain yang selalu diperhatikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kondisi semacam ini seringkali menyebabkan manusia lari dari agama dan dakwah, benci terhadap sunnah, atau antipati terhadap para penyerunya. Di sisi lain, hal seperti ini yang dicaricari oleh musuh Islam. Mereka selalu mengintai untuk mencari celah guna memojokkan dakwah salafiyah, dakwah Ahlus Sunnah wal Jamaah.

Banjir Nabi Nuh Terjadi Di Seluruh Dunia

Abu Fathan | 18:27 | 0 comments
Allah menurunkan banjir sampai-sampai gunung yang tinggi tidak bisa menjadi tempat berlindung. Salah satu Anak Nabi Nuh tidak bisa selamat dari banjir padahal ia berlindung di atas gunung.
Allah Ta’ala berfirman,
 هِيَ تَجْرِي بِهِمْ فِي مَوْجٍ كَالْجِبَالِ وَنَادَى نُوحٌ ابْنَهُ وَكَانَ فِي مَعْزِلٍ يَا بُنَيَّ ارْكَبْ مَعَنَا وَلا تَكُنْ مَعَ الْكَافِرِينَ قَالَ سَآوِي إِلَى جَبَلٍ يَعْصِمُنِي مِنَ الْمَاءِ قَالَ لا عَاصِمَ الْيَوْمَ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ إِلا مَنْ رَحِمَ وَحَالَ بَيْنَهُمَا الْمَوْجُ فَكَانَ مِنَ الْمُغْرَقِينَ
Dan bahtera itu berlayar membawa mereka dalam gelombang laksana gunung. Dan Nuh memanggil anaknya sedang anak itu berada di tempat yang jauh terpencil: “Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir.” Anaknya menjawab: “Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari air bah!” Nuh berkata: “Tidak ada yang melindungi hari ini dari azab Allah selain Allah (saja) Yang Maha Penyayang”. Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya; maka jadilah anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan” (Huud : 42-43).
Seluruh orang kafir yang tidak beriman di muka bumi akan terkena banjir sehingga tidak tersisa sedikit pun, sebagaimana doa nabi Nuh:
وَقَالَ نُوحٌ رَبِّ لا تَذَرْ عَلَى الأرْضِ مِنَ الْكَافِرِينَ دَيَّارًا
Nuh berkata: “Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorang pun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi” (Nuh : 26).
Semua yang tersisa di bumi yaitu yang tidak naik perahu nabi Nuh tenggelam. Allah berfirman,
فَأَنْجَيْنَاهُ وَمَنْ مَعَهُ فِي الْفُلْكِ الْمَشْحُونِ * ثُمَّ أَغْرَقْنَا بَعْدُ الْبَاقِينَ
Maka Kami selamatkan Nuh dan orang-orang yang besertanya di dalam kapal yang penuh muatan. Kemudian sesudah itu Kami tenggelamkan orang-orang yang tersisa.” (Asy-Syuara 119-120).
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. BERITA SUNNAH - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger