{قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ ويَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ، وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ}

Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah (sunnah/petunjuk)ku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS Ali ‘Imran:31)

Sambutlah Bulan Ramadhan Dengan Takwa Dan Taubat Yang Benar

Abu Fathan | 02:30 | 0 comments
Oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz

Bulan yang sangat kita rindukan kedatangannya sebentar lagi akan datang. Ya, bulan Ramadhan, bulan penuh barakah, bulan yang memiliki banyak keutamaan. Sebagai seorang Muslim, tentu kita sudah mulai mempersiapkan diri untuk menyongsong tamu agung itu. Kita mestinya sudah mulai menyiapkan diri kita agar bisa memaksimalkan momen istimewa ini untuk memperbaiki diri dan menyiapkan bekal keidupan akhirat. Kita tentu tidak ingin momen berharga ini lewat begitu saja. Alangkah ruginya dan alangkah ruginya, jika itu terjadi. Sebab belum tentu kita bisa menjumpai Ramadhan berikutnya dalam keadaan hidup. Betapa banyak orang yang hidup disekitar kita pada bulan Ramadhan tahun lalu, tapi kini mereka sudah tidak ada lagi, tidak ada lagi kesempatan mereka untuk memperbaiki diri dan memperbanyak bekal akhirat. Jangankan menunggu satu tahun, bulan Ramadhan yang tinggal beberapa hari ini pun belum tentu kita gapai. Ya, Allah, hanya kepada-Mu kami memohon, panjangkanlah usia kami sehingga bisa beribadah kepada-Mu di bulan Ramadhan ini.

Berkenaan dengan bulan Ramadhan ini, kami menyajikan kehadapan para pembaca nasehat Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Abdirrahman bin Baz rahimahullah. Nasehat ini beliau sampaikan ketika beliau rahimahullah diminta untuk itu menjelang kedatangan bulan Ramadhan. Akhirnya, kami berharap semoga nasehat ini bisa bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi kaum Muslimin umumnya. Berikut adalah nasehat beliau rahimahullah.
_______________________________________________________________________

Nasehat saya kepada seluruh kaum Muslimin, hendaklah mereka senantiasa bertaqwa kepada Allâh Azza wa Jalla . Hendaklah mereka menyambut kedatangan bulan (Ramadhân) yang agung ini dengan benar-benar bertaubat dari segala dosa. Hendaklah mereka menyambutnya dengan berusaha memahami agama mereka dan mempelajari hukum-hukum yang berkaitan dengan ibadah puasa serta qiyâmul lail (shalat malam) mereka. Berdasarkan sabda Rasûlullâh Shallallahu’alaihi wa sallam:

مَنْ يُرِدْ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ

Barangsiapa dikehendaki baik oleh Allâh Azza wa Jalla , maka Dia Azza wa Jalla memberikan kepadanya pemahaman tentang dien [2]

Juga sabda Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam:

إِذَا دَخَلَ رَمَضَانُ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ جَهَنَّمَ وَسُلْسِلَتْ الشَّيَاطِينُ

Apabila bulan Ramadhân sudah tiba, maka pintu-pintu surga dibuka dan pintu-pintu neraka Jahannam ditutup serta setan-setan dibelenggu [3]

Juga berdasarkan sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

إِذَا كَانَ أَوَّلُ لَيْلَةٍ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ صُفِّدَتْ الشَّيَاطِينُ وَمَرَدَةُ الْجِنِّ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ فَلَمْ يُفْتَحْ مِنْهَا بَابٌ وَفُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ فَلَمْ يُغْلَقْ مِنْهَا بَابٌ وَيُنَادِي مُنَادٍ يَا بَاغِيَ الْخَيْرِ أَقْبِلْ وَيَا بَاغِيَ الشَّرِّ أَقْصِرْ وَلِلَّهِ عُتَقَاءُ مِنْ النَّارِ وَذَلكَ كُلُّ لَيْلَةٍ

Jika malam pertama bulan Ramadhân sudah tiba, maka setan-setan dan jin nakal dibelenggu, pintu-pintu neraka Jahannam ditutup tidak ada satu pun yang terbuka, pintu-pintu surga dibuka, tidak ada satu pun yang tertutup. Kemudian ada malaikat yang menyeru, "Wahai para pencari kebaikan, menghadaplah (ke Allâh Azza wa Jalla dengan memperbanyak ketaatan) ! Wahai para pelaku keburukan, berhentilah ! Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla memiliki banyak hamba yang dibebaskan dari siksa api neraka. Itu terjadi setiap malam (bulan Ramadhân) [4]

Rasûlullâh Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Barangsiapa melakukan ibadah puasa karena rasa iman dan mengharapkan pahala dari Allâh Azza wa Jalla, maka dosanya yang telah lewat terampuni. Barangsiapa melakukan ibadah shalat malam karena rasa iman dan mengharapkan pahala dari Allâh Azza wa Jalla, maka dosanya yang telah lewat diampuni. Barangsiapa melakukan ibadah shalat malam pada malam al-qadar karena rasa iman dan mengharapkan pahala dari Allâh Azza wa Jalla, maka diampuni dosanya yang telah lewat .[5]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :

قَالَ اللَّهُ كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلَّا الصِّيَامَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ وَالصِّيَامُ جُنَّةٌ وَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلَا يَرْفُثْ وَلَا يَصْخَبْ فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي امْرُؤٌ صَائِمٌ وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْـمِسْكِ لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ يَفْرَحُهُمَا إِذَا أَفْطَرَ فَرِحَ وَإِذَا لَقِيَ رَبَّهُ فَرِحَ بِصَوْمِهِ

Allâh Azza wa Jalla berfirman, "Semua amal kebaikan Bani Adam itu adalah miliknya, kecuali puasa. Karena puasa itu milik-Ku dan Saya yang memberikannya balasan. Puasa itu merupakan tameng. Jika salah diantara kalian sedang menjalankan ibadah puasa, maka janganlah dia berkata keji dan berteriak-teriak. Jika ia dicela oleh seseorang atau memeranginya, maka hendaklah dia mengatakan, "Saya sedang menjalankan ibadah puasa." Demi jiwa Muhammad yang ada di tangan-Nya, sungguh bau mulut orang yang sedang menjalankan ibadah puasa lebih wangi daripada minyak misik di sisi Allâh Azza wa Jalla. Orang yang menjalankan ibadah puasa memiliki dua kebahagiaan (yaitu) jika dia berbuka, dia bahagia dan ketika berjumpa dengan Rabbnya, dia bahagia dengan ibadah puasanya. [6]

Juga sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

Orang yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan perbuatan dusta, maka Allâh Azza wa Jalla sama sekali tidak butuh terhadap puasa orang itu. [7]

Jadi wasiat saya kepada seluruh kaum Muslimin, hendaklah mereka senantiasa bertaqwa kepad Allâh Azza wa Jalla dan berusaha memelihara ibadah puasa mereka dari semua perbuatan maksiat. Hendaklah mereka bersungguh-sungguh dalam melakukan kebaikan serta berlomba-lomba melakukan beragam kebaikan seperti bershadaqah, memperbanyak intensitas bacaan al-Qur'ân, tasbîh, tahlîl, tahmîd, takbîr serta istigfâr. Karena bulan (Ramadhân) ini adalah bulan al-Qur'ân:

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ

(beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhân, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur'ân sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). [al-Baqarah/2:185]

Oleh karena itu, disyari'atkan bagi kaum Muslimin, laki-laki maupun perempuan untuk bersungguh-sungguh membaca al-Qur'ân, diwaktu siang maupun malam. Setiap satu hurup bernilai satu kebaikan dan satu kebaikan dibalas dengan sepuluh kali lipat, sebagaimana diberitakan oleh nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Semangaat melakukan kebaikan ini) harus disertai semangat untuk menjauhi semua bentuk keburukan dan perbuatan maksiat, (juga harus diiringi semangat untuk) saling menasehati dengan kebenaran, amar ma'ruf dan nahi mungkar.

Bulan Ramadhân ini merupakan bulan yang dilipatgandakan (nilai) amal kebaikan di dalamnya, begitu pula balasan keburukan. Oleh karena itu, seorang Muslim berkewajiban untuk bersungguh-sungguh dalam menunaikan kewajiban yang Allâh Azza wa Jalla bebankan kepadanya serta menjauhi semua yang Allâh Azza wa Jalla haramkan. Dan hendaklah perhatiannya (terhadap kewajiban dan larangan itu-pent) pada bulan Ramadhân lebih ditingkatkan lagi. Sebagaimana juga disyari'atkan bagi seorang Muslim untuk bersungguh-sungguh dalam melaksanakan berbagai amal kebaikan seperti bershadaqah, mengunjungi orang sakit, mengantarkan jenazah (ke kuburan), menyambung tali silaturrahmi, baca al-Qur'an, membaca tasbîh, tahlîl, tahmîd, istigfâr, doa dan beragam kebaikan lainnya. Dia (melakukan itu, karena-pent) berharap bisa meraih pahala dari Allâh Azza wa Jalla dan karena takut terhadap siksa-Nya. Kami memohon kepada Allâh Azza wa Jalla, semoga Allâh Azza wa Jalla memberikan taufiq-Nya kepada seluruh kaum Muslimin menuju keridhaan-Nya. Kami juga memohon kepada-Nya agar memanjangkan umur kita sehingga bisa melaksanakan ibadah puasa dan qiyâmul lail (shalat malam atau terawih-pent) dengan dilandasi keimanan dan keinginan meraih pahala-Nya. Sebagaimana juga kami memohon kepada Allâh Azza wa Jalla, semoga Allâh Azza wa Jalla memberikan kepada kami dan seluruh kaum Muslimin pemahaman terhadap agama ini, keistiqâmahan serta terhindar dari segala yang bisa mendatangkan murka dan siksa Allâh Azza wa Jalla . Kami memohon kepada Allâh Azza wa Jalla, semoga Allâh Azza wa Jalla memberikan taufiq-Nya kepada para penguasa kaum Muslmin; Semoga Allâh Azza wa Jalla senantiasa memberikan hidayah kepada mereka, memperbaiki kondisi mereka serta memberikan taufiq kepada mereka supaya menerapkan syari'at-syari'at Allâh Azza wa Jalla dalam semua aspek kehidupan, sebagai perwujudan dari firman Allâh Azza wa Jalla :

وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ

Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allâh [al-Mâidah/5:49]

Juga firman-Nya :

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ

Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allâh bagi orang-orang yang yakin ? [al-Mâidah/5:50]

Juga firman-Nya :

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, lalu mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. [an-Nisâ/4:65]

Juga firman-Nya :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allâh dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allâh (al-Qur'ân) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allâh dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. [ an-Nisâ/4:59]

Juga firman-Nya :

قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ

Katakanlah: "Taat kepada Allâh dan taatlah kepada rasul [ an-Nûr/24:54]

Juga firman-Nya :

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah, dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumnya. [Hasyr/59:7]

Inilah beberapa kewajiban kaum Muslimin juga para pemimpin mereka. Para penguasa dan para Ulama (juga) wajib bertaqwa kepada Allâh Azza waa Jalla, tunduk kepada syari'at-Nya serta menerapkannya dalam kehidupan mereka. Karena dengan syari'at Allâh (kita akan meraih) kebaikan, hidayah, hasil akhir yang terpuji, keridhaan Allâh Azza wa Jalla , kebenaran serta dengan syari'at ini (kita bisa) menghindari tindakan kezhaliman.

Kami memohon kepada Allâh Azza wa Jalla , semoga memberikan petunjuk, niat dan amal perbuatan yang baik.

وصلى الله وسلم على نبينا محمد وعلى أله وأصحابه أجمعين

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XV/Syaban 1432/2011M.]
_______
Footnote
[1]. Diterjemahkan dari Majmû' Fatâwâ wa Maqâlâtu Mutanawwi'ah, 15/51-55
[2]. HR Imam Bukhari, dalam Kitâbul 'Ilmi, Bâb Man Yuridillâhu bihi Khairan Yufaqqihhu fid Dîn, no. 71 dan Riwayat Imam Muslim, Kitâbuz Zakat, Bâb an-Nahyu 'anil Mas'alah, no. 1037
[3]. HR Imam Bukhari, dalam Kitâbu Bad'il Khalq, Bâb Shifati Iblîs wa Junûduhu,, no. 3277 dan Riwayat Imam Muslim, Kitâbus Shiyâm, Bâb Fadhli Syahri Ramadhân, no. 1079
[4]. HR. Tirmidzi dalam Kitabus Shaum, Bâb Ma Ja'a fi Fadhli Syahri Ramadhân, no. 682 dan Ibnu Majah, Kitabus Shiyam, Bâb Ma Ja'a fi Fadhli Syahri Ramadhân, no. 1642
[5]. HR Imam Bukhari, dalam Kitâbus Shaum, Bâb Man Shâma Ramadhân Îmânan wa ihtisâban, no. 1901 dan Riwayat Imam Muslim, Kitâbus Shalâtil Musâfirîn wa Qashrihâ, Bâb at-Targhîb fî Shiyâmi Ramadhân, no. 760
[6]. HR Imam Bukhari, no. 7492 dan Riwayat Imam Muslim, no.1151
[7]. HR Imam Bukhari, kitab as-Shaum, Bab Man Lâm Yada' Qaulaz Zûri wal 'Amala bihi, no. 1903

Nasehat Asatidz Lombok Terkait Situasi Politik dan Pilpres 2014 di Indonesia

Abu Fathan | 04:30 | 0 comments

Prolog

Perhelatan politik dan pilpres di Indonesia tercinta tahun ini, benar-benar telah menyita fokus dan perhatian kaum muslimin dari berbagai elemen dan lapisan masyarakat. Padahal yang demikian ini, tidak terjadi pada Pemilu-Pemilu sebelumnya.
Tidak bisa dipungkiri, bahwa dialog dan perdebatan dalam masalah Politik dan Pemilu ini, ditambah lagi dengan isu-isu dan berita-berita media yang sarat akan kepentingan kubu politik tertentu, menjadikan topik Pemilu sangat rentan menimbulkan pertikaian dan perpecahan di tubuh kaum muslimin Indonesia.
Sementara perpecahan—di satu sisi—, serta tercerai-berainya persatuan Islam dan kaum muslimin, tidak diragukan lagi merupakan musibah yang sangat besar. Lebih besar lagi, manakala perpecahan itu menimpa ahlussunnah. Dampaknya, dakwah akan melemah, jika tidak dikatakan mandeg. Akibatnya, pembenahan dan pembangunan ummat akan melambat, jika tidak dikatakan jalan ditempat, atau bahkan mundur sampai ke titik nadir.
Ada banyak ayat yang memerintahkan kita untuk senantiasa bersatu di atas al-haq, demikian halnya dengan ayat-ayat yang melarang keras perpecahan. Di antaranya adalah:
وَلاَ تَكُونُواْ كَالَّذِينَ تَفَرَّقُواْ وَاخْتَلَفُواْ مِن بَعْدِ مَا جَاءهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَأُوْلَـئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.” [Ali Imran: 105]
وَأَطِيعُواْ اللّهَ وَرَسُولَهُ وَلاَ تَنَازَعُواْ فَتَفْشَلُواْ وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ وَاصْبِرُواْ إِنَّ اللّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
“Dan ta`atlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kalian berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu, dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” [al-Anfâl: 46]
إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَن يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاء…
“Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kalian…” [al-Mâ-idah: 46]
Berdasarkan ayat-ayat di atas, maka bisa dipahami bahwa menjauhkan ummat dari sebab-sebab perpecahan dari al-haq, adalah salah satu maksud syari’at yang terbesar. Sebagaimana persatuan di atas al-haq, serta mengerahkan segenap daya upaya untuk mewujudkannya, merupakan salah satu tujuan syari’at Islam yang paling agung.
Untuk itu, dengan mengharap keridhaan Allâh kepada segenap kaum muslimin dan kepada Indonesia tercinta secara khusus, maka kami menyampaikan poin-poin nasehat berikut ini:

Pertama: Senantiasa bertakwa pada Allâh dan bersabar dalam ketakwaan di setiap waktu dan keadaan.

Propaganda media, telah menggambarkan masa depan yang suram bagi Islam di Indonesia. Isu-isu yang tidak jelas, telah menjadikan kaum muslimin dilingkupi rasa takut yang berlebihan, menjadikan sebagian mereka bertindak di luar koridor, anehnya, itu semua mengatasnamakan kondisi darurat. Padahal dengan takwa, berbagai macam malapetaka, ketakutan dan kesedihan akan lenyap. Karena perlindungan Allâh dan akhir yang baik akan selalu bersama orang-orang bertakwa:
وَنَجَّيْنَا الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ
“Dan Kami selamatkan orang-orang yang beriman dan mereka adalah orang-orang yang bertakwa.” [QS. Fushilat: 18]
Dengan takwa yang dibingkai dengan kesabaran, makar musuh-musuh Islam dan tipu daya para pendengki kaum muslimin, tak akan mendatangkan mudarat. Karena Allâh berfirman:
وَإِنْ تَصْبِرُوا وَتَتَّقُوا لا يَضُرُّكُمْ كَيْدُهُمْ شَيْئًا إِنَّ اللَّهَ بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطٌ
Jika kamu bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka (musuh-musuh Islam) sedikitpun tidak mendatangkan kemudharatan kepadamu. Sesungguhnya Allah mengetahui segala apa yang mereka kerjakan.” [Ali Imran: 120]
Renungkanlah firman Allâh, ketika menggambarkan situasi dan ancaman nyata yang amat mencekam terhadap Bani Israil, saat:
“Fir’aun berkata: ‘Akan kita bunuh anak-anak lelaki mereka dan kita biarkan hidup perempuan-perempuan mereka dan sesungguhnya kita berkuasa penuh di atas mereka’”. [QS. Al-A’râf: 127]
Kemudian apa kata Musa ‘alahissalâm di saat-saat realita genting yang menakutkan tersebut ada di depan mata?
“Musa berkata kepada kaumnya: “Mohonlah pertolongan kepada Allah dan bersabarlah; sesungguhnya bumi (ini) kepunyaan Allah; dipusakakan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya. Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa“. [QS. Al-A’râf: 128]
Sungguh, kondisi kita saat ini (Pemilu 2014 di Indonesia) sangatlah jauh dari realita teror yang memberikan ancaman nyata terhadap Bani Israil saat itu. Lantas, atas dasar apa kita mengatakan bahwa kondisi kaum muslimin Indonesia saat ini berada dalam status gawat darurat? Mengapa kita harus disibukkan dengan isu-isu politik yang sarat akan intrik dan kepentingan golongan, sehingga kita harus melabrak rambu-rambu Allâh dan Rasul-Nya?
Dengan takwa, yaitu iman dan amal shalih, kepemimpinan Islam akan diraih, agama ini akan menjadi kokoh, ketakutan akan berganti dengan rasa aman. Ini sudah menjadi janji Allâh dalam firman-Nya:
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agamayang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa. (Syaratnya) Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku…” [QS. An-Nûr: 55]
Pada momen-momen perpolitikan yang semakin memanas saat ini, fitnah—khususnya perpecahan dan pertikaian—tengah berkecamuk dan ikut memanas. Di saat-saat seperti inilah, kita dituntut untuk semakin meningkatkan ketakwaan kita pada Allâh. Bukan justru terjun ke medan fitnah (sekalipun dengan alasan ingin memadamkan api fitnah) atau ikut andil menjadi agen penebar fitnah di tengah ummat. Perbuatan yang demikian ini, adalah bukti ketidaksabaran di atas takwa.
Saat fitnah ini kian memanas, mari mendinginkannya dengan ibadah kepada Allâh. Mari mengajak ummat untuk lebih mengokohkan ibadah mereka. Renungkanlah sabda Rasûlshallallâhu ‘alaihi wasallam:
العِبَادَةُ فِي الْهَرَجِ كَهِجْرَةٍ إِلَيَّ
“Ibadah di saat huru-hara fitnah, nilainya seperti hijrah menuju aku.” [Shahih Muslim]
Al-Imâm an-Nawawi rahimahullâh mengatakan:
المراد بالهرج هنا الفتنة واختلاط أمور الناس، وسبب كثرة فضل العبادة فيه أن الناس يغفلون عنها ويشتغلون عنها، ولا يتفرغ لها إلا أفراد
“Yang dimaksud al-haroj di sini adalah fitnah, kekacauan dan kesimpangsiuran yang terjadi di masyarakat. Adapun besarnya fadhilah ibadah pada saat-saat seperti itu, disebabkan manusia sudah pada lalai dari ibadah, mereka sibuk dengan fitnah hingga melupakan ibadah, mereka tidak menyibukkan diri dengan ibadah, kecuali segelintir orang saja.” [Syarh Shahïh Muslim, an-Nawawi]

Kedua: Dakwah tauhid & sunnah adalah sebesar-besar bentuk ikhtiar, maka jangan sampai politik menyibukkan kita darinya

Mengajak pada Allâh, merupakan bentuk ikhtiar terbesar yang bisa kita lakukan demi masa depan Islam di Indonesia yang lebih baik. Janganlah seorang muslim menuduh saudaranya yang sibuk dalam dakwah tauhid dan sunnah, bahwa dia tidak peduli dengan kondisi ummat di negeri ini. Justru mencurahkan seluruh energi dan pikiran untuk dakwah tauhid dan sunnah, merupakan bentuk kepedulian terbesar atas kondisi ummat. Karena dakwah tauhid dan sunnah akan menjadikan ummat bergerak melakukan perubahan pada diri dan keluarga mereka masing-masing, dan inilah kunci perubahan masyarakat yang hakiki.
“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” [QS. Ar-Ra’du: 11]
Sejarah perjuangan dakwah Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wasallam seharusnya cukup menjadi pelajaran bagi kita. Selama 13 tahun beliau berdakwah dan membangun ummat di bawah terror dan intimidasi kafir Quraisy, tidak sedikit pun beliau tertarik dengan perpolitikan (non-syar’i) di Dârun Nadwah. Padahal, beliau punya peluang dan posisi tawar secara politik, manakala tokoh-tokoh kafir Quraisy menawarkan kedudukan sebagai pemimpin. Namun apa sikap yang beliau tempuh? Beliau memilih konsisten di jalan dakwah dan membenahi ummat dari dasar.

Ketiga: Berdo’a pada Allâh untuk pemimpin Indonesia yang terbaik.

Baik Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK, semuanya adalah muslim, walhamdulillâh. Seorang ulama bisa saja berijtihad memilih mana yang terbaik dari kedua pasangan tersebut berdasarkan analisa informasi dan data-data yang dimilikinya. Namun, seorang alim sekaliber apapun, tidak boleh memastikan “ini yang terbaik” bagi masa depan Islam di Indonesia. Jika para alim ulama dan cendikiawan besar sekalipun tidak boleh memastikan hal ini, apalagi orang-orang awam di antara kita..?! Karena betapa banyak realita dan fakta yang menunjukkan bahwa pilihan kita—yang kita anggap lebih masalahat—terkadang menjadi bumerang dan mudarat di kemudian hari.
وَعَسَى أَن تَكْرَهُواْ شَيْئاً وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ وَعَسَى أَن تُحِبُّواْ شَيْئاً وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ وَاللّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
“…Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” [QS. Al-Baqarah: 216]
Untuk itu, kaum muslimin tidak boleh melupakan do’a ke hadirat Allâh, agar menjadikan untuk Islam dan kaum muslimin di negeri ini pemimpin yang terbaik. Karena Allâh, Dialah al-‘Alïm al-Khobïr, Dzat yang Mahamengetahui setiap detail perkara yang akan terjadi di masa depan, yang Mahamengilmui tentang segenap maslahat dan mudarat—dari yang terkecil sampai yang terbesar—bagi Muslim Indonesia di masa depan. Dialah al-Lathïf al-Hakïm, Dzat yang Mahalembut dan Mahabijak dalam menetapkan takdir dan ketentuan yang terbaik bagi Muslim Indonesia.
Dengan do’a, sangat mungkin Allâh akan merubah keadaan seorang pemimpin dari buruk menjadi baik dan justru mendatangkan maslahat yang besar di kemudian hari. Sebagaimana tanpa do’a, sangat mungkin Allâh akan merubah keadaan seorang pemimpin yang kita idolakan dan harapkan, justru menjadi lebih buruk serta mendatangkan mudarat.
Selanjutnya di antara do’a yang bisa kita amalkan untuk saat ini adalah:
اللَّهُمَّ لَا تُسَلِّطْ عَلَيْنَا بِذُنُوْبِنَا مَنْ لَا يَخَافُكَ فِيْنَا وَلَا يَرْحَمُنَا
“Ya Allâh, dikarenakan dosa-dosa kami, janganlah Engkau kuasakan orang-orang yang tidak takut kepada-Mu atas kami dan tidak pula mereka welas asih kepada kami.”
Atau do’a Abu Hurairah radhiallâhu’anhu berikut ini:
اللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُبِكَ مِنْ إِمَارَةِ الصِّبْيَانِ وَالسُّفَهَاء
“Ya Allâh, sungguh kami berlindung kepada-Mu dari pemimpin yang kekanak-kanakan dan dari pemimpin yang bodoh.” [HR. al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad, dari Sa’ïd bin Sam’ân]

Keempat: Jangan disibukkan dengan berita-berita media terkait perhelatan politik terkini dari ilmu dan dakwah.

Jangan sampai koran lebih menarik untuk ditelaah ketimbang al Qur’an. Jangan sampai info-info yang berseliweran di Facebook, Twiter dan jejaring sosial lainnya menyibukkan kita dari kewajiban-kewajiban asasi kita selaku hamba Allah.
Sungguh aneh, jika seorang “Salafy” yang terdidik kental di atas prinsip tastabbut dan tabayyun, kritis dan selektif dalam menerima suatu hadits, tiba-tiba saja jadi seorang reporter dadakan yang menyebarkan berita yang dipungutnya dari berbagai tempat tanpa perduli akan tingkat kebenaran berita tersebut. Yang penting, berita tersebut mendukung capres idolanya, dan mendiskreditkan capres lawan.
Hendaknya kita ingat selalu sabda Rasulullah:
كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ. صحيح الجامع: ٤٤٨٢
قال المناوي رحمه الله تعالى: “أي إذا لم يتثبت لأنه يسمع عادة الصدق والكذب فإذا حدّث بكل ما سمع لا محالة يكذب…”
“Cukuplah seseorang dikatakan berdusta, jika ia menyampaikan semua berita yang ia dengar (tanpa tastabbut).” [Shahihul Jami': 4482]
Berkata al-Munâwi rahimahullâh: “yang dimaksud qïla wa qôla (dalam hadits tersebut) adalah; manakala berita yang dinukil belum ia pastikan kebenarannya, karena terkadang dia mendengar berita yang benar dan terkadang berita yang dusta. Jika dia menyampaikan semua apa yang ia dengar, maka pasti dia akan jatuh ke dalam dusta…”
وَكَانَ يَنْهَى عَنْ قِيْلَ وَقَالَ
“Nabi melarang desas-desus (sibuk menukil dan menyebarkan kabar burung).”[Shahihul Bukhari: 6108]

Kelima: Yakin dengan janji-janji Allâh dan sabar, akan melahirkan para pemimpin yang syar’i.

Tidak sedikit di antara aktifis dakwah yang tergesa-gesa, tidak sabar dalam dakwah. Tanpa sadar, mereka terfitnah dengan jumlah pengikut (followers) yang banyak. Begitu cepat mereka termakan isu media dan desas-desus yang disampaikan oleh para pengikutnya. Akhirnya, bertindaklah mereka dengan tindakan-tindakan yang menyebabkan mereka keluar dari arah perjuangan dakwah semula. Ini tentu tidak terjadi begitu saja, namun terjadi perlahan-lahan, sedikit demi sedikit, tanpa di sadari.
Ini semua adalah bukti kurangnya rasa yakin akan janji-janji Allâh dalam al-Qur’ân dan ketidaksabaran kita dalam menghadapi propaganda syaithon, yang selalu berusaha sekuat tenaga siang dan malam untuk mengendorkan kita dari dakwah. Padahal, yakin dan sabar adalah 2 modal terbesar untuk melahirkan pemimpin-pemimpin yang syar’i, sebagaimana firman Allâh:
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ
“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar, dan mereka meyakini ayat-ayat Kami.”[QS. As-Sajdah: 24]

Keenam: Jangan membeberkan aib seorang muslim apalagi jika dia adalah seorang pemimpin.

Dari lahiriyah yang kita ketahui, semua Capres-Cawapres Pemilu kali ini adalah muslim. Kita tidak dibenarkan untuk menelusuri apa yang tersembunyi dalam bathin seorang muslim, apakah dia mukmin atau munafik. Atas dasar ini, haram bagi seorang muslim untuk mencela saudaranya sesama muslim, dan inilah yang menjadi hukum asal.
Jika dipandang ada maslahat yang lebih besar ketimbang mudarat yang mungkin terjadi akibat membeberkan aib seorang muslim, maka ini boleh dilakukan, asalkan tetap pada koridor dan batasan-batasan yang telah dijelaskan oleh para ulama (seperti; tidak melampaui batas, sampai mengarah kepada pengkafiran, ini jelas keliru).
Namun jika seseorang tidak memiliki ilmu dan kemampuan dalam menimbang maslahat-mafsadat ketika mengghibah, maka kembalikanlah ke hukum asal, Insya Allâh ini lebih selamat bagi kita (penuntut ilmu dan orang awam). Tidak sepantasnya kita ikut sibuk dalam perkara-perkara yang hanya khusus menjadi haknya para ulama rabbani.
Jika muslim yang dighibahi tersebut kebetulan seorang pemimpin, maka keharaman menyebarkan aibnya lebih besar lagi. Jika tidak ada ulama rabbani yang berbicara menyebarkan aib seorang pemimpin, maka para penuntut ilmu dan orang-orang awam lebih utama untuk diam. Dan kita tidak dibebani oleh Allâh atas apa-apa yang tidak sanggup kita pikul. Dan sikap diam, sekali lagi, bukan berarti ketidakpedulian terhadap kondisi ummat.

Ketujuh: Taati pemimpin muslim yang telah berkuasa.

Capres-Cawapres manapun yang akan terpilih nantinya setelah Pemilu 2014 ini, maka kewajiban kita adalah mendengar dan taat pada perkara-perkara yang ma’ruf.
Jika pada suatu daerah atau propinsi tertentu kaum muslimin dipimpin oleh orang-orang kafir, maka orang pertama yang harus kita persalahkan adalah diri kita, kaum muslimin sendiri. Sebab, mustahil Allâh akan menguasakan orang kafir di atas kaum muslimin, jika bukan karena dosa-dosa dan kesalahan yang telah menggerus keimanan kita. Allâh telah berjanji kepada orang-orang yang sejati dalam keimanannya:
وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا
“Allâh sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasaiorang-orang beriman.” [QS. An-Nisaa: 141]
Pemimpin yang zhalim, tidak lahir kecuali dari rakyat yang zhalim. Karena Allâh berfirman:
وَكَذَلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضًا بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Dan demikianlah, Kami jadikan sebagian orang zhalim berkuasa atas sebagian mereka (yang juga zhalim) disebabkan apa-apa yang mereka usahakan (berupa maksiat dan kezhaliman).” [QS. Al-An’âm: 129]
Dalam tafsirnya, Al-A’masy rahimahullâh mengomentari ayat tersebut:
إذا فسد الناس أمّر عليهم شرارهم
“Jika manusia telah rusak, maka akan dijadikan untuk mereka pemimpin yang paling jahat di antara mereka.” [Dinukil Tafsïr ath-Thabari]
Jika sampai suatu daerah dipimpin oleh orang kafir, maka hal pertama yang harus kita lakukan adalah bertaubat kepada Allâh, dengan sebenar-benar taubat. Kemudian kembali merapatkan barisan dalam ilmu dan dakwah ke jalan Allâh, dengan penuh keikhlasan dan mengharap wajah Allâh semata.
SEBAGAI PENUTUP, kami berdo’a dan bermunajat kepada Allâh, Dzat yang di tangan-Nya seluruh kerajaan dan kekuasaan, agar tidak menjadikan pemimpin di negeri ini dari kalangan orang-orang kafir, munafik, atau antek-antek kafir dan munafik, atau boneka orang-orang kafir dan munafik beserta kaki tangan mereka. Semoga Allâh menjadikan para pemimpin Indonesia ke depan, adalah mereka yang dekat kepada Islam, yang dekat dan mencintai para ulama ahlussunnah, serta menyayangi kaum muslimin.
***
Disusun bersama oleh Forum Asatidz Lombok
Duduk dalam Forum tersebut para tetua Asatidz dan Tokoh-Tokoh Dakwah Salafiyyah Lombok, di antaranya:
Ust. Mukti Ali Abdulkarim, TGH. Mahsun, Abu Hakam Abdurrahman Hizam, Ust. Mizan Qudsiah, Ust. Fakhurddin Abdurrahman, Ust. Sofyan Bafin Zen, Ust. Zahid Zuhendra, Ust. Masyhuri Badran, Ust. Abdullah Husni, dan para asatidz lainnya…

Pentingnya Stabilitas Keamanan Dalam Islam

Abu Fathan | 22:45 | 0 comments
Oleh Syaikh Dr Muhammad Musa Alu Nashr

Stabilitas keamanan sangat erat hubungannya dengan keimanan. Ketika keimanan lenyap, niscaya keamanan akan tergoncang. Dua unsur ini saling mendukung. Allah Azza wa Jalla berfirman.

الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَٰئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ

"Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan dengan kezhaliman, mereka itulah orang-orang yang mendapatkan keamanan, dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk" [al-An'am/6 : 82]

Allah Azza wa Jalla memberikan jaminan kepada orang yang mengimani bahwa Allah adalah Rabbnya. Islam adalah agamanya dan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah nabiNya. Allah Azza wa Jalla memberikan jaminan akan memelihara keamanan serta keimanannya dan menetapkan hidayah baginya. Mereka itulah, insan-insan yang memperoleh keamanan serta mendapatkan hidayah dariNya.

Bagaimana mungkin seorang muslim dapat melaksanakan amalan sesuai dengan tuntunan petunjuk, jika ia merasa takut. Begitu pentingnya, sampai-sampai Nabi Ibrahim Alaihissallam memohon kepada Allah curahan keamanan sebelum meminta kemudahan rizki. Sebab orang yang didera rasa takut, tidak akan bisa menikmati lezatnya makan dan minum. Allah Azza wa Jalla menceritakan permohonan Nabi Ibrahim Alaihissallam dalam firman-Nya.

وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَٰذَا بَلَدًا آمِنًا وَارْزُقْ أَهْلَهُ مِنَ الثَّمَرَاتِ مَنْ آمَنَ مِنْهُمْ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ

"Dan (ingatlah) ketika Ibrahim bedo'a : Wahai, Rabbku, jadikanlah negeri ini negeri aman sentausa dan berikanlah rizki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman diantara mereka kepada Allah dan hari kemudian".[al-Baqarah/2 : 126]

Secara eksplisit, beliau mendahulukan permohonan keamanan daripada permohonan rizki. Dari sini, generasi Salaf telah memaklumi betapa mahal nilai keamanan. Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla benar-benar telah memberikan anugerah besar kepada bangsa Arab, (yaitu) dengan menjadikan tanah mereka sebagai tanah haram (suci), membebaskan mereka dari rasa ketakutan, memberi makan mereka dari kelaparan. Allah Azza wa Jalla berfirman.

فَلْيَعْبُدُوا رَبَّ هَٰذَا الْبَيْتِ﴿٣﴾الَّذِي أَطْعَمَهُمْ مِنْ جُوعٍ وَآمَنَهُمْ مِنْ خَوْفٍ

"Maka hendaklah mereka menyembah Rabb pemilik rumah ini (Ka'bah) yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan". [Quraisy/106 : 3-4]

Orang-orang yang meneriakan slogan untuk mewujudkan keamanan tanpa mengusung nilai-nilai Islam, tidak akan berhasil. Stabilitas keamanan hanya akan tercipta dengan kembali ke syari'at Islam, menegakkan hukum-hukum Islam dan mengaplikasikan etika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Dalam sebuah ayat, Allah menjanjikan orang-orang yang beriman -yang mengamalkan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah- untuk menggantikan rasa takut mereka dengan curahan rasa aman. Ingatlah janji Allah pasti terlaksana.

Allah Azza wa Jalla berfirman.

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَىٰ لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا ۚ يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا ۚ وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

"Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman diantara kamu dan mengerjakan amal-amal shalih bahwa Dia akan menjadikan mereka berkuasa dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama mereka yang diridhaiNya untuk mereka dan Dia benar-benar akan mengganti (keadaan) mereka sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembahKu dengan tiada mempersekutukan sesuatu pun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik". [an-Nur/24 : 55]

Jadi, cara penting yang harus ditempuh dalam menciptakan keamanan, (ialah dengan) menyebarkan dakwah menuju aqidah yang benar kepada umat manusia dan membasmi kesyirikan, besar maupun kecil. Dengan inilah akan tercapai janji Allah. Allah Azza wa Jalla tidak mengingkari janjiNya.

Keamanan dikumandangkan setiap individu, masyarakat dan negara. Sebab kehidupan mereka tidak akan normal, kecuali dengan terciptanya stabilitas kemanan.

Ada sekian mekanisme yang ditempuh berbagai negara demi terciptanya keamanan. Sebagian negara mempraktekkan bahasa pukulan, penganiayaan dan memaksakan kehendak kepada rakyat demi mengais kemanan. Pendekatan ini dikenal dengan diktatorisme. Sebaliknya, ada negara mengira dapat meraih keamanan dengan melepaskan kendali dan membebaskan para penjahat dan orang-orang perusak norma dengan slogan liberalisme. Negara lain mencoba merengkuh keamanan dengan pemanfaatan teknologi mutakhir dalam mendeteksi dan mengejar para pelaku kriminal.

Cara-cara diatas tidak efektif. Sebab kemanan yang hakiki hanya akan terwujud dengan menghidupkan spirit totalitas penghambaan kepada Allah Azza wa Jalla, menegakkan syari'at Allah Azza wa Jalla, menebarkan qaidah yang benar dan penanaman moral Islam. Ini akan memberikan pengekangan pada jiwa. Orang yang tidak takut kepada Allah Azza wa Jalla dan tidak memiliki rasa muraqabah (rasa selalu dalam pengawasan Allah,-red) kepada Allah, langkahnya tidak terbatas dan berhenti dihadapan larangan Allah Azza wa Jalla.

Bukankah hudud digariskan untuk mejaga keamanan masyarakat ? Bukankah mengqishash orang yang telah membunuh bertujuan untuk memelihara darah manusia ? Bukankah pemotongan tangan pencuri untuk menjaga harta milik umat ? Bukankah rajam ditegakkan untuk memelihara kehormatan ?

Allah Azza wa Jalla berfirman.

وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

"Dan dalam (pelaksanaan) qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertaqwa".[al-Baqarah/2 : 179]

Jadi, keamanan hanya akan tercipta dengan keimanan dan dengan realisasi mewujudkan nilai-nilainya dalam kehidupan bermasyrakat. Dalam menggambarkan pentingnya keamanan, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِيْ سِرْبِهِ مُعَافُى فِي جَسَدِهِ عِندَهُ قُوتُ يَوْمِهِ فَكَأَ نَمَا حِيزَتْ لَهُ الدُ نْيَا

"Barangsiapa merasa aman di tempat tinggalnya, tubuhnya sehat dan mempunyai bekal makan hari itu, seolah-olah dunia telah ia kuasai dengan keseluruhannya".[Hadits Riwayat Tirmidzi No. 2268]

Tolong sebutkan, adakah seorang pemimpin negara yang mampu menguasai seluruh dunia, atau seperempatnya saja. Tentu tidak ada ! Tetapi orang yang telah terpenuhi rasa aman, pangan dan papannya, seolah-olah ia telah menguasai dunia. Seolah-olah ia telah menguasai seluruh isi dunia. Maka bersyukurlah dengan nikmat keamanan. Sebab terciptanya keamanan dalam masyarakat menuntut rasa syukur. Dengan syukur, nikmat Allah Azza wa Jalla akan senantiasa didapatkan. Allah memerintahkan Nabi Dawud Alaihisallam untuk bersyukur.

Allah Azza wa Jalla berfirman.

اعْمَلُوا آلَ دَاوُودَ شُكْرًا ۚ وَقَلِيلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ

"Bekerjalah wahai keluarga Dawud untuk bersyukur (kepada Allah). Dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang berterima kasih".[Saba/34 : 13]

Allah Azza wa Jalla berfirman.

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ

"Jika kamu bersyukur, nscaya Aku benar-benar akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmatKu), maka sesungguhnya siksaKu sangat pedih".[Ibrahim/14 : 7]

Jika sebuah pemerintahan atau masyarakat benar-benar mencita-citakan terciptanya keamanan di lingkungannya, hendaknya mengacu kepada agama Allah Azza wa Jalla yang memberikan perhatian ekstra terhadapnya dalam banyak ayat. Sebenarnya ini telah disadari sebagian Lembaga Pemasyarakatan. Para nara pidana dianjurkan untuk masuk Islam, karena ditengarai akan memperbaiki akhlak mereka.

Ada Beberapa Hal Yang Dapat Mempengaruhi Terciptanya Keamanan.

1. Penyebaran Aqidah Yang Benar Kepada Umat.
Sebab, aqidah yang benar, iman dan tauhid akan menghalangi berkeliarannya orang yang bermaksiat, penjahat dan orang yang mengintimidasi. Islam telah menetapkan hukuman yang berat bagi orang yang mengancam keamanan masyarakat. Misalnya, hukuman untuk muharabah (memerangi Allah dan RasulNya dengan cara berbuat onar) sangat tegas dalam Al-Qur'an dan Sunnah.

إِنَّمَا جَزَاءُ الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الْأَرْضِ فَسَادًا أَنْ يُقَتَّلُوا أَوْ يُصَلَّبُوا أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ مِنْ خِلَافٍ أَوْ يُنْفَوْا مِنَ الْأَرْضِ ۚ ذَٰلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِي الدُّنْيَا ۖ وَلَهُمْ فِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ

"Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan RasulNya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atu disalib, atau dipotong tangan kanan dan kaki mereka dengan bertimbal balik atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar".[al-Ma'idah/5 : 33]

Inilah pidana muharabah bagi orang yang mengayunkan senjata, seperti orang yang melakukan pembajakan pesawat, pembunuhan, merampok harta orang, mengintimidasi masyarakat.

Tidak menegakkan syariat Allah Azza wa Jalla termasuk faktor terbesar runtuhnya keamanan.

2. Penegakan Shalat Juga Melahirkan Efek Balik Tertahannya Kemungkaran Dan Kekejian
Di antaranya akan mempertaruhkan keamanan. Allah Azza wa Jalla berfirman.

إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ

"Sesungguhnya shalat akan mampu mencegah dari perbuatan keji dan kemungkaran".[al-Angkabut/29 : 45]

Shalat akan mengatur seorang muslim menjadi hamba yang baik.

3. Membayar Zakat
Jika para orang kaya enggan membayar zakat, niscaya akan menimbulkan rasa iri dan dengki di kalangan orang miskin, mencuri hartanya, mencongkel rumahnya. Orang kaya pun tidak akan merasa aman dengan harta yang ia miliki. Dengan dibayarnya zakat, maka akan terjalin ukhuwah antara mereka.

4. Penegakkan Amar Ma'ruf Nahi Mungkar
Allah Azza wa Jalla berfirman.

وَلَوْلَا دَفْعُ اللَّهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَفَسَدَتِ الْأَرْضُ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ ذُو فَضْلٍ عَلَى الْعَالَمِينَ

"Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. Tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam".[al-Baqarah/2 : 251]

Juga firmanNya.

وَلَوْلَا دَفْعُ اللَّهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَهُدِّمَتْ صَوَامِعُ وَبِيَعٌ وَصَلَوَاتٌ وَمَسَاجِدُ يُذْكَرُ فِيهَا اسْمُ اللَّهِ كَثِيرًا

"Sekiranya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah dirobohkan biara-biara Nasharni, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut nama Allah".[al-Hajj/22 : 40]

Sehingga, amar ma'ruf nahi mungkar menjadi tonggak penting dalam mendukung terciptanya keamanan.

5. Penegakan Hukum Allah
Allah Azza wa Jalla berfirman.

وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

"Dan dalam (pelaksanaan) qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertaqwa". [al-Baqarah/2 : 179]

Utsman berkata: "Sesungguhnya Allah tidak menahan dengan penguasa apa yang tidak bisa ditahan oleh Al-Qur'an"

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

إِقَامَةُ حَدٍّ مِنْ حُدُودِ اللَّهِ خَيْرٌ مِنْ مَطَرِ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً

"Penegakkan satu hukum Allah lebih baik dari hujan selama empat puluh hari".[As-Shahihah No. 231]

6. Taat Kepada Pemimpin Negara Dalam Perkara Yang Bukan Maksiat, Tidak Mengobarkan Api Pembangkangan, Tidak Memprovokasi Rakyat, Tidak Melakukan Penghinaan Kepada Pemerintah, Ataupun Dengan Pembangkangan Secara Verbal Atau Dengan Takfir Sebelum Sampai Pada Level Pembangkangan Dengan Senjata.

Karena ini termasuk faktor dominan yang mengancam keamanan. Di beberapa komunitas, kita telah melihat fakta-fakta ini. Adapun madzhab Ahli Sunnah Wal Jama'ah, tidak memperkenankan melakukan pemberontakan (tidak taat) kepada mereka, kecuali jika mereka jelas terbukti kekufurannya dan memiliki kemampuan untuk menggantinya. Sedangkan dakwah Salafiyah adalah dakwah yang sarat dengan berkah, menyebarkan Islam, keselamatan dan keamanan. Pada masa ini, lokomotif dakwahnya ialah Syaikh Al-Albani, Syaikh Bin Baz dan Syaikh Al-Utsaimin. Mereka dengan tulisan, ucapan dan perguruannya telah menjadi gerbang keamanan. Betapa sering mereka, demikian juga kami memperingatkan akan fitnah ini.

7. Mentaati Ulama Rabbani Dan Selalu Berhubungan Dengan Mereka
Sebab, mereka merupakan pondasi keamanan masyarakat. Seharusnya, mereka selalu didepankan dan diminta bimbingannya.

Alangkah menyejukkan pemandangan di masjid yang terbesar di negara ini, menunjukkan adanya indikasi semangat untuk mencari ilmu dari ulama. Taatlah kepada ulama rabbani yang berada di atas manhaj Salafush Shalih sepanjang masa. Tradisi mereka selalu berkata berdasarkan firman Allah dan sabda Nabi, serta pedapat sahabat. Mereka adalah insan-insan yang mampu mendeteksi fitnah sebelum mengoyak umat. Mereka itulah ulama yang mampu mengendalikan emosi generasi muda yang ingin cepat menuai hasil. Mereka itulah yang harus diminta nasihat. Mereka adalah orang yang menasihati umat dengan jujur.

Semoga Allah Azza wa Jalla memelihara negara Islam dari tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab.

(Diangkat dari ceramah Syaikh Dr Muhamad Musa Alu Nashr, Tangal 5 Desember 2004 di Masjid Istiqlal Jakarta)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun VIII/1425H/2005M.]

Mengapa Musibah Terus Mendera?

Abu Fathan | 22:43 | 0 comments
Oleh Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid al Halabi

Pembaca budiman,
Alhamdulillah, kaum muslimin di negeri kita kembali mendapatkan muhibah Masyayikh Yordania, yaitu Fadhilatusy-Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid al-Halabi al-Atsari Hafizhahullah dan Fadhilatusy-Syaikh Salim bin Id al-Hilali Hafizhahullah.

Beliau berdua telah menyampaikan muhadharah dengan tema sebab-sebab turunnya musibah dan adzab,serta jalan keluarnya, dilangsungkan di Masjid Istiqlal, Jakarta, hari Sabtu 22 Muharram 1428H/10 Februari 2007M. Tema ini sengaja diangkat, untuk mengingatkan segenap kaum Muslimin, agar berintrospeksi diri, bahwa banyaknya musibah, tidak lain karena kebodohan terhadap din (agama) dan tidak mengetahui syari'at Rabbul 'Alamin. Sehingga untuk itu solusinya, tidak lain kecuali dengan ilmu dan selalu ber-ittiba kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Berikut ini adalah ceramah Fadhilatusy-Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid al-Halabi al-Atsari Hafizhahullah:

Sesungguhnya kami memuji Allah Tabaraka wa Ta'ala atas apa yang telah Dia siapkan, berupa kesempatan yang baik ini. Yaitu, kami berkumpul di dalam kesempatan ini dengan ikhwan kami seagama dan dalam satu manhaj (jalan); mengikuti Kitabullah, dan Sunnah Rasulullah, serta pemahaman para Salaf yang shalih. Walaupun kita berada dalam batas geografi yang berbeda, dan tempat yang saling berjauhan, namun kemuliaan manhaj ini, kesempurnaan dan kebaikannya, tidaklah memecah-belah antar kita. Maka, jadilah pertemuan ini dalam bagian sejumlah perjumpaan yang telah mengumpulkan kami bersama saudara-saudara kami di negara ini, sejak beberapa tahun yang lalu, lewat ceramah-ceramah dan kajian-kajian ilmiah bersama. Kami bersyukur kepada Allah Rabbil 'Alamin atas nikmat ini. Betapa berharganya kenikmatan ini.

Rasa terima kasih juga kami haturkan kepada orang-orang yang memiliki jasa (andil) yang diberkahi dalam mengatur dan menyiapkan pertemuan-pertemuan ini. Khususnya, saudara-saudara (panitia) atau Ta'mir Masjid Istiqlal yang telah memberikan kesempatan ini. Dan ini termasuk dalam bingkai saling menolong yang terpuji secara syar'i. Allah Ta'ala berfirman :

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa” [al- Maidah/5 : 2]

Maka kami ucapkan kepada mereka terima kasih yang banyak. Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَشْكُرُ اللَّهَ مَنْ لاَ يَشْكُرُ النَّاسَ

“Orang yang tidak bisa berterima kasih kepada manusia, dia tidak akan bisa bersyukur kepada Allah” [1]

Karena itu, ungkapan syukur kita kepada orang yang berhak menerimanya [2], merupakan bentuk syukur kepada Allah. Allah Ta'ala berfirman:

لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ

“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu” [Ibrahim/14 : 7].

Selanjutnya, syukur kita kepada Rabb kita, akan menambah nikmat Rabb kita kepada kita, dan memperbanyak karunia-Nya kepada kita. Allah Ta’ala berfirman:

وَمَا بِكُم مِّن نِّعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ

“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya)” [an-Nahl/16 : 53]

Dan sebagaimana firman-Nya:

وَإِن تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا

“Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya” [an-Nahl/16 :18]

Jauhnya jarak kita dari sikap syukur kepada Rabb, menjadi ukuran sejauh mana keburukan, celaka dan kesesatan serta perbuatan jelek yang melanda umat, sehingga Allah menimpakan adzab-adzab-Nya. Sebuah siksaan yang hampir-hampir tidak akan hilang, kecuali dengan kembali sepenuhnya kepada agama Allah, mensyukuri nikmat-Nya kembali, dan memperbaharui kepada keteguhan di atas perintah Allah Azza wa Jalla.

Karena, syukur nikmat merupakan sebab turunnya rahmat Allah, dan jalan menuju keridhaan-Nya. Sebaliknya, mengingkari nikmat menjadi faktor pencetus datangnya siksa dan merupakan jalan menuju kemurkaan-Nya. Selanjutnya, siksaan dan kemurkaan-Nya ini pasti akan menyebabkan umat menjadi lemah, terbelakang, dan terpuruk.

Orang yang melihat sembari merenung, dan orang yang memperhatikan sambil berpikir, akan menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bahwa kondisi umat ini, umat Islam, pada zaman ini, berada dalam kehinaan dan tidak lurus. Umat Islam berada atau hampir berada di bagian belakang kafilah, setelah dahulunya mereka menjadi pengendali dan terdepan [3]. Padahal, umat Islam adalah umat yang memiliki harta kekayaan, sumber daya manusia, fasilitas-fasilitas, kuantitas yang banyak, dan potensi-potensi.

Akan tetapi, kemunduran masih terus terjadi, menjadi umat yang paling rendah, terlemah dan terburuk. Mereka dikuasai (musuh), seolah-olah pedang berada di atas leher (mereka). Apakah sebabnya? Apakah penyakitnya? Dan apakah obat penyembuhnya?

Tidak mungkin yang menjadi penyakitnya adalah karena sedikitnya harta, atau kekurangan sumber daya manusia, maupun sedikitnya sumber penghasilan. Karena, semua ini melimpah. Jadi, apakah sebenarnya penyakit umat ini? Adakah jalan untuk mengetahui obatnya, hingga bisa dimanfaatkan, dan digunakan, selanjutnya kita pun bisa keluar dari keadaan-keadaan yang berat dan susah ini, keadaan yang buruk, yang sedang menyelimuti umat ini dan hampir-hampir tidak bisa lepas darinya, kecuali dengan curahan taufik Allah Azza wa Jalla bagi umat ini.

Wahai saudara-saudara seagama,
Kenyataannya memang pahit. Sesungguhnya, ada beberapa sebab dan bermacam-macam penyakit, hal itulah yang menjerumuskan umat ke dalam musibah-musibah, bencana-bencana dan ujian-ujian ini. Umat tidak akan dapat keluar dan melepaskan diri dari semua musibah ini, kecuali dengan taufik Allah Azza wa Jalla , dengan tambahan karunia dan kenikmatan dari-Nya.

Permasalahan besar seperti ini tidak mungkin diselesaikan secara parsial, hanya melalui seminar-seminar, ceramah, kajian, dengan satu atau beberapa kalimat. Semua ini kami sampaikan, untuk tujuan saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran, dalam rangka mengajak untuk berpegang teguh dengan tali Allah, dalam upaya menjalin ta'awun (saling menolong) di atas kebajikan dan takwa. Maka, kami ingin mengatakan sebagai peringatan, sesungguhnya sebab-sebab yang telah menjerumuskan umat ini ke dalam belitan bencana dan ujian ini banyak, bahkan sangat beragam. Akan tetapi, secara global bermuara pada dua bahaya besar yang telah menimpa agama umat ini. Padahal, agama merupakan sebab kelestarian umat ini, petunjuk bagi umat dalam menangani urusan mereka. Bila penyebab ini tiada, maka pengaruhnya pun sirna.

Saya hanya ingin menyebutkan dua penyakit saja, yang pertama adalah penyakit kebodohan, tidak mengerti din (agama); dan tidak mengetahui syari'at Rabbul 'Alamin. Saya akan menyebutkan sebagian dalil-dalil tentang hal ini, insya Allah.

Dalam Shahihain (dua kitab Shahih), Shahih Imam Bukhari dan Shahih Imam Muslim, dari sahabat yang agung, ‘Abdullah bin 'Amr bin al 'Ash, dia mengatakan: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْتَزِعُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا وَلَكِنْ يَقْبِضُهُ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يَبْقَ عَالِمٌ اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا فَيَسْتَفْتُوْهُمْ فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا

“Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu (dari manusia) secara langsung, tetapi Dia mencabut ilmu dengan mematikan ulama. Sehingga ketika tidak tersisa seorang 'alimpun, orang-orang mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh, lalu orang-orang bertanya kepada mereka, lalu mereka berfatwa tanpa ilmu, sehingga mereka sesat dan menyesatkan” [4]

Mereka (para pemimpin yang bodoh itu) menjadi orang-orang yang sesat atas ulah mereka ini. Tidak hanya sampai di sini saja, bahkan mereka juga menjadi orang-orang menyesatkan. Jadi, petunjuk hadits ini begitu jelas, maknanya sangat gamblang, bahwa kedangkalan ilmu (agama) dan berkurangnya jumlah ulama (yang baik) termasuk penyakit terbesar dan penyakit terparah yang menimpa umat di halaman rumahnya sendiri, dan menimpa penduduknya, terutama cengkeraman musuh (atas diri kita).

Wahai saudara-saudaraku.
Sungguh, mengetahui penyakit ini akan membuat kita berhasil mengetahui inti dari permasalahan ini, sehingga kita akan memahaminya berdasarkan ilmu, agama, dan realita, untuk mengetahui penyakit dan obatnya; daripada mengkaji satu masalah yang tidak benar atau mengungkap sesuatu yang tidak sesuai fakta. Jika demikian, justru penyakit itu akan semakin parah, dan pemberian obatnya pun keliru. Dampaknya, umat tidak akan merasakan manfaatnya, bahkan musibah dan ujian akan semakin meningkat.

Ilmu syar'i (agama) yang sarat kebijaksanaan ini bukanlah ibarat hiburan, dan bukan pula perkara yang hukumnya sekedar mustahab (dianjurkan) saja. Akan tetapi hukumnya adalah fardhu 'ain (kewajiban individu) atas setiap muslim, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

“Menuntut ilmu merupakan kewajiban atas setiap muslim”.

Dan tidak diragukan lagi, bahwa kata muslim (dalam hadits ini, Red.) mencakup laki-laki dan wanita. Oleh karena itu, ilmu syar'i merupakan tonggak umat, memiliki peran serta dan penjaga eksistensinya. Allah Ta'ala berfirman:

إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ

“Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”[ar-Ra'd/13 :11]

Sungguh, Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum, yang sebelumnya memiliki kemuliaan, ketahanan, kekuatan, dan memiliki peran, serta keteguhan, menjadi kaum yang lemah, penuh kekurangan, tercabik-cabik dan terpuruk, sampai mereka sendiri mau merubah keadaan yang ada pada diri mereka, yang berupa gejala-gejala buruk dalam menyikapi agama. Yang terburuk adalah kebodohan (terhadap agama), dan yang paling parah yaitu kedangkalan ilmu, sampai mereka kembali kepada masa lalunya yang mulia dan reputasinya terdahulu.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengisyaratkan kejadian ini, mengisyaratkan kepada kenyataan, yang tidak ada seorang pun yang menolaknya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ سَنَوَاتٌ خَدَّاعَاتُ يُؤْتَمَنُ فِيهَا الْخَائِنُ وَيُخَوَّنُ فِيهَا الْأَمِينُ وَ يُصَدَّقُ فِيهَا الْكَاذِبُ وَيُكَذَّبُ فِيهَا الصَّادِقُ وَيَنْطِقُ فِيهَا الرُّوَيْبِضَةُ فَقَالَ الصَّحَابَةُ: مَا الرُّوَيْبِضَةُ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّجُلُ التَّافِهُ يَتَحَدَّثُ فِي أَمْرِ الْعَامَّةِ

“Sesungguhnya menjelang hari Kiamat terdapat tahun-tahun yang menipu, orang yang berkhianat diberi amanat, orang yang terpercaya dianggap khianat, orang yang berdusta dipercaya, orang yang jujur didustakan, dan ruwaibidhah akan berbicara,” para sahabat bertanya,"Apakah ruwaibidhah, wahai Rasulullah?" Beliau menjawab,"Seorang yang hina dan bodoh berbicara tentang urusan orang banyak".[5]

Seorang yang tafih/safih (hina, bodoh) ini, tanda dan sifat pertamanya adalah bodoh, tidak memiliki ilmu dan tidak memiliki pemahaman. Maka, marilah kita renungkan keadaan tabib (dokter) ini, dia mengobati orang lain, padahal dia sendiri sakit. Nabi n bersabda tentang tabib yang mengobati badan :

مَنْ تَطَبَّبَ وَلَمْ يُعْلَمْ مِنْهُ طِبٌّ (قَبْلَ ذَلِكَ) فَهُوَ ضَامِنٌ

Barangsiapa mengobati, sedangkan dia (sebelumnya) tidak dikenal (dengan) keahlian dalam pengobatan, maka dia menanggung.[6].

(Jika ini berkaitan dengan masalah pengobatan jasmani, Red.), maka bagaimana dengan terapi pengobatan (yang berhubungan dengan masalah-masalah) agama? Bagaimana mereka ini (berani) mengeluarkan fatwa kepada umat, berupa fatwa-fatwa yang menenggelamkan umat dalam kelalaian dan menambah keterpurukannya, serta menghalangi dari sebab kebangkitannya?

Semua ini dilakukan atas nama ilmu, padahal demi Allah, itu merupakan kebodohan. Semua itu dengan disampaikan atas nama agama, padahal demi Allah, itu merupakan kelalaian. Semua itu dikatakan atas nama petunjuk, padahal demi Allah, itu merupakan kesesatan. Adakah setelah kebenaran selain kesesatan saja?

Dahulu, ketika para ulama membimbing dan memimpin, umat berada di atas kebaikan, umat berada di depan dan menjadi maju. Namun, ketika para ulama itu mengalami kemunduran, umat pun terpengaruh. Tatkala Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah memimpin, dan tatkala ilmi berada di puncak pimpinan, keadaan itu menyebabkan kemajuan duniawi.

Setiap orang mengetahui bahwa jihad Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah tidak hanya melalui penyebaran ilmu saja, dengan membantah ahli bid'ah dan ahli ahwa' (orang-orang yang melakukan bid'ah dan mengikuti hawa-nafsu), menyanggah orang-orang yang menyimpang dan orang-orang yang rusak keyakinannya. Akan tetapi, jihad beliau itu sangat kompleks dan luas. Beliau berjihad dengan pedang dan tombak, sebagaimana beliau berjihad dengan pena dan penjelasan. Inilah Syaikhul Islam, yang memimpin tentara, lasykar-lasykar Islam dan di front depan dalam pertempuran [7] Syaqhab (شَقْحَبُ) di Damaskus pada abad ke-8. Beliau rahimahullah memerangi musuh-musuh Allah, yaitu bangsa Tartar dan para pembela mereka yang hendak menyerang umat Islam di daerahnya sendiri. Beliau menghadang mereka dengan kuat, dengan sikap yang agung, yang besar, dan indah. Sejarah selalu menyebutnya dan mempersaksikannya, karena beliau rahimahullah memandang ilmu dengan setinggi-tingginya. Beliau bernaung di bawah bendera sulthan, dalam ketaatan kepada Allah, dan dalam perkara yang ma'ruf (baik). Bukan bertolak dari sekedar semangat yang kosong dan perasaan yang membinasakan, sebagaimana dilakukan oleh banyak orang yang mengaku ingin berjihad tanpa ilmu belakangan ini. Mereka ini tidaklah menegakkan ilmu dengan sebenarnya, tidak mengerti kedudukan ilmu dengan bentuk sebenarnya. Akibatnya, mereka sesat dan menyesatkan, walaupun dengan menamakan agama, walaupun dengan nama jihad, walaupun dengan nama syari'at; mereka ibarat jauh panggang dari api.

Sekarang telah datang Tartar yang baru (yakni orang-orang kafir Barat, Red.). Dewasa ini, mereka menyerang umat di halaman rumahnya sendiri. Mereka menyerang wawasan umat, sejarahnya, dan kemuliannya, serta menerjang negara-negara kaum Muslimin. Akan tetapi, umat ini -sangat disayangkan- belum bisa melahirkan Ibnu Taimiyah yang lain, tidak mampu memunculkan seorang ulama yang agung, yang disegani lagi cerdas, yang menempatkan hak kepada pemiliknya, dan mengagungkan kedudukan syari'at. Karenanya, umat terus-menerus tidak beranjak dari tempatnya, yaitu kelemahan dan kemundurannya, sampai Allah mengizinkan datangnya (kemuliaan) yang baru melalui sikap kembali secara kuat menuju manhaj Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji. Tidak ada jalan ke arah sana kecuali dengan ilmu, kecuali dengan ilmu, kecuali dengan ilmu. Dan, hal ini tidak akan terwujud, melainkan dengan taufik Allah Azza wa Jalla . Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِن تَتَّقُوا اللَّهَ يَجْعَل لَّكُمْ فُرْقَانًا

“Jika kamu bertakwa kepada Allah, Dia akan memberikan furqan (pembeda antara al haq dengan kebatilan) kepadamu” [al-Anfal/8 : 29]

وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا

“Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya” [ath-Thalaq/65 : 4]

Oleh karena itu, ilmu merupakan batu pertama untuk melakukan ishlah (perbaikan), pada sebuah istana yang besar; yang pertama kali dimulai adalah dengan batu bata ini, agar ilmu agama ini menjadi asas yang menjadi landasan kebaikan manusia.

Akan tetapi, ilmu yang sedang kita bicarakan ini, dan selalu kita sampaikan, bagaimanakah ciri khasnya? Apakah tanda-tandanya? Apakah sebuah ilmu yang merujuk pikiran dan hawa nafsu belaka, berdasarkan persangkaan dan perkiraan semata, ataukah ilmu tersebut yang berasaskan al Kitab dan as-Sunnah?

Ilmu yang tegak di atas cahaya, petunjuk terbaik dan perilaku paling sempurna adalah ilmu yang telah disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda:

تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ مَا إِنْ تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا لَنْ تَضِلُّوْا بَعْدِي أَبَدًا : كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّتِي

“Aku telah tinggalkan pada kalian dua perkara. Kalian tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnahku” [8]

Inilah ilmu yang dimaksud. Inilah cahaya-cahaya dan pengaruh-pengaruhnya. Dengan ilmu, kebodohan akan hilang. Seiring dengan sirnanya kebodohan, maka siang menjadi nampak, cahayanya bersinar, dan malam pun menghilang bersama dengan kegelapan dan kesuramannya.

Bukankah waktunya sudah dekat? Benar, demi Allah. Akan tetapi, hal ini menuntut adanya kebangkitan ilmiyah, jiwa perintis yang kuat, tidak berhenti dan tidak lemah dari diri kita. Membutuhkan kebangkitan ilmu yang tegak di atas Kitab Allah dan Sunnah Nabi.

Saudara-saudaraku seagama., demikianlah penyakit pertama, yaitu kebodohan. Sedangkan obatnya adalah ilmu.

Adapun penyakit kedua yaitu penyakit bid'ah, dan obatnya adalah Sunnah, penawarnya adalah ittiba` (mengikuti) Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Allah Tabaraka wa Ta'ala berfirman tentang beliau:

وَإِن تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا

“Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk” [an-Nur/24 : 54]

Jadi, umat ini akan bisa meraih hidayah dengan ilmu yang berasaskan Sunnah, sehingga semua bid'ah bisa dijauhi dengan segala kotorannya, kesesatannya, dan kegelapannya. Inilah yang akan dibicarakan oleh yang mulia Syaikh Salim al Hilali pada pembahasan berikutnya.

Semoga shalawat, salam dan berkah dilimpahkan kepada Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan keluarga beliau dan para sahabat beliau semuanya. Akhir perkataan kami adalah alhamdulillah Rabbil-'Alamin.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XI/1428H/2007M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Hadist ini kami dapati dengan lafazh :

مَنْ لَمْ يَشْكُرِ النَّاسَ لَمْ يَشْكُرِ اللَّهَ

“Barangsiapa tidak mensyukuri manusia, dia tidak mensyukuri Allah”. [HR Ahmad, Ibnu Abi Ashim, dan Ibnu Baththah, dari sahabat An-Nu’man bin Basyir. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Ash-Shahihah no. 6677]

[2]. Yaitu kepada orang yang telah berbuat baik kepada kita
[3]. Kafilah berasal dari bahasa Arab “Qafilah”, yaitu rombongan banyak orang yang bergerak pulang dari safar atau memulai safar. Rombongan ini membawa binatang tunggangannya, barang-barangnya dan perbekalannya. Maksudnya, bahwa kaum muslimin dahulu menjadi pemimpin bangsa-bangsa, namun sekarang terbelakang.
[4]. Hadits ini disampaikan oleh Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid Al-Atsari –hafizhahullah- secara makna. Adapun sebagian lafazhnya yang termaktub dalam Shahih Al-Bukhari :

إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا

"Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu dari hamba-hamba secara langsung, tetapi dia mencabut ilmu dengan meafatkan ulama. Sehingga ketika Allah pun tidak menyisakan seorang alim pun, lalu mereka itu ditanya, lantas berfatwa tanpa ilmu. Akibatnya, mereka sesat dan menyesatkan" [HR Bukhari, no. 100]

[5]. Hadits ini disampaikan oleh Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid Al-Atsari –hafizhahullah- secara makna. Adapun lafazh hadits yang kami dapati adalah, salah satunya :

سَيَأْتِي عَلَى النَّاسِ سَنَوَاتٌ خَدَّاعَاتُ يُصَدَّقُ فِيهَا الْكَاذِبُ وَيُكَذَّبُ فِيهَا الصَّادِقُ وَيُؤْتَمَنُ فِيهَا الْخَائِنُ وَيُخَوَّنُ فِيهَا الْأَمِينُ وَيَنْطِقُ فِيهَا الرُّوَيْبِضَةُ قِيلَ وَمَا الرُّوَيْبِضَةُ قَالَ الرَّجُلُ التَّافِهُ فِي أَمْرِ الْعَامَّةِ

"Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang menipu, orang yang berdusta dibenarkan, orang yang benar di dustakan, orang yang berkhianat diberi amanat, orang yang amanat dianggap khianat, dan Ruwaibidhah akan berbicara pada masa itu’. Beliau ditanya : ‘Apakah Ruwaibidhah?’ Beliau menjawab, ‘Seorang yang hina lagi bodoh (berbicara tentang) urusan orang banyak” [HR Ibnu Majah, no. 4036 dari Abu Hurairah. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani]

[6]. Yakni, menanggung jika ada kebinasaan atau semacamnya. HR Abu Dawud no. 4586, An-Nasai no. 4830, Ibnu Majah no. 3466. Dihasankan oleh Syaikh Al-Albani.
[7]. Syaqhab adalah nama desa kecil di dekat Damaskus, di perbatasan Hauran. Jaraknya dengan Damaskus adalah 37km. Dinukil dari Muqif Ibni Taimiyyah minal Asy’irah, hal.164
[8]. Hadits shahih lighairihi dengan penguatnya. Riwayat Malik 2/899, no. 1661 dengan lafzh :

تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ

"Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, Kitab Allah dan Sunnah NabiNya"

Silahkan lihat At-Ta’zhim wal Minnah di Intisharis Sunnah, hal. 13-14, karya Syaikh Salim Al-Hilali.

Tinjauan Moderat Tentang Hukum Syariat

Abu Fathan | 22:41 | 0 comments
Oleh Ustadz Dr. Ali Musri Semjan Putra, MA

PENDAHULUAN
Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan ajaran Islam yang sempurna untuk mengatur segala hal yang berhubungan dengan persoalan hidup manusia. Semua demi kebahagian dan kesejahteraan mereka. Ini semua akan nampak bagi siapa saja yang mau mempelajari dan mendalami ajaran Islam dengan benar dan menyeluruh.

Oleh karena itu segi-segi pentingnya menjalankan hukum Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara perlu diketahui dan dikupas walaupun hanya sekilas saja.

PENGERTIAN SYARIAT
Syari'at dalam pengertiannya dapat digunakan dalam beberapa makna:
a.Digunakan untuk menyebutkan agama secara keseluruhan, maka dikatakan: Syari'at Islam.

b.Digunakan untuk menyebutkan tentang hukum-hukum, baik hukum pidana dan perdata maupun ibadah dan mu'amalah secara umum. maka dikatakan: Pokok isi al-Qur'an terdiri dari; aqidah (keyakinan), syari'at (hukum-hukum) dan akhlak (budi pekerti). Dalam pengertian ini kata syari'at sinonim bagi kata fiqih.

c. Digunakan untuk menyebut hukum hudûd semata (pidana), istilah ini lebih dominan dipakai oleh kelompok-kelompok Islam yang beraliran politik. Hal ini kita lihat dalam penilaian mereka terhadap orang Islam yang tidak bergabung dengan mereka dianggap tidak berjuang menegakkan syari'at. Sekalipun dalam kenyataannya orang tersebut berjuang mengakkan Islam dengan berdakwah sesuai dengan metode Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Bahkan mungkin bisa dikafirkan karena tidak ikut pemahaman dan metode mereka dalam menegakkan syari'at. Seperti dengan cara membangkang dan melawan penguasa.
Untuk menentukan makna dari kata syari'at tersebut bergantung kepada posisi penggunaannya dalam sebuah susunan kalimat.

MENJALANKAN HUKUM ISLAM ITU PENTING
Sesungguhnya menjalankan hukum Islam adalah merupakan suatu hal yang amat peting dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara dewasa ini. Hal itu dapat kita tinjau dari beberapa segi:

Al-Qur'an Adalah Pedoman Hidup Yang Sempurna
Kitab suci al-Qur'an adalah sebaik-baik pedoman bagi manusia dalam mencapai kebahagian. Karena ia diturunkan oleh Zat Yang Maha Tahu dan Maha Bijaksna, yaitu Allâh Yang Maha Adil dalam segala hukum-Nya. Seandainya seluruh para pakar hukum di dunia berkumpul untuk menandingi satu hukum yang disebutkan dalam al-Qur'an, niscaya mereka tidak akan mampu. Al-Qur'an tidaklah semata mengatur hubungan vertikal dengan Allâh Azza wa Jalla , akan tetapi juga mengatur berbagai hal yang dibutuhkan manusia dalam perkara duniawi. Hukum Allâh Azza wa Jalla adalah hukum yang terbaik dari segala hukum buatan manusia. Demikian pula Hukum Allâh Azza wa Jalla adalah hukum yang paling adil dari segala hukum yang ada di dunia.

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ

Dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allâh bagi orang-orang yang yakin ?[al-Maidah /5:50]

Bila hukum al-Qur'ân dilaksanakan dalam kehidupan manusia, niscaya kehidupan mereka akan mendapat keberkahan dan rahmat dari Allâh. Karena al-Qur'ân adalah kitab yang membawa keberkahan dan rahmat untuk manusia.

وَهَٰذَا كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ مُبَارَكٌ فَاتَّبِعُوهُ وَاتَّقُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

Dan al-Qur'ân itu adalah kitab yang Kami turunkan yang diberkati, maka ikutilah dia dan bertakwalah agar kamu diberi rahmat". [al-An'am /6:155]

Keadilan al-Qur'ân tidak terbatas untuk orang-orang yang beriman dengan al-Qur'ân tersebut, akan tetapi mecakup seluruh manusia. Oleh sebab itu tidak perlu ada kecemasan dari orang-orang non Muslim terhadap hukum al-Qur'ân tersebut.

Allâh Azza wa Jalla berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ ۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

Wahai orang-orang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allâh, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allâh, sesungguhnya Allâh Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan". [al-Maidah/5:8]

Dari sini terjawab kesangsian sebagian orang terhadap penerapan hukum Islam, dimana mereka takut akan terjadi penindasan terhadap umat lain. Sesungguhnya sejarah umat manusia telah membuktikan tentang keadilah Islam terhadap umat lain ketika Islam berkuasa di negeri Syam dan Andalus.

Al-Qur'ân Adalah Jalan Keluar Dari Berbagai Permasalahan Yang Terjadi
Imam Syâfi'i rahimahullah mengatakan, "Tidak ada satupun permasalahan yang menimpa salah satu pemeluk agama Allâh Azza wa Jalla , kecuali dalam kitab Allâh Azza wa Jalla ada dalil yang menjelaskan petunjuk dalam permasalahan tersebut. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

الر ۚ كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ لِتُخْرِجَ النَّاسَ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِ رَبِّهِمْ إِلَىٰ صِرَاطِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ

Alif, laam raa. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji". [Ibrahim /14:1]

Dan firman Allâh Azza wa Jalla lagi :

وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ

Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang muslim". [An-Nahl /16:89]

Juga firman Allâh Azza wa Jalla :

وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ

Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur'an, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.[1] [An-Nahl /16:44]

Demikian Imam Syafi'i rahimahullah memandang al-Qur'ân setelah beliau membaca dan menela'ah kandungannya. Pernyataan ini lahir dari beliau bukan sekedar polesan bibir dan wacana. Tapi berdasarkan fakta dan ilmu yang beliau rahimahullah meliki tentang al-Qur'ân itu sendiri. Demikian pula para Ulama-ulama dan setiap orang yang menela'ah dan memahami al-Qur'ân dengan baik dan benar. al-Qur'ân tidak hanya berbicara tentang urusan akhirat saja tapi justru menerangkan segala persoalan yang dibutuhkan manusian dalam kehidupan di dunia. al-Qur'ân tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan pencipta mereka, tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan sesama manusia dan hubungan manusia dengan alam lain. Demikian pula al-Qur'ân tidak sekedar mengatur hubungan antar umat yang seagama, tetapi al-Qur'ân juga mengatur hubungan umat yang berbeda agama.

Isi al-Qur'ân tidak terbatas pada ruang lingkup tertentu yang dibatasi oleh masa dan tempat. Isi al-Qur'ân kompleks dan global. al-Qur'ân mengatur segala aspek sisi kehidupan manuisa dalam segala kondisi dan situasi. al-Qur'ân mengatur hubungan antara rakyat dan pemerintah sebagaimana ia mengatur hubungan antara sesama pribadi masyarakat. Sebagaimana Allâh Azza wa Jalla sebutkan dalam firman-Nya.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allâh dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allâh (al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allâh dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya". [an-Nisa' /4:59]

Adalah sebuah keharusan, kita menyelesaikan segala persoalan kita dan persoalan negara ini dengan ajaran al-Qur'ân. Karena al-Qur'ân tidak sebagaimana yang dikenal oleh kaum liberal dan sekuler hanya sekedar mengatur persoalan rumah tangga dan persoalan beribadah di masjid semata. Mereka menganggap Islam tidak punya konsep dalam mengatur kehidupan bernegara yang majemuk dan plural dalam berbagai hal. Anggapan ini lahir dari orang yang buta tetang al-Qur'ân dan sejarah Islam. Sebagaimana Allâh Azza wa Jalla sebutkan dalam firman-Nya:

مَا لَهُمْ بِهِ مِنْ عِلْمٍ وَلَا لِآبَائِهِمْ ۚ كَبُرَتْ كَلِمَةً تَخْرُجُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ ۚ إِنْ يَقُولُونَ إِلَّا كَذِبًا

Mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu, begitu pula nenek moyang mereka. Alangkah buruknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka; mereka tidak mengatakan (sesuatu) kecuali dusta. [al-Kahfi /18:5]

Kewajiban Berhukum Dengan Hukum Yang Diturunkan Allâh Azza wa Jalla
Ayat-ayat al-Qur'ân banyak sekali yang memerintahkan kita untuk menjalankan hukum yang diturunkan Allâh Azza wa Jalla dalam memutuskan berbagai perkara yang terjadi kehidupan kita. Berikut ini penulis sebutkan beberapa ayat yang berkenaan dengan hal tersebut:

Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ ۖ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُصِيبَهُمْ بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ ۗ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ

Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allâh, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian hukum yang telah diturunkan Allâh kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allâh), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allâh hendak menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. [al-Mâidah /5:49]

Ayat ini menjelaskan beberapa hal :
1. Perintah tentang wajibnya memnyelesaikan perkara-perkara yang terjadi sesuai dengan apa yang diturunkan Allâh.
2. Larangan mengikuti hawa nafsu orang-orang yang menetang hukum yang diturunkan Allâh.
3. Akan ada sekelompok manusia yang berusaha memfitnah untuk memalingkan kita dari menjalankan hukum Allâh.
4. Ancaman Allâh terhadap orang yang berpaling dari menjalankan hukum yang diturunkan-Nya.
5. Kebanyakan manusia senang berbuat kefasikan dengan cara menolak hukum yang diturunkan Allâh.

Dan firman Allâh :

اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلَا تَتَّبِعُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ ۗ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ

Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya)”. [al-A'râf /7:3]

Ayat ini mengaskan agar kita mengikuti segala yang diturunkan Allâh Azza wa Jalla dalam al-Qur'ân serta menjauhi segala aturan yang menyelisihinya.

Juga firman Allâh:

إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ ۚ وَلَا تَكُنْ لِلْخَائِنِينَ خَصِيمًا

Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allâh wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi pembela orang-orang yang khianat. [an-Nisâ' /4:105]

Dalam ayat ini Allâh memerintahkan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam agar mengadili manusia sesuai dengan apa yang diwahyukan Allâh kepadanya. Karena bila mengadili dengan hukum yang tidak sesuai dengan yang diturunkan Allâh, dikhawatirkan akan terjadi pembelaan terhadap orang-orang yang khianat.

Allâh Azza wa Jalla melarang kita untuk ragu-ragu dalam menjalankan hukum-Nya, karena kebenaran hukum Allâh itu telah diakui oleh para Ahli kitab sekalipun. Sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :

أَفَغَيْرَ اللَّهِ أَبْتَغِي حَكَمًا وَهُوَ الَّذِي أَنْزَلَ إِلَيْكُمُ الْكِتَابَ مُفَصَّلًا ۚ وَالَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْلَمُونَ أَنَّهُ مُنَزَّلٌ مِنْ رَبِّكَ بِالْحَقِّ ۖ فَلَا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ

Maka patutkah aku mencari hakim selain Allâh, padahal Dialah yang telah menurunkan kitab (al-Quran) kepadamu dengan terperinci ? Orang-orang yang telah Kami datangkan kitab kepada mereka, mereka mengetahui bahwa al-Quran itu benar-benar diturunkan dari Rabbmu. Maka janganlah kamu sekali-kali termasuk orang yang ragu-ragu. [al-An'am /6:114]

Keraguan dalam menjalankan hukum Allâh, akan membawa malapetaka dalam kehidupan kita. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَاتَّبِعُوا أَحْسَنَ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ بَغْتَةً وَأَنْتُمْ لَا تَشْعُرُونَ

Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Rabbmu sebelum datang adzab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya. [az-Zumar /39:55]

Ajaran Islam Jangan Dipilah-Pilih
Allâh Azza wa Jalla menyuruh kita untuk masuk kedalam Islam secar total, jangan kita memilah sebagian ajaran Islam dan memilih bagian yang lain. Seperti, hanya mengambil ajaran tentang ibadah dan akhlak saja, dan meninggalkan hukum-hukum lainnya. Menjalankan hukum syari'at Islam adalah bagian dari mengamalkan Islam itu sendiri

Allâh menyuruh kita agar masuk kedalam Islam itu secara utuh dan total.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ﴿٢٠٨﴾فَإِنْ زَلَلْتُمْ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْكُمُ الْبَيِّنَاتُ فَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu. Tetapi jika kamu menyimpang (dari jalan Allâh) sesudah datang kepadamu bukti-bukti kebenaran, maka ketahuilah, bahwasanya Allâh Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. [al-Baqarah /2:208-209]

Demikian pula dalam hal mengimani al-Qur’an, kita wajib mengimani dan mengamalkannya dengan sempurna tanpa dipilah-pilih. Balasan bagi orang suka memilah-milih ajaran Islam, ia akan diadzab di akhirat kelak dengan adzab yang keras. Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya : Apakah kamu beriman kepada sebahagian Kitab dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allâh tidak lengah dari apa yang kamu perbuat. Itulah orang-orang yang membeli kehidupan dunia dengan (kehidupan) akhirat, maka tidak akan diringankan siksa mereka dan mereka tidak akan ditolong. [al-Baqarah /2:85-86]

Ayat ini adalah celaan terhadap orang-orang Yahudi dan orang-orang yang menyerupai prilaku mereka dalam beriman kepada kitab Allâh. Mereka beriman pada sebagiannya dan kafir terhadap bagian yang lain. Mereka memilih hal-hal yang sesuai dengan hawa nafsu dan adat-istiadat mereka untuk mereka imani dan amalkan, adapun selainnya mereka tolak.

Hukum Allâh Jangan Ditolak Dengan Alasan Kebudayaan, Adat Dan Kebiasaan
Sebahagian manusia ada yang menolak hukum Allâh Azza wa Jalla dengan alasan bertentangan dengan kebudayaan atau adat dan kebiasaan yang sudah mengakar di masyarakat. Ini adalah alasan klasik yang selalu dipegang oleh orang-orang yang ingin menolak hukum Allâh Azza wa Jalla. Sebagaimana Allâh sebutkan dalamm beberapa ayat al-Qur'ân berikut ini :

وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا ۗ أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ

Dan apabila dikatakan kepada mereka, "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allâh," Mereka menjawab, "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami." "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?" [al-Baqarah /2:170]

Dan firman Allâh Azza wa Jalla :

وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَىٰ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ قَالُوا حَسْبُنَا مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا ۚ أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ

Apabila dikatakan kepada mereka, "Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allâh dan mengikuti Rasul." Mereka menjawab, "Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya." Dan apakah mereka itu akan mengikuti nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?" [al-Maidah /5:104]

Juga firman Allâh Azza wa Jalla :

وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا ۚ أَوَلَوْ كَانَ الشَّيْطَانُ يَدْعُوهُمْ إِلَىٰ عَذَابِ السَّعِيرِ

Dan apabila dikatakan kepada mereka, "Ikutilah apa yang diturunkan Allâh." Mereka menjawab, "(Tidak), tapi kami (hanya) mengikuti apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya." Dan apakah mereka (akan mengikuti bapak-bapak mereka) walaupun syaitan itu menyeru mereka ke dalam siksa api yang menyala-nyala (neraka)? [Luqmân /31:21]

Hukum Orang Yang Membenci Dan Menolak Hukum Allâh

ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ كَرِهُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ

Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka benci kepada apa yang diturunkan Allâh (al Quran) lalu Allâh menghapuskan (pahala-pahala) amal-amal mereka”. [Muhammad /47:9]

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

Barangsiapa tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allâh, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”. [al-Mâidah /5:44]

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allâh, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim [al-Mâidah /5:45]

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allâh, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik”. [al-Mâidah /5:47]

Bila yang mendasari keengganan seseorang untuk melaksanakan hukum Allâh adalah kebenciannya terhadap hukum Allâh itu sendiri, maka itu bisa menyeretnya ke jurang kekufurun. Demikian pula orang yang berasumsi bahwa hukum Allâh Azza wa Jalla tidak cocok untuk zaman sekarang, atau hukum selain hukum Allâh lebih baik dari hukum Allâh dan penerapannya boleh-boleh saja.

Namun untuk menghukum sesorang itu keluar dari Islam perlu dipelajari terlebih dahulu tentang kode etik at-takfîr yang dijelaskan oleh para Ulama. Tidak serta merta seseorang dikafirkan tanpa memperhatikan kode etik yang sudah dijelaskan oleh para Ulama Ahlussunnah dalam kitab-kitab mereka. Kemudian yang berhak menerapkan kode etik tersebut terhadap seseorang yang melakukan sebuah tindakan yang bisa mengeluarkannya dari Islam adalah para Ulama yang berkompeten serta mendapat mandat dari pemerintah.

Namun apabila ia tidak berasumsi seperti hal-hal di atas, maka hal tersebut tidak membawanya kepada jurang kekufuran, akan tetapi ia telah melakukan salah satu dosa besar.

Hukum Allâh Adalah Hukum Yang Paling Adil Dari Segala Hukum
Allâh berfirman:

أَلَيْسَ اللَّهُ بِأَحْكَمِ الْحَاكِمِينَ

Bukankah Allâh Hakim yang seadil-adilnya? [an-Tîn /95:8]

Dalam ayat yang lain :

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ

Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allâh bagi orang-orang yang yakin? [al-Mâidah /5:50]

Setiap Muslim meyakini bahwa Allâh adalah Maha Tahu dan Maha Bijaksana dalam segala hukumnnya. Oleh sebab itu, apabila hukum-hukum Allâh diterapkan maka pasti akan melahirkan keadilan dan efek positif dalam kehidupan manusia, seperti qishash, cambuk dan rajam, secara lahir manurut ilmu manusia yang dangkal seakan-akan kurang tepat untuk dilaksanakan. Akan tetapi dalam kenyataan negara yang menerapkan hukum tersebut, terbukti dapat menekan angka kejahatan yang terjadi di tengah-tengah masyakat dengan sekecil-kecilnya.

Menjalankan Hukum Allâh akan Membuka Pintu Kemakmuran Bagi Sebuah Bangsa
Allâh berfirman:

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَٰكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya". [al-A'raf /7:96]

Dalam ayat yang mulia ini Allâh Azza wa Jalla abadikan janjinya kepada manusia, bahwa jika mereka mau melaksanakan hukum-hukum-Nya dalam kekuasaan mereka, niscaya Allâh Azza wa Jalla akan mebuka pintu-pintu kesejahteraan bagi rakyatnya. Janji yang sama juga Allâh Azza wa Jalla sampai kepada umat pengikut Nabi Musa Alaihissallam dan nabi Isa Alaihissallam. Sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :

وَلَوْ أَنَّهُمْ أَقَامُوا التَّوْرَاةَ وَالْإِنْجِيلَ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِمْ مِنْ رَبِّهِمْ لَأَكَلُوا مِنْ فَوْقِهِمْ وَمِنْ تَحْتِ أَرْجُلِهِمْ ۚ مِنْهُمْ أُمَّةٌ مُقْتَصِدَةٌ ۖ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ سَاءَ مَا يَعْمَلُونَ

Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat dan Injil dan (al Quran) yang diturunkan kepada mereka dari Tuhannya, niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas dan dari bawah kaki mereka. [al-Maidah /5:66]

Dalam ayat yang lain Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَىٰ لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا ۚ يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا ۚ وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

Dan Allâh telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik. [an-Nûr /24:55]

Dalam ayat ini Allâh menjanjikan kepada orang-orang mengesakan Allâh dalam ibadahnya kekuasaan, kejayaan dan kesentosaan.

Perlu diketahui bahwa yang disebut ibadah itu tidak terbatas pada shalat, zakat dan puasa semata, akan tetapi mencakup penegakkan hukum Allâh Azza wa Jalla dalam segala urusan kehidupan umat manusia, baik yang berhubungan dengan urusan pribadi dan keluarga maupun urusan pemerintahan negara adalah bagian dari ibadah.

Menjalankan Hukum Allâh Bagian Dari Mensyukuri Nikmat Kemerdekaan.
Menjalankan hukum Allâh Azza wa Jalla adalah sebagai tanda syukur kepada Allâh Azza wa Jalla atas nikmat kemerdekaan yang diberikan kepada bangsa ini. Sebagaimana tertuang dalam alinia ke tiga dalam pembukaan UUD 1945, bahwa bangsa ini mengakui kemerdekaan adalah merupakan rahmat dari Allâh Yang Maha Kuasa.

Maka dari itu kita semua, baik rakyat maupun penguasa, seharusnya benar-benar menyadari akan nikmat kemerdekaan yang diberikan Allâh Azza wa Jalla kepada bangsa. Betapa besarnya nikmat kemerdekaan tersebut, hanya dengan bermodalkan persenjataan sederhana bisa mengusir penjajah yang memiliki pasukan yang terlatih dan persenjataan modern dan lengkap. Kalau bukan karena pertolongan dan bantuan Allâh Azza wa Jalla , niscaya kemerdekaan tersebut tidak akan pernah diraih bangsa ini.

Betapa banyaknya para kiyai dan santri yang gugur dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini! Apa yang telah kita berikan untuk menghargai jasa-jasa mereka ? Bukaankah mereka mengorbankan jiwa dan raga mereka demi untuk mempejuangkan Islam ? Bukan untuk mengejar pangkat dan jabatan. Saatnyalah bangsa ini menghargai perjuangan mereka dengan merealisasikan cita-cita mereka, yaitu tegaknya syari'at Allâh di bumi pertiwi ini.

Konstitusi Menjamin Kemerdekaan Menjalankan Ajaran Agama
Dinyatakan dalam UUD 1945 pasal 29 ayat 2 : "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaanya itu"

Dalam pasal ini jelas sekali ditegaskan tentang kebebasan menjalankan ajaran agama bagi setiap pemeluknya. Dan tiadak ada pengecualian terhadap ajaran tertentu dalam agama tertentu. Menjalankan hukum Islam adalah bagian dari ajaran Islam yang diperintahkan Allâh yang harus dilaksanakan oleh pemeluknya. Jika hal itu dilarang berarti umat Islam belum memperoleh kemerdekaan dan kebebasan dengan sepenuhnya dalam menjalankan ajaran agama mereka. Berarti UUD 1945 belum dilaksanakan dengan sebagaimana mestinya oleh bangsa kita.

Menjalankan Hukum Agama Adalah Pesan Tertulis Dalam Konstitusi
Sebagaimana dinyatakan dalam pembukaan UUD 1945 alinia ke empat: "Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa…".

Kemudian ditegaskan kembali dalam pasal 29 ayat 1 UUD 1945 bahwa "Negara berdasar atas Kethanan Yang Maha Esa".

Apa maksud para pendiri bangsa kita menjadikan "Ketuhanan Yang Maha Esa" sebagai sila pertama dari Pancasila? Maskudnya adalah agar hukum Tuhan dijadikan sebagai sumber utama dalam segala aspek kehidupan bangsa ini. "Dalam kaitan dengan tertip Hukum Indonesia maka secara material nilai Ketuhanan Yang Maha Esa harus merupakan sumber bahan dan sumber nilai bagi hukum positif di Indonesia". [Kaelan, Yogyakarta: 2008].

Bahwa pendidikan adalah untuk mencetak manusia yang bertaqwa kepada Allâh. Sebagaimana disebutkan dalam pasal 31 ayat 2 bahwa tujuan pendidikan nasional adalah untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Selanjutnya dalam ayat 5 dijelaskan bahwa pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjujung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa….

Ini berarti bahwa nagara menjunjung tinggi nilai-nalai dan norma-norma yang datang dari Tuhan. Konsekuensinya segala aspek dalam pelaksanaan dan penyelenggaran negara harus sesuai dengan hakikat nilai-nilai yang berasal dari Tuhan. Nilai-nilai yang berasal dari Tuhan pada hakikatnya adalah merupakan hukum Tuhan yang merupakan sumber material bagi segala norma, terutama Hukum positif di Indonesia. [Kaelan, Yogyakarta: 2008]

Disini dapat kita pahami bahwa negara kita bukan berpaham komunis yang anti Tuhan dah hukum Tuhan. Dan bukan pula negara liberal yang memberi kebebasan warganya untuk menilai dan mengkritik agamanya, misalnya tentang Nabi, Rasul, Kitab Suci bahkan Tuhan sekalipun. (Kaelan, Yogyakarta: 2008). Demikian pula bahwa negara kita bukanlah negara sekuler yang memisahkan norma-norma hukum positif dengan nilai-nilai dan norma-norma agama.

APAKAH DI INDONESIA SUDAH DITEGAKKAN SYARI'AT?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, tergantung kepada pengertian dan makna dari kata syari'at yang kita sebutkan di awal tulisan ini. Jika syari'at diartikan dengan ajaran Islam secara keseluruhan atau diartikan dengan syari'at sinonim bagi kata fiqih. Maka jawabannya adalah sesungguhnya sebagian besar syari'at telah tegak di Indonesia, namun secara kesuluruhan belum. Seperti shalat, infaq, sadaqah, zakat, puasa, haji, membangun masjid, dan seterusnya. Ini semua adalah syari'at.

Akan tetapi bila syari'at diartikan dengan Hukum Hudûd maka jawaban dari pertanyaan di atas adalah negatif. Walaupun demikian halnya bukan berarti hukum syari'at yang telah dijalankan menjadi batal atau tidak diterima Allâh Azza wa Jalla . Itu juga bukan berarti bahwa meninggalkannnya tidak berdosa, akan tetapi tidak membuat pelakunya keluar dari Islam. Selama ada semangat dan niat serta upaya untuk menginginkan agar dijalankannya syari'at itu secara utuh. Namun kondisi dan kemampuanlah yang membatasi untuk menjalankannya. Terkhusus masalah menegakkan hukum Hudûd yang berkewajiban menjalankannya adalah penguasa, adapun rakyat dan Ulama hanya sebatas memberikan masukan dan nasehat dengan cara baik. Hal tersebut-pun tidak bisa dijadikan alasan untuk membangkang kepada penguasa apalagi sampai berupaya untuk menumbangakan dan mengkudeta kekuasaan yang sah.

APA UPAYA UNTUK MENYEMPURNAKAN PENEGAKAN HUKUM ALLAH DI TENGAH-TENGAH KAUM MUSLIMIN?
Upaya untuk menyempurnakan penegakkan syari'at di tengah-tengah kaum Muslimin adalah dimulai dari tingkat yang paling rendah yaitu dari diri sendiri. Artinya hendaknya sertiap pribadi Muslim memulai penegakkan syari'at tersebut dari diri dan keluarga masing-masing. Kemudian di lingkungan tempat ia bekerja dan komunitasnya. Dengan demikian sedikit demi sedikit, secara beransur-ansur syari’at tersebut akan tegak dalam kehidupan kita.

Sebagaimana pesan Syaikh Nasiruddin al Albâni rahimahullah salah seorang Ulama hadits abad ini, “Tegakkanlah syari’at islam itu dalam diri kalian, niscaya Allâh akan menegakkannya di bumi kalian”.

Upaya penyempurnaan penegakkan syari’at dalam negara kita, bagaikan seorang yang mau memperbaiki bangunan rumahnya yang rusak. Maka tidak mungkin ia menghancurkan rumahnya secara keseluruhan kemudian dibangun baru lagi. Karena bila demikian halnya, ia dan kelurganya akan kehilangan tempat tinggal. Disamping itu ia harus mengeluarkan biaya yang cukup besar untuk membangunnya lagi. Nah! bagaimana kalau rumah itu rusak lagi, apakah setiap ada kerusakan pada rumahnya akan dia hancurkan selalu, kemudian baru dibangun lagi ? Sesungguhnya orang yang memiliki akal sehat tidak akan melakukan itu.

Kemudian dalam memperbaiki kerusakan harus ada prioritas, jangan sembrono dengan semaunya. Karena bila demikian halnya pekerjaanya akan sia-sia. Sebagaimana yang dilakukan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam dakwah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian pula nabi-nabi sebelumnya. Saat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdakwah di Makkah tidak pernah menyuruh para sahabat untuk merusak dan menghacurkan rumah tokoh-tokoh kafir Quraisy. Apalagi menculik dan membunuh. Tapi beliau memulai dari menanamkan keimanan terlebih dulu.

Artinya cara-cara kekrasan dan anarkis tidak elegan untuk ditempuh dalam menegakkan syari’at. Karena menumpas kemungkaran tidak boleh dengan cara yang mungkar pula. Dan menegakkan yang ma’ruf harus dengan cara yang ma’ruf pula. Oleh sebab itu tidak dibenarkan dalam agama kita demi untuk membantu anak yatim kita mencuri dan menipu. Untuk contoh-contoh tentang hal tersebut amat banyak dalam agama kita. Wallahu A’lam bish Shawaab

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 03-04/Tahun XVI/1433H/2012.]
_______
Footnote
[1]. Lihat : "Ahkamul Qur'an : 21
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. BERITA SUNNAH - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger