{قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ ويَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ، وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ}

Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah (sunnah/petunjuk)ku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS Ali ‘Imran:31)

Kebahagiaan Mana yang Ingin Anda Raih?

Abu Fathan | 23:15 | 0 comments
Sebagian orang berkata, ‘Hidup itu yang penting happy’. Dari situ kemudian mereka berbuat semaunya. Mereka tidak peduli dengan segala macam aturan. Mereka ingin hidup bahagia, tapi melakukan perbuatan maksiat yang membahayakan dirinya di akherat. Mereka tertipu dengan kebahagiaan sesaat yang mereka rasakan di dunia ini, sehingga mereka tetap berani dan tetap nekad melakukan perbuatan yang dilarang agama. Memang, hidup bahagia merupakan dambaan setiap makhluk. Namun banyak orang yang tidak tahu atau tidak mau tahu bahwa kebahagiaan hakiki adalah kebahagiaan akherat.

Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَمَا هَٰذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَهْوٌ وَلَعِبٌ ۚ وَإِنَّ الدَّارَ الْآخِرَةَ لَهِيَ الْحَيَوَانُ ۚ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ
Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui [al-‘Ankabût/29: 64]
Ketika menjelaskan maksud ayat ini, Imam Ibnu Katsîr rahimahullah mengatakan, “Allah Azza wa Jalla berfirman (dalam rangka) memberitakan betapa dunia itu hina, akan hancur dan akan sirna (pada saat yang telah ditentukan). Dan dunia ini tidak kekal, dan sekedar mendatangkan kelalaian dan bersifat permainan. Dia berfirman, “dan sesungguhnya akherat itulah yang sebenarnya kehidupan”, maksudnya (akherat itu) adalah kehidupan yang kekal, yang haq, yang tidak akan binasa dan tidak sirna. Kehidupan akherat berlangsung terus-menerus selama-lamanya. Firman-Nya (yang artinya,) “kalau mereka mengetahui”, maksudnya, jika manusia tahu, maka sungguh mereka akan lebih mengutamakan sesuatu yang bersifat baqa’ (kekal) daripada yang fana (akan binasa).” [Tafsir Ibnu Katsir, surat al-‘Ankabût/29:64]
Oleh karena itu, agar tidak salah langkah, tujuan dan prioritas dalam mengejar kebahagiaan yang kita inginkan, di sini akan kami sampaikan beberapa hal terkait kebahagiaan di dunia dan akherat.
1. BAHAGIA DI DUNIA, BAHAGIA DI AKHIRAT
Inilah puncak kebahagiaan. Inilah yang selalu dimohon oleh hamba-hamba Allâh Azza wa Jallayang shalih, sebagaimana tertuang dalam firman-Nya :
وَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ ﴿٢٠١﴾ أُولَٰئِكَ لَهُمْ نَصِيبٌ مِمَّا كَسَبُوا ۚ وَاللَّهُ سَرِيعُ الْحِسَابِ
Dan di antara mereka ada orang yang berdo’a, “Ya Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akherat dan peliharalah kami dari siksa neraka”. Mereka itulah orang-orang yang mendapat bagian dari (amal) yang mereka usahakan; dan Allâh sangat cepat perhitungan-Nya [al-Baqarah/2: 201-202]
Ini juga merupakan do’a dan permohonan Nabi Musa Alaihissallam dan kaumnya yang shalih, sebagaimana yang Allâh Azza wa Jalla beritakan dalam kitab-Nya :
وَاكْتُبْ لَنَا فِي هَٰذِهِ الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ إِنَّا هُدْنَا إِلَيْكَ
(Mereka juga berdo’a), “Dan tetapkanlah untuk kami kebajikan di dunia ini dan di akhirat; sesungguhnya kami kembali (bertaubat) kepada-Mu [al-A’râf/7: 156]
Derajat tertinggi ini akan diraih oleh orang-orang yang bertaqwa dan berbuat ihsan, sebagaimana kita ketahui bahwa ihsân adalah derajat agama yang tertinggi, berdasarkan kandungan hadits Jibrîl Alaihissallam. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَقِيلَ لِلَّذِينَ اتَّقَوْا مَاذَا أَنْزَلَ رَبُّكُمْ ۚ قَالُوا خَيْرًا ۗ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا فِي هَٰذِهِ الدُّنْيَا حَسَنَةٌ ۚ وَلَدَارُ الْآخِرَةِ خَيْرٌ ۚ وَلَنِعْمَ دَارُ الْمُتَّقِينَ
Dan dikatakan kepada orang-orang yang bertakwa: “Apakah yang telah diturunkan oleh Rabbmu?” Mereka menjawab: “(Allâh telah menurunkan) kebaikan”. Orang-orang yang berbuat ihsân (sebaik-baiknya) di dunia ini mendapat (pembalasan) yang baik. Dan sesungguhnya kampung akherat adalah lebih baik dan itulah sebaik-baik tempat bagi orang yang bertakwa [an-Nahl/16: 30]
2. SENGSARA DI DUNIA, BAHAGIA DI AKHERAT
Ada lagi orang yang meraih kebahagiaan di akherat, walaupun di dunia mendapatkan berbagai macam musibah dan ujian, bahkan kesusahan dan kecelakaan. Jenis manusia ini diberitakan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits shahîh :
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُؤْتَى بِأَنْعَمِ أَهْلِ الدُّنْيَا مِنْ أَهْلِ النَّارِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُصْبَغُ فِي النَّارِ صَبْغَةً ثُمَّ يُقَالُ يَا ابْنَ آدَمَ هَلْ رَأَيْتَ خَيْرًا قَطُّ هَلْ مَرَّ بِكَ نَعِيمٌ قَطُّ فَيَقُولُ لَا وَاللَّهِ يَا رَبِّ وَيُؤْتَى بِأَشَدِّ النَّاسِ بُؤْسًا فِي الدُّنْيَا مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيُصْبَغُ صَبْغَةً فِي الْجَنَّةِ فَيُقَالُ لَهُ يَا ابْنَ آدَمَ هَلْ رَأَيْتَ بُؤْسًا قَطُّ هَلْ مَرَّ بِكَ شِدَّةٌ قَطُّ فَيَقُولُ لَا وَاللَّهِ يَا رَبِّ مَا مَرَّ بِي بُؤْسٌ قَطُّ وَلَا رَأَيْتُ شِدَّةً قَطُّ
Dari Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Pada hari Kiamat nanti akan didatangkan seorang penduduk dunia yang paling banyak mendapatkan kenikmatan, namun dia termasuk penduduk neraka. Lalu dia dimasukkan sebentar di dalam api neraka, kemudian dia ditanya, “Hai anak Adam, pernahkah engkau melihat kebaikan ? Pernahkah engkau mendapatkan kenikmatan?” Maka dia menjawab, “Tidak, demi Allâh, wahai Rabbku”.
Selanjutnya, akan didatangkan seorang yang paling sengsara di dunia, namun dia termasuk penduduk surga. Lalu dia dimasukkan sebentar ke dalam surga, kemudian dia ditanya, “Hai anak Adam, pernahkah engkau melihat kesengsaraan? Pernahkah engkau menderita kesusahan?” Maka dia menjawab, “Tidak, demi Allâh, wahai Rabbku. Aku tidak pernah mendapatkan kesengsaraan sama sekali, dan aku tidak pernah melihat kesusahan sama sekali”. [HR. Muslim,no. 2807 dan lainnya]
3. BAHAGIA DI DUNIA, CELAKA DI AKHERAT
Hadits shahîh dari Sahabat Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu di atas juga menjelaskan adanya jenis manusia yang berbahagia –secara lahiriyah- di dunia, namun di akherat akan mengalami kesengsaraan yang sangat berat. Kita lihat bahwa kebanyakan tokoh masyarakat yang berharta dan berpangkat adalah penentang dakwah para rasul. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَا فِي قَرْيَةٍ مِنْ نَذِيرٍ إِلَّا قَالَ مُتْرَفُوهَا إِنَّا بِمَا أُرْسِلْتُمْ بِهِ كَافِرُونَ ﴿٣٤﴾ وَقَالُوا نَحْنُ أَكْثَرُ أَمْوَالًا وَأَوْلَادًا وَمَا نَحْنُ بِمُعَذَّبِينَ ﴿٣٥﴾قُلْ إِنَّ رَبِّي يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَقْدِرُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
Dan Kami tidak mengutus kepada suatu negeri seorang pemberi peringatan pun, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata, “Sesungguhnya kami mengingkari apa yang kamu diutus untuk menyampaikannya.” Dan mereka berkata, “Harta dan anak- anak kami lebih banyak (daripada kamu) dan kami sekali-kali tidak akan diazab”.Katakanlah: “Sesungguhnya Rabbku melapangkan rezki bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan menyempitkan (bagi siapa yang dikehendaki-Nya). Akan tetapi kebanyakan manusia tidak Mengetahui” [Saba’/34: 34-36]
Cobalah perhatikan, orang kafir di bawah ini, bagaimana dia bergembira dan berbahagia di dunia, namun di akherat dia mendapatkan penderitaan yang tidak akan tertahan. Allâh Azza wa Jallaberfirman :
وَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ وَرَاءَ ظَهْرِهِ ﴿١٠﴾ فَسَوْفَ يَدْعُو ثُبُورًا ﴿١١﴾وَيَصْلَىٰ سَعِيرًا ﴿١٢﴾ إِنَّهُ كَانَ فِي أَهْلِهِ مَسْرُورًا ﴿١٣﴾ إِنَّهُ ظَنَّ أَنْ لَنْ يَحُورَ
Adapun orang-orang yang diberikan kitabnya dari belakang, maka dia akan berteriak: “Celakalah aku”. Dan dia akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). Sesungguhnya dia dahulu (di dunia) bergembira di kalangan kaumnya (yang sama-sama kafir). Sesungguhnya dia menyangka bahwa dia sekali-kali tidak akan kembali (kepada Tuhannya). (Bukan demikian), yang benar, sesungguhnya Rabbnya selalu melihatnya. [al-Insyiqâq/84:10-15]
Lihatlah tokoh-tokoh kafir zaman dahulu dan sekarang. Lihatlah Fir’aun, Hâmân, Qorun, dan lainnya. Janganlah kita tidak silau dengan kebahagiaan mereka yang bersifat sementara, tidak terperangah dengan limpahan harta yang mereka miliki, karena tempat kembali orang-orang kafir adalah neraka.
Oleh karena itu, jangan sampai seseorang bercita-cita meraih kebahagiaan di dunia saja. Karena dunia itu bersifat sementara, akan hancur dan sangat hina di sisi Allâh Azza wa Jalla. Sesungguhnya Allâh Azza wa Jallamencela orang-orang yang berdo’a dan memohon kepada-Nya hanya untuk mendapatkan kebaikan dunia. Allâh Azza wa Jallaberfirman:
فَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا وَمَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ خَلَاقٍ
Maka di antara manusia ada orang yang berdo’a, “Ya Rabb kami, berilah kami (kebaikan) di dunia”, dan tiadalah baginya bagian (yang menyenangkan) di akherat [al-Baqarah/2:200]
4. CELAKA DI DUNIA, CELAKA DI AKHIRAT
Jenis manusia terakhir, adalah orang yang celaka di dunia dan akherat. Nas`alullâh as-salâmah wal ‘âfiyah. Orang yang tidak memahami dan jauh dari ajaran Islam yang benar dan jauh dari kemudahan rezeki di dunia, hidup sengsara, namun anehnya ia memiliki cita-cita dan keinginan yang sangat buruk (seperti berbuat maksiat atau merusak bila memiliki kekayaan).
Sesungguhnya keempat jenis manusia ini dijelaskan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam sabda beliau sebagai berikut:
وَأُحَدِّثُكُمْ حَدِيثًا فَاحْفَظُوهُ: قَالَ إِنَّمَا الدُّنْيَا لِأَرْبَعَةِ نَفَرٍ:عَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ مَالًا وَعِلْمًا فَهُوَ يَتَّقِي فِيهِ رَبَّهُ وَيَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ وَيَعْلَمُ لِلَّهِ فِيهِ حَقًّا فَهَذَا بِأَفْضَلِ الْمَنَازِلِ وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ عِلْمًا وَلَمْ يَرْزُقْهُ مَالًا فَهُوَ صَادِقُ النِّيَّةِ يَقُولُ لَوْ أَنَّ لِي مَالًا لَعَمِلْتُ بِعَمَلِ فُلَانٍ فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَأَجْرُهُمَا سَوَاءٌ وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ مَالًا وَلَمْ يَرْزُقْهُ عِلْمًا فَهُوَ يَخْبِطُ فِي مَالِهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ لَا يَتَّقِي فِيهِ رَبَّهُ وَلَا يَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ وَلَا يَعْلَمُ لِلَّهِ فِيهِ حَقًّا فَهَذَا بِأَخْبَثِ الْمَنَازِلِ وَعَبْدٍ لَمْ يَرْزُقْهُ اللَّهُ مَالًا وَلَا عِلْمًا فَهُوَ يَقُولُ لَوْ أَنَّ لِي مَالًا لَعَمِلْتُ فِيهِ بِعَمَلِ فُلَانٍ فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَوِزْرُهُمَا سَوَاءٌ
Dan aku akan menyampaikan satu perkataan kepada kamu, maka hafalkanlah! Beliau bersabda: Sesungguhnya dunia itu untuk 4 orang:
• Hamba yang Allâh berikan rezeki kepadanya berupa harta (dari jalan yang halal) dan ilmu (agama Islam), kemudian dia bertakwa kepada Rabbnya pada rezeki itu (harta dan ilmu), dia berbuat baik kepada kerabatnya dengan rezekinya, dan dia mengetahui hak bagi Allâh padanya. Hamba ini berada pada kedudukan yang paling utama (di sisi Allâh).
• Hamba yang Allâh berikan rezeki kepadanya berupa ilmu, namun Dia (Allâh) tidak memberikan rezeki berupa harta. Dia memiliki niat yang baik. Dia mengatakan, “Seandainya aku memiliki harta aku akan berbuat (baik) seperti perbuatan si Fulan (orang pertama yang melakukan kebaikan itu)”. Maka dia (dibalas) dengan niatnya (yang baik), pahala keduanya (orang pertama dan kedua) sama.
• Hamba yang Allâh berikan rezeki kepadanya berupa harta, namun Dia (Allâh) tidak memberikan rezeki kepadanya berupa ilmu, kemudian dia berbuat sembarangan dengan hartanya dengan tanpa ilmu. Dia tidak bertakwa kepada Rabbnya padanya, dia tidak berbuat baik kepada kerabatnya dengan hartanya, dan dia tidak mengetahui hak bagi Allâh padanya. Jadilah hamba ini berada pada kedudukan yang paling buruk (di sisi Allâh).
• Hamba yang Allâh tidak memberikan rezeki kepadanya berupa harta dan ilmu, kemudian dia mengatakan: “Seandainya memiliki harta, aku akan berbuat seperti perbuatan si Fulan (dengan orang ketiga yang melakukan keburukan itu)”. Maka dia (dibalas) dengan niatnya, dosa keduanya sama.[HR. At-Tirmidzi, no. 2325, Ahmad 4/230-231, no. 17570; Ibnu Mâjah no. 4228, dan lainnya, dari Dahabat Abu Kabsyah al-Anmari Radhiyallahu anhu. Di shahîhkan Syaikh al-Albâni rahimahullah dalam Shahîh Sunan Ibni Mâjah no. 3406]
Inilah berbagai jenis kebahagiaan yang ada, jangan sampai kita salah langkah dalam memilih dan menggapai hakekat kebahagiaan. Karena sesungguhnya orang yang berakal akan lebih mengutamakan akherat yang kekal abadi ketimbang kenikmatan duniawi yang fana. Hanya Allâh yang memberikan taufik. Wallâhu a’lam.
Penulis: Ustadz Abu Isma’il Muslim al-Atsari

Agama Islam Tegak Dengan Wahyu

Abu Fathan | 19:24 | 0 comments
Syaikh Hamd bin Ibrahim al-‘Utsman[1]

Musuh-musuh Islam selalu berusaha mengaitkan tersebarnya Islam dengan pedang. Syubhat (kerancuan) ini diwariskan oleh orang-orang Nashara sampai zaman ini. Hal ini tidak aneh bagi mereka, bahkan mereka telah mewariskan perkara-perkara yang lebih besar (kedustaannya) dari pada hal ini. Mereka mewariskan perkara-perkara yang bertentangan dengan fitrah, akal, dan kesepakatan seluruh syari’at/agama, seperti anggapan mereka bahwa Allah Azza wa Jalla adalah satu dari trinitas, bahwa al-Masih ‘Îsâ Alaihissalam disalib, dan bahwa beliau adalah anak Allah Azza wa Jalla. Maha Suci dan Maha Agung Allah Azza wa Jalla dari apa yang mereka ucapkan.

Agama Islam adalah syari’at Allah Azza wa Jalla yang Dia telah turunkan dengan ilmu-Nya, sebagaimana firman-Nya:

وَلَقَدْ جِئْنَاهُمْ بِكِتَابٍ فَصَّلْنَاهُ عَلَىٰ عِلْمٍ هُدًى وَرَحْمَةً لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ

“Sesungguhnya Kami telah mendatangkan sebuah kitab (Alqurân) kepada mereka yang Kami telah menjelaskannya atas dasar pengetahuan Kami; menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman”. [al-A’râf/ 7: 52]

Jika agama Allah Azza wa Jalla ini telah dijelaskan atas dasar pengetahuan-Nya, maka hal itu pasti diterima oleh fithrah yang lurus. Adapun pedang, kita hanya mempergunakannya jika ada orang yang menghalangi kita dari menyampaikan agama Islam. Oleh karena itu, orang kafir kita perangi hanyalah karena penentangannya, bukan karena kekafirannya. kita tidak (boleh) pula membunuh para wanita, anak-anak, dan orang tua-orang tua (walaupun mereka kafir-red).

Mengenai lafadz hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang bertekan (pada tongkat atau busur) saat khutbah Jum’ah, Imam Ibnul Qayyim rahimahullah (wafat tahun 751 H) berkata: “Tidak benar bahwa beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bertekan dengan pedang. Banyak orang-orang bodoh menyangka bahwa beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bertekan dengan pedang di atas mimbar sebagai isyarat bahwa Agama Islam hanya tegak dengan pedang. Ini merupakan kebodohan apabila ditinjau dari dua sisi: Pertama: yang benar, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bertekan pada tongkat atau busur. Kedua: agama ini hanya tegak dengan wahyu, adapun dengan pedang, maka hanya untuk menghancurkan orang-orang sesat dan orang-orang musyrik. Dan kota Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, tempat beliau berkhutbah di kota itu, sesunguhnya ditaklukkan dengan Alqur’ân, tidak ditaklukkan dengan pedang”. [Kitab Zâdul Ma’âd 1:190]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah (wafat tahun 728 H) menjelaskan bahwa anggapan agama Islam adalah agama yang tegak dengan pedang, bukan dengan ilmu, adalah anggapan orang-orang Nashara. Beliau rahimahullah berkata: “Sesungguhnya banyak orang dari Ahli Kitab menyangka bahwa (Nabi) Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dan umatnya hanya menegakkan agama Islam dengan pedang, bukan dengan petunjuk, ilmu, dan ayat-ayat (mu’jizat-mu’jizat/ ayat-ayat al-Qur’ân)”. Sehingga tiap kali umat Islam menantang hujjah dengan ilmu dan perdebatan, tidak ada jawaban bagi umat islam kecuali pedang". Inilah anggapan mereka yang dusta dan anggapan ini pula yang menjadi keyakinan mereka tentang rusaknya agama Islam ini, bahwa Islam bukan agama seorang Rasul dari sisi Allah Azza wa Jalla, tetapi agama seorang raja yang ditegakkan dengan pedang ”.[2]

Kemudian beliau rahimahullah membantah mereka: “Sesungguhnya termasuk perkara yang telah diketahui, bahwa pedang itu –apalagi pedang kaum muslimin dan ahli kitab- mengikuti ilmu dan hujjah (argumen). Sedangkan pedang orang-orang musyrik mengikuti pemikiran-pemikiran dan keyakinan mereka. (Menggunakan) pedang adalah termasuk jenis amalan, sedangkan amalan itu selamanya mengikuti ilmu dan pemikiran. Maka ketika itu, menjelaskan agama Islam dengan ilmu dan hujjah bahwa semua yang menyelisihi agama Islam merupakan kesesatan dan kebodohan, adalah untuk mengokohkan fondasi agama Islam, dan menjauhi fondasi agama-agama lainnya, di mana para pemeluk agama-agama selain Islam diperangi karena agama mereka tersebut [3]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah juga mengatakan: “Telah diketahui bahwa Allah Azza wa Jalla telah menjanjikan kemenangan agama Islam di atas seluruh agama lainnya, dengan kemenangan ilmu dan hujjah, serta kemenangan pedang dan tombak. Allah Azza wa Jalla berfirman:

هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَىٰ وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ

” Dia-lah Azza wa Jalla yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas segala agama-agama meskipun orang musyrik membenci”. [ash-Shaff/ 61:9]

Para ulama’ telah menjelaskan bahwa kemenangan agama Islam adalah dengan ilmu dan hujjah serta dengan pedang dan tombak, dan lafazh zhuhur (kemenangan) mencakup keduanya. Karena kemenangan al-Huda (petunjuk) adalah dengan ilmu dan keterangan, sedangkan kemenangan dien (agama) adalah dengan tangan dan amalan. Allah Azza wa Jalla mengutus Rasul-Nya (Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam) dengan petunjuk dan agama yang haq, agar Dia memenangkannya di atas segala agama. Telah dimaklumi bahwa kemenangan Islam adalah dengan ilmu dan penjelasan; sebelum kemenangannya dengan tangan dan peperangan. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tinggal di kota Makkah selama 13 tahun menampakkan (memenangkan) Islam dengan dengan ilmu, penjelasan, ayat-ayat, dan bukti-bukti nyata, tanpa pedang, sehingga Muhajirin dan Anshar beriman kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan sukarela dan keikhlasan. Ketika telah jelas bagi mereka ayat-ayat yang nyata, penjelasan-penjelasan, dan mu’jizat-mu’jizat Allah Azza wa Jalla, beliau pun menampakkan (memenangkan) agama ini dengan pedang. Sehingga, berjihad melawan orang-orang kafir dengan pedang, baik dengan memulai (ofensif) atau membela diri (defensif), hukumnya wajib atas kita. Menjelaskan Islam dan mendakwahkannya, baik dengan memulai atau membela diri dari orang-orang yang mencelanya, hukumnya juga wajib, bahkan (kewajibannya) lebih utama dan lebih baik”.[4]

SYARI’ATKAN JIHÂD DAN KEDUDUKANNYA[5]
Kewajiban jihâd dalam syari’at terdahulu berbeda dengan kewajiban jihâd dalam syari’at (Islam). Kita mendapati bahwa jihâd tidak disyari’atkan kepada sebagian Rasul; dan diwajibkan kepada sebagian yang lainnya untuk membela diri, kemudian kepada sebagian mereka diwajibkan jihad ibtidâ’ (offensif).

Dalam syari’at Islam, semua jenis jihad itu dikumpulkan. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya pernah diperintahkan menahan diri dari berperang, kemudian diperintahkan peperangan daf’ (membela diri), kemudian ketika kekuatan Islam sudah mapan, mereka diperintahkan perang ibtida’ (ofensif; menyerang orang-orang yang menghalangi syiar Islam). Perlu diketahui , bahwa jihad bukan merupakan rukun Islam dan jihad itu diperintahkan dengan syarat-syarat tertentu. Jihad merupakan puncak ketinggian ajaran Islam.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan: “Sesungguhnya kaum muslimin dahulu, sebelum hijrah dan di awal-awal hijrah, dilarang memulai peperangan. Pada waktu itu membunuh orang kafir diharamkan dan hal itu termasuk membunuh jiwa tanpa haq. Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla :

مْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ قِيلَ لَهُمْ كُفُّوا أَيْدِيَكُمْ وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ فَلَمَّا كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقِتَالُ إِذَا فَرِيقٌ مِنْهُمْ يَخْشَوْنَ النَّاسَ كَخَشْيَةِ اللَّهِ أَوْ أَشَدَّ خَشْيَةً

” Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka : "Tahanlah tanganmu (dari berperang), dirikanlah sembahyang dan tunaikanlah zakat!" setelah diwajibkan kepada mereka berperang, tiba-tiba sebahagian dari mereka (golongan munafik) takut kepada manusia (musuh), seperti takutnya kepada Allah, bahkan lebih sangat dari itu takutnya”.[an-Nisâ’/ 4:77]

Oleh karena itulah, ayat al-Qur’ân yang pertama kali diturunkan tentang dibolehkannya berperang adalah firman Allah Azza wa Jalla :

أُذِنَ لِلَّذِينَ يُقَاتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا ۚ وَإِنَّ اللَّهَ عَلَىٰ نَصْرِهِمْ لَقَدِيرٌ

“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena Sesungguhnya mereka telah dianiaya. dan Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu. [al-Hajj/ 22:39]

Ini termasuk pengetahuan umum yang dimiliki oleh orang-orang yang mengetahui sîrah (riwayat) Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tidak tersembunyi bagi seorangpun dari mereka, bahwa beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dahulu sebelum hijrah dan sebentar setelah hijrah, dilarang untuk memulai membunuh dan memerangi (orang kafir). Oleh karena itu ketika orang-orang Anshar yang telah membai’at beliau pada malam al-‘Aqabah, meminta izin untuk menyerang orang-orang yang berada di Mina, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada mereka: “Sesungguhnya aku belum diidzinkan berperang”. Karena pada waktu itu beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berada pada kedudukan Nabi-Nabi yang tidak diperintahkan perang, seperti Nûh, Hûd, Shâlih, Ibrâhîm, dan ‘Isa, bahkan seperti mayoritas Nabi-Nabi selain Nabi-Nabi Bani Israil”.[6]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah juga mengatakan: “Allah k telah mengutus seorang Nabi pada semua kaum, sebagaimana firman-Nya:

إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ بِالْحَقِّ بَشِيرًا وَنَذِيرًا ۚ وَإِنْ مِنْ أُمَّةٍ إِلَّا خَلَا فِيهَا نَذِيرٌ

“Sesungguhnya Kami mengutus kamu dengan membawa kebenaran sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan. dan tidak ada suatu umatpun melainkan telah ada padanya seorang pemberi peringatan”.[Fâthir/ 35:24]

Juga firman-Nya:

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ

“Dan sungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah Azza wa Jalla (saja), dan jauhilah Thaghut itu”. [an-Nahl/ 16:36]

Juga firman-Nya:

لَتُؤْمِنُنَّ بِهِ وَلَتَنْصُرُنَّهُ

“ …. Niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya…..". [ali-‘Imrân/ 3:81]

Pertolongan disertai keimanan kepada-Nya, itulah jihâd. Sedangkan Nûh, Hûd, dan para Rasul lainnya seperti mereka tidak diperintahkan ber- jihâd. Tetapi Mûsa dan Bani Isrâil diperintahkan jihâd”.[7]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan: “Seluruh umat, tidak setiap orang dari mereka diperintahkan melakukan semua perkara ma’rûf, dan tidak pula dilarang dari semua perkara mungkar, dan mereka tidak ber-jihâd atas hal ini. Adapun orang-orang yang ber-jihâd, seperti Bani Israil, maka kebanyakan jihad mereka adalah mengusir musuh dari bumi mereka, sebagaimana orang yang menyerang dan berbuat dzalim itu diperangi. Bukan untuk mendakwahi orang-orang yang diperangi, bukan pula untuk memerintahkan mereka perkara yang ma’rûf dan melarang mereka dari perkara yang mungkar. Sebagaimana Nabi Musa Alaihissalam berkata kepada kaumnya:

يَا قَوْمِ ادْخُلُوا الْأَرْضَ الْمُقَدَّسَةَ الَّتِي كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَلَا تَرْتَدُّوا عَلَىٰ أَدْبَارِكُمْ فَتَنْقَلِبُوا خَاسِرِينَ﴿٢١﴾قَالُوا يَا مُوسَىٰ إِنَّ فِيهَا قَوْمًا جَبَّارِينَ وَإِنَّا لَنْ نَدْخُلَهَا حَتَّىٰ يَخْرُجُوا مِنْهَا فَإِنْ يَخْرُجُوا مِنْهَا فَإِنَّا دَاخِلُونَ

“ Hai kaumku, masuklah ke tanah suci (Palestina) yang telah ditentukan Allah bagimu[409], dan janganlah kamu lari kebelakang (karena takut kepada musuh), Maka kamu menjadi orang-orang yang merugi. Mereka berkata: "Hai Musa, Sesungguhnya dalam negeri itu ada orang-orang yang gagah perkasa, Sesungguhnya Kami sekali-kali tidak akan memasukinya sebelum mereka ke luar daripadanya. jika mereka ke luar daripadanya, pasti Kami akan memasukinya".[al-Mâidah/ 5: 21-22]

Sampai firman Allah Azza wa Jalla :

قَالُوا يَا مُوسَىٰ إِنَّا لَنْ نَدْخُلَهَا أَبَدًا مَا دَامُوا فِيهَا ۖ فَاذْهَبْ أَنْتَ وَرَبُّكَ فَقَاتِلَا إِنَّا هَاهُنَا قَاعِدُونَ

“Mereka berkata: "Hai Musa Alaihissalam, Kami sekali sekali tidak akan memasuki nya selama-lamanya, selagi mereka ada didalamnya, karena itu Pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua, Sesungguhnya Kami hanya duduk menanti disini saja" [al-Mâidah/ 5:24]

Allah Azza wa Jalla juga berfirman:

أَلَمْ تَرَ إِلَى الْمَلَإِ مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ بَعْدِ مُوسَىٰ إِذْ قَالُوا لِنَبِيٍّ لَهُمُ ابْعَثْ لَنَا مَلِكًا نُقَاتِلْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ۖ قَالَ هَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ أَلَّا تُقَاتِلُوا ۖ قَالُوا وَمَا لَنَا أَلَّا نُقَاتِلَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَقَدْ أُخْرِجْنَا مِنْ دِيَارِنَا وَأَبْنَائِنَا

“Apakah kamu tidak memperhatikan pemuka-pemuka Bani Israil sesudah Nabi Musa Alaihissalam, Yaitu ketika mereka berkata kepada seorang Nabi mereka: "Angkatlah untuk Kami seorang raja supaya Kami berperang (di bawah pimpinannya) di jalan Allah Azza wa Jalla". Nabi mereka menjawab: "Mungkin sekali jika kamu nanti diwajibkan berperang, kamu tidak akan berperang". mereka menjawab: "Mengapa Kami tidak mau berperang di jalan Allah, Padahal Sesungguhnya Kami telah diusir dari kampung dan anak-anak kami”. [al-Baqarah/ 2:246]

Maka mereka menyebutkan sebab perang, bahwa mereka telah diusir dari kampung-kampung dan anak-anak mereka. Walaupun demikian, mereka berpaling dari kewajiban yang telah diperintahkan kepada mereka. Oleh karena itu, ghanîmah tidak halal bagi mereka dan mereka tidak boleh menggauli budak-budak (wanita)”.[8]

Oleh karena itu Allah Azza wa Jalla menghukum orang-orang Yahudi yang berpaling dari memerangi orang-orang yang zhalim dengan kebingungan selama 40 tahun. Dan hikmah hal itu agar mereka itu mati, lalu mereka diganti oleh generasi lain yang akan melaksanakan ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla dan berjihad di jalan Allah Azza wa Jalla, tidak dikuasai oleh sifat pengecut, takut dan berkeluh-kesah.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Tidak ada nabi yang menyandang pedang setelah Nabi Dâwud Alaihissalam kemudian umat menjadi tunduk kepadanya. serta tidak ada syari’at yang diiringi dengan kemuliaan, melainkan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagaimana sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam :

نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ مَسِيرَةَ شَهْرٍ

"Aku ditolong dengan kegentaran musuh sejauh perjalanan satu bulan”. [HR.Bukhâri 335; dan Muslim 521]

Dalam menjelaskan hikmah Allah Azza wa Jalla yang mengharamkan masuknya Bani Israil yang berpaling (dari perintah jihâd) dari kota ‘Amaliqah selama 40 tahun dan menimpakan kebingungan kepada mereka, Al-‘Allâmah Abdurrahmân as-Sa’di rahimahullah berkata: “Kemungkinan hikmah di dalam masa ini, adalah agar mayoritas orang-orang yang mengucapkan kalimat tersebut mati, karena kalimat itu muncul dari hati yang tidak memiliki kesabaran dan keteguhan. Bahkan hati mereka telah terbiasa dengan perbudakan kepada musuh mereka, sehingga tidak memiliki semangat untuk menaikkan derajat menuju keketinggian. Dan agar supaya lahir generasi baru yang terbina akal mereka untuk melawan kekuasaan musuh dan tidak diperbudak, serta tidak memiliki kehinaan yang menghalangi dari kebahagiaan”.[9]

Perlu dicatat bahwa jihâd tidak disebutkan di dalam hadits-hadits tentang rukun Islam, rukun iman, dan fondasi-fondasinya.

Al-Hâfizh Ibnu Rajab rahimahullah berkata: Jihad tidak disebutkan di dalam hadits Ibnu Umar ini [10], padahal jihad merupakan amal yang paling utama. Dalam satu riwayat disebutkan, bahwa dikatakan kepada Ibnu Umar: “Bagaimana jihad itu ?” Beliau menjawab: “Jihad itu baik, dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberitakannya kepada kami”. (HR.Ahmad). Dalam hadits Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu 'anhu (Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda): “Pokok agama ini adalah Islam (syahâdatain-pent), tiangnya adalah shalat, dan puncak ketinggiannya adalah jihâd”. Puncak ketinggiannya adalah sesuatu yang paling tinggi, tetapi tidak termasuk tiang-tiangnya dimana agama dibangun di atasnya. Hal ini karena dua sisi:

Pertama: Bahwa jihad menurut mayoritas ulama’ jihad hukumnya fardhu kifayah, bukan fardhu ‘ain, berbeda dengan rukun-rukun Islam ini.

Kedua : Bahwa jihad tidak terus menerus dilakukan sampai akhir masa, bahkan jika Nabi ‘Îsa Alaihissalam telah turun, dan waktu itu agama tidak tersisa kecuali agama Islam, maka pada waktu itu peperangan berakhir dan jihad tidak dibutuhkan. Berbeda dengan rukun-rukun Islam ini, semuanya wajib bagi kaum mukminin sampai datang perintah Allah k sedangkan mereka (kelompok yang ditolong oleh Allah Azza wa Jalla ) tetap berada di atasnya [11].

Wallâhu a’lam”.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XII/1430H/2009M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Diterjemahkan oleh Abû Ismâ’îl Muslim al-Atsari dari kitab al-Jihâd Anwâ’uhu wa Ahkâmuhu ( hlm 25-27), taqdîm syaikh Shâlih bin Sa’d as-Suhaimi, penerbit. ad-Dârul Atsariyyah, cet. 1, th. 1428 H / 2007 M
[2]. Al-Jawâbus Shahih liman Baddala Dinal Masîh (1/77)
[3]. Al-Jawâbus Shahih liman Baddala Dinal Masîh (1/77)
[4]. Al-Jawâbus Shahîh liman Baddala Dînal Masîh (1/75)
[5]. Kitab al-Jihâd Anwâ’uhu wa Ahkâmuhu (21-24)
[6]. Ash-Shârimul Maslûl (103)
[7]. Ar-Radd ‘alal Manthiqiyyiin (453)
[8]. Majmû’ Fatâwâ (28/123)
[9]. Taisîr al-Karîmir Rahmân (207)
[10]. Yang beliau maksudkan adalah hadîts Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhuma yang berkata: “Aku mendengar rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Islam dibangun di atas lima tiang: syahâdat lâ ilâha illa Allâh wa anna Muhammad Rasûlullâh, menegakkan shalat, membayar zakat, haji ke baitullah, dan puasa Ramadhan”. (HR.Bukhâri dan Muslim)
[11]. Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (1/152)

Perbuatan Dalam Waktu Singkat Namun Berdampak Besar

Abu Fathan | 10:19 | 0 comments
Allâh Azza wa Jalla telah menganugerahkan kepada para hamba-Nya agama yang sempurna. Barangsiapa berpegang teguh dengan agama ini, Allâh Azza wa Jalla terangi hatinya dan didekatkan kepada-Nya. Sebaliknya, barangsiapa menelantarkannya, maka Allâh Azza wa Jalla akan memberikan balasan setimpal. Allâh mencintai dan memerintahkan ketaatan serta membenci dan melarang kemaksiatan.

Kemaksiatan jiwa seperti bahaya racun bagi raga, diantaranya ada yang menyebabkan pelakunya keluar dari martabat iman ke martabat islam; Ada juga yang menyebabkan keluar dari islam.

Sebagaimana Allâh juga memuliakan para hamba-Nya dengan menganugrahkan pahala yang besar sebagai balasan dari perbuatan yang kecil maupun ringan, Allâh Azza wa Jalla juga memberikan ancaman dosa yang besar akibat perbuatan yang dilakukan dalam waktu singkat.

Lisan diantara anggota tubuh yang mudah digerakkan dan bisa menghasilkan pahala ataupun dosa. Perbuatan paling buruk yang dilakukan manusia dengan lisannya adalah berdo’a kepada selain Allâh, dan meminta hajat kepada orang-orang yang sudah mati dan patung-patung. Karena berdo’a kepada selain Allâh Azza wa Jalla tergolong perbuatan syirik yang bisa menghapuskan pahala semua amal kebaikan dan menyebabkan kekal dalam neraka, sementara yang diminta juga tak kunjung diraih. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنْ يَدْعُو مِنْ دُونِ اللَّهِ مَنْ لَا يَسْتَجِيبُ لَهُ إِلَىٰ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَهُمْ عَنْ دُعَائِهِمْ غَافِلُونَ

Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang berdo'a kepada selain Allâh yang tiada dapat memperkenankan (doa)nya sampai hari kiamat dan mereka lalai dari (memperhatikan) doa mereka. [al-Ahqâf/46:5]

Diantara dosa besar yang dilakukan dengan lisan adalah mencela Allâh, agama-Nya, dan rasul-Nya. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ﴿٦٥﴾لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ

Katakanlah, "Apakah dengan Allâh, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok ? Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu telah kafir sesudah beriman. [at-Taubah/9:65-66]

Barangsiapa yang bergegas melakukan kesyirikan meskipun kecil, seperti thawaf disekitar kuburuan, menyembelih untuknya, atau bernadzar untuknya, maka dia tidak akan pernah mencium bau surga. Karena pengaruh dosa ini sangat buruk pada aqidah seseorang , maka mengancam dengan tidak memberikan ampunan terhadap pelakunya. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ

Sesungguhnya Allâh tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. [an-Nisâ’/4:48]

Diantara perbuatan dosa besar lainnya adalah sihir. Penyihir itu merusak agama dan dunia. Sadar atau tidak, dia menyaingi Allâh Azza wa Jalla dalam rububiyah-Nya; karena penyihir mengaku bisa memberikan manfaat atau menolak bahaya. Hukumannya adalah dibunuh dengan pedang, sementara orang yang datang kepadanya dan memintannya untuk menyihir, maka dia telah kafir.

Ilmu ghaib disembunyikan oleh Allâh Azza wa Jalla meskipun dari para malaikat. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

قُلْ لَا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ ۚ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ

Katakanlah, "Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allâh", dan mereka tidak mengetahui kapankah mereka akan dibangkitkan. [an-Naml/27:65]

Oleh karena itu, barangsiapa percaya kepada orang yang mengaku tahu hal yang ghaib seperti para dukun atau orang pintar dengan melihat bintang dilangit atau membaca garis telapak tangan, atau lain sebagainya, maka dia telah kafir. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ أَتَى كَاهِنًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Barangsiapa mendatangi dukun, lalu mempercayai apa yang dikatakannya maka dia telah kafir terhadap apa yang diturunkan kepada Muhamad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” [HR. Abu Dawud dan Ahmad].

Itulah diantara kekukuran yang banyak dilakukan orang dalam waktu singkat tapi dampak negatifnya begitu besar dan berbahaya serta akan terasa dalam waktu yang tidak singkat.

Jika seseorang selamat dari kekukuran, maka hendaklah dia bersyukur kepada Allâh Azza wa Jalla karena semua itu merupakan karunia dari Allâh Azza wa Jalla . namun juga dia harus tetap waspada, karena setan akan terus membujuk dan menjebaknya agar melakukan dosa besar. Setan akan membujuknya agar membebaskan lisannya mengucapkan kata-kata yang diharamkan Allâh Azza wa Jalla . Perkataan yang paling keji adalah perkataan yang menodai kehormatan Muslim. Oleh karena itu, Allâh Azza wa Jalla melarang ghibah (menggunjing) dan menyamakannya dengan memakan bangkai saudara yang digunjingnya. Dan pada hari kiamat orang yang menghibahi memiliki kuku panjang terbuat dari tembaga dan dia akan mencakar-cakar wajah dan dadanya sendiri sebagai balasan atas perbuatan buruknya.

Seandainaya perkataan orang yang menghibahi dicampur dengan air lautan, pasti dia dapat mencemarinya. 'Aisyah Radhiyallahu anhuma berkata kepada Nabi, “Cukuplah dirimu memuji-muji Shafiyah, sesungguhnya dia itu begini dan begitu” yaitu tubuhnya kecil; Lalu Nabi bersabda, “Sungguh kamu telah mengatakan suatu perkataan, jika dicampur dengan air laut pasti dapat mengeruhkannya.” [HR. Abu Dawud]

Para Ulama salaf sangat ketat dalam menjaga lisan dari maksiat ini. Imam Bukhari t berkata, “Saya berharap menjumpai Allâh dan Dia tidak menghisabku karena aku menghibahi orang lain.”

Orang yang suka memfitnah orang lain merupakan saudara dekat pelaku ghibah. Hukuman dan adzabnya akan dirasakan sejak ada dalam kubur, sementara untuk di akhirat, Allâh Azza wa Jalla telah mengancamnya dengan tidak akan memasukkannya ke dalam surga. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَتَّاتٌ

Tidak masuk surga orang yang suka mengadu domba. [Muttafaq 'alaih]

Sebagaimana Islam melarang mengghibahi orang Muslim yaitu mencelanya saat dia tidak ada, Islam juga melarang mencelanya dihadapannya. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوْقٌ

Mencela Muslim adalah kefasikan [Mutafaq Alaih]

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :

مَنْ قَالَ لِأَخِيهِ يَا كَافِرُ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ وَإِلَّا رَجَعَتْ عَلَيْهِ

Barangsiapa berkata kepada saudaranya, 'Wahai kafir' Maka kekafiran itu bisa kembali kepada salah seorang diantara keduanya, jika perkataannya benar, maka diterima, namun jika salah maka dialah yang kafir.” [HR. Bukhari dan Muslim]

Dan masih banyak lagi dosa yang dilakukan oleh manusia dengan lisannya, misalnya qadzaf (menuduhkan perbuatan zina kepada orang yang menjaga kehormatan), suka melaknat kaum Muslimin, suka melakukan kebohongan, meminta-meminta padahal dia sudah berkecukupan dan lain sebagainya.

Dosa tidak hanya dilakukan dengan lisan, tapi juga anggota tubuh lainnya. Oleh karena itu, jika seorang Muslim menjaga lisannya, maka dia juga harus menjaga anggota badannya. Karena ada beberapa perbuatan yang bisa dilaksanakan dalam waktu singkat tapi dosanya besar. Diantara yang paling besar adalah membunuh seorang Muslim. Allâh Azza wa Jalla berfirman,

وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا

"Dan barangsiapa membunuh seorang Mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam, ia kekal di dalamnya dan Allâh murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan adzab yang besar baginya." [an-Nisâ/4:93]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لَوْ أَنَّ أَهْلَ السَّمَاءِ وَأَهْلَ الأَرْضِ اشْتَرَكُوْا فِي دَمِّ مُؤْمِنٍ لأَكَبَّهُمُ اللهُ فِي النَّارِ

Seandainya penduduk langit dan bumi berserikat untuk menghabisi nyawa seorang Mukmin, pastilah Allâh akan menyeret mereka semua ke dalam neraka. [HR. Tirmidzi]

Dalam hadits lain, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menandaskan bahwa nyawa seorang Muslim lebih berharga daripada dunia.

Karena nyawanya begitu berharga, maka semua celah yang berpotensi dan bisa mengantarkan ke pembunuhan telah ditutup oleh Islam.

Dosa besar lainnya adalah zina. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا

Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk. [al-Isrâ’/17:32]

Imam Ahmad rahimahullah mengatakan, “Dosa yang paling besar disisi Allâh adalah syirik, kemudian membunuh, kemudian berzina.”. Karena buruknya dosa zina, maka hukuman bagi pelaku zina yang sudah pernah menikah adalah dirajam yaitu ditanam separuh badannya lalu dilempari oleh siapa saja yang melewatinya sampai mati. Semoga Allâh Azza wa Jalla melindungi kita dari perbuatan-perbuatan buruk yang bisa mendatangkan dosa-dosa besar ini.

Disamping dosa-dosa yang telah disebutkan pada khutbah pertama, masih ada lagi dosa-dosa yang berkaitan dengan harta, seperti riba. Riba walapun sedikit bisa mencemari harta yang banyak dan melenyapkan keberkahan harta. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ ۗ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ

Allâh memusnahkan riba dan menyuburkan sedeka. Dan Allâh tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa. [al-Baqarah/2:276]

Dampak buruk lain dari riba yaitu Allâh melaknat pemakan riba, dan menyatakan perang terhadapnya. Barangsiapa diperangi oleh Allâh Azza wa Jalla pasti dia akan celaka.

Dosa besar lainya yang berkait dengan harta yaitu mencuri. Perbuatan buruk ini diganjar laknat oleh Allâh Azza wa Jallaarena dia telah mengambil hak orang lain dengan cara yang tidak benar.

Dosa lainnya yaitu memakan harta anak yatim. Keburukan dosa ini tergambar dari penggambaran islam yang menyamakannya dengan orang memakan api neraka.

Diantara dosa lain yang berkait dengan harta yaitu merampas tanah orang lain, meminjam harta dengan niat tidak mengembalikan, melakukan sogok, menghambur-hamburkan harta dan masih banyak lagi yang lainnya.

Itulah diantara dosa-dosa yang sering dilakukan oleh manusia dengan anggota badannya. Untuk melakukannya cukup waktu yang singkat tapi akibat dari perbuatan itu akan dirasakan dalam waktu yang tidak terhitung lamanya. Tidakkah ini membuat hati-hati kita menjadi sadar?

Kewajiban kita adalah menjaga seluruh anggota badan kita agar tidak terjebak dalam perbuatan dosa. Jika misalnya, wal 'iyadzubillah sudah terjebak dalam perbuatan dosa, maka hendaklah segera bertaubat dan jangan putus asa.

Semoga Allâh Azza wa Jalla senantiasa membuka pintu hati kita untuk memahami dosa-dosa itu lalu mendorong organ-organ yang lain untuk menjauhinya.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XVI/1433H/2012M.]
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. BERITA SUNNAH - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger