{قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ ويَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ، وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ}

Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah (sunnah/petunjuk)ku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS Ali ‘Imran:31)

Membaca Al-Qur`an Dengan Khusyu’ Dan Berusaha Memahami Maknanya

Abu Fathan | 09:00 | 0 comments
Al-Qur’an adalah kalamullah yang diucapkan untuk manusia. Dengannya Allâh Azza wa Jalla menyampaikan semua yang ingin disampaikan berupa perintah, larangan, hikmah dan lain sebagainya. Dan ini sebuah penghormatan yang teramat tinggi untuk manusia. Bagaimana tidak? Allâh Azza wa Jalla Yang Maha Agung, Maha Tinggi, Raja di atas segala raja berkenan memberikan kalam-Nya kepada manusia, makhluk lemah, kecil lagi sedikit ini. Sungguh ini merupakan penghormatan luar biasa untuk manusia. Oleh karena itu tidak mengherankan jika kedekatan seseorang dengan al-Qur`an memiliki andil besar dalam mendatangkan cinta Allâh Azza wa Jalla.
Ini sudah disadari oleh para assalafush-shalih, sehingga saat membaca al-Qur`an, mereka seolah-olah seorang perantau kesepian yang membaca sebuah surat dari orang-orang yang mencintainya.
Al-Hasan al-Basri rahimahullah  berkata, “Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian menganggap al-Qur`an adalah surat-surat dari Rabb mereka. Pada malam hari, mereka selalu merenunginya, serta akan berusaha mencarinya pada siang hari.”[1]
Al-Imam Ibnul Jauzi rahimahullah berkata, “Seseorang yang membaca al-Qur`an, hendaknya melihat bagaimana kelemah lembutan Allâh Azza wa Jalla kepada para makhluk-Nya dalam menyampaikan makna kalam-Nya ke pemahaman mereka. Hendakya orang yang membacanya sadar bahwa apa yang ia baca bukan perkataan manusia. Hendaknya ia menyadari keagungan Dzat yang mengucapkannya, dan hendaknya ia merenungi perkataan-Nya.”[2]
Membaca al-Qur’an merupakan penghormatan yang tidak tertandingi kepada orang yang membacanya.
Ibnu Shalah rahimahullah mengatakan, “Membaca al-Qur`an merupakan sebuah kemuliaan yang Allâh Azza wa Jalla berikan kepada hamba-Nya. Disebutkan dalam riwayat, bahwa para Malaikat tidak mendapat kemuliaan ini, dan mereka sangat berantusias untuk mendengarnya dari manusia.”[3]
Kemuliaan ini akan menjadi sempurna apabila ia membacanya dengan ikhlas. Karena keikhlasan -sebagaimana dikatakan Imam Nawawi- merupakan kewajiban pertama bagi para pembaca al-Qur`an. Dan seharusnya ia sadar bahwa ia sedang bermunajat kepada Allâh Azza wa Jalla .[4]
Perhatikanlah, wahai saudaraku!
Allâh Azza wa Jalla telah memberimu kesempatan untuk bermunajat kepada-Nya. Ini berarti Allâh Azza wa Jalla telah memberi rahasia cinta-Nya kepadamu. Karena al-Qur`an berisi petunjuk tentang Allâh Azza wa Jalla dan tentang hal-hal yang dicintai-Nya. Jika cinta kepada Allâh Azza wa Jalla merupakan jalan dan memotivasi hati dan akal untuk mengenal Allâh dan hal-hal yang dicintai-Nya, maka melalui al-Qur`an, nama-nama serta sifat-sifat-Nya bisa diketahui, juga apa yang layak dan yang tidak layak untuk-Nya, termasuk larangan dan perintah-Nya yang bisa menjembatani seseorang menuju cinta dan ridha-Nya.
Oleh karena itu, ada di antara para Sahabat Radhiyallahu anhum yang berusaha meraih cinta Allâh Azza wa Jalla dengan membaca surat al-Ikhlas, merenunginya dan mencintainya. Surat yang memuat sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla . Dia selalu membacanya dalam shalat yang ia lakukan. Ketika ditanya tentang itu, ia menjawab, “Karena ia memuat sifat Allâh, dan saya sangat suka menjadikannya sebagai bacaan”. Mendengar jawaban itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda :
أَخْبِرُوهُ أَنَّ الله يُحِبُّهُ
Beritahukan kepadanya, bahwa Allâh mencintainya.[5]

Orang yang mencintai al-Qur`an, pasti cinta kepada Allâh Azza wa Jalla , karena sifat-sifat Allâh terdapat di dalamnya. Dan pasti juga cinta kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam , karena Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam yang menyampaikan al-Qur`an kepada umatnya. Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata, “Orang yang mencintai al-Qur`an, berarti ia cinta kepada Allâh dan Rasul-Nya.”[6]
Bukti terbesar cinta kepada al-Qur`an adalah berusaha mehamami, merenungi  dan memikirkan makna-maknanya. Sebaliknya, bukti yang menunjukkan bahwa seseorang itu kurang atau bahkan tidak cinta al-Qur`an, yaitu ia tidak tertarik untuk merenungi maknanya. Allâh Azza wa Jalla mencela orang-orang munafik, karena tidak merenungi al-Qur`an. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ ۚ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا
Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur`an? Sekiranya al-Qur`an itu bukan dari sisi Allâh, tentu mereka sudah mendapatkan pertentangan yang banyak di dalamnya. [An-Nisâ`/4:82]
Mentadabburi al-Qur`an dapat mengobati berbagai macam penyakit hati, membersihkannya dari yang membahayakannya, serta dapat memberikan jawaban dan bantahan terhadap syubhat yang ditiupkan syaitan, manusia, dan jin. Berbeda dengan orang munafik, karena enggan merenungi al-Qur`an dan tidak mencari petunjuk darinya, maka hati mereka sakit, penuh penyakit syubhat dan syahwat, sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :
فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَهُمُ اللَّهُ مَرَضًا ۖ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ
Dalam hati mereka ada penyakit, lalu Allâh menambah penyakit itu; dan bagi mereka siksa yang pedih disebabkan mereka berdusta. [al Baqarah/2 : 10].
Tadabbur al-Qur`an, juga merupakan jalan atau cara untuk mengetahui kewajiban-kewajiban agama yang telah dibebankan Allâh kepada para hamba, sementara mengetahui kewajiban-kewajiban itu sama dengan hukum mengamalkannya. Dari bisa disimpulkan bahwa mentadabburi al-Qur’an termasuk salah satu kewajiban agama. Imam al-Qurthubi rahimahullah mengatakan, “Ayat ini[7] dan juga firman-Nya:
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَىٰ قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا
Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur`an ataukah hati mereka terkunci– [Muhammad/47 : 24]
(kedua ayat di atas) menunjukkan wajibnya mentadaburi al-Qur`an supaya dapat mengetahui maknanya.”[8]
Juga, kemuliaan lain yang dimiliki oleh orang yang mentadaburi al-Qur`an yaitu, kebaikan yang dijanjikan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam. Disebutkan dalam hadits shahih yang diriwayatkan dari jalan Sahabat ‘Utsman bin ‘Affan Radhiyallahu anhu, beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda :
خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ
Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari al-Qur`an dan mengajarkanya.[9]
Seseorang yang membaca al-Qur`an, hendaknya berusaha untuk memahami setiap ayat yang ia baca. Karena dengan merenungi dan memahaminya, serta mengulanginya, seseorang akan bisa merasakan nikmatnya al-Qur`an.
Bisyr bin as Sura berkata,”Sesungguhnya ayat al-Qur`an ibarat buah kurma. Setiap kali engkau kunyah, maka engkau akan merasakan manisnya,” kemudian perkataan ini diceritakan kepada Abu Sulaiman, dan dia berkata,”Benar! Tetapi seseorang dari kamu terhalangi mendapatkan manisnya, sebab apabila salah seorang mulai membaca satu ayat, maka ia ingin segera untuk membaca akhirnya” [10]
Al-Qur`an juga akan mengangkat derajat orang yang membacanya di sisi Allâh Azza wa Jalla . Orang yang menjaganya, berarti ia telah membawa panji agama Islam, sebagaimana dikatakan oleh al Fudhail bin Iyad rahimahullah,  “Hamilul Qur`an  adalah pembawa panji Islam. Tidak layak baginya untuk lalai bersama orang yang lalai, lupa bersama orang yang lupa, sebagai wujud mengagungkan Allâh”. [11]
Orang yang menjunjung tinggi al-Qur`an, maka dialah yang berhak mendapatkan kemuliaan membawa panji Islam. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
لَقَدْ أَنْزَلْنَا إِلَيْكُمْ كِتَابًا فِيهِ ذِكْرُكُمْ ۖ أَفَلَا تَعْقِلُونَ
Sesungguhnya telah Kami turunkan kepada kalian sebuah kitab yang di dalamnya terdapat sebab-sebab kemuliaan bagimu. Maka apakah kalian tidak memahaminya [al Anbiyaa`/21 : 10].
Dalam menafsirkan kata   ذِكْرُكُمْ, ‘Abdullah bin ‘Abbas berkata,”Maksudnya, di dalamnya terdapat kemuliaan kalian.”[12]
Rasûlullâh juga memberitahukan tentang ketinggian derajat ahlul Qur`an. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda :
إِنَّ اللهَ يَرْفَعُ بِهَذَا الْكِتَابِ أَقْوَامًا وَيَضَعُ بِهِ آخَرِينَ
Sesungguhnya Allâh akan mengangkat derajat beberapa kaum dengan kitab (al-Qur`an) ini dan  menghinakan yang lain.[13]
Oleh karena itu, merupakan keharusan bagi orang yang membaca al-Qur`an untuk tidak seperti orang kebanyakan. ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata, “Hamilul Qur`an itu mestinya dikenal dengan malamnya saat manusia lain sedang tidur. Dikenal siangnya dengan berpuasa, saat manusia tidak puasa. Dikenal dengan kesedihannya ketika manusia senang, dengan tangisnya ketika manusia tertawa, dengan diamnya ketika manusia berbicara, dan dengan khusyu’nya ketika manusia dalam keadaan sombong.”[14] Demikian ini merupakan sifat mulia yang harus dimiliki oleh hâmilul Qur`an.
Begitu pula orang yang mencintai al-Qur`an, hendaknya tidak membanggakan diri, tidak tertipu dan tidak sombong kepada orang lain dengan kemuliaan yang Allâh limpahkan kepadanya. Allâh berfirman:
قُلْ إِنَّ الْفَضْلَ بِيَدِ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Katakanlah : “Sesungguhnya karunia itu di tangan Allâh, Allâh memberikan karuniaNya kepada siapa yang dikehendakiNya; dan Allâh Maha Luas (karuniaNya) lagi Maha Mengetahui. [Ali Imran/3:73].
Ibnul Qudamah rahimahullah berkata,”Seseorang hendaknya tidak membanggakan kemampuan dan kekuatan dirinya. Hendaknya tidak memandang dirinya dengan perasaan puas dan menganggap dirinya bersih. Orang yang memandang dirinya penuh kekurangan, akan mengantarnya semakin dekat dengan Allâh”[15]
Merasa kurang, bukan berarti kemudian tidak menyadari nikmat Allâh Azza wa Jalla atau tidak boleh menceritakan nikmat itu, karena sebagai wujud rasa syukur.
Hâmilul Qur`an (penghapal) berada dalam kenikmatan yang tiada bandingannya, jika dia mengamalkannya. ‘Umar bin Khaththab z berkata,”Wahai Qurra` (para pembaca al-Qur`an), angkatlah kepala-kepala kalian. Sungguh, jalan telah dijelaskan buat kalian, maka berlomba-lombalah dalam kebaikan, dan janganlah kalian menjadi beban bagi manusia!”[16]
Az-Zarkasyi rahimahullah berkata, “Ketahuilah, seseorang yang Allâh Azza wa Jalla ajari al-Qur`an, baik seluruhnya atau sebagian, hendaknya menyadari kedudukan nikmat ini. Yakni, al-Qur`an merupakan mukjizat terbesar, karena ia senantiasa eksis dengan keberadaan dakwah Islam. Dan juga, karena Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam merupakan penutup para nabi dan rasul. Jadi, hujjah al-Qur`an akan senantiasa ada di setiap zaman dan waktu, karena al-Qur`an merupakan kalamullah dan kitab-Nya yang paling mulia. Maka, orang yang dianugerahi al-Qur`an hendaknya memandang, bahwa Allâh Azza wa Jalla telah memberikan nikmat yang agung kepadanya. Hendaknya dia menyadari dengan perbuatannya, bahwa al-Qur`an akan membelanya, dan bukan justru menuntutnya.[17]
Sebagaimana juga, ia harus memanfaatkan dengan sebaik-baiknya kenikmatan yang telah diberikan Allâh kepadanya, mengumpulkan dalam dirinya yang dapat menyebabkan hati menjadi hidup. Mungkin ada yang bertanya, bagaimanakah cara memaksimalkan dalam mengambil pelajaran dari al-Qur`an?
Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan dalam kitabnya, al Fawâ-id, beliau rahimahullah menyatakan, “Apabila engkau hendak mengambil pelajaran dari al-Qur`an, maka konsentrasikanlah hatimu ketika membaca dan mendengarnya, pasanglah telingamu! Jadikanlah dirimu seperti orang yang diajak bicara langsung oleh Dzat yang mengucapkannya, yaitu Allâh Subhanahu wa Ta’ala, karena al-Qur`an merupakan khitab (pembicaraan) yang ditujukan Allâh kepadamu melalui lisan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam . Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَذِكْرَىٰ لِمَنْ كَانَ لَهُ قَلْبٌ أَوْ أَلْقَى السَّمْعَ وَهُوَ شَهِيدٌ
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya .[Qâf/50:37]
Karena pengaruh al-Qur`an sepenuhnya tergantung dari yang memberi pengaruh, tempat yang bisa menerima pengaruh, terpenuhi syarat-syaratnya, dan tidak ada yang menghalangi. Maka ayat di atas menjelaskan tentang semua itu dengan ungkapan yang ringkas namun jelas, dan mewakili maksudnya.
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
  إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَذِكْرَىٰ
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan
(ini merupakan) isyarat kepada ayat-ayat yang telah lewat dari awal surat sampai ayat ini. Inilah muatstsir (yang memberikan pengaruh).
Dan firman-Nya:
لِمَنْ كَانَ لَهُ قَلْبٌ
bagi orang-orang yang mempunyai hati
adalah, tempat yang bisa menerima pengaruh tersebut. Yaitu hati yang hidup yang mengenal Allâh Subhanahu wa Ta’ala , sebagaiamana Allâh Azza wa Jalla berfirman:
لِيُنْذِرَ مَنْ كَانَ حَيًّا
Supaya dia (Muhammad) memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup (hatinya) [Yasin/36:70]
Sedangkan firman Allâh Azza wa Jalla :
أَوْ أَلْقَى السَّمْعَ
atau yang menggunakan pendengarannya
maknanya, orang yang mengarahkan pendengaran dan memusatkannya kepada ucapan yang diarahkan kepadanya. Ini merupakan syarat bisa terpengaruh dengan ucapan.
Adapun firman-Nya:
وَهُوَ شَهِيدٌ
dan dia menyaksikannya
maksudnya, hatinya hadir, tidak lalai. Ibnu Qutaibah t berkata,”Yakni, dia mendengarkan al-Qur`an dengan penuh perhatian, tidak dengan hati yang lalai lagi lupa. Ini menunjukkan adanya penghalang dari mendapatkan pengaruh, yaitu kelalaian hati tidak merenungi, tidak memikirkan, serta tidak melihat apa yang dikatakan kepadanya.
Apabila ada yang memberikan pengaruh -yaitu al-Qur`an- (maka) ada tempat yang bisa menerima pengaruh –yaitu hati yang hidup- dan syaratnya ada -yaitu mendengarkan- serta tidak ada penghalang -yaitu sibuknya hati dengan yang lainya- maka pengaruh itu, pasti akan timbul. Itulah perwujudan dalam memanfaatkan al-Qur`an dan mengambil pelajaran darinya”.[18]
Setelah itu, hendaknya ia bersiap-siap untuk mengamalkanya. Karena ilmu mengajak pemiliknya agar mengamalkannya. Jika diamalkan, ilmu akan terjaga. Jika tidak, maka ilmu itu akan hilang.
Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Zaadul Ma’ad berkata,”Sebagian salafush shalih mengatakan, sesungguhnya al-Qur`an turun supaya diamalkan. Maka jadikanlah membaca al-Qur`an sebagai wujud pengamalannya. Oleh karena itu, Ahlul Qur`an adalah orang yang memahami al-Qur`an dan mengamalkan yang terkandung di dalamnya, walaupun ia tidak menghafalkannya. Sedangkan orang yang menghafalnya namun tidak memahaminya, serta tidak mengamalkan kandungannya, maka dia bukan ahlul Qur`an, meskipun dia mendudukkan huruf-hurufnya sebagaimana mendudukan busur panahnya (artinya, sangat perhatian terhadap huruf-hurufnya, Red).[19]
Oleh karena itu apabila seseorang ingin mendapatkan kecintaan dari Allâh, maka hendaklah ia memiliki perhatian yang besar kepada al-Qur`an, berusaha membacanya, merenungi dan mengamalkanya.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XXI/1438H/2017M. ]
_______
Footnote
[1] At-Tibyân fi Adabi Hamalatil Qur`an, Imam an Nawawi, hlm. 28.
[2] Mukhtasar Minhajul Qasidin, hlm. 46
[3] Al Itqân fi Ulûmil Qur`an, 1/291, karya Imam as Suyuthi.
[4] At Tibyan fi Adabi Hamalatil Qur`an, Imam an Nawawi, halaman 38
[5] Diriwayatkan Imam al-Bukhâri, no. 7375; Fat-hul Bâri, 13/360, dan Imam Muslim, 1/557 (813)
[6] At Thabrani, no.  8658; al Haitsami berkata,”Para perawinya tsiqah.”
[7] Maksudnya QS. An-Nisâ`/4 ayat ke-82
[8] Tafsir al Qurthubi, 5/290.
[9] Diriwayatkan Imam al-Bukhâri, no. 5027; Fat-hul Bari, 8/692.
[10] Al Burhân fi ‘Ulûmil Qur`an, Imam az Zarkasyi, tahqiq Muhammad Abul Fadl Ibrahim, 1/471.
[11] Mukhtasar Minhâjul Qâsidin, hlm. 45
[12] Tafsir Ibnu Katsir, 5/327.
[13] Imam Muslim, no. 269 (1/559).
[14] Sifatush Shafwah, Imam Ibnul Jauzi, 1/172
[15] Mukhtasar Minhâjul Qâsidin, hlm.  47.
[16] At Tibyân fi Adabi Hamalatil Qur`ân, hlm. 27
[17] Al Burhân fi Ulûmil Qur`an, 1/449
[18] Al-Fawaid Ibnul Qayyim, hlm. 3.
[19] Zâdul Ma’ad, Ibnul Qayyim, 1/338, Cet. Muasasah ar Risalah

Tokoh-Tokoh Pengusung Kesesatan Eksistensi Dan Bahaya Mereka Bagi Umat

Abu Fathan | 23:23 | 0 comments
Di dalam al-Qur’an, Allâh Azza wa Jalla menyatakan keberadaan para tokoh penyeru kesesatan dan para tokoh penyeru kepada petunjuk kebaikan.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَجَعَلْنَاهُمْ أَئِمَّةً يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ ۖ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا يُنْصَرُونَ
Dan Kami jadikan mereka pemimpin-pemimpin yang menyeru (manusia) ke neraka dan pada hari kiamat mereka tidak akan ditolong [Al-Qashash/28:41].
Dalam ayat lain, Allâh Azza wa Jalla juga berfirman:
وَجَعَلْنَاهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا وَأَوْحَيْنَا إِلَيْهِمْ فِعْلَ الْخَيْرَاتِ وَإِقَامَ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءَ الزَّكَاةِ ۖ وَكَانُوا لَنَا عَابِدِينَ
Dan Kami jadikan mereka sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada mereka untuk mengerjakan kebaikan, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan hanya kepada Kamilah mereka selalu menyembah [Al-Anbiyâ’/21:73].
Shahabat yang mulia, ‘Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallahu anhu mengatakan, “Allâh Subhanahu wa Ta’ala menjadikan imam (pemimpin) bagi manusia di dunia ini yang mengajak manusia kepada kesesatan atau petunjuk kebaikan.” Kemudian beliau Radhiyallahu anhu membaca dua ayat tersebut di atas.[1]
Dalam beberapa hadits shahih, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam juga menegaskan keberadaan dan bahaya para tokoh pengusung kesesatan ini.
Dari Tsauban Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:
إِنَّمَا أَخَافُ عَلَى أُمَّتِي الْأَئِمَّةَ الْمُضِلِّيْنَ
Sesungguhnya yang saya khawatirkan (akan merusak) umatku hanyalah para imam (tokoh) yang menyeru kepada kesesatan.[2]
Mereka adalah para tokoh penyeru kepada bid’ah, kefasikan dan keburukan.[3]
Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan Alu asy-Syaikh berkata, “(Mereka) adalah para pemimpin, tokoh agama dan ahli ibadah yang mengarahkan manusia tanpa ilmu (pemahaman agama yang benar), sehingga mereka menyesatkan manusia, sebagaimana dalam firman Allâh Azza wa Jalla :
وَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءَنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلَا
Dan mereka (orang-orang yang sesat) berkata, “Ya Rabb Kami (Allâh Subhanahu wa Ta’ala)! Sesungguhnya kami telah mentaati para pemimpin dan para pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar) [Al-Ahzâb/33:67][4]
Dan Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
Sesungguhnya Allâh Subhanahu wa Ta’ala tidak mencabut ilmu (pemahaman agama yang benar) dengan menghilangkannya dari (dada atau hati) para hamba-Nya, akan tetapi Allâh Subhanahu wa Ta’ala mencabut ilmu dengan mewafatkan para Ulama. Sampai ketika tidak tersisa lagi seorang Ulama’pun, maka manusia akan mengangkat para pemimpin (tokoh panutan) yang jahil (tidak memiliki pemahaman agama yang benar), lalu para pemimpin itu ditanya (tentang masalah agama), maka mereka berfatwa (memberikan jawaban atau arahan) tanpa dasar ilmu, sehingga mereka tersesat dan menyesatkan orang lain.[5]
Dalam hadits ini terdapat peringatan keras agar tidak menjadikan orang yang jahil (tidak memiliki pemahaman agama yang benar) sebagai tokoh panutan, karena dia akan mengarahkan manusia dengan kejahilannya, sehingga dia tersesat atau menyimpang dan menyesatkan manusia.[6]
Dalam hadits shahih lainnya, dari Hudzaifah bin al-Yaman Radhiyallahu anhu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam menyebutkan munculnya fitnah besar di akhir jaman dalam sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam :
نَعَمْ دُعَاةٌ عَلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ مَنْ أَجَابَهُمْ إِلَيْهَا قَذَفُوهُ فِيهَا
 Ya. (Akan muncul) para penyeru di atas pintu-pintu neraka Jahannam. Barangsiapa mengikuti seruan mereka maka dia akan dilemparkan ke dalam neraka Jahannam.[7]
Maksudnya, para penyeru ini akan mengajak manusia untuk melakukan perbuatan yang bisa menjerumuskan mereka ke dalam neraka Jahannam[8]na’ûdzu billâhi min dzâlik.
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Para Ulama menjelaskan bahwa mereka ini adalah para pemimpin yang menyeru kepada bid’ah atau kesesatan lainnya, seperti orang-orang Khawarij (para pemberontak kepada pemerintah Muslim dan mereka mudah mengkafirkan kaum muslimin), al-Qarâ-mithah dan tokoh-tokoh pembawa fitnah (pemikiran sesat).”[9]
KEBURUKAN DAN BAHAYA BESAR YANG DITIMBULKAN OLEH PARA TOKOH PENGUSUNG KESESATAN
Dalam ayat al-Qur’an dan hadits-hadits yang telah kami nukilkan di atas dijelaskan bahwa para tokoh pengusung kesesatan ini akan selalu mengajak manusia kepada pemahaman sesat dan perbuatan-perbuatan menyimpang dari agama Allâh Azza wa Jalla . Dan tentu saja mereka lakukan ini dengan bahasa yang manis dan kata-kata indah yang memperdaya. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الْإِنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَىٰ بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا
Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari kalangan) manusia dan (dari kalangan) jin, yang mereka satu sama lain saling membisikkan perkataan-perkataan yang indah untuk menipu (manusia) [al-An’aam/6:112].
Mereka, satu sama lain saling menghiasi keburukan dan kesesatan yang mereka serukan (kepada manusia), serta memperindah kata-kata yang mereka sampaikan, sehingga menjadikan keburukan itu tampak dalam bentuk yang (terlihat) baik, supaya orang-orang jahil (tidak paham) mudah tertipu dan orang-orang awam terpengaruh untuk mengikutinya… Lalu mereka akan menyangka kebenaran itu adalah kebatilan dan kebatilan itu adalah kebenaran.[10]
Tentu saja, ini akan menimbulkan banyak keburukan dan kerusakan di tengah-tengah masyarakat. Karena di samping pemikiran sesat dan perbuatan buruk tersebut akan mendatangkan berbagai macam bencana disebabkan kemurkaan Allâh Azza wa Jalla , juga keburukan yang ditampilkan dalam bentuk yang terlihat baik di mata manusia mengakibatkan keburukan itu tidak akan diingkari oleh manusia bahkan justru malah dibela dengan sekuat tenaga karena diyakini sebagai kebenaran. Ini akan menyebabkan datangnya musibah di atas musibah.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
Dan musibah apa saja yang menimpa kamu maka itu disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allâh memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu). [Asy-Syûrâ/42:30]
Imam Abul ‘Aliyah ar-Riyâhi[11] rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang bermaksiat kepada Allâh Azza wa Jalla di muka bumi maka (berarti) dia telah berbuat kerusakan padanya, karena perbaikan di muka bumi dan di langit (hanya bisa diwujudkan) dengan ketaatan (kepada Allâh Azza wa Jalla )”.[12]
Adapun tentang keburukan yang tidak diingkari, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:
إِنَّ النَّاسَ إِذَا رَأَوا الْمُنْكَرَ لاَ يُغَيِّرُوْنَهَ أَوْشَكَ أَنْ يَعُمَّهُمُ اللهُ بِعِقَابِهِ
Sesungguhnya manusia jika mereka melihat kemungkaran (keburukan) dan tidak (berusaha) merubahnya (menghilangkannya) maka tidak lama lagi Allâh akan menimpakan adzab-Nya yang merata kepada mereka.[13]
Bahkan ini adalah jenis kerusakan yang dilakukan oleh orang-orang munafik dengan meng-atasnamakan perbaikan di muka bumi. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ﴿١١﴾أَلَا إِنَّهُمْ هُمُ الْمُفْسِدُونَ وَلَٰكِنْ لَا يَشْعُرُونَ
Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi!”, Mereka menjawab, “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.” Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar(QS. Al-Baqarah/2:11-12)
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah berkata, “Jadi, mereka menghimpun (dua keburukan besar) antara perbuatan (maksiat) yang menimbulkan kerusakan di muka bumi dan menampilkan perbuatan buruk tersebut (seolah-olah) bukan keburukan, bahkan (dikesankan sebagai) upaya perbaikan, untuk memutarbalikkan fakta. Mereka mengumpulkan antara perbuatan buruk dan meyakini keburukan itu sebagai kebenaran. Ini lebih besar keburukannya daripada orang yang berbuat maksiat dan dia masih meyakini bahwa apa yang dia lakukan itu buruk, karena orang ini lebih dekat dan lebih bisa diharapkan untuk kembali (bertaubat)” [14].
Sebagai contoh dalam hal ini adalah kelompok khawarij. Mereka adalah kelompok pertama yang menyempal dalam Islam dan diperangi oleh para Sahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam  di bawah pimpinan Sahabat yang mulia, ‘Ali Bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu berdasarkan perintah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam .
Pemikiran sesat kelompok ini banyak melahirkan kerusakan dan keburukan besar di tengah kaum Muslimin, bahkan di tengah umat manusia pada umumnya, dari dulu sampai sekarang. Seperti perbuatan mengkafirkan pemerintah Muslim, memberontak kepada mereka, melakukan teror, pertumpahan darah dan bom bunuh diri, yang semua ini tentu sangat dikutuk dan dicela dalam Islam.
Bersamaan dengan itu, kelompok khawarij ini selalu menampilkan diri sebagai pembela Islam serta penegak amar ma’ruf dan nahi mungkar, untuk menyembunyikan penyimpangan dan kesesatan yang besar dalam batin mereka.
Dalam hadits yang shahih, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam menggambarkan hal tersebut ketika menjelaskan ciri-ciri kelompok ini. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam  bersabda:
يَقُوْلُوْنَ مِنْ خَيْرِ قَوْلِ الْبَرِيَّةِ يَقْرَأُوْنَ الْقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ
Mereka (orang-orang khawarij) selalu mengucapkan (secara lahir) kata-kata yang indah, dan mereka membaca al-Qur’an tapi (bacaan tersebut) tidak melampaui tenggorokan mereka (tidak masuk ke dalam hati mereka)[15]
Dalam riwayat yang lain, Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu mengatakan, “Wahai sekalian manusia! Sesungguhnya aku pernah mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:
يَخْرُجُ قَوْمٌ مِنْ أُمَّتِيْ يَقْرَأُوْنَ الْقُرْآنَ لَيْسَ قِرَاءَتُكُمْ إِلَى قِرَاءَتِهِمْ بِشَيْءٍ وَلاَ صَلاَتُكُمْ إِلَى صَلاَتِهِمْ بِشَيْءٍ وَلاَ صِيَامُكُمْ إِلَى صِيَامِهِمْ بِشَيْءٍ
Akan terlahir dari umatmu satu kaum yang mereka itu membaca al-Qur’an; Bacaan al-Qur’an kalian (wahai para Sahabatku) tidak ada artinya jika dibandingkan dengan bacaan al-Qur’an mereka, (demikian pula) shalat kalian tidak ada artinya jika dibandingkan dengan shalat mereka, juga puasa kalian tidak ada artinya jika dibandingkan dengan puasa mereka[16]
Hadits-hadits di atas jelas menunjukkan bahwa mereka selalu menampilkan diri dengan penampilan dan pengakuan yang terkesan indah untuk menipu dan memperdaya manusia.
Oleh karena itu, tatkala kelompok khawarij ini keluar untuk memberontak di jaman khalifah yang mulia, ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu, dengan membawa satu slogan yang mereka elu-elukan, “Tidak ada hukum selain hukum Allâh Azza wa Jalla ”, ketika itu ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahun anhu  menanggapi slogan tersebut dengan ucapan beliau Radhiyallahu anhu  yang sangat terkenal, yaitu, “(Slogan mereka itu) adalah kalimat (yang nampaknya) benar tetapi dimaksudkan untuk kebatilan.”[17]
Para Ulama Ahlus sunnah senantiasa memperingatkan tentang keberadaan dan bahaya mereka di tengah-tengah umat dari dahulu sampai sekarang, khususnya dalam mempengaruhi orang-orang awam untuk mengikuti pemahaman mereka yang rusak, sehingga banyak terjadi penyimpangan dan kerusakan di tubuh kaum Muslimin.
Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Orang-orang yang menisbatkan diri kepada dakwah (menyeru manusia) pada jaman ini, di antara mereka ada yang mengajak kepada kesesatan dan menginginkan para pemuda Islam untuk menyimpang (dari pemahaman Islam yang benar), memalingkan manusia dari agama yang benar, memecah belah persatuan kaum Muslimin dan menjerumuskan mereka ke dalam fitnah.
Maka yang menjadi penilaian bukanlah (sekedar) penisbatan diri (pengakuan) atau penampilan lahir, akan tetapi yang menjadi penilaian adalah hakikat dan kesudahan dari perkara tersebut”[18].
SOLUSI DAN PENUTUP
Jalan keluar untuk selamat dari semua keburukan dan kerusakan di atas – dengan izin Allâh Azza wa Jalla – adalah dengan selalu berpegang teguh dan berkomitmen terhadap petunjuk Allâh Azza wa Jalla yang diturunkan-Nya kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam . Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَمَنْ يَعْتَصِمْ بِاللَّهِ فَقَدْ هُدِيَ إِلَىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
Barangsiapa berpegang teguh kepada (agama) Allâh maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk (taufik dari Allâh Subhanahu wa Ta’ala ) kepada jalan yang lurus [Ali ‘Imrân/3:101]
Dalam ayat lain, Allâh Azza wa Jalla berfirman:
فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُمْ مِنِّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَىٰ
Maka jika datang kepadamu petunjuk daripada-Ku (wahai manusia), maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk (agama)-Ku, dia tidak akan sesat dan ia tidak akan celaka [Thâhâ/20:123]
Imam Ibnu Syihab az-Zuhri rahimahullah berkata, “Berpegang teguh dengan sunnah (petunjuk Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam)  adalah keselamatan (dari segala keburukan dan kesesatan)”[19].
Yang dimaksud di sini adalah pemahaman agama Islam yang benar, sebagaimana yang dijalani oleh generasi terbaik umat ini, yaitu para Sahabat Radhiyallahu anhu, kemudian para Ulama Ahlus sunnah wal jama’ah yang mengikuti petunjuk mereka dengan baik. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari (kalangan) orang-orang muhajirin dan anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allâh ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada-Nya, dan Allâh menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar [At-Taubah/9:100]
Dalam sebuah hadits yang shahih, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam menegaskan bahwa inilah solusi untuk selamat dari berbagai fitnah dan kerusakan di akhir jaman.
Dari al-‘Irbadh bin Sariyah Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:
فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
Sesungguhnya barangsiapa yang masih hidup di antara kamu sepeninggalku nanti, dia akan melihat banyak perpecahan (fitnah), maka (untuk keselamatanmu) hendaknya kamu berpegan teguh dengan petunjukku dan petunjuk para khulafâ-ur râsyidin yang selalu mendapat petunjuk (para Sahabat Radhiyallahu anhum), berkomitmenlah dengan petunjuk itu dan gigitlah dengan gigi gerahammu, serta jauhilah perkara yang diada-adakan (dalam urusn agama), karena semua perkara yang diada-adakan adalah bid’ah dan semua bid’ah adalah kesesatan[20].
Ini semua menuntut kita waspada dan teliti dalam menilai setiap pemahaman agama yang tersebar di masyarakat kita, apakah pemahaman tersebut sesuai dengan pemahaman yng benar atau tidak?
Dalam hal ini, Imam Abu Muhammad al-Barbahari rahimahullah berkata, “Perhatikan dan cermatilah – semoga Allâh Azza wa Jalla Merahmatimu – semua orang yang menyampaikan satu ucapan atau pemahaman di hadapanmu! Jangan sekali-kali kamu terburu-buru untuk membenarkan dan mengikuti ucapan atau pemahaman tersebut, sampai kamu tanyakan dan meneliti kembali: Apakah ucapan atau pemahaman tersebut pernah disampaikan oleh para Sahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam atau pernah disampaikan oleh Ulama ahlus Sunnah? Kalau kamu dapati ucapan atau pemahaman tersebut sesuai dengan pemahaman mereka g , maka berpegangteguhlah dengannya, dan janganlah (sekali-kali) kamu meninggalkannya dan memilih pemahaman lain, sehingga (akibatnya) kamu akan terjerumus ke dalam neraka![21]
Sebagai penutup, camkanlah nasehat emas Imam Malik bin Anas rahimahullah yang populer, “Tidak akan baik (keadaan) generasi terakhir umat ini kecuali dengan sesuatu (metode benar) yang telah memperbaiki (keadaan) generasi pertama umat ini”[22].
Semoga tulisan ini bermanfaat dan menjadi sebab kebaikan bagi kaum Muslimin.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XXI/1438H/2017M. Oleh Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni MA]
_______
Footnote
[1] Dinukil oleh Imam al-Bagawi dalam tafsir beliau, 5/109
[2] HSR. Abu Dawud, no. 4252 dan at-Tirmidzi, 4/504. Hadits ini dinyatakan shahih oleh Imam at-Tirmidzi dan Syaikh al-Albani.
[3] Lihat kitab ’Aunul Ma’bûd, 11/218 dan Tuhfatul Ahwadzi, 6/401
[4] Kitab Fat-hul Majîd Syarhu Kitâbit Tauhîd, hlm. 323
[5] HSR. Al-Bukhâri, 6/2595 dan Muslim, no. 1847
[6] Lihat penjelasan Imam an-Nawawi rahimahullah dalam Syarhu shahîhi Muslim, 16/224
[7] HSR. Al-Bukhâri, 1/50 dan Muslim, no. 2673
[8] Lihat penjelasan Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam Fat-hul Bâri, 1/117
[9] Kitab Syarhu Shahîhi Muslim, 12/237
[10] Penjelasan Syaikh ‘Abdurrahman as-Sa’di t dalam tafsir beliau Taisîrul Karîmirrahmân, hlm. 269
[11] Beliau adalah Rufai’ bin Mihran ar-Riyâhi (wafat 90 H), seorang Tabi’in senior yang terpercaya dalam meriwayatkan hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam . Lihat kitab Taqrîbut Tahdzîb, hlm. 162
[12] Dinukil oleh imam Ibnu Katsir dalam tafsir beliau, 3/576
[13] HR. Ahmad, 1/2 dan Ibnu Majah, no. 4005. Hadits ini  dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albani.
[14] Kitab Taisîr Karîmirrahmân, hlm. 42
[15] HSR. Imam Muslim (7/175 – syarh An Nawawi, cet. Darul Qalam), dari ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu
[16] HSR. Imam Muslim (7/176 – syarh An Nawawi), dari ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu
[17] HSR. Imam Muslim, no. 1066
[18] Kitab kecil Du’âtun ‘ala Abwâbi Jahannam, hlm. 5-6
[19] Dinukil oleh Imam al-Lâlika-i dalam kitab Syarhu Ushûli I’tiqâdi Ahlis Sunnati wal Jamâ-‘ah, 1/56 dan 94
[20] HR. Abu Dawud, no. 4607; At-Tirmidzi, 5/44 dan Ibnu Majah, no. 43. Hadits ini dinyatakan shahih oleh Imam at-Tirmidzi dan Syaikh al-Albani.
[21] Syarh As-Sunnah, Imam Al Barbahari, hlm.61, tahqiq Syaikh Khalid ar-Radadi
[22] Dinukil oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Iqtidhâ ash-Shirâthil Mustaqîm, hlm. 367 dan Imam Ibnul Qayyim dalam Igâtsatul lahfân, 1/200

Pemimpin Yang Menyesatkan

Abu Fathan | 23:11 | 0 comments
Kita hidup di zaman yang penuh fitnah dan keguncangan, banyak kaum Muslimin yang menyimpang dari kebenaran. Sebenarnya itu kembali kepada realita adanya orang-orang yang ditokohkan sebagai ulama namun tidak komitmen dalam melaksanakan dan berpegang teguh kepada al-Qur`an dan as-Sunnah serta mengajarkannya kepada masyarakat.  Padahal para ulama adalah pewaris Nabi dan Orang yang menggantikan mereka dalam dakwah mengajak umat ke jalan Allâh Azza wa Jalla serta menjelaskan kebenaran dan ajaran agama ini. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:
إنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ، وَإِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوْرِّثُوْا دِيْنَاراً وَلاَ دِرْهَماً، وَرَّثُوْا العِلْمَ، فَمَنْ أخَذَهُ أخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para Nabi dan para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, namun mewariskan ilmu. Siapa yang mengambil ilmu berarti mengambil bagian sempurna (dari warisan mereka). [HR Abu Dawud no. 3641 dan dishahihkan al-Albâni].
Seorang Ulama apabila shalih maka ia memiliki pengaruh kuat pada umat dan memiliki kedudukan tinggi dan besar di mata mereka. Pengaruhnya pada manusia seperti pengaruh Matahari pada siang hari dan Bulan pada malam yang gelap. Mereka menerangi jalan untuk orang-orang yang sesat dan bodoh dan menjelaskan semua yang Allâh Azza wa Jalla perintahkan untuk manusia. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَإِذْ أَخَذَ اللَّهُ مِيثَاقَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَتُبَيِّنُنَّهُ لِلنَّاسِ وَلَا تَكْتُمُونَهُ
ﱠDan (ingatlah), ketika Allâh mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu):”Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya,” [Ali Imrân/3:187]
Demikian juga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam memuji mereka dalam sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam :
يَحْمِلُ هَذَا الْعِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلْفٍ عُدُوْلُهُ , يَنْفُوْنَ عَنْهُ تَحْرِيفَ الْغَالِيْنَ , وَانْتِحَالَ الْمُبْطِلِيْنَ , وَتَأْوِيْلَ الْجَاهِلِيْنَ
Akan memanggul ilmu ini dari setiap generasi orang-orang baiknya yang menghapus penyimpangan orang yang ekstrim, ajaran para perusak dan ta’wil orang-orang bodoh. [HR al-Baihâqi dan dishahihkan al-Albâni dalam Shahih Misykâtul Mashâbîh no. 248].
Imam Ahmad rahimahullah mensifatkan para pemimpin petunjuk dan pengaruhnya terhadap hamba-hamba Allâh Subhanahu wa Ta’ala dengan pernyataan: Para ulama menghidupkan orang yang telah mati (hatinya) dan membuat orang-orang buta (hatinya) melihat serta menunjukkan hidayah kepada orang-orang sesat dengan al-Qur`an. Berapa banyak korban Iblis yang telah mereka hidupkan lagi dan berapa banyak orang sesat dan binasa telah mereka tunjuki. [Ar-Rad ‘Alal Jahmiyah hlm 55].
Keutamaan dan pengaruh Ulama yang besar ini membuat efek buruk yang besar ketika mereka tidak menjalankan tugasnya dengan benar. Penyimpangan seorang ulama adalah sebuah musibah besar atas kaum Muslimin dan menyeret banyak kelompok kepada kesesatan. oleh karena itu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam memberikan peringatan besar terhadap bahaya dan pengaruh jelek ulama yang menyesatkan. Terlebih lagi disertai adanya para penguasa zhalim yang sewenang-wenang menggunakan kekuasaannya untuk menyesatkan umat.
Hadits-Hadits Tentang Pemimpin Yang Menyesatkan
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam seorang nabi yang penuh rahmat telah memberikan peringatan kepada umatnya dari pemimpin yang menyesatkan ini dalam beberapa hadits, diantaranya adalah;

1. Hadits Abu Dzar al-Ghifâri Radhiyallahu anhu yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam al-Musnad 21296 . Abu Dzar Radhiyallahu anhu berkata:
” كُنْتُ أَمْشِي مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَقَالَ : ( لَغَيْرُ الدَّجَّالِ أَخْوَفُنِي عَلَى أُمَّتِي ) قَالَهَا ثَلَاثًا . قَالَ : قُلْتُ : يَا رَسُولَ اللهِ ، مَا هَذَا الَّذِي غَيْرُ الدَّجَّالِ أَخْوَفُكَ عَلَى أُمَّتِكَ ؟ قَالَ : أَئِمَّةً مُضِلِّين
Aku berjalan bersama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam lalu Beliau bersabda: Sungguh selain Dajjâl ada yang sangat membuatku khawatir atas umatku. Beliau sampaikan tiga kali, lalu Abu Dzar Radhiyallahu anhu berkata: Aku bertanya: Wahai Rasûlullâh, Apa yang lebih Engkau khawatirkan atas umatmu selain Dajjâl ? Beliau menjawab: Para pemimpin yang menyesatkan.
Hadits ini memiliki kelemahan dengan adanya Ibnu Lahi’ah dalam sanadnya namun memiliki jalan periwayatan yang banyak dan juga memiliki penguat dari hadits-hadits lainnya sehingga bisa naik ke derajat shahih, seperti dikatakan Syaikh al-Albâni : Shahih dengan seluruh penguatnya [Silsilah Ahâdits Shahihah no. 1989]
2. Hadits Tsaubân maula Rasûlullâh yang diriwayatkan Imam Abu Daud dalam sunannya no. 4252 dan at-Tirmidzi dalam sunannya no. 2229 , Beliau berkata:
إِنَّمَا أَخَافُ عَلَى أُمَّتِي الْأَئِمَّةَ الْمُضِلِّينَ
Yang aku takuti atas umatku hanyalah para pemimpin yang menyesatkan.[Hadits ini dishahihkan Syaikh al-Albâni  dalam Shahih Abu Dawud]
3Hadits an-Nuwwâz bin Sam’ân Radhiyallahu anhu yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya no. 2937. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:
غَيْرُ الدَّجَّالِ أَخْوَفُنِي عَلَيْكُمْ ، إِنْ يَخْرُجْ وَأَنَا فِيكُمْ ، فَأَنَا حَجِيجُهُ دُونَكُمْ ، وَإِنْ يَخْرُجْ وَلَسْتُ فِيكُمْ ، فَامْرُؤٌ حَجِيجُ نَفْسِهِ ، وَاللهُ خَلِيفَتِي عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
Selain Dajjâl  yang paling aku takuti atas kalian, apabila keluar dalam keadaan aku hidup diantara kalian maka Aku lah penghalangnya dari kalian dan bila keluar dalam keadaan Aku sudah tidak ada, maka seorang menjadi pelindung dirinya sendiri dan Allâh  adalah khalifahku atas setiap Muslim.
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata dalam Syarh Shahih Muslim: Adapun pengertian hadits ini, maka terdapat beberapa pengertian dan yang paling benar bahwa ini termasuk dalam Uslub Af’al at-Tafdhil dan pengertiannya selain Dajjâl  yang paling aku takuti atas kalian.
4. Hadits Abu Darda’ Radhiyallahu anhu yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam al-Musnad 6/411 no 27525, ath-Thabrâni sebagaimana dalam al-Majma’ az-Zawâ’id 5/239, Ibnu Asâkir 19/254 dan ath-Thayâlisi dalam musnadnya no. 975. Beliau Radhiyallahu anhu berkata:
عَهِدَ إِلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ الْأَئِمَّةُ الْمُضِلُّونَ
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam berpesan kepada kami : Sesungguhnya yang paling Aku takutkan atas kalian adalah para pemimpin yang menyesatkan.
Hadits ini dishahihkan oleh al-Albâni  dalam Shahih al-Jâmi’ no. 1551 dan disampaikan oleh beliau jalan periwayatan hadits ini dalam Silsilah Ahâdits Shahihah no. 1582 dan 1989. Demikian Juga Imam al-Hâfizh al-Irâqi rahimahullah menghukumi sanad hadits ini baik dalam Tahrîj al-Ihyâ’hlm 72 , Ibnu Katsîr rahimahullah dalam Musnad al-Fârûq dan al-Munâwi rahimahullah dalam at-Taisîr 2/162 serta Syaikh Ahmad Syâkir rahimahullah dalam Tahqîq Musnad Ahmad 1/150 menyatakan Isnadnya Hasan.
Syaikhul Islam Ibnu taimiyah rahimahullah berkata: Hadits al-A`immah al-Mudhillîn  (para pemimpin yang menyesatkan) adalah kuat dan asalnya ada dalam Shahih Muslim. [Bayân Talbîs al-Jahmiyah 2/293].
Pengertian Hadits ini ada tiga kemungkinan, seperti dijelaskan Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim:
  1. Hal-hal yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam takutkan atas umatnya dan yang paling berhak ditakuti adalah para pemimpin yang menyesatkan.
  2. Selain Dajjâl yang paling membuat Aku takut atas kalian adalah para pemimpin yang menyesatkan
  3. Ketakutan kepada selain Dajjâl yang paling menakutkan aku atas kalian adalah pemimpin yang menyesatkan.
Sehingga pengertian hadits ini adalah para pemimpin yang menyesatkan termasuk yang paling Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam takutkan atas umatnya sehingga mereka lebih dikhawatirkan  menurut Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam atas umatnya dari Dajjâl .
Imam al-Munâwi rahimahullah menyatakan: Abul Baqqa` menyatakan bahwa pengertiannya adalah Sungguh Aku takut atas umatku dari selain Dajjâl  lebih dari ketakutanku darinya (pemimpin menyesatkan). Sedangkan Ibnul ‘Arabi menyatakan: Ini tidak menafikan hadits yang menyatakan bahwa tidak ada fitnah yang lebih besar dari fitnah Dajjâl ; karena sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam di sini: (selain Dajjâl) hanyalah disampaikan kepada para Sahabatnya, karena yang Beliau takutkan atas mereka lebih dekat dari Dajjâl , sehingga yang dekat dan pasti akan terjadi bagi yang ditakutkan menjadikan ketakutan lebih hebat dari yang jauh yang diperkirakan terjadinya walaupun lebih hebat. [Faidhul Qadîr 4/535].
Siapakah Al-A`immah Al-Mudhillûn  Itu?
Begitu bahayanya para pemimpin yang menyesatkan ini, sehingga Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam mensifatinya dengan menyesatkan. al-A`immah al-Mudhillûn  berasal dari bahasa Arab yang tersusun dari dua Kosa kata yaitu al-A`immah dan al-Mudhillûn .

Kata al-A`immah adalah bentuk plural dari kata al-Imâm yang berarti yang diikuti oleh sebuah kaum dan pemimpin mereka serta orang yang mengajak mereka untuk mengikuti sebuah perkataan atau perbuatan atau keyakinan. (lihat Mirqâtul Mafâtîh Syarh Misykât al-Mashâbîh 8/3389). Sedangkan kata al-Mudhillûn adalah bentuk plural dari al-Mudhil yang berarti menyesatkan atau mengajak kepada kesesatan. Oleh karena itu penulis kitab ‘Aunul Ma’bûd t menyatakan: al-A`immah al-Mudhillîn adalah para penyeru kepada kebid’ahan, kefasikan dan kefajiran. (Aunul Ma’bûd 11/218). Ada juga ulama yang menyatakan : al-Imâm adalah orang yang dicontoh dan diikuti dalam perkataan dan perbuatannya, baik sesat atau tidak sesat. Hal ini ditakutkan atas umat ini karena ia diikuti oleh orang lalu menyesatkan orang banyak dengan kesesatannya. Ada juga yang menyatakan: Yang diinginkan adalah orang yang diikuti sehingga mencakup para ulama, karena kesesatan mereka menjadi sebab kesesatan orang jahil. [at-Tanwîr Syarh al-Jâmi’ ash-Shaghîr 4/174]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: al-A`immah al-Mudhillûn  adalah para penguasa [Majmu’ al-Fatâwâ 1/355].
Sedangkan as-Sindi dalam Hâsyiyah beliau atas Sunan Ibnu Mâjah 2/465 berkata: Mereka adalah orang yang mengajak orang lain kepada kebid’ahan.
Dengan demikian yang dimaksud dengan al-A`immah al-Mudhillûn  (para pemimpin yang menyesatkan) adalah para pemimpin yang diikuti yang menyesatkan orang dari jalan Allâh, sehingga masuk dalam hal ini para penguasa yang rusak, Ulama fajir dan ahli ibadah yang bodoh.
Sebagaimana ada pada ahli kitab ulama yang fajir yang menghalangi manusia dari jalan Allâh  dan menyesatkan mereka seperti dijelaskan dalam firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْأَحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُونَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ ۗ وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebagian besar dari orang-orang alim yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allâh . Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allâh , maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, [At-Taubah/9:34]
Juga ada pada umat Islam ini sebagian ulama dan ahli ibadah seperti mereka yang ada pada ahli kitab ini. Sufyân bin ‘Uyainah rahimahullah berkata: Mereka dahulu menyatakan: Orang yang rusak dari ulama kita, maka ada penyerupaan dari orang-orang Yahudi dan yang rusak dari para ahli ibadah kita maka serupa dengan Nashrâni. Banyak ulama salaf yang menyatakan: hati-hatilah dari fitnah ulama yang fajir dan ahli ibadah yang bodoh, karena fitnah keduanya adalah fitnah pada semua orang yang terfitnah. [Majmû’ al-Fatâwâ 1/197].
Syaikh Ibnu Utsaimîn rahimahullah berkata: al-A`immah al-Mudhillîn  (para pemimpin yang menyesatkan) adalah para pemimpin keburukan. Sungguh benar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam yang bersabda bahwa yang paling ditakutkan atas umat ini adalah para pemimpin yang menyesatkan, seperti tokoh-tokoh sekte Jahmiyah, Mu’tazilah dan selain mereka yang telah menjadi sebab perpecahan umat ini. Yang dimaksud dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam : (Para pemimpin yang menyesatkan) adalah orang-orang yang memimpin manusia dengan nama syariat dan yang memaksa manusia dengan kekuatan dan kekuasaanya, sehingga meliputi penguasa yang rusak dan ulama yang menyesatkan. Merekalah yang mengaku-ngaku ajaran mereka adalah syariat Allâh  dan mereka sangat besar permusuhannya kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala . [al-Qaulul Mufîd ‘Ala Kitâb at-Tauhîd 1/365].
Bahaya Para Pemimpin Yang Menyesatkan
Sudah dimaklumi umat Islam sama seperti umat-umat lainnya yang tidak lepas dari sekelompok orang yang membuat fitnah dan kesesatan yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam sifatkan sangat berbahaya. Bahayanya sampai membuat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam mengkhawatirkan umat ini darinya melebihi kekhawatiran dari fitnah Dajjâl  seperti yang telah dijelaskan dalam hadits-hadits diatas. Sekelompok orang ini dinamakan al-A`imah al-Mudhillîn (Para pemimpin yang menyesatkan). Merekalah para pemimpin dalam kesesatan dan selalu menghalangi umat ini dari jalan kebenaran dan agama seperti disampaikan Allâh Azza wa Jalla   dalam firmannya:

وَجَعَلْنَاهُمْ أَئِمَّةً يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ ۖ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا يُنْصَرُونَ
Dan Kami jadikan mereka pemimpin-pemimpin yang menyeru (manusia) ke neraka [Al-Qashâsh/28:41]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam sendiri pernah menceritakan tentang fitnah Dajjâl  dan mensifatkannya sebagai fitnah terbesar yang menimpa manusia sejak penciptaan Adam hingga hari kiamat nanti. Lalu apa yang membuat fitnah para pemimpin yang menyesatkan ini lebih besar dan lebih ditakutkan atas umat ini dari fitnah Dajjâl ?
Hal ini karena Dajjâl  memiliki tanda yang menjadikannya dikenal oleh setiap Muslim, Dajjâl  itu buta sebelah dan tertulis diantara dua matanya KAFIR yang terbaca oleh orang yang bisa menulis atau buta huruf. Sehingga bahaya Dajjâl  dan fitnahnya walaupun sangat besar, namun tampak dan dikenal dengan mudah oleh kaum Mukminîn. Sedangkan kaum munafikin maka madharatnya lebih besar dan bahayanya juga lebih; karena mereka merusak manusia atas nama agama dan berbicara atas nama agama sehingga manusia terpedaya dan tertipu serta terpengaruh. Kemudian mengekor mereka dengan keyakinan mereka berada di atas kebenaran. Hal ini mebuat kaum Muslimin terjerumus dalam kebingungan dan kegelapan. Oleh karena itu kerusakan akibat pemimpin sesat baik Umara` maupun Ulamanya terhadap agama kaum Muslimin sangat besar sekali. Sebagaimana disampaikan Abdullâh bin Mubârak rahimahullah :
رَأَيْتُ الذُّنُوبَ تُمِيتُ الْقُلُوبَ … وَقَدْ يُورِثُ الذُّلَّ إِدْمَانُهَا
وَتَرْكُ الذُّنُوبِ حَيَاةُ الْقُلُوبِ … وَخَيْرٌ لِنَفْسِكَ عِصْيَانُهَا
وَهَلْ أَفْسَدَ الدِّينَ إِلَّا الْمُلُوكُ … وَأَحْبَارُ سُوءٍ وَرُهْبَانُهَا
Aku memandang dosa mematikan hati                           dan Kecanduan dosa mewarisi kehinaan.
Meninggalkan dosa adalah kehidupan hati                 dan lebih baik untuk dirimu meninggalkannya
Tidak merusak Agama kecuali para raja                       dan ulama suu’ dan para ahli ibadahnya.
Para penguasa yang jahat merusak dan melawan syariat dengan politik jahatnya serta mendahulukan kepentingannya atas hukum Allâh Azza wa Jalla dan Rasûl-Nya. Sedangkan ulama suu’ (ulama jahat) adalah ulama yang keluar dari syariat dengan pemikiran dan logika rusak yang berisi penghalalan yang Allâh Azza wa Jalla dan Rasûl-Nya haramkan dan mengharamkan yang diperbolehkan. Mereka menetapkan semua yang Allâh Azza wa Jalla dan Rasûl-Nya hilangkan dan menghilangkan yang ditetapkan dan semisalnya. Adapun para ahli ibadah, mereka adalah orang-orang bodoh sufi  yang menentang hakikat iman dan syariat dengan perasaan dan khayalan serta mimpi-mimpi batil yang berisi pensyariatan yang tidak diizinkan Allâh Azza wa Jalla dan menghilangkan ajaran yang disyariatkan melalui lisan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam serta mengganti hakikat iman dengan tipuan syaitan dan keinginan nafsu. [diadaptasi dari Syarah Aqidah ath-Thahâwiyah, tahqiq al-Arnâuth 1/235].
Cara Mereka Menyesatkan 
Diantara cara mereka menyesatkan umat ini adalah:

1. Tidak mau mengamalkan ilmu
Para ulama adalah teladan, apabila mereka tidak mengamalkan ilmunya atau amalannya menyelisihi ilmunya, maka orang akan meneladani amalan mereka, karena dalil amal lebih kuat dari dalil ucapan. Oleh karena itu ada ungkapan: Amalan seorang pada seribu orang lebih kuat dari ucapan seribu orang untuk seorang.
Ulama adalah pemimpin dan orang-orang mengikuti mereka, apabila yang diikuti sesat maka akan sesat juga yang mengikutinya. Ibnul Qayyim rahimahullah pernah berkata: Ulama suû’ duduk di pintu Surga mengajak manusia ke Surga dengan perkataan mereka dan mengajak mereka ke Neraka dengan perbuatan mereka. Setiap kali ucapannya berkata kepada manusia: Kemarilah! maka perbuatannya berkata: Jangan dengarkan mereka, seandainya ajakan mereka tersebut benar maka pastilah mereka orang pertama yang melakukannya. Mereka ini berbentuk pemberi petunjuk dan pada hakekatnya perampok. [al-Fawâ`id 1/61].
Jelaslah apabila ulama rusak maka banyak orang sesat dengan sebab kerusakan mereka, sehingga ulama itu seperti perahu di lautan, apabila tenggelam maka tenggelam juga semua yang ada di dalam perahu tersebut.
2. Mendiamkan kebatilan
Bila seorang ulama melihat kebatilan atau kemungkaran berkembang dan tersebar namun dia diam tidak mengingkarinya, maka orang bodoh akan menyangka itu bukan sebuah kebatilan dan bukan sebuah kemungkaran; karena dalam benak orang awam akan muncul pengertian seandainya itu mungkar dan batil tentulah para ulama mengingkarinya atau paling tidak menjelaskannya. Diamnya orang alim ini bisa merancukan pemahaman orang dan membantu tersebarnya kebatilan dan kemungkaran serta kerusakan; Juga melemahkan kebenaran dan keadilan. Padahal Allâh l telah mengambil perjanjian atas ulama untuk menjelaskan kebenaran dan tidak menyembunyikannya. Allâh  berfirman :
وَإِذْ أَخَذَ اللَّهُ مِيثَاقَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَتُبَيِّنُنَّهُ لِلنَّاسِ وَلَا تَكْتُمُونَهُ
Dan (ingatlah), ketika Allâh  mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu):”Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya,” [Ali Imrân/3:187]
Bahaya mendiamkan kebatilan ini dijelaskan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam dalam sabda Beliau:
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَتَأْمُرُنَّ بِالمَعْرُوفِ وَلَتَنْهَوُنَّ عَنِ الْمُنْكَرِ أَوْ لَيُوشِكَنَّ اللَّهُ أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عِقَابًا مِنْهُ ثُمَّ تَدْعُونَهُ فَلاَ يُسْتَجَابُ لَكُمْ.
Demi Allâh  yang jiwaku ada di tangan-Nya, Perintahkanlah yang ma’ruf dan cegahlah kemungkaran atau Allâh l akan segera mengirimkan hukumannya atas kalian kemudian kalian berdoa kepadanya lalu tidak diijabahi. [HR at-Tirmidzi no. 2169 dan dishahihkan al-Albâni  dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi].
3. Menghiasi kebatilan
Ini termasuk sarana yang membuat kaum Muslimin sesat. Ketika para ulama berbicara dan menghiasi kebatilan dengan ungkapan yang indah dan mengatasnamakan agama, maka akan banyak orang yang mengikuti mereka dalam kesesatan tersebut. Ini sebuah realita yang banyak terjadi di zaman ini.
Semoga Allâh Subhanahu wa Ta’ala melindungi kita semua dari para pemimpin yang menyesatkan dan diselamatkan dari kesesatan mereka. Wabillahittaufiq.
Wallahu A’lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XXI/1438H/2017M.Oleh Ustadz Kholid Syamhudi Lc]

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. BERITA SUNNAH - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger