{قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ ويَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ، وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ}

Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah (sunnah/petunjuk)ku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS Ali ‘Imran:31)

Kewajiban Mengikuti Cara Beragamanya Sahabat

Abu Fathan | 17:31 | 0 comments
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
Dan barangsiapa yang menentang/memusuhi Rasul sesudah nyata baginya al-hidayah (kebenaran) dan dia mengikuti selain jalannya orang-orang mu’min, niscaya akan Kami palingkan (sesatkan) dia ke mana dia berpaling (tersesat) dan akan Kami masukkan dia ke dalam jahannam dan (jahannam) itu adalah seburuk-buruknya tempat kembali. [An-Nisa’/4 : 115]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah di muqaddimah kitabnya “Naqdlul Mantiq” telah menafsirkan ayat :
سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ   “jalannya orang-orang mu’min” (bahwa) mereka adalah para sahabat. Maksudnya bahwa Allah telah menegaskan barangsiapa yang memusuhi atau menentang rasul dan mengikuti selain jalannya para sahabat sesudah nyata baginya kebenaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah dan didakwahkan dan diamalkan oleh Rasulullah bersama para sahabatnya, maka Allah akan menyesatkannya kemana dia tersesat (yakni dia terombang-ambing dalam kesesatan).

Ayat yang mulia ini merupakan sebesar-besar ayat dan dalil yang paling tegas dan terang tentang kewajiban yang besar bagi kita untuk mengikuti سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ “jalannya orang-orang mu’min” yaitu para sahabat. Yakni cara beragamanya para sahabat atau manhaj mereka berdasarkan nash Al-Kitab dan As-Sunnah diantaranya ayat di atas.
Jika dikatakan : Kenapa سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ “sabilil mukminin atau jalannya orang-orang mukmin” di ayat yang mulia ini ditafsirkan dengan para sahabat (?!) bukan umumnya orang-orang mu’min??
Saya jawab berdasarkan istinbath (pengambilan; penggalian) dari ayat di atas:
  1. Ketika turunnya ayat yang mulia ini, tidak ada orang mu’min di permukaan bumi ini selain para sahabat. Maka, khithab (pembicaraan) ini pertama kali Allah tujukan kepada mereka.
  2. Mahfumnya, bahwa orang-orang mu’min yang sesudah mereka (para sahabat) dapat masuk ke dalam ayat yang mulia ini dengan syarat mereka mengikuti jalannya orang-orang mu’min yang pertama yaitu para sahabat. Jika tidak, berarti mereka telah menyelisihi jalannya orang-orang mu’min sebagaimana ketegasan firman Allah di atas.
  3. Kalau orang-orang mu’min di ayat yang mulia ini ditafsirkan secara umum, maka jalannya orang mu’min manakah? Apakah mu’minnya Khawarij atau Syiah/Rafhidhah atau Mu’tazilah atau Murji’ah atau Jahmiyyah atau Falasifah atau Sufiyyah atau….atau…?
  4. Perjalanan orang-orang mu’min yang paling jelas arahnya, aqidah dan manhajnya hanyalah perjalanan para sahabat. Adapun yang lain mengikuti perjalanan mereka, baik aqidah dan manhaj.
  5. Perjalanan orang-orang mu’min yang paling alim terhadap agama Allah yaitu Al-Islam hanyalah para sahabat. Allah telah menegaskan di dalam Kitab-Nya yang mulia bahwa mereka adalah orang-orang yang telah diberi ilmu. [Muhammad/47:16]
  6. Perjalanan orang-orang mu’min yang mulia yang paling taqwa kepada Allah secara umum hanyalah para sahabat.
  7. Perjalanan orang-orang mu’min yang paling taslim (menyerahkan diri) kepada Allah dan Rasul-Nya secara umum hanyalah para sahabat.
  8. Perjalanan orang-orang mu’min yang ijma’ (kesepakatan) mereka menjadi hujjah dan menjadi dasar hukum Islam yang ketiga setelah Al-Qur’an dan As-Sunnah hanyalah ijma’ para sahabat. Oleh karena itu tidak ada ijma’ kecuali para sahabat atau setelah terjadi ijma’ diantara mereka. Demikian itu juga sebaliknya, mustahil terjadi perselisihan apabila para sahabat telah ijma’. Dan tidak ada yang menyalahi ijma’ mereka kecuali orang-orang sesat dan menyesatkan yang telah mengikuti “selain jalannya orang-orang mu’min”.
  9. Perjalanan orang-orang mu’min yang tidak pernah berselisih didalam aqidah dan manhaj hanyalah perjalanan para sahabat bersama orang-orang yang mengikuti mereka tabi’in dan tabi’ut tabi’in dan seterusnya.
  10. Para sahabat adalah sebaik-baik umat ini dan pemimpin mereka[1].
  11. Para sahabat adalah ulama dan muftinya umat ini.
  12. Para sahabat adalah orang-orang yang pertama-tama beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu Allah memerintahkan manusia untuk mengikuti mereka [Al-Baqarah/2:13]
  13. Para sahabat telah dipuji dan dimuliakan oleh Allah dibanyak tempat di dalam Kitab-Nya yang mulia.
  14. Bahwa perjalanan para sahabat telah mendapat keridhaan Allah dan merekapun ridha kepada Allah [At-Taubah/9:100]
  15. Perjalanan para sahabat telah menjadi dasar, bahwa Allah akan meridhai perjalannnya orang-orang mu’min dengan syarat mereka mengikuti “jalannya orang-orang mu’min yang pertama yaitu para sahabat”. Mahfumnya, bahwa Allah tidak akan meridhai mereka yang tidak mengikuti perjalanannya Al-Muhajirin dan al-Anshar [At-Taubah/9:100]
  16. Sebaik-baiknya sahabat para nabi dan rasul ialah sahabat-sahabat Rasulullah.
  17. Tidak ada yang marah dan membenci para sahabat kecuali orang-orang kafir.[2]
  18. Dan tidak ada yang menyatakan bodoh terhadap para sahabat kecuali orang-orang munafik. [al-Baqarah/2:13].
  19. Rasulullah telah bersabda: خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ Sebaik-baik manusia adalah yang hidup di zamanku, kemudian yang sesudah mereka[3]
Generasi pertama adalah sahabat, yang kedua tabi’in dan yang ketiga adalah tabiut tabi’in. mereka inilah dinamakan dengan nama Salafush Shalih (generasi pendahulu yang shalih) yakni tiga generasi terbaik dari umat ini. Kepada mereka inilah kita meruju’ cara beragama kita dalam mengamalkan nash Al-Qur’an dan As-Sunnah di atas. Sedangkan orang-orang yang mengikuti mereka dinamakan Salafiyyun dari zaman ke zaman sampai hari ini.
  1. Rasulullah telah bersabda pada waktu hajjatul wada’ (haji perpisahan):  هَذَا لِيُبَلِّغ الشَّاهِدُ الْغَائِبَ فَإِنَّ الشَّاهِدَHendaklah orang yang hadir diantara kamu menyampaikan kepada yang tidak hadir[4].
Hadist yang mulia ini meskipun bersifat umum tentang perintah tabligh dan dakwah akan tetapi para sahabatlah yang pertama kali diperintahkan oleh Rasulullah untuk bertabligh dan berdakwah, sebagai contoh bagi umat ini dan agar diikuti oleh mereka bagaimana cara bertabligh dan berdakwah yang benar di dalam menyampaikan yang hak. Oleh karena itu hadist yang mulia ini memberikan pelajaran yang tinggi kepada kita diantaranya:
Bahwa dakwah mereka adalah haq dan lurus di bawah bimbingan Nabi yang mulia.
Bahwa mereka adalah orang-orang kepercayaan Rasulullah. Kalau tidak, tentu Rasulullah tidak akan memerintahkan mereka untuk menyampaikan dari beliau.
Bahwa mereka kaum yang benar, lawan dari dusta, yang amanat, lawan dari khianat. Bahwa mereka telah di ta’dil (dinyatakan bersifat adalah : tsiqah/ terpercaya dan dhabt/teliti) oleh Rabb mereka, Allah, dan oleh nabi mereka. Oleh karena itu Ahlussunnah Wal Jama’ah telah ijma’ bahwa mereka tidak perlu diperiksa lagi dengan sebab di atas. Keadilan dan ketsiqahan mereka tidak diragukan lagi. Allahumma! Kecuali oleh kaum Syi’ah dan Rafhidhah dari cucu Abdullah bin Saba’ si Yahudi hitam dan orang-orang mereka yang dahulu dan sekarang.
Bahwa wajib bagi kita kaum muslimin mengikuti cara dakwahnya para sahabat, bagaimana dan apa yang mereka dakwahkan dan seterusnya. Adapun dalam masalah keduniaan seperti alat dan sarana mengikuti perkembangan zaman dan tingkat pengetahuan manusia, seperti menggunakan kendaraan yang ada pada zaman ini atau alat perekam dan pengeras suara dan lain-lain.
  1. Rasulullah telah bersabda : “Janganlah kamu mencaci-maki sahabat-sahabatku! Kalau sekiranya salah seorang dari kamu menginfaqkan emas sebesar gunung Uhud, niscaya Tidak akan mencapai derajat mereka satu mud-pun atau setegah mud”. [Hadist Shahih riwayat Bukhari dan Muslim]
  2. Para sahabat secara umum telah dijanjikan jannah (sorga). [At-Taubah/9 : 100]
  3. Secara khusus sebagian sahabat telah diberi khabar gembira oleh Nabi sebagai penghuni sorga, seperti Abu Bakar, Umar, Ustman, Ali dan lain-lain.
  4. Para sahabat telah berhasil menguasai dunia membenarkan janji Allah di dalam Kitab-Nya yang mulia [Tafsir Ibnu Katsir surat An-Nuur ayat 55]
  5. Perjalanan orang-orang mu’min yang paling kuat “Ukhuwwah Islamiyyahnya” ialah para sahabat berdasarkan nash Al-Qur’an dan As-Sunnah serta Tarikh.
  6. Di dalam ayat yang mulia ini Allah tidaklah mencukupkan firman-Nya dengan perkataan: ”Barangsiapa yang memusuhi Rasul sesudah nyata baginya kebenaran…., niscaya akan palingkan dia….”. dan kalau Allah mencukupinya sampai disitu pasti hak/benar. Akan tetapi terdapat hikmah yang dalam ketika Allah mengkaitkan dengan “dan dia mengikuti selain jalannya orang-orang mu’min -yaitu para sahabat. Dari sini kita mengetahui, bahwa di dalam berpegang dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, harus ada jalan atau cara di dalam memahami keduanya. Jalan atau cara itu adalah “jalannya orang-orang mu’min yaitu para sahabat”. Jadi urutan dalilnya sebagai berikut : Al-Qur’an As-Sunnah. Keduanya menurut pemahaman para sahabat atau cara beragama mereka, aqidah dan manhaj.
(Dikutip dari Kitab besar saya yaitu “Menanti Buah Hati Dan Hadiah Untuk Yang Dinanti)
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun V/1421H/2001M. Oleh Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat حفظه الله]
_______
Footnote
[1] Bacalah I’laamul Muwaqqi’iin juz 1 hal 14 oleh Imam Ibnul Qayyim
[2] Tafsir Ibnu Katsir surat Al-Fath
[3] Hadist Shahih mutawatir dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim dan lain-lain.
[4] Hadist shahih riwayat Bukhari dan Muslim dari jalan beberapa orang sahabat

Hubungan As-Sunnah Dengan Al-Qur’an

Abu Fathan | 09:06 | 0 comments
Ditinjau dari hukum yang ada maka hubungan As-Sunnah dengan Al-Qur-an, sebagai berikut:
1. As-Sunnah berfungsi sebagai penguat hukum yang sudah ada di dalam Al-Qur-an.
Dengan demikian hukum tersebut mempunyai dua sumber dan terdapat pula dua dalil. Yaitu dalil-dalil yang tersebut di dalam Al-Qur-an dan dalil penguat yang datang dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Berdasarkan hukum-hukum tersebut banyak kita dapati perintah dan larangan. Ada perintah mentauhidkan Allah, berbuat baik kepada kedua orang tua, mendirikan shalat, membayar zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, ibadah haji ke Baitullah, dan disamping itu dilarang menyekutukan Allah, menyakiti kedua orang tua, serta banyak lagi yang lainnya.
2. Terkadang As-Sunnah itu berfungsi sebagai penafsir atau pemerinci hal-hal yang disebut secara mujmal dalam Al-Qur-an, atau memberikan taqyid, atau memberikan takhshish dan ayat-ayat Al-Qur-an yang muthlaq dan ‘aam (umum).
Karena tafsir, taqyid dan takhshish yang datang dari As-Sunnah itu memberi penjelasan kepada makna yang dimaksud di dalam Al-Qur-an.
Dalam hal ini Allah telah memberi wewenang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memberikan penjelasan terhadap nash-nash Al-Qur-an dengan firman-Nya :
بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ ۗ وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
Keterangan-keterangan (mukjizat) dan Kitab-Kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur-an, agar kamu menerangkan kepada ummat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” [An-Nahl/16:44]
Di antara contoh As-Sunnah mentakhshish Al-Qur-an adalah:
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنثَيَيْنِ
Allah berwasiat kepada kamu tentang anak-anak kamu, bagi laki-laki bagiannya sama dengan dua orang perempuan…” [An-Nisaa’/4: 11]
Ayat ini ditakhshish oleh As-Sunnah sebagai berikut:
  •  Para Nabi tidak boleh mewariskan apa-apa untuk anak-anaknya dan apa yang mereka tinggalkan adalah sebagai shadaqah.
  • Tidak boleh orang tua kafir mewariskan kepada anak yang muslim atau sebaliknya, dan
  • Pembunuh tidak mewariskan apa-apa.[1]
As-Sunnah mentaqyid kemutlakan al-Qur-an:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا
Pencuri laki-laki dan perempuan, hendaklah dipotong kedua tangannya” [Al-Maa-idah/5:38]
Ayat ini tidak menjelaskan sampai di manakah batas tangan yang akan dipotong. Maka dari as-Sunnah didapat penjelasannya, yakni sampai pergelangan tangan[2]
As-Sunnah sebagai bayan dari mujmal Al-Qur-an:
  • Menjelaskan tentang cara shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
    Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِي أُصَلِّي.
Shalatlah sebagaimana kalian melihatku shalat.”[3]
  • Menjelaskan tentang cara ibadah haji Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
    Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bersabda:
لِتَأْخُذُوْا عَنِّي مَنَاسِكَكُمْ
Ambillah dariku tentang tata cara manasik haji kamu sekalian.”[4]
Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang perlu penjelasan dari As-Sunnah karena masih mujmal.
3. Terkadang As-Sunnah menetapkan dan membentuk hukum yang tidak terdapat di dalam Al-Qur-an.
Di antara hukum-hukum itu ialah tentang haramnya memakan daging keledai negeri, daging binatang buas yang mempunyai taring, burung yang mempunyai kuku tajam, juga tentang haramnya mengenakan kain sutera dan cincin emas bagi kaum laki-laki. Semua ini disebutkan dalam hadits-hadits yang shahih.
Dengan demikian tidak mungkin terjadi kontradiksi antara Al-Qur-an dengan As-Sunnah selama-lamanya.
Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Apa-apa yang telah disunnahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tidak terdapat pada Kitabullah, maka hal itu merupakan hukum Allah juga. Sebagaimana Allah mengabarkan kepada kita dalam firman-Nya:
وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَىٰ صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ َ صِرَاطِ اللَّهِ الَّذِي لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ ۗ أَلَا إِلَى اللَّهِ تَصِيرُ الْأُمُورُ
“…Sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. (Yaitu) jalan Allah yang kepunyaan-Nya segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Ingatlah, bahwa kepada Allah-lah kembali semua urusan.” [Asy-Syura/52:52-53]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was allam telah menerangkan hukum yang terdapat dalam Kitabullah, dan beliau menerangkan atau menetapkan pula hukum yang tidak terdapat dalam Kitabullah. Dan segala yang beliau tetapkan pasti Allah mewajibkan kepada kita untuk mengikutinya. Allah menjelaskan barangsiapa yang mengikutinya berarti ia taat kepada-Nya, dan barangsiapa yang tidak mengikuti beliau berarti ia telah berbuat maksiat kepada-Nya, yang demikian itu tidak boleh bagi seorang makhluk pun untuk melakukannya. Dan Allah tidak memberikan kelonggaran kepada siapa pun untuk tidak mengikuti Sunnah-Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”[5]
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Hubungan As-Sunnah dengan Al-Qur-an ada 3 macam, sebagai berikut:
  1. Terkadang As-Sunnah berfungsi sebagai penguat hukum yang sudah ada di dalam Al-Qur-an.
  2. Terkadang As-Sunnah berfungsi sebagai penafsir dan pemerinci hal-hal yang disebut secara mujmal di dalam Al-Qur-an.
  3. Terkadang As-Sunnah menetapkan dan membentuk hukum yang tidak terdapat di dalam Al-Qur-an, apakah itu hukumnya wajib atau haram yang tidak disebut haramnya dalam Al-Qur-an. Dan tidak pernah keluar dari ketiga pembagian ini. Maka As-Sunnah tidak bertentangan dengan Al-Qur-an sama sekali.
Adapun hukum-hukum tambahan selain yang terdapat di dalam Al-Qur-an, maka hal itu merupakan tasyri’ dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang wajib bagi kita mentaatinya dan tidak boleh kita mengingkarinya. Tasyri’ yang demikian ini bukanlah mendahului Kitabullah, bahkan hal itu sebagai wujud pelaksanaan perintah Allah agar kita mentaati Rasul-Nya. Seandainya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak ditaati, maka ketaatan kita kepada Allah tidak mempunyai arti sama sekali. Karena itu kita wajib taat terhadap apa-apa yang sesuai dengan Al-Qur-an dan terhadap apa-apa yang beliau tetapkan hukumnya yang tidak terdapat di dalam Al-Qur-an.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
مَّن يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ
Barangsiapa taat kepada Rasul berarti ia taat kepada Allah…’” [An-Nisaa’/4:80][6]
[Disalin dari buku Kedudukan As-Sunnah Dalam Syariat Islam, Penulis Al-Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas حفظه الله, Penerbit Pustaka At-Taqwa, PO.Box 264 Bogor 16001, Jawa Barat Indonesia, Cetakan Kedua Jumadil Akhir 1426H/Juli 2005]
_______
Footnote
[1] HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah
[2] Subulus Salam (IV/151-152).
[3] HR. Al-Bukhari (no. 631), dari Shahabat Malik bin al-Khuwairits Radhiyallahu anhu.
[4] HR. Muslim (no. 1297).
[5] Ar-Risaalah (hal. 88-89).
[6] Lihat I’lamul Muwaqqi’in ‘an Rabbil ‘Alamin (IV/84-85), ta’liq wa takhrij Syaikh Masyhur Hasan Salman

Pengertian As-Sunnah Menurut Syari’at

Abu Fathan | 09:15 | 0 comments
As-Sunnah menurut istilah syari’at ialah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam bentuk qaul (ucapan), fi’il (perbuatan), taqrir (penetapan), sifat tubuh serta akhlak yang dimaksudkan dengannya sebagai tasyri’ (pensyari’atan) bagi ummat Islam[1]
Adapun hadits menurut bahasa ialah sesuatu yang baru. Secara istilah sama dengan As-Sunnah menurut Jumhur Ulama.
Ada ulama yang menerangkan makna asal secara bahasa bahwa : Sunnah itu untuk perbuatan dan taqrir, adapun hadits untuk ucapan. Akan tetapi ulama sudah banyak melupakan makna asal bahasa dan memakai istilah yang sudah lazim digunakan, yaitu bahwa As-Sunnah muradif (sinonim) dengan hadits.
As-Sunnah menurut istilah ulama ushul fiqih ialah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam selain dari Al-Qur-an, baik perbuatan, perkataan, taqrir (penetapan) yang baik untuk menjadi dalil bagi hukum syar’i.
Ulama ushul fiqih membahas dari segala yang disyari’atkan kepada manusia sebagai undang-undang kehidupan dan meletakkan kaidah-kaidah bagi perundang-undangan tersebut.
As-Sunnah menurut istilah ahli fiqih (fuqaha’) ialah segala sesuatu yang sudah tetap dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan hukumnya tidak fardhu dan tidak wajib, yakni hukumnya sunnah.[2]
As-Sunnah menurut ulama Salaf adalah petunjuk yang dilaksanakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabatnya, baik tentang ilmu, i’tiqaad (keyakinan), perkataan maupun perbuatannya[3]
Contoh-contoh dari definisi Sunnah yang dibawakan oleh ahli hadits antara lain:
  • Hadits qauli (Sunnah dalam bentuk ucapan) ialah segala ucapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ada hubungannya dengan tasyri’, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ
Di antara kebaikan Islam seseorang ialah meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat baginya[4]
  • Hadits fi’li (Sunnah yang berupa perbuatan) ialah segala perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diberitakan oleh para Shahabatnya tentang wudhu’, shalat, haji, dan selainnya.
Contoh:
عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ: أَنَّ النَّبِيَّصَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُخَلِّلُ لِحْيَتَهُ.
Dari ‘Utsman bin ‘Affan bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (apabila berwudhu’), beliau menyela-nyela jenggotnya[5]
  • Hadits taqriri ialah segala perbuatan Shahabat yang diketahui oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau membiarkannya (sebagai tanda setuju) dan tidak mengingkarinya.
Contoh:
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِبِلاَلٍ عِنْدَ صَلاَةِ الصُّبْحِ: يَا بِلاَلُ! حَدِّثْنِي بِأَرْجَى عَمَلٍ عَمِلْتَهُ فِي اْلإِسْلاَمِ فَإِنِّي سَمِعْتُ دَفَّ نَعْلَيْكَ بَيْنَ يَدَيَّ فِي الْجَنَّةِ، قَالَ: مَا عَمِلْتُ عَمَلاً أَرْجَى عِنْدِيْ أَنِّي لَمْ أَتَطَهَّرْ طُهُوْراً فِي سَاعَةٍ مِنْ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ إِلاَّ صَلَّيْتُ بِذَلِكَ الطُّهُوْرِ مَا كُتِبَ لِي أَنْ أُصَلِّيَ.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Bilal setelah selesai shalat Shubuh, ‘Wahai Bilal, kabarkanlah kepadaku sebaik-baik amalan yang telah engkau kerjakan dalam Islam, karena aku telah mendengar suara terompahmu di dekatku di Surga?’ Ia menjawab, ‘Sebaik-baik amal yang aku kerjakan ialah, bahwa setiap kali aku berwudhu’ siang atau malam mesti dengan wudhu’ itu aku shalat (sunnah) beberapa raka’at yang dapat aku laksanakan[6]
Atau kisah dua Shahabat yang melakukan safar, keduanya tidak menemukan air (untuk wudhu’) sedangkan waktu shalat sudah tiba, lalu keduanya bertayammum dan mengerjakan shalat, kemudian setelah selesai shalat mereka menemukan air sedang waktu shalat masih ada, maka salah seorang dari keduanya mengulangi wudhu’ dan shalatnya, kemudian keduanya mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan kejadian itu. Lalu beliau bersabda kepada Shahabat yang tidak mengulangi shalatnya, “Engkau telah berbuat sesuai dengan Sunnah.” Dan kepada yang lain (Shahabat yang mengulangi shalatnya), beliau bersabda, “Engkau mendapatkan dua ganjaran”[7]
Di antara makna Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebagaimana yang difahami oleh para Shahabat dan Salafush Shalih Ridhwanullaah ‘alaihim ajma’iin adalah sebagai sumber kedua setelah Al-Qur-anul Karim
Sering kita menyebut Kitabullaah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maksudnya adalah Sunnah sebagai sumber nilai tasyri’. Al-Qur-an menyifatkan As-Sunnah dengan makna hikmah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
رَبَّنَا وَابْعَثْ فِيهِمْ رَسُولًا مِّنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِكَ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُزَكِّيهِمْ ۚ إِنَّكَ أَنتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
Ya Rabb kami, utuslah kepada mereka seorang Rasul di antara mereka yang akan membacakan ayat-ayat-Mu kepada mereka dan mengajarkan Al-Kitab dan Al-Hikmah kepada mereka dan mensucikan mereka (dari kelakuan-kelakuan yang keji), sesungguhnya Engkau Mahamulia lagi Mahabijaksana.” [Al-Baqarah/2:129]
لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِّنْ أَنفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُوا مِن قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ
Sesungguhnya Allah telah memberi karunia bagi orang-orang yang beriman, ketika Dia mengutus di antara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan ayat-ayat-Nya dan membersihkan mereka (dari sifat-sifat jahat), dan mengajarkan Al-Kitab (Al-Qur-an) dan Al-Hikmah (As-Sunnah). Sesungguhnya mereka sebelum itu dalam kesesatan yang nyata” [Ali ‘Imran/3:164]
وَأَنزَلَ اللَّهُ عَلَيْكَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ تَكُن تَعْلَمُ ۚ وَكَانَ فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكَ عَظِيمًا
“… Dan Allah telah menurunkan kepadamu Al-Kitab dan Al-Hikmah dan mengajarkanmu apa-apa yang tidak kamu ketahui. Dan karunia Allah kepadamu amat besar.” [An-Nisaa’/4:113]
وَاذْكُرْنَ مَا يُتْلَىٰ فِي بُيُوتِكُنَّ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ وَالْحِكْمَةِ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ لَطِيفًا خَبِيرًا
Sebutlah apa-apa yang dibacakan dalam rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah, sesungguhnya Allah Mahalembut lagi Maha Mengetahui.” [Al-Ahzaab/33:34]
هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِّنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُوا مِن قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ
Dialah yang mengutus kepada ummat yang ummi seorang Rasul dari antara mereka yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya. Yang membersihkan mereka dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah. Sesungguhnya mereka sebelum itu dalam kesesatan yang nyata” [Al-Jumu’ah/62:2]
Maksud penyebutan Al-Kitab pada ayat-ayat di atas adalah Al-Qur-an. Dan yang dimaksud dengan Al-Hikmah adalah As-Sunnah.
Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Allah menyebut al-Kitab, yang dimaksud adalah Al-Qur-an dan menyebut Al-Hikmah. Aku mendengar di negeriku dari para ahli ilmu yang mengerti Al-Qur-an berkata bahwa Al-Hikmah adalah As-Sunnah[8]
Qatadah rahimahullah berkata, “Yang dimaksud Al-Hikmah adalah As-Sunnah.” Begitu pula penjelasan dari al-Hasan al-Bashri[9]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di antara kamu…” [An-Nisaa’/4:59]
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Taat kepada Allah dengan mengikuti Kitab-Nya dan taat kepada Rasul adalah mengikuti dan As-Sunnah[10]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Banyak dari Salafush Shalih berkata bahwa Al-Hikmah adalah As-Sunnah.” Karena sesungguhnya yang dibaca di rumah-rumah isteri Nabi رَضِيَ اللهُ عَنْهُن selain Al-Qur-an adalah Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
أَلاَ إِنِّي أُوْتِيْتُ الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ.
Ketahuilah, sesungguhnya aku diberikan Al-Kitab dan yang sepertinya bersamanya.”[11]
Hasan bin Athiyyah rahimahullah berkata, “Jibril Alaihissallam turun kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membawa As-Sunnah sebagaimana Al-Qur-an. Mengajarkan As-Sunnah itu sebagaimana ia mengajarkan Al-Qur-an.”[12]
Dan lihat pula kitab-kitab tafsir yang menafsirkan ayat ini (Al-Ahzaab/33:34) dalam Tafsir Ibnu Katsir dan lainnya dari tafsir Al-Qur-an bil ma’tsur.
Para Salafush Shalih memberi makna As-Sunnah dengan agama dan syari’at yang dibawa oleh Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara mutlak dalam masalah ilmu dan amal, dan apa-apa yang diterima oleh para Shahabat, Tabi’in dan Salafush Shalih dalam bidang ‘aqidah maupun furu’.
Abu Bakar Radhiyallahu anhu berkata, “Sunnah itu adalah tali Allah yang kuat.”[13]
‘Abdullah bin ad-Dailamy rahimahullah (dari pembesar Tabi’in) berkata, “Telah sampai kepadaku bahwa awal hilangnya agama ini adalah karena manusia meninggalkan As-Sunnah.[14]
Imam al-Lalika-i membawakan penafsiran ayat:
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَىٰ شَرِيعَةٍ مِّنَ الْأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا
Kemudian kami jadikan kamu di atas syari’at dari perintah, maka ikutilah…” [Al-Jaatsiyah//45:18]
Yakni engkau berada di atas Sunnah[15]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Sesungguhnya As-Sunnah itu adalah syari’at, yakni apa-apa yang disyari’atkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari agama (ini)[16]
As-Sunnah adalah yang dimaksud dengan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih.
[Disalin dari buku Kedudukan As-Sunnah Dalam Syariat Islam, Penulis Oleh Al-Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas حفظه الله, Penerbit Pustaka At-Taqwa, PO.Box 264 Bogor 16001, Jawa Barat Indonesia, Cetakan Kedua Jumadil Akhir 1426H/Juli 2005]
_______
Footnote
[1] Qawaa’idut Tahdits (hal. 62), Muhammad Jamaluddin al-Qasimi, Ushul Hadits, Dr. Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib, cet. IV Darul Fikr 1401 H, Taisir Muthalahil Hadits (hal. 15), Dr. Mahmud ath-Thahhan.
[2] Lihat kitab Irsyaadul Fuhuul asy-Syaukani (hal. 32), Fat-hul Baari (XIII/245-246), Mafhuum Ahlis Sunnah wal Jama’ah ‘inda Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (hal. 37-43).
[3] Lihat pada buku penulis, Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah (hal. 10).
[4] HR. At-Tirmidzi (no. 2317), Ibnu Majah (no. 3976), Ibnu Hibban (Ta’liiqatul Hisaan ‘ala Shahiih Ibni Hibban no. 229), hadits ini hasan.
[5] HR. At-Tirmidzi (no. 31), Ibnu Majah (no. 430), Shahih Ibni Majah (no. 345), al-Hakim (I/149) dan al-Hakim berkata, “Sanadnya shahih.” At-Tirmidzi berkata: “Hasan shahih.” Lihat Shahih Ibni Majah (no. 344) dari Shahabat ‘Ammar bin Yasir
[6] HR. Al-Bukhari (no. 1149) dan Muslim (no. 2458), dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[7] HR. Abi Dawud (no. 338-339), an-Nasa-i (I/213) dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu. Lihat Shahih Sunan Abu Dawud (no. 366), cet. I/ Ghar-raas, th. 1423 H.
[8] Ar-Risaalah (hal. 78 no. (252)), tahqiq Syaikh Ahmad Muhammad Syakir rahimahullah
[9] Lihat Syarah Ushul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah oleh Imam al-Lalikaaiy (I/78 no. 70-71), tahqiq Dr. Ahmad Sa’ad Hamdan
[10] Tafsir Ibnu Katsir (I/568).
[11] HSR. Abu Dawud (no. 4604) dan Ahmad (IV/131).
[12] Fatawaa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (III/366).
[13] Asy-Syahru wal Ibanah, Ibnu Baththah al-‘Ukbary (no. 49).
[14] Sunan ad-Darimi (I/45).
[15] Syarah Ushul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah oleh Imam al-Lalika-i (I/76-77 no. 66).
[16] Majmu’ Fataawaa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (IV/436).

MENGAJAK KELUARGA KE SURGA

Abu Fathan | 07:25 | 0 comments
MENGAJAK KELUARGA KE SURGA DENGAN MENDIDIK MEREKA DI ATAS AL-QUR-AN & AS-SUNNAH

[1]- MUQADDIMAH:
Ketika banyak kemungkaran, kemaksiatan dan musibah; maka kita harus instropeksi diri-diri kita; karena telah banyak kemaksiatan dari diri kita, anak dan istri kita. Sehingga dengan memperbaiki diri dan keluarga; maka akan mewujudkan kebaikan dalam masyarakat dan Negara. Dan perubahan bukanlah dari arah pemimpin tapi dari arah kita.
Allah -Ta’aala- berfirman:
{...إِنَّ اللَّهَ لا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ...}
“…Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri…” (QS. Ar-Ra’d: 11)
Perubahan itu bukan dengan pergantian penguasa, perubahan terjadi dengan sebab yang Allah sebutkan dalam ayat di atas. Allah tidak menyebutkan perubahan ada pada penguasa dan hukum mereka; akan tetapi perubahan adalah pada diri kita dulu, dimulai dari rumah tangga. Keluarga harus diajak kepada Al-Qur-an dan As-Sunnah, kembali kepada Islam yang benar. Dengan kebaikan masyarakat; maka akan Allah bukakan barakah. Allah –Ta’aalaa- berfirman:
{وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ...}
“Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi,...” (QS. Al-A’raf: 96)
Jadi kita mulai dengan diri-diri kita.
[2]- PERNIKAHAN ADALAH FITRAH
Allah -Subhaanahu Wa Ta’aalaa- berfirman:
{فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ}
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam); (sesuai) fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui,” (QS. Ar-Ruum: 30)
Pernikahan yang benar adalah laki-laki dan perempuan, dan inilah yang kita bahas. Dan kita tidak membahas pernikahan yang tidak benar dan yang menyalahi fitrah; seperti: pernikahan laki-laki dengan laki-laki dan perempuan dengan perempuan.
Kemudian karena yang menikahi adalah laki-laki; maka pembicaraan tentang pernikahan ini diarahkan kepada laki-laki. Allah berfirman:
{...فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ...}
“…maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat...” (QS. An-Nisa’: 3)
Dan Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ البَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara kalian memiliki kemampuan untuk menikah; maka menikahlah, karena nikah lebih menundukkan pandangan, dan ia lebih membentengi“farji” (kema1uan). Dan barangsiapa yang tidak mampu; maka hendaklah dia berpuasa, karena ia (puasa itu)dapat membentengi diri.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Di sini Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- menyebutkan bagi orang yang mampu untuk menikah: untuk segera menikah; karena akan lebih menundukkan pandangannya. Dengannya ia tidak akan melangar syari’at; seperti “istimnaa’” (onani); maka ini hukumnya haram dalam Islam, sebab Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- memberikan solusi bagi yang belum mampu menikah untuk berpuasa; bukan dengan onani.
Pernikahan yang sah akan membawa kepada separuh agama. Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
إِذَا تَزَوَّجَ الْعَبْدُ؛ فَقَدِ اسْتَكْمَلَ نِصْفَ الدِّيْنَ، فَلْيَتَّقِ اللهَ فِيْمَا بَقِيَ
“Siapa saja yang menikah; maka diatelah melengkapi separuh imannya,maka hendaklah dia bertakwa kepada Allah dalam memelihara yang separuhnya lagi.” (HR. Ath-Thabrani)
Imam Al-Munawi -rahimahullaah-menjelaskan: “Rasulullah menjadikan takwa ke dalam dua bagian: satu bagian dapat diraih dengan menikah,dan satu bagian lagi dengan amal shalih selainnya. Abu Hatim -rahimahullaah- berkata: ‘Secara umum yang menguasai agama seseorang adalah kemaluan dan perutnya, dan salah satu dari keduanya dapat dicukupi dengan menikah’.”
Nabi juga bersabda dalam hadits yang lain:
مَنْ رَزَقَهُ اللهُ امْرَأَةً صَالِحَةً؛ فَقَدْ أَعَانَهُ عَلَى شَطْرِ دِيْنِهِ، فَلْيَتَّقِ اللهَ فِي الشَّطْرِ الثَّانِيْ
“Siapa saja yang dikaruniai oleh Allah istri shalihah; maka sungguh Allah telah membantu dia dalam melaksanakan separuh agamanya. Hendaklah dia bertakwa kepada Allah dalam menjaga separuhnya lagi.” (HR. Ath-Thabrani)
Seorang istri yang shalihah dapat mambantu untuk menjaga separuh agama. Dengan menikah; maka banyak keutamaan dan ganjarannya. Di antaranya: seorang memberikan nafkah kepada istri yang ini lebih utama dari infak untuk orang miskin, membebaskan budak, dan infak dalam jihad fi sabilillah.
Kalau orang belum menikah kemudian bekerja mencari uang; maka uangnya untuk apa?! Tapi kalau dia menikah; maka dia memberi nafkah kepada istri dan anak, membiayai sekolah anak: dan dia akan mendapat ganjaran.
Juga seorang akan terjaga dari zina, homo, dan lain-lain.
Sehingga Islam tidak menyukai hidup membujang. Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
تَزَوَّجُوا الْوَدُودَ الْوَلُودَ، فََإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ الْأَنْبِيَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Nikahilah wanita yang penyayang dan subur, karena aku akan berbangga dengan banyaknya umatku di hadapan pada nabi pada Hari Kiamat.” (HR. Ahmad dan lainnya).
Pernah suatu ketika tiga orang Shahabat datang bertanya kepada Ummahatul Mukminin tentang ibadah Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-. Setelah diterangkan; maka ketiganya spontan ingin meningkatkan ibadah masing-masing. Salah seorang dari mereka berkata: “Sungguh, aku akan berpuasa sepanjang masa tanpa putus.” Shahabat lain berkata: “Aku akan shalat malam selamanya.” Dan yang satu lagi berkata: “Akan aku jauhi wanita,sehingga saya tidak akan menikah selama-lamanya....”
Ketika hal itu didengar oleh Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-; makabeliau segera keluar seraya bersabda:
أَنْتُمُ الَّذِينَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا، أَمَا وَاللَّهِ إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ، لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ، وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
“Benarkah kalian yang telah mengatakan begini dan begitu? Demi Allah, sungguh akulah yang paling takut kepada Allah dan paling bertakwa kepada-Nya di antara kalian. Meski demikian, aku tetap berpuasa dan aku berbuka (tidak puasa), aku shalat dan aku pun tidur, dan aku juga menikahi wanita. Maka, siapa saja yang tidak menyukai sunnahku; maka dia tidak termasuk golonganku.” (HR. Al-Bukhari & Muslim)
Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-menyebutkan: bahwa menikah termasuk Sunnah beliau; sehingga laki-laki harus segera menikah. Beliau bersabda:
النِّكَاحُ مِنْ سُنَّتِي، فَمَنْ لَمْ يَعْمَلْ بِسُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي، وَتَزَوَّجُوا، فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمْ الْأُمَمَ، وَمَنْ كَانَ ذَا طَوْلٍ فَلْيَنْكِحْ، وَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَعَلَيْهِ بِالصِّيَامِ، فَإِنَّ الصَّوْمَ لَهُ وِجَاءٌ
“Menikah adalah sunnahku. Siapa yang enggan mengerjakan sunnahku; maka dia bukan dari golonganku. Menlkahlah kalian! Karena sesungguhnya aku berbangga dengan banyaknya jumlah kalian di hadapan seluruh umat kelak. Siapa yang memiliki kemampuan untuk menikah; maka menikahlah. Dan siapa yang belum mampu hendaklah berpuasa, karena puasa itu adalah perisai baginya (dari berbagai syahwat) .” (HR. Ibnu Majah)
Para nabi dan rasul juga menikah.Allah -Ta’aalaa- berfirman:
{وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلا مِنْ قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً...}
“Dan sungguh, Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum engkau (Muhammad) dan Kami berikan kepada mereka istri-istri dan keturunan…” (QS. Ar-Ra’d: 38)
[3]- TUJUAN PERNIKAHAN
Jalan yang sah adalah dengan menikah, bukan dengan pacaran, kumpul kebo dan lainnya.
Adapun zina; maka dosa besar yang keji. Allah berfirman:
{وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا}
“Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Israa’: 32)
Menikah akan mendatangkan kebahagiaan, sakinah, mawaddah, dan rahmah. Dan hal ini akan dia dapatkan dengan melaksanakan ibadah dalam rumah tangganya, karena kita memang diciptakan untuk beribadah kepada Allah.
Allah berfirman:
{وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ}
“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar-Rum: 21).
Antara orang yang sudah menikah dengan yang belum adalah berbeda. Orang yang telah menikah akan mendapatkan ketenangan. Ketika pulang kerja; maka istri sudah siap untuk menyambutnya, karena istri memang tugasnya di rumah; bukan bekerja di luar rumah.
Dan kecintaan yang hakiki ada setelah pernikahan bukan dengan pacaran, dan kecintaan ini ada bahkan pada orang kafir sehingga ada di antara mereka yang bisa langgeng pernikahannya sampai usia tua.
Rasulullah bersabda:
لَمْ يُرَ لِلْمُتَحَابَّيْنِ مِثْلَ النِّكَاحِ
“Tidak pernah terlihat dua insan yang saling mencintai seperti halnya yang terlihat dalam pernikahan.” (HR. Ibnu Majah dan lainnya)
Cinta orang pacaran adalah semu: motor pinjam, dandan juga demikian, dan seterusnya. Semuanya pura-pura. Cinta yang dibungkusdengan kepura-puraan.
Berduaan dengan perempuan adalah haram, melihat perempuan yang tidak halal juga haram, meraba perempuan yang tidak halal juga haram.
Di antara tujuan pernikahan juga adalah: mendapatkan keturunan yang shalih. Allah -Subhaanahu Wa Ta’aalaa- berfirman:
{وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَجَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ بَنِينَ وَحَفَدَةً وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ أَفَبِالْبَاطِلِ يُؤْمِنُونَ وَبِنِعْمَتِ اللَّهِ هُمْ يَكْفُرُونَ}
“Dan Allah telah menciptakan kamu, kemudian mewafatkanmu, di antara kamu ada yang dikembalikan kepada usia yang tua renta (pikun), sehingga dia tidak mengetahui lagi sesuatu yang pernah diketahuinya. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahakuasa.” (QS. An-Nahl: 72)
Setiap orang yang menikah pasti ingin memiliki anak. Dengan menikah -dengan izin Allah- ia akan mendapatkan keturunan yang shalih, sehingga menjadi aset yang sangat berharga. Karena anak yang shalih akan senantiasa mendo’akan kedua orang tuanya, serta dapat menjadikan amal seseorang terus mengalir meskipun jasadnya sudah berkalang tanah
di dalam kubur. Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ: إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Apabila manusia meninggal dunia, terputuslah seluruh amalnya kecuali tiga: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendoakannya.” (HR. Muslim)
Bahkan ada orang tua yang sedikit amalnya kemudian Allah masukkan ke dalam Surga dengan sebab istighfar anaknya. Ketika anak meminta ampunan kepada Allah setiap hari; maka akan diampuni dosa orang tua sehingga bisa masuk Surga. Ini kalau satu anak; bagaimana kalau banya anak yang memintakan ampunan untuk orang tua. Sehingga KB (membatasi kelahiran) dalam Islam adalah haram. Dan Nabi ingin umatnya banyak anak, dan Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- juga mendo’akan Anas untuk banyak anak dan banyak rezeki:
اللّهُمَّ أَكْثِرْ مَالَهُ وَوَلَدَهُ، وَبَارِكْ لَهُ فِيمَا أَعْطَيْتَهُ
“Ya Allah, perbanyaklah harta dan anaknya dan berkahilah baginya apa-apa yang Engkau anugerahkan kepadanya.” (HR. Al-Bukhari)
Dengan kehendak Allah, Anasmenjadi orang yang paling banyak anaknya dan paling banyak hartanya pada waktu itu di Madinah. Anas pun menyatakan: “Putriku, Umainah, memberithukan bahwa anak-anakku yang sudah meninggal dunia berjumlah 120 sekian orang sewaktu Hajjaj bin Yusuf memasuki kota Bashrah.”
Seorang muslim tidak boleh khawatir tentang masa depan. Allah Yang Menciptakan; maka Allah juga Yang Memberi Rezeki. Allah Al-Khaliq dan juga Ar-Razzaq. Akan tetapi dibisiki oleh setan dari jenis jin dan setan dari jenis manusia: nanti makannya bagaimana, sekolahnya bagaimana. Maka antum jangan mau dibisiki setan dan jangan jadi setan. Wajib kita menyerahkan segala urusan kepada Allah.
Allah berfirman:
{الشَّيْطَانُ يَعِدُكُمُ الْفَقْرَ وَيَأْمُرُكُمْ بِالْفَحْشَاءِ وَاللَّهُ يَعِدُكُمْ مَغْفِرَةً مِنْهُ وَفَضْلا وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ}
“Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kemiskinan kepadamu dan menyuruh kamu berbuat keji (kikir), sedangkan Allah menjanjikan ampunan dan karunia-Nya kepadamu. Dan Allah Mahaluas, Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 268)
Orang dulu tidak pernah berfikir kalau banyak anak bagaimana makan dan sekolahnya, orang sekarang yang banyak takutnya. Dan -sekali lagi- Nabi menyukai umatnya untuk banyak anak.
Di antara manfaat memiliki banyak anak adalah:
a. Mendapat karunia yang sangat besar yang lebih tinggi nilainya daripada harta.
b. Menjadi buah hati yang menyejukkan pandangan.
c. Sarana untuk memperoleh ganjaran dari sisi Allah.
d. Di dunia mereka bisa tolong-menolong dalam kebajikan.
e. Dapat membantu meringankan beban orang tua.
f. Doa mereka menjadi amal yang bermanfaat ketika kedua orang tua tidak bisa lagi beramal (telah meninggal dunia).
g. Jika salah satunya ditakdirkan meninggal tatkala masih kecil atau belum baligh; insya Allah dia menjadi syafa’at (penghalang masuknya seseorang ke dalam Neraka) bagi kedua orang tua di akhirat.
h. Menjadi hijab (pembatas) antara dirinya dan api Neraka, manakala orang tuanya mampu mendidik mereka hingga menjadi anak yang shalih dan shalihah.
i. Menjadi salah satu sebab kemenangan kaum muslimin ketika jihadfi sabilillah diserukan, karena jumlah mereka yang sangat banyak.
j. Membuat Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-; berbangga pada hari Kiamat, dengan sebab jumlah umatnya yang begitu banyak.
[4]- HAK ISTRI YANG WAJIB DIPENUHI OLEH SUAMI
Di antara yang paling pokok adalah: memberikan nafkah yang lahir maupun bathin, memberikan pakaian, dan mendidiknya.
Dan nafkah harus dari harta yang halal, karena kalau diberikan dari yang haram; maka do’anya bisa tidak dikabulkan oleh Allah.
Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- menyebutkan orang yang lama bepergian, yang rambutnya kusut, berdebu, dan ia menengadahkan kedua tangannya ke langit: ‘Wahai Rabbku! Wahai Rabbku!’ Sedang makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan ia diberi kecukupan dengan yang haram; maka bagaimana mungkin doanya akan dikabulkan?!” (HR. Muslim)
Safar merupakan sebab untuk dikabulkannya do’a. Akan tetapi disebutkan bahwa ada penghalang berupa makan dari yang haram; sehingga do’anya tidak dikabulkan oleh Allah.
Sehingga suami harus mencarai harta yang halal, karena daging yang tumbuh dari yang haram; maka lebih berhak untuk Neraka.
Dan memberi nafkah untuk keluarga adalah besar pahalanya.
Yang wajib memberi nafkan adalah laki-laki, sedangkan istri tidak wajib. Karena mencari nafkah memang kewajiban laki-laki
Allah berfirman:
{الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ...}
“Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya...” (QS. An-Nisaa’: 34)
Seorang suami harus mencari nafkah, tidak boleh begantung kepada orang lain, tidak boleh bergantung kepada orang tua, dan semisalnya.
Dan ini ganjarannya besar, sedangnkan menyaia-nyiakan keluarga ada ancaman dari Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-.
Seorang suami juga wajib untuk mengajak istri ke Surga, dengan cara mendidiknya. Inilah fokus pembahasn kita.
Allah berfirman:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلائِكَةٌ غِلاظٌ شِدَادٌ لا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ}
“Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6)
Menjaga keluarga dari api Neraka mengandung maksud: menasihati mereka agar ta’at, bertakwa kepada Allah -’Azza Wa Jalla- dan mentauhidkan-Nya serta menjauhkan syirik, mengajarkan kepada mereka tentang syari’at Islam, dan tentang adab-adabnya. Para Sahabat dan mufassirin (ahli tafsir) menjelaskan tentang tafsir ayat tersebut sebagai berikut.
Ali bin Abi Thalib -radhiyallaahu ‘anhu- berkata: “Ajarkanlah agama kepada keluarga kalian, dan ajarkan pula adab-adab Islam.”
Qatadah -rahimahullaah- berkata: “Suruh keluarga kalian untuk ta’at kepada Allah! Cegah mereka dari berbuat maksiat! Hendaknya mereka melaksanakan perintah Allah danbantulah mereka! Apabila kalian melihat mereka berbuat maksiat; maka cegah dan laranglah mereka!”
Ibnu Jarir ath-Thabari -rahimahullaah- berkata: “Ajarkan kepada keluarga kalian: keta’atan kepada Allah yang hal itu dapat menyelamatkan diri mereka dari api Neraka.”
Imam Asy-Syaukani -rahimahullaah-mengutip perkataan Ibnu Jarir: “Wajib bagi kita mengajarkan anak-anak kita dienul islam (ajaran agama Islam), serta mengajarkan segala kebaikan danadab-adab Islam.”
Maka wajib untuk memerintahkan keluarga kepada yang ma’ruf dan melarang mereka dari yang mungkar. Dan ma’ruf yang paling ma’ruf adalah Tauhid dan mungkar yang paling mungkar adalah syirik. Maka ini harus diajarkan.
Oleh karena itulah setelah seorang laki-laki melakukan akad nikah; maka suami langsung mengatakan kepada istrinya: “Kewajiban kamu adalah untuk ta’at kepadaku.” Karena setelah ayahnya menyerahkan anak perempuannya kepada suaminya; maka tanggung jawab diserahkan kepada suami. Dan suami untuk bisa memikul tanggung jawab tersebut harus dengan menuntut ilmu. Ketika orang-orang sibuk dengan pemilihan pemimpin Negara; maka harusnya kita menyibukkan diri sendiri dengan kepemimpinan sebagai pemimpin yang baik bagi keluarga.
Tapi banyak suami yang menjadi makmum, dan pemimpinnya adalah istrinya. Apa yang dikatakan oleh istrinya; maka dia mendengar dan ta’at. Ini adalah suami yang bodoh. Allah menjadikan kepemimpinan pada suami -sebagaimana dalam ayat (QS. An-Nisaa’: 34) di atas-.
Dan setiap orang hendaknya berdo’a untuk bisa menjadi pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa, dengan beragama berdasarkan Al-Qur-an dan As-Sunnah dengan pemahaman Salaf. Dan setiap orang harus meluangkan waktu untuk menuntut ilmu (yang ini merupakan bentuk ibadah). Dan manusia diciptakan untuk beribadah, adapaun mencari nafkah; adalah sekedarnya. Sehingga seorang harus meluangkan waktunya untuk menuntut ilmu.
Kalau istri tidak masak; maka suami tidak berdosa. Akan tetapi ketika istri tidak bisa wudhu’ dan tidak bisa Shalat; maka suaminya berdosa.
Kemudian suami juga harus memperhatikan pendidikan anaknya, bukan hanya diserahkan kepada sekolah Islam.
[5]- KEWAJIBAN UNTUK MENDIDIK ANAK
Kita ditanya tentang istri dan anak kita, kita tidak ditanya tentang siapa pemimpin kita: apakah 01 ataukah 02. Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالأَمِيرُ رَاعٍ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ، وَالمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ، فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian bertanggung jawab atas orang yang dipimpinnya. Seorang amir (raja) adalah pemimpin, seorang suami pun pemimpin atas keluarganya, dan istri juga pemimpin bagi rumah suaminya dan anak-anaknya. Setiap kalian adalah pemimpin, dan kamu sekalian akan diminta pertanggungjawaban atas orang yang dipimpinnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Banyak rumah tangga berantakan karena suami sibuk dengan politik, dagang, kerja, usaha; sehingga tidak memperhatikan istri dan anaknya.
Wajib mendidik anak dengan baik dan sabar agar mencintai Allah dan Rasul-Nya.
Dan pendidikan yang palin pokok adalah Tauhid. Allah -Ta’aalaa- berfirman:
{وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَابُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ}
“Dan (ingatlah) ketika Lukman berkata kepada anaknya, ketika dia memberi pelajaran kepadanya: ”Wahai anakku! Janganlah engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezhaliman yang besar.” (QS. Luqman: 13)
Juga mengajarkan kalimat-kalimat yang baik: dzikir-dzikir dan membaca Al-Qur-an. Sehingga orang tua juga harus rajin membaca Al-Qur-an, minimal satu juz; agar bisa menjadi teladan bagi anak-anaknya.
Disamping kita menyekolahkan anak di sekolah-sekolah Islam; maka pendidikan di rumah juga jangan ditinggalkan. Terus ajarkan adab-adab Islami: adab makan dan minum dengan tangan kanan, bacaan ketika masuk dan keluar WC, bacaan tidur, dan lain-lain. Dan yang harus diperhatikan juga adalah Shalat, mulai disuruh Shalat pada umur tujuh tahun umur tiga/empat tahun diajarkan maka tidak masalah, tapi jangan diajak ke masjid jika mengganggu. Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
مُرُوا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ، وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا، وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ
“Suruhlah anak kalian shalat ketika berumur tujuh tahun, dan kalau sudah berusia sepuluh tahun meninggalkan shalat, maka pukullah dia. Dan pisahkanlah tempat tidurnya (antara anak laki-laki dan anak wanita) .” (HR. Abu Dawud)
Allah -Subhaanahu Wa Ta’aalaa- berfirman:
{وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا لا نَسْأَلُكَ رِزْقًا نَحْنُ نَرْزُقُكَ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَى}
“Dan perintahkanlah keluargamu melaksanakan shalat dan sabar dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik di akhirat) adalah bagi orang yang bertakwa.” (QS. Thaha: 132)
Jika istri sibuk dengan masak, anak sibuk dengan main; maka kepala rumah tangga harus memerintahkan untuk Shalat. Maka kita boleh agak keras untuk ini, karena kalau tidak; maka kasihan mereka nantinya.
Dan dengan mengerjakan Shalat; maka Allah akan memberikan rezeki -sebagaimana dalam ayat di atas-.
Nabi Ibrahim -‘alaihis salaam- selain berdo’a agar anak cucunya tidak meyembah berhala: juga berdo’a agar anak cucunya tetap Shalat. Allah berfirman:
{رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلَاةِ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاءِ}
“Ya Rabb-ku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang yang tetap melaksanakan shalat, ya Tuhan kami, perkenankanlah do’aku.” (QS. Ibrahim: 40)
Anak istri harus benar shalatnya, hafal do’a-do’anya, dan memahami makna-makna dari apa yang dibaca.
Maka harus diperhatikan waktu-waktu Shalat, wudhu’-nya, dan Shalat berjama’ah bagi laki-laki. Allah berfirman:
{وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ}
“Dan laksanakanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang yang rukuk.” (QS. Al-Baqarah: 43)
Imam Ibnu Katsir -rahimahullaah- berkata: “Banyak ulama berdalil dengan ayat ini atas wajibnya shalat berjama’ah.”
Adapun perempuan; maka yang terbaik adalah Shalat di rumah.
Orang tua juga harus memperhatikan akhlak anak-anaknya dan juga lisan-lisan mereka. Dan yang terbanyak memasukkan ke Neraka adalah lisan.
سُئِلَ رَسُولُ اللهِ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ الجَنَّةَ، فَقَالَ: ((تَقْوَى اللهِ وَحُسْنُ الخُلُقِ)) وَسُئِلَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ، فَقَالَ: ((الفَمُ وَالفَرْجُ))
Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- ditanya tentang kebanyakan yang menyebabkan manusia masuk Surga; maka beliau menjawab: “Takwa kepada Allah dan akhlak yang baik.” Dan ketika ditanya tentang kebanyakan yang menyebabkan manusia masuk Neraka, maka beliau menjawab: “Mulut dan kemaluan.” (HR, At-Tirmidzi)
Juga harus memperhatikan pergaulan anak, karena Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ، فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
“Seorang bergantung kepada agama teman karibnya; maka hendaklah seorang dari kalian melihat dengan siapa dia berteman.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan lainnya)
Pergaulan anak harus dijaga, baik pergaulan dengan manusia atau juga dengan HP. Karena anak bisa melihat hal yang haram atau bermain yang menghabiskan waktu. Belum lagi syubhat yang ada di HP itu.
Kita senantiasa berdo’a kepada Allah agar dianugerahi anak-anak yang shalih, seperti yang Allah firmankan tentang do’a hamba-hamba Allah:
{...رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا}
“…Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Furqan: )
Selain berdo’a juga harus ada usaha. Sama seperti berdo’a untuk diberi ilmu; maka juga harus ada usaha dengan menuntut ilmu.
Di antara pendidikan terhadap keluarga adalah dengan mengajarkan do’a-do’a dan dzikir-dzikir yang shahih. Seperti dzikir pagi & sore, dzikir mulai dari bangun tidaur sampai mau tidur lagi.
Selain juga hal-hal lain: seperti mengajarkan untuk bersedekah. Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- menyebutkan bahwa yang banyak masuk Neraka adalah para wanita dan beliau perintahkan mereka untuk bersedekah.
Maka yang paling pertama diperhatikan adalah keadan suami itu sendiri, kemudian istri yang harus ta’at kepada suami. Dan ada tabi’at yang bengkok dan susah untuk diperbaiki; maka harus bersabar.
Kewajiban suami untuk mendidik istri, karena terkadang pendidikan yang baik bagi anak tidak disetujui oleh istri; sehingga harsu mendidik istri terlebih dahulu.
[6]- HAK SUAMI YANG WAJIB DIPENUHI OLEH ISTRI
Allah -Subhaanahu Wa Ta’aalaa- berfirman:
{الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ...}
“Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang shalih adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka)...” (QS. An-Nisa’: 34)
Seorang istri punya kewajiban ta’at yang besar kepada suaminya. Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لأَحَدٍ لأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا
“Seandainya aku boleh untuk menyuruh seorang untuk sujud kepada orang lain; maka aku akan perintahkan seorang wanita untuk sujud kepada suaminya.” (HR. At-Tirmidzi dan lainnya).
Dan perempuan kalau dia ta’at kepada suaminya; maka dia masuk Surga. Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خُمُسَهَا وَصَامَتْ شَهْرَهَا وحصَّنت فَرْجَهَا وَأَطَاعَتْ بَعْلَهَا دَخَلَتْ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شَاءَتْ
“Apabila seorang istri mengerjakan shalat yang lima waktu, berpuasa pada bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya (menjaga kehormatannya), dan taطat kepada suaminya: niscaya ia akan masuk Surga dari pintu mana saja yang dikehendakinya.” (HR. Ibnu Hibban)
Nabi sebutkan empat yang tidak berat untuk dilakukan istri agar bisa masuk Surga.
Dalam hadits yang lain, Rasulullah & bersabda tentang sifat wanita penghuni Surga:
“… Wanita-wanita kalian yang menjadi penghuni Surga adalah yang penuh kasih sayang, banyak anak, dan setia kepada suaminya yang jika suaminya marah, ia mendatanginya dan meletakkan tangannya di atas tangan suaminya dan berkata: ‘Aku tidak dapat tidur nyenyak hingga engkau ridha?” (HR. Ath-Thabrani)
Seorang istri tidak bisa memenuhi hak Allah sampai dia memenuhi hal suaminya. Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-bersabda:
وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لَا تُؤَدِّي الْمَرْأَةُ حَقَّ رَبِّهَا حَتَّى تُؤَدِّيَ حَقَّ زَوْجِهَا، وَلَوْ سَأَلَهَا نَفْسَهَا، وَهِيَ عَلَى قَتَبٍ، لَمْ تَمْنَعْهُ
“… Demi Allah, yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, seorang wanita tidak akan sanggup menunaikan hak Allah sebelum ia menunaikan hak suaminya. Andaikan suami meminta dirinya (untuk berhubungan intim) ketika berada di atas punggung unta; maka ia tetap tidak boleh menolak.” (HR. Ibnu Majah)
-ditulis dengan ringkas oleh: Ahmad Hendrix
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. BERITA SUNNAH - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger