{قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ ويَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ، وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ}

Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah (sunnah/petunjuk)ku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS Ali ‘Imran:31)

Ahli Bait, Bukan Sekedar Pengakuan

Abu Fathan | 23:27 | 0 comments

Ada dua sebab yang mendorong kami menulis artikel ringkas mengenai ahli bait. Pertama, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mewasiatkan kepada umatnya untuk berlaku baik kepada ahli bait beliau dalam beberapa haditsnya. Kedua, adanya fenomena masyarakat yang telah menjurus pada sikap berlebih-lebihan kepada ahli bait. Di satu sisi, terdapat pihak yang mengagungkannya secara berlebihan, melebihi batas-batas yang diperkenankan syari’at. Di sisi lain, terdapat pihak yang tidak menghormati ahli bait dan mengingkari berbagai keutamaan yang mereka miliki.
Oleh karena itu, artikel ini berusaha menjelaskan secara ringkas, poin demi poin, beberapa permasalahan terkait ahli bait sehingga dapat diketahui bersama.

Poin Pertama
Pendapat yang tepat mengenai definisi ahli bait yaitu pendapat yang menyatakan bahwa ahli bait Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah mereka yang diharamkan menerima zakat, yaitu para istri beliau dan keturunannya, dan setiap muslim dan muslimah dari keturunan Bani Hasyim bin Abdi Manaf, dari keluarga ‘Ali, keluarga ‘Aqil, keluarga Ja’far dan keluarga ‘Abbas.
Pendapat ini telah mengompromikan seluruh dalil-dalil yang membicarakan definisi ahli bait. Dalil bagi pendapat ini diantaranya adalah hadits Zaid bin Arqam, dia berkata,
قَامَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا فِينَا خَطِيبًا، بِمَاءٍ يُدْعَى خُمًّا بَيْنَ مَكَّةَ وَالْمَدِينَةِ فَحَمِدَ اللهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ، وَوَعَظَ وَذَكَّرَ، ثُمَّ قَالَ: ” أَمَّا بَعْدُ، أَلَا أَيُّهَا النَّاسُ فَإِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ يُوشِكُ أَنْ يَأْتِيَ رَسُولُ رَبِّي فَأُجِيبَ، وَأَنَا تَارِكٌ فِيكُمْ ثَقَلَيْنِ: أَوَّلُهُمَا كِتَابُ اللهِ فِيهِ الْهُدَى وَالنُّورُ فَخُذُوا بِكِتَابِ اللهِ، وَاسْتَمْسِكُوا بِهِ ” فَحَثَّ عَلَى كِتَابِ اللهِ وَرَغَّبَ فِيهِ، ثُمَّ قَالَ: «وَأَهْلُ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمُ اللهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي، أُذَكِّرُكُمُ اللهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي، أُذَكِّرُكُمُ اللهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي» فَقَالَ لَهُ حُصَيْنٌ: وَمَنْ أَهْلُ بَيْتِهِ؟ يَا زَيْدُ أَلَيْسَ نِسَاؤُهُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ؟ قَالَ: نِسَاؤُهُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ، وَلَكِنْ أَهْلُ بَيْتِهِ مَنْ حُرِمَ الصَّدَقَةَ بَعْدَهُ، قَالَ: وَمَنْ هُمْ؟ قَالَ: هُمْ آلُ عَلِيٍّ وَآلُ عَقِيلٍ، وَآلُ جَعْفَرٍ، وَآلُ عَبَّاسٍ قَالَ: كُلُّ هَؤُلَاءِ حُرِمَ الصَّدَقَةَ؟ قَالَ: نَعَمْ
“Pada satu hari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah berdiri dan berkhutbah di sebuah mata air yang disebut Khumm. Beliau memuji Allah, kemudian menyampaikan nasihat dan peringatan kepada kami : “Amma ba’du, ketahuilah wahai sekalian manusia, bahwasannya aku hanyalah seorang manusia sama seperti kalian. Sebentar lagi utusan Rabb-ku (yaitu malaikat maut) akan datang dan dia diperkenankan. Aku akan meninggalkan kepada kalian dua hal yang berat, yaitu : Al-Qur’an yang berisi petunjuk dan cahaya, karena itu laksanakanlah isi Al-Qur’an itu dan berpegangteguhlah kepadanya – beliau mendorong dan menghimbau pengamalan Al-Qur’an-. ; 2) Dan ahli baitku (keluargaku). Aku ingatkan kalian kepada Allah tentang ahli baitku (beliau mengucapkan tiga kali)”. Husain berkata kepada Zaid : “Wahai Zaid, siapakah ahlul-bait Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ? Bukankah istri-istri beliau adalah ahlul-baitnya ?”. Zaid bin Arqam menjawab : “Istri-istri beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam memang ahli bait. Namun, ahli bait beliau adalah orang-orang yang diharamkan menerima zakat sepeninggal beliau”. Husain berkata : “Siapakah mereka itu ?”. Zaid menjawab : “Mereka adalah keluarga ‘Ali, keluarga ‘Aqil, keluarga Ja’far, dan keluarga ‘Abbas”. Hushain berkata : “Apakah mereka semua itu diharamkan menerima zakat ?”. Zaid menjawab : “Ya” [HR. Muslim no. 2408 dan Ibnu Khuzaimah no. 2357].

Disebutkan pula dalam hadits Ibnu Abi Mulaikah, dia berkata,
أنَّ خالد بنَ سعيد بعث إلى عائشةَ ببقرةٍ من الصَّدقةِ فردَّتْها، وقالت: إنَّا آلَ محمَّدٍ صلى الله عليه وسلم لا تَحلُّ لنا الصَّدقة
Khalid bin Sa’id pernah diutus untuk memberikan seekor sapi hasil zakat kepada ‘Aisyah, namun ia menolaknya seraya berkata : “Sesungguhnya keluarga Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak dihalalkan menerima zakat“ [HR. Ibnu Abi Syaibah 3/214 dengan sanad shahih].

Poin kedua
Ahli bait memiliki keutamaan yang disebutkan dalam al-Quran dan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Di dalam al-Quran, dalam surat al-Ahzab ayat 33 Allah berfirman,
إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا
“Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu wahai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.”
Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu mengartikan ar-rijs dalam ayat tersebut dengan amal perbuatan syaithan yang tidak diridhai Allah. Sedangkan Qatadah menafsirkannya dengan as-suu (keburukan) [Ma’alim at-Tanzil 3/637].
Adapun hadits yang menceritakan keutamaan ahli bait diantaranya adalah hadits Zaid bin Arqam yang telah lalu, dimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwasiat untuk berlaku baik kepada mereka. Selain itu, cukuplah menunjukkan keutamaan mereka adalah disebutkannya lafadz ahli bait dalam shalawat yang senantiasa kita ucapkan di dalam shalat ketika bertasyahhud. Hal ini menunjukkan keutamaan mereka dalam agama ini sehingga syari’at mengkhususkan shalawat kepada mereka di setiap shalat yang kita kerjakan. Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i dalam I’anah ath-Thalibin 1/200 mengatakan,
يـــــا أهل بيت رســول الله حُبكم ….. فرضٌ من الله في القرآنِ أنزله
يكفيكم من عظيم الفخـــر أنكم ….. من لم يصل عليكم لا صلاة له
Wahai ahli bait Rasulullah, mencintai kalian
adalah kewajiban yang ditetapkan Allah di dalam al-Quran yang diturunkan-Nya
Cukup bagi kalian dari kebanggaan terbesar yang ada
bahwa orang yang tidak bershalawat kepada kalian (di dalam shalat), maka tidaklah sah shalatnya
Untuk mengetahui berbagai keutamaan yang dimiliki oleh ahli bait, baik yang diterangkan dalam al-Quran dan sunnah, pembaca dapat membaca kitab Syaikh Abdul Muhsin al-‘Abbad hafizhahullah yang berjudul Fadl Ahli al-Bait wa ‘Uluwwu Makanatihim ‘inda Ahli as-Sunnah wa al-Jama’ah.

Poin ketiga
Mencintai ahli bait Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan salah satu prinsip akidah ahlu as-sunnah. Sedangkan membenci ahli bait merupakan salah satu cabang kemunafikan.
Allah ta’ala berfirman :
ذَلِكَ الَّذِي يُبَشِّرُ اللَّهُ عِبَادَهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ قُلْ لا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِلا الْمَوَدَّةَ فِي الْقُرْبَى وَمَنْ يَقْتَرِفْ حَسَنَةً نَزِدْ لَهُ فِيهَا حُسْنًا إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ شَكُورٌ
“Itulah (karunia) yang (dengan itu) Allah menggembirakan hamba-hamba-Nya yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh. Katakanlah: “Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upahpun atas seruanku kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan”. Dan siapa yang mengerjakan kebaikan akan Kami tambahkan baginya kebaikan pada kebaikannya itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri” [QS. Asy-Syuuraa : 23].

Diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda,
وَأَحِبُّوا أَهْلَ بَيْتِي لِحُبِّي
“ Dan cintailah ahli baitku karena kecintaan kepadaku” [HR. Al-Hakim nomor 4716. Al Hakim mengatakan hadits ini shahih al-isnad dan disepakati oleh adz-Dzahabi].

Dari ‘Ali bin Abi Thalib, dia mengatakan,
وَالَّذِي فَلَقَ الْحَبَّةَ، وَبَرَأَ النَّسَمَةَ، إِنَّهُ لَعَهْدُ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَيَّ: «أَنْ لَا يُحِبَّنِي إِلَّا مُؤْمِنٌ، وَلَا يُبْغِضَنِي إِلَّا مُنَافِقٌ»
Dari ‘Aliy (bin Abi Thaalib) : “Demi Dzat yang membelah biji-bijian dan melepaskan angin. Sesungguhnya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah berjanji kepadaku bahwasannya tidak ada yang mencintaiku kecuali ia seorang mukmin, dan tidak ada yang membenciku kecuali ia seorang munafiq” [HR. Muslim nomor 78].

Imam Abu Bakr al-Ajurri al-Baghdadi mengatakan,
وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُؤْمِنٍ وَمُؤْمِنَةٍ مَحَبَّةُ أَهْلِ بَيْتِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: بَنُو هَاشِمٍ , عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ وَوَلَدُهُ وَذُرِّيَّتُهُ , وَفَاطِمَةُ وَوَلَدُهَا وَذُرِّيَّتُهَا , وَالْحَسَنُ وَالْحُسَيْنُ وَأَوْلَادُهُمَا وَذُرِّيَّتُهَا , وَجَعْفَرٌ الطَّيَّارُ وَوَلَدُهُ وَذُرِّيَّتُهُ , وَحَمْزَةُ وَوَلَدُهُ , وَالْعَبَّاسُ وَوَلَدُهُ وَذُرِّيَّتُهُ , رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ

“Wajib bagi setiap mukmin dan mukminah mencintai ahli bait Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka adalah Bani Hasyim, ‘Ali bin Abi Thalib, termasuk anak dan keturunannya; Fathimah, termasuk anak dan keturunannya; al-Hasan dan al-Husain, termasuk anak dan keturunan keduanya; Ja’far ath-Thayyar, termasuk anak dan keturunannya; Hamzah, termasuk anak dan keturunannya; al-‘Abbas, termasuk anak dan keturunannya. Semoga Allah meridhai mereka.” [Asy Syari’ah 5/2276].

Poin keempat
Tidak benar tuduhan bahwa para sahabat, khususnya Abu Bakr dan ‘Umar radhiallahu ‘anhuma telah berlaku zhalim terhadap hak-hak ahli bait. Bahkan, kita temukan dalam kitab-kitab ulama yang menorehkan perkataan dan perbuatan mereka yang memuliakan ahli bait. Diantara mereka adalah:
a. Abu Bakr ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu. Beliau berkata,
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَقَرَابَةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحَبُّ إِلَيَّ أَنْ أَصِلَ مِنْ قَرَابَتِي
“Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh kerabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih aku sukai untuk aku sambung (silaturahmi) daripada kerabatku sendiri.” [HR. Bukhari nomor 3712 dan Muslim nomor 1759].
Beliau radhiallahu ‘anhu juga mengatakan,
«ارْقُبُوا مُحَمَّدًا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي أَهْلِ بَيْتِهِ»
“Jagalah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap ahli baitnya”[HR. Bukhari nomor 3713]. Maksudnya adalah menjaga beliau dengan tidak mencela dan menyakiti ahli bait.
b. Amir al-Mukminin, ‘Umar ibn al-Khaththab berkata kepada al-‘Abbas radhiallahu ‘anhuma,
وَاللهِ لَإِسْلاَمُكَ يَوْمَ أَسْلَمْتَ كَانَ أَحَبَّ إِلَيَّ مِنْ إِسْلاَمِ اْلخَطَّابِ – يَعْنِي وَالِدَهُ – لَوْ أَسْلَمَ ؛ لِأَنَّ إِسْلاَمَكَ كَانَ أَحَبَّ إِلَى رَسُوْلِ الله مِنْ إِسْلاَمِ اْلخَطَّابِ
“Demi Allah, keislamanmu ketika engkau masuk Islam lebih aku sukai daripada Islamnya al-Khaththab- maksudnya adalah ayahnya- seandainya saja ia masuk Islam. Sesungguhnya keislamanmu lebih disukai oleh Rasulullah -shalallahu alaihi wa salam- daripada keislaman al-Khaththab.” [Diriwayatkan Ibnu Sa’ad dalam ath-Thabaqat: 4/22].
c. Zaid ibn Tsabit radhallahu anhu. Dari asy-Sya’bi, dia mengatakan,
صلى زيد بن ثابت رضي الله عنه على جنازة ، ثم قُرّب له بغلته ليركبها ، فجاء ابن عباس رضي الله عنهما فأخذ بركابه ، فقال زيد : خل عنك يا ابن عم رسول الله صلى الله عليه وسلم ، فقال هكذا نفعل بالعلماء ، فقبّل زيد يد ابن عباس وقال ، هكذا أُمِرْنا أن نفعل بأهل بيت نبينا
Zaid ibn Tsabit radhiallahu ‘anhu menyalatkan suatu jenazah, kemudian keledainya didekatkan kepadanya untuk dinaiki. Tiba-tiba datang Ibnu Abbas radhallahu anhu yang langsung memegangi kekangnya (untuk mempersilakan Zaid). Maka Zaid berkata: ‘Biarkan wahai anak paman rasul shalallahu alaihi wa salam.’ Maka Ibnu Abbas berkata, ‘Beginilah kami diperintah untuk bersikap terhadap para ulama’. Maka Zaid mencium Ibnu Abbas dan berkata, ‘Beginilah kami diperintah untuk berbuat kepada ahli bait Nabi kami.’ [Diriwayatkan Ibnu Sa’ad dalam ath-Thabaqat 2/360].
d. Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhu.
Dalam al-Bidayah wa an-Nihayah 2/140, Ibnu Katsir membawakan suatu riwayat yang menceritakan bahwa suatu hari al-Hasan bin Ali radiallahu ‘anhu pernah masuk menemui Muawiyah radhiallahu ‘anhu dalam majlisnya. Maka Muawiyah -Radiallahu anhu- berkata kepadanya: “Selamat datang putera Rasulullah shalallahu alaihi wa salam.” Kemudian Muawiyah -radhiallahu ‘anhu memerintahkan untuk memberi al-Hasan pemberian sebesar 300 ribu.
Dalam kitab yang sama 8/139 diceritakan bahwa al-Hasan dan al-Husain radhiallahu ‘anhuma menemui Muawiyah radhiallahu ‘anhu sebagai utusan. lalu Muawiyah radhiallahu ‘anhu memberi mereka berdua hadiah sebesar 200 ribu. Muawiyah radhiallahu anhu berkata kepada keduanya “Tidak ada yang pernah memberi sebesar itu kepada keduanya sebelumku.” Maka al-Husain berkata: “Dan engkau tidak pernah memberi kepada seseorang yang lebih baik dari kami.”

Poin kelima
Salah satu hak ahli bait adalah hak memperoleh khumus (seperlima) dari harta ghanimah dan fai’ sebagaimana yang ditegaskan Allah dalam firman-Nya,
مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الأغْنِيَاءِ مِنْكُمْ
“Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu” [QS. Al-Hasyr : 7].

Allah ta’ala juga berfirman,
وَاعْلَمُوا أَنَّمَا غَنِمْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَأَنَّ لِلَّهِ خُمُسَهُ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ
“Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, rasul, kerabat rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnu as-sabil…..” [QS. Al-Anfaal : 41].

Sebagian kalangan menyatakan bahwa selain diambil dari kaum kafir, khumus juga diambil dari harta-harta kaum muslimin, padahal dengan jelas Allah menyatakan bahwa khumus hanya diambil dari ghanimah dan fai’. Imam al-Baghawi mengatakan,
قَوْلُهُ عَزَّ وَجَلَّ: مَا أَفاءَ اللَّهُ عَلى رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرى، يَعْنِي مِنْ أَمْوَالِ كُفَّارِ أَهْلِ الْقُرَى، قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: هِيَ قُرَيْظَةُ وَالنَّضِيرُ وَفَدَكُ وَخَيْبَرُ وَقُرَى عُرَيْنَةَ
“Firman Allah ‘azza wa jalla (yang artinya), ‘Apa saja harta rampasan (fai) yang diberikan Allah kepada rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota’ maksudnya adalah harta dari kaum kafir yang ada di kota. Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Kota-kota itu adalah Quraizhah, an-Nadhir, Fadak, Khaibar dan ‘Urainah.” [Ma’alim at-Tanzil 5/56].
Tidak jarang umat Islam tertipu dan menyerahkan harta mereka dikarenakan klaim-klaim dusta yang mengatasnamakan ahli bait.

Poin keenam
Pengakuan seseorang bahwa dirinya termasuk keturunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa ada bukti yang jelas merupakan salah satu dosa besar. Syaikh Abdul Muhsin al-‘Abbad hafizhahulah dalam Fadhlu Ahli al-Bait hlm. 82-83 mengatakan,
أشرفُ الأنساب نسَبُ نبيِّنا محمد صلى الله عليه وسلم، وأشرف انتسابٍ ما كان إليه صلى الله عليه وسلم وإلى أهل بيتِه إذا كان الانتسابُ صحيحاً، وقد كثُرَ في العرب والعجم الانتماءُ إلى هذا النَّسب، فمَن كان من أهل هذا البيت وهو مؤمنٌ، فقد جمَع الله له بين شرف الإيمان وشرف النَّسب، ومَن ادَّعى هذا النَّسبَ الشريف وهو ليس من أهله فقد ارتكب أمراً محرَّماً، وهو متشبِّعٌ بِما لَم يُعط،
وقد قال النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم: ((المتشبِّعُ بِما لَم يُعْطَ كلابس ثوبَي زور))، رواه مسلمٌ في صحيحه (2129) من حديث عائشة رضي الله عنها.
وقد جاء في الأحاديث الصحيحة تحريمُ انتساب المرء إلى غير نسبِه، ومِمَّا ورد في ذلك حديثُ أبي ذر رضي الله عنه أنَّه سَمع النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم يقول: ((ليس مِن رجلٍ ادَّعى لغير أبيه وهو يَعلَمه إلاَّ كفر بالله، ومَن ادَّعى قوماً ليس له فيهم نسبٌ فليتبوَّأ مقعَدَه من النار))، رواه البخاريُّ (3508)، ومسلم (112)، واللفظ للبخاري.
“Nasab termulia adalah nasab Nabi kita, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan penisbatan termulia adalah penisbatan kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kepada ahli bait beliau, jika penisbatan tersebut benar adanya. Telah banyak terjadi di negeri Arab dan selainnya, penisbatan kepada nasab yang mulia ini. Barangsiapa yang memang termasuk ahli bait dan dia mukmin, maka sungguh Allah telah mengumpulkan baginya antara kemuliaan iman dan kemuliaan nasab. Namun, barangsiapa yang mengklaim nasab yang mulia ini sedangkan dirinya bukanlah bagian darinya, maka sungguh dia telah melakukan tindakan yang haram dan termasuk orang yang berperilaku dusta terhadap sesuatu yang tidak dimiliki.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang yang (berpura-pura) berpenampilan dengan sesuatu yang tidak diberikan kepadanya bagaikan orang yang memakai dua pakaian palsu (kedustaan)” [HR. Muslim nomor 2129 dari hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha].
Terdapat dalam berbagai hadits yang shahih haramnya penisbatan diri seseorang kepada selain nasabnya. Diantaranya adalah hadits Abu Dzar radhiallahu ‘anhu, bahwasanya dia mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak seorangpun yang mengaku (orang lain) sebagai ayahnya, padahal dia tahu (kalau orang itu bukan ayahnya), melainkan telah kufur kepada Allah. Barangsiapa yang mengaku-ngaku keturunan sebuah kaum, padahal dia tidak bernasab kepada mereka, maka hendaknya dia menyiapkan tempat duduknya di neraka” [HR. Bukhari nomor 3508 dan Muslim nomor 112. Lafadz hadits tersebut milik Bukhari].
Teramat disayangkan, fenomena ini banyak juga terjadi di negeri kita. Wallahul musta’an.

Poin ketujuh
Suatu tindakan yang baik jika kalangan ahli bait menjaga kemurnian nasab mereka, yaitu dengan hanya menikah dengan sesama keturunan ahli bait. Akan tetapi yang keliru adalah ketika melarang wanita keturunan ahli bait untuk menikah dengan seorang pria yang memiliki agama dan akhlak yang baik, hingga wanita tersebut menjadi ‘perawan tua’ dengan alasan pria itu bukan keturunan ahli bait. Hal ini jelas bertentangan dengan penghulu ahli bait, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِذَا خَطَبَ إِلَيْكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِيْنَهُ وَخُلُقَهُ فَزَوِّجُوْهُ، إِلاَّ تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ عَرِيْضٌ
“Apabila seseorang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya datang kepada kalian untuk meminang wanita kalian, maka hendaknya kalian menikahkan orang tersebut dengan wanita kalian. Bila kalian tidak melakukannya niscaya akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar.” [HR. at-Tirmidzi nomor 1084. Dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam ash-Shahihah nomor 1022].
Demikian pula hal ini bertentangan dengan tindakan Amir al-Mukminin, ‘Ali radhiallahu ;anhu yang menikahkan anak perempuannya, Ummu Kultsum dengan ‘Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhuma yang sama sekali bukanlah keturunan ahli bait.

Poin kedelapan
Salah satu akidah ahlu as-sunnah adalah meyakini bahwa ahli bait tidaklah ma’shum. Penghulu para ahli bait, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun pernah keliru hingga ditegur oleh Allah ta’ala. (lihat surat ‘Abasa 1-10). Bahkan secara tegas Nabi menyatakan bahwa setiap manusia tidak terlepas dari kekeliruan. Dalam haditsnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ، وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ
“Setiap anak Adam pasti pernah bersalah dan sebaik-baik orang-orang yang bersalah adalah orang-orang yang bertaubat” [Hasan. HR. Ibnu Majah nomor 4251].
Jika demikian keadaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka mereka yang kedudukannya di bawah beliau, meski termasuk ahli bait lebih bisa melakukan kesalahan.
Akidah ini tidaklah sejalan dengan klaim sebagian kalangan yang menyatakan kema’shuman ahli bait, itupun dengan pengertian yang ghuluw, yaitu mereka ahli bait terlepas dari segala kesalahan, baik yang besar maupun yang kecil, serta terbebas dari lupa.
Jika kita memperhatikan firman Allah di surat al-Ahzab ayat 33, dimana Allah berfirman, وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا
“dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya”, kita dapat bertanya, jika sekiranya mereka ma’shum mengapa Allah mesti mensucikan mereka?!

Poin kesembilan
Salah satu poin yang patut diperhatikan pula adalah kemuliaan nasab tidaklah identik dengan kemuliaan seseorang di sisi Allah ta’ala dan menjamin keselamatannya di akhirat, karena hanya ketakwaanlah yang mampu meningkatkan derajat seseorang di sisi Allah ta’ala. Allah ta’ala berfirman,
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu” [QS. Al-Hujuraat : 13].
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ، أَلَا إِنَّ رَبكُمْ وَاحِدٌ، وَإِنَّ أَباكُمْ وَاحِدٌ، أَلَا لَا فَضْلَ لِعَرَبيٍّ عَلَى أَعْجَمِيٍّ، وَلَا لِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبيٍّ، وَلَا لِأَحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ، وَلَا أَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ، إِلَّا بالتَّقْوَى، أَبلَّغْتُ؟ “، قَالُوا: بلَّغَ رَسُولُ اللَّهِ
“Wahai sekalian manusia, ingatlah bahwa Rabb kalian itu satu, dan bapak kalian juga satu. Dan ingatlah, tidak ada kelebihan bagi orang ‘Arab atas orang ‘Ajam (non-‘Arab), tidak pula orang ‘Ajam atas orang ‘Arab, tidak pula orang berkulit merah atas orang berkulit hitam, dan tidak pula orang berkulit hitam di atas orang berkulit merah; kecuali atas dasar ketaqwaan. Apakah aku telah menyampaikannya ?”. Mereka menjawab : “Rasulullah telah menyampaikannya…..” [Shahih. HR. Ahmad nomor 23489].
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
وَمَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ
“Barangsiapa yang lambat amalnya maka tingginya garis keturunan tidak bisa mempercepat amalnya”[HR. Muslim nomor 2699].

Bagaimana bisa dibenarkan jika seseorang membangga-banggakan dirinya termasuk keturunan ahli bait sedangkan dirinya bergelimang dalam kemaksiatan, bergelimang dalam kemungkaran, kesyirikan dan kebid’ahan sementara para pendahulu mereka yang shalih jauh dari hal tersebut?! Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَا بَنِي عَبْدِ مَنَافٍ اشْتَرُوا أَنْفُسَكُمْ مِنْ اللَّهِ يَا بَنِي عَبْدِ الْمُطَّلِبِ اشْتَرُوا أَنْفُسَكُمْ مِنْ اللَّهِ يَا أُمَّ الزُّبَيْرِ بْنِ الْعَوَّامِ عَمَّةَ رَسُولِ اللَّهِ يَا فَاطِمَةُ بِنْتَ مُحَمَّدٍ اشْتَرِيَا أَنْفُسَكُمَا مِنْ اللَّهِ لَا أَمْلِكُ لَكُمَا مِنْ اللَّهِ شَيْئًا سَلَانِي مِنْ مَالِي مَا شِئْتُمَا
“Wahai Bani ‘Abdi Manaf, belilah diri-diri kalian dari adzab Allah !. Wahai Bani ‘Abdi al-Muthallib, belilah diri-diri kalian dari adzab Allah !. Wahai Ummu az-Zubair bin al-‘Awwam, bibi Rasulullah, wahai Fathimah bintu Muhammad, belilah diri kalian dari adzab Allah. Aku tidak berkuasa melindungi diri kalian dari murka Allah. Mintalah kepadaku harta sesuka kalian” [HR. Bukhari nomor 3527].

Poin kesepuluh
Kecintaan kepada ahli bait haruslah sesuai dengan batasan-batasan yang ditetapkan syari’at. ‘Ali bin al-Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib pernah, salah seorang ulama ahli bait berkata,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ، أَحِبُّونَا حُبَّ الإِسْلامِ، فَمَا بَرِحَ بِنَا حُبُّكُمْ حَتَّى صَارَ عَلَيْنَا عَارًا ”
“Wahai sekalian manusia, cintailah kami dengan kecintaan Islam. Kecintaan kalian kepada kami senantiasa ada hingga kemudian malah menjadi aib bagi kami” [Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad dalam ath-Thabaqaat, 5/110].
Al Hasan bin al-Hasan pernah berkata kepada seorang yang berbuat ghuluw kepada ahli bait,
وَيْحَكَ، أَحِبُّونَا لِلَّهِ، فَإِنْ أَطَعْنَا اللَّهَ فَأَحِبُّونَا، وَإِنْ عَصَيْنَا اللَّهَ فَأَبْغِضَونَا، وَلَوْ كَانَ اللَّهُ نَافِعًا أَحَدًا بِقَرَابَةٍ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِغَيْرِ طَاعَةٍ لَنَفَعَ بِذَلِكَ أَبَاهُ وَأُمَّهُ، قُولُوا فِينَا الْحَقَّ، فَإِنَّهُ أَبْلَغُ فِيمَا تُرِيدُونَ، وَنَحْنُ نَرْضَى مِنْكُمْ
“Celaka anda. Cintailah kami karena Allah. Jika kami menaati Allah, maka cintailah kami. Jika kami mendurhakai-Nya, maka bencilah kami. Jika sekiranya Allah memberikan manfaat kepada seseorang tanpa dia melakukan ketaatan sama sekali dikarenakan kekerabatannya dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tentulah kekerabatan itu bermanfaat bagi ayah dan ibu beliau. Katakanlah perkataan yang benar mengenai kami, karena sesungguhnya hal itu lebih sesuai dengan yang kalian inginkan dan kamipun akan meridhai kalian akan hal itu.”[Syarh Ushul I’tiqad Ahli as-Sunnah wa al-Jama’ah 8/1483].
Oleh karena itu, kecintaan kepada ahli bait tidak serta-merta menjadikan kita mengagung-agungkan ahli bait di luar koridor yang dibenarkan syari’at, atau mengkultuskan meski mereka menyelisihi ajaran syari’at.
Lebih utama dari beliau, adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau merupakan pribadi yang paling jauh dari sifat gemar dipuji, apalagi diagung-agungkan dan dikultuskan.
Dari Mutharrif, ia berkata,
قَالَ أَبِي: ” انْطَلَقْتُ فِي وَفْدِ بَنِي عَامِرٍ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْنَا: أَنْتَ سَيِّدُنَا، فَقَالَ: السَّيِّدُ اللَّهُ، قُلْنَا: وَأَفْضَلُنَا فَضْلًا وَأَعْظَمُنَا طَوْلًا، فَقَالَ: قُولُوا بِقَوْلِكُمْ أَوْ بَعْضِ قَوْلِكُمْ، وَلَا يَسْتَجْرِيَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ
Ayahku telah berkata, “Aku pernah pergi menghadap Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam rombongan utusan Bani ‘Amir. Kami berkata, “Engkau adalah sayyid kami”. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “As Sayyid itu hanyalah Allah”. Kami berkata, “Kami hanyalah ingin mengutamakan dan mengagungkan orang yang memang punya keutamaan”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Katakanlah dengan ucapan kalian seperti biasa atau sebagian ucapanmu itu. Namun janganlah sampai kalian jadikan syaithan sebagai penolongnya” [Shahih. HR. Abu Daawud nomor 4806].
Dari Anas radhiallahu ‘anhu, dia berkata,
مَا كَانَ شَخْصٌ أَحَبَّ إِلَيْهِمْ رُؤْيَةً مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانُوا إِذَا رَأَوْهُ لَمْ يَقُومُوا إِلَيْهِ، لِمَا يَعْلَمُونَ مِنْ كَرَاهِيَتِهِ لِذَلِكَ
“Tidak ada seorang pun yang lebih mereka (para shahabat) cintai saat melihatnya daripada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Namun jika melihat beliau, mereka tidak pernah berdiri karena tahu kebencian beliau atas hal itu” [Shahih. HR. Bukhari dalam Adab al-Mufrad nomor 946].
Inilah contoh praktek kecintaan kepada ahli bait yang dibenarkan oleh Islam, tidak seperti praktek-praktek yang dilakukan sebagian kalangan yang mengaku muslim. Dengan klaim sebagai wujud kecintaan kepada ahli bait, mereka berkabung, meratap, dan menyiksa diri setiap hari ‘Asyura, padahal kesemuanya itu dilarang dalam agama yang mulia ini.

Poin kesebelas
Muncul pertanyaan, bagaimana kita berinteraksi dengan ahli bait yang bermaksiat? Kita berinteraksi dengan mereka sebagaimana kita berinteraksi dengan muslim yang lain. Kita menasehati mereka dan membenci perbuatan mereka yang menyelisihi syari’at.
Imam al-Ajurri mengatakan,
هَؤُلَاءِ أَهْلُ بَيْتِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , وَاجِبٌ عَلَى الْمُسْلِمِينَ مَحَبَّتُهُمْ وَإِكْرَامُهُمْ وَاحْتِمَالُهُمْ وَحُسْنُ مُدَارَاتِهِمْ , وَالصَّبْرُ عَلَيْهِمْ , وَالدُّعَاءُ لَهُمْ , فَمَنْ أَحْسَنُ مِنْ أَوْلَادِهِمْ وَذَرَارِيِّهِمْ , فَقَدْ تَخَلَّقَ بِأَخْلَاقِ سَلَفِهِ الْكِرَامِ الْأَخْيَارِ الْأَبْرَارِ , وَمَنْ تَخَلَّقَ مِنْهُمْ بِمَا لَا يُحْسِنُ مِنَ الْأَخْلَاقِ , دُعِيَ لَهُ بِالصَّلَاحِ وَالصِّيَانَةِ وَالسَّلَامَةِ , وَعَاشَرَهُ أَهْلُ الْعَقْلِ وَالْأَدَبِ بِأَحْسَنِ الْمُعَاشَرَةِ وَقِيلَ لَهُ: نَحْنُ نُجِلُّكَ عَنْ أَنْ تَتَخَلَّقَ بِأَخْلَاقِ لَا تُشْبِهُ سَلَفَكَ الْكِرَامَ الْأَبْرَارَ , وَنَغَارُ لِمِثْلِكَ أَنْ يَتَخَلَّقَ بِمَا تَعْلَمُ أَنَّ سَلَفَكَ الْكِرَامَ الْأَبْرَارَ لَا يَرْضَوْنَ بِذَلِكَ , فَمِنْ مَحَبَّتِنَا لَكَ أَنْ نُحِبَّ لَكَ أَنْ تَتَخَلَّقَ بِمَا هُوَ أَشْبَهُ بِكَ , وَهِيَ الْأَخْلَاقُ الشَّرِيفَةُ الْكَرِيمَةُ , وَاللَّهُ الْمُوَفِّقُ لِذَلِكَ
“Mereka itulah ahli bait Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Wajib bagi kaum muslimin mencintai, memuliakan, berbuat baik, bersabar atas mereka dan mendo’akan kebaikan bagi mereka. Barangsiapa diantara mereka, dari anak dan keturunan ahli bait yang bagus agamanya, maka dia telah berakhlak dengan akhlak pendahulunya yang mulia, yang terpilih lagi berbudi. Barangsiapa diantara mereka yang buruk akhlaknya, maka kebaikan, penjagaan dan keselamatan dido’akan baginya. Dan mereka yang berakal dan beradab hendaknya mempergauli mereka dengan baik seraya mengatakan kepadanya (ahli bait yang bermaksiat), “Kami ingin mensucikanmu agar engkau tidak berakhlak dengan akhlak yang tidak dimiliki oleh pendahulumu yang mulia dan berbudi. Kami cemburu kepada semisal dirimu jika berakhlak dengan akhlak yang engkau tahu bahwa pendahulumu yang mulia lagi berbudi tidak meridhainya. Dan termasuk kecintaan kami kepadamu, kami ingin agar engkau berakhlak dengan akhlak yang layak bagimu, yaitu akhlak yang agung dan mulia. Allah-lah yang mampu memberikan taufik.” [Asy Syari’ah 5/2276].
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah mengatakan,
فأهل السنـــة يحبونهم ويحترمونهم ويكرمونهم؛لأن ذلك من احترام النبي صلى الله عليه وسلم وإكرامه ولأن الله ورسولــه أمــر بذلك،قال تعالى: {قل لا أسألُكم عليه أجراً إلا المودَّة في القُرْبى}،وجاءت نصوص من السنة بذلك،منها ما ذكر الشيخ.وذلك إذا كانوا متبعين للسنة مستقيمين على المِلّة،كما كان عليه سلفهم كالعباس وبنيه،وعليٍّ وبنيه.أما من خــالف السنة ولم يَستقِم على الدين فإنه لا تجوز محبته ولو كان من أهل البيت
“Ahlu as-sunnah mencintai, menghormati dan memuliakan mereka (ahli bait), karena hal itu termasuk tindakan menghormati dan memuliakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah dan rasul-Nya pun memerintahkan demikian. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upahpun atas seruanku kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan”. Berbagai nash dari hadits Nabi menyatakan hal tersebut, diantaranya telah disebutkan Syaikh. Hal ini berlaku jika mereka mengikuti sunnah dan istiqamah di atas agama sebagaimana pendahulu mereka seperti al-‘Abbas dan anaknya, ‘Ali dan anaknya. Adapun jika mereka menyelisihi sunnah dan tidak komitmen terhadap agama, maka tidak boleh mencintai mereka meski mereka ahli bait.” [Syarh Aqidah al-Wasithiyah hlm. 148].

اللهم اغفر لآل بيت رسول الله صلى الله عليه وسلم وعفوا عنهم وأصلح أحوالهم وسدد خطاهم ووفقهم لما تحب وترضي ونحن معهم وإخواننا المسلمين في كل مكان
Ya Allah, ampunilah para ahli bait Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ampunilah mereka, perbaiki kondisi mereka, teguhkan langkah mereka, berikanlah taufik kepada mereka untuk mengerjakan apa yang Engkau cintai dan ridhai. Dan kami serta saudara kami kaum muslimin akan senantiasa bersama mereka.

Cat:
Artikel ini banyak mengambil manfaat dari blog dan artikel Dr. ‘Abbas Rahim yang berjudul Waqafaat Ma’a Ali al-Bait, Maa Lahum wa Maa ‘Alaihim

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim

Jadilah Pemaaf Agar Diampuni Allah

Abu Fathan | 19:08 | 0 comments

Abu Bakr as-Shiddiq pernah sangat marah dan hendak memutuskan pemberian bantuan kepada sepupunya, Misthah bin Utsatsah. Sebelumnya, sudah menjadi kebiasaan Abu Bakr memberi nafkah kepada Misthah yang miskin. Namun, suatu ketika pada saat tersebar berita dusta (fitnah) tentang ‘Aisyah – putri beliau- Misthah punya andil dalam menukil kabar dusta tersebut.

Ketika Abu Bakr sempat bersumpah untuk tidak akan memberi bantuan lagi kepada Misthah tersebut, turun firman Allah :

وَلاَ يَأْتَلِ أُولُو الْفَضْلِ مِنْكُمْ وَالسَّعَةِ أَنْ يُؤْتُوا أُولِي الْقُرْبَى وَالْمَسَاكِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ…

Janganlah seseorang yang memiliki kelebihan dan kelapangan rezeki bersumpah untuk tidak memberi karib kerabat dan orang miskin serta muhajirin di jalan Allah…. (Q.S anNuur:22)

…وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Hendaknya kalian memaafkan dan melupakan kesalahannya. Tidakkah kalian ingin Allah mengampuni kalian? Dan sesungguhnya Allah adalah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (Q.S anNuur:22)

Ketika dibacakan ayat itu Abu Bakr as-Shiddiq kemudian berkata: Demi Allah aku sangat berharap Allah mengampuniku.


Karena itu, Abu Bakr memaafkan Misthah dan terus melanjutkan pemberian bantuan kepada sepupunya yang miskin sekaligus termasuk dari kalangan Muhajirin tersebut. Abu Bakr memaafkan Misthah karena ia mengharapkan ampunan Allah, dan memang Allah menjanjikan ampunan kepada orang-orang yang memaafkan.

Kisah itu disebutkan dalam Shahih alBukhari. Semoga Allah Subhaanahu Wa Ta’ala meridlai 2 Sahabat Nabi yang mulia tersebut, Abu Bakr as-Shiddiq –manusia terbaik setelah Nabi-, dan Misthah bin Utsatsah –seorang Muhajirin, bahkan ikut dalam perang Badr-. Misthah akibat perbuatannya telah dikenai hukum had. Had tersebut menyebabkan ia bersih dari dosa itu. Jangan sampai terbetik dalam benak kita celaan terhadap Misthah dan menganggap kita lebih baik dari beliau. Demi Allah, jikalau kita berinfaq emas, tidaklah bisa menandingi infaq yang dikeluarkan Misthah sebesar dua genggam tangan, atau bahkan setengahnya.


Kisah itu juga menunjukkan agungnya akhlak Abu Bakr as-Shiddiq. Beliau adalah orang yang bersegera memenuhi panggilan Allah untuk memaafkan. Beliau adalah orang yang bersegera tunduk dengan perintah Allah. Beliau tundukkan hawa nafsu enggan memaafkan karena telah tersakiti dan dikhianati, semata-mata mengharapkan ampunan Allah.

Pemaafan yang Memberikan Perbaikan

Tidak selalu pemberian maaf adalah terpuji. Pemberian maaf yang menghasilkan perbaikanlah yang terpuji. Yaitu, jika diberi maaf, orang tersebut akan berubah menjadi baik dan meninggalkan keburukannya.


Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:

فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ…

Barangsiapa yang memaafkan dan menghasilkan perbaikan, maka pahalanya di sisi Allah ….(Q.S asy-Syuuro:40)
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah menyatakan: Allah mempersyaratkan dalam pemaafan itu adalah adanya perbaikan. Hal itu menunjukkan bahwa jika sang pelaku tidak layak dimaafkan, dan maslahat syar’i mengharuskan pemberian hukuman, maka dalam hal semacam itu tidak diperintah untuk dimaafkan (Tafsir as-Sa’di 1/760)

Contoh : terjadi pembunuhan. Sang pelaku pembunuhan ini dikenal sebagai seseorang yang sudah sering membunuh dan terlihat tidak jera atas perbuatannya. Maka, orang semacam ini tidak berhak untuk dimaafkan, dan sebaiknya ditegakkan hukum qishash. Karena, jika dimaafkan, dikhawatirkan akan terjadi pembunuhan berikutnya.

Contoh lain: kecelakaan lalu lintas. Pelakunya dikenal sebagai orang yang selalu berhati-hati. Namun, pada waktu itu kecelakaan yang terjadi bukan karena kesengajaannya. Orang semacam ini sangat layak untuk mendapatkan maaf. Berbeda dengan orang yang dikenal ugal-ugalan di jalan. Sering mengakibatkan korban. Orang semacam ini perlu diberi pelajaran hukuman yang memberi efek jera, tidak harus selalu dimaafkan. Karena pemaafan yang diberikan padanya bukannya akan menghasilkan perbaikan, tapi justru bahaya bagi orang lain.

(dinukil dari Buku ‘Sukses Dunia Akhirat dengan Istighfar dan Taubat’ hal 104-107 karya Abu Utsman Kharisman)

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. BERITA SUNNAH - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger