{قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ ويَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ، وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ}

Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah (sunnah/petunjuk)ku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS Ali ‘Imran:31)

MENGAJAK KELUARGA KE SURGA

Abu Fathan | 07:25 | 0 comments
MENGAJAK KELUARGA KE SURGA DENGAN MENDIDIK MEREKA DI ATAS AL-QUR-AN & AS-SUNNAH

[1]- MUQADDIMAH:
Ketika banyak kemungkaran, kemaksiatan dan musibah; maka kita harus instropeksi diri-diri kita; karena telah banyak kemaksiatan dari diri kita, anak dan istri kita. Sehingga dengan memperbaiki diri dan keluarga; maka akan mewujudkan kebaikan dalam masyarakat dan Negara. Dan perubahan bukanlah dari arah pemimpin tapi dari arah kita.
Allah -Ta’aala- berfirman:
{...إِنَّ اللَّهَ لا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ...}
“…Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri…” (QS. Ar-Ra’d: 11)
Perubahan itu bukan dengan pergantian penguasa, perubahan terjadi dengan sebab yang Allah sebutkan dalam ayat di atas. Allah tidak menyebutkan perubahan ada pada penguasa dan hukum mereka; akan tetapi perubahan adalah pada diri kita dulu, dimulai dari rumah tangga. Keluarga harus diajak kepada Al-Qur-an dan As-Sunnah, kembali kepada Islam yang benar. Dengan kebaikan masyarakat; maka akan Allah bukakan barakah. Allah –Ta’aalaa- berfirman:
{وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ...}
“Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi,...” (QS. Al-A’raf: 96)
Jadi kita mulai dengan diri-diri kita.
[2]- PERNIKAHAN ADALAH FITRAH
Allah -Subhaanahu Wa Ta’aalaa- berfirman:
{فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ}
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam); (sesuai) fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui,” (QS. Ar-Ruum: 30)
Pernikahan yang benar adalah laki-laki dan perempuan, dan inilah yang kita bahas. Dan kita tidak membahas pernikahan yang tidak benar dan yang menyalahi fitrah; seperti: pernikahan laki-laki dengan laki-laki dan perempuan dengan perempuan.
Kemudian karena yang menikahi adalah laki-laki; maka pembicaraan tentang pernikahan ini diarahkan kepada laki-laki. Allah berfirman:
{...فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ...}
“…maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat...” (QS. An-Nisa’: 3)
Dan Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ البَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara kalian memiliki kemampuan untuk menikah; maka menikahlah, karena nikah lebih menundukkan pandangan, dan ia lebih membentengi“farji” (kema1uan). Dan barangsiapa yang tidak mampu; maka hendaklah dia berpuasa, karena ia (puasa itu)dapat membentengi diri.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Di sini Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- menyebutkan bagi orang yang mampu untuk menikah: untuk segera menikah; karena akan lebih menundukkan pandangannya. Dengannya ia tidak akan melangar syari’at; seperti “istimnaa’” (onani); maka ini hukumnya haram dalam Islam, sebab Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- memberikan solusi bagi yang belum mampu menikah untuk berpuasa; bukan dengan onani.
Pernikahan yang sah akan membawa kepada separuh agama. Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
إِذَا تَزَوَّجَ الْعَبْدُ؛ فَقَدِ اسْتَكْمَلَ نِصْفَ الدِّيْنَ، فَلْيَتَّقِ اللهَ فِيْمَا بَقِيَ
“Siapa saja yang menikah; maka diatelah melengkapi separuh imannya,maka hendaklah dia bertakwa kepada Allah dalam memelihara yang separuhnya lagi.” (HR. Ath-Thabrani)
Imam Al-Munawi -rahimahullaah-menjelaskan: “Rasulullah menjadikan takwa ke dalam dua bagian: satu bagian dapat diraih dengan menikah,dan satu bagian lagi dengan amal shalih selainnya. Abu Hatim -rahimahullaah- berkata: ‘Secara umum yang menguasai agama seseorang adalah kemaluan dan perutnya, dan salah satu dari keduanya dapat dicukupi dengan menikah’.”
Nabi juga bersabda dalam hadits yang lain:
مَنْ رَزَقَهُ اللهُ امْرَأَةً صَالِحَةً؛ فَقَدْ أَعَانَهُ عَلَى شَطْرِ دِيْنِهِ، فَلْيَتَّقِ اللهَ فِي الشَّطْرِ الثَّانِيْ
“Siapa saja yang dikaruniai oleh Allah istri shalihah; maka sungguh Allah telah membantu dia dalam melaksanakan separuh agamanya. Hendaklah dia bertakwa kepada Allah dalam menjaga separuhnya lagi.” (HR. Ath-Thabrani)
Seorang istri yang shalihah dapat mambantu untuk menjaga separuh agama. Dengan menikah; maka banyak keutamaan dan ganjarannya. Di antaranya: seorang memberikan nafkah kepada istri yang ini lebih utama dari infak untuk orang miskin, membebaskan budak, dan infak dalam jihad fi sabilillah.
Kalau orang belum menikah kemudian bekerja mencari uang; maka uangnya untuk apa?! Tapi kalau dia menikah; maka dia memberi nafkah kepada istri dan anak, membiayai sekolah anak: dan dia akan mendapat ganjaran.
Juga seorang akan terjaga dari zina, homo, dan lain-lain.
Sehingga Islam tidak menyukai hidup membujang. Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
تَزَوَّجُوا الْوَدُودَ الْوَلُودَ، فََإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ الْأَنْبِيَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Nikahilah wanita yang penyayang dan subur, karena aku akan berbangga dengan banyaknya umatku di hadapan pada nabi pada Hari Kiamat.” (HR. Ahmad dan lainnya).
Pernah suatu ketika tiga orang Shahabat datang bertanya kepada Ummahatul Mukminin tentang ibadah Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-. Setelah diterangkan; maka ketiganya spontan ingin meningkatkan ibadah masing-masing. Salah seorang dari mereka berkata: “Sungguh, aku akan berpuasa sepanjang masa tanpa putus.” Shahabat lain berkata: “Aku akan shalat malam selamanya.” Dan yang satu lagi berkata: “Akan aku jauhi wanita,sehingga saya tidak akan menikah selama-lamanya....”
Ketika hal itu didengar oleh Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-; makabeliau segera keluar seraya bersabda:
أَنْتُمُ الَّذِينَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا، أَمَا وَاللَّهِ إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ، لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ، وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
“Benarkah kalian yang telah mengatakan begini dan begitu? Demi Allah, sungguh akulah yang paling takut kepada Allah dan paling bertakwa kepada-Nya di antara kalian. Meski demikian, aku tetap berpuasa dan aku berbuka (tidak puasa), aku shalat dan aku pun tidur, dan aku juga menikahi wanita. Maka, siapa saja yang tidak menyukai sunnahku; maka dia tidak termasuk golonganku.” (HR. Al-Bukhari & Muslim)
Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-menyebutkan: bahwa menikah termasuk Sunnah beliau; sehingga laki-laki harus segera menikah. Beliau bersabda:
النِّكَاحُ مِنْ سُنَّتِي، فَمَنْ لَمْ يَعْمَلْ بِسُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي، وَتَزَوَّجُوا، فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمْ الْأُمَمَ، وَمَنْ كَانَ ذَا طَوْلٍ فَلْيَنْكِحْ، وَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَعَلَيْهِ بِالصِّيَامِ، فَإِنَّ الصَّوْمَ لَهُ وِجَاءٌ
“Menikah adalah sunnahku. Siapa yang enggan mengerjakan sunnahku; maka dia bukan dari golonganku. Menlkahlah kalian! Karena sesungguhnya aku berbangga dengan banyaknya jumlah kalian di hadapan seluruh umat kelak. Siapa yang memiliki kemampuan untuk menikah; maka menikahlah. Dan siapa yang belum mampu hendaklah berpuasa, karena puasa itu adalah perisai baginya (dari berbagai syahwat) .” (HR. Ibnu Majah)
Para nabi dan rasul juga menikah.Allah -Ta’aalaa- berfirman:
{وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلا مِنْ قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً...}
“Dan sungguh, Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum engkau (Muhammad) dan Kami berikan kepada mereka istri-istri dan keturunan…” (QS. Ar-Ra’d: 38)
[3]- TUJUAN PERNIKAHAN
Jalan yang sah adalah dengan menikah, bukan dengan pacaran, kumpul kebo dan lainnya.
Adapun zina; maka dosa besar yang keji. Allah berfirman:
{وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا}
“Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Israa’: 32)
Menikah akan mendatangkan kebahagiaan, sakinah, mawaddah, dan rahmah. Dan hal ini akan dia dapatkan dengan melaksanakan ibadah dalam rumah tangganya, karena kita memang diciptakan untuk beribadah kepada Allah.
Allah berfirman:
{وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ}
“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar-Rum: 21).
Antara orang yang sudah menikah dengan yang belum adalah berbeda. Orang yang telah menikah akan mendapatkan ketenangan. Ketika pulang kerja; maka istri sudah siap untuk menyambutnya, karena istri memang tugasnya di rumah; bukan bekerja di luar rumah.
Dan kecintaan yang hakiki ada setelah pernikahan bukan dengan pacaran, dan kecintaan ini ada bahkan pada orang kafir sehingga ada di antara mereka yang bisa langgeng pernikahannya sampai usia tua.
Rasulullah bersabda:
لَمْ يُرَ لِلْمُتَحَابَّيْنِ مِثْلَ النِّكَاحِ
“Tidak pernah terlihat dua insan yang saling mencintai seperti halnya yang terlihat dalam pernikahan.” (HR. Ibnu Majah dan lainnya)
Cinta orang pacaran adalah semu: motor pinjam, dandan juga demikian, dan seterusnya. Semuanya pura-pura. Cinta yang dibungkusdengan kepura-puraan.
Berduaan dengan perempuan adalah haram, melihat perempuan yang tidak halal juga haram, meraba perempuan yang tidak halal juga haram.
Di antara tujuan pernikahan juga adalah: mendapatkan keturunan yang shalih. Allah -Subhaanahu Wa Ta’aalaa- berfirman:
{وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَجَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ بَنِينَ وَحَفَدَةً وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ أَفَبِالْبَاطِلِ يُؤْمِنُونَ وَبِنِعْمَتِ اللَّهِ هُمْ يَكْفُرُونَ}
“Dan Allah telah menciptakan kamu, kemudian mewafatkanmu, di antara kamu ada yang dikembalikan kepada usia yang tua renta (pikun), sehingga dia tidak mengetahui lagi sesuatu yang pernah diketahuinya. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahakuasa.” (QS. An-Nahl: 72)
Setiap orang yang menikah pasti ingin memiliki anak. Dengan menikah -dengan izin Allah- ia akan mendapatkan keturunan yang shalih, sehingga menjadi aset yang sangat berharga. Karena anak yang shalih akan senantiasa mendo’akan kedua orang tuanya, serta dapat menjadikan amal seseorang terus mengalir meskipun jasadnya sudah berkalang tanah
di dalam kubur. Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ: إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Apabila manusia meninggal dunia, terputuslah seluruh amalnya kecuali tiga: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendoakannya.” (HR. Muslim)
Bahkan ada orang tua yang sedikit amalnya kemudian Allah masukkan ke dalam Surga dengan sebab istighfar anaknya. Ketika anak meminta ampunan kepada Allah setiap hari; maka akan diampuni dosa orang tua sehingga bisa masuk Surga. Ini kalau satu anak; bagaimana kalau banya anak yang memintakan ampunan untuk orang tua. Sehingga KB (membatasi kelahiran) dalam Islam adalah haram. Dan Nabi ingin umatnya banyak anak, dan Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- juga mendo’akan Anas untuk banyak anak dan banyak rezeki:
اللّهُمَّ أَكْثِرْ مَالَهُ وَوَلَدَهُ، وَبَارِكْ لَهُ فِيمَا أَعْطَيْتَهُ
“Ya Allah, perbanyaklah harta dan anaknya dan berkahilah baginya apa-apa yang Engkau anugerahkan kepadanya.” (HR. Al-Bukhari)
Dengan kehendak Allah, Anasmenjadi orang yang paling banyak anaknya dan paling banyak hartanya pada waktu itu di Madinah. Anas pun menyatakan: “Putriku, Umainah, memberithukan bahwa anak-anakku yang sudah meninggal dunia berjumlah 120 sekian orang sewaktu Hajjaj bin Yusuf memasuki kota Bashrah.”
Seorang muslim tidak boleh khawatir tentang masa depan. Allah Yang Menciptakan; maka Allah juga Yang Memberi Rezeki. Allah Al-Khaliq dan juga Ar-Razzaq. Akan tetapi dibisiki oleh setan dari jenis jin dan setan dari jenis manusia: nanti makannya bagaimana, sekolahnya bagaimana. Maka antum jangan mau dibisiki setan dan jangan jadi setan. Wajib kita menyerahkan segala urusan kepada Allah.
Allah berfirman:
{الشَّيْطَانُ يَعِدُكُمُ الْفَقْرَ وَيَأْمُرُكُمْ بِالْفَحْشَاءِ وَاللَّهُ يَعِدُكُمْ مَغْفِرَةً مِنْهُ وَفَضْلا وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ}
“Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kemiskinan kepadamu dan menyuruh kamu berbuat keji (kikir), sedangkan Allah menjanjikan ampunan dan karunia-Nya kepadamu. Dan Allah Mahaluas, Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 268)
Orang dulu tidak pernah berfikir kalau banyak anak bagaimana makan dan sekolahnya, orang sekarang yang banyak takutnya. Dan -sekali lagi- Nabi menyukai umatnya untuk banyak anak.
Di antara manfaat memiliki banyak anak adalah:
a. Mendapat karunia yang sangat besar yang lebih tinggi nilainya daripada harta.
b. Menjadi buah hati yang menyejukkan pandangan.
c. Sarana untuk memperoleh ganjaran dari sisi Allah.
d. Di dunia mereka bisa tolong-menolong dalam kebajikan.
e. Dapat membantu meringankan beban orang tua.
f. Doa mereka menjadi amal yang bermanfaat ketika kedua orang tua tidak bisa lagi beramal (telah meninggal dunia).
g. Jika salah satunya ditakdirkan meninggal tatkala masih kecil atau belum baligh; insya Allah dia menjadi syafa’at (penghalang masuknya seseorang ke dalam Neraka) bagi kedua orang tua di akhirat.
h. Menjadi hijab (pembatas) antara dirinya dan api Neraka, manakala orang tuanya mampu mendidik mereka hingga menjadi anak yang shalih dan shalihah.
i. Menjadi salah satu sebab kemenangan kaum muslimin ketika jihadfi sabilillah diserukan, karena jumlah mereka yang sangat banyak.
j. Membuat Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-; berbangga pada hari Kiamat, dengan sebab jumlah umatnya yang begitu banyak.
[4]- HAK ISTRI YANG WAJIB DIPENUHI OLEH SUAMI
Di antara yang paling pokok adalah: memberikan nafkah yang lahir maupun bathin, memberikan pakaian, dan mendidiknya.
Dan nafkah harus dari harta yang halal, karena kalau diberikan dari yang haram; maka do’anya bisa tidak dikabulkan oleh Allah.
Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- menyebutkan orang yang lama bepergian, yang rambutnya kusut, berdebu, dan ia menengadahkan kedua tangannya ke langit: ‘Wahai Rabbku! Wahai Rabbku!’ Sedang makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan ia diberi kecukupan dengan yang haram; maka bagaimana mungkin doanya akan dikabulkan?!” (HR. Muslim)
Safar merupakan sebab untuk dikabulkannya do’a. Akan tetapi disebutkan bahwa ada penghalang berupa makan dari yang haram; sehingga do’anya tidak dikabulkan oleh Allah.
Sehingga suami harus mencarai harta yang halal, karena daging yang tumbuh dari yang haram; maka lebih berhak untuk Neraka.
Dan memberi nafkah untuk keluarga adalah besar pahalanya.
Yang wajib memberi nafkan adalah laki-laki, sedangkan istri tidak wajib. Karena mencari nafkah memang kewajiban laki-laki
Allah berfirman:
{الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ...}
“Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya...” (QS. An-Nisaa’: 34)
Seorang suami harus mencari nafkah, tidak boleh begantung kepada orang lain, tidak boleh bergantung kepada orang tua, dan semisalnya.
Dan ini ganjarannya besar, sedangnkan menyaia-nyiakan keluarga ada ancaman dari Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-.
Seorang suami juga wajib untuk mengajak istri ke Surga, dengan cara mendidiknya. Inilah fokus pembahasn kita.
Allah berfirman:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلائِكَةٌ غِلاظٌ شِدَادٌ لا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ}
“Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6)
Menjaga keluarga dari api Neraka mengandung maksud: menasihati mereka agar ta’at, bertakwa kepada Allah -’Azza Wa Jalla- dan mentauhidkan-Nya serta menjauhkan syirik, mengajarkan kepada mereka tentang syari’at Islam, dan tentang adab-adabnya. Para Sahabat dan mufassirin (ahli tafsir) menjelaskan tentang tafsir ayat tersebut sebagai berikut.
Ali bin Abi Thalib -radhiyallaahu ‘anhu- berkata: “Ajarkanlah agama kepada keluarga kalian, dan ajarkan pula adab-adab Islam.”
Qatadah -rahimahullaah- berkata: “Suruh keluarga kalian untuk ta’at kepada Allah! Cegah mereka dari berbuat maksiat! Hendaknya mereka melaksanakan perintah Allah danbantulah mereka! Apabila kalian melihat mereka berbuat maksiat; maka cegah dan laranglah mereka!”
Ibnu Jarir ath-Thabari -rahimahullaah- berkata: “Ajarkan kepada keluarga kalian: keta’atan kepada Allah yang hal itu dapat menyelamatkan diri mereka dari api Neraka.”
Imam Asy-Syaukani -rahimahullaah-mengutip perkataan Ibnu Jarir: “Wajib bagi kita mengajarkan anak-anak kita dienul islam (ajaran agama Islam), serta mengajarkan segala kebaikan danadab-adab Islam.”
Maka wajib untuk memerintahkan keluarga kepada yang ma’ruf dan melarang mereka dari yang mungkar. Dan ma’ruf yang paling ma’ruf adalah Tauhid dan mungkar yang paling mungkar adalah syirik. Maka ini harus diajarkan.
Oleh karena itulah setelah seorang laki-laki melakukan akad nikah; maka suami langsung mengatakan kepada istrinya: “Kewajiban kamu adalah untuk ta’at kepadaku.” Karena setelah ayahnya menyerahkan anak perempuannya kepada suaminya; maka tanggung jawab diserahkan kepada suami. Dan suami untuk bisa memikul tanggung jawab tersebut harus dengan menuntut ilmu. Ketika orang-orang sibuk dengan pemilihan pemimpin Negara; maka harusnya kita menyibukkan diri sendiri dengan kepemimpinan sebagai pemimpin yang baik bagi keluarga.
Tapi banyak suami yang menjadi makmum, dan pemimpinnya adalah istrinya. Apa yang dikatakan oleh istrinya; maka dia mendengar dan ta’at. Ini adalah suami yang bodoh. Allah menjadikan kepemimpinan pada suami -sebagaimana dalam ayat (QS. An-Nisaa’: 34) di atas-.
Dan setiap orang hendaknya berdo’a untuk bisa menjadi pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa, dengan beragama berdasarkan Al-Qur-an dan As-Sunnah dengan pemahaman Salaf. Dan setiap orang harus meluangkan waktu untuk menuntut ilmu (yang ini merupakan bentuk ibadah). Dan manusia diciptakan untuk beribadah, adapaun mencari nafkah; adalah sekedarnya. Sehingga seorang harus meluangkan waktunya untuk menuntut ilmu.
Kalau istri tidak masak; maka suami tidak berdosa. Akan tetapi ketika istri tidak bisa wudhu’ dan tidak bisa Shalat; maka suaminya berdosa.
Kemudian suami juga harus memperhatikan pendidikan anaknya, bukan hanya diserahkan kepada sekolah Islam.
[5]- KEWAJIBAN UNTUK MENDIDIK ANAK
Kita ditanya tentang istri dan anak kita, kita tidak ditanya tentang siapa pemimpin kita: apakah 01 ataukah 02. Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالأَمِيرُ رَاعٍ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ، وَالمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ، فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian bertanggung jawab atas orang yang dipimpinnya. Seorang amir (raja) adalah pemimpin, seorang suami pun pemimpin atas keluarganya, dan istri juga pemimpin bagi rumah suaminya dan anak-anaknya. Setiap kalian adalah pemimpin, dan kamu sekalian akan diminta pertanggungjawaban atas orang yang dipimpinnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Banyak rumah tangga berantakan karena suami sibuk dengan politik, dagang, kerja, usaha; sehingga tidak memperhatikan istri dan anaknya.
Wajib mendidik anak dengan baik dan sabar agar mencintai Allah dan Rasul-Nya.
Dan pendidikan yang palin pokok adalah Tauhid. Allah -Ta’aalaa- berfirman:
{وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَابُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ}
“Dan (ingatlah) ketika Lukman berkata kepada anaknya, ketika dia memberi pelajaran kepadanya: ”Wahai anakku! Janganlah engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezhaliman yang besar.” (QS. Luqman: 13)
Juga mengajarkan kalimat-kalimat yang baik: dzikir-dzikir dan membaca Al-Qur-an. Sehingga orang tua juga harus rajin membaca Al-Qur-an, minimal satu juz; agar bisa menjadi teladan bagi anak-anaknya.
Disamping kita menyekolahkan anak di sekolah-sekolah Islam; maka pendidikan di rumah juga jangan ditinggalkan. Terus ajarkan adab-adab Islami: adab makan dan minum dengan tangan kanan, bacaan ketika masuk dan keluar WC, bacaan tidur, dan lain-lain. Dan yang harus diperhatikan juga adalah Shalat, mulai disuruh Shalat pada umur tujuh tahun umur tiga/empat tahun diajarkan maka tidak masalah, tapi jangan diajak ke masjid jika mengganggu. Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
مُرُوا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ، وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا، وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ
“Suruhlah anak kalian shalat ketika berumur tujuh tahun, dan kalau sudah berusia sepuluh tahun meninggalkan shalat, maka pukullah dia. Dan pisahkanlah tempat tidurnya (antara anak laki-laki dan anak wanita) .” (HR. Abu Dawud)
Allah -Subhaanahu Wa Ta’aalaa- berfirman:
{وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا لا نَسْأَلُكَ رِزْقًا نَحْنُ نَرْزُقُكَ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَى}
“Dan perintahkanlah keluargamu melaksanakan shalat dan sabar dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik di akhirat) adalah bagi orang yang bertakwa.” (QS. Thaha: 132)
Jika istri sibuk dengan masak, anak sibuk dengan main; maka kepala rumah tangga harus memerintahkan untuk Shalat. Maka kita boleh agak keras untuk ini, karena kalau tidak; maka kasihan mereka nantinya.
Dan dengan mengerjakan Shalat; maka Allah akan memberikan rezeki -sebagaimana dalam ayat di atas-.
Nabi Ibrahim -‘alaihis salaam- selain berdo’a agar anak cucunya tidak meyembah berhala: juga berdo’a agar anak cucunya tetap Shalat. Allah berfirman:
{رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلَاةِ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاءِ}
“Ya Rabb-ku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang yang tetap melaksanakan shalat, ya Tuhan kami, perkenankanlah do’aku.” (QS. Ibrahim: 40)
Anak istri harus benar shalatnya, hafal do’a-do’anya, dan memahami makna-makna dari apa yang dibaca.
Maka harus diperhatikan waktu-waktu Shalat, wudhu’-nya, dan Shalat berjama’ah bagi laki-laki. Allah berfirman:
{وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ}
“Dan laksanakanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang yang rukuk.” (QS. Al-Baqarah: 43)
Imam Ibnu Katsir -rahimahullaah- berkata: “Banyak ulama berdalil dengan ayat ini atas wajibnya shalat berjama’ah.”
Adapun perempuan; maka yang terbaik adalah Shalat di rumah.
Orang tua juga harus memperhatikan akhlak anak-anaknya dan juga lisan-lisan mereka. Dan yang terbanyak memasukkan ke Neraka adalah lisan.
سُئِلَ رَسُولُ اللهِ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ الجَنَّةَ، فَقَالَ: ((تَقْوَى اللهِ وَحُسْنُ الخُلُقِ)) وَسُئِلَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ، فَقَالَ: ((الفَمُ وَالفَرْجُ))
Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- ditanya tentang kebanyakan yang menyebabkan manusia masuk Surga; maka beliau menjawab: “Takwa kepada Allah dan akhlak yang baik.” Dan ketika ditanya tentang kebanyakan yang menyebabkan manusia masuk Neraka, maka beliau menjawab: “Mulut dan kemaluan.” (HR, At-Tirmidzi)
Juga harus memperhatikan pergaulan anak, karena Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ، فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
“Seorang bergantung kepada agama teman karibnya; maka hendaklah seorang dari kalian melihat dengan siapa dia berteman.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan lainnya)
Pergaulan anak harus dijaga, baik pergaulan dengan manusia atau juga dengan HP. Karena anak bisa melihat hal yang haram atau bermain yang menghabiskan waktu. Belum lagi syubhat yang ada di HP itu.
Kita senantiasa berdo’a kepada Allah agar dianugerahi anak-anak yang shalih, seperti yang Allah firmankan tentang do’a hamba-hamba Allah:
{...رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا}
“…Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Furqan: )
Selain berdo’a juga harus ada usaha. Sama seperti berdo’a untuk diberi ilmu; maka juga harus ada usaha dengan menuntut ilmu.
Di antara pendidikan terhadap keluarga adalah dengan mengajarkan do’a-do’a dan dzikir-dzikir yang shahih. Seperti dzikir pagi & sore, dzikir mulai dari bangun tidaur sampai mau tidur lagi.
Selain juga hal-hal lain: seperti mengajarkan untuk bersedekah. Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- menyebutkan bahwa yang banyak masuk Neraka adalah para wanita dan beliau perintahkan mereka untuk bersedekah.
Maka yang paling pertama diperhatikan adalah keadan suami itu sendiri, kemudian istri yang harus ta’at kepada suami. Dan ada tabi’at yang bengkok dan susah untuk diperbaiki; maka harus bersabar.
Kewajiban suami untuk mendidik istri, karena terkadang pendidikan yang baik bagi anak tidak disetujui oleh istri; sehingga harsu mendidik istri terlebih dahulu.
[6]- HAK SUAMI YANG WAJIB DIPENUHI OLEH ISTRI
Allah -Subhaanahu Wa Ta’aalaa- berfirman:
{الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ...}
“Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang shalih adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka)...” (QS. An-Nisa’: 34)
Seorang istri punya kewajiban ta’at yang besar kepada suaminya. Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لأَحَدٍ لأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا
“Seandainya aku boleh untuk menyuruh seorang untuk sujud kepada orang lain; maka aku akan perintahkan seorang wanita untuk sujud kepada suaminya.” (HR. At-Tirmidzi dan lainnya).
Dan perempuan kalau dia ta’at kepada suaminya; maka dia masuk Surga. Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خُمُسَهَا وَصَامَتْ شَهْرَهَا وحصَّنت فَرْجَهَا وَأَطَاعَتْ بَعْلَهَا دَخَلَتْ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شَاءَتْ
“Apabila seorang istri mengerjakan shalat yang lima waktu, berpuasa pada bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya (menjaga kehormatannya), dan taطat kepada suaminya: niscaya ia akan masuk Surga dari pintu mana saja yang dikehendakinya.” (HR. Ibnu Hibban)
Nabi sebutkan empat yang tidak berat untuk dilakukan istri agar bisa masuk Surga.
Dalam hadits yang lain, Rasulullah & bersabda tentang sifat wanita penghuni Surga:
“… Wanita-wanita kalian yang menjadi penghuni Surga adalah yang penuh kasih sayang, banyak anak, dan setia kepada suaminya yang jika suaminya marah, ia mendatanginya dan meletakkan tangannya di atas tangan suaminya dan berkata: ‘Aku tidak dapat tidur nyenyak hingga engkau ridha?” (HR. Ath-Thabrani)
Seorang istri tidak bisa memenuhi hak Allah sampai dia memenuhi hal suaminya. Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-bersabda:
وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لَا تُؤَدِّي الْمَرْأَةُ حَقَّ رَبِّهَا حَتَّى تُؤَدِّيَ حَقَّ زَوْجِهَا، وَلَوْ سَأَلَهَا نَفْسَهَا، وَهِيَ عَلَى قَتَبٍ، لَمْ تَمْنَعْهُ
“… Demi Allah, yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, seorang wanita tidak akan sanggup menunaikan hak Allah sebelum ia menunaikan hak suaminya. Andaikan suami meminta dirinya (untuk berhubungan intim) ketika berada di atas punggung unta; maka ia tetap tidak boleh menolak.” (HR. Ibnu Majah)
-ditulis dengan ringkas oleh: Ahmad Hendrix

Hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Terjaga

Abu Fathan | 11:04 | 0 comments
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk membimbing manusia kepada jalan yang lurus, dan memerintahkan manusia untuk menaati dan mencontoh perilaku beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia.Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya”. [al-Hasyr/59:7].
Untuk itulah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah menunaikan semua tugasnya. Sehingga beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada ummatnya agar berpegang dengan peninggalan beliau, yaitu berupa Al-Qur’an dan as-Sunnah. Dua hal ini sebagai petunjuk bagi manusia hingga hari Kiamat dalam mencapai keselamatan dunia dan akhirat.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
تَرَكْتُ فِيْكُمْ شَيْئَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّتِيْ
Aku tinggalkan untuk kalian dua hal, kalian tidak akan sesat selama berpegang teguh kepada keduanya, yaitu Kitabullah (Al-Qur’an) dan Sunnahku”. [HR al-Hakim, dan dishahïhkan Syaikh al-Albani dalam Shahïh al-Jami’ ash-Shaghïr, no. 2937]
Dari sini jelaslah, bahwasanya hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi salah satu sumber pengambilan hukum syari’at, baik dalam hal aqidah, hukum fikih, dan yang lainnya. Sunnah-sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini menjadi sumber pedoman seorang muslim dalam menggapai kebahagian dan keridha’an Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga, dengan kedudukannya ini, maka hadits-hadits tersebut menjadi sumber dan asas syari’at yang kekal dan selalu terjaga keotentikannya.
Syaikh `Abdul-Muhsin al-‘Abbad[1] berkata,”Sesungguhnya Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan wahyu yang disampaikan Allah kepada Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Dia bersama Al-Qur’an yang mulia merupakan asas agama Islam dan menjadi sumber hukumnya. Keduanya saling berhubungan sebagaimana kaitan syahadat La ilaha illa Allah dengan syahadat Muhammad Rasulullah. Barang siapa yang tidak beriman kepada Sunnah, berarti tidak beriman kepada Al-Qur’an[2].
Keterkaitan antara keduanya sebagai sumber utama dalam mengenal aqidah dan hukum-hukum syari’at, sebab as-Sunnah sebagai penjelas kandungan Al-Qur’an yang mujmal (global) dan membatasi kemutlakannya. Bahkan sebenarnya, as-Sunnah sabagai wujud dalam penerapan Al-Qur’an melalui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang Allah Subhanahu wa Ta’ala sifatkan dengan ketinggian akhlaknya dalam firman-Nya:
وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ
Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”. [al-Qalam/68:4].
Demikianlah, ketika Ummul-Mukminin ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma ditanya tentang akhlak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia tidak dapat mengungkapkannya kecuali dengan berkata:
كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ
Akhlak beliau adalah Al-Qur’an”. [HR Ahmad, no. 23460, dan dishahihkan Syaikh al-Albani dalam Shahih al-Jami’ ash-Shaghir, no 4811]
ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA MENJAGA SUNNAH RASULNYA
Eratnya hubungan Al-Qur’an dan as-Sunnah ini tidak dapat dipisahkan dalam memahami Islam secara benar dan dikehendaki Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ironisnya, kedudukan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tinggi ini membuat musuh-musuh Islam berusaha merusaknya dengan membuat-buat perkataan yang disandarkan kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan ada yang berusaha melontarkan syubhat-syubhat untuk mengingkari Sunnah sebagai sumber hukum. Namun Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjamin keontetikannya, dan akan memeliharanya sebagaimana menjaga dan memelihara Al-Qur’an.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan adz-Dzikr, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”. [Hijr/15:9].
Ayat mulia ini yang merupakan nash tentang penjagaan Al-Qur’an, di dalamnya juga terkandung maksud penjagaan terhadap hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
Dan Kami turunkan kepadamu al-Dzikr, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkan”. [an-Nahl/16:44]
Dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menjelaskan Al-Qur’an kepada manusia, Sehingga, jika penjelasan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap Al-Qur’an tidak terjaga dan terpelihara (mahfuzh), tentunya tidak dapat berpegang teguh dan beramal dengan Al-Qur’an, padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَىٰ ﴿٣﴾ إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَىٰ
Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur`an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu, tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”. [an-Najm/53:3-4][3].
Dengan demikian, jelaslah bahwasanya janji Allah untuk memelihara adz-Dzikr tidak hanya terbatas pada Al-Qur’an saja, tetapi juga menjaga syari’at dan agama Allah Subhanahu wa Ta’ala yang disampaikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan penjagaan bersifat lebih umum dari sekedar Al-Qur’an atau as-Sunnah saja.[4]
Ibnu Hazm dalam kitab al-Ihkaam (1/121) menyatakan, tidak ada perbedaan di kalangan para ulama ahli lughah (bahasa Arab) dan syari’at, bahwasanya semua wahyu yang turun dari Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah adz-Dzikrul-Munazzal. Semua wahyu terpelihara dengan pemeliharaan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan pasti. Dan semua yang dijamin oleh Allah pemeliharaannya, maka ia terjaga, tidak akan hilang, dan tidak akan terubah sedikit pun, tanpa ada penjelasan tentang kebatilannya.
Kemudian beliau membantah yang menganggap pengertian adz-Dzikr dalam ayat di atas hanyalah Al-Qur’an saja.
Beliau berkata: “Anggapan ini adalah dusta yang tidak berdasarkan bukti, dan pengkhususan kata adz-Dzikr tanpa dalil. Kata adz-Dzikr adalah nama umum untuk semua yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, berupa Al-Qur’an maupun as-Sunnah yang merupakan wahyu penjelas bagi Al-Qur’an.
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
Dan Kami turunkan kepadamu adz-Dzikr, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkan”. [an-Nahl/16:44]
Dengan demikian, maka sungguh merupakan kebenaran bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diperintahkan untuk menjelaskan Al-Qur’an kepada manusia. Dalam Al-Qur’an banyak terdapat perintah yang mujmal (global), seperti shalat, zakat, haji, dan selainnya yang kita tidak mengetahui yang Allah Subhanahu wa Ta’ala wajibkan dengan lafadz Al-Qur’an itu kecuali dengan penjelasan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apabila penjelasan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap yang global tidak terpelihara dan tidak terjamin keselamatannya dari yang bukan dari Sunnah, maka manusia tidak dapat mengambil manfaat dari nash Al-Qur’an, lalu hilanglah banyak syari’at yang diwajibkan kepada kita, dan kita tidak mengetahui kebenaran yang Allah Subhanahu wa Ta’ala kehendaki”[5]
Demikian juga pemeliharaan Al-Qur’an tidak sempurna, kecuali dengan menjaga dan memilihara Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal itu, karena makna kandungan Al-Qur’an terrefleksikan pada akhlak dan amalan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga mengingkari, tidak menggunakan dan membiarkan satu Sunnah yang shahih, atau menyimpangkan dan menakwilkan keluar dari maksudnya, serta memahaminya diluar ketentuan syari’at, adalah sama dengan meninggalkan dan tidak peduli dengan Al-Qur’an”[6]
PENJAGAAN ALLAH TERHADAP SUNNAH
Jelaslah, seluruh yang disampaikan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang agama, semuanya ialah wahyu dan adz-Dzikr. Semua terjaga dan terpelihara dengan penjagaan dan dalam pemeliharaan Allah. Semua kandungan Al-Qur’an terpelihara dan dinukilkan secara mutawatir. Demikian juga Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang merupakan penjelas Al-Qur’an , pengkhusus lafazh-lafazh umumnya dan pembatas lafazh-lafazh mutlaknya, ia terjaga dan terpelihara.

Dapat disebutkan beberapa faktor yang menjadi sebab, sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan as-Sunnah tetap terpelihara dan terjaga.
1. Tha’ifah Al-Manshurah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan sekelompok dari umat Islam yang senantiasa menegakkan kebenaran sampai hari Kiamat, sebagaimana disampaikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِينَ عَلَى الْحَقِّ لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللَّهِ وَهُمْ كَذَلِكَ
Senantiasa ada sekelompok dari umatku yang menang di atas kebenaran; orang-orang yang menghina mereka tidak merugikan mereka hingga datang keputusan Allah, dan mereka dalam keadaan demikian”. [HR Muslim no. 354]
Dengan adanya umat yang menegakkan kebenaran dan memenangkannya, maka tentunya akan dapat memelihara keotentikan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini terbukti dengan adanya perhatian para salaful-ummah dan ulama muhadditsin pada setiap zaman dan tempat.
2. Perhatian Salafush-Shalih Terhadap Sunnah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala menyiapkan pembela Sunnah. Yaitu dengan menciptakan generasi Salafush-Shalih dan setelah mereka, yang telah memberikan perhatian besar kepada Sunnah. Perhatian Salaf umat ini terhadap Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat beragam, sesuai dengan kemampuan dan sarana yang ada pada setiap zaman. Mereka telah mengerahkan seluruh kesungguhan dan kemampuan, serta beragam sarana dalam memperhatikan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik dalam masalah ilmu maupun amal, menghafal dan menulisnya, mempelajari dan menyebarkannya kepada manusia.

Setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, para sahabat memberikan perhatian lebih dari sebelumnya dalam menjaga Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antaranya dengan menghafal dan tatsabut (melakukan klarifikasi), sehingga salah seorang dari kalangan mereka bepergian hanya untuk satu hadits sepanjang perjalanan sebulan. Yakni untuk mengecek ulang (tatsabut) tentang hafalannya. Demikian juga, mereka menulisnya dalam lembaran shahifah, kemudian menyebarkannya di antara manusia. Semua ini disesuaikan dengan metodologi amaliyah dan ilmiah.
Demikian pula para Tabi’in, mereka memberikan perhatian terhadap Sunnah yang dapat diwujudkan dalam banyak bentuk, di antaranya:
  • perhatian dalam menghafalnya.
  • bertanya tentang sanad.
  • mencari pengetahuan mengenI keadaan para perawi dan penukil hadits yang menghasilkan ilmu rijal; hingga kemudian ilmu rijal ini menjadi salah satu keistimewaan umat Islam.
  • tadwin (kodifikasi) Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dimulai dari lembaran shahifah hingga menjadi karya tulis yang memiliki bab dan tersusun rapi[7], dan demikian juga orang-orang setelah mereka.
3Ulama-Ulama Muhaditsin.
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan taufik kepada sejumlah besar dari kalangan ulama-ulama muhadditsin pada setiap masa dan tempat untuk meriwayatkan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, menyebarkannya, menuliskannya, menggunakannya dalam menepis kebatilan dan melakukan hidmat yang sempurna, tiada bandingannya terhadap Sunnah dalam sejarah dunia.

Ulama muhadditsin telah mengeluarkan segala kemampuan dan kekuatannya dalam menjaga Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari penambahan dan pengurangan, sehingga bila ditambah satu huruf pada matan hadits, maka akan mereka jelaskan.
Ibnu Hiban dalam mensifati ulama muhadditsin, ia menyatakan, hingga jika salah seorang mereka ditanya tentang jumlah huruf dalam sunnah-sunnah untuk setiap sunnah, tentulah mereka akan sampaikan jumlahnya. Dan seandainya ditambahkan padanya huruf alif atau wawu, tentulah akan dikeluarkan secara paksa dan akan ditampakkan[8]
Manshur bin ‘Ammar as-Sulami al-Khurasani dalam mensifati ahlu hadits menyatakan:
Allah Subhanahu wa Ta’ala menugaskan penjagaan atsar yang menafsirkan Al-Qur’an dan sunnah-sunnah yang kokoh bangunannya sekelompok orang-orang pilihan. Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan mereka taufik untuk mencarinya dan menuliskannya, dan memberikan kekuatan kepada mereka dalam memelihara dan menjaganya. Juga memberikan kepada mereka kecintaan membaca dan mempelajarinya, dan menghilangkan dari mereka perasaan lelah dan bosan, duduk dan bepergian, mengorbankan jiwa dan harta dengan menyeberangi hal-hal yang menakutkan. Mereka bepergian dari satu negeri ke negeri lainnya untuk menuntut ilmu di setiap tempat dalam keadaan rambut yang kusut, pakaian compang camping, perut lapar, mulut kering, wajah pucat karena kelelahan dan kelaparan, dan badan yang kurus”.

Mereka memiliki satu tekad kuat dan ridha kepada ilmu sebagai petunjuk dan pemimpinnya. Rasa lapar dan haus tidak memutus mereka dari hal itu. Juga musim panas dan dingin, tidak membuat mereka bosan dalam memilah-milah yang shahih dari yang bermasalah, dan yang kuat dari yang lemah (dari sunnah-sunnah) dengan pemahaman yang kuat, pandangan yang luas, dan hati yang sangat mengerti kebenaran. Sehingga dapat menjaga dari kesesatan orang yang suka menduga-duga, perbuatan bid’ah orang-orang mulhid, dan kedustaan para pendusta.
Seandainya engkau melihat mereka, pada malam hari telah menghidupkannya dengan menulis semua yang telah mereka dengar, mengoreksi semua yang telah mereka kumpulkan dalam keadaan menjauhi kasur empuk dan pembaringan yang menggiurkan. Rasa kantuk pun telah menguasai mereka sehingga menidurkannya dan lepaslah pena-pena dari telapak tangan mereka; namun seketika itu juga mereka tersadar dalam keadaan terkejut.
Kelelahan telah memberikan rasa sakit pada punggung mereka, dan keletihan berjaga waktu malam telah melelahkan akal pikiran mereka, sehingga mereka berusaha menghilangkannya. Untuk mengistirahatkan badan, mereka berusaha berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Untuk menghilangkan rasa kantuk dan tidurnya, mereka memijat-mijat mata dengan tangan mereka, kemudian kembali menulis karena semangat yang tinggi dan antusias mereka kepada ilmu.
Hal ini, tentu membuat engkau mengerti, bahwa mereka adalah penjaga Islam dan penjaga gudang ilmu Allah Subhanahu wa Ta’ala. Apabila mereka telah selesai menunaikan sebagian yang mereka tuntut dari keinginan-keinginannya tersebut, maka mereka pulang menuju negerinya, lalu duduk menetap di masjid-masjid dan memakmurkannya dengan menggunakan pakaian tawadhu` (kerendahan hati), pasrah dan menyerah. Mereka berjalan dengan rendah hati, tidak mengganggu tetangga dan tidak melakukan perbuatan buruk, hingga apabila ada penyimpangan atau orang yang keluar dari agama, maka mereka keluar sebagaimana keluarnya singa dari kandangnya untuk mempertahankan syiar-syiar Islam[9]
Demikianlah, mereka manjadi penjaga Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sepanjang masa.
4. Rihlah Fi Thalabi Al-Hadits
Di antara perhatian dan usaha para ulama dalam menjaga Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu dengan bepergian, melakukan perjalanan untuk mengumpulkan hadits (rihlah fï thalabi al-hadits). Mereka mengerahkan segala daya dan upaya untuk mengumpulkan hadits dan sanad-sanadnya hingga bepergian yang menempuh jarak sangat jauh dengan tingkat kesulitan sedemikian besar. Rihlah ini sudah menjadi tradisi mereka dalam menuntut ilmu dan memiliki pangaruh sangat besar dalam penyebaran hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan memperbanyak jalur periwayatannya. Demikian juga memiliki pengaruh baik dalam mengenal para perawi secara sangat detail dan mendalam, sebab seorang muhaddits yang pergi ke suatu negeri lalu mengenal ulama di negeri itu, ia akan berbicara dan bertanya kepadanya. Demikian juga, rihlah telah dapat membongkar pemalsu hadits dan menghilangkan banyak hadits palsu yang ada pada umat, sehingga umat terlepas dari musibah dan penyimpangan agama. Maka sangat pantas bila Ibrahimm bin A’dham menyatakan, Allah telah menghilangkan musibah dari umat ini dengan rihlahnya ash-habul-hadits[10]

5. Kaidah Ilmu Jarh Wa Ta’dil Dan Mushthalah.
Usaha para ulama dari zaman sahabat hingga kini menghasilkan kaidah ilmu musthalah dan ilmu al-jarh wa ta’dil. Para ulama menulis dan menyusun ilmu-ilmu ini untuk memerangi bid’ah, dan untuk menjaga agama Islam ini dari para pendusta, serta dari penyimpangan dan penakwilan orang-orang jahil.

Imam al-Haakim di muqaddimah kitab Ma’rifat ‘Ulumul-Hadits, ia menyatakan: “Sungguh, aku melihat bid’ah pada zaman kita ini telah banyak ; dan pengetahuan manusia terhadap ushul sunnan sangat sedikit dengan tenggelamnya mereka dalam penulisan Hadits dan banyak mengumpulkannya dengan lalai dan tidak perhatian. Hal ini mendorongku untuk menulis kitab ringan yang mencakup bagian dan jenis ilmu Hadits yang dibutuhkan para penuntut hadits yang terus menerus menulis hadits-hadits.”[11]
Demikian juga para sahabat telah meletakkan manhaj (metodologi) untuk mengetahui kejujuran perawi dari kedustaannya dan diikuti para tabi’in. Para ulama semakin memperluas metodologi ini, setiap kali menjauh dari zaman generasi terbaik umat ini. Belum habis abad ketiga hijriyah, ilmu ini telah tersebar dan dikenal. Ilmu ini dinamakan ilmu “al-Jarh wa Ta’dil[12]
Kaidah-kaidah ilmu hadits ini mempelajari seluruh sisi hadits secara sempurna dan dalam, sehingga dapat untuk memilah-milah di antara hadits-hadits yang shahih, yang lemah dan yang palsu. Ini semua merupakan wujud penjagaan Allah terhadap Sunnah.
Demikianlah sekelumit permasalahan penjagaan Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap Sunnah Rasul-Nya. Mudah-mudahan bermanfaat.
MARAJI:
1. As-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri’ al-Islami, Musthafa as-Siba’i, al-Maktab al-Islami, Beirut, Cetakan Keempat, Tahun 1405 H, halaman 156.
2. Manhaj al-Muhadditsin fï Taqwiyat al-Ahadits al-Hasanah wa al-Dha’ifah, Dr. al Murtadha az-Zein Ahmad, Maktabah ar-Rusyd, Cetakan Pertama, Tahun 1415 H.
3. Ma’rifat ‘Ulum al-Hadits, al-Hakim Abu ‘Abdillah Muhammad bin ‘Abdillah an-Naisaburi, Tahqïq: Dr. as-Sayyid Mu’azhzham Husain, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Cetakan Kedua, Tahun 1397H.
4. Miftah al-Jannah fï al-Ihtijaj bi as-Sunnah, as-Suyuthi, Penerbit al-Jami’ah al-Islamiyah Madinah, Cetakan Kelima, Tahun 1415H.
5. Dirasat fi al-Jarh wa Ta’dil, Dr. Muhammad Dhiya`ur-Rahman al-A’zhami, Maktabah al-Ghuraba al-Atsariyah, Madinah, Cetakan Keempat, Tahun 1419H.
6. Tadwin as-Sunnah an-Nabawiyah, Nasy’atuhu wa Tathawwuruhu, Dr. Muhammad bin Mathar az-Zahrani, Dar al-Khudhairi, Madinah Nabawiyah, Cetakan Kedua, Tahun 1419H.
7. Zawabigh fï Wajhi as-Sunnah Qadiman wa Haditsan, Shalahuddin Maqbul Ahmad, Islamic Sceintific Research Academy, New Delhi, India, Cetakan Pertama, Tahun 1411 H, halaman 7-8.

Oleh Ustadz Kholid Syamhudi Lc
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XI/1429H/2008M. ]
_______
Footnote
[1] Seorang ulama besar kota Madinah dan pengajar hadits di Masjid Nabawi hingga sekarang ini
[2] Lihat prakata beliau dalam kitab Miftah al-Jannah fï al-Ihtijaj bi as-Sunnah, hal.3.
[3] Zawabigh fï Wajhi as-Sunnah Qadiman wa Haditsan, hlm. 7-8.
[4] As-Sunnah wa Makanatuha fï al-Tasyri’ al-Islami, hlm. 156.
[5] Pernyataan Ibnu Hazm ini dinukil dari kitab as-Sunnah wa Makanatuha fï al-Tasyri’ al-Islami, hlm. 156-158.
[6] Zawabigh fï Wajhi as-Sunnah Qadiman wa Haditsan, hal. 8.
[7] Tadwin as-Sunnah an-Nabawiyah, Nasy’atuhu wa Tathawwuruhu, hlm. 38.
[8] Manhaj al-Muhadditsin fï Taqwiyat al-Ahadits al-Hasanah wa al-Dha’ifah, hal. 7
[9] Al-Muhaddits al-Fashil Baina ar-Rawi wa al-Wï’i, hlm. 220-221. Dinukil dari Manhaj al-Muhadditsin fi Taqwiyat al-Ahadits al-Hasanah wa al-Dha’ifah, hlm. 6-7
[10] Tadwin as-Sunnah an-Nabawiyah, Nasy’atuhu wa Tathawwuruhu, hal. 44 dan 50
[11]Ma’rifat ‘Ulum al-Hadits, hal.1
[12] Dirasat fï al-Jarh wa Ta’dil, hal.20


 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. BERITA SUNNAH - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger