PENDAHULUAN
Banyak di antara kaum Muslimin yang kurang tepat dalam memahami taubat. Ketika seseorang melakukan perbuatan dosa, lalu menyesal berat, lalu meninggalkan dosa tersebut dan bertekad untuk tidak mengulanginya kembali, maka dianggapnya itu sebagai taubat yang sebenarnya.
Padahal itu hanya baru dari sisi meninggalkan dosa saja. Ini baru hanya sebagian dari pengertian taubat. Baru hanya merupakan syarat taubat. Tetapi sejatinya pengertian taubat bukan itu saja. Taubat mempunyai cakupan yang lebih luas, di samping mencakup syarat di atas, juga mencakup semangat yang kuat untuk berkomitmen menjalankan perintah Allâh Azza wa Jalla . Sehingga bukan hanya meninggalkan dosa, menyesalinya dan bertekad untuk tidak mengulanginya saja, akan tetapi harus pula menjalankan perintah.
Demikian keterangan Imam Ibnu al-Qayyim rahimahullah secara ringkas. [1]
Lebih lanjut beliau rahimahullah menegaskan bahwa sesungguhnya hakikat taubat adalah kembali kepada Allâh Azza wa Jalla dengan berkomitmen menjalankan segala apa yang dicintai Allâh Azza wa Jalla dan meninggalkan segala apa yang tidak disukai-Nya. Kembali dari perkara yang tidak disukai menuju perkara yang dicintai (oleh Allâh).
Oleh karena itulah, Allâh Subhanahu wa Ta’ala menyatakan bahwa keberuntungan mutlak hanya akan diperoleh bila seseorang menjalankan apa yang diperintahkan Allâh Azza wa Jalla dan meninggalkan apa yang dilarang-Nya. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Bertaubatlah kamu semua kepada Allâh wahai orang-orang yang beriman agar kamu semua mendapat keberuntungan. [An-Nûr/24 : 31]
Setiap orang yang bertaubat pasti akan beruntung. Namun tidak akan beruntung kecuali orang yang menjalankan perintah Allâh dan meninggalkan laranganNya. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. [Al-Hujurât/49 : 11]
Orang yang meninggalkan perintah adalah orang zalim, demikian pula orang yang melanggar laranganpun zalim. Sebutan zalim akan hilang dari dirinya hanya apabila ia bertaubat dengan pengertian yang mencakup dua hal di atas (menjalankan perintah dan meninggalkan larangan)[2]
SEBERAPA PENTINGKAH TAUBAT?
Taubat merupakan ibadah yang memiliki posisi sangat penting bagi kehidupan manusia. Betapa tidak, sebab taubat harus menjadi perkara pertama yang musti dilakukan ketika manusia memulai menjalankan kehidupannya disaat baligh. Taubat juga harus senantiasa menyertainya di sepanjang kehidupannya. Dan taubat harus menjadi penutup kehidupannya.
Imam Ibnu al-Qayyim rahimahullah mengatakan:
Posisi taubat (bagi kehidupan manusia) merupakan permulaan langkah, tengah-tengahnya dan akhir (penutup)nya. Seorang manusia tidak boleh berpisah dari taubat. Ia harus senantiasa dalam keadaan bertaubat sampai kematiannya. Kalau ia berpindah kesuatu keadaan, ia harus berpindah dengan mambawa taubat. Taubat harus selalu menemaninya.
Maka, taubat harus menjadi permulaan bagi kehidupan manusia dan harus menjadi penutup bagi akhir kehidupannya. Kebutuhan seseorang akan taubat di penghujung hidupnya amat sangat darurat. Tetapi kebutuhannya pada permulaan hidupnyapun amat sangat darurat pula.
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Bertaubatlah kamu semua kepada Allâh wahai orang-orang yang beriman agar kamu semua mendapat keberuntungan. [An-Nûr/24:31]
Ayat ini terdapat di dalam surat Madaniyah (Surat al-Qurˈân yang turun sesudah hijrah ke Madinah). Allâh Azza wa Jalla berbicara kepada kelompok orang-orang beriman yang paling pilihan (yaitu para Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam). Allâh Azza wa Jalla memerintahkan mereka supaya bertaubat kepada-Nya sesudah mereka beriman, bersabar, berhijrah dan berjihad. Kemudian Allâh Azza wa Jalla mengaitkan antara taubat dengan hasilnya sebagaimana kaitan antara sebab dan akibatnya. Dalam menghubungkan antara taubat dan hasilnya itu Allâh Azza wa Jalla menggunakan kata “la’alla” yang memberikan pengertian harapan, sebagai bentuk pemberitahuan dari Allâh Azza wa Jalla bahwa apabila anda bertaubat, berarti anda bisa mengharapkan keberuntungan. Tidak ada yang bisa mengharapkan keberuntungan kecuali orang-orang yang bertaubat.[3]
Berikutnya Imam Ibnu al-Qayyim rahimahullah mengetengahkan ayat berikut:
وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. [Al-Hujurât/49:11]
Beliau rahimahullah mengatakan, dalam ayat ini Allâh Subhanahu wa Ta’ala membagi para hamba-Nya menjadi dua golongan; golongan orang yang bertaubat dan golongan orang yang zhalim. Tidak ada golongan yang ketiga sama sekali. Allâh Azza wa Jalla menyematkan sebutan zhalim pada diri orang yang tidak bertaubat. Dan tidak ada orang yang lebih zhalim daripada orang yang tidak bertaubat. Hal itu lantaran kebodohan (ketidaktahuan)nya terhadap Allâh dan hak Allâh. Juga lantaran kebodohannya terhadap aib dirinya dan terhadap cacat amal perbuatannya.[4]
Akhirnya bisa disimpulkan bahwa taubat merupakan hakikat dari Dînul Islâm. Seluruh bagian dari ajaran Dînul Islâm ini merupakan unsur dari apa yang disebut taubat. Dengan demikian, orang yang bertaubat berhak menjadi orang yang dicintai Allâh Subhanahu wa Ta’ala .[5] Wallahu a’lam.
HUBUNGAN TAUBAT DAN ISTIGHFAR
Selanjutnya ada dua istilah di dalam Islam yang dikenal oleh semua Muslim, yaitu taubat dan istighfar. Apakah keduanya sama atau beda? Kalau beda, lalu di mana letak perbedaannya? Kalau sama, mengapa banyak nash al-Qurˈân dan Sunnah yang menyebutkan taubat secara bergandengan dengan istighfar? Bukankah penyebutan dua istilah itu secara bergandengan menunjukkan adanya perbedaan makna antara keduanya? Contoh penyebutan dua istilah itu secara bergandengan misalnya, firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :
وَأَنِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ
Hendaknya beristaghfarlah kamu kepada RabbMu, kemudian bertaubatlah kepada-Nya.[ Hûd/11: 3]
وَيَا قَوْمِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا
(Hûd berkata) Hai kaumku! Beristighfar (minta ampun) lah kamu kepada Rabbmu, kemudian bertaubatlah kepadaNya, niscaya Dia akan mengirimkan air hujan tercurah kepadamu dari langit. [Hûd/11:52]
Juga sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
وَاللَّهِ إِنِّي لَأَسْتَغْفِرُ اللَّهَ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ فِي اليَوْمِ أَكْثَرَ مِنْ سَبْعِينَ مَرَّةً. رواه البخاري
Demi Allâh, sesungguhnya aku beristighfar (hohon ampun) kepada Allâh dan bertaubat kepadaNya dalam sehari lebih dari tujuh puluh kali. [HR. Bukhâri][6]
Dan nash-nash lainnya.
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, menurut penjelasan Imam Ibnu al-Qayyim rahimahullah, dua kata ini merupakan dua kata yang apabila disebutkan bergandengan, maka keduanya memiliki makna yang berbeda. Namun apabila disebutkan secara terpisah, maka keduanya memiliki makna yang sama.
Lebih jelasnya, apabila istighfar disebut tersendiri, kata beliau rahimahullah , maka maknanya sama seperti taubat, bahkan istighfar adalah taubat itu sendiri, di samping mengandung makna permohonan maghfirah kepada Allâh Azza wa Jalla . Maghfirah adalah: penghapusan dosa, penghilangan bekas-bekas dosa dan penjagaan dari keburukan dosa. Tidak sebagaimana yang disangka oleh sebagian orang bahwa arti maghfirah hanyalah sekedar menutupi dosa (maksudnya, dosa tidak terlihat, namun masih ada-pen). Sebab sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla kadang menutupi dosa orang yang diampuni dan kadang menutupi dosa orang yang tidak diampuni. Tetapi yang benar, tertutupinya dosa merupakan konsekuensi dari terhapusnya dosa, atau merupakan bagian dari terhapusnya dosa.[7]
Maksudnya, apabila seseorang mendapat maghfirah dari Allâh Azza wa Jalla hingga dosa dan bekas-bekas dosanya terhapus, maka otomatis dosa itu sudah tertutupi dan tidak terlihat lagi. Tetapi apabila dosa itu hanya ditutupi saja, maka belum tentu bahwa dosa itu sudah dihapus dan dihilalangkan bekasnya. Wallâhu a’lam.
Istighfar adalah memohon maghfirah, memohon dihapusnya dosa, bukan sekedar memohon ditutupinya dosa.
Dan istighfar inilah yang menghalangi seseorang dari adzab. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَا كَانَ اللَّهُ مُعَذِّبَهُمْ وَهُمْ يَسْتَغْفِرُونَ
Dan tidaklah Allâh akan mengazab mereka sedangkan mereka orang-orang yang beristighfar. [Al-Anfâl/8 : 33]
Allâh Subhanahu wa Ta’ala tidak akan mengadzab orang yang beristighfar (dalam arti istighfar secara totalitas). Namun apabila orang terus menerus berbuat dosa, sementara iapun mohon ampun kepada Allâh, maka istighfarnya bukan istighfar yang sempurna, dan ia tidak terhalang untuk mendapat adzab. [8]
Jadi apabila istghfar disebut tersendiri, begitu pula taubatpun disebut tersendiri, maka pengertian istighfar mencakup taubat dan pengertian taubat mencakup istighfar.
Adapun apabila dua kata tersebut disebut secara bergandengan, maka istghfar berarti memohon perlindungan kepada Allâh Azza wa Jalla dari keburukan dosa yang telah lewat, sedangkan taubat adalah kembali (dari perbuatan dosa) serta memohon penjagaan dari segala keburukan amal perbuatan yang dikhawatirkan akan terjadi kemudian.[9]
Dari keterangan di atas, lebih lanjut Imam Ibnu al-Qayyim rahimahullah menerangkan, bahwa dosa terdiri dari dua dosa; dosa yang telah lewat. Ini terhapus dengan istighfar. Dan dosa yang dikhawatirkan akan terjadi kemudian, maka caranya dengan bertaubat darinya, yaitu dengan bertekad untuk tidak melakukannya.[10]
Itulah perbedaan makna taubat dan istighfar ketika disebut secara bergandengan.
Kesimpulannya, jika taubat disebut tersendiri, maka pengertiannya mencakup istighfar. Demikian pula ketika istighfar disebut secara tersendiri, maka pengertiannyapun mencakup taubat.
Tetapi ketika keduanya disebut secara bergandengan, maka istighfar adalah permohonan ampun dari dosa yang telah terlanjur dilakukan. Sedangkan taubat adalah permohonan perlindungan dari dosa yang dikhawatirkan terjadi kemudian dan bertekad untuk tidak lagi melakukan perbuatan dosa. Wallâhu a’lam.
Oleh Ustadz Ahmas Faiz Asifuddin
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02-03/Tahun XX/1437H/2016M.]
_______
Footnote
[1] Lihat penjelasan Imam Ibnu al-Qayyim rahimahullah dalam Madârij as-Sâlikîn, Dâr Ihyâˈi at-Turâts al-‘Arabi, cet. II, th 1421 H/2001 M. I/235, dengan terjemah bebas dan ringkas
[2] Ibid.
[3] Ibid. I/141-142
[4] Ibid. I/142
[5] Ibid I/235
[6] Shahîh al-Bukhâri; Fathu al-Bâri XI/101, no. 6307
[7] Madârij as-Sâlikîn, op.cit. I/236
[8] Ibid. I/236-237
[9] Ibid I/237
[10] Ibid
_______
Footnote
[1] Lihat penjelasan Imam Ibnu al-Qayyim rahimahullah dalam Madârij as-Sâlikîn, Dâr Ihyâˈi at-Turâts al-‘Arabi, cet. II, th 1421 H/2001 M. I/235, dengan terjemah bebas dan ringkas
[2] Ibid.
[3] Ibid. I/141-142
[4] Ibid. I/142
[5] Ibid I/235
[6] Shahîh al-Bukhâri; Fathu al-Bâri XI/101, no. 6307
[7] Madârij as-Sâlikîn, op.cit. I/236
[8] Ibid. I/236-237
[9] Ibid I/237
[10] Ibid
0 comments:
Post a Comment