{قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ ويَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ، وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ}

Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah (sunnah/petunjuk)ku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS Ali ‘Imran:31)

Hubungan As-Sunnah Dengan Al-Qur’an

Abu Fathan | 07:11 | 0 comments
Ditinjau dari hukum yang ada maka hubungan As-Sunnah dengan Al-Qur-an, sebagai berikut:
 
1. As-Sunnah berfungsi sebagai penguat hukum yang sudah ada di dalam Al-Qur-an. Dengan demikian hukum tersebut mempunyai dua sumber dan terdapat pula dua dalil. Yaitu dalil-dalil yang tersebut di dalam Al-Qur-an dan dalil penguat yang datang dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Berdasarkan hukum-hukum tersebut banyak kita dapati perintah dan larangan. Ada perintah mentauhidkan Allah, berbuat baik kepada kedua orang tua, mendirikan shalat, membayar zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, ibadah haji ke Baitullah, dan disamping itu dilarang menyekutukan Allah, menyakiti kedua orang tua, serta banyak lagi yang lainnya.
2. Terkadang As-Sunnah itu berfungsi sebagai penafsir atau pemerinci hal-hal yang disebut secara mujmal dalam Al-Qur-an, atau memberikan taqyid, atau memberikan takhshish dan ayat-ayat Al-Qur-an yang muthlaq dan ‘aam (umum). Karena tafsir, taqyid dan takhshish yang datang dari As-Sunnah itu memberi penjelasan kepada makna yang dimaksud di dalam Al-Qur-an.
Dalam hal ini Allah telah memberi wewenang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memberikan penjelasan terhadap nash-nash Al-Qur-an dengan firman-Nya :
بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ ۗ وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
Keterangan-keterangan (mukjizat) dan Kitab-Kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur-an, agar kamu menerangkan kepada ummat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” [An-Nahl/16: 44]
Di antara contoh As-Sunnah mentakhshish Al-Qur-an adalah:
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنثَيَيْنِ
Allah berwasiat kepada kamu tentang anak-anak kamu, bagi laki-laki bagiannya sama dengan dua orang perempuan…” [An-Nisaa’/4: 11]
Ayat ini ditakhshish oleh As-Sunnah sebagai berikut:
• Para Nabi tidak boleh mewariskan apa-apa untuk anak-anaknya dan apa yang mereka tinggalkan adalah sebagai shadaqah,
• Tidak boleh orang tua kafir mewariskan kepada anak yang muslim atau sebaliknya, dan
• Pembunuh tidak mewariskan apa-apa.[1]
As-Sunnah mentaqyid kemutlakan al-Qur-an:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا
Pencuri laki-laki dan perempuan, hendaklah dipotong kedua tangannya…” [Al-Maa-idah/5: 38]
Ayat ini tidak menjelaskan sampai di manakah batas tangan yang akan dipotong. Maka dari as-Sunnahlah didapat penjelasannya, yakni sampai pergelangan tangan.[2]
As-Sunnah sebagai bayan dari mujmal Al-Qur-an:
• Menjelaskan tentang cara shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِي أُصَلِّي.
Shalatlah sebagaimana kalian melihatku shalat.”[3]
• Menjelaskan tentang cara ibadah haji Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bersabda:
لِتَأْخُذُوْا عَنِّي مَنَاسِكَكُمْ.
Ambillah dariku tentang tata cara manasik haji kamu sekalian.”[4]
Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang perlu penjelasan dari As-Sunnah karena masih mujmal.
3. Terkadang As-Sunnah menetapkan dan membentuk hukum yang tidak terdapat di dalam Al-Qur-an. Di antara hukum-hukum itu ialah tentang haramnya memakan daging keledai negeri, daging binatang buas yang mempunyai taring, burung yang mempunyai kuku tajam, juga tentang haramnya mengenakan kain sutera dan cincin emas bagi kaum laki-laki. Semua ini disebutkan dalam hadits-hadits yang shahih.
Dengan demikian tidak mungkin terjadi kontradiksi antara Al-Qur-an dengan As-Sunnah selama-lamanya.
Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Apa-apa yang telah disunnahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tidak terdapat pada Kitabullah, maka hal itu merupakan hukum Allah juga. Sebagaimana Allah mengabarkan kepada kita dalam firman-Nya“:
وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَىٰ صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ َ صِرَاطِ اللَّهِ الَّذِي لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ ۗ أَلَا إِلَى اللَّهِ تَصِيرُ الْأُمُورُ
“…Sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. (Yaitu) jalan Allah yang kepunyaan-Nya segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Ingatlah, bahwa kepada Allah-lah kembali semua urusan.” [Asy-Syura/42 : 52-53]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was allam telah menerangkan hukum yang terdapat dalam Kitabullah, dan beliau menerangkan atau menetapkan pula hukum yang tidak terdapat dalam Kitabullah. Dan segala yang beliau tetapkan pasti Allah mewajibkan kepada kita untuk mengikutinya. Allah menjelaskan barangsiapa yang mengikutinya berarti ia taat kepada-Nya, dan barangsiapa yang tidak mengikuti beliau berarti ia telah berbuat maksiat kepada-Nya, yang demikian itu tidak boleh bagi seorang makhluk pun untuk melakukannya. Dan Allah tidak memberikan kelonggaran kepada siapa pun untuk tidak mengikuti Sunnah-Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”[5]
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Hubungan As-Sunnah dengan Al-Qur-an ada 3 macam, sebagai berikut”:
1. Terkadang As-Sunnah berfungsi sebagai penguat hukum yang sudah ada di dalam Al-Qur-an.
2. Terkadang As-Sunnah berfungsi sebagai penafsir dan pemerinci hal-hal yang disebut secara mujmal di dalam Al-Qur-an.
3. Terkadang As-Sunnah menetapkan dan membentuk hukum yang tidak terdapat di dalam Al-Qur-an, apakah itu hukumnya wajib atau haram yang tidak disebut haramnya dalam Al-Qur-an. Dan tidak pernah keluar dari ketiga pembagian ini. Maka As-Sunnah tidak bertentangan dengan Al-Qur-an sama sekali.
Adapun hukum-hukum tambahan selain yang terdapat di dalam Al-Qur-an, maka hal itu merupakan tasyri’ dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang wajib bagi kita mentaatinya dan tidak boleh kita mengingkarinya. Tasyri’ yang demikian ini bukanlah mendahului Kitabullah, bahkan hal itu sebagai wujud pelaksanaan perintah Allah agar kita mentaati Rasul-Nya. Seandainya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak ditaati, maka ketaatan kita kepada Allah tidak mempunyai arti sama sekali. Karena itu kita wajib taat terhadap apa-apa yang sesuai dengan Al-Qur-an dan terhadap apa-apa yang beliau tetapkan hukumnya yang tidak terdapat di dalam Al-Qur-an.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
مَّن يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ
Barangsiapa taat kepada Rasul berarti ia taat kepada Allah…’” [An-Nisaa’/4: 80][6]
[Disalin dari buku Kedudukan As-Sunnah Dalam Syariat Islam, Penulis Yazid Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, PO.Box 264 Bogor 16001, Jawa Barat Indonesia, Cetakan Kedua Jumadil Akhir 1426H/Juli 2005]
_______
Footnote
[1] HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah
[2] Subulus Salam (IV/151-152).
[3] HR. Al-Bukhari (no. 631), dari Shahabat Malik bin al-Khuwairits Radhiyallahu anhu
[4] HR. Muslim (no. 1297).
[5] Ar-Risaalah (hal. 88-89).
[6] Lihat I’lamul Muwaqqi’in ‘an Rabbil ‘Alamin (IV/84-85), ta’liq wa takhrij Syaikh Masyhur Hasan Salman.

Membaca Al-Qur`an Dengan Khusyu’ Dan Berusaha Memahami Maknanya

Abu Fathan | 09:00 | 0 comments
Al-Qur’an adalah kalamullah yang diucapkan untuk manusia. Dengannya Allâh Azza wa Jalla menyampaikan semua yang ingin disampaikan berupa perintah, larangan, hikmah dan lain sebagainya. Dan ini sebuah penghormatan yang teramat tinggi untuk manusia. Bagaimana tidak? Allâh Azza wa Jalla Yang Maha Agung, Maha Tinggi, Raja di atas segala raja berkenan memberikan kalam-Nya kepada manusia, makhluk lemah, kecil lagi sedikit ini. Sungguh ini merupakan penghormatan luar biasa untuk manusia. Oleh karena itu tidak mengherankan jika kedekatan seseorang dengan al-Qur`an memiliki andil besar dalam mendatangkan cinta Allâh Azza wa Jalla.
Ini sudah disadari oleh para assalafush-shalih, sehingga saat membaca al-Qur`an, mereka seolah-olah seorang perantau kesepian yang membaca sebuah surat dari orang-orang yang mencintainya.
Al-Hasan al-Basri rahimahullah  berkata, “Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian menganggap al-Qur`an adalah surat-surat dari Rabb mereka. Pada malam hari, mereka selalu merenunginya, serta akan berusaha mencarinya pada siang hari.”[1]
Al-Imam Ibnul Jauzi rahimahullah berkata, “Seseorang yang membaca al-Qur`an, hendaknya melihat bagaimana kelemah lembutan Allâh Azza wa Jalla kepada para makhluk-Nya dalam menyampaikan makna kalam-Nya ke pemahaman mereka. Hendakya orang yang membacanya sadar bahwa apa yang ia baca bukan perkataan manusia. Hendaknya ia menyadari keagungan Dzat yang mengucapkannya, dan hendaknya ia merenungi perkataan-Nya.”[2]
Membaca al-Qur’an merupakan penghormatan yang tidak tertandingi kepada orang yang membacanya.
Ibnu Shalah rahimahullah mengatakan, “Membaca al-Qur`an merupakan sebuah kemuliaan yang Allâh Azza wa Jalla berikan kepada hamba-Nya. Disebutkan dalam riwayat, bahwa para Malaikat tidak mendapat kemuliaan ini, dan mereka sangat berantusias untuk mendengarnya dari manusia.”[3]
Kemuliaan ini akan menjadi sempurna apabila ia membacanya dengan ikhlas. Karena keikhlasan -sebagaimana dikatakan Imam Nawawi- merupakan kewajiban pertama bagi para pembaca al-Qur`an. Dan seharusnya ia sadar bahwa ia sedang bermunajat kepada Allâh Azza wa Jalla .[4]
Perhatikanlah, wahai saudaraku!
Allâh Azza wa Jalla telah memberimu kesempatan untuk bermunajat kepada-Nya. Ini berarti Allâh Azza wa Jalla telah memberi rahasia cinta-Nya kepadamu. Karena al-Qur`an berisi petunjuk tentang Allâh Azza wa Jalla dan tentang hal-hal yang dicintai-Nya. Jika cinta kepada Allâh Azza wa Jalla merupakan jalan dan memotivasi hati dan akal untuk mengenal Allâh dan hal-hal yang dicintai-Nya, maka melalui al-Qur`an, nama-nama serta sifat-sifat-Nya bisa diketahui, juga apa yang layak dan yang tidak layak untuk-Nya, termasuk larangan dan perintah-Nya yang bisa menjembatani seseorang menuju cinta dan ridha-Nya.
Oleh karena itu, ada di antara para Sahabat Radhiyallahu anhum yang berusaha meraih cinta Allâh Azza wa Jalla dengan membaca surat al-Ikhlas, merenunginya dan mencintainya. Surat yang memuat sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla . Dia selalu membacanya dalam shalat yang ia lakukan. Ketika ditanya tentang itu, ia menjawab, “Karena ia memuat sifat Allâh, dan saya sangat suka menjadikannya sebagai bacaan”. Mendengar jawaban itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda :
أَخْبِرُوهُ أَنَّ الله يُحِبُّهُ
Beritahukan kepadanya, bahwa Allâh mencintainya.[5]

Orang yang mencintai al-Qur`an, pasti cinta kepada Allâh Azza wa Jalla , karena sifat-sifat Allâh terdapat di dalamnya. Dan pasti juga cinta kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam , karena Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam yang menyampaikan al-Qur`an kepada umatnya. Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata, “Orang yang mencintai al-Qur`an, berarti ia cinta kepada Allâh dan Rasul-Nya.”[6]
Bukti terbesar cinta kepada al-Qur`an adalah berusaha mehamami, merenungi  dan memikirkan makna-maknanya. Sebaliknya, bukti yang menunjukkan bahwa seseorang itu kurang atau bahkan tidak cinta al-Qur`an, yaitu ia tidak tertarik untuk merenungi maknanya. Allâh Azza wa Jalla mencela orang-orang munafik, karena tidak merenungi al-Qur`an. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ ۚ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا
Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur`an? Sekiranya al-Qur`an itu bukan dari sisi Allâh, tentu mereka sudah mendapatkan pertentangan yang banyak di dalamnya. [An-Nisâ`/4:82]
Mentadabburi al-Qur`an dapat mengobati berbagai macam penyakit hati, membersihkannya dari yang membahayakannya, serta dapat memberikan jawaban dan bantahan terhadap syubhat yang ditiupkan syaitan, manusia, dan jin. Berbeda dengan orang munafik, karena enggan merenungi al-Qur`an dan tidak mencari petunjuk darinya, maka hati mereka sakit, penuh penyakit syubhat dan syahwat, sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :
فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَهُمُ اللَّهُ مَرَضًا ۖ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ
Dalam hati mereka ada penyakit, lalu Allâh menambah penyakit itu; dan bagi mereka siksa yang pedih disebabkan mereka berdusta. [al Baqarah/2 : 10].
Tadabbur al-Qur`an, juga merupakan jalan atau cara untuk mengetahui kewajiban-kewajiban agama yang telah dibebankan Allâh kepada para hamba, sementara mengetahui kewajiban-kewajiban itu sama dengan hukum mengamalkannya. Dari bisa disimpulkan bahwa mentadabburi al-Qur’an termasuk salah satu kewajiban agama. Imam al-Qurthubi rahimahullah mengatakan, “Ayat ini[7] dan juga firman-Nya:
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَىٰ قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا
Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur`an ataukah hati mereka terkunci– [Muhammad/47 : 24]
(kedua ayat di atas) menunjukkan wajibnya mentadaburi al-Qur`an supaya dapat mengetahui maknanya.”[8]
Juga, kemuliaan lain yang dimiliki oleh orang yang mentadaburi al-Qur`an yaitu, kebaikan yang dijanjikan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam. Disebutkan dalam hadits shahih yang diriwayatkan dari jalan Sahabat ‘Utsman bin ‘Affan Radhiyallahu anhu, beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda :
خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ
Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari al-Qur`an dan mengajarkanya.[9]
Seseorang yang membaca al-Qur`an, hendaknya berusaha untuk memahami setiap ayat yang ia baca. Karena dengan merenungi dan memahaminya, serta mengulanginya, seseorang akan bisa merasakan nikmatnya al-Qur`an.
Bisyr bin as Sura berkata,”Sesungguhnya ayat al-Qur`an ibarat buah kurma. Setiap kali engkau kunyah, maka engkau akan merasakan manisnya,” kemudian perkataan ini diceritakan kepada Abu Sulaiman, dan dia berkata,”Benar! Tetapi seseorang dari kamu terhalangi mendapatkan manisnya, sebab apabila salah seorang mulai membaca satu ayat, maka ia ingin segera untuk membaca akhirnya” [10]
Al-Qur`an juga akan mengangkat derajat orang yang membacanya di sisi Allâh Azza wa Jalla . Orang yang menjaganya, berarti ia telah membawa panji agama Islam, sebagaimana dikatakan oleh al Fudhail bin Iyad rahimahullah,  “Hamilul Qur`an  adalah pembawa panji Islam. Tidak layak baginya untuk lalai bersama orang yang lalai, lupa bersama orang yang lupa, sebagai wujud mengagungkan Allâh”. [11]
Orang yang menjunjung tinggi al-Qur`an, maka dialah yang berhak mendapatkan kemuliaan membawa panji Islam. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
لَقَدْ أَنْزَلْنَا إِلَيْكُمْ كِتَابًا فِيهِ ذِكْرُكُمْ ۖ أَفَلَا تَعْقِلُونَ
Sesungguhnya telah Kami turunkan kepada kalian sebuah kitab yang di dalamnya terdapat sebab-sebab kemuliaan bagimu. Maka apakah kalian tidak memahaminya [al Anbiyaa`/21 : 10].
Dalam menafsirkan kata   ذِكْرُكُمْ, ‘Abdullah bin ‘Abbas berkata,”Maksudnya, di dalamnya terdapat kemuliaan kalian.”[12]
Rasûlullâh juga memberitahukan tentang ketinggian derajat ahlul Qur`an. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda :
إِنَّ اللهَ يَرْفَعُ بِهَذَا الْكِتَابِ أَقْوَامًا وَيَضَعُ بِهِ آخَرِينَ
Sesungguhnya Allâh akan mengangkat derajat beberapa kaum dengan kitab (al-Qur`an) ini dan  menghinakan yang lain.[13]
Oleh karena itu, merupakan keharusan bagi orang yang membaca al-Qur`an untuk tidak seperti orang kebanyakan. ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata, “Hamilul Qur`an itu mestinya dikenal dengan malamnya saat manusia lain sedang tidur. Dikenal siangnya dengan berpuasa, saat manusia tidak puasa. Dikenal dengan kesedihannya ketika manusia senang, dengan tangisnya ketika manusia tertawa, dengan diamnya ketika manusia berbicara, dan dengan khusyu’nya ketika manusia dalam keadaan sombong.”[14] Demikian ini merupakan sifat mulia yang harus dimiliki oleh hâmilul Qur`an.
Begitu pula orang yang mencintai al-Qur`an, hendaknya tidak membanggakan diri, tidak tertipu dan tidak sombong kepada orang lain dengan kemuliaan yang Allâh limpahkan kepadanya. Allâh berfirman:
قُلْ إِنَّ الْفَضْلَ بِيَدِ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Katakanlah : “Sesungguhnya karunia itu di tangan Allâh, Allâh memberikan karuniaNya kepada siapa yang dikehendakiNya; dan Allâh Maha Luas (karuniaNya) lagi Maha Mengetahui. [Ali Imran/3:73].
Ibnul Qudamah rahimahullah berkata,”Seseorang hendaknya tidak membanggakan kemampuan dan kekuatan dirinya. Hendaknya tidak memandang dirinya dengan perasaan puas dan menganggap dirinya bersih. Orang yang memandang dirinya penuh kekurangan, akan mengantarnya semakin dekat dengan Allâh”[15]
Merasa kurang, bukan berarti kemudian tidak menyadari nikmat Allâh Azza wa Jalla atau tidak boleh menceritakan nikmat itu, karena sebagai wujud rasa syukur.
Hâmilul Qur`an (penghapal) berada dalam kenikmatan yang tiada bandingannya, jika dia mengamalkannya. ‘Umar bin Khaththab z berkata,”Wahai Qurra` (para pembaca al-Qur`an), angkatlah kepala-kepala kalian. Sungguh, jalan telah dijelaskan buat kalian, maka berlomba-lombalah dalam kebaikan, dan janganlah kalian menjadi beban bagi manusia!”[16]
Az-Zarkasyi rahimahullah berkata, “Ketahuilah, seseorang yang Allâh Azza wa Jalla ajari al-Qur`an, baik seluruhnya atau sebagian, hendaknya menyadari kedudukan nikmat ini. Yakni, al-Qur`an merupakan mukjizat terbesar, karena ia senantiasa eksis dengan keberadaan dakwah Islam. Dan juga, karena Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam merupakan penutup para nabi dan rasul. Jadi, hujjah al-Qur`an akan senantiasa ada di setiap zaman dan waktu, karena al-Qur`an merupakan kalamullah dan kitab-Nya yang paling mulia. Maka, orang yang dianugerahi al-Qur`an hendaknya memandang, bahwa Allâh Azza wa Jalla telah memberikan nikmat yang agung kepadanya. Hendaknya dia menyadari dengan perbuatannya, bahwa al-Qur`an akan membelanya, dan bukan justru menuntutnya.[17]
Sebagaimana juga, ia harus memanfaatkan dengan sebaik-baiknya kenikmatan yang telah diberikan Allâh kepadanya, mengumpulkan dalam dirinya yang dapat menyebabkan hati menjadi hidup. Mungkin ada yang bertanya, bagaimanakah cara memaksimalkan dalam mengambil pelajaran dari al-Qur`an?
Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan dalam kitabnya, al Fawâ-id, beliau rahimahullah menyatakan, “Apabila engkau hendak mengambil pelajaran dari al-Qur`an, maka konsentrasikanlah hatimu ketika membaca dan mendengarnya, pasanglah telingamu! Jadikanlah dirimu seperti orang yang diajak bicara langsung oleh Dzat yang mengucapkannya, yaitu Allâh Subhanahu wa Ta’ala, karena al-Qur`an merupakan khitab (pembicaraan) yang ditujukan Allâh kepadamu melalui lisan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam . Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَذِكْرَىٰ لِمَنْ كَانَ لَهُ قَلْبٌ أَوْ أَلْقَى السَّمْعَ وَهُوَ شَهِيدٌ
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya .[Qâf/50:37]
Karena pengaruh al-Qur`an sepenuhnya tergantung dari yang memberi pengaruh, tempat yang bisa menerima pengaruh, terpenuhi syarat-syaratnya, dan tidak ada yang menghalangi. Maka ayat di atas menjelaskan tentang semua itu dengan ungkapan yang ringkas namun jelas, dan mewakili maksudnya.
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
  إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَذِكْرَىٰ
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan
(ini merupakan) isyarat kepada ayat-ayat yang telah lewat dari awal surat sampai ayat ini. Inilah muatstsir (yang memberikan pengaruh).
Dan firman-Nya:
لِمَنْ كَانَ لَهُ قَلْبٌ
bagi orang-orang yang mempunyai hati
adalah, tempat yang bisa menerima pengaruh tersebut. Yaitu hati yang hidup yang mengenal Allâh Subhanahu wa Ta’ala , sebagaiamana Allâh Azza wa Jalla berfirman:
لِيُنْذِرَ مَنْ كَانَ حَيًّا
Supaya dia (Muhammad) memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup (hatinya) [Yasin/36:70]
Sedangkan firman Allâh Azza wa Jalla :
أَوْ أَلْقَى السَّمْعَ
atau yang menggunakan pendengarannya
maknanya, orang yang mengarahkan pendengaran dan memusatkannya kepada ucapan yang diarahkan kepadanya. Ini merupakan syarat bisa terpengaruh dengan ucapan.
Adapun firman-Nya:
وَهُوَ شَهِيدٌ
dan dia menyaksikannya
maksudnya, hatinya hadir, tidak lalai. Ibnu Qutaibah t berkata,”Yakni, dia mendengarkan al-Qur`an dengan penuh perhatian, tidak dengan hati yang lalai lagi lupa. Ini menunjukkan adanya penghalang dari mendapatkan pengaruh, yaitu kelalaian hati tidak merenungi, tidak memikirkan, serta tidak melihat apa yang dikatakan kepadanya.
Apabila ada yang memberikan pengaruh -yaitu al-Qur`an- (maka) ada tempat yang bisa menerima pengaruh –yaitu hati yang hidup- dan syaratnya ada -yaitu mendengarkan- serta tidak ada penghalang -yaitu sibuknya hati dengan yang lainya- maka pengaruh itu, pasti akan timbul. Itulah perwujudan dalam memanfaatkan al-Qur`an dan mengambil pelajaran darinya”.[18]
Setelah itu, hendaknya ia bersiap-siap untuk mengamalkanya. Karena ilmu mengajak pemiliknya agar mengamalkannya. Jika diamalkan, ilmu akan terjaga. Jika tidak, maka ilmu itu akan hilang.
Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Zaadul Ma’ad berkata,”Sebagian salafush shalih mengatakan, sesungguhnya al-Qur`an turun supaya diamalkan. Maka jadikanlah membaca al-Qur`an sebagai wujud pengamalannya. Oleh karena itu, Ahlul Qur`an adalah orang yang memahami al-Qur`an dan mengamalkan yang terkandung di dalamnya, walaupun ia tidak menghafalkannya. Sedangkan orang yang menghafalnya namun tidak memahaminya, serta tidak mengamalkan kandungannya, maka dia bukan ahlul Qur`an, meskipun dia mendudukkan huruf-hurufnya sebagaimana mendudukan busur panahnya (artinya, sangat perhatian terhadap huruf-hurufnya, Red).[19]
Oleh karena itu apabila seseorang ingin mendapatkan kecintaan dari Allâh, maka hendaklah ia memiliki perhatian yang besar kepada al-Qur`an, berusaha membacanya, merenungi dan mengamalkanya.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XXI/1438H/2017M. ]
_______
Footnote
[1] At-Tibyân fi Adabi Hamalatil Qur`an, Imam an Nawawi, hlm. 28.
[2] Mukhtasar Minhajul Qasidin, hlm. 46
[3] Al Itqân fi Ulûmil Qur`an, 1/291, karya Imam as Suyuthi.
[4] At Tibyan fi Adabi Hamalatil Qur`an, Imam an Nawawi, halaman 38
[5] Diriwayatkan Imam al-Bukhâri, no. 7375; Fat-hul Bâri, 13/360, dan Imam Muslim, 1/557 (813)
[6] At Thabrani, no.  8658; al Haitsami berkata,”Para perawinya tsiqah.”
[7] Maksudnya QS. An-Nisâ`/4 ayat ke-82
[8] Tafsir al Qurthubi, 5/290.
[9] Diriwayatkan Imam al-Bukhâri, no. 5027; Fat-hul Bari, 8/692.
[10] Al Burhân fi ‘Ulûmil Qur`an, Imam az Zarkasyi, tahqiq Muhammad Abul Fadl Ibrahim, 1/471.
[11] Mukhtasar Minhâjul Qâsidin, hlm. 45
[12] Tafsir Ibnu Katsir, 5/327.
[13] Imam Muslim, no. 269 (1/559).
[14] Sifatush Shafwah, Imam Ibnul Jauzi, 1/172
[15] Mukhtasar Minhâjul Qâsidin, hlm.  47.
[16] At Tibyân fi Adabi Hamalatil Qur`ân, hlm. 27
[17] Al Burhân fi Ulûmil Qur`an, 1/449
[18] Al-Fawaid Ibnul Qayyim, hlm. 3.
[19] Zâdul Ma’ad, Ibnul Qayyim, 1/338, Cet. Muasasah ar Risalah

Tokoh-Tokoh Pengusung Kesesatan Eksistensi Dan Bahaya Mereka Bagi Umat

Abu Fathan | 23:23 | 0 comments
Di dalam al-Qur’an, Allâh Azza wa Jalla menyatakan keberadaan para tokoh penyeru kesesatan dan para tokoh penyeru kepada petunjuk kebaikan.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَجَعَلْنَاهُمْ أَئِمَّةً يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ ۖ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا يُنْصَرُونَ
Dan Kami jadikan mereka pemimpin-pemimpin yang menyeru (manusia) ke neraka dan pada hari kiamat mereka tidak akan ditolong [Al-Qashash/28:41].
Dalam ayat lain, Allâh Azza wa Jalla juga berfirman:
وَجَعَلْنَاهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا وَأَوْحَيْنَا إِلَيْهِمْ فِعْلَ الْخَيْرَاتِ وَإِقَامَ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءَ الزَّكَاةِ ۖ وَكَانُوا لَنَا عَابِدِينَ
Dan Kami jadikan mereka sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada mereka untuk mengerjakan kebaikan, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan hanya kepada Kamilah mereka selalu menyembah [Al-Anbiyâ’/21:73].
Shahabat yang mulia, ‘Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallahu anhu mengatakan, “Allâh Subhanahu wa Ta’ala menjadikan imam (pemimpin) bagi manusia di dunia ini yang mengajak manusia kepada kesesatan atau petunjuk kebaikan.” Kemudian beliau Radhiyallahu anhu membaca dua ayat tersebut di atas.[1]
Dalam beberapa hadits shahih, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam juga menegaskan keberadaan dan bahaya para tokoh pengusung kesesatan ini.
Dari Tsauban Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:
إِنَّمَا أَخَافُ عَلَى أُمَّتِي الْأَئِمَّةَ الْمُضِلِّيْنَ
Sesungguhnya yang saya khawatirkan (akan merusak) umatku hanyalah para imam (tokoh) yang menyeru kepada kesesatan.[2]
Mereka adalah para tokoh penyeru kepada bid’ah, kefasikan dan keburukan.[3]
Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan Alu asy-Syaikh berkata, “(Mereka) adalah para pemimpin, tokoh agama dan ahli ibadah yang mengarahkan manusia tanpa ilmu (pemahaman agama yang benar), sehingga mereka menyesatkan manusia, sebagaimana dalam firman Allâh Azza wa Jalla :
وَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءَنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلَا
Dan mereka (orang-orang yang sesat) berkata, “Ya Rabb Kami (Allâh Subhanahu wa Ta’ala)! Sesungguhnya kami telah mentaati para pemimpin dan para pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar) [Al-Ahzâb/33:67][4]
Dan Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
Sesungguhnya Allâh Subhanahu wa Ta’ala tidak mencabut ilmu (pemahaman agama yang benar) dengan menghilangkannya dari (dada atau hati) para hamba-Nya, akan tetapi Allâh Subhanahu wa Ta’ala mencabut ilmu dengan mewafatkan para Ulama. Sampai ketika tidak tersisa lagi seorang Ulama’pun, maka manusia akan mengangkat para pemimpin (tokoh panutan) yang jahil (tidak memiliki pemahaman agama yang benar), lalu para pemimpin itu ditanya (tentang masalah agama), maka mereka berfatwa (memberikan jawaban atau arahan) tanpa dasar ilmu, sehingga mereka tersesat dan menyesatkan orang lain.[5]
Dalam hadits ini terdapat peringatan keras agar tidak menjadikan orang yang jahil (tidak memiliki pemahaman agama yang benar) sebagai tokoh panutan, karena dia akan mengarahkan manusia dengan kejahilannya, sehingga dia tersesat atau menyimpang dan menyesatkan manusia.[6]
Dalam hadits shahih lainnya, dari Hudzaifah bin al-Yaman Radhiyallahu anhu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam menyebutkan munculnya fitnah besar di akhir jaman dalam sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam :
نَعَمْ دُعَاةٌ عَلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ مَنْ أَجَابَهُمْ إِلَيْهَا قَذَفُوهُ فِيهَا
 Ya. (Akan muncul) para penyeru di atas pintu-pintu neraka Jahannam. Barangsiapa mengikuti seruan mereka maka dia akan dilemparkan ke dalam neraka Jahannam.[7]
Maksudnya, para penyeru ini akan mengajak manusia untuk melakukan perbuatan yang bisa menjerumuskan mereka ke dalam neraka Jahannam[8]na’ûdzu billâhi min dzâlik.
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Para Ulama menjelaskan bahwa mereka ini adalah para pemimpin yang menyeru kepada bid’ah atau kesesatan lainnya, seperti orang-orang Khawarij (para pemberontak kepada pemerintah Muslim dan mereka mudah mengkafirkan kaum muslimin), al-Qarâ-mithah dan tokoh-tokoh pembawa fitnah (pemikiran sesat).”[9]
KEBURUKAN DAN BAHAYA BESAR YANG DITIMBULKAN OLEH PARA TOKOH PENGUSUNG KESESATAN
Dalam ayat al-Qur’an dan hadits-hadits yang telah kami nukilkan di atas dijelaskan bahwa para tokoh pengusung kesesatan ini akan selalu mengajak manusia kepada pemahaman sesat dan perbuatan-perbuatan menyimpang dari agama Allâh Azza wa Jalla . Dan tentu saja mereka lakukan ini dengan bahasa yang manis dan kata-kata indah yang memperdaya. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الْإِنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَىٰ بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا
Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari kalangan) manusia dan (dari kalangan) jin, yang mereka satu sama lain saling membisikkan perkataan-perkataan yang indah untuk menipu (manusia) [al-An’aam/6:112].
Mereka, satu sama lain saling menghiasi keburukan dan kesesatan yang mereka serukan (kepada manusia), serta memperindah kata-kata yang mereka sampaikan, sehingga menjadikan keburukan itu tampak dalam bentuk yang (terlihat) baik, supaya orang-orang jahil (tidak paham) mudah tertipu dan orang-orang awam terpengaruh untuk mengikutinya… Lalu mereka akan menyangka kebenaran itu adalah kebatilan dan kebatilan itu adalah kebenaran.[10]
Tentu saja, ini akan menimbulkan banyak keburukan dan kerusakan di tengah-tengah masyarakat. Karena di samping pemikiran sesat dan perbuatan buruk tersebut akan mendatangkan berbagai macam bencana disebabkan kemurkaan Allâh Azza wa Jalla , juga keburukan yang ditampilkan dalam bentuk yang terlihat baik di mata manusia mengakibatkan keburukan itu tidak akan diingkari oleh manusia bahkan justru malah dibela dengan sekuat tenaga karena diyakini sebagai kebenaran. Ini akan menyebabkan datangnya musibah di atas musibah.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
Dan musibah apa saja yang menimpa kamu maka itu disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allâh memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu). [Asy-Syûrâ/42:30]
Imam Abul ‘Aliyah ar-Riyâhi[11] rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang bermaksiat kepada Allâh Azza wa Jalla di muka bumi maka (berarti) dia telah berbuat kerusakan padanya, karena perbaikan di muka bumi dan di langit (hanya bisa diwujudkan) dengan ketaatan (kepada Allâh Azza wa Jalla )”.[12]
Adapun tentang keburukan yang tidak diingkari, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:
إِنَّ النَّاسَ إِذَا رَأَوا الْمُنْكَرَ لاَ يُغَيِّرُوْنَهَ أَوْشَكَ أَنْ يَعُمَّهُمُ اللهُ بِعِقَابِهِ
Sesungguhnya manusia jika mereka melihat kemungkaran (keburukan) dan tidak (berusaha) merubahnya (menghilangkannya) maka tidak lama lagi Allâh akan menimpakan adzab-Nya yang merata kepada mereka.[13]
Bahkan ini adalah jenis kerusakan yang dilakukan oleh orang-orang munafik dengan meng-atasnamakan perbaikan di muka bumi. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ﴿١١﴾أَلَا إِنَّهُمْ هُمُ الْمُفْسِدُونَ وَلَٰكِنْ لَا يَشْعُرُونَ
Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi!”, Mereka menjawab, “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.” Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar(QS. Al-Baqarah/2:11-12)
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah berkata, “Jadi, mereka menghimpun (dua keburukan besar) antara perbuatan (maksiat) yang menimbulkan kerusakan di muka bumi dan menampilkan perbuatan buruk tersebut (seolah-olah) bukan keburukan, bahkan (dikesankan sebagai) upaya perbaikan, untuk memutarbalikkan fakta. Mereka mengumpulkan antara perbuatan buruk dan meyakini keburukan itu sebagai kebenaran. Ini lebih besar keburukannya daripada orang yang berbuat maksiat dan dia masih meyakini bahwa apa yang dia lakukan itu buruk, karena orang ini lebih dekat dan lebih bisa diharapkan untuk kembali (bertaubat)” [14].
Sebagai contoh dalam hal ini adalah kelompok khawarij. Mereka adalah kelompok pertama yang menyempal dalam Islam dan diperangi oleh para Sahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam  di bawah pimpinan Sahabat yang mulia, ‘Ali Bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu berdasarkan perintah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam .
Pemikiran sesat kelompok ini banyak melahirkan kerusakan dan keburukan besar di tengah kaum Muslimin, bahkan di tengah umat manusia pada umumnya, dari dulu sampai sekarang. Seperti perbuatan mengkafirkan pemerintah Muslim, memberontak kepada mereka, melakukan teror, pertumpahan darah dan bom bunuh diri, yang semua ini tentu sangat dikutuk dan dicela dalam Islam.
Bersamaan dengan itu, kelompok khawarij ini selalu menampilkan diri sebagai pembela Islam serta penegak amar ma’ruf dan nahi mungkar, untuk menyembunyikan penyimpangan dan kesesatan yang besar dalam batin mereka.
Dalam hadits yang shahih, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam menggambarkan hal tersebut ketika menjelaskan ciri-ciri kelompok ini. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam  bersabda:
يَقُوْلُوْنَ مِنْ خَيْرِ قَوْلِ الْبَرِيَّةِ يَقْرَأُوْنَ الْقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ
Mereka (orang-orang khawarij) selalu mengucapkan (secara lahir) kata-kata yang indah, dan mereka membaca al-Qur’an tapi (bacaan tersebut) tidak melampaui tenggorokan mereka (tidak masuk ke dalam hati mereka)[15]
Dalam riwayat yang lain, Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu mengatakan, “Wahai sekalian manusia! Sesungguhnya aku pernah mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:
يَخْرُجُ قَوْمٌ مِنْ أُمَّتِيْ يَقْرَأُوْنَ الْقُرْآنَ لَيْسَ قِرَاءَتُكُمْ إِلَى قِرَاءَتِهِمْ بِشَيْءٍ وَلاَ صَلاَتُكُمْ إِلَى صَلاَتِهِمْ بِشَيْءٍ وَلاَ صِيَامُكُمْ إِلَى صِيَامِهِمْ بِشَيْءٍ
Akan terlahir dari umatmu satu kaum yang mereka itu membaca al-Qur’an; Bacaan al-Qur’an kalian (wahai para Sahabatku) tidak ada artinya jika dibandingkan dengan bacaan al-Qur’an mereka, (demikian pula) shalat kalian tidak ada artinya jika dibandingkan dengan shalat mereka, juga puasa kalian tidak ada artinya jika dibandingkan dengan puasa mereka[16]
Hadits-hadits di atas jelas menunjukkan bahwa mereka selalu menampilkan diri dengan penampilan dan pengakuan yang terkesan indah untuk menipu dan memperdaya manusia.
Oleh karena itu, tatkala kelompok khawarij ini keluar untuk memberontak di jaman khalifah yang mulia, ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu, dengan membawa satu slogan yang mereka elu-elukan, “Tidak ada hukum selain hukum Allâh Azza wa Jalla ”, ketika itu ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahun anhu  menanggapi slogan tersebut dengan ucapan beliau Radhiyallahu anhu  yang sangat terkenal, yaitu, “(Slogan mereka itu) adalah kalimat (yang nampaknya) benar tetapi dimaksudkan untuk kebatilan.”[17]
Para Ulama Ahlus sunnah senantiasa memperingatkan tentang keberadaan dan bahaya mereka di tengah-tengah umat dari dahulu sampai sekarang, khususnya dalam mempengaruhi orang-orang awam untuk mengikuti pemahaman mereka yang rusak, sehingga banyak terjadi penyimpangan dan kerusakan di tubuh kaum Muslimin.
Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Orang-orang yang menisbatkan diri kepada dakwah (menyeru manusia) pada jaman ini, di antara mereka ada yang mengajak kepada kesesatan dan menginginkan para pemuda Islam untuk menyimpang (dari pemahaman Islam yang benar), memalingkan manusia dari agama yang benar, memecah belah persatuan kaum Muslimin dan menjerumuskan mereka ke dalam fitnah.
Maka yang menjadi penilaian bukanlah (sekedar) penisbatan diri (pengakuan) atau penampilan lahir, akan tetapi yang menjadi penilaian adalah hakikat dan kesudahan dari perkara tersebut”[18].
SOLUSI DAN PENUTUP
Jalan keluar untuk selamat dari semua keburukan dan kerusakan di atas – dengan izin Allâh Azza wa Jalla – adalah dengan selalu berpegang teguh dan berkomitmen terhadap petunjuk Allâh Azza wa Jalla yang diturunkan-Nya kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam . Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَمَنْ يَعْتَصِمْ بِاللَّهِ فَقَدْ هُدِيَ إِلَىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
Barangsiapa berpegang teguh kepada (agama) Allâh maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk (taufik dari Allâh Subhanahu wa Ta’ala ) kepada jalan yang lurus [Ali ‘Imrân/3:101]
Dalam ayat lain, Allâh Azza wa Jalla berfirman:
فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُمْ مِنِّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَىٰ
Maka jika datang kepadamu petunjuk daripada-Ku (wahai manusia), maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk (agama)-Ku, dia tidak akan sesat dan ia tidak akan celaka [Thâhâ/20:123]
Imam Ibnu Syihab az-Zuhri rahimahullah berkata, “Berpegang teguh dengan sunnah (petunjuk Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam)  adalah keselamatan (dari segala keburukan dan kesesatan)”[19].
Yang dimaksud di sini adalah pemahaman agama Islam yang benar, sebagaimana yang dijalani oleh generasi terbaik umat ini, yaitu para Sahabat Radhiyallahu anhu, kemudian para Ulama Ahlus sunnah wal jama’ah yang mengikuti petunjuk mereka dengan baik. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari (kalangan) orang-orang muhajirin dan anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allâh ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada-Nya, dan Allâh menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar [At-Taubah/9:100]
Dalam sebuah hadits yang shahih, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam menegaskan bahwa inilah solusi untuk selamat dari berbagai fitnah dan kerusakan di akhir jaman.
Dari al-‘Irbadh bin Sariyah Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:
فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
Sesungguhnya barangsiapa yang masih hidup di antara kamu sepeninggalku nanti, dia akan melihat banyak perpecahan (fitnah), maka (untuk keselamatanmu) hendaknya kamu berpegan teguh dengan petunjukku dan petunjuk para khulafâ-ur râsyidin yang selalu mendapat petunjuk (para Sahabat Radhiyallahu anhum), berkomitmenlah dengan petunjuk itu dan gigitlah dengan gigi gerahammu, serta jauhilah perkara yang diada-adakan (dalam urusn agama), karena semua perkara yang diada-adakan adalah bid’ah dan semua bid’ah adalah kesesatan[20].
Ini semua menuntut kita waspada dan teliti dalam menilai setiap pemahaman agama yang tersebar di masyarakat kita, apakah pemahaman tersebut sesuai dengan pemahaman yng benar atau tidak?
Dalam hal ini, Imam Abu Muhammad al-Barbahari rahimahullah berkata, “Perhatikan dan cermatilah – semoga Allâh Azza wa Jalla Merahmatimu – semua orang yang menyampaikan satu ucapan atau pemahaman di hadapanmu! Jangan sekali-kali kamu terburu-buru untuk membenarkan dan mengikuti ucapan atau pemahaman tersebut, sampai kamu tanyakan dan meneliti kembali: Apakah ucapan atau pemahaman tersebut pernah disampaikan oleh para Sahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam atau pernah disampaikan oleh Ulama ahlus Sunnah? Kalau kamu dapati ucapan atau pemahaman tersebut sesuai dengan pemahaman mereka g , maka berpegangteguhlah dengannya, dan janganlah (sekali-kali) kamu meninggalkannya dan memilih pemahaman lain, sehingga (akibatnya) kamu akan terjerumus ke dalam neraka![21]
Sebagai penutup, camkanlah nasehat emas Imam Malik bin Anas rahimahullah yang populer, “Tidak akan baik (keadaan) generasi terakhir umat ini kecuali dengan sesuatu (metode benar) yang telah memperbaiki (keadaan) generasi pertama umat ini”[22].
Semoga tulisan ini bermanfaat dan menjadi sebab kebaikan bagi kaum Muslimin.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XXI/1438H/2017M. Oleh Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni MA]
_______
Footnote
[1] Dinukil oleh Imam al-Bagawi dalam tafsir beliau, 5/109
[2] HSR. Abu Dawud, no. 4252 dan at-Tirmidzi, 4/504. Hadits ini dinyatakan shahih oleh Imam at-Tirmidzi dan Syaikh al-Albani.
[3] Lihat kitab ’Aunul Ma’bûd, 11/218 dan Tuhfatul Ahwadzi, 6/401
[4] Kitab Fat-hul Majîd Syarhu Kitâbit Tauhîd, hlm. 323
[5] HSR. Al-Bukhâri, 6/2595 dan Muslim, no. 1847
[6] Lihat penjelasan Imam an-Nawawi rahimahullah dalam Syarhu shahîhi Muslim, 16/224
[7] HSR. Al-Bukhâri, 1/50 dan Muslim, no. 2673
[8] Lihat penjelasan Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam Fat-hul Bâri, 1/117
[9] Kitab Syarhu Shahîhi Muslim, 12/237
[10] Penjelasan Syaikh ‘Abdurrahman as-Sa’di t dalam tafsir beliau Taisîrul Karîmirrahmân, hlm. 269
[11] Beliau adalah Rufai’ bin Mihran ar-Riyâhi (wafat 90 H), seorang Tabi’in senior yang terpercaya dalam meriwayatkan hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam . Lihat kitab Taqrîbut Tahdzîb, hlm. 162
[12] Dinukil oleh imam Ibnu Katsir dalam tafsir beliau, 3/576
[13] HR. Ahmad, 1/2 dan Ibnu Majah, no. 4005. Hadits ini  dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albani.
[14] Kitab Taisîr Karîmirrahmân, hlm. 42
[15] HSR. Imam Muslim (7/175 – syarh An Nawawi, cet. Darul Qalam), dari ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu
[16] HSR. Imam Muslim (7/176 – syarh An Nawawi), dari ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu
[17] HSR. Imam Muslim, no. 1066
[18] Kitab kecil Du’âtun ‘ala Abwâbi Jahannam, hlm. 5-6
[19] Dinukil oleh Imam al-Lâlika-i dalam kitab Syarhu Ushûli I’tiqâdi Ahlis Sunnati wal Jamâ-‘ah, 1/56 dan 94
[20] HR. Abu Dawud, no. 4607; At-Tirmidzi, 5/44 dan Ibnu Majah, no. 43. Hadits ini dinyatakan shahih oleh Imam at-Tirmidzi dan Syaikh al-Albani.
[21] Syarh As-Sunnah, Imam Al Barbahari, hlm.61, tahqiq Syaikh Khalid ar-Radadi
[22] Dinukil oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Iqtidhâ ash-Shirâthil Mustaqîm, hlm. 367 dan Imam Ibnul Qayyim dalam Igâtsatul lahfân, 1/200
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. BERITA SUNNAH - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger