{قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ ويَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ، وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ}

Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah (sunnah/petunjuk)ku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS Ali ‘Imran:31)

Jangan Hanya Taklid Buta!

Abu Fathan | 23:43 | 0 comments

Agama Islam memerintahkan para pemeluknya untuk mengikuti dalil dan tidak memperkenankan seorang untuk bertaklid (baca: mengekor/membeo) kecuali dalam keadaan darurat (mendesak), yaitu tatkala seorang tidak mampu mengetahui dan mengenal dalil dengan pasti. Hal ini berlaku dalam seluruh permasalahan agama, baik yang terkait dengan akidah maupun hukum (fikih).
Oleh karena itu, seorang yang mampu berijtihad dalam permasalahan fikih, misalnya, tidak diperkenankan untuk bertaklid. Demikian pula seorang yang mampu untuk meneliti berbagai nash-nash syari’at yang terkait dengan permasalahan akidah, tidak diperbolehkan untuk bertaklid.
Mengapa Taklid Tidak Diperkenankan?
Agama ini tidak memperkenankan seorang untuk bertaklid pada suatu pendapat tanpa memperhatikan dalilnya. Hal ini dikarenakan beberapa alasan sebagai berikut:
Pertama: Allah ta’alla memerintahkan para hamba-Nya untuk memikirkan (bertafakkur) dan merenungi (bertadabbur) ayat-ayat-Nya. Allah ta’alla berfirman,
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآَيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ (190) الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ (191)
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. Ali Imran: 190-191).
Kedua: Allah ta’alla mencela taklid dan kaum musyrikin jahiliyah yang mengekor perbuatan nenek moyang mereka tanpa didasari ilmu. Allah ta’alla berfirman,
بَلْ قَالُوا إِنَّا وَجَدْنَا آَبَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى آَثَارِهِمْ مُهْتَدُونَ
“Mereka berkata: “Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka.” (QS. Az Zukhruf: 22).
Allah ta’alla juga berfirman,
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Rabb selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al masih putera Maryam, Padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. At-Taubah: 31).
Ayat ini turun terkait dengan orang-orang Yahudi yang mempertuhankan para ulama dan rahib mereka dalam hal ketaatan dan ketundukan. Hal ini dikarenakan mereka mematuhi ajaran-ajaran ulama dan rahib tersebut dengan membabi buta, walaupun para ulama dan rahib tersebut memerintahkan kemaksiatan dengan mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram [lihat hadits riwayat. At-Tirmidzi no. 3096 dari sahabat ‘Ady bin Hatim].
Ketiga: Taklid hanya menghasilkan zhan (prasangka) semata dan Allah telah melarang untuk mengikuti prasangka. Allah ta’alla berfirman,
إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ
“Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah). (QS. Al-An’am: 116).
Namun, yang patut diperhatikan adalah zhan yang tercela dalam agama ini adalah praduga yang tidak dilandasi ilmu. Adapun zhan yang berlandaskan pengetahuan, maka ini tergolong sebagai ilmu yang membuahkan keyakinan sebagaimana firman Allah,
الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُمْ مُلَاقُو رَبِّهِمْ وَأَنَّهُمْ إِلَيْهِ رَاجِعُونَ
“(yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Rabb-nya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 46).
Inilah beberapa ayat al-Quran yang menerangkan bahwa taklid buta tidak semestinya dilakukan oleh seorang muslim dan kewajiban yang mesti dilakukan oleh seorang muslim adalah mengikuti dalil.
Perkataan Para Imam tentang Taklid
Para imam juga menegaskan kepada para pengikutnya untuk mengikuti dalil, dan tidak bertaklid.  Berikut perkataan mereka:
Pertama: Imam Abu Hanifah rahimahullah
Beliau mengatakan,
لا يحل لأحد أن يأخذ بقولنا ما لم يعلم من أين أخذناه
“Tidak boleh bagi seorangpun berpendapat dengan pendapat kami hingga dia mengetahui dalil bagi pendapat tersebut.”
Diriwayatkan juga bahwa beliau mengatakan,
حرام على من لم يعرف دليلي أن يفتي بكلامي
“Haram bagi seorang berfatwa dengan pendapatku sedang dia tidak mengetahui dalilnya.”
Kedua: Imam Malik bin Anas rahimahullah
Beliau mengatakan,
إنما أنا بشر أخطئ وأصيب فانظروا في رأيي فكل ما وافق الكتاب والسنة فخذوه وكل ما لم يوافق الكتاب والسنة فاتركوه
“Aku hanyalah seorang manusia, terkadang benar dan salah. Maka, telitilah pendapatku. Setiap pendapat yang sesuai dengan al-Quran dan sunnah nabi, maka ambillah. Dan jika tidak sesuai dengan keduanya, maka tinggalkanlah.” (Jami’ Bayan al-‘Ilmi wa Fadhlih 2/32).
Beliau juga mengatakan,
ليس أحد بعد النبي صلى الله عليه وسلم إلا ويؤخذ من قوله ويترك إلا النبي صلى الله عليه وسلم
“Setiap orang sesudah nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dapat diambil dan ditinggalkan perkataannya, kecuali perkataan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Jami’ Bayan al-‘Ilmi wa Fadhlih 2/91).
Ketiga: Imam Asy-Syafi’i rahimahullah
Beliau mengatakan,
إذا وجدتم في كتابي خلاف سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم فقولوا بسنة رسول الله صلى الله عليه وسلم ودعوا ما قلت
“Apabila kalian menemukan pendapat di dalam kitabku yang berseberangan dengan sunnah rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ambillah sunnah tersebut dan tinggalkan pendapatku.” (Al-Majmu’ 1/63).
Keempat: Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah
Beliau mengatakan,
لا تقلدني ولا تقلد مالكا ولا الثوري ولا الأوزاعي وخذ من حيث أخذوا
“Janganlah kalian taklid kepadaku, jangan pula bertaklid kepada Malik, ats-Tsauri, al-Auza’i, tapi ikutilah dalil.” (I’lam al-Muwaqqi’in 2/201;Asy-Syamilah,).
Beberapa Pertanyaan Seputar Taklid
Mungkin ada yang bertanya, “Sesungguhnya Allah hanya mencela taklid kepada orang-orang kafir dan nenek moyang mereka yang tidak mengetahui sesuatu apapun dan tidak pula berada di atas petunjuk. Allah tidak mencela taqlid orang yang taklid kepada ulama yang memperoleh petunjuk. Bahkan, Allah memerintahkan untuk bertanya kepada ahlu adz-dzikr, yaitu ulama. Ini taklid dan disinyalir Allah dalam firman-Nya,
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Nahl: 43).
Jawaban pertanyaan ini dikemukakan oleh imam Ibnu al-Qayyim rahimahullah. Beliau mengatakan,
Sesungguhnya Allah ta’alla mencela orang-orang yang berpaling dari apa yang diturunkan oleh Allah kemudian bertaklid kepada perbuatan nenek moyang. Taklid semacam inilah yang dicela dan diharamkan menurut kesepakatan para ulama salaf dan imam yang empat (Abu Hanifah, Malik, Ays-Syafi’i, dan Ahmad bin Hambal). Adapun taklid yang dilakukan oleh orang yang sudah mengerahkan segenap upaya untuk mengikuti apa yang diturunkan oleh Allah (dalil), namun sebagian permasalahan luput dari pengetahuannya, kemudian dia pun bertaklid kepada seseorang yang lebih alim dari dirinya, maka taklid semacam ini terpuji, tidak dicela, diberi pahala dan tidak berdosa.” (I’lam al-Muwaqqi’in 2/188;Asy-Syamilah,).
Beliau juga pernah menjawab suatu pertanyaan yang redaksinya sebagai berikut, “Sesungguhnya yang dicela adalah orang yang bertaklid kepada seorang yang menyesatkan dari jalan yang lurus, sedangkan  bertaklid kepada seorang yang menunjukkan jalan yang lurus, dimana letak celaan Allah kepada orang tersebut?”
Maka beliau pun menjawab,
Jawabannya terdapat pada pertanyaan itu sendiri. Seorang hamba tidak akan memperoleh petunjuk sampai dia mengikuti apa yang diturunkan oleh Allah kepada rasul-Nya (dalil).Orang yang bertaklid (muqallid) ini, apabila dia mengetahui dalil (dari pendapat orang yang diikutinya), maka dia telah memperoleh petunjuk dan (hakekatnya) dia bukanlah seorang muqallid. Jika dia tidak mengetahui dalil (pendapat orang yang diikutinya), maka dia adalah seorang yang jahil (bodoh) dan tersesat dengan tindakannya yang menerapkan taklid bagi dirinya. Bagaimana bisa dia mengetahui bahwa dirinya berada di atas petunjuk dalam tindakan taklidnya tersebut? Inilah jawaban untuk seluruh persoalan yang terdapat dalam bab ini (yaitu bab taklid). Mereka itu hanya (diperintahkan) untuk bertaklid kepada orang yang berada di atas petunjuk, sehingga taklid mereka pun berada di atas petunjuk.” (I’lam al-Muwaqqi’in 2/189;Asy-Syamilah,).
Mengikuti Ustadz pun Harus Berdalil!
Dari pemaparan di atas, seorang yang mengikuti pendapat seorang imam, seyogyanya dia mengetahui dalil yang dijadikan sandaran oleh imam tersebut. Sehingga, meski tindakannya tersebut termasuk ke dalam taklid, namun taklid yang dilakukannya adalah taklid yang terpuji. Taklid jenis ini, seperti yang dikatakan oleh para ulama, tetap tergolong sebagai ittiba’(mengikuti dalil).
Oleh karenanya, setiap muslim meskipun dia mengikuti pendapat seorang imam, kyai, ustadz, ataupun da’i, betapa pun tingginya kedudukan orang tersebut, dia tetap berkewajiban untuk mengetahui dalil dari al-Quran dan sunnah yang menjadi landasan orang yang diikutinya tersebut. Inilah kewajiban yang mesti dilaksanakannya. Terakhir, kami kutip perkataan Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah yang penulis harap bisa menjelaskan kewajiban kita dalam permasalahan ini. Beliau berkata,
Oleh karena itu, para ulama berkonsensus, apabila seorang mengetahui kebenaran, dia tidak boleh bertaklid kepada pendapat seorang yang berseberangan (dengan kebenaran yang telah diketahuinya). Para ulama hanya berbeda pendapat mengenai legitimasi taklid yang dilakukan oleh seorang yang mampu untuk berisitidlal (mencari dan membahas dalil).
Apabila orang tersebut tidak mampu untuk menampakkan kebenaran yang telah diketahuinya, maka kondisinya layaknya seorang yang mengetahui agama Islam itu adalah agama yang benar, namun dia hidup di lingkungan kaum Nasrani. Apabila orang ini melaksanakan kebenaran sebatas kemampuannya, maka dia tidak disiksa atas kebenaran yang belum sanggup untuk dikerjakannya. Kondisinya seperti Najasyi dan semisalnya.
Adapun jika dia mengikuti seorang mujtahid dan dia tidak mampu mengetahui kebenaran secara terperinci serta dirinya setelah dirinya berusaha dengan sungguh-sungguh, maka dirinya tidaklah disiksa (berdosa), meski ternyata pendapat mujtahid tadi keliru.
Namun, apabila seorang mengikuti (pendapat) suatu individu (ustadz, kyai, dan semisalnya) tanpa mempertimbangkan (pendapat) orang lain (yang semisal dengan individu tadi), semata-mata karena hawa nafsu dan dia membelanya dengan lisan serta tangannya tanpa mempertimbangkan bahwa individu tersebut berada dalam kebenaran atau tidak, maka orang ini tergolong ke dalam kalangan jahiliyah. Meskipun (pendapat) individu yang diikutinya tersebut benar, amalan yang dikerjakannya tetap tidak terhitung sebagai amalan yang shalih. Apabila ternyata yang diikutinya keliru, maka orang (yang bertaklid) tadi berdosa.” (Majmu’ al-Fatawa 7/71;Asy-Syamilah).
Wallahu al-muwaffiq.
Jum’at sore, menjelang Pemantapan Tahfizh siswa-siswi SDIT Al-Hanif
Cilegon, 28 Shofar 1431 H bertepatan dengan tanggal 12 Februari 2010.
Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim

Lemahnya Hujah Taklid

Abu Fathan | 06:40 | 0 comments
Ada sebagian orang yang membolehkan taklid. Namun, ternyata hujah mereka sangat lemah.

Seandainya ada yang mengatakan bahwa sebagian ulama membolehkan taklid dengan dalil dari al-Qur’an, sesungguhnya pendapat itu juga sudah dibantah oleh ulama yang lain, bahkan menjelaskan kerusakan taklid ini. Berikut ini kami sebutkan keterangan dari al-Imam ash-Shan’ani t tentang masalah ini.
Beliau mengatakan, “Adapun dalil mereka yang membolehkan taklid ini di antaranya adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala,
“Maka bertanyalah kepada orang yang berilmu jika kamu tidak mengetahui!” (an-Nahl: 43)
Mereka menyatakan bahwa dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala memerintah mereka yang tidak mengetahui supaya bertanya kepada orang yang lebih mengetahui.
Jawabnya: Pertama, kita katakan bahwasanya mengikuti satu mazhab imam tertentu dan menerima seluruh pendapatnya—yang tidak boleh seseorang keluar dari pendapat itu sedikit pun—adalah perbuatan bid’ah. Setiap bid’ah adalah sesat. Maka, apa artinya berdalil dengan satu kebid’ahan?
Perbuatan ini dikatakan sebagai satu kebid’ahan karena para muqallid (orang yang taklid, red.) tidak mungkin dapat menyebutkan satu orang di zaman para sahabat yang mengikuti atau taklid kepada sahabat lainnya dalam segala tindak-tanduk dan pendapatnya, atau menggugurkan pendapat sahabat yang lain, atau menakwil ayat-ayat dan hadits agar sesuai dengan pendapat serta keyakinan orang yang diikutinya.

Hal ini jelas diketahui oleh siapa pun bahwa tidak pernah terjadi demikian di kalangan para sahabat, bahkan di zaman tiga generasi terbaik umat ini, seperti yang telah dinyatakan oleh Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam,
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي* ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ يَفْشُو الْكَذِبُ
“Sebaik-baik generasi adalah generasiku (yang aku hidup pada masanya), kemudian (generasi) berikutnya, dan berikutnya, kemudian (mulai) tersebarlah kedustaan.” (HR. at-Tirmidzi dari Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu)
Bid’ah taklid ini baru muncul sesudah tiga abad pertama ini. Adapun ayat yang mereka jadikan sebagai dalil, maka sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala memerintah orang yang tidak berilmu untuk bertanya kepada ahli dzikr (ulama). Yang dimaksud dengan adz-Dzikr adalah al-Qur’an dan as-Sunnah sebagaimana juga dinyatakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dalam firman-Nya,
“Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumah kalian dari ayat-ayat Allah dan hikmah (Sunnah Nabimu)!” (al-Ahzab: 34)

Juga firman-Nya,
“Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang rasul dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka, serta mengajarkan kepada mereka al-Kitab (al-Qur’an) dan al-Hikmah (as-Sunnah).” (al-Jumu’ah: 2)

Dengan demikian, perintah Allah subhanahu wa ta’ala dalam ayat ini adalah perintah kepada orang yang jahil (bodoh) supaya bertanya kepada orang yang mengerti tentang al-Qur’an dan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai hal-hal yang terdapat pada keduanya. Apabila ulama sudah menerangkan keduanya kepada yang bertanya, wajib bagi si penanya untuk mengikuti keterangan yang disampaikan ulama tersebut.
Perhatikanlah Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bagaimana dia bertanya kepada para sahabat yang lain tentang apa yang diucapkan dan dikerjakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian pula bagaimana para sahabat bertanya kepada para istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamtentang hal-hal yang luput dari penglihatan mereka, khususnya kepada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Demikian pula keadaan para tabi’in dan tabi’ut tabi’in, mereka bertanya kepada yang lain tentang ucapan dan perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dalil kedua mereka adalah hadits tentang seorang pekerja yang berzina dengan istri majikannya. Ayah pekerja ini mengatakan, “Saya bertanya kepada ahli ilmu dan mereka menerangkan bahwa anakku harus dihukum cambuk 100 kali serta diasingkan selama satu tahun dan istri orang ini harus dirajam.” Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhari t, dan mereka mengatakan bahwa Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengingkari taklid kepada orang yang lebih berilmu daripada orang tersebut.

Jawabnya: Orang ini bertanya kepada ahli ilmu dan mereka memberi fatwa dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai ketetapan (sunnah) tersebut dalam masalah itu. Hadits ini merupakan pendukung bagi ayat tersebut, karena yang dimaksud dengan bertanya kepada ahli dzikr adalah bertanya tentang al-Kitab (al-Qur’an) dan as-Sunnah, bukan tentang pendapat mereka pribadi.

Dalil mereka berikutnya, seperti disebutkan dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala,
“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (at-Taubah: 122)
Mereka menyatakan, wajibnya menerima peringatan yang disampaikan itu, dan ini berarti taklid kepada mereka.
Jawabnya: Ini menunjukkan ketidaktahuan mereka tentang pengertian lafadz indzar (memberi peringatan). Seseorang baru dikatakan memberi peringatan apabila dia menyampaikannya dengan hujah (dalil) yang jelas. Adapun orang yang memberi peringatan tanpa hujah atau dalil, dia belumlah dikatakan memberi peringatan.

Dengan demikian, pengertian “memberi peringatan” dalam ayat ini adalah memberi keterangan kepada mereka dengan hujah dan bukti sesuai dengan apa yang telah mereka pahami dari hukum-hukum Islam ini.
Bukankah sudah jelas bagi kita bagaimana para malaikat penjaga neraka berkata kepada para penghuni neraka, seperti dalam firman Allah,
“Apakah belum pernah datang kepada kamu seorang pemberi peringatan?” Mereka menjawab, “Benar ada. Sesungguhnya telah datang kepada kami seorang pemberi peringatan, lalu kami dustakan dia dan kami katakan, ‘Allah tidak menurunkan sesuatu pun, kamu tidak lain hanyalah di dalam kesesatan yang besar’.” Dan mereka berkata pula, ‘Seandainya kami mau mendengar atau memikirkannya niscaya kami tidak akan menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala’.” (al-Mulk: 8—10)
Mereka mengakui bahwa memang sudah datang seorang pemberi peringatan kepada mereka. Peringatan tersebut tidak lain adalah dengan hujjah atau dalil. Namun, mereka mendustakan peringatan tersebut dengan sikap menentang. Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala menyatakan,
“Mereka pun mengakui dosa mereka.” (al-Mulk: 11)

Akhirnya mereka berkata dengan penuh penyesalan seperti yang disebutkan dalam ayat tersebut. (Seandainya kami mau mendengar) yakni seandainya kami mau mengamalkan apa yang kami dengar, (atau memikirkannya) artinya seandainya kami beramal dengan apa yang kami pahami. Kalau bukan demikian, sebagaimana sudah dimaklumi bahwa sesungguhnya mereka mendengar dan memahami namun mereka tidak mengamalkannya. Ini menunjukkan seolah-olah mereka tidak mempunyai pendengaran dan pikiran.

(ditulis oleh al-Ustadz Idral Harits)

Taklid dan Fanatisme Golongan

Abu Fathan | 06:39 | 0 comments
“Kiai-ku lebih pintar dari kamu!”, “Imamku-lah yang paling benar!”, ungkapan-ungkapan seperti ini sering kita dengar ketika ada nasihat disampaikan. lnilah antara lain gambaran taklid dan fanatisme golongan, penyakit yang telah lama menjangkiti umat.

Hancurnya kaum muslimin dan jatuhnya mereka ke dalam kehinaan tidak lain disebabkan kebodohan mereka terhadap Kitab Allah subhanahu wa ta’ala dan Sunnah Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, serta tidak memahami pengertian dan pelajaran yang terdapat pada keduanya.
Demikian pula yang menjatuhkan umat lslam ke dalam perbuatan bid’ah dan khurafat. Bahkan, kebodohan terhadap agamanya ini merupakan faktor utama yang menumbuhsuburkan taklid.
Berbagai kebid’ahan tumbuh dengan subur di atas ketaklidan dan kebodohan yang ada di tengah-tengah kaum muslimin. Hal ini juga disebabkan adanya para dajjal (pembohong besar) dari berbagai golongan (sempalan) yang menyandarkan dirinya kepada imam-imam mazhab yang telah dikenal. Padahal pengakuan mereka yang menyebutkan bahwa mereka adalah pengikut para imam tersebut adalah pengakuan dusta.
Kita dapati dalam kitab-kitab tentang tafsir, fiqih, tasawwuf, atau syarah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, berbagai kebid’ahan bahkan khurafat yang ditulis oleh mereka yang menyatakan dirinya bermazhab Fulani. lnnaa lillah wa innaa ilaihi raji’un.

Begitu hebatnya penyakit ini melanda kaum muslimin seakan-akan sudah menjadi wabah yang tidak ada obatnya di dunia ini, dan akibat taklid ini, muncullah sikap-sikap fanatik terhadap apa yang ada pada dirinya atau kelompoknya. Sampai-sampai seorang yang bermazhab dengan satu mazhab tertentu tidak mau menikahkan putrinya dengan penganut mazhab lain, tidak mau pula shalat di belakang imam yang berbeda mazhab, dan sebagainya. Bahkan yang ironis, di antara penganut mazhab ada yang saling mengafirkan.

lnilah sesungguhnya penyakit yang mula-mula menimpa makhluk ciptaan Allah subhanahu wa ta’ala. lblis yang terkutuk, makhluk pertama yang mendurhakai Allah subhanahu wa ta’ala, tidak lain disebabkan oleh sikap fanatiknya, yang dia merasa unggul karena unsur yang menjadi asal dia diciptakan. Allah subhanahu wa ta’ala menerangkan hal ini,
“Aku lebih baik daripadanya. Engkau menciptakanku dari api sedangkan dia Kau ciptakan dari tanah.”(al-A’raf: 12)

Definisi TaklidTaklid secara bahasa diambil dari kata (قَلَّدَ – يُقَلِّدُ) yang bermakna mengikatkan sesuatu di leher. Jadi orang yang taklid kepada seorang tokoh, ibarat diberi tali yang mengikat lehernya untuk ditarik seakan-akan hewan ternak.
Adapun menurut istilah, taklid artinya beramal dengan pendapat seseorang atau golongan tanpa didasari oleh dalil atau hujjah yang jelas.
Dari pengertian ini, jelaslah bahwa taklid bukanlah ilmu dan ini hanyalah kebiasaan orang yang awam (tidak berilmu) dan jahil. Allah subhanahu wa ta’ala telah mencela sikap taklid ini dalam beberapa tempat dalam al-Qur’an. Firman Allah subhanahu wa ta’ala,
“Atau adakah Kami memberikan sebuah kitab kepada mereka sebelum al-Qur’an lalu mereka berpegang dengan kitab itu? Bahkan mereka berkata, ‘Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka.’ Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatan pun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata, ‘Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka.’ (Rasul itu) berkata, ‘Apakah (kamu akan mengikutinya juga) sekalipun aku membawa untukmu (agama) yang lebih (nyata) memberi petunjuk daripada apa yang kamu dapati bapak-bapak kalian menganutnya?’ Mereka menjawab, ‘Sesungguhnya kami mengingkari agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya.’ Maka Kami binasakan mereka, maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu.” (az-Zukhruf: 21—25)
Al-Imam asy-Syaukani t, sebagaimana dinukil oleh asy-Syaikh Muqbil bin Hadi t, mengatakan, “Ayat-ayat ini adalah dalil terbesar tentang batil dan jeleknya taklid. Sebab, sesungguhnya orang-orang yang taklid ini, mengamalkan ajaran agama mereka hanyalah dengan pendapat para pendahulu mereka yang diwarisi secara turun-temurun. Apabila datang seorang juru dakwah yang mengajak mereka keluar dari kesesatan, kembali kepada al-haq, atau menjauhkan mereka dari kebid’ahan yang mereka yakini dan warisi dari para pendahulu mereka itu tanpa didasari dalil yang jelas—hanya berdasarkan katanya dan katanya—, mereka mengatakan kalimat yang sama dengan orang-orang yang biasa bermewah-mewah, ‘Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka.’ Atau ungkapan lain yang semakna dengan ini.”
Firman Allah subhanahu wa ta’ala,
“Mereka menjadikan pendeta-pendeta dan ahli-ahli ibadah mereka sebagai Rabb selain Allah.” (at-Taubah: 31)
Maksudnya, mereka menjadikan para ulama dan ahli ibadah di kalangan mereka sebagai Rabb selain Allah subhanahu wa ta’ala. Artinya, ketika para ulama dan ahli ibadah itu menghalalkan untuk mereka apa yang diharamkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala, mereka mengikuti penghalalan tersebut. Ketika mereka mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala, mereka juga mengikuti pengharaman tersebut. Bahkan, ketika para ulama dan ahli ibadah tersebut menetapkan suatu syariat yang baru dalam agama mereka yang bertentangan dengan ajaran para rasul itu, mereka juga mengikutinya.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Patung-patung apakah ini yang kalian tekun beribadah kepadanya? Mereka menjawab, ‘Kami dapati bapak-bapak kami menyembahnya’.” (al-Anbiya’: 52—53)
Perhatikanlah bagaimana jawaban yang mereka berikan. Walhasil, taklid ini menghalangi mereka untuk menerima kebenaran, sebagaimana disebutkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala,
“Sesungguhnya kami mengingkari agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya.” (az-Zukhruf: 24)
Para ulama menjadikan ayat-ayat ini dan yang semakna sebagai hujjah (pedoman hukum) tentang batilnya taklid. Bukan halangan bagi mereka untuk berhujjah dengan ayat ini meskipun ayat ini berbicara tentang orang-orang kafir. Sebab, kesamaan yang terjadi bukan pada kekufuran satu golongan atau keimanan yang lain, tetapi kesamaannya adalah bahwa taklid itu terjadi karena keduanya sama-sama mengikuti suatu keyakinan atau pendapat tanpa hujjah atau dalil yang jelas.
Demi Allah Yang Mahaagung, sesungguhnya kaum muslimin itu, ketika benar-benar sebagai kaum muslimin yang sempurna dan benar keislaman mereka, keadaan mereka senantiasa mendapat pertolongan serta menjadi pahlawan-pahlawan yang membebaskan berbagai negara dan menundukkannya di bawah kedaulatan muslimin.

Akan tetapi, ketika mereka mengubah-ubah perintah-perintah Allah subhanahu wa ta’ala, maka Allahsubhanahu wa ta’ala pun memberi balasan kepada mereka dengan mengganti nikmat-Nya kepada mereka, serta menghentikan kekhalifahan yang ada di tangan mereka. Inilah kenyataan yang kita saksikan dan kita rasakan.
Al-‘Allamah al-Ma’shumi mengatakan bahwa termasuk yang berubah adalah adanya prinsip dan keharusan seorang muslim bermazhab dengan satu mazhab tertentu serta bersikap fanatik meskipun dengan alasan yang batil. Padahal mazhab-mazhab ini baru muncul sesudah berakhirnya masa tiga generasi terbaik umat ini. Akhirnya dengan bid’ah ini, tercapailah tujuan lblis memecah-belah kaum muslimin, kita berlindung kepada Allah subhanahu wa ta’ala dari hal itu.
Beliau juga mengatakan bahwa pendapat yang menyatakan harusnya seseorang bermazhab dengan satu mazhab tertentu sesungguhnya dibangun di atas satu kepentingan politik tertentu, serta ambisi-ambisi atau tujuan pribadi. Sesungguhnya mazhab yang haq dan wajib diyakini serta diikuti adalah mazhab junjungan kita Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang merupakan imam yang agung yang wajib diikuti, kemudian para al-Khulafa’ ar-Rasyidin.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Dan apa-apa yang datang dari Rasul kepadamu maka ambillah dia, dan apa yang kamu dilarang mengerjakannya maka jauhilah!” (al-Hasyr: 7)

Adapun yang dimaksud dengan Sunnah al-Khulafa’ ar-Rasyidin yang harus diikuti tidak lain adalah jalan hidup mereka yang sesuai dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Wallahu a’lam bish-shawab.

(ditulis oleh al-Ustadz ldral Harits)

Sumber Bacaan:1. Jami’ Bayanil ‘llmi wa Fadhlihi, lbnu ‘Abdil Barr
2. Riyadhul Jannah, asy-Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i
3. Hadiyyatus Sulthan, Muhammad Sulthan al-Ma’shumi
4. al-Hadits Hujjatun Binafsihi, asy-Syaikh al-Albani
5. Ma’na Qaulil Imam al-Muththalibi, as-Subki
6. lrsyadun Nuqqad, al-Imam ash-Shan’ani
7. al-Mudzakkirah, asy-Syinqithi
8. al-lhkam, lbnu Hazm
9. al-lhkam, al-Amidi.
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. BERITA SUNNAH - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger