{قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ ويَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ، وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ}

Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah (sunnah/petunjuk)ku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS Ali ‘Imran:31)

Jalan Yang Menyimpang Dari Ahlus Sunnah

Abu Fathan | 18:31 | 0 comments
Jalan yang ditempuh oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam masalah nama-nama Allâh Azza wa Jalla dan sifat-sifat-Nya adalah:
mengimani semua yang ditetapkan oleh Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya untuk diri Allâh dan menetapkannya dengan bentuk yang sesuai dengan keagungan-Nya
meniadakan apa yang ditiadakan oleh Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya dari diri-Nya, dengan meyakini kesempurnaan lawan sifat yang ditiadakan itu.
meyakini bahwa semua sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla itu adalah sifat yang hakiki, bukan majaz (kiasan).

Akan tetapi sebagian manusia mengikuti jalan-jalan yang menyimpang dalam masalah ini. Maka tulisan berikut ini adalah penjelasan tentang jalan-jalan yang menyimpang dari jalan yang haq tersebut.

TAHRIF

Tahrîf artinya merubah. Maksudnya merubah lafazh nash atau maknanya. Berdasarkan ini, tahrîf dibagi menjadi dua:

1. Tahrîful Lafzhi

Yaitu merubah lafazh nash, dengan cara merubah kata, huruf atau merubah harakat.

Merubah harakat bisa merubah makna, seperti yang dilakukan sebagian orang menyimpang yang merubah firman Allâh Azza wa Jalla:

كَلَّمَ اللَّهُ مُوسَىٰ تَكْلِيمًا

Dan Allâh telah berbicara kepada Musa dengan langsung. [An-Nisa’/4: 164]

Lafazh “Allâhu” yang berarti Allâh sebagai subyek yang berbicara, dirubah menjadi “Allâha” yang berarti Allâh sebagai obyek yang mendengar pembicaraan dari Nabi Musa Alaihissallam.

Imam Ibnu Khuzaimah rahimahullah menerangkan bahwa sebagian ahli bid’ah di zamannya merubah firman Allâh Azza wa Jalla :

اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ

Allâh (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. [An-Nûr/24:35]

Mereka merubahnya menjadi:

اللَّهُ نَوَّرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ

Allâh menerangi langit dan bumi.

Lalu beliau menulis surat nasehat kepadanya dan mengantarkan surat itu bersama sebagian sahabatnya. Setelah itu, beliau mendengar berita bahwa ahli bid’ah itu bertaubat. [Kitab at-Tauhîd, 1/78-79, karya imam Ibnu Khuzaimah]

2. Tahrîful Makna (merubah makna nash).

Yaitu memalingkan makna lafazh dari makna zhahirnya tanpa dalil, seperti:

Merubah makna “yadullâh” yang seharusnya “tangan Allâh” dirubah menjadi kekuatan atau nikmat.

Merubah makna “istiwa’ Allâh” yang seharusnya “Allâh Azza wa Jalla bersemayam” dirubah menjadi istila’ Allâh (Allâh menguasai).

Merubah makna “tertawa Allâh” dengan pahala.

Dan lainnya, sebagaimana dilakukan oleh golongan Asy’ariyyah dan lainnya. Ini semua merupakan ilhâd (penyelewengan) terhadap ayat-ayat Allâh Azza wa Jalla . Yang benar adalah menetap sifat-sifat Allâh dengan tanpa menyerupakannya dengan sifat makhluk.

Mereka menyebut perbuatan mereka yang merubah makna ini dengan istilah ta’wîl (memalingkan makna rajih kepada makna marjuh), tetapi sebenarnya perbuatan mereka ini adalah tahrîf (melakukan perubahan) terhadap ayat-ayat Allâh Azza wa Jalla .

Karena ta’wîl yang benar harus ada dalil siyaq (petunjuk rangkaian kalimat) atau qarînah (tanda atau indikasi) yang mengharuskannya. Kalâmullâh adalah petunjuk, maka jika Allâh Subhanahu wa Ta’ala menghendaki maksud perkataan yang tidak sama dengan zhahirnya, pasti ada tanda-tanda yang menunjukkan makna yang berbeda dengan zhahirnya. Jika tidak, maka akan menjerumuskan pendengar kepada kerancuan dan kesalahan.

Ta’wil yang benar adalah memberitakan maksud pembicara, bukan membuat kalimat baru! Jika dikatakan “makna kalimat ini adalah demikian”, padahal kenyataan tidak sebagaimana yang dikatakan, maka ini merupakan penyelewengan terhadap maksud perkataan pembicara. Ini adalah kesalahan nyata.

Semua bentuk tahrîf merupakan kesesatan, karena Allâh Azza wa Jalla mencela perbuatan ahlul kitab yang melakukan tahrîf (perubahan) terhadap kitab mereka. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

مِنَ الَّذِينَ هَادُوا يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ عَنْ مَوَاضِعِهِ

Yaitu orang-orang Yahudi, mereka mengubah perkataan dari tempat-tempatnya. [An-Nisa’/4: 46]

Ketika Allâh Azza wa Jalla memrintahkan Bani Israil untuk memasuki Palestina dengan mengatakan “hith-thah” (Artinya: Ampunlah kami), kemudian mereka melakukan tahrîf (perubahan) dengan menambah huruf nun, sehingga menjadi “hinthah” (artinya sebiji gandum), maka Allâh Azza wa Jalla pun menghukum mereka. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

فَبَدَّلَ الَّذِينَ ظَلَمُوا قَوْلًا غَيْرَ الَّذِي قِيلَ لَهُمْ فَأَنْزَلْنَا عَلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا رِجْزًا مِنَ السَّمَاءِ بِمَا كَانُوا يَفْسُقُونَ

Lalu orang-orang yang zhalim mengganti perintah dengan (mengerjakan) yang tidak diperintahkan kepada mereka. Sebab itu Kami timpakan atas orang-orang yang zhalim itu dari langit, karena mereka berbuat fasik.[Al-Baqarah/2: 59]

TA’THIL

Ta’thîl secara bahasa artinya: mengosongkan, meniadakan, membiarkan. Adapun secara istilah, ta’thîl adalah mengingkari nama-nama dan sifat-sifat Allâh, baik mengingkari sebagian atau seluruhnya. Ta’thîl terbagi menjadi dua:

1. Ta’thîl kulliy yaitu mengingkari seluruh nama-nama dan sifat-sifat Allâh, seperti ta’thîl yang dilakukan golongan Jahmiyah.

2. Ta’thîl juz’iy, yaitu mengingkari dan menta’wil (merubah makna) sebagian sifat-sifat Allâh, seperti yang dilakukan golongan Asy’ariyyah. Golongan Asy’ariyah ini menetapkan sebagian sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla . Sifat-sifat yang mereka tetapkan awalnya ada tujuh, yaitu: qudrah (berkuasa), irâdah (berkehendak), ilmu, hayat (hidup), sama’(mendengar), bashar (melihat), kalam (berbicara). Kemudian sebagian mereka menambahkan enam sifat lagi, yaitu: wujud (ada), qidam (ada sejak dahulu), baqa’ (kekal), mukhâlafatu lil hawâdits (berbeda dengan makhluk), qiyâmuhu bi nafsihi (berdiri sendiri), dan wahdaniyah (esa). Sehingga berjumlah 13 sifat, yang disebut dengan istilah 13 sifat wajib bagi Allâh Azza wa Jalla . Kemudian sebagian mereka menambah lagi dengan tujuh dari makna tujuh sifat yang pertama itu, sehingga sebagian mereka meyakininya dan menamainya dengan istilah sifat dua puluh Allâh. Semua ini ditetapkan berdasarkan akal. Karenanya, metode ini menyelisihi jalan Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang menetapkan sifat-sifat Allâh berdasarkan wahyu.

Pertama kali yang dikenal melakukan ta’thîl dari umat ini adalah Ja’ad bin Dirham, kemudian diikuti oleh orang-orang setelahnya.

Perbuatan ta’thîl ini merupakan kesesatan, karena tidak mengimani perkara yang diberitakan oleh Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya. Padahal Allâh Azza wa Jalla yang paling mengetahui tentang diri-Nya sendiri, dan perkataan Allâh adalah perkataan yang paling benar dan paling baik dibandingkan perkataan makhluk-Nya.

Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَنْ أَصْدَقُ مِنَ اللَّهِ حَدِيثًا

Dan siapakah orang yang lebih benar perkataan(nya) dari pada Allâh? [An-Nisa’/4: 87]

Kalau demikian, maka bagaimana perkataan Allâh dan RasulNya diingkari? [Lihat Syarah al-Aqîdah al-Wâsithiyah, hlm. 18, Syaikh al-Barrak]

TAKYIF

Takyîf artinya menceritakan bentuk sifat Allâh Azza wa Jalla . Seperti perkataan orang, “Bentuk tangan Allâh adalah demikian” atau saat menjelaskan tentang Allâh Azza wa Jalla itu turun, “Cara turun Allâh ke langit dunia adalah demikian”. Maha Suci Allâh dari perkataan mereka.

Takyîf ini adalah usaha yang dilakukan untuk menggambarkan hakekat sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla . Perbuatan ini tidak benar, karena akal manusia tidak mungkin memahami hakekat sifat Allâh dengan sempurna, yang dipahami hanyalah makna sifat, hanya Allâh yang mengetahui hakekat dari sifat-sifat-Nya. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ ۖ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ ۗ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ ۗ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ

Dia-lah yang menurunkan al-Kitab (al-Quran) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamât, itulah pokok-pokok isi al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyâbihât. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyâbihât untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allâh. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata, “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyâbihât, semuanya itu dari sisi Rabb kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal. [Ali ‘Imrân/3: 7]

Ayat yang muhkamât ialah ayat-ayat yang terang dan tegas maksudnya, dapat dipahami dengan mudah. Sedangkan mutasyâbihât yaitu ayat-ayat mutasyâbihât yaitu ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian dan tidak dapat ditentukan arti mana yang dimaksud kecuali sesudah diselidiki secara mendalam; atau ayat-ayat yang pengertiannya hanya Allâh Azza wa Jalla yang mengetahui seperti ayat-ayat yang berhubungan dengan yang perkara-perkara ghaib, misalnya ayat-ayat mengenai hari kiamat, surga, neraka dan lain-lain.

Sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla termasuk perkara ghaib, maka yang mengetahui hakekatnya hanya Allâh Subhanahu wa Ta’ala , sehingga manusia tidak boleh menggambarkan hakekat sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla .

Jika ada orang bertanya:
Bagaimana cara Allâh istiwa’ (berada) di atas arsy?
Bagaimana bentuk wajah Allâh?
Bagaimana bentuk tangan Allâh?
Bagaimana cara Allâh berbicara?

Dan pertanyaan-pertanyaan yang sejenis, maka tidak ada seorang pun yang bisa menjawabnya. Karena semua yang ditanyakan di atas termasuk perkara ghaib yang tidak mungkin diketahui kecuali oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَلَا يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ إِلَّا بِمَا شَاءَ 

dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allâh melainkan apa yang dikehendaki-Nya. [Al-Baqarah/2:255) (Lihat Syarah al-Aqîdah al-Wâsithiyah, 2/8, Syaikh Khalid al-Mushlih]

TAMTSIL

Tamtsîl (tasybîh) artinya menyerupakan sifat Allâh Azza wa Jalla dengan sifat makhluk. Seperti mengatakan, “Tangan Allâh seperti tangan manusia”, Maha Suci Allâh dari perkataan mereka.

Banyak nash yang menolak keserupaan Allâh Azza wa Jalla dengan makhluk-Nya yang dengan tegas menyatakan bahwa Allâh Azza wa Jalla tidak sama dengan makhluk-Nya. Oleh karena itu, kita wajib menetapkan sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla dengan tidak menyerupakan dengan sifat makhluk-Nya. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat. [Asy-Syûra/42: 11]

Allâh Azza wa Jalla juga berfirman:

وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ

dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia. [Al-Ikhlâs/112: 4]

فَلَا تَضْرِبُوا لِلَّهِ الْأَمْثَالَ ۚ إِنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

Maka janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allâh. Sesungguhnya Allâh mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. [An-Nahl/16: 74]

رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا فَاعْبُدْهُ وَاصْطَبِرْ لِعِبَادَتِهِ ۚ هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيًّا

Rabb (yang menguasai) langit dan bumi dan apa-apa yang ada di antara keduanya, maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadat kepada-Nya. Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)? [Maryam/19: 65]

فَلَا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allâh, padahal kamu mengetahui. [Al-Baqarah/2: 22]

Semua dalil di atas menunjukkan bahwa tidak ada apapun atau siapapun yang menyamai Allâh Azza wa Jalla , baik pada dzat-Nya, nama-Nya, sifat-Nya atau perbuatan-Nya.

TAWFIDH

Tafwîdh secara bahasa artinya menyerahkan. Tafwîdh ada dua:

1. Tafwîdhul kaif

yaitu menyerahkan hakekat sifat kepada Allâh Azza wa Jalla . Ini adalah jalan Ahlus Sunnah. Ini adalah tafwîdh yang terpuji, sebagaimana telah masyhur perkataan imam Malik rahimahullah :

الِاسْتِوَاءُ غَيْرُ مَجْهُولٍ وَالْكَيْفُ غَيْرُ مَعْقُولٍ وَالْإِيمَانُ بِهِ وَاجِبٌ وَالسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ

Istiwa’ (berada di atas) maknanya telah diketahui, kaifiyahnya (hakekatnya) tidak bisa dinalar, beriman kepadanya merupakan kewajiban, dan bertanya tentangnya merupakan bid’ah. (Lihat Majmû’ Fatâwâ, 5/41, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah)

Perkataan “Istiwa’ (berada di atas) maknanya telah diketahui”, ini menunjukkan keimanan dan penetapan sifat Allâh Azza wa Jalla .

Perkataan “kaifiyahnya (hakekatnya) tidak dapat dinalar”, ini menolak tamtsîl (menyamakan sifat Allâh dengan makhluk), dan menyerahkan hakekat sifat Allâh kepada-Nya. Ini tafwidh yang terpuji.

2. Tafwîdhul makna

Yaitu menyerahkan makna sifat kepada Allâh Azza wa Jalla dan menganggap bahwa yang mengetahui makna sifat Allâh Azza wa Jalla hanya Allâh. Sehingga orang yang berpemahaman tafwîdh ini tidak menetapkan adanya sifat bagi Allâh Azza wa Jalla .

Sebagian orang menyangka bahwa jalan Salaf adalah tafwîdhul makna. Ini tidak benar. Barangsiapa menisbatkan tafwîdh ini kepada Salaf, maka hakekatnya adalah tajhîl (menisbatkan kebodohan) kepada Salaf. Ini merupakan perkara yang sangat serius.

Syaikhul Islam rahimahullah menjelaskan bahwa di antara orang-orang yang menyelisihi jalan Muhajirin dan Anshâr adalah ahlut tajhîl. Beliau rahimahullah menyatakan, “Ahlut tajhîl banyak berasal dari kalangan orang-orang yang menisbatkan kepada Sunnah dan mengikuti Salaf. Mereka mengatakan, ‘Sesungguhnya Rasûlullâh Shallallahu ‘aliahi wa sallam tidak mengetahui makna-makna ayat-ayat sifat yang diturunkan oleh Allâh kepada Beliau Shallallahu ‘aliahi wa sallam , Jibril juga tidak mengetahui makna-makna ayat-ayat sifat itu, juga orang-orang yang pertama-tama masuk Islam juga tidak mengetahuinya’. Perkataan mereka terhadap hadits-hadits sifat juga seperti itu, “Sesungguhnya tidak ada yang mengetahui maknanya selain Allâh”. Padahal Rasûlullâh Shallallahu ‘aliahi wa sallam yang membicarakan pertama kali, maka berdasarkan perkataan mereka, Nabi Shallallahu ‘aliahi wa sallam telah berbicara dengan perkataan yang beliau tidak mengetahui maknanya!” [Majmû’ Fatâwâ, 5/34]

Oleh karena itu Syaikhul Islam rahimahullah berkata, “Mereka keliru dalam menisbatkan kebodohan kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘aliahi wa sallam dan Salaf”. [Majmû’ Fatâwâ, 5/38]

Sesungguhnya para Sahabat Nabi memahami makna ayat-ayat al-Qur’an yang memberitakan tentang sifat-sifat Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Makna ayat itu diketahui dengan gamblang, karena al-Qur’an adalah perkataan Allâh dengan bahasa Arab yang fashîh (jelas maknanya), orang yang mendengarnya bisa memahaminya. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَلَوْ جَعَلْنَاهُ قُرْآنًا أَعْجَمِيًّا لَقَالُوا لَوْلَا فُصِّلَتْ آيَاتُهُ ۖ أَأَعْجَمِيٌّ وَعَرَبِيٌّ

Dan jikalau Kami jadikan al-Quran itu suatu bacaan dalam bahasa selain Arab, tentulah mereka mengatakan, “Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya?” Apakah (patut al-Quran) dalam bahasa asing sedang (rasul adalah orang) Arab? [Fushshilat/41: 44]

Allâh tidak berbicara kepada kita dengan perkataan yang tidak bisa diPahami, bahkan perkataan merupakan petunjuk dan penjelasan segala perkara yang dibutuhkan oleh manusia. Oleh karena itu, Allâh Subhanahu wa Ta’ala mencela orang-orang yang tidak memahami makna-makna Al-Qur’an, sebagaimana firman-Nya:

أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ ۚ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا

Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Quran? Kalau kiranya al-Quran itu bukan dari sisi Allâh, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. [An-Nisa’/4: 82]

Setelah kita memahami jalan Ahlus Sunnah dan jalan-jalan yang menyimpang, maka semoga Allâh selalu mengokohkan kita di atas jalan kebenaran dan menyelamatkan kita dari jalan-jalan kesesatan. Aamiin.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02-03/Tahun XX/1437H/2016M.]
_______
Footnote
Disadur oleh Abu Isma’il Muslim al-Atsari dari kitab Tashîl al-‘Aqîdah al-Islâmiyyah, hlm. 96-100, penerbit: Darul ‘Ushaimi lin nasyr wa tauzi’, karya Prof. Dr. Abdullah bin Abdul ‘Aziz bin Hammaadah al-Jibrin dan beberapa rujkan yang lain.

Pendukung Dan Penghalang Dari Taubat

Abu Fathan | 08:49 | 0 comments
Taubat dari dosa dan kesalahan menjadi keinginan banyak orang yang beriman kepada Allah Azza wa Jalla dan hari akhir. Keinginan ini terkadang menguat dan terkadang melemah bahkan hilang sama sekali. Ini tentu disebabkan oleh banyak faktor. Ketika faktor pendukung taubat itu ada dan banyak, maka keinginan untuk bertaubat akan menguat. Sebaliknya, jika faktor penghalangnya dominan, maka keinginan taubat akan meredup bahkan padam. Apa saja yang mendukung ? Dan apa yang menghalang?

HAL-HAL YANG MENDUKUNG SESEORANG UNTUK BERTAUBAT

Kewajiban bertaubat adalah kewajiban dan kebutuhan setiap orang. Tidak mungkin, ada orang yang tidak membutuhkan taubat. Karena, setiap orang pasti pernah melakukan kesalahan. Seandainya pun dia tidak pernah berbuat maksiat dengan anggota badannya, tapi hatinya mungkin pernah memiliki ham (kecendrungan kuat) untuk melakukan dosa. Kalaupun hatinya tidak pernah seperti itu, maka dia tidak akan pernah lepas dari syaitan yang terus berusaha memalingkannya dari dzikrullah. Seandainya dia tidak pernah terpengaruh bisikan syaitan, maka pasti dia pernah lalai, kurang menyadari akan Allâh Azza wa Jalla , sifat-sifat-Nya dan perbuatan-Nya.

Oleh karena itu, setiap orang memerlukan taubat dan kembali dari kesalahan-kesalahannya menuju jalan yang lurus. Lalu, apa saja yang bisa menolong seseorang dalam usahanya untuk bertaubat?

Yang bisa membantu seseorang dalam bertaubat:

1. Jika memungkinkan, ia melaksanakan ibadah-ibadah yang luput darinya di masa-masa yang telah lewat (misalnya, mengqadha’ ibadah-ibadah yang telah lewat-red).

2. Bergegas menuju Allâh Azza wa Jalla dan melakukan ketaatan dalam rangka mencari ridha-Nya, merenungi keagungan Rabbnya, keagungan ridha-Nya dan betapa dahsyat murka-Nya. Juga terus berusaha merenungi janji-janji Allâh Azza wa Jalla buat orang-orang yang taat kepada-Nya serta ancaman-Nya terhadap orang-orang yang berani melakukan perbuatan maksiat. Dengan ini, hatinya akan bersinar dan akan kembali kepada fitrahnya.

3. Bergegas melakukan muhasabah (introsfeksi) diri dan tidak menunda-nundanya. Yaitu dengan mengingat kesalahan-kesalahan yang telah diperbuatnya dimasa lampau akibat mengikuti hawa nafsunya. Dan dia meyakini bahwa mentaati hawa nafsu hanya akan mengakibatkan kebinasaan pada hari kiamat dan kehinaan dalam kehidupan dunia, serta meyakini bahwa dengan tidak mengikuti hawa nafsu, dia akan selamat di akhirat dan memliki izzah (harga diri) dalam kehidupan dunia.

Dengan kesadaran ini, dia akan bertekad untuk mendidik jiwanya, terus-menerus berusaha untuk mengekangnya, mencela keburukannya, mengingatkannya serta berusaha mengingatkannya agar tidak melupakan Rabbnya yang pasti dia akan kembali kepada-Nya

4. Menjauh dari tempat-tempat maksiat juga teman-teman yang buruk selama mereka masih tetap berada dalam keburukan dan mencari teman yang baik. Yaitu teman yang mengingatkan jika temannya lupa, dan meluruskan jika melihat temannya menyimpang dari jalan seharusnya. Teman yang senantiasa membimbing dan memandu temannya kepada kebenaran serta jalan yang lurus.

5. Jujur kepada Allâh Azza wa Jalla dalam taubatnya dengan cara memperbaiki semua amalannya, baik yang amalan fisik maupun hati

6. Membersihkan hati agar tidak terus menerus melakukan perbuatan dosa. Membersihkan hati ini bisa dilakukan dengan senantiasa menakut-nakutinya dan mengingatkannya dengan peringatan-peringatan keras dari al-Qur’an juga dengan mengingatkannya tentang berita-berita para pelaku maksiat di masa-masa lalu serta kisah berbagai musibah mengerikan yang menimpa mereka akibat perbuatan dosa mereka.

7. Berhenti dari semua dosa dengan bertaubat dan tidak terus menerus memberanikan diri melakukan dosa hanya karena bersandar kepada kasih sayang Allâh Azza wa Jalla dan ampunan-Nya. Memang, Allâh Azza wa Jalla itu maha pengampun, tapi kita juga harus ingat bahwa adzab Allâh Azza wa Jalla itu sangat pedih. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih. [An-Nur/24:63]

Allâh Azza wa Jalla juga berfirman:

وَاكْتُبْ لَنَا فِي هَٰذِهِ الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ إِنَّا هُدْنَا إِلَيْكَ ۚ قَالَ عَذَابِي أُصِيبُ بِهِ مَنْ أَشَاءُ ۖ وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ ۚ فَسَأَكْتُبُهَا لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَالَّذِينَ هُمْ بِآيَاتِنَا يُؤْمِنُونَ

Dan tetapkanlah untuk kami kebajikan di dunia ini dan di akhirat; Sesungguhnya kami kembali (bertaubat) kepada Engkau. Allâh berfirman, “Siksa-Ku akan Kutimpakan kepada siapa yang Aku kehendaki dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat kami”. [Al-A’râf/7:156]

Hendaklah setiap Muslim itu berharap dan memohon pertolongan Allâh Azza wa Jalla dalam meniti jalan hidayah menuju kebaikan.

Allâh Azza wa Jalla juga berfirman:

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

Hanya Engkaulah yang kami ibadahi, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan [Al-Fâtihah/1:5]

Hendaknya setiap Muslim juga menyadari bahwa hati setiap insan itu berada diantara dua jari jari-jemari Allâh Azza wa Jalla yang maha pengasih lagi penyayang.

8. Jika dia telah atau sedang bermu’amalah dengan transaksi riba, maka hendaknya dia mengambil modal pokoknya saja dan membersihkan diri dari “keuntungan” atau riba yang dipetiknya melalui transaksi ribawi. Dia tidak boleh mengkonsumsinya dan tidak boleh pula menyerahkannya kepada Muslim lainnya untuk dikonsumsi.

9. Apabila dosa yang dikerjakannya termasuk dalam kategori kezhaliman kepada orang lain, misalnya, dosa karena mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak dibenarkan syari’at, maka dia wajib mengambalikannya kepada pemilik harta tersebut, jika dia mampu mengambalikannya. Jika dia tidak mampu mengambalikannya, maka dia harus punya tekad kuat untuk mengembalikannya secepat mungkin.

Jika dia tidak mengetahui pemiliknya atau dia mengetahui pemiliknya tapi dia tidak bisa menemukannya lagi, maka harta itu dimanfaatkan untuk kemaslahatan kaum Muslimin dan diniatkan pahala untuk orang yang memiliki harta tersebut. Dengan demikian, orang yang memiliki harta tersebut akan mendapatkan pahalanya.

10. Melakukan amal shalih yang sesuai dengan sunnah Rasulullah n dengan ikhlas. Juga berusaha menempuh jalan hidayah seperti memperlajari ilmu syar’i, mengamalkannya, mengajarkan dan mendakwahkannya. Dia juga harus berusaha agar semua gerakannya dan diamnya dalam rangka taat kepada Allâh Azza wa Jalla , berperasangka baik kepada Allâh Azza wa Jalla , yakin dengan rahmat-Nya dan tidak merasa putus asa dari ampunan-Nya.

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shaleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Rabbnya [Al-Kahfi/18:110]

HAL-HAL YANG MENGHALANGI SESEORANG DARI TAUBAT

Saat-saat tertentu, banyak orang menyadari kesalahan-kesalahan yang telah diperbuatnya di masa-masa silam. Ketika itu, keinginan bertaubat dan keinginan untuk tidak mengulanginya begitu kuat di hati. Namun seiring dengan perjalanan waktu, keinginan itu melemah disebabkan perbuatan maksiat yang terus dilakukan. Karena perbuatan-perbuatan maksiat itu melemahkan keinginan hati untuk melakukan kebaikan. Jika keinginan hati untuk melakukan kebaikan melemah, maka keinginan untuk melakukan keburukan semakin menguat. Perbuatan maksiat-maksiat ini juga akan melemahkan dorongan untuk melakukan taubat sedikit demi sedikit, sampai akhirnya keinginan untuk bertaubat itu hilang sama sekali. Na’udzu billâh. Padahal tabi’at dari perbuatan maksiat adalah dia akan melahirkan perbuatan maksiat berikutnya dan terus begitu selanjutnya.

Mengapa berani untuk melakukan perbuatan maksiat dan tidak segera bertaubat?

Berikut ini disebutkan beberapa penyebabnya. Diantaranya:

Pertama: Bersandar kepada keluasan rahmat Allȃh dan kemurahan-Nya serta ampunan-Nya.

Ada sebagian orang yang melakukan dosa jika diberi nasehat atau diingatkan dari dosa-dosa yang dia lakukan, dia menjawab bahwa rahmat Allȃh itu sangat luas dan keluasan ampunan-Nya menyebabkan Dia bisa mengampuni seluruh dosa-dosa yang diperbuatnya.

Orang ini telah lupa bahwa disamping Allâh Azza wa Jalla maha luas ampunannya, Allâh Azza wa Jalla (juga) maha keras hukuman-Nya dan tidak ada sesuatupun atau seorang pun yang bisa mencegah atau menolak siksa-Nya atas kaum yang berdosa. Maka barangsiapa yang bersandar kepada ampunan Allâh Azza wa Jalla dengan terus melakukan kemaksiatan maka dia seperti orang yang sengaja menentang dan sombong.

Kedua: Menunda-nunda taubat dan tertipu dengan angan-angan

Sungguh Allȃh Azza wa Jalla telah mengingatkan hal itu dalam banyak ayat di dalam kitab-Nya yang mulia. Allȃh Azza wa Jalla berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ ۚ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ

Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allȃh. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi. [Al-Munȃfiqȗn/63:9]

Ketiga: Ambisi untuk mengumpulkan harta.

Ambisi untuk mengumpulkan harta, serta kesibukannya dengan mencurahkan segala upaya untuk mendapatkannya, memusatkan pikiran pada seputar urusan harta, dan menyibukkan hati dengan mencari sumber-sumber penghasilan dan sumber pemasukan, ini semua menyebabkan hati seorang menjadi lalai dan lupa terhadap tempat kembalinya yang pasti akan yang akan dijumpai. Ini menyebabkan dia lupa untuk mempersiapkan diri menyambut peristiwa yang pasti terjadi setelah kematian. Rasȗlullȃh bersabda

لَوْ كَانَ لِابْنِ آدَمَ وَادِيَانِ مِنْ مَالٍ لَابْتَغَى ثَالِثًا وَلَا يَمْلَأُ جَوْفَ ابْنِ آدَمَ إِلَّا التُّرَابُ وَيَتُوبُ اللَّهُ عَلَى مَنْ تَابَ

Seandainya anak Adam mempunyai dua lembah harta, maka sungguh dia akan mencari (lembah harta) yang ketiga, dan tidak ada yang memenuhi perut anak Adam kecuali tanah, dan Allȃh memberikan ampunan untuk orang yang bertaubat [1]

Keempat: Lalai dan tidak memiliki ilmu agama

Kedua hal di atas menjerumuskan seorang hamba untuk terus bersenang-senang dengan syahwat yang diharamkan. Kesenangan ini menunjukkan bahwa dia menyukai perbuatan maksiat itu sekaligus juga menunjukkan bahwa dia tidak mengetahui keagungan Rabb yang dia maksiati atau didurhakai, serta menunjukkan bahwa dia tidak mengetahui akibat buruk dari perbuatan maksiatnya tersebut serta tidak mengetahui betapa besar permasalahan maksiat ini dihadapan-Nya.

Kelima: Menganggap kecil dosa sehingga menyebabkan dia tidak takut kepada Allâh Azza wa Jalla .

Oleh Prof.DR.Shalih Ghanim as-Sadlan
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02-03/Tahun XX/1437H/2016M.]
_______
Footnote

[1] HR. Al Bukhari (6072)(6073) Kitabur Riqȃq: Bab Mȃ yuttaqȃ min fitnatil mȃl, Muslim (1048) Kitabuz Zakȃh: Bab Lau Kȃna libni Ȃdam wadiyani labtagho tsȃlisan

Beda Taubat Dengan Istighfar

Abu Fathan | 08:47 | 0 comments
PENDAHULUAN

Banyak di antara kaum Muslimin yang kurang tepat dalam memahami taubat. Ketika seseorang melakukan perbuatan dosa, lalu menyesal berat, lalu meninggalkan dosa tersebut dan bertekad untuk tidak mengulanginya kembali, maka dianggapnya itu sebagai taubat yang sebenarnya.

Padahal itu hanya baru dari sisi meninggalkan dosa saja. Ini baru hanya sebagian dari pengertian taubat. Baru hanya merupakan syarat taubat. Tetapi sejatinya pengertian taubat bukan itu saja. Taubat mempunyai cakupan yang lebih luas, di samping mencakup syarat di atas, juga mencakup semangat yang kuat untuk berkomitmen menjalankan perintah Allâh Azza wa Jalla . Sehingga bukan hanya meninggalkan dosa, menyesalinya dan bertekad untuk tidak mengulanginya saja, akan tetapi harus pula menjalankan perintah.

Demikian keterangan Imam Ibnu al-Qayyim rahimahullah secara ringkas. [1]

Lebih lanjut beliau rahimahullah menegaskan bahwa sesungguhnya hakikat taubat adalah kembali kepada Allâh Azza wa Jalla dengan berkomitmen menjalankan segala apa yang dicintai Allâh Azza wa Jalla dan meninggalkan segala apa yang tidak disukai-Nya. Kembali dari perkara yang tidak disukai menuju perkara yang dicintai (oleh Allâh).

Oleh karena itulah, Allâh Subhanahu wa Ta’ala menyatakan bahwa keberuntungan mutlak hanya akan diperoleh bila seseorang menjalankan apa yang diperintahkan Allâh Azza wa Jalla dan meninggalkan apa yang dilarang-Nya. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Bertaubatlah kamu semua kepada Allâh wahai orang-orang yang beriman agar kamu semua mendapat keberuntungan. [An-Nûr/24 : 31]

Setiap orang yang bertaubat pasti akan beruntung. Namun tidak akan beruntung kecuali orang yang menjalankan perintah Allâh dan meninggalkan laranganNya. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

Dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. [Al-Hujurât/49 : 11]

Orang yang meninggalkan perintah adalah orang zalim, demikian pula orang yang melanggar laranganpun zalim. Sebutan zalim akan hilang dari dirinya hanya apabila ia bertaubat dengan pengertian yang mencakup dua hal di atas (menjalankan perintah dan meninggalkan larangan)[2]

SEBERAPA PENTINGKAH TAUBAT?

Taubat merupakan ibadah yang memiliki posisi sangat penting bagi kehidupan manusia. Betapa tidak, sebab taubat harus menjadi perkara pertama yang musti dilakukan ketika manusia memulai menjalankan kehidupannya disaat baligh. Taubat juga harus senantiasa menyertainya di sepanjang kehidupannya. Dan taubat harus menjadi penutup kehidupannya.

Imam Ibnu al-Qayyim rahimahullah mengatakan:

Posisi taubat (bagi kehidupan manusia) merupakan permulaan langkah, tengah-tengahnya dan akhir (penutup)nya. Seorang manusia tidak boleh berpisah dari taubat. Ia harus senantiasa dalam keadaan bertaubat sampai kematiannya. Kalau ia berpindah kesuatu keadaan, ia harus berpindah dengan mambawa taubat. Taubat harus selalu menemaninya.

Maka, taubat harus menjadi permulaan bagi kehidupan manusia dan harus menjadi penutup bagi akhir kehidupannya. Kebutuhan seseorang akan taubat di penghujung hidupnya amat sangat darurat. Tetapi kebutuhannya pada permulaan hidupnyapun amat sangat darurat pula.

Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Bertaubatlah kamu semua kepada Allâh wahai orang-orang yang beriman agar kamu semua mendapat keberuntungan. [An-Nûr/24:31]

Ayat ini terdapat di dalam surat Madaniyah (Surat al-Qurˈân yang turun sesudah hijrah ke Madinah). Allâh Azza wa Jalla berbicara kepada kelompok orang-orang beriman yang paling pilihan (yaitu para Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam). Allâh Azza wa Jalla memerintahkan mereka supaya bertaubat kepada-Nya sesudah mereka beriman, bersabar, berhijrah dan berjihad. Kemudian Allâh Azza wa Jalla mengaitkan antara taubat dengan hasilnya sebagaimana kaitan antara sebab dan akibatnya. Dalam menghubungkan antara taubat dan hasilnya itu Allâh Azza wa Jalla menggunakan kata “la’alla” yang memberikan pengertian harapan, sebagai bentuk pemberitahuan dari Allâh Azza wa Jalla bahwa apabila anda bertaubat, berarti anda bisa mengharapkan keberuntungan. Tidak ada yang bisa mengharapkan keberuntungan kecuali orang-orang yang bertaubat.[3]

Berikutnya Imam Ibnu al-Qayyim rahimahullah mengetengahkan ayat berikut:

وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

Dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. [Al-Hujurât/49:11]

Beliau rahimahullah mengatakan, dalam ayat ini Allâh Subhanahu wa Ta’ala membagi para hamba-Nya menjadi dua golongan; golongan orang yang bertaubat dan golongan orang yang zhalim. Tidak ada golongan yang ketiga sama sekali. Allâh Azza wa Jalla menyematkan sebutan zhalim pada diri orang yang tidak bertaubat. Dan tidak ada orang yang lebih zhalim daripada orang yang tidak bertaubat. Hal itu lantaran kebodohan (ketidaktahuan)nya terhadap Allâh dan hak Allâh. Juga lantaran kebodohannya terhadap aib dirinya dan terhadap cacat amal perbuatannya.[4]

Akhirnya bisa disimpulkan bahwa taubat merupakan hakikat dari Dînul Islâm. Seluruh bagian dari ajaran Dînul Islâm ini merupakan unsur dari apa yang disebut taubat. Dengan demikian, orang yang bertaubat berhak menjadi orang yang dicintai Allâh Subhanahu wa Ta’ala .[5] Wallahu a’lam.

HUBUNGAN TAUBAT DAN ISTIGHFAR

Selanjutnya ada dua istilah di dalam Islam yang dikenal oleh semua Muslim, yaitu taubat dan istighfar. Apakah keduanya sama atau beda? Kalau beda, lalu di mana letak perbedaannya? Kalau sama, mengapa banyak nash al-Qurˈân dan Sunnah yang menyebutkan taubat secara bergandengan dengan istighfar? Bukankah penyebutan dua istilah itu secara bergandengan menunjukkan adanya perbedaan makna antara keduanya? Contoh penyebutan dua istilah itu secara bergandengan misalnya, firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :

وَأَنِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ

Hendaknya beristaghfarlah kamu kepada RabbMu, kemudian bertaubatlah kepada-Nya.[ Hûd/11: 3]

وَيَا قَوْمِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا

(Hûd berkata) Hai kaumku! Beristighfar (minta ampun) lah kamu kepada Rabbmu, kemudian bertaubatlah kepadaNya, niscaya Dia akan mengirimkan air hujan tercurah kepadamu dari langit. [Hûd/11:52]

Juga sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

وَاللَّهِ إِنِّي لَأَسْتَغْفِرُ اللَّهَ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ فِي اليَوْمِ أَكْثَرَ مِنْ سَبْعِينَ مَرَّةً. رواه البخاري

Demi Allâh, sesungguhnya aku beristighfar (hohon ampun) kepada Allâh dan bertaubat kepadaNya dalam sehari lebih dari tujuh puluh kali. [HR. Bukhâri][6]

Dan nash-nash lainnya.

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, menurut penjelasan Imam Ibnu al-Qayyim rahimahullah, dua kata ini merupakan dua kata yang apabila disebutkan bergandengan, maka keduanya memiliki makna yang berbeda. Namun apabila disebutkan secara terpisah, maka keduanya memiliki makna yang sama.

Lebih jelasnya, apabila istighfar disebut tersendiri, kata beliau rahimahullah , maka maknanya sama seperti taubat, bahkan istighfar adalah taubat itu sendiri, di samping mengandung makna permohonan maghfirah kepada Allâh Azza wa Jalla . Maghfirah adalah: penghapusan dosa, penghilangan bekas-bekas dosa dan penjagaan dari keburukan dosa. Tidak sebagaimana yang disangka oleh sebagian orang bahwa arti maghfirah hanyalah sekedar menutupi dosa (maksudnya, dosa tidak terlihat, namun masih ada-pen). Sebab sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla kadang menutupi dosa orang yang diampuni dan kadang menutupi dosa orang yang tidak diampuni. Tetapi yang benar, tertutupinya dosa merupakan konsekuensi dari terhapusnya dosa, atau merupakan bagian dari terhapusnya dosa.[7]

Maksudnya, apabila seseorang mendapat maghfirah dari Allâh Azza wa Jalla hingga dosa dan bekas-bekas dosanya terhapus, maka otomatis dosa itu sudah tertutupi dan tidak terlihat lagi. Tetapi apabila dosa itu hanya ditutupi saja, maka belum tentu bahwa dosa itu sudah dihapus dan dihilalangkan bekasnya. Wallâhu a’lam.

Istighfar adalah memohon maghfirah, memohon dihapusnya dosa, bukan sekedar memohon ditutupinya dosa.

Dan istighfar inilah yang menghalangi seseorang dari adzab. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَا كَانَ اللَّهُ مُعَذِّبَهُمْ وَهُمْ يَسْتَغْفِرُونَ

Dan tidaklah Allâh akan mengazab mereka sedangkan mereka orang-orang yang beristighfar. [Al-Anfâl/8 : 33]

Allâh Subhanahu wa Ta’ala tidak akan mengadzab orang yang beristighfar (dalam arti istighfar secara totalitas). Namun apabila orang terus menerus berbuat dosa, sementara iapun mohon ampun kepada Allâh, maka istighfarnya bukan istighfar yang sempurna, dan ia tidak terhalang untuk mendapat adzab. [8]

Jadi apabila istghfar disebut tersendiri, begitu pula taubatpun disebut tersendiri, maka pengertian istighfar mencakup taubat dan pengertian taubat mencakup istighfar.

Adapun apabila dua kata tersebut disebut secara bergandengan, maka istghfar berarti memohon perlindungan kepada Allâh Azza wa Jalla dari keburukan dosa yang telah lewat, sedangkan taubat adalah kembali (dari perbuatan dosa) serta memohon penjagaan dari segala keburukan amal perbuatan yang dikhawatirkan akan terjadi kemudian.[9]

Dari keterangan di atas, lebih lanjut Imam Ibnu al-Qayyim rahimahullah menerangkan, bahwa dosa terdiri dari dua dosa; dosa yang telah lewat. Ini terhapus dengan istighfar. Dan dosa yang dikhawatirkan akan terjadi kemudian, maka caranya dengan bertaubat darinya, yaitu dengan bertekad untuk tidak melakukannya.[10]

Itulah perbedaan makna taubat dan istighfar ketika disebut secara bergandengan.

Kesimpulannya, jika taubat disebut tersendiri, maka pengertiannya mencakup istighfar. Demikian pula ketika istighfar disebut secara tersendiri, maka pengertiannyapun mencakup taubat.

Tetapi ketika keduanya disebut secara bergandengan, maka istighfar adalah permohonan ampun dari dosa yang telah terlanjur dilakukan. Sedangkan taubat adalah permohonan perlindungan dari dosa yang dikhawatirkan terjadi kemudian dan bertekad untuk tidak lagi melakukan perbuatan dosa. Wallâhu a’lam.

Oleh Ustadz Ahmas Faiz Asifuddin
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02-03/Tahun XX/1437H/2016M.]
_______
Footnote

[1] Lihat penjelasan Imam Ibnu al-Qayyim rahimahullah dalam Madârij as-Sâlikîn, Dâr Ihyâˈi at-Turâts al-‘Arabi, cet. II, th 1421 H/2001 M. I/235, dengan terjemah bebas dan ringkas

[2] Ibid.

[3] Ibid. I/141-142

[4] Ibid. I/142

[5] Ibid I/235

[6] Shahîh al-Bukhâri; Fathu al-Bâri XI/101, no. 6307

[7] Madârij as-Sâlikîn, op.cit. I/236

[8] Ibid. I/236-237

[9] Ibid I/237

[10] Ibid

Taubat : Pengertian, Hakikat, Syarat dan Keutamaan

Abu Fathan | 08:45 | 0 comments
DEFINISI TAUBAT[1]

Secara Bahasa, at-Taubah berasal dari kata تَوَبَ yang bermakna kembali. Dia bertaubat, artinya ia kembali dari dosanya (berpaling dan menarik diri dari dosa)[2]. Taubat adalah kembali kepada Allâh dengan melepaskan hati dari belenggu yang membuatnya terus-menerus melakukan dosa lalu melaksanakan semua hak Allâh Azza wa Jalla .

Secara Syar’i, taubat adalah meninggalkan dosa karena takut pada Allâh, menganggapnya buruk, menyesali perbuatan maksiatnya, bertekad kuat untuk tidak mengulanginya, dan memperbaiki apa yang mungkin bisa diperbaiki kembali dari amalnya.

HAKIKAT TAUBAT

Hakikat taubat yaitu perasaan hati yang menyesali perbuatan maksiat yang sudah terjadi, lalu mengarahkan hati kepada Allâh Azza wa Jalla pada sisa usianya serta menahan diri dari dosa. Melakukan amal shaleh dan meninggalkan larangan adalah wujud nyata dari taubat.

Taubat mencakup penyerahan diri seorang hamba kepada Rabbnya, inabah (kembali) kepada Allâh Azza wa Jalla dan konsisten menjalankan ketaatan kepada Allâh. Jadi, sekedar meninggalkan perbuatan dosa, namun tidak melaksanakan amalan yang dicintai Allâh Azza wa Jalla , maka itu belum dianggap bertaubat.

Seseorang dianggap bertaubat jika ia kembali kepada Allâh Azza wa Jalla dan melepaskan diri dari belenggu yang membuatnya terus-menerus melakukan dosa. Ia tanamkan makna taubat dalam hatinya sebelum diucapkan lisannya, senantiasa mengingat apa yang disebutkan Allâh Azza wa Jalla berupa keterangan terperinci tentang surga yang dijanjikan bagi orang-orang yang taat, dan mengingat siksa neraka yang ancamkan bagi pendosa. Dia berusaha terus melakukan itu agar rasa takut dan optimismenya kepada Allâh semakin menguat dalam hatinya. Dengan demikian, ia berdoa senantiasa kepada Allâh Azza wa Jalla dengan penuh harap dan cemas agar Allâh Azza wa Jalla berkenan menerima taubatnya, menghapuskan dosa dan kesalahannya.

SYARAT-SYARAT TAUBAT

Dalam kitab Majâlis Syahri Ramadhân[3], setelah membawakan banyak dalil dari al-Qur’an dan as-Sunnah yang mendorong kaum Muslimin untuk senantiasa bertaubat dan beberapa hal lain tentang taubat, Syaikh Muhammad bin Shalih Utsaimin t mengatakan, “Taubat yang diperintahkan Allâh Azza wa Jalla adalah taubat nasuha(yang tulus) yang mencakup lima syarat:

Pertama : Hendaknya taubat itu dilakukan dengan ikhlas. Artinya, yang mendorong dia untuk bertaubat adalah kecintaannya kepada Allâh Azza wa Jalla , pengagungannya terhadap Allâh, harapannya untuk pahala disertai rasa takut akan tertimpa adzab-Nya. Ia tidak menghendaki dunia sedikitpun dan juga bukan karena ingin dekat dengan orang-orang tertentu. Jika ini yang dia inginkan maka taubatnya tidak akan diterima. Karena ia belum bertaubat kepada Allâh Azza wa Jalla namun ia bertaubat demi mencapai tujuan-tujuan dunia yang dia inginkan.

Kedua : Menyesali serta merasa sedih atas dosa yang pernah dilakukan, sebagai bukti penyesalan yang sesungguhnya kepada Allâh dan luluh dihadapan-Nya serta murka pada hawa nafsunya sendiri yang terus membujuknya untuk melakukan keburukan. Taubat seperti ini adalah taubat yang benar-benar dilandasi akidah, keyakinan dan ilmu.

Ketiga : Segera berhenti dari perbuatan maksiat yang dia lakukan. Jika maksiat atau dosa itu disebabkan karena ia melakukan sesuatu yang diharamkan, maka dia langsung meninggalkan perbuatan haram tersebut seketika itu juga. Jika dosa atau maksiat akibat meninggalkan sesuatu yang diwajibkan, maka dia bergegas untuk melakukan yang diwajibkan itu seketika itu juga. Ini apabila hal-hal wajib yang ditinggalkan itu bisa diqadha’, misalnya zakat atau haji.

Taubat orang yang terus-menerus melakukan perbuatan maksiat itu tidak sah. Jika ada seseorang yang mengatakan bahwa dia bertaubat dari perbuatan riba, namun dia tidak meninggal perbuatan ribawi itu, maka taubat orang ini tidak sah. Bahkanini termasuk mempermainkan Allâh Azza wa Jalla . Orang seperti ini, bukan semakin dekat kepada Allâh namun sebaliknya dia semakin jauh. Begitu juga, misalnya ada orang yang menyatakan dirinya bertaubat dari meninggalkan shalat fardhu secara berjama’ah, namun dia tetap saja meninggalkan shalat ini, dia tetap tidak berjama’ah. Taubat orang ini juga tidak diterima.

Jika maksiat itu berkaitan dengan hak-hak manusia, maka taubatnya tidak sah kecuali setelah ia membebaskan diri dari hak-hak tersebut. Misalnya, apabila maksiat itu dengan cara mengambil harta orang lain atau menentang hak harta tersebut, maka taubatnya tidak sah sampai ia mengembalikan harta tersebut pada pemiliknya apabila ia masih hidup, atau dikembalikan kepada ahli warisnya, jika telah meninggal. Apabila diketahui ia tidak memiliki ahli waris, maka harta itu diserahkan ke baitul mâl.

Dan apabila tidak diketahui pemilik harta yang diambilnya tersebut, maka ia sedekahkan harta tersebut atas nama pemiliknya.

Apabila dosa atau maksiat itu dengan sebab ghîbah (menggunjing) seorang Muslim, maka ia wajib meminta maaf kepada orang yang digunjingnya itu, bila yang dighibah tahu, atau ia khawatir orang yang digunjing akan tahu. Jika tidak, maka cukup baginya dengan memohonkan ampunan untuk orang yang digunjing dan memujinya di tempat ia menggunjingnya dahulu. Karena sesungguhnya perbuatan baik akan menghilangkan keburukan.

Dan taubah seseorang dari dosa tertentu tetap sah, sekalipun ia masih terus-menerus melakukan dosa yang lain. Karena perbuatan manusia itu banyak macamnya, dan imannya pun bertingkat-tingkat. Namun orang yang bertaubat dari dosa tertentu itu tidak bisa dikatakan dia telah bertaubat secara mutlak. Dan semua sifat-sifat terpuji dan kedudukan yang tinggi bagi orang yang bertaubat, hanya bisa diraih dengan bertaubat dari seluruh dosa-dosa.

Keempat : Bertekad untuk tidak mengulangi dosa tersebut di masa yang akan datang. Karena ini merupakan buah dari taubatnya dan sebagai bukti kejujuran pelakunya.

Jika ia mengatakan telah bertaubat, namun ia masih bertekad untuk melakukan maksiat itu lagi di suatu hari nanti, maka taubatnya saat itu belum benar. Karena taubatnya hanya sementara, si pelaku maksiat ini hanya sedang mencari momen yang tepat saja. Taubatnya ini tidak menunjukkan bahwa dia membenci perbuatan maksiat itu lalu menjauh darinya dan selanjutnya melaksanakan ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla .

Kelima : Taubat itu dilakukan bukan pada saat masa penerimaan taubat telah habis.

Jika taubat itu dilakukan setelah habis waktu diterimanya taubat, maka taubatnya tidak akan diterima. Berakhirnya waktu penerimaan taubat itu ada dua macam: (Pertama,) bersifat umum berlaku untuk semua orang dan (kedua) bersifat khusus untuk setiap pribadi.

Yang bersifat umum adalah terbitnya matahari dari arah barat. Jika matahari telah terbit dari arah barat, maka saat itu taubat sudah tidak bermanfaat lagi.

يَوْمَ يَأْتِي بَعْضُ آيَاتِ رَبِّكَ لَا يَنْفَعُ نَفْسًا إِيمَانُهَا لَمْ تَكُنْ آمَنَتْ مِنْ قَبْلُ أَوْ كَسَبَتْ فِي إِيمَانِهَا خَيْرًا ۗ قُلِ انْتَظِرُوا إِنَّا مُنْتَظِرُونَ

Pada hari datangnya sebagian ayat-ayat Rabbmu, tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang kepada dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu, atau dia (belum) mengusahakan kebaikan dalam masa imannya. Katakanlah, “Tunggulah olehmu sesungguhnya Kamipun menunggu (pula).” [An-an’âm/6:158]

Maksud dari “sebagian ayat-ayat Rabbmu” dalam firman Allâh di atas adalah terbitnya matahari dari arah barat sebagaimana yang ditafsirkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari Abdullah bin Amru bin Ash Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لاَ تَزَالُ التَّوْبَةُ تُقْبَلُ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا, فَإِذَا طَلَعَتْ طُبِعَ عَلَى كُلِّ قَلْبٍ بِمَا فِيْهِ وَكَفَى النَّاسَ الْعَمَلُ

Senantiasa taubat diterima sampai matahari terbit dari tempat terbenamnya (dari arah barat), maka jika dia terbit akan ditutup setiap hati (dari hidayah sehingga yang ada hanya) apa yang ada didalam hatinya (saja) dan cukuplah bagi manusia amalannya (sehingga dia tidak bisa beramal kebaikan lagi).

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan sanadnya hasan.

Dan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ تَابَ قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا تَابَ اللهُ عَلَيْهِ

Siapa yang bertaubat sebelum matahari terbit dari tempat terbenamnya maka Allâh akan menerima taubatnya.[HR. Muslim]

Adapun yang bersifat khusus adalah saat kematian mendatangi seseorang. Ketika kematian mendatangi seseorang, maka taubat sudah tidak berguna lagi baginya dan tidak akan diterima. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَلَيْسَتِ التَّوْبَةُ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السَّيِّئَاتِ حَتَّىٰ إِذَا حَضَرَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ إِنِّي تُبْتُ الْآنَ وَلَا الَّذِينَ يَمُوتُونَ وَهُمْ كُفَّارٌ ۚ أُولَٰئِكَ أَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا

Dan tidaklah taubat itu diterima Allâh dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan : “Sesungguhnya saya bertaubat sekarang.” Dan tidak (pula diterima taubat) orang-orang yang mati sedang mereka di dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu telah Kami sediakan siksa yang pedih. [An-Nisa/4:18]

Dalam hadits dari Abdullah bin Umar bin Khattab Radhiyallahu anhuma, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ يَقْبَلُ تَوْبَةَ الْعَبْدِ مَالَمْ يُغَرْغِرْ

Sesungguhnya Allâh menerima taubat seorang hamba selama nyawanya (ruhnya) belum sampai tenggorokan. [HR. Ahmad, at-Tirmidzi dan Beliau berkata hadits hasan)

Apabila taubat itu telah terpenuhi seluruh syaratnya dan diterima, maka Allâh akan menghapus dosa-dosa yang ia telah bertaubat darinya, sekalipun jumlahnya sangat banyak. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allâh. Sesungguhnya Allâh mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [Az-zumar/39:53]

Ayat ini berbicara tentang orang-orang yang bertaubat; yang kembali dan berserah diri kepada Rabbnya.

Allâh Azza wa Jalla juga berfirman:

وَمَنْ يَعْمَلْ سُوءًا أَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهُ ثُمَّ يَسْتَغْفِرِ اللَّهَ يَجِدِ اللَّهَ غَفُورًا رَحِيمًا

Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada Allâh, niscaya ia mendapati Allâh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. 
[An-Nisa/4:110]

Oleh karena itu, semoga Allâh Azza wa Jalla senantiasa merahmati kita– hendaklah kita bersegera mengisi (sisa) umur kita dengan taubat nasuha kepada Rabb sebelum kematian menghampiri. Jika kematian sudah menghampiri, kita tidak akan bisa menghindarinya.-Selesai perkataan Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah .

KEUTAMAAN TAUBAT[4]

Allâh Azza wa Jalla memerintahkan para hamba-Nya untuk bertaubat dan berjanji akan menerima taubat mereka. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَهُوَ الَّذِي يَقْبَلُ التَّوْبَةَ عَنْ عِبَادِهِ

Dan Dialah yang menerima taubat dari hamba-hamba-Nya.. [Asy-Syura / 42: 25]

Dia membuka pintu harapan bagi hamba-Nya untuk meraih maaf dan ampunan-Nya. Allâh Azza wa Jalla juga memerintahkan agar mereka bersandar pada kemurahan dan kedermawanan-Nya, memohon agar kesalahan-kesalahan digugurkan, aibnya ditutupi dan agar taubat mereka diterima. Tidak ada yang bisa menolak mereka dari rahmat Allâh Azza wa Jalla dan pintu antara mereka dan Allâh pun tidaklah dikunci.

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allâh. Sesungguhnya Allâh mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [Az-Zumar/39:53]

Barangsiapa bertaubat dan meminta ampun, Allâh Azza wa Jalla akan menerima taubatnya. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ

Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allâh, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allâh? [Ali Imran / 3: 135]

Allâh Azza wa Jalla menyanjung para hamba-Nya yang bertakwa yang senantiasa beristighfar. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

الَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا إِنَّنَا آمَنَّا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ ﴿١٦﴾ الصَّابِرِينَ وَالصَّادِقِينَ وَالْقَانِتِينَ وَالْمُنْفِقِينَ وَالْمُسْتَغْفِرِينَ بِالْأَسْحَارِ

(Yaitu) orang-orang yang berdoa: Wahai Rabb kami! Sesungguhnya kami telah beriman, maka ampunilah segala dosa kami dan peliharalah kami dari siksa neraka,” (yaitu) orang-orang yang sabar, yang benar, yang tetap taat, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allâh), dan yang memohon ampun di waktu sahur. [Ali Imrân/3:16-17]

Orang yang bertaubat dari dosa, adalah orang yang mendapatkan pemeliharaan dan penjagaan dari Allâh Azza wa Jalla serta rahmat-Nya. Allâh Azza wa Jalla melimpahkan barakah-Nya kepada mereka. Allâh Azza wa Jalla berikan kepadanya nikmat rezeki dan kemakmuran hidup di dunia. Serta Allâh Azza wa Jalla melimpahkan kepadanya pahala agung dan nikmat abadi di akhirat kelak. Allâh Azza wa Jalla berfirman mengenai pahala orang-orang yang bertaubat kepada-Nya:

أُولَٰئِكَ جَزَاؤُهُمْ مَغْفِرَةٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَجَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا ۚ وَنِعْمَ أَجْرُ الْعَامِلِينَ

Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Rabb mereka dan surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal. [Ali Imran /3: 136]

Sesungguhnya istighfar yang diiringi dengan menanggalkan dosa, menjadi sebab suburnya negeri dan keberkahan, keturunan yang banyak serta kemuliaan dan kekokohan menjadi semakin kokoh. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا ﴿١٠﴾ يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا ﴿١١﴾ وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَلْ لَكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَلْ لَكُمْ أَنْهَارًا

maka aku katakan kepada mereka: ‘Mohonlah ampun kepada Rabbmu, -sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun-, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.[Nuh/71: 10-12]

Dalam iman terdapat rahmat bagi para hamba dan dalam istighfar terdapat keberkahan dalam agama dan dunia. Dalam hadits riwayat Ibnu Majah dalam Sunannya dari Abdullah bin Abbas Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ لَزِمَ الاسْتِغْفَارَ جَعَلَ اللهُ لَهُ مِنْ كُلِّ هَمٍّ فَرَجاً ، وَمِنْ كُلِّ ضِيقٍ مَخْرَجاً ، وَرَزَقهُ مِنْ حَيثُ لاَ يَحْتَسِبُ

Barangsiapa yang senatiasa beristighfar, Allâh jadikan untuknya kelonggaran dari segala keresahan; jalan keluar dari segala kesempitan, dan Allâh beri dia rezeki dari arah yang tidak ia sangka-sangka.”[5]

Pintu taubat selalu terbuka lebar-lebar. Dari pintu hembusan-hembusan rahmat, kelembutan dan kenikmatan keluar. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

إِلَّا مَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَأُولَٰئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلَا يُظْلَمُونَ شَيْئًا ﴿٦٠﴾ جَنَّاتِ عَدْنٍ الَّتِي وَعَدَ الرَّحْمَٰنُ عِبَادَهُ بِالْغَيْبِ ۚ إِنَّهُ كَانَ وَعْدُهُ مَأْتِيًّا

kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh, maka mereka itu akan masuk syurga dan tidak dianiaya (dirugikan) sedikitpun, yaitu syurga ‘Adn yang telah dijanjikan oleh Tuhan Yang Maha Pemurah kepada hamba-hamba-Nya, sekalipun (syurga itu) tidak nampak. Sesungguhnya janji Allâh itu pasti akan ditepati. [Maryam / 19: 60-61]

Jadi, taubat itu menumbuhkan iman dan amal shalih. Dengan demikian, taubat berarti telah merealisasikan makna taubat yang positif . Itu akan menyelamatkan mereka dari kerugian dan penyesalan besar, sehingga mereka tidak mendapati siksa di lembah jahannam (al-ghayy), seperti firman Allâh:

فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ ۖ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا

Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui siksa dan kerugian (atau lembah di jahannam), [Maryam / 19: 59]

Mereka akan masuk surga dan tidak akan pernah terzalimi sedikitpun juga.

Sungguh, alangkag agung berkah dari istighfar dan taubat kepada Allâh Azza wa Jalla . Dengan istighfar dan taubat, rahmatditurunkan, berkah pada rezeki dilimpahkan dan kebaikan pun melimpah ruah. Dengan sebab keduanya, Allâh Azza wa Jalla menganugerahkan harta dan anak keturunan, mengampuni dosa, memberikan kekuatan dan kelurusan serta petunjuk.

Ya Allâh, Wahai Dzat Yang memiliki segala kebutuhan orang-orang yang memohon, dan Yang mengetahui isi hati orang-orang yang diam tak mengutarakan permohonannya; berilah kepada kami taubat yang benar dari sisi-Mu! Berilah kepada kami inâbah yang sempurna, yang tidak terkontaminasi dengan keraguan, tidak pula ditimpa kekurangan ataupun penundaan!

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02-03/Tahun XX/1437H/2016M.]
_______
Footnote

[1] At-Taubatu Ilallâh, Maknâhâ, Haqîqatuhâ, Fadhluhâ, syurutuhâ, Prof. DR. Shalih Ghanim as-sadlan, hlm. 10

[2] Ibnu Faris, Mu’jam Maqâyis al-Lughah, 1/357.

[3] Majâlis Syahri Ramadhân, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, hlm. 333-342

[4] At-Taubatu Ilallâh, Maknâhâ, Haqîqatuhâ, Fadhluhâ, syurutuhâ, Prof. DR. Shalih Ghanim as-sadlan, hlm. 14-16

[5] Sunan Ibni Majah 2/1254 no 3819, Abu Daud 1518, Imam Ahmad dalam Al-Musnad 1/248; dalam sanadnya terdapat al-Hakam bin Mush’ab al-Qurasyi al-Makhzumi. Kredibilitasnya diperbincangkan para Ulama, akan tetapi Syaikh Ahmad Syakir menghukuminya shahih (2234), di mana Imam al-Bukhâri menyebutkan biografi al-Hakam bin Mush’ab dalam at-Târîkh al-Kabîr, dan ia tidak menyebut adanya cacat pada rawi ini. Jadi menurutnya ia seorang tsiqah.

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. BERITA SUNNAH - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger