{قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ ويَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ، وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ}

Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah (sunnah/petunjuk)ku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS Ali ‘Imran:31)

Sifat Malu, Warisan Para Nabi Terdahulu

Abu Fathan | 19:50 | 0 comments
Dalam kitab Al-Arba’in An-Nawawiyah, pada hadis ke-20, disebutkan :
عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ عُقْبَةَ بْنِ عَمْرٍو الأَنْصَارِي البَدْرِي رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلَامِ النُّبُوَّةِ الْأُولَى إِذَا لَمْ تَسْتَحِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ، رَوَاهُ البُخَارِيْ
Dari Abu Mas’ud ‘Uqbah bin ‘Amr Al-Anshari Al-Badri radhiyallahu ‘anhu, beliau bercerita bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya di antara ungkapan yang telah dikenal oleh manusia dari ucapan kenabian terdahulu ialah: Jika engkau tidak malu, maka berbuatlah sesuka hatimu” (HR. Bukhari)
Hadis tersebut terdapat di dalam kitab Shahih Al-Bukhari (Fat-hul Bari – 6/515), dan terdapat pula di dalam kitab Sunan Abu Dawud, Sunan Ibnu Majah, Musnad Ahmad, dan selainnya. Derajat hadis tersebut sahih, sebagaimana dinyatakan oleh Al-Albani rahimahullah (Ash-Shahihah – 684).
***
Berbicara tentang akhlak para Nabi memang selalu mengundang decak kagum luar biasa. Baik tingkah laku maupun tutur kata semuanya dihiasi dengan akhlak yang memesona. Maka sudah selayaknya bagi kita selaku umat Muslim untuk meneladani mereka, terutama dalam akhlak yang begitu melekat pada sosok mereka. Salah satu sifat yang menghiasi diri para Nabi adalah malu, sebagaimana yang disinggung di dalam hadis di atas. Pada artikel singkat ini, penulis akan mengutip beberapa pelajaran yang terkandung dalam hadis di atas.

Biografi Singkat Uqbah bin ‘Amir

Uqbah bin ‘Amr bin Tsa’labah Al-Anshari Al-Badri adalah salah satu di antara sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sahabat yang memiliki kunyah Abu Mas’ud ini termasuk sahabat yang sering meriwayatkan hadis. Abu Mas’ud yang tergolong ulama di antara para sahabat ini mengikuti baiat Aqabah di kala masih muda. Ia tidak mengikuti perang Badar, akan tetapi pernah turun ke sumur Badar hingga dikenal dengan Al-Badri. Ketika Ali bin Abi Thalib ingin beranjak menemui Muawiyah, Ali mengangkat Abu Mas’ud untuk menjadi penggantinya di Kufah. Abu Mas’ud wafat sekitar tahun 40 H di Kufah.

Malu, Warisan Para Nabi

Malu adalah akhlak yang diwariskan oleh para nabi secara turun-temurun. Tidak ada seorang nabi pun yang diutus melainkan memiliki sifat malu. Hal ini telah dikenal luas oleh manusia.
Malu adalah satu di antara akhlak yang diperintahkan oleh setiap nabi. Ia tidak pernah terhapus dari syariat sejak dahulu. Tak pernah sekalipun absen ataupun vakum barang sejenak dari teladan para nabi tiap generasi.
Ibnu Rajab rahimahullah berkata di dalam Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam (1/497), “Sabda Nabi, ‘Sesungguhnya di antara ungkapan yang telah dikenal oleh manusia dari ucapan kenabian terdahulu’ mengisyaratkan bahwa sifat malu merupakan warisan yang telah terdapat sejak zaman nabi-nabi terdahulu. Manusia dari generasi ke generasi selanjutnya senantiasa saling mewarisi akhlak terpuji ini. Hal ini jelas menunjukkan bahwa kenabian terdahulu telah membawa perkataan ini, dan terus menyebar di kalangan manusia hingga akhirnya sampai pada generasi pertama umat Islam ini”.

Malu, Fitrah Manusia

Malu merupakan fitrah manusia. Bahkan secara khusus, sifat malu telah menghiasi jiwa kaum Arab sejak masa Jahiliyah. Salah satu contohnya adalah kisah Abu Sufyan ketika masih berstatus kafir. Ketika itu, Abu Sufyan ditanya oleh Heraklius perihal Rasulullah. Ia malu untuk berdusta sehingga rasa malu tersebut membuatnya menceritakan sosok Rasulullah yang sebenarnya. Abu Sufyan bertutur,
لَوْلَا الْحَيَاءُ مِنْ أَنْ يَأْثِرُوا عَلَيَّ كَذِبًا لَكَذَبْت
Jika bukan karena rasa malu atas tudingan dusta yang akan mereka lontarkan kepadaku, niscaya aku pasti akan berdusta” (HR. Bukhari)
Sifat malu telah mendarah daging di kalangan bangsa Arab. Hal itu tergambar jelas dari ungkapan Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu kepada salah seorang pemuda dari kaum Bani Jusyam yang tengah kabur dari medan peperangan. Abu Musa berkisah,
فَلَمَّا رَآنِي وَلَّى عَنِّي ذَاهِبًا فَاتَّبَعْتُهُ وَجَعَلْتُ أَقُولُ لَهُ أَلَا تَسْتَحْيِي أَلَسْتَ عَرَبِيًّا أَلَا تَثْبُتُ فَكَفَّ
أَلَا تَسْتَحْيِي أَلَسْتَ عَرَبِيًّا أَلَا تَثْبُتُ فَكَفَّ
“Ketika ia melihatku, ia pun berlari dariku. Aku pun mengejarnya. Aku lantas berteriak kepadanya, ‘Tidakkah engkau malu lari dariku? Bukankah engkau pemuda Arab? Berhenti dan bertarunglah denganku!” Akhirnya tak lama kemudian ia pun berhenti. (HR. Muslim)
Kisah-kisah di atas menggambarkan betapa pentingnya sifat malu. Ia adalah fitrah manusia yang salim.

Berbuatlah Sesuka Hatimu, Jika Tak Malu

Sebagian ulama bersilang pendapat mengenai makna sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Jika engkau tidak malu, berbuatlah sesuka hatimu”.
Pertama, ucapan ini mengandung makna ancaman. Maksud dari ungkapan tersebut adalah, “Jika engkau tidak malu, berbuatlah sesuka hatimu! Allah akan membalasmu atas apa yang pernah engkau kerjakan!”. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala,
اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Berbuatlah apa yang kalian kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha melihat apa yang kalian kerjakan”(QS. Fushshilat: 40)
Kedua, ungkapan tersebut bukanlah ancaman, melainkan bermakna kabar atau informasi. Maksudnya, jika seseorang tidak memiliki rasa malu, maka ia akan berbuat apa yang ia mau. Karena pencegah dari perbuatan keji nan mungkar adalah rasa malu. Jika seseorang tidak memelihara bunga malu di taman hatinya, maka ia akan terjerumus ke dalam lumbung maksiat dan dosa. Hal ini seperti sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّار
Siapa yang berdusta atas namaku secara sengaja, maka hendaklah dia mempersiapkan tempatnya di neraka” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ketiga, ada juga sebagian ulama yang berpendapat bahwa hadis tersebut dimaknai secara zahirnya. Maksudnya, jika seseorang menilai suatu perbuatan tidak membuatnya malu, baik itu menurut pandangan Allah ataupun manusia, baik memang sebuah ketaatan atau perangai yang baik, dan segala akhlak yang tidak bertentangan dengan kemaksiatan, maka silakan baginya melakukan hal itu sesuka hatinya.

Malu, Akhlak Terpuji

Setelah mengetahui bahwa malu adalah warisan para nabi terdahulu, maka tidak pelak lagi bahwa malu merupakan sifat yang terpuji dan sudah selayaknya terpatri dalam jiwa muslim sejati. Ada banyak hadis-hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang mengisahkan tentang indahnya akhlak ini. Di antara keistimewaan sifat malu ialah malu dapat menghadirkan kebaikan di dalam jiwa seorang insan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertutur kata tentang sifat ini,
الْحَيَاءُ لَا يَأْتِي إِلَّا بِخَيْرٍ
Sifat malu itu tidaklah mendatangkan sesuatu melainkan kebaikan” (HR. Bukhari dan Muslim)
Iman seorang hamba tidak akan sempurna sampai cahaya malu terpancar dari relung hatinya, lantas menyinari tiap sudut sanubari. Karena sifat malu juga bagian dari keimanan seseorang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda ketika menjelaskan tentang cabang-cabang keimanan,
وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الْإِيمَان
Sifat malu adalah satu di antara cabang-cabang keimanan” (HR. Bukhari dan Muslim)
Inilah akhlak yang terpuji. Sifat malu yang menghalangi manusia dari menelusuri jalan-jalan kemaksiatan, menyelewengkan insan hingga berpaling dari jalan kebaikan.
Inilah akhlak yang terpuji. Sifat malu yang bagaikan tameng, mencegah manusia dari buruknya dan rendahnya akhlak tercela, serta tingkah laku yang dipandang hina dari kacamata fitrah manusia.
Inilah akhlak yang terpuji. Sifat malu yang menjadi pembeda antara insan dan hewan. Indikasi kecintaan Allah kepada manusia. Dengannya Allah menjaga manusia dari segala macam sifat yang memalukan.
Akhir kata, semoga Allah menganugerahi kita semua rasa malu di dalam diri-diri kita, sehingga dengan sifat malu tersebut kita terhalangi dari jalan-jalan menuju api neraka.
Daftar Pustaka
  1. Abdulmuhsin Al-Abbad Al-Badr. 1424. Fat-hu Al-Qawiyy Al-Matin fi Syarh al-Arba’in wa Tatimm al-Khamsin (Cetakan ke-1). Kairo – Mesir : Dar Ibn ‘Affan.
  2. Muhammad bin Ahmad Adz-Dzahabi. Siyar A’lam an-Nubala. Maktabah Syamilah.
  3. Muhammad Nashirudin Al-Albani. As Silsilah Al Ahadits Ash-Shahihah. Maktabah Syamilah.
  4. Salim bin ‘Ied Al-Hilali. Bahjah an-Nazhirin Syarh Riyadh ash-Shalihin (Jilid ke-3, cetakan ke-2). Damam – Arab Saudi: Dar Ibn al-Jauzy.
Penulis: Roni Nuryusmansyah
Muraja’ah : Ustadz Muhsan Syarafuddin, Lc., M.H.I.

5 Hal yang Boleh Tergesa-Gesa

Abu Fathan | 18:47 | 0 comments
Ada lima hal yang boleh segera atau tergesa-gesa dilakukan padahal asal tergesa-gesa adalah dari setan. Namun karena ini ada kebaikan, maka boleh tergesa-gesa atau meminta segera untuk dilakukan.
Dalam Hilyatul Auliya' karya Abu Nu'aim Al Ashbahani disebutkan perkataan berikut ini dari Hatim Al Ashom,
كان يقال العجلة من الشيطان إلا في خمس إطعام الطعام إذا حضر الضيف وتجهيز الميت إذا مات وتزويج البكر إذا أدركت وقضاء الدين إذا وجب والتوبة من الذنب إذا أذنب
"Ketergesa-gesaan biasa dikatakan dari setan kecuali dalam lima perkara:
1- menyajikan makanan ketika ada tamu
2- mengurus mayit ketika ia mati
3- menikahkan seorang gadis jika sudah bertemu jodohnya
4- melunasi utang ketika sudah jatuh tempo
5- segera bertaubat jika berbuat dosa." (Hilyatul Auliya', 8: 78).
Muhammad Abduh Tuasikal

Kemuliaan Ahlul Bait Dalam Pandangan Ahlussunnah

Abu Fathan | 19:13 | 0 comments

Segala puji bagi Allah Yang Maha Sempurna dalam segala sifat dan perbuatan-Nya, Yang Maha Adil dalam segala hukum-Nya, Yang Maha Bijaksana dalam segala keputusan-Nya.
Berikutnya selawat dan salam buat Nabi Muhammad Sallallahu Alaihi Wa Sallam yang telah diutus untuk sebagai pembawa rahmat kepada seluruh alam. Tidaklah sempurna keimanan seseorang sampai ia mencintai Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam melebihi dari mencintai orang tua dan anaknya serta manusia seluruhnya, bahkan dari dirinya sendiri.
Beliau bersabda:
((لا يؤمن أحدكم حتى أكون أحب إليه من والده وولده والناس أجمعين)) [متفق عليه].
“Tidaklah sempurna iman salah seorang kalian samapai aku lebih ia cintai dari orang tua dan anaknya serta manusia seluruhnya”.[1]
Diantara bukti penghormatan dan kecintaan seseorang kepada Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam adalah mencintai dan memuliakan keluarga beliau. Sebagaimana beliau perintahkan dalam sabdanya:
((أذكركم الله في أهل بيتي)) .
Aku ingatkan kalian pada Allah tentang (hak-hak) kelurgaku“[2].
Berkata Imam Baihaqy: ”Termasuk bagian dari menganggungkan Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam adalah menghormati para keluarganya serta anak-anak kaum Muhajirin dan Anshar” [3].
Dalam bahasan kali ini, kita akan mengupas tentang pandangan Ahlussunnah wal Jama’ah tentang kemulian Ahlul Bait (Keluarga Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam) dan kelompok yang menyimpang dalam mencintai Ahlul Bait. Topik ini akan kita bagi kepada beberapa bagian sebagaimana berikut:
  1. Tujuan Pembahasan.
  2. Pengertian Ahlul Bait.
  3. Dalil dari ayat-ayat Al Qur’an yang menerangkan tentang kemulian Ahlul Bait.
  4. Dalil dari Sunnah yang menerang tentang kemulian Ahlul Bait.
  5. Perkataan para ulama Ahlussunnah tentang kemulian Ahlul Bait.
  6. Kelompok yang menyimpang dalam mencintai Ahlul Bait.

( Tujuan Pembahasan )
Tujuan kita membahas topik ini adalah:
  • Penjelasan kepada kaum muslimin, bagaimana seharusnya kita bersikap terhadap keluarga Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam (Ahlul Bit) sesuai pandangan Ahlusunnah wal Jama’ah.
Para ulama Ahlussunnah yang menulis kitab-kitab Aqidah tidak pernah melewatkan tentang topik ini. Ini menunjukkan akan penting dan urgennya masalah ini untuk diketahui oleh setiap muslim, sehingga para ulama kita menjadikan cinta Ahlul Bait sebagai bagian dari pokok-pokok aqidah Ahlussunnah.
  • Sebagai jawaban dan bantahan terhadap orang atau kelompok yang mengskriditkan dan menuduh Ahlussunah tidak mencintai Ahlul Bait (keluarga Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam).
Isu ini telah lama disebarkan dan dimamfaatkan oleh orang-orang Syi’ah Rafidhah untuk mempengaruhi orang-orang awam Ahlussunnah agar menerima ajaran Syi’ah rafidhah. Bahkan hal ini adalah salah isu santer yang mereka tuduhkan setiap saat kepada Ahlussunnah. Maka melalui bahasan ini kita buktikan kebohongan tuduhan mereka tersebut.
  1. Adanya kelompok yang menjadikan sikap kecintaan kepada Ahlul Bait sebagai alat untuk memecah belah kaum muslimin dan mengiring mereka kearah kesesatan dan kekufuran. Bahkan mereka menjadi sikap cinta Ahlul bait sebagai alat untuk menutup-nutupi berbagai kesesatan dan kebatilan yang mereka lakukan. Mereka menisbahkan berbagai macam bentuk perkataan dan perbuatan bid’ah dan kufur kepada Ahlul bait dengan penuh kedustaan dan kebohongan.
  2. Adanya sebagian orang yang menjadikan menisbahkan diri kepada Ahlul Bait sebagai alat untuk membohongi manusia dan mengeruk keuntungan duniawi dibalik itu. Dimasa sekarang banyak orang yang mengaku sebagi keturunan Ahlul bait demi untuk mencari perhatian, kemulian dan kedudukan di tengah-tengah umat manusia.
  3. Untuk membersihkan Ahlul Bait dari berbagai tuduhan batil yang disandarkan kepada mereka. Dan sesungguhnya Ahlul Bait berlepas diri dari berbagai tuduhan-tuduhan tersebut.

( Pengertian Ahlul Bait )
Ahlul Bait adalah mereka yang diharamkan menerima sedekah dan zakat.
Sebagaimana sabda Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam:
«إِنَّ هَذِهِ الصَّدَقَاتِ إِنَّمَا هِىَ أَوْسَاخُ النَّاسِ وَإِنَّهَا لاَ تَحِلُّ لِمُحَمَّدٍ وَلاَ لآلِ مُحَمَّدٍ».
“Sesungguhnya sedekah-sedekah ini adalah kotoran dosa manusia dan sesumgguhnya ia tidak hala bagi Muhammad dan tidak pula bagi para keluarga Muhammad”.[4] (HR. Muslim).
Mereka yang diharamkan atas mereka sedekah yang disebut Ahlul Bait (keluarga Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam) adalah para isteri dan keturunan Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam serta dan siapa saja yang beriman dari Banu Hasyim dan Banu Muththalib. Sebagaimana yang  disebutkan oleh para ulama Ahlussunnah dalam kitab-kitab mereka[5].
Seperti Imam Muslim memberi judul salah satu bab dalam kita shohih beliau:
“باب تَحْرِيمِ الزَّكَاةِ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَعَلَى آلِهِ وَهُمْ بَنُو هَاشِمٍ وَبَنُو الْمُطَّلِبِ دُونَ غَيْرِهِمْ”.
“Bab: Tentang haramnya zakat untuk Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam dan para keluarganya yaitu Banu Hasyim dan Banu Muththalib, tidak (diharamkan) selain mereka”.
Adapun tentang masuknya para isteri Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam kedalam bagian Ahlul Bait adalah berdasarkan firman Allah berikut ini:
إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا [الأحزاب/33]
“Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya”.
Imam Ibnu Katsir berkata ketika menafsirkan firman Allah tersebut: “Hal ini adalah konteks sekali secara tegas memasukkan para isteri Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam kedalam bagian Ahlul Bait di sini. Karena mereka adalah sebagai sebab diturunkannya ayat tersebut. Sedang penyebab diturunkannya ayat adalah termasuk kedalam kandungan makna ayat tersebut, menurut kesepakatan para ulama, bisa jadi secara tunggal menurut salah satu pendapat, atau bersama yang lainnya menurut pendapat yang kuat”[6].
Selanjutnya beliau berkata lagi: “Suatu hal yang tidak diragukan lagi tentangnya -bagi orang yang memahami Al Qur’an- bahwa para isteri Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam termasuk kedalam firman Allah: “Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kalian, hai ahlul bait! dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya”. Karena hubungan konteks pembicaraan adalah bersama mereka. Karena itu sesudahnya Allah berfirman:
وَاذْكُرْنَ مَا يُتْلَى فِي بُيُوتِكُنَّ مِنْ آَيَاتِ اللَّهِ وَالْحِكْمَةِ [الأحزاب/34]
“Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumah kalian (isteri- isteri Nabi) dari ayat-ayat Allah dan hikmah”. Artinya hendaklah kalian (isteri-isteri nabi) amalkan apa yang diturunkan Allah kepada RasulNya di rumah kalian dari ayat-ayat Al Qur’an dan Sunnah”[7].
  • Ahlul bait menurut pandangan sekte Syi’ah Rafidhah.
Adapun menurut orang Syi’ah Rafidhaah, Ahlul Bait tersebut hanya terbatas pada keturunan Ali Radhiallahu ‘anhu, kemudian mereka batasi lagi dari keturunan Ali Radhiallahu ‘anhu keturnan Husain Radhiallahu ‘anhu.
Padahal jika kita perhatikan nasab (garis keturunan) Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam dalam kitab-kitab yang menerangkan tentang hal tersebut, amat banyak sekali dari anak paman beliau selain dari anak Abu Thalib. demikian pula dari anak Abu Thalib selain Ali Radhiallahu ‘anhu. Begitu pula dari anak Ali Radhiallahu ‘anhu selain keturunan Husain Radhiallahu ‘anhu.
Seperti Hasan Radhiallahu ‘anhu, kakak dari Husain memiliki keturunan yang begitu banyak dan ada yang dikenal keturunannya sampai sekarang.
Demikian pula anak Abu Thalib yang masuk Islam ada selain Ali Radhiallahu ‘anhu, seperti ‘Uqail dan Ja’far, yang keduanya juga memiliki keturunan yang banyak.
Demikian pula Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam mempunyai pama-paman lain yang masuk Islam dan juga mempunyai anak yang masuk Islam, seperti Hamzah, Harits dan Abbas. Dan anak Abbas yaitu Abdullah bin Abbas beliau adalah salah seorang sahabat yang sangat masyhur.
Bahkan diantara kesesatan Syi’ah lagi dalam hal ini adalah mengeluarkan para isteri Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam dari bagian Ahlul Bait. Mereka tidak mau menjadikan para ummahatul mukminiin sebagai bagian dari Ahlul Bait. Bahkan sebaliknya mereka mencaci para ummahatul mukminiin, terutama sekali wanita yang paling dicintai Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam yaitu ‘Aisyah radhiallahu ‘anha. Dan yang lebih sesat lagi, mereka anggap cacian-cacian tersebut sebagai salah satu sarana untuk beribadah kepada Allah.
Pada hal Rasulullah nyata-nyata meneybutkan dalam sabdanya, bahwa isteri beliau termasuk kedalam bagian Ahlul Bait. Sebagaimana terdapat dalam kisah tuduhan buruk orang-orang munafik tehadap ‘Aisyah radhiallahu ‘anha.
((من يعذرني من رجل بلغني أذاه في أهلي فوالله ما علمت على أهلي إلا خيرا وقد ذكروا رجلا ما علمت عليه إلا خيرا وما كان يدخل على أهلي إلا معي)) [رواه البخاري]
“Siapa yang siap membelaku dari seseorang yang menyakiti keluargaku. Demi Allah aku tidak mengetahui tentang keluarga kecuali yang baik. Dan mereka juga menyebut seseorang yang tidak aku ketahui tentangnya kecuali baik. Dan ia tidak pernah masuk kerumahku kecuali bersamaku”.[8]
  • Hukum berdusta atas nama Ahlul Bait.
Di sisi lain ada pula orang yang mengaku-ngaku dari keturnan Ahlul Bait demi untuk mendapat kedudukan dan kemulian serta kesenangan duniawi, pada hal ia buka keturunan Ahlul Bait.
Orang yang menisbahkan diri kepada keturunan orang lain pada hal ia tidak dari ketutrunan mereka, maka hal ini adalah suatau kedustaan yang paling besar dan ia akan dilaknat oleh Allah dan para malaikat serta manusia seluruhnya. Sebagaimana sabda Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam:
((إن من أعظم الفرى أن يدعي الرجل إلى غير أبيه)). [رواه البخاري]
“Sesungguhnya diantara kedustaan yang paling besar adalah seseorang yang mengaku kepada bukan ayahnya”.[9]
Dalam riwayat lain:
عن علي  رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: « وَمَنِ ادَّعَى إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ أَوِ انْتَمَى إِلَى غَيْرِ مَوَالِيهِ فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ وَالْمَلاَئِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ لاَ يَقْبَلُ اللَّهُ مِنْهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ صَرْفًا وَلاَ عَدْلاً ». [رواه مسلم]
Dari Ali Radhiallahu ‘anhu bahwa Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam bersabda: “Barangsiapa yang mengaku bukan kepada ayahnya atau menyandarkan diri kepada bukan kaumnya. Maka atasya adalah laknat Allah dan para malaikat serta manusia seluruhnya. Allah tidak akan menerima darinya pada hari kiamat amalan wajib dan tidak pula amalan lainnya”.[10]
Satu hal yang perlu kita cermati di sini, ketika hadits ini diriwayatkan oleh Ali Radhiallahu ‘anhu, hal ini di sampaikan Ali Radhiallahu ‘anhu di atas mimbar Kufah sebagai peringatan terhadap orang-orang yang mengaku-ngaku sebagai ahlul bait.
  • Menjadikan selogan Ahlul Bait untuk melegalkan bid’ah dan kesesatan.
Sebahagian orang ada yang menjadikan selogan Ahlul Bait sebagai otoritas untuk merekayasa dan melegalkan ajaran-ajaran sesat di tengah-tengah umat Islam. Seharusnya jika mereka benar-benar Ahlul Bait, tentulah mereka akan benar-benar mengamalkan dan membela ajaran yang dibawa oleh kakek mereka yang mulia yaitu Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam.
Karena hubungan keturunan tidak akan berarti apa-apa bila tidak dilandasi dengan iman dan taqwa. Oleh sebab itu tidak ada arti hubungan keturunan bagi Abu Lahab dan Abu Thalib ketika keduanya enggan untuk mengikuti ajaran yang dibawa oleh anak sudaranya yakni Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam.
Sebagaimana pula halnya keluarga para nabi sebelum Nabi Muhammad Sallallahu Alaihi Wa Sallam, seperti isteri dan anak nabi Nuh ‘Alaihis Salam, bapak nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam, dan isteri nabi Luth ‘Alaihis Salam. Sekalipun mereka tersebut keluarga para nabi, namun hubungan keturunan tidak bisa menghalangi azab Allah.
Demikian pula orang-orang yang mengaku keturunan Ahlul Bait, jika mereka enggan untuk mengikuti syari’at Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam atau membuat ajaran yang bertentangan dengan ajaran Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam, maka dengan sendirinya mereka tersebut telah mengeluarkan diri mereka dari bagian Ahlul Bait. Sekalipun pada kenyataannya mereka benar-benar keturunan Ahlul Bait. Sebab hubungan keturunan tidak akan berarti apa-apa jika tidak disertai dengan iman dan amal sholeh.
Sebagaimana sabda Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam:
« وَمَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ ». [رواه مسلم]
“Barangsiapa yang dilambatkan amalnya tidak akan bisa dipercepat oleh hubungan  keturunnya”.
Sebagaimana pula beliau katakan kepada paman dan anak perempuan beliau sendiri:
« يَا بَنِى عَبْدِ الْمُطَّلِبِ لاَ أُغْنِى عَنْكُمْ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا يَا عَبَّاسَ بْنَ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ لاَ أُغْنِى عَنْكَ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا يَا صَفِيَّةُ عَمَّةَ رَسُولِ اللَّهِ لاَ أُغْنِى عَنْكِ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا يَا فَاطِمَةُ بِنْتَ رَسُولِ اللَّهِ سَلِينِى بِمَا شِئْتِ لاَ أُغْنِى عَنْكِ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا ». متفق عليه.
 “Wahai anak keturunan Abdul Muthalib! Aku tidak dapat membela kalian sedikitpun dari Allah, wahai Abbas bin Abdul Muthalib aku tidak dapat membela kalian engkau dari Allah, wahai Shofiyah bibik Rasulullah aku tidak dapat membela engkau sedikitpun dari Allah, wahai Fatimah binti Rasulullah! Mintalah apa yang engkau mau, aku tidak dapat membela engkau sedikitpun dari Allah”.

( Kemulian Ahlul Bait Dalam Al Qur’an )
Berikut ini kita sebutkan ayat yang menerangkan keutamaan Ahlul bait serta kometar para ulama tafsir dalam menjelaskan ayat tersebut.
Isteri sesorang adalah merupakan bagian dari keluarganya. Sebagaimana ketika Allah menceritakan tentang keluarga Nabi Ibrohim ‘Alaihis Salam.
قَالُوا أَتَعْجَبِينَ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ رَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الْبَيْتِ إِنَّهُ حَمِيدٌ مَجِيدٌ [هود/73]
“Para malaikat itu berkata: “Apakah kamu merasa heran tentang ketetapan Allah? (Itu adalah) rahmat Allah dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas kamu, hai ahlulbait! Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah.”
Imam Qurtuby berkata[11]: “Ayat ini memberi penjelasan bahwa isteri seseorang termasuk bagian dari keluarganya (Ahlu baitihi). Hal ini menunjukkan bahwa isteri para nabi adalah bagian dari keluarganya (Ahlu baitihi). Maka ‘Aisyah radhialllahu ‘anha dan lainnya adalah termasuk dari jumlah Ahlul bait Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam, yakni termasuk diantara orang yang disebutkan Allah dalam firman-Nya:
إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا [الأحزاب/33]
“Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya”.
Lalu ketika menafsirka ayat tersebut di atas Imam Qurtuby berkata[12]: ”Allah telah memuliakan isteri-isteri Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam dengan menjadikan mereka sebagai ummahatul mukminin (ibunda orang-orang beriman). Yaitu dalam hal tentang wajibnya memuliakan, berbuat baik, menghormati dan diharamkan menikahinya atas kaum laki-laki. Hal yang membedakan mereka dari ibu kandung sndiri adalah mereka diwajibkan untuk berhijab dari (kaum laki-laki yang bukan mharam)”.
Demikian pula syeikh Syanqiithy memjelaskan ayat yang sama dan membantah pendapat yang mengeluarkan isteri nabi dari bagian Ahlull bait[13]: ”Sesungguhnya Qorinah (bukti) dari maksud konteks ayat secara tegas menyatakan bahwa para isteri Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam termasuk kedalam ayat tersebut. Karena diawal ayat Allah berfirman:
{قُلْ لِأَزْوَاجِكَ إِنْ كُنْتُنَّ تُرِدْنَ}
”Katakanalah kepada Iisteri-isterimu jka mereka menginginkan ….”
Lalu setelah itu Allah berfirman:
{إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ}
“Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait”
Lalu Allah lanjutkan dengan firman-Nya:
{وَاذْكُرْنَ مَا يُتْلَى فِي بُيُوتِكُنَّ}
”Dan ingatlah (isteri-isteri nabi) apa yang dibacakan di rumahmu”
Maksud syeikh Syanqiithy adalah bahwa Ayat–ayat di atas semuanya bercerita tentang isteri-isteri Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam. Dan ayat yang menyebutkan tentang ahlul bait berada diantara ayat-ayat tersebut, maka hal ini menunjukkan dengan jelas bahwa yang dimaksud dengan Ahlul bait adalah mereka isteri-isteri Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam.
Kemudian beliau kemukakan dalil lain bahwa isteri seseorang adalah termasuk yang disebut keluarganya (Ahlu Baitihi). Kata beliau: “Hal yang sama,  dari prihal masuknya para isteri dalam sebutan Ahlul Bait adalah firman Allah tentang isteri nabi Ibrohim ‘Alaihis Salam:
قَالُوا أَتَعْجَبِينَ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ رَحْمَتُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الْبَيْتِ}.
“Para malaikat itu berkata: “Apakah kamu merasa heran tentang ketetapan Allah? (Itu adalah) rahmat Allah dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas kamu, hai ahlulbait! Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah.”
Adapun dalil yang menunjukkan tentang masuknya selain mereka (isteri-isteri) kedalam ayat tersebut adalah berdasarkan hadits dari Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam, bahwa ia bersabda tentang Ali, Fathimah, Hasan dan Husain mereka adalah bagian dari ahlul bait. Dan Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam berdo’a kepada Allah untuk mereka agar dihilangan kotoran dosa dari mereka dan dibersihkan dengan sebersih-bersihnya. Hal tersebut telah diriwayatkan oleh sekolompok sahabat dari Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam. Diantara mereka adalah Ummul mukminin Ummu Salamah, Abu Sa’id, Anas, Watsilah bin Asqo’ dan Ummul mukminin ‘Aisyah serta yang lainnya”[14].
Jika ada yang berkata: sesungguhnya dhomir (kata ganti) dalam ayat: {لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ} dan {يُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيراً} mennggunakan kata ganti untuk laki-laki! Kalau seandainya yang dimaksud isteri-isteri Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam tentu akan di gunakan kata ganti untuk permpuan ليذهب عنكن ويطهركن!
Maka jawabanya dari dua sisi:
Pertama: Seperti yang telah kita jelaskan bahwa ayat tersebut mencakup mereka (isteri-isteri Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam dan lain mereka yaitu; Ali, Hasan, Husain dan Fathimah. Seluruh ulama pakar bahasa terlah bersepakat bila digabung antara laki-laki dan perempuan dalam sebuah ungkapan maka digunakan kata ganti laki-laki.
Kedua:  Diantara bentuk uslub (tata) bahasa Arab -yang dengannya diturunkan Al Qur’an- bahwa isteri seseorang disebut Ahlu (keluarga), dan kalimat tersebut juga dipergunakan untuk penyebutan plural (jama’) laki-laki. Alasan digunakan kata ganti laki-laki dalam ayat tersebur agar sesuai dengan lafaz Ahlu. (Sedangakan yang dimaksud Ahlu di sini ialah iterinya). Seperti firman Allah tentang Musa ‘Alaihis Salam ketika ia berkata isterinya:
إِذْ قَالَ مُوسَى لِأَهْلِهِ إِنِّي آَنَسْتُ نَارًا سَآَتِيكُمْ مِنْهَا بِخَبَرٍ أَوْ آَتِيكُمْ بِشِهَابٍ قَبَسٍ لَعَلَّكُمْ تَصْطَلُونَ [النمل/7]
“Ingatlah) ketika Musa berkata kepada keluarganya: “Sesungguhnya aku melihat api. Aku kelak akan membawa kepadamu khabar daripadanya, atau aku membawa kepadamu suluh api supaya kamu dapat berdiang.”
Pada ayat yang lain:
وَهَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ مُوسَى (9) إِذْ رَأَى نَارًا فَقَالَ لِأَهْلِهِ امْكُثُوا إِنِّي آَنَسْتُ نَارًا لَعَلِّي آَتِيكُمْ مِنْهَا بِقَبَسٍ [طه/9، 10]
”Apakah telah sampai kepadamu kisah Musa? Ketika ia melihat api, lalu berkatalah ia kepada keluarganya: “Tinggallah kamu (di sini), sesungguhnya aku melihat api, mudah-mudahan aku dapat membawa sedikit daripadanya kepadamu”.
Lawan bicara Nabi Musa ‘Alaihis Salam di sini adalah isterinya, sebagaimana yang disebutkan oleh para ulama”.
Melalui apa yang dijelaskan oleh syeikh Syanqiithy di atas dapat kita simpulkan beberapa hal:
  1. Bahwa yang dimaksud tentang Ahlul Bait dalam surat Al Ahzaab adalah para isteri Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam karena ayat tersebut turun di rumah mereka. Demikian pula dengan melihat konteks ayat yang sebalum dan sesudahnya, jika kita cermati dengan seksama semuanya berbicara tentang isteri-isteri Rsulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam. Mulai dari ayat no 28 dari surat Al Ahzaab sampai pada ayat no 34 pada surat yang sama, seluruh berbicara tentang isteri-isteri Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam. Sedangkan ayat yang mengenai Ahlul Bait berada diperantaraan ayat-ayat tersebut, yaitu pada ayat no 33.
  2. Masuknya selain isteri-isteri nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam kedalam kandungan makna ayat tersebut tidak berdasarkan ayat, karena ayat turun di rumah isteri Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam. Akan tetapi berdasarkan hadits yang menyatakan bahwa mereka termasuk kedalam makna ayat tersebut. Seprti hadits berikut ini[15]:
قَالَتْ عَائِشَةُ خَرَجَ النَّبِىُّ  صلى الله عليه وسلم غَدَاةً وَعَلَيْهِ مِرْطٌ مُرَحَّلٌ مِنْ شَعْرٍ أَسْوَدَ فَجَاءَ الْحَسَنُ بْنُ عَلِىٍّ فَأَدْخَلَهُ ثُمَّ جَاءَ الْحُسَيْنُ فَدَخَلَ مَعَهُ ثُمَّ جَاءَتْ فَاطِمَةُ فَأَدْخَلَهَا ثُمَّ جَاءَ عَلِىٌّ فَأَدْخَلَهُ ثُمَّ قَالَ (إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا)
‘Aisyah berkata: “Pada suatu pagi Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam keluar berselimu kain yang disulam berwarna hitam. Lalu datang Hasan bin Ali maka ia selimuti, kemudian datang Husain maka ia selimuti bersama, kemudian datang Fathimah maka ia selimuti pula, kemudian datang Ali maka ia selimuti juga. Kemudian beliau membaca firman Allah:
“Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya”.
  1. Bahwa para sahabat tidak pernah menyembunyikan keutamaan Ali Radhiallahu ‘anhu dan keluarganya. Jika kita cermati riwayat di atas adalah dari ‘Aisyah. Hal ini menunjukkan bahwa ‘Aisyah tidak menyembunikan keutamaan Ali dan keluarganya apa lagi sampai membenci mereka. Demikian pula para ulama Ahlussunnah tidak pernah menyembunyikan keutamaan Ahlul bait, sebagaiman yang dituduhkan oleh kaum syi’ah Rafidhah. Buktinya kitab-kitab Ahlussunnah penuh dengan riwayat-riwayat yang menyebutkan keutamaan-keutamaan Ahlul bait. Akan tetapi memang tidak memuat riwayat-riwayat palsu yang sampai pada tingkat mengkultuskan Ahlul bait.
Berkata syeikh Islam Ibnu Taimiyah tentang keutamaan dan kemulian para isteri Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam[16]: “Diantara pokoko-pokok aqidah Ahlussunnah adalah mereka beroyalitas kepada isteri-isteri Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam, Ummahatul mukminin (ibunda orang-orang beriman)…. ».
Sebagaimana Alah nyatakan dalam firman-Nya :
النَّبِيُّ أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ [الأحزاب/6]
«Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka».
( Kemulian Ahlul Bait Dalam Sunnah )
Berikut ini kita sebutkan beberapa hadits yang menunjukkan tentang kewajiban memuliakan Ahlul bait:
  • Hadits pertama:
Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam pernah bekhutbah di hadapan para sahabat sekembalinya beliau dari melaksanakan haji Wada’ di suatu temapat antara Makkah dan Madinah di sebur Ghadiir Khum:
« أَمَّا بَعْدُ أَلاَ أَيُّهَا النَّاسُ فَإِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ يُوشِكُ أَنْ يَأْتِىَ رَسُولُ رَبِّى فَأُجِيبَ وَأَنَا تَارِكٌ فِيكُمْ ثَقَلَيْنِ أَوَّلُهُمَا كِتَابُ اللَّهِ فِيهِ الْهُدَى وَالنُّورُ فَخُذُوا بِكِتَابِ اللَّهِ وَاسْتَمْسِكُوا بِهِ ». فَحَثَّ عَلَى كِتَابِ اللَّهِ وَرَغَّبَ فِيهِ ثُمَّ قَالَ « وَأَهْلُ بَيْتِى أُذَكِّرُكُمُ اللَّهَ فِى أَهْلِ بَيْتِى أُذَكِّرُكُمُ اللَّهَ فِى أَهْلِ بَيْتِى أُذَكِّرُكُمُ اللَّهَ فِى أَهْلِ بَيْتِى ».
“Berikutnya; Ketahuilah wahai para manusia! Sesungguhnya aku adalah sorang manusia, boleh jadi sudah dekat kedatangan utusan Rabbku, lalu aku menjawabnya. Dan aku tinggalkan di tengah-tengah kalian dua perkara; pertama; Kitabullah (Al Qur’an). Di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya. Maka ambillah dan berpegang teguhlah dengannya. (Berkata rawi hadits): maka ia mendorong dan menganjurkan untuk berpegang teguh dengannya. Kemudia ia (Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam) berkata: Dan keluargaku, aku ingatkan kalian kepada Allah tentang (hak-hak) keluargaku. Beliau mengulangnya tiga kali” [17].
Dalam hadits ini Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam memberitahukan kepada para sahabat tentang ajal beliau yang sudah dekat. Hal Ini menunjukkan akan pentingnya nasehat tersebut untuk senantiasa mereka jaga. Nasehat pertama berpegang teguh dengan Al Qur’an. Nasehat kedua menjaga hak-hak keluarga beliau. Yang dimaksud dengan hak-hak keluarga beliau adalah memuliakan dan menghormati mereka. Dan mengikuti nasehat-nasehat mereka selama sesuai dengan ajaran yang beliau tinggalkan. Adapun jika ada pendapat mereka yang tidak sesuai dengan ajaran yang beliau tinggalkan, maka kita tidak boleh taklit kepada mereka. Karena hadits tersebut tidak ada perintah untuk wajib berpegang teguh dengan segala perkataan mereka. Sebagaimana yang dipahami oleh sebahagian orang.
Berkata Imam Qurtuby: ”Wasiat ini dan ketegas ini adalah menunjukkan tentang wajibnya menghormati keluarga beliau, berbuat baik, memuliakan dan mencintai mereka. Kewajiban yang sangat ditekankan, tidak ada alasan bagi seorangpun untuk tidak melaksanakannya.” [18].
  • Hadits kedua:
« إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى كِنَانَةَ مِنْ وَلَدِ إِسْمَاعِيلَ وَاصْطَفَى قُرَيْشًا مِنْ كِنَانَةَ وَاصْطَفَى مِنْ قُرَيْشٍ بَنِى هَاشِمٍ وَاصْطَفَانِى مِنْ بَنِى هَاشِمٍ ».
“Sesungguhnya Allah telah memilih Kinaanah dari anak keturunan Ismail. Dan memilih Quraisy dari kalangan suku Kinaanah. Dan memilih Bani Hasyim dari kalangan bangsa Quraisy. Dan memilih aku dari kalang Bani Hasyim”[19].
Dalam hadits ini terdapat penjelasan tentang keutamaan Bani Hasyim. Karena mereka memiliki sifat-sifat baik dan terpuji yang lebih menonjol dari sukuk-suku lain, maka Allah memilih Rasul yang paling mulia dari kalangan suku mereka.
  • Hadits ketiga:
((أنا محمَّدُ بْنُ عَبْدِاللَّهِ بْنِ عَبْدِ المُطَّلِبِ إنَّ اللَّهَ تعالى خَلَقَ الخَلْقَ فَجَعَلَنِي في خَيْرِهِمْ ثمَّ جَعَلَهُمْ فِرْقَتَيْنِ فجَعَلَني في خيْرِهِمْ فِرْقَةً ثمَّ جَعَلَهُمْ قَبائِلَ فَجَعَلَنِي في خيْرِهِمْ قَبِيلَةً ثمَّ جَعَلَهُمْ بُيُوتاً فَجَعَلَنِي في خَيْرِهِمْ بَيْتاً فأنا خَيْرُكُمْ بَيْتاً وأنا خَيْرُكُمْ نَفْساً)).
“Saya adalah anak Abdullah bin Abdul Muthalib. Sesungguhnya Allah-lah yang menciptakan makhluk, lalu Ia menjadikan aku dalam bagian mereka yang terbaik. Kemudian Allah menjadikan mereka kepada dua golongan, maka Allah menjadikan aku pada golongan yang terbaik. Kemudian Allah menjadikan mereka berbangsa-bangsa, maka Allah menjadikan aku pada bangsa yang terbaik. Lalu Allah menjadikan mereka bersuku-suku, maka Allah menjadikan pada suku yang terbaik. Aku adalah yang terbaik diantara dari segi suku dan jiwa”[20].
Dalam hadits ini juga terdapat kemulian Ahlul bait karena Allah telah memilih Nabi yang paling mulia dari suku mereka. Akan tetapi kemulian ini secara umum tidak secara person (setiap pribadi) mereka. Karena dari kalangan luar Ahlull bait secara person ada yang lebih mulia dari sebagian person Ahlul bait. Seperti jawaban Ali Radhiallahu ‘anhu ketika ditanya oleh anaknya sendiri Muhammad Ibnul Hanafiah:
((عَنْ مُحَمَّدِ ابْنِ الْحَنَفِيَّةِ قَالَ قُلْتُ لأَبِى أَىُّ النَّاسِ خَيْرٌ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ Sallallahu Alaihi Wa Sallam ؟ قَالَ: أَبُو بَكْرٍ. قَالَ قُلْتُ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ عُمَرُ. قَالَ ثُمَّ خَشِيتُ أَنْ يَقُولَ عُثْمَانُ فَقُلْتُ ثُمَّ أَنْتَ يَا أَبَةِ قَالَ مَا أَنَا إِلاَّ رَجُلٌ مِنَ الْمُسْلِمِينَ)).
“Dari Muhammad Ibnu Hanafiyah, ia berkata: aku bertanya pada ayahku, siapa manusia yang paling baik setelah Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam?. Jawabnya: Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu. Kemudia aku tanya lagi, kemudian siapa? Jawabnya: Umar Radhiallahu ‘anhu. Kemudian aku cemas bila ia katakan Utsman, maka aku katakan: kemudian engkau ya ayahku? Ia menjawab: aku ini hanyalah salah seorang dari kaum muslimin”[21].

( Ungkapan Ulama Ahlussunnah Tentang Kemulian Ahlul Bait )
Jika kita membaca kitab-kitab para ulama niscaya akan kita dapati begitu banyak ungkapan mereka tentang wajibnya memuliakan dan menghormati Ahlull bait. Berikut ini kita sebutkan ungkapan para ulama Ahlussunnah, terutama yang sering mendapat tuduhan bahwa mereka tidak memuliakan Ahlul bait. Agar terbukti kebohongan orang-orang yang menuduh mereka tidak mencintai Ahlul bait.
  • Perkataan Umar bin Abdul Aziz, salah seorang dari khalifah Bani Umayyah.
Berkata Umar bin Abdul Aziz kepada Abdullah bin Hasan bin Husain (cucu dari Husain bin Ali Radhiallahu ‘anhu): “Jika engkau ada kebutuhan maka tulislah kepada! Sesungguhnya aku malu kepada Allah bila Ia melihat engkau (berdiri) di depan pintu rumahku. Tidak ada di muka bumi ini keluarga yang lebih aku cintai daripada kalian. Sungguh kalian lebih aku cintai dari pada keluargaku sendiri”[22].
Pada suatu kali yang lain ia berkata pula kepada Fathimah binti Ali Radhiallahu ‘anhu (anak perempuan Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘anhu): “Wahai anak perempuan Ali! Demi Allah tidak ada di muka bumi ini keluarga yang lebih aku cintai daripada kalian. Sungguh kalian lebih aku cintai dari pada keluargaku sendiri”[23].
Sengaja kita sebutkan di sini perkataan Umar bin Abdul Aziz untuk membantah prasangka buruk yang senantiasa dituduhkan oleh sekolompok orang terhadap keluarga Bani Umaiyyah, bahwa mereka memusuhi atau membenci Ahlul bait. Melalui ungkapan Umar bin Abdul Aziz di atas amat jelas bagaimana bersarnya kemulian Ahlul bait dalam pandangannya. Dan ini sebagai bukti bahwa tidak ada permusuhan antara bani Umayyah dengan Ahlul bait. Yang ada hanyalah kecintaan dan penghargaan yang tinggi terhadap Ahlul bait. Di sini terbuktilah kebohongan tuduhan kelompok yang senantiasa menyebarkan prasangka buruk tersebut.
  • Perkataan Imam Al Ajurry.
Berkata Imam Al Ajurry: “Diwajibkan atas setiap orang mukmin laki-laki dan orang mukmin perempuan mencintai keluarga (Ahlul bait) Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam. Yaitu: Bani Hasyim; Ali bin Abi Thalib beserta anak dan cucu-cucunya, Fathimah beserta anak dan cucu-cucunya, Hasan dan Husain beserta anak dan cucu-cucunya, Ja’far Ath Thayyaar beserta anak dan cucu-cucunya, Hamzah beserta anak dan cucu-cucunya, Abbas beserta anak dan cucu-cucunya. Mereka itulah keluarga Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam. Diwajibkan atas orang-orang muslim mencintai dan memuliakan mereka”[24].
Dari ungkapan Imam Al Jurri di atas menjadi jelas bagi kita bahwa Ahlul bait tersebut tidak hanya keturunan Ali saja atau keturnan husain saja, sebagaimana asumsi orang-orang Syi’ah Rofidhah. Akan tetapi mencakup siapa saja yang beriman dari paman-paman Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam serta anak dan cucu-cucu mereka.
  • Perkataan Syeikh Islam Ibnu Taimiyah.
Berkata syeikh Islam Ibnu Taimiyah: “Diantara pkok-pokok aqidah Ahlussunnah …bahwa sesungguhnya mereka mencintai para keluarga (ahlul bait) Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam dan berolayalitas pada mereka serta menjaga benar wasiat Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam ketika ia bersabda pada hari Ghadiir KKhum[25]:
((أذكركم الله في أهل بيتي)) .
Aku ingatkan kalian pada Allah tentang (hak-hak) kelurgaku“[26].
Beliau juga berkata: “Tidak diragukan lagi bahwa bagi keluarga nabi Muhammad Sallallahu Alaihi Wa Sallam memiliki hak di atas umat ini yang tidak diesrtai oleh selain mereka. Mereka berhak untuk lebih dicintai dan dimuliakan, yang mereka tidak disertai oleh suku-suku Quraisy yang lain[27]“.
Dari ungkapan beliau ini terbantah pulalah tuduhan bohong kepada beliau, bahwa beliau tidak mencitai keluarga Rasul Sallallahu Alaihi Wa Sallam. Seungguhnya ungkapan-ungkapan beliau yang semakna dengan ungkapan yang di atas sangat banyak sekali dalam kitab-kitab beliau.
  • Perkataan syeikh Muhammad bin Abdul Wahab.
Berkata syiekh Muhammad bin Abdul Wahab: “Saya mencintai para sahabat Rasul Sallallahu Alaihi Wa Sallam. Begitu pula para keluarga beliau. Saya memuji mereka. Dan mendo’akan semoga Allah meridhai mereka. Saya menutup mulut dari membicarakan kejelekan dan perselisihan yang terjadi antara mereka”[28].
Dari sini juga terbukti kebohongan yang dituduhkan kepada syeikh Muhammad bin Abdul Wahab bahwa beliau tidak mencintai Ahlul bait. Ungkapan yang semakna juga sering terulang dalam kitab-kitab beliau.
Bahkan beliau menamakan anak-anak beliau nama Ahlul bait sebagai atas kecintaan beliau pada Ahlul bait. Diantara anak-anak beliau ada yang benama; Ali, Hasan ,Husain dan Fathimah[29].

( Kelompok Yang Menyimpang Dalam Mencintai Ahlul Bait )
Banyak orang yang beranggapan bahwa mazhab para Ahlul bait  adalah aliran syi’ah Rafidhah yang tercela. Sehingga isu tersebut menyebabkan sebagahagian orang membenci  Ahlull BAit. Ini adalah persepsi yang salah dan keliru. Anggapan tersebut merupakan penghinaan dan pencemaran terhadap nama baik Ahlul bait, seakan-akan mereka adalah para penyeru kepada bid’ah dan khurafat. Hal tersebut sangat bertolak belakang dengan kenyataan yang sebenarnya. Karena para Ahlul bait tersebar di berbagai belahan pelosok dunia sesuai dengan menyebarnya agama Islam keberbagai penjuru dunia. Dan mereka menganut mazhab yang tersebar di tengah-tengah masyarakat di mana tempat mereka tinggal.
Berkata imam Asy Syaukany: “Sesungguhnya mereka (para Ahlul bait) telah terpencar-pencar di berbagai tempat. Mereka tinggal diberbagai negeri yang berjauhan. Dan masing-masing dari mereka mengukuti mazhab negeri dimana mereka tinggal”[30].
Jika kita mencoba mengenal biografi para ulama Ahlussunnah, niscaya akan kita dapati tidak sedikit diantara mereka adalah dari kalangan Ahlul bait. Merka adalah para pejuang agama dan memerangi berbagai bentuk bid’ah dan kesesatan serta para pelakunya. Demikian pula jika kita menganal pusat-pusat kajian Ahlussunnah yang menyebarkan ilmu di Yaman, niscaya akan kita temui di sana para masyikh dan da’i yang menyebarkan ilmu adalah dari kalangan Ahlul bait. Yang mana dengan sebab keberadaan mereka, banyak sekali manusia yang mendapat hidayah kepada jalan yang lurus.
Para Ahlul bait tidak pernah memiliki mazhab tertentu. Seperti yang tuturkan oleh sahabat Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘anhu keitka ia menjawab pertanyaan salah seorang sahabat yaitu Abu Juhaifah Radhiallahu ‘anhu: Apakah kalian memiliki sesuatu yang tidak terdapat dalam Al Qur’an? Pada kali yang lain ia bertanya: Apakah kalian memiliki sesuatu yang tidak ada pada manusia lain? Jawab Ali Radhiallahu ‘anhu:
((والذي فلق الحبة وبرأ النسمة ما عندنا إلا ما في القرآن -إلا فهماً يعطى رجل في كتابه- وما في الصحيفة. قلت: وما في الصحيفة؟ قال: العقل وفكاك الأسير وأن لا يقتل مسلم بكافر)).
“Demi Zat yang menumbuhkan biji-bijian, dan yang menciptakan jiwa. Tidak ada di sisi kecuali apa yang terdapat dalam Al Qur’an, yaitu kecuali pemahaman yang diberikan Allah kepada seseorang tentang kitabNya. Dan apa yang ada dalam lembaran ini. Abu Juhaifah bertanya: apa yang ada dalam lembaran tersebut? Jawab Ali Radhiallahu ‘anhu: Hukum diat, hukum tentang pembebasan tawana, dan tidak boleh dibunu seorang lantaran membunuh seorang kafir”[31].
Dalam jawaban Ali Radhiallahu ‘anhu di atas terbukti segala kebohongan tentang adanya wasiat untuk Ali Radhiallahu ‘anhu dari Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam untuk menjadi khalifah setelahnya. Kemungkinan pertanyaan tersebut diajukan oleh Abu Juhaifah Radhiallahu ‘anhu karena adanya desas-desus tentang wasit tersebut, sehingga Abu Juhaifah ingin menanyakan secarang lasung pada Ali Radhiallahu ‘anhu.
Orang-orang Syi’ah Rafidhah menganggap diri mereka orang yang paling mencintai Ahlul bait, dan selain mereka menzalimi Ahlul bait. Pada hal sebenarnya orang-orang Rafidhah-lah yang telah menzalimi Ahlul bait kezaliman yang tiada tara. Mereka-lah yang membuat Ahlul bait terhina dan menipu menreka serta ditolaknya riwayat-riwayat Ahlul bait disebabkan karena orang-orang Rafidhah sangat terkenal dalam berbohong atas nama Ahlul bait.
Ditambah lagi orang-orang Rafidhah membatasi cinta mereka pada sebahagian kecil saja dari Ahlul bait. Sedangkan kebanyakan dari oarang-orang shaleh Ahlul bait mereka benci. Bahkan jumlah yang dibenci oleh orang-orang Rafidhah merka jauh lebih banyak dibanding dengan jumlah yang pura-pura mereka cintai. Seperti mereka membanci keluarga Abbas beserta anak keturunnya.
Berkata syeikh Islam Ibnu Taimiyah:”Manusia yang paling jauh dari melaksanakan wasiat Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam terhadap keluarga beliau adalah orang-orang Rafidhah. Sesungguhnya mereka memusuhi Abbas beserta ana keturunannya. Bahkan mereka memusuhi sebahagian besar Ahlull bait dan membantu orang-orang kafir untuk menghabisi mereka”[32]. Sebagaimana mereka membantu orang-orang mongolia untuk menghancurkan kekuasaan Abbasiyah di bagdad tahun 656H, dengan tokoh sentralnya Ibnu Al Qomy dan Nasiruddin Tusy.
  • Ada dua bentuk kesesatan Syi’ah Rafidhah dalam mencintai Ahlul Bait:
Pertama: Membatasi Ahlul Bait pada keturunan Ali Radhiallahu ‘anhu kemudia pada keturunan Husain Radhiallahu ‘anhu semata.
Kedua: Ghuluw (Eksrim) dalam mencintai Ahlul Bait.
Berikut ini berapa contoh tentang eksrim Syi’ah Rafidhah terhadap imam-imam mereka, terutama imam yang dua belas dari Ahlul Bait. Kita ambil contoh dalam kitab Ushul Kafi karangan Al Kulaini[33]. Kedudukan kitab ini dikalangan orang-orang Syi’ah Rafidhah adalah bagaikan shahih Bukhari dikalangan Ahlussunnahn.
Berikut ini cuplikan perkataan Al Kulaini dalam kitabnya Ushul Kafi:
  • hal: 130.
باب أن الأئمة عليهم السلام عندهم جميع الكتب التي نزلت من عند الله عز وجلّ وأنهم يعرفونها على اختلاف ألسنتها.
“Bab: Bawha sesungguhnya para imam ‘alaihimussalam di sis mereka semua kitab-kitab suci yang diturun Allah ‘azza wajalla. Dan sesungguhnya mereka mengetahui semuanya sekalipun berbeda-beda bahasanya”.
Ini adalah kebohongan yang nyata dan bertentangan ajaran yang dibawa oleh Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam. Buat apa kitab-kitab tersebut mereka miliki karena hukum-hukumnya sudah mansukh (tidak berlaku) setelah Al Qu’an diturunkan. Bahkan Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam marah ketika melihat Umar bin Khatab Radhiallahu ‘anhu memgang lembaran Taurat. Anggapan bahwa para imam mereka mengetahui segala bahasa kitab-kitab tersebut ini kebohongan yang nyata. Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam sendiri tidak mengetahui bahasa bangsa Yahudi, oleh sebab itu beliau menyuruh sahabat Zaid bin Tsabit untuk memprlajarinya. Apakah para imam tersebut lebih tinggi derajatnya dari para nabi? Karena para nabi tidak pernah diturunkan kepada mereka semua kitab yang diturunkan Allah!

  • hal: 131.
باب أنه لم يجمع القرآن كله إلا الأئمة عليهم السلام وأنهم يعلمون علمه كله.
“Bab: Sesungguhnya tidak ada yang mengumpulkan Al Qur’an secara sempurna kecuali para imam ‘alaihimussalam. Dan sesungguhnya mereka mengetahui ilmunya secara keseluruhan”.
Ini adalah asumsi yang batil, karena begitu banyak sahabat yang hafal Al Qur’an. Kemudian  pernyataan bahwa para imam menguasai segala ilmu yang ada dalam Al Qur’an ini adalah sesuatu yang berlebihan. Ibnu Abbas menyebutkan bahwa tafsir itu ada empat tingkatan; tafsir yang diketahui oleh setiap orang, tafsir yang diketuhi oleh para pakar bahasa Arab, tafsir yang diketahui oleh para ulama dan tafsir yang tidak mengetahuinya kecuali Allah.

  • hal: 132.
باب ما عند الأئمة من آيات الأنبياء عليهم السلام أجمعين.
“Bab: Apa yang dimiliki oleh para imam dari mu’jizat-mu’jizat para nabi ‘alaihimussalam ajma’iin”.
Ini adalah salah bentuk dari bentuk eksrim mereka dalam menilai para imam mereka, sampai-sampai menyatakan bahwa mereka memiliki mu’jizat para nabi.

  • hal: 145.
باب أن الأئمة عليهم السلام يعلمون جميع العلوم التي خرجت إلى الملائكة والأنبياء والرسل عليهم السلام.
“Bab: Bahwa sesungguhnya para imam ‘alaihimussalam mengetahui seluruh ilmu yang diberikan kepada para malaikat, kepada para nabi dan rasul ‘alaihimussalam”.
Ini sangat jelas sekali kebatilannya, karena Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam sendiri tidak pernah mengaku memiliki semua ilmu yang dimiliki malaikat dan para rasul lainnya.
Sebagaimana firman Allah:
قُلْ لَا أَقُولُ لَكُمْ عِنْدِي خَزَائِنُ اللَّهِ وَلَا أَعْلَمُ الْغَيْبَ وَلَا أَقُولُ لَكُمْ إِنِّي مَلَكٌ إِنْ أَتَّبِعُ إِلَّا مَا يُوحَى إِلَيَّ [الأنعام/50]
Katakanlah: Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku”.

  • hal: 147.
باب أن الأئمة عليهم السلام إذا شاؤوا أن يعلموا علّموا.
“Bab: Bhwa sesungguhnya para imam apabila ingin tahu, mereka akan diberitahu”.
Menurut mereka para imam seperti para nabi, mereka mendapat wahyu langsung dari Allah tentang hal yang ingin mereka ketahui. Ayat yang kita sebutkan di atas sudah cukup untuk menunjukkan kebatilan pernyataan ini.

  • hal: 147 juga.
باب أن الأئمة عليهم السلام يعلمون متى يموتون وأنهم لا يموتون إلا باختيار منهم.
“Bab: Bahwa sesungguhnya para imam ‘alaihimussalam mengetahui kapan mereka mati. Dan sesungguhnya mereka tidak akan mati kecuali atas pilihan mereka sendiri”.
Ini adalah kebohongan dan kesyirikan yang nyata, tidak ada seorangpun yang dapat mengetahui kapan ia mati, sekalipun Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam. Dan kematian itu mutlak berada ditangan Allah bukan atas pilihan manusia. Allah berfirman:
وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ [لقمان/34]
“Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti”.
Bila ajal seseorang telah datang tidak ada seorang yang dapat menolaknya sekalipun ia tidak menghendaki kematian tersebut, bahkan tidak akan bisa ditunda walau sedetik saja. Allah berfirman:
فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلَا يَسْتَقْدِمُونَ [الأعراف/34]
“Maka apabila telah datang ajal mereka, mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya”.

  • hal: 149.
باب أن الأئمة عليهم السلام يعلمون علم ما كان وما لم يكن وأنه لا يخفى عليهم الشيء صلوات الله عليهم
“Bahwa sesungguhnya para imam ‘alaihimussalam mengetahui ilmu apa yang telah terjadi dan ilmu yang belum terjadi. Dan sesungguhnya tidak sesuatu-pun yang tersembunyi atas mereka salawatullahi ‘alaihin”.
Ini adalah kesyirikan yang nyata yaitu meyakini para imam dapat mengetahui hal-hal yang sudah berlalu dan hal-hal yang akan terjadi. Allah berfirman:
قُلْ لَا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ [النمل/65]
“Katakanlah: “Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah”, dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan”.
Bahkan Allah memerintahkan kepa Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam untuk menyatakan bahwa ia tidak mengetahui yang ghaib:
قُلْ لَا أَقُولُ لَكُمْ عِنْدِي خَزَائِنُ اللَّهِ وَلَا أَعْلَمُ الْغَيْبَ وَلَا أَقُولُ لَكُمْ إِنِّي مَلَكٌ إِنْ أَتَّبِعُ إِلَّا مَا يُوحَى إِلَيَّ [الأنعام/50]
Katakanlah: Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku”.
  • hal: 236.
باب في أن الأئمة عليهم السلام أنهم إذا ظهر أمرهم حكموا بحكم داود وآل داود ولا يسألون البينة عليهم السلام.
“Bahwa sesungguhnya para imam ‘alaihimussalam, sesungguhnya apabila merka berkuasa, mereka menjalankan hukum nabi Daud dan kularga Daud. Dan mereka tidak membutuhkan bukti (dalam memutuskan perkara) ‘alaihimussalam”.
Ini menunjukkan kebenaran apa yang disebutkan oleh para ulama, bahwa Syi’ah Rafidhah adalah rekayasa orang-orang Yahudi. Tujuan kekuasan para imam mereka menegakkan hukum Daud dan keluarga Daud. Sebagaimana hal yang sama direncanakan oleh orang-orang Yahudi di Palestina, yaitu mengembalikan kerajaan Daud.
Hal ini jelas bertentangan dengan perintah Allah kepada Rasul-Nya:
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ [المائدة/49]
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu”.
Dalam ayat lain Allah katakan:
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ مِنَ الْأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ [الجاثية/18]
“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui”.

  • hal: 237.
باب أنه ليس شيء من الحق في يد الناس إلا ما خرج من عند الأئمة عليهم السلام وأن كلّ شيء لم يخرج من عندهم فهو باطل.
“Bab: Sesungguhnya tidak satu-pun dari kebenaran yang ada pada manusia kecuali apa yang keluar dari para imam ‘alaihimussalam. Dan sesungguhnya segala sesuatu yang tidak keluar dari sisi mereka maka itu adalah batil”.
Ini adalah salah satu bentuk pengkultusan mereka terhadap para imam, bahwa para imam mereka adalah maksum (terbebas) dari kesalahan, dimana semua kebenaran yang ada pada manusia berasal dari mereka, bila tidak datang dari mereka maka itu adalah batil.
Menurut Al Qur’an kebenaran mutlak itu hanya dari Allah, sebagaimana firman Allah:
الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَلَا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ [البقرة/147]
“Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu”.
Dalam ayat lain Allah berfirman:
وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ [الكهف/29]
“Dan katakanlah: “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir.”

  • hal: 242.
باب أن الأرض كلّها للإمام عليه السلام.
“Bab: “bahwa sesungguhnya bumi seluruhnya dalah milik imam ‘alaihissalam”.
Ini adalah kesyirikan yang nyata ketika meyakini seluruh bumi adalah milik imam. Bagaimana dengan firman Allah:
إِنَّ الْأَرْضَ لِلَّهِ يُورِثُهَا مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ [الأعراف/128]
“Sesungguhnya bumi (ini) kepunyaan Allah; dipusakakan-Nya kepada siapa yang dihendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya. Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa.”
Sesungguhnya setiap muslim pasti mengetahui kabtilan dan kebohongan terhadap apa yang disebutkan dalam kitab Ushul Kafi karangan Kulainy tersebut. Oleh sebab itu tidak perlu kita jawab dengan panjang lebar, karena setiap muslim sudah mengetahui kebatilannya.

[1]  HR. Bukhari no (15) dan Muslim no (178).
[2]  HR. Muslim no (6378).
[3]  Lihat “Syu’abul Iman”: 2/228.
[4]  HR. Muslim no (2531).
[5]  Lihat “Minhajjussunnah”: 7/304, “Fathul Baary”: 7/78 dan “Fadhlu Ahlil Bait” karya Syeikh Abdul Muhsin, hal: 7.
[6]  Lihat “Tafsir Ibnu Katsir: 6/410.
[7]  Lihat “Tafsir Ibnu Katsir: 6/415.
[8]  HR. Bukhari no (2494).
[9]  HR. Bukhari no (3318).
[10]  HR. Muslim no (3393).
[11]  Lihat “Tafsir Qurtuby: 9/71.
[12]  Lihat “Tafsir Qurtuby: 14/122.
[13]  Lihat “Adhwaaul bayaan: 36/98.
[14]  Lihat “Adhwaaul bayaan: 36/98.
[15]  HR. Muslim (6414).
[16]  Lihat “Majmu’ Fatawa”: 1/26.
[17]  HR. Muslim no (6378).
[18]  Lihat “Al Mufhim”: 6/303-304.
[19]  HR. Muslim no (6077).
[20]  HR. Tirmizy no (3632), menurutnya hadits ini adalah hadits hasan.
[21]  HR. Bukhari no (3468) dan Abu Daud no (4631).
[22]  Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’at dalam “Thabaqaat Al Kubra”: 5/333-334.
[23]  Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’at dalam “Thabaqaat Al Kubra”: 5/387-388.
[24]  Lihat “Asy Syari’ah: 3/3.
[25]  Lihat “Asy Syari’ah: 3/3.
[26]  Lihat “Al Waasithiyah”: 26.
[27]  Lihat “Minhaajus Sunnah”: 4/363.
[28]  lihat kumpulan surat-surat pribadi beliau dalam kitab “majmu’ muallafaat syeikh Muhammad bin Abdul Wahab jilid 3.
[29]  Lihat kitab “Ulama Najed”: 1/155.
[30]  Lihat “Nailul Authaar”: 1/224.
[31]  HR. Bukhari no (6507).
[32]  Lihta “majmu’ Fatawa”: 4/419.
[33]  Cetakan yang kami miliki, cetakan: 1 Th 1426H / 2005M, dicetak oleh muassasah Al A’lamy lilmathbu’aat, Bairut-Libanon.
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. BERITA SUNNAH - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger