{قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ ويَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ، وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ}

Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah (sunnah/petunjuk)ku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS Ali ‘Imran:31)

Sosok Teladan dalam Kebaikan

Abu Fathan | 19:15 | 0 comments
Segala puji bagi Allah, salawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah. Amma ba’du.

Kita mungkin pernah mendengar istilah ‘multi-talenta’. Ya, orang yang digelari dengan istilah ini artinya orang tersebut memiliki bakat dan keahlian yang beraneka-ragam, bukan satu keahlian saja. Bicara soal bakat, mungkin masing-masing orang memang berlainan. Namun, jika berbicara soal amal kebaikan, tidak selayaknya seorang muslim menyia-nyiakan berbagai pintu kebaikan yang dibukakan untuknya. Karena dengan memanfaatkan berbagai pintu kebaikan yang ada, maka seorang hamba akan bisa meraih keutamaan yang sangat agung di akherat kelak, yaitu dipanggil masuk surga dari semua pintu surga… Sungguh, sebuah harapan yang sangat mulia!

Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan di dalam Shahih mereka berdua hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menginfakkan ‘sepasang hartanya’ di jalan Allah maka dia akan dipanggil -oleh malaikat- dari pintu-pintu surga, ‘Wahai hamba Allah! Inilah kebaikan -yang akan kamu peroleh-.’ Barangsiapa yang tergolong ahli sholat, maka dia akan dipanggil dari pintu sholat. Barangsiapa yang tergolong ahli jihad, maka dia akan dipanggil dari pintu jihad. Barangsiapa yang tergolong ahli sedekah, maka dia akan dipanggil dari pintu sedekah. Barangsiapa yang tergolong ahli puasa, maka dia akan dipanggil dari pintu ar-Rayyan.” Abu Bakar ash-Shiddiq berkata, “Wahai Rasulullah, bahaya apa lagi yang perlu dikhawatirkan oleh orang yang dipanggil dari pintu-pintu itu. Lantas, apakah ada orang yang dipanggil dari kesemua pintu itu?”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ada. Dan aku berharap semoga kamu termasuk di dalamnya.” (Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari di beberapa tempat; [1] Kitab ash-Shaum [hadits no. 1897], [2] Kitab al-Jihad wa as-Siyar [hadits no. 2841], [3] Kitab Bad’u al-Khalq [hadits no. 3216], [4] Kitab Fadhail ash-Shahabah [hadits no. 3666], dan juga diriwayatkan oleh Imam Muslim di Kitab az-Zakah [hadits no. 1027], lihat Fath al-Bari [4/132] dan Syarh Shahih Muslim [4/351])

Makna ‘Sepasang Harta’

al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan, bahwa yang dimaksud dengan ‘sepasang harta’ di dalam hadits di atas adalah dua buah harta yang serupa dari jenis apa saja (Fath al-Bari [4/132]). an-Nawawi rahimahullah menukil keterangan al-Harawi, bahwa tafsiran dari sepasang harta itu misalnya; dua ekor kuda, dua orang budak, atau dua ekor unta (lihat Syarh Shahih Muslim [4/351]).

Ibnu Baththal rahimahullah menerangkan bahwa yang dimaksud dengan ‘sepasang harta’ adalah dua buah [harta benda], seperti misalnya dua keping dinar, dua helai pakaian, dan semacamnya (lihat Syarh Shahih al-Bukhari li Ibni Baththal [4/15]). Lalu, apa maksudnya? an-Nawawi rahimahullah menyimpulkan bahwa ungkapan ‘sepasang harta’ ini menunjukkan keutamaan bersedekah dan membelanjakan harta untuk ketaatan serta [kita] dianjurkan untuk memperbanyak hal itu (lihat Syarh Shahih Muslim [4/352]). Dengan kata lain, apabila kita bersedekah maka jangan pelit-pelit…

Pintu ar-Rayyan Bagi Ahli Shaum

Hadits ini menunjukkan salah satu keutamaan ibadah puasa, yaitu bahwasanya orang-orang yang tekun mengerjakan ibadah yang agung ini kelak di akherat akan dipanggil untuk masuk surga melalui pintu ar-Rayyan. Oleh sebab itu, Imam Bukhari rahimahullah memasukkan hadits ini dalam Kitab ash-Shaum dengan judul bab ‘ar-Rayyan bagi orang-orang yang berpuasa’ (lihat Fath al-Bari [4/131]).

Selain hadits di atas, di dalam bab tersebut Imam Bukhari juga membawakan hadits dari Sahl bin Sa’ad radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya di surga ada sebuah pintu, yang disebut dengan ar-Rayyan. Orang-orang yang berpuasa akan masuk [surga] dari pintu itu pada hari kiamat. Tidak ada seorang pun yang memasuki pintu itu selain mereka. Akan ada panggilan, ‘Dimanakah orang-orang yang berpuasa?’. Maka mereka pun berdiri. Tidak ada yang melewatinya selain mereka. Apabila mereka telah masuk [semua] maka pintu itu akan ditutup sehingga tidak ada lagi seorang pun yang melewatinya.” (HR. Bukhari di Kitab ash-Shaum [hadits no. 1896] dan di Kitab Bad’u al-Khalq [hadits no. 3257], dan Muslim di Kitab ash-Shiyam [hadits no. 1152], lihat Fath al-Bari [4/131] dan Syarh Shahih Muslim [4/485])

Keutamaan Infaq fi Sabilillah

Hadits ini juga menunjukkan keutamaan yang besar pada amalan infaq -membelanjakan harta- fi sabilillah. Yang dimaksud dengan fi sabilillah di sini tidak terbatas pada jihad saja. Berdasarkan riwayat yang dibawakan oleh Imam Ahmad yang artinya, “Bagi setiap ahli amalan akan dipanggil dari pintu amalan tersebut.” maka al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Ini menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan fi sabilillah lebih luas daripada jihad dan amal-amal salih lainnya.” (Fath al-Bari [6/57]). Qadhi ‘Iyadh rahimahullah menguatkan pendapat bahwa yang dimaksud fi sabilillah di sini mencakup seluruh perkara kebaikan, sebagaimana dinukil oleh an-Nawawi (lihat Syarh Shahih Muslim [4/352]). Meskipun, kata-kata fi sabilillah jika disebutkan tanpa kaitan maka secara umum maksudnya adalah jihad sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnul Jauzi rahimahullah (lihat Fath al-Bari [6/55])

Walaupun, tentu saja membelanjakan harta demi keperluan jihad fi sabilillah merupakan amalan yang juga sangat utama. Hal ini sebagaimana yang disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Zaid bin Khalid al-Juhani radhiyallahu’anhu, beliau bersabda, “Barangsiapa yang mempersiapkan perbekalan untuk seorang pasukan fi sabilillah maka sesungguhnya dia telah ikut berperang. Dan barangsiapa yang membantu sanak kerabatnya yang ditinggal perang maka sesungguhnya dia juga telah ikut berperang.” (HR. Bukhari di Kitab al-Jihad wa as-Siyar [hadits no. 2843] dan Muslim di Kitab al-Imarah [hadits no. 1895], lihat Fath al-Bari [6/58] dan Syarh Shahih Muslim [6/522])

Ada sebuah pelajaran menarik dari hadits ini. an-Nawawi rahimahullah berkata, “Hadits ini mengandung dorongan untuk berbuat baik/ihsan kepada orang-orang yang menunaikan tugas-tugas kemaslahatan bagi kaum muslimin atau orang-orang yang menegakkan urusan-urusan penting bagi mereka/kaum muslimin.” (Syarh Shahih Muslim [6/522]). Hal jazaa’ul ihsan illal ihsan…

Keutamaan Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu’anhu

Hadits ini menunjukkan keutamaan yang ada pada diri Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu’anhu. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan tentang beliau, “Aku berharap semoga kamu termasuk di dalamnya.” Yaitu golongan orang-orang yang dipanggil dari semua pintu surga. Hal itu karena harapan dari Allah atau Nabi-Nya pasti terjadi, sebagaimana yang diterangkan oleh para ulama (lihat Fath al-Bari [7/31] dan Syarh Shahih Muslim [4/353]).

Perlu diperhatikan pula di sini, bahwa yang dimaksud dengan ahli shaum, ahli sholat, ahli sedekah, maupun ahli jihad -yang layak untuk dipanggil dari semua pintu surga itu- bukanlah orang yang semata-mata telah menunaikan kewajiban-kewajiban tersebut. Namun, yang dimaksud adalah orang-orang yang selain menunaikan yang wajib-wajib maka ia juga melakukan amal-amal yang sunnah dan konsisten dalam melaksanakannya. Abdul Wahid berkata: Seandainya ada yang bertanya, “Apakah tergolong di dalamnya orang yang [sekedar] menunaikan puasa Ramadhan, menzakati hartanya, dan melaksanakan sholat-sholat wajibnya?”. Jawabnya adalah: Bahwa yang dimaksudkan oleh hadits ini adalah ibadah-ibadah sunnah yang dilakukan secara terus-menerus dan diusahakan untuk diperbanyak. Itulah orang yang layak untuk dipanggil dari pintu-pintu surga (lihat Syarh Shahih al-Bukhari li Ibni Baththal [4/18], lihat juga Fath al-Bari [7/30])

Hadits ini juga mengandung pelajaran bolehnya memuji seseorang di hadapannya selama tidak dikhawatirkan orang tersebut terjerumus dalam fitnah/dosa seperti ujub dan semacamnya (lihat Syarh Shahih Muslim [4/353]). Namun, perlu kita ingat bahwa orang seperti Abu Bakar -dalam hal ilmu maupun amalan- adalah sosok yang sangat jarang ditemukan… Bahkan, di masa para sahabat sekalipun…!

Dalam hal amalan, beliau adalah sosok yang sangat unggul dibandingkan yang lainnya. Sebagaimana telah ditunjukkan dalam hadits pintu ar-Rayyan di atas; tatkala beliau menjadi orang yang dipanggil masuk surga dari semua pintu amalan. Selain itu, juga sebagaimana tercermin dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada para sahabat, “Siapakah di antara kalian yang hari ini berpuasa?”. Abu Bakar radhiyallahu’anhu menjawab, “Saya.” Beliau bertanya lagi, “Siapakah di antara kalian yang hari ini sudah memberi makan orang miskin?”. Abu Bakar radhiyallahu’anhu menjawab, “Saya.” Beliau kembali bertanya, “Siapakah di antara kalian yang hari ini sudah mengunjungi orang sakit?”. Abu Bakar radhiyallahu’anhu kembali menjawab, “Saya.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah itu semua terkumpul pada diri seseorang melainkan dia pasti masuk surga.” (HR. Muslim di Kitab az-Zakah dan Kitab Fadha’il ash-Shahabah [hadits no. 1028], lihat Syarh Shahih Muslim [4/353] dan [8/12])

Begitu pula dalam hal ilmu, beliau adalah orang yang paling alim di antara para sahabat. Hal itu sebagaimana tergambar dengan jelas dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu’anhu, suatu saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk berceramah di atas mimbar. Beliau mengatakan, “Seorang hamba yang telah diberikan pilihan oleh Allah untuk mendapatkan segala perhiasan dunia ataukah apa yang ada di sisi-Nya. Maka hamba tersebut lebih memilih apa yang ada di sisi-Nya.” Abu Bakar pun menangis dan menangis. Lalu dia berkata, “Kami rela untuk menebus anda dengan bapak-bapak dan anak-anak kami (ya Rasulullah).” Dia -Abu Bakar- berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam itulah hamba yang diberi pilihan tersebut.” Ternyata Abu Bakar adalah orang yang paling berilmu di antara kami tentangnya… (HR. Bukhari di beberapa tempat; [1] di Kitab ash-Shalah [hadits no. 466], [2] di Kitab Fadha’il ash-Shahabah [hadits no. 3654], [3] di Kitab Manaqib al-Anshar [hadits no. 3904] dan Muslim di Kitab Fadha’il ash-Shahabah [hadits no. 2382], lihat Syarh Shahih Muslim [8/7])

Jadilah Kunci Kebaikan!

Imam Ibnu Majah meriwayatkan di dalam Sunannya, begitu pula Ibnu Abi ‘Ashim di dalam as-Sunnah hadits dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya ada di antara manusia, orang-orang yang menjadi kunci-kunci kebaikan, penutup-penutup keburukan. Dan ada juga sebagian orang yang menjadi kunci-kunci keburukan, penutup-penutup kebaikan. Maka beruntunglah orang yang Allah jadikan sebagai pembuka pintu kebaikan, dan sungguh celakalah orang yang Allah jadikan dia sebagai pembuka pintu keburukan.” (Hadits ini dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam ash-Shahihah [1332], diambil dari ‘Kaifa Takunu Miftahan Lil Khair’, karya Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Badr hafizhahullah, hal. 5). Semoga Allah menjadikan kita… sebagai kunci kebaikan…! Amin ya Mujiibas saa’iliin

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi

Islam Merupakan Rahmat, Bukan Ancaman

Abu Fathan | 19:07 | 0 comments
Saya tidak melupakan untuk menyebutkan satu hal yang nantinya menjadi pijakan tema sekarang ini, yaitu rahmat Islam dan rahmat Nabi Islam. Sungguh saya bisa merasakan dan melihat rahmat ada pada masyarakat muslim di negeri yang baik ini. Mereka mencintai Allah dan RasulNya, serta mencintai kebenaran yang datang dari Rabb dan RasulNya. Ini adalah keistimewaan yang tiada bandingannya. Sebuah etika yang sedikit sekali orang yang menghiasi dirinya dengannya pada masa sekarang ini. Dan memang semakin jauh masa dari masa nubuwwah, maka kebaikan semakin sedikit. .

Seperti yang dikatakan Nabi :


مَا مِنْ عَامٍ إِلَّا الَّذِي بَعْدَهُ شَرٌّ مِنْهُ حَتَّى تَلْقَوْا رَبَّكُمْ

Tidak ada satu masa (yang datang), kecuali masa setelahnya itu lebih buruk darinya, sampai kalian menjumpai Rabb kalian. (HR at Tirmidzi, no. 2132).

Maka, saya ucapkan selamat kepada Anda sekalian, atas etika yang baik ini, ketundukan kepada Allah dan RasulNya sebagai rasa pengagungan kepada Allah dan RasulNya. Dan saya mentazkiah (memuji) Anda sekalian dihadapan Allah.

Saya ingin menyampaikan sesuatu yang bergejolak dalam dada. Sesuatu ini nampak kontradiktif, akan tetapi merupakan sebuah kebenaran jika dijelaskan dan diterangkan. Hal tersebut tentang Islam adalah rahmat, Rabb kita adalah ar Rahim (Maha Penyayang) dan Nabi kita adalah rahmat bagi seluruh alam.

Adapun sisi kontradiksif yang ada dalam benak saya, bahwasanya masalah-masalah di atas termasuk perkara-perkara badahiy, yang jelas dan lebih jelas dari matahari pada siang hari. Kemudian, tiba-tiba kita harus menjelaskannya lagi sebagai wujud pembelaan terhadap Islam, penjelasan atas pemutarbalikkan kenyataan tentang Islam, dan penjelasan terhadap sebuah kondisi saat pandangan terhadap Islam sudah berubah.

Tidak disangsikan lagi, ini merupakan sesuatu yang merisaukan hati dan pikiran, kita menyaksikan fakta yang kontradiktif untuk menjelaskan sebuah permasalahan yang sudah diimani, permasalahan yang jelas, yaitu agama ini (Islam) adalah rahmat, Allah Maha Penyayang dan Nabi kita Muhammad n juga seorang penyayang. Karenanya, saya memohon kepada Allah agar berkenan menolong kita dalam memahami makna ini dan mengamalkannya.

Nash-nash dari al Qur`an dan Sunnah Nabawiyah yang menguatkan topik ini dan memantapkan penjelaskan ini sangatlah banyak, tidak terhitung jumlahnya. Akan tetapi, kita harus menyebutkan sebagian, agar hati menjadi tenang dalam kebenaran. Dan akal pikiran serta jiwa merasa berbahagia dengan hidayah.

Nash yang paling agung yaitu, Allah mensifati diriNya sendiri bahwa Dia Dzat Yang Maha Penyayang. Sifat dengan nama ini, banyak terdapat di dalam al Qur`an. Cukuplah bagi Anda, sebuah nash yang Anda baca berulang kali dalam shalat sehari semalam sebanyak lebih dari sepuluh kali, agar pemahaman terhadap makna ini tertanam dan tertancap dalam hati dan perasaan. Allah k berfirman :


بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ {1} الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ {2} الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ


Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. (QS al Fatihah : 1-3).

Anda mengulanginya pada tiap raka’at, saat membaca basmalah dan membaca ayat kedua (dari surat al Fatihah), sehingga gambaran makna ini dan juga realisasinya, baik secara ilmiah atau amaliah bisa dilakukan (secara bersamaan) dalam satu waktu.

Allah juga mensifati NabiNya n dengan sifat rahim (penyayang) itu. Allah k berfirman :

بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ

(Nabi Muhammad) amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mu'min. (QS at Taubah : 128).

Nabi kita rahim (penyayang), sebagaimana juga Rabb kita Rahim (Maha Penyayang). Akan tetapi, rahim (kasih-sayang)nya Nabi n penghulu seluruh Bani Adam, sesuai dengan kebesaran beliau n dan sifat kemanusiaannya. Sedangkan Rahim (penyayang)nya Allah sesuai dengan keagunganNya dan kesempurnaanNya. Jadi rahmat (kasih-sayang) merupakan sifat Allah dan sifat Rasulullah n . Allah dan RasulNya menginginkan agar rahmat ini menjadi nyata di muka bumi. Karena din (agama) ini merupakan din rahmat. Allah k berfirman :

وَمَآ أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّرَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ

Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (QS al Anbiya’ : 107).

Allah tidak mengatakan “ ... sebagai rahmat bagi kaum Mukminin,” namun Allah mengatakan rahmat bagi seluruh alam, bukan hanya manusia; bahkan rahmat ini terasa juga pada alam lain, yaitu alam jin dan malaikat.

Dan Nabi n menyampaikan tentang dirinya n :

إِنَّمَا أَنَا رَحْمَةٌ مُهْدَاةٌ

Aku adalah rahmat yang dihadiahkan.

Banyak nash dari Nabi n yang menegaskan kepada kaum Mukmin, kaum yang menyambut seruan Allah dan RasulNya, yang mengimani hukum Allah dan RasulNya, dan tunduk kepada hukum Allah dan RasulNya, agar menjadi orang-orang yang memiliki rasa kasih-sayang dan saling menyayangi, sehingga mereka akan disayangi oleh Allah k , bukan sekedar rahmat yang berbentuk angan-angan yang diimpikan oleh hati dan dilantunkan oleh lisan. Kalau hanya sekedar itu, maka ini bisa dilakukan oleh semua orang. Allah k berfirman :

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَالاَتَفْعَلُونَ {2} كَبُرَ مَقْتًا عِندَ اللهِ أَن تَقُولُوا مَالاَتَفْعَلُونَ

Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan. (QS ash Shaf : 2,3).

Allah menginginkan kita menjadi orang-orang yang menyayangi dan saling menyayangi, lagi disayangi; bukan hanya sekedar ucapan, akan tetapi (dibuktikan) dengan amal; bukan sekedar ungkapan, akan tetapi (diwujudkan) dengan perbuatan. Rasulullah n bersabda :

الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمْ الرَّحْمَنُ ارْحَمُوا مَنْ فِي الْأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ

Orang-orang yang menyayangi akan disayang oleh Dzat yang Maha Penyayang. Sayangilah orang yang ada di muka bumi, niscaya Dzat yang ada diatas langit (Allah) akan menyayangi kalian.

Nabi juga bersabda :

ارْحَمُوا تُرْحَمُوا

Berbuat kasih-sayanglah kalian, pasti kalian akan disayangi.

Sabda beliau n :

مَنْ لَا يَرْحَمُ لَا يُرْحَمُ

Orang yang tidak memiliki rasa kasih-sayang, tidak akan disayang.

Semua nash di atas dan yang lainnya menegaskan makna rahmat, supaya membumi dalam kehidupan dan sistem yang dilaksanakan; saling menyayangi satu dengan yang lain, saling berlemah- lembut, saling menolong, terutama kepada orang yang diberi taufik oleh Allah, dan diberi petunjuk untuk memeluk Islam dan mengikuti Sunnah Nabi n .

Rahmat ini tidak akan bisa diwujudkan secara benar, kecuali dengan ilmu yang bermanfaat berlandaskan al Qur`an dan Sunnah Rasulullah n . Adapun rahmat tanpa dilandasi ilmu, tetapi dilandasi kejahilan, hanyalah sebuah perasaan yang berkutat di dalam dada, terkadang tidak sesuai dengan tempatnya; menjadi tidak jelas, dan ketidakjelasan ini membuahkan kesalahan besar.

Oleh karena itu Ahlus Sunnah itu berasal dari ahli ilmu, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Taimiyyah : “Ahlus Sunnah adalah orang yang paling tahu tentang al haq (kebenaran) dan paling sayang terhadap makhluk”.

Rasa kasih-sayang ini menuntut kita agar memberikan nasihat kepada orang lain, berlemah- lembut kepada mereka, dan menuntut Anda agar memberikan kesempatan kepada mereka untuk bertaubat kepada Allah k , kembali ke jalan Allah sebelum mereka meninggal.

Rasa kasih-sayang (rahmat) ini menuntut Anda untuk memiliki rasa kepedulian (terhadap keselamatan makhluk) yang Anda ambil dari sifat Rasulullah yang diberikan Allah kepada beliau, yaitu:

... حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ


…(Rasulullah) sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mu'min. (QS at Taubah : 128).



Semangat ini semestinya diiringi kelembutan dan kasih-sayang, yang merupakan ciri terbesar dan paling agung din (agama) ini, bukan kekasaran dan kekakuan, tidak dibarengi sikap ekstrim atau sikap berlebihan, tetapi, dengan kelembutan yang menjadi simbol agama ini.

Agar tidak ada orang yang berprasangka dan menduga bahwa rahmat (rasa kasih-sayang) ini hanya untuk kaum Muslimin saja, atau berlaku hanya di kalangan kaum Muslimin (saja), sehingga menyeretnya kepada kebatilan, maka saya perlu menyebutkan beberapa nash dari hadits Nabi yang menerangkan rahmat ini dan cakupannya. Rahmat ini bukan hanya bagi kaum Muslimin saja, akan tetapi juga bagi orang-orang kafir; bukan hanya untuk manusia, tetapi juga untuk bangsa hewan sekalipun.

Nabi Muhammad n adalah pemimpin para da’i (mubaligh) dan pemimpin orang-orang yang bersabar terhadap berbagai macam siksa dan cercaan. Beliau n bersabar menghadapi permusuhan dan penyiksaan, serta mendoakan kebaikan atas pelakunya. Ketika orang-orang kafir dahulu melukai kepala beliau n , membuat beliau mengeluarkan darah, dan saat mereka mematahkan gigi beliau n , Nabi n tidak berdoa kepada Allah l agar memberikan balasan buruk kepada mereka, tetapi, beliau n hanya menginginkan rahmat buat mereka, karena beliau adalah rahmat. Rasulullah berdoa saat itu :

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِقَوْمِي فَإِنَّهُمْ لَا يَعْلَمُونَ

Ya, Allah. Ampunilah kaumku, karena mereka itu tidak mengetahui.

Padahal beliau n disiksa dan disakiti oleh mereka. Bahkan Rasulullah n bersabda :

وَمَا أُوذِيَ أَحَدٌ فِي اللَّهِ مِثْلَ مَا أُوذِيْتُ


Tidak ada seorang pun yang disakiti di jalan Allah sebagaimana (sebesar) gangguan yang menimpaku.



Rasulullah n dengan kesabarannya n mengatakan :

لَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يُخْرِجَ مِنْ أَصْلَابِهِمْ مَنْ يُوَحِّدُ اللَّهَ

Semoga Allah mengeluarkan kaum yang mentauhidkan Allah dari tulang punggung (keturunan) mereka.



Kesabaran beliau n berperan besar dalam penyebaran din ini, menempati andil besar dalam membimbing umat melalui amal nyata, bukan sekedar teori sebagaimana yang dikatakan pada masa ini. Bahkan, Nabi n rahim (memiliki rasa sayang) dalam situasi peperangan dan sedang berhadapan dengan para musuh Islam. Peperangan dalam Islam bukanlah perang permusuhan, akan tetapi perang penebusan; peperangan untuk menebarkan sendi-sendi kasih-sayang. Membunuh musuh bukanlah tujuan utama dan pertama, akan tetapi itu merupakan pilihan terakhir. Tawaran pertama adalah memeluk agama Islam, kedua adalah membayar jizyah (pembayaran sebagai ganti jaminan keamanan), dan ketiga adalah tidak mengganggu kaum Muslimin. Jika orang-orang kafir tidak mempedulikannya, tetap mengganggu dan menyakiti kaum Muslimin, maka mereka harus diperangi, dan ini pun harus dengan perintah dari penguasa dan para ulama yang saling bahu-membahu dalam menolong din Allah ini. Tetapi, kalau yang berinisiatif mengobarkan peperangan adalah individu-individu, maka perlu dimengerti, bahwa masalah memobilisasi perang bukanlah hak per individu. Allah berfirman :



وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلاَ تَعْتَدُوا إِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ




Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (QS al Baqarah : 190).



Inilah sendi-sendi din Islam dalam keadaan damai maupun perang, juga ketika sedang berhadapan dengan musuh. Nabi n senantiasa mengarahkan para komandan supaya berbuat rahmat (kasih sayang) dan menuju rahmat (kasih sayang). Rasulullah n bersabda :



Khat



Janganlah kalian membunuh anak kecil, orang yang sudah renta, jangan membunuh para rahib di gereja, dan janganlah kalian mematahkan pepohonan.

Allahu Akbar!!! Inilah akhlak Rasulullah n , inilah karakter beliau n . Rasulullah n sama sekali tidak pernah melakukan pembunuhan membabi buta, apatah lagi menjadi tujuan, atau menjadi sesuatu yang digemari atau yang beliau perintahkan?

Pembunuhan dengan membabi-buta tidak pernah diridhai oleh Rabb kita dan Rasul kita Muhammad n . Bagaimana mungkin meridhai? Pembunuhan dengan membabi-buta, hanya akan mendatangkan masalah dan tertumpahnya darah yang sangat disesalkan hati nurani manusia, apalagi oleh Allah dan Rasulullah n .

Dengan akhlak dan sendi-sendi ini, Islam mendapatkan keutamaan, Islam menjadi yang terdepan dan memiliki peran dalam menancapkan pondasi, atas apa yang mereka sebut menyuarakan hak-hak asasi manusia dan yang mereka sebut hak-hak asasi hewan. Sebelum ilmu pengetahuan mengalami kemajuan, sebelum peradaban Barat, dan sebelum sarana komunikasi mengalami perkembangan yang saat ini dirasakan oleh berbagai belahan dunia, Islam terlebih dahulu menyuarakan hak-hak manusia dan hak-hak hewan. Bagaimanapun mereka berusaha mendahului, berusaha mengunggulkan peradaban mereka dan berusaha merealisasikan makna-makna dan ajaran-ajaran ini, maka Islam tetap yang terdepan.


Islam terdepan dalam menanamkan sendi-sendi yang luhur, dan selanjutnya merealisasikannya dalam kehidupan nyata, dalam sejarah masa lalunya, sekarang ini dan pada masa yang akan datang, insya Allah k . Bukankah Rasulullah n bersabda :

إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الْإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذِّبْحَةَ وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ وَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَهُ

Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kalian berbuat baik kepada segala sesuatu. Jika kalian membunuh (melaksanakan hukum qishash), maka perbaikilah cara pelaksanaannya. Jika kalian melakukan penyembelihan hewan, maka berbuat baiklah dalam penyembelihan. Hendaklah salah seorang di antara kalian menajamkan pisaunya dan menyenangkan binatang sembelihannya.

Inilah akhlak yang ditampilkan dalam mu’amalah seorang muslim, mu’amalah dalam Islam, hingga dalam hal pemotongan hewan. Lalu bagaimana dalam mu’amalah dengan manusia yang diterangkan sifatnya oleh Allah k :

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِى ءَادَمَ

Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, (QS al Israa’ : 70).



Dengan apa Allah memuliakan mereka? Dengan apa Allah mengunggulkan mereka? Tidak lain, kecuali dengan menunjukkan mereka kepada din Allah yang haq, memberikan petunjuk kepada mereka agar menjadi da’i menuju jalan Allah k . Sehingga mereka menjadi orang yang shalih dan mengadakan perbaikan bagi yang lain. Ini merupakan penghargaan yang teramat tinggi. Ini pulalah yang masih banyak, bahkan kebanyakan hilang dari manusia, kecuali manusia mau bertaubat kepada Allah. Dan ini, jika Allah tidak memberikan pentunjuk, maka tidak akan ada yang memberikan petunjuk selain Allah k .


Supaya gambaran ini menjadi sempurna dan kebenaran menjadi jelas, saya perlu mengingatkan, bahwa makna rahmat (kasih-sayang) dan lemah-lembut tidaklah bertentangan dengan ‘izzah (keperkasaan) seorang muslim. Rasa kasih-sayang seorang muslim tidak boleh menyebabkannya tunduk, kecuali kepada al haq (kebenaran) dan (tidak boleh) merendahkan diri, kecuali kepada kaum Muslimin. Rasa kasih-sayang memiliki tempat tersendiri; begitu juga dengan ‘izzah. Nabi n bersabda :



ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ (فَذَكَرَ مِنْهَا) وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ بَعْدَ أَنْ أَنْقَذَهُ اللَّهُ مِنْهُ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ

Ada tiga hal, barangsiapa memiliki ketiga hal ini, maka dia akan merasakan manisnya iman ... (lalu beliau n menyebutkannya, salah satunya yaitu) ... tidak mau kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkannya dari kekufuran, sebagaimana dia tidak mau dicampakkan ke dalam api.



Ini termasuk ‘izzah seorang muslim dengan keimanannya, tidak tunduk kepada selain Allah k . Dan Nabi n juga bersabda :

الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ

Seorang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah, daripada seorang mukmin yang lemah. Dan masing-masing memiliki kebaikan. Masing mendapatkan kebaikan sesuai dengan kekuatan (yang dimilikinya).

Jadi kekuatan, perasaan tinggi, merasa perkasa, (itu) memiliki tempat tersendiri. Sama sekali tidak bertentangan dengan ketundukan seorang muslim kepada Rabb-nya, bukan tunduk kepada musuhnya. Sifat kasih-sayang ini tidak bertentangan dengan perintah Allah kepada NabiNya :




يَآأَيُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ وَمَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ



Hai Nabi, perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah neraka Jahannam, dan itu adalah seburuk-buruk tempat kembali. (QS at Tahrim : 9)



Juga tidak bertentangan dengan sifat yang diberikan Allah kepada kaum Mukminin, bahwa mereka itu,



مُّحَمَّدُُ رَّسُولُ اللهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّآءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَآءُ بَيْنَهُمْ



Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, (QS al Fath : 29).



Ketegasan sikap yang terdapat dalam firman Allah k di atas memiliki saat dan tempat tersendiri. Sebagaimana telah dijelaskan di muka, bahwa tempatnya adalah pada urutan ketiga, bukan urutan pertama. Karena orang yang tidak mau menerima ajakan masuk Islam, pada tahapan pertama; dan tidak menghiraukan peringatan, urutan kedua; berarti dia adalah orang yang enggan menerima kebenaran dan berlaku semena-mena terhadap makhluk, maka dia berhak mendapatkan sikap keras ini. Dan dalam sikap keras terdapat pelajaran bagi orang-orang yang lain. Bukankah Allah k berfirman :




فَشَرِّدْ بِهِم مَّنْ خَلْفَهُمْ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ {57}

Maka cerai-beraikanlah orang-orang yang di belakang mereka dengan (menumpas) mereka, supaya mereka mengambil pelajaran. (QS al Anfal : 57).



Begitulah, sikap keras ini juga mengandung pembelajaran tentang rahmat (kasih-sayang), supaya orang-orang yang sombong itu berhenti dari kesombongannya. Karena pelajaran bagi mereka sudah cukup untuk mendidik jiwa.

Untuk memperjelas, saya bawakan permisalan, dan permisalan yang paling tinggi hanyalah milik Allah. Tidakkah Anda perhatikan, saat Anda mengajari anak Anda dan mendidiknya; jika ia gagal, Anda memberikan peringatan. Jika dia tetap dalam keadaannya, maka Anda akan memukulnya.

Ya, itu memang sebuah pemukulan yang menyakitkan, akan tetapi, (hal) itu untuk tujuan pendidikan, bukan pukulan yang mengandung dendam, tetapi, sebuah pukulan yang mengandung kebaikan. Begitu pula sikap keras dalam Islam, dia memiliki saat dan tempat tersendiri yang mengandung kasih-sayang dan sebagai realisasi dari firman Allah k :



وَمَآ أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّرَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ



Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (QS al Anbiya’ : 107).




Akhirnya, saya memohon kepada Allah k , agar menjadikan kita sebagai orang-orang yang penyayang dan menjadi orang-orang yang mendapatkan kasih-sayang, menjadi orang yang mengajak manusia menuju Kitab Allah, menjadi orang yang senantiasa mengikuti Sunnah Rasulullah n , (menjadi) orang yang berpegang teguh dengan tali Allah, menjadi orang yang tunduk kepada tauhidNya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa untuk melakukan itu semua.

Washallahu ‘ala Nabiyina Muhammad wa ‘ala aalihi wa shahbihi ajma’in.

Oleh Syaikh ‘Ali bin Hasan al Halaby

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun X/1427H/2006. ]

_______

Footnote

Transkip ceramah di Masjid Istiqlal Jakarta pada tanggal 19 Februari 2006 M

Aksioma, sudah menjadi hal yang diterima.


HR Imam ad Darimi

HR Imam Tirmidzi.

HR Imam Ahmad.

HR Imam Bukhari dan Imam Muslim.

HR Imam Bukhari dan Imam Muslim.

Hadits yang senada diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan Ibnu Majah, yaitu :


وَلَقَدْ أُوذِيتُ فِي اللَّهِ وَمَا يُؤْذَى أَحَدٌ

Dan sungguh aku pernah diganggu di jalan Allah, dan tidak ada seorang pun yang pernah mengalaminya.

HR Imam Tirmidzi, Imam Nasa-i, Abu Dawud, Ibnu Majah dan Imam Ahmad.

HR Imam Bukhari dan Imam Muslim.

HR Imam Muslim.

Pilihan Alloh Itulah Yang Terbaik

Abu Fathan | 22:19 | 0 comments
Imam adz-Dzahabi[1] dan Ibnu Katsir[2] menukil dalam biografi shahabat yang mulia dan cucu kesayangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, al-Hasan bin ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, bahwa pernah disampaikan kepada beliau tentang ucapan shahabat Abu Dzar, “Kemiskinan lebih aku sukai daripada kekayaan dan (kondisi) sakit lebih aku sukai daripada (kondisi) sehat”. Maka al-Hasan bin ‘Ali berkata, “Semoga Allah merahmati Abu Dzar, adapun yang aku katakan adalah: “Barangsiapa yang bersandar kepada baiknya pilihan Allah untuknya maka dia tidak akan mengangan-angankan sesuatu (selain keadaan yang Allah Ta’ala pilihkan untuknya). Inilah batasan (sikap) selalu ridha (menerima) semua ketentuan takdir dalam semua keadaan (yang Allah Ta’ala) berlakukan (bagi hamba-Nya)”.

Atsar (riwayat) shahabat di atas menggambarkan tingginya pemahaman Islam para shahabat radhiyallahu ‘anhum dan keutamaan mereka dalam semua segi kebaikan dalam agama[3].

Dalam atsar ini shahabat Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu menjelaskan bahwa kondisi susah (miskin dan sakit) lebih baik bagi seorang hamba daripada kondisi senang (kaya dan sehat), karena biasanya seorang hamba lebih mudah bersabar menghadapi kesusahan daripada bersabar untk tidak melanggar perintah Allah Ta’ala dalam keadaan senang dan lapang, sebagaimana yang diisyaratkan dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Demi Allah, bukanlah kemiskinan yang aku takutkan (akan merusak agama) kalian, akan tetapi yang aku takutkan bagi kalian adalah jika (perhiasan) dunia dibentangkan (dijadikan berlimpah) bagi kalian sebagaimana (perhiasan) dunia dibentangkan bagi umat (terdahulu) sebelum kalian, maka kalian pun berambisi dan berlomba-lomba mengejar dunia sebagaimana mereka berambisi dan berlomba-lomba mengejarnya, sehingga (akibatnya) dunia itu membinasakan kalian sebagaimana dunia membinasakan mereka”[4].

Akan tetapi, dalam atsar ini, cucu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, al-Hasan bin ‘Ali radhiyallahu ‘anhu mengomentari ucapan Abu Dzar di atas dengan pemahaman agama yang lebih tinggi dan merupakan konsekwensi suatu kedudukan yang sangat agung dalam Islam, yaitu ridha kepada Allah Ta’ala sebagai Rabb (Pencipta, Pengatur, Pelindung dan Penguasa bagi alam semesta), yang berarti ridha kepada segala perintah dan larangan-Nya, kepada ketentuan takdir dan pilihan-Nya, serta kepada apa yang diberikan dan yang tidak diberikan-Nya[5].

Sikap ini merupakan ciri utama orang yang akan meraih kemanisan dan kesempurnaan iman, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Akan merasakan kelezatan/kemanisan iman, orang yang ridha dengan Allah I sebagai Rabb-nya dan islam sebagai agamanya serta (Nabi) Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rasulnya”[6].

Beberapa pelajaran berharga yang dapat kita petik dari kisah di atas:

- Bersandar dan bersarah diri kepada Allah Ta’ala adalah sebaik-baik usaha untuk mendapatkan kebaikan dan kecukupan dari-Nya[7]. Allah berfirman:

{وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ}


Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya” (QS ath-Thalaaq: 3).


- Ridha dengan segala ketentuan dan pilihan Allah Ta’ala bagi hamba-Nya adalah termasuk bersangka baik kepada-Nya dan ini merupakan sebab utama Allah Ta’ala akan selalu melimpahkan kebaikan dan keutmaan bagi hamba-Nya. Dalam sebuah hadits qudsi Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Aku (akan memperlakukan hamba-Ku) sesuai dengan persangkaannya kepadaku”[8].



Makna hadits ini: Allah akan memperlakukan seorang hamba sesuai dengan persangkaan hamba tersebut kepada-Nya, dan Dia akan berbuat pada hamba-Nya sesuai dengan harapan baik atau buruk dari hamba tersebut, maka hendaknya hamba tersebut selalu menjadikan baik persangkaan dan harapannya kepada Allah Ta’ala[9].


- Takdir yang Allah Ta’ala tetapkan bagi hamba-Nya, baik berupa kemiskinan atau kekayaan, sehat atau sakit, kegagalan dalam usaha atau keberhasilan dan lain sebagainya, wajib diyakini bahwa itu semua adalah yang terbaik bagi hamba tersebut, karena Allah Ta’ala maha mengetahui bahwa di antara hamba-Nya ada yang akan semakin baik agamanya jika dia diberikan kemiskinan, sementara yang lain semakin baik dengan kekayaan, dan demikian seterusnya[10].


- Imam Ibnu Muflih al-Maqdisi berkata,”Dunia (harta) tidaklah dilarang (dicela) pada zatnya, tapi karena (dikhawatirkan) harta itu menghalangi (manusia) untuk mencapai (ridha) Allah Ta’ala, sebagaimana kemiskinan tidaklah dituntut (dipuji) pada zatnya, tapi karena kemiskinan itu (umumnya) tidak menghalangi dan menyibukkan (manusia) dari (beribadah kepada) Allah. Berapa banyak orang kaya yang kekayaannya tidak menyibukkannya dari (beribadah kepada) Allah Ta’ala, seperti Nabi Sulaiman ‘alaihis salam, demikian pula (sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) ‘Utsman (bin ‘Affan) dan ‘Abdur Rahman bin ‘Auf . Dan berapa banyak orang miskin yang kemiskinannya (justru) melalaikannya dari beribadah kepada Allah dan memalingkannya dari kecintaan serta kedekatan kepada-Nya…”[11].



- Orang yang paling mulia di sisi Allah Ta’ala adalah orang yang mampu memanfaatkan keadaan yang Allah Ta’ala pilihkan baginya untuk meraih takwa dan kedekatan di sisi-Nya, maka jika diberi kekayaan dia bersyukur dan jika diberi kemiskinan dia bersabar. Allah Ta’ala berfirman,


{إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ }


Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu” (QS al-Hujuraat: 13).

Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Alangkah mengagumkan keadaan seorang mukmin, karena semua keadaannya (membawa) kebaikan (untuk dirinya), dan ini hanya ada pada seorang mukmin; jika dia mendapatkan kesenangan dia akan bersyukur, maka itu adalah kebaikan baginya, dan jika dia ditimpa kesusahan dia akan bersabar, maka itu adalah kebaikan baginya”[12].

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Kendari, 7 Jumadal ula 1432 H

Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA

Membalas Kebaikan Orang Lain

Abu Fathan | 22:14 | 0 comments
Para pembaca rahimakumullah, berterima kasih atas pemberian orang lain adalah perangai terpuji. Setiap muslim hendaknya menghiasi diri dengannya. Allah Subhanallahu wa Ta’ala berfirman (artinya):

“Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula).” (Ar-Rahman: 60)

Adalah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam memerintahkan umatnya agar membalas kebaikan orang lain, sebagaimana sabdanya:

“Barangsiapa diperlakukan baik (oleh orang), hendaknya ia membalasnya. Apabila ia tidak mendapatkan sesuatu untuk membalasnya, hendaknya ia memujinya. Jika ia memujinya, maka ia telah berterima kasih kepadanya; namun jika menyembunyikannya, berarti ia telah mengingkarinya…” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad. Lihat Shahih Al-Adab Al-Mufrad no. 157)

Pada umumnya, seseorang merasa berat hati untuk mengeluarkan tenaga, harta, waktu, dan yang semisalnya jika tidak ada imbal balik darinya. Oleh karena itu, barangsiapa yang mencurahkan semua itu untuk saudaranya dengan hati yang tulus, orang seperti ini berhak dibalas kebaikannya dan disyukuri pemberiannya.

Apabila kita diperintahkan untuk berbuat baik kepada orang yang berbuat jahat kepada kita dan memaafkannya, tentu balasan orang yang berbuat baik kepada kita hanyalah kebaikan.

Perlu diketahui juga, dalam Islam orang yang memberi lebih baik daripada orang yang menerima. Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

“Tangan yang di atas (pemberi) lebih baik daripada tangan yang di bawah (penerima pemberian).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Oleh karena itu, hendaknya kita menjadi umat yang suka memberi daripada banyak menerima. Jika kita menerima pemberian, berbalas budilah!, karena seperti itulah contoh dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Adalah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam menerima hadiah (pemberian selain shadaqah) dan membalasnya.” (Shahih Al-Bukhari no. 2585)

Berbalas budi –di samping merupakan perangai yang disukai oleh Islam dan terpuji di tengah masyarakat– adalah salah satu cara untuk mencegah timbulnya keinginan mengungkit-ungkit pemberian yang bisa membatalkan amal pemberiannya.

Bentuk Balas Budi

Bentuk membalas kebaikan orang sangat banyak ragam dan bentuknya. Tentu saja setiap orang membalas sesuai dengan keadaan dan kemampuannya. Jika seseorang membalas dengan yang sepadan atau lebih baik, inilah yang diharapkan. Jika tidak, maka memuji orang yang memberi di hadapan orang lain, mendoakan kebaikan, dan memintakan ampunan baginya, juga merupakan bentuk membalas kebaikan orang.

Dahulu, orang-orang Muhajirin datang kepada Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam dengan mengatakan, “Wahai Rasulullah, orang-orang Anshar telah pergi membawa seluruh pahala. Kami tidak pernah melihat suatu kaum yang paling banyak pmberiannya dan paling bagus bantuannya pada saat kekurangan selain mereka. Mereka juga telah mencukupi kebutuhan kita.” Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam menjawab, “Bukankah kalian telah memuji dan mendoakan mereka?” Para Muhajirin menjawab, “Iya.” Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Itu dibalas dengan itu.” (HR. Abu Dawud dan An-Nasa`i. Lihat Shahih At-Targhib no. 963)

Maksudnya, selagi orang-orang Muhajirin memuji orang-orang Anshar karena kebaikan mereka, para Muhajirin telah membalas kebaikan mereka.

Di antara bentuk pujian yang paling bagus untuk orang yang berbuat baik adalah ucapan:

جَزَاكَ اللهُ خَيْرًا


“Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan.”


Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:


“Barangsiapa diperlakukan baik lalu ia mengatakan kepada pelakunya,


جَزَاكَ اللهُ خَيْرًا


“Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan,” ia telah tinggi dalam memujinya.” (Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 2035, cet. Al-Ma’arif)



Mensyukuri yang Sedikit Sebelum yang Banyak


Seseorang belum dikatakan mensyukuri Allah Subhanallahu wa Ta’ala jika belum berterima kasih terhadap kebaikan orang. Hal ini seperti yang disabdakan oleh Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam:


“Tidak bersyukur kepada Allah orang yang tidak berterima kasih kepada manusia.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dan Abu Dawud dalam Sunan-nya)



Hadits ini mengandung dua pengertian:


1. Orang yang tabiat dan kebiasaannya tidak mau berterima kasih terhadap kebaikan orang, biasanya ia juga mengingkari nikmat Allah Subhanallahu wa Ta’ala dan tidak mensyukuri-Nya.


2. Allah Subhanallahu wa Ta’ala tidak menerima syukur hamba kepada-Nya apabila hamba tersebut tidak mensyukuri kebaikan orang, karena dua hal ini saling berkaitan.


Ini adalah makna ucapan Al-Imam Al-Khatthabi v seperti disebutkan dalam ‘Aunul Ma’bud (13/114, cet. Darul Kutub Al-Ilmiyah).



Orang yang tidak bisa mensyukuri pemberian orang meskipun hanya sedikit, bagaimana ia akan bisa mensyukuri pemberian Allah Subhanallahu wa Ta’ala yang tak terbilang?! Allah Subhanallahu wa Ta’ala berfirman (artinya):


“Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya.” (An-Nahl: 18)


Orang-orang yang Harus Disyukuri Pemberiannya


Di antara manusia yang wajib disyukuri kebaikannya adalah kedua orang tua. Ini sebagaimana firman Allah Subhanallahu wa Ta’ala (artinya):



“Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu.” (Luqman: 14)


Kedua orang tua telah mengorbankan semua miliknya demi kebaikan anaknya. Mereka siap menanggung derita karena ada seribu asa untuk buah hatinya. Oleh karena itu, sebaik apa pun seorang anak menyuguhkan berbagai pelayanan kepada kedua orang tuanya, belumlah mempu membalas kebaikan mereka, kecuali apabila mereka tertawan musuh atau diperbudak lalu sang anak membebaskannya dan memerdekakannya. Hak kedua orang tua sangatlah besar sehingga sangat besar pula dosa yang ditanggung oleh seseorang manakala mendurhakai kedua orang tuanya.


Demikian pula, kewajiban seorang istri untuk berterima kasih kepada suaminya sangatlah besar. Seorang suami telah bersusah-payah mencarikan nafkah serta mencukupi kebutuhan anak dan istrinya. Oleh karena itu, seorang istri hendaknya pandai-pandai berterima kasih atas kebaikan suaminya. Jika tidak, ia akan diancam dengan api neraka.


Dahulu ketika melakukan shalat gerhana, diperlihatkan surga dan neraka kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam. Diperlihatkan kepada beliau api neraka yang ternyata kebanyakan penghuninya adalah wanita. Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam menyebutkan bahwa sebabnya adalah mereka banyak melaknat dan mengingkari kebaikan suaminya. (Lihat Shahih Muslim no. 907)



Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:


“Wahai para wanita, bersedekahlah kalian dan perbanyaklah istighfar (memohon ampunan kepada Allah Subhanallahu wa Ta’ala), karena aku melihat kalian sebagai penghuni neraka terbanyak.”


Ketika Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam menyampaikan wasiat tersebut, ada seorang wanita bertanya, “Mengapa kami menjadi mayoritas penghuni neraka?” Beliau menjawab, “Kalian banyak melaknat dan mengingkari (kebaikan) suami.” (Mukhtashar Shahih Muslim no. 524)


Apabila seorang istri disyariatkan untuk mengingat kebaikan suaminya, demikian pula seorang suami hendaknya mengingat-ingat kebaikan istrinya.



Adalah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam senantiasa mengingat-ingat jasa dan perjuangan istrinya tercinta, Khadijah bintu Khuwailid radhiyallahu ‘anha. Hal ini seperti yang disebutkan oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Aku belum pernah merasa cemburu terhadap istri-istri Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam seperti cemburuku atas Khadijah radhiyallahu ‘anha, padahal aku belum pernah melihatnya. Akan tetapi, Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam sering menyebutnya. Terkadang beliau menyembelih kambing lalu memotong bagian kambing itu dan beliau kirimkan kepada teman-teman Khadijah radhiyallahu ‘anhu. Terkadang aku berkata kepada Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam, ‘Seolah tidak ada wanita di dunia ini selain Khadijah!’ Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam lalu bersabda, ‘Sesungguhnya Khadijah dahulu begini dan begitu (beliau menyebut kebaikannya dan memujinya). Saya juga mempunyai anak darinya’.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)



Dari hadits di atas diketahui bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam sering mengingat-ingat kebaikan istri beliau yang pertama yang memiliki setumpuk kebaikan. Dialah Khadijah radhiyallahu ‘anha. Ia termasuk orang yang pertama masuk Islam, membantu Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam dengan hartanya, dan mendorong Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam untuk senantiasa tegar menghadapi setiap masalah. Oleh karena itu, hendaknya seorang muslim selalu menjaga kebaikan istrinya, temannya, dan kawan pergaulannya dengan mengingat-ingat kebaikan mereka dan memujinya.


Ada contoh lain dari praktik salaf umat ini dalam membalas kebaikan orang lain. Shahabat Jarir bin Abdillah Al-Bajali radhiyallahu ‘anhu sangat kagum dengan pengorbanan orang-orang Anshar. Oleh karena itu, ketika melakukan perjalanan dengan shahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu –yang termasuk orang Anshar–, beliau memberikan pelayanan dan penghormatan kepada Anas radhiyallahu ‘anhu, padahal beliau lebih tua darinya. Anas radhiyallahu ‘anhu menegur Jarir radhiyallahu ‘anhu supaya tidak memperlakukan dirinya dengan perlakuan istimewa. Akan tetapi, Jarir radhiyallahu ‘anhu beralasan bahwa orang-orang Anshar telah banyak berbuat baik kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam, sehingga ia (Jarir radhiyallahu ‘anhu) bersumpah akan memberikan pelayanan dan penghormatan kepada orang-orang Anshar. (Lihat Shahih Muslim no. 2513)

Oleh: Al Ustadz Abu Muhammad Abdul Mu’thi y

Wallahu Ta’ala A’lam Bishshowab.

Disalin dari artikel dengan judul yang sama dalam majalah Asy-Syari’ah No. 66/VI/1431 H/2010 disertai sedikit perubahan redaksi Buletin Islam AL ILMU Edisi: 8/II/IX/1432

Kejayaan Hanya Milik Islam

Abu Fathan | 19:04 | 0 comments
Sesungguhnya termasuk hal yang sangat menggembirakan, kita bisa bersua kembali dalam masjid ini, di universitas ini, di tengah saudara-saudara kami, kita bersatu dikalimat yang sama, yaitu kalimat tauhid dan di atas kebesaran Islam. Tema kita di pagi hiri yang cerah ini ialah kebesaran milik Allah dan RasulNya dan orang-orang yang beriman. Maksudnya, kebesaran hanya milik Islam semata.

Dalil-dalil yang menunjukan bahwa kejayaan hanya milik Justify FullAllah, RasulNya dan kaum muslimin serta Islam banyak sekali. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَلَٰكِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَا يَعْلَمُونَ

Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi RasulNya dan bagi orang-orang yang beriman, tetapi orang-orang munafik tidak mengetahui. [Al-Munafiqun : 8]

Ayat ini menegaskan bahwa kejayaan hanya milik Allah, RasulNya dan kaum mukminin.

فَلَا تَهِنُوا وَتَدْعُوا إِلَى السَّلْمِ وَأَنتُمُ الْأَعْلَوْنَ وَاللَّهُ مَعَكُمْ وَلَن يَتِرَكُمْ أَعْمَالَكُمْ

Janganlah kamu merasa lemah dan meminta perdamaian, padahal kamulah yang di atas dan Allah (pun) beserta kamu dan dia sekali-kali tidak akan mengurangi (pahala) amal-amalmu. [Muhammad : 35]

Dan sudah di ketahui bagi orang yang mendalami Al-Quran, ia menetapkan bahwa kalimatullah adalah paling tinggi, sedangkan kalimat orang kafir berada dalam tingkat yang paling rendah. Jadi kebesaran milik Islam dalam kitabullah. Demikian juga, hal ini di tegaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga pernyataan dari generasi salaf, sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

لَا يَنْبَغِي لِمُسْلِمٍ أَنْ يُذِلَّ نَفْسَهُ

Tidak selayaknya seorang mukmin menghinakan dirinya” [Hadits Riwayat Ahmad]

Ini dalil agar setiap muslim merasa mulia dengan agamanya. Karena Islam mengajarkan al ‘izzah kepadanya.

Perhatikan dialog antara Abu Sufyan yang masih dalam kekufurannya -padawaktu itu- dengan Umar bin Khaththab, tatkala kaum musyrikin mendapatkan kemenangan dalam perang uhud.

Abu Sufyan berkata: Agungkanlah Hubal, kemudian nabi memerintahkan Umar bin Khaththab untuk menyanggah dengan (perkataan) : ”Allah lebih besar dan lebih tinggi”.

Ini merupakan sebagian dalil dari al kitab dan as Sunnah yang menunjukan bahwa izzah (kebesaran) hanya milik Allah, RasulNya dan Islam.

Apabila kita telah mengetahui bahwa kebesaran itu milik Islam, apakah yang dimaksud dengan izzah dalam Islam, dan bagaimana Islam bisa mengangkat kaum muslimin dari konsep kebesaran jahiliyah menuju kosep izzah imani. Renungkanlah ayat ini, kita lihat dan bandingkanlah. "Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang mu’min, tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui” [Al–Munafiqun : 8]

Lihatlah, Abdullah bin Ubay bin Salul, pimpinan kaum munafqin dalam perang bani Musthaliq. Setelah orang-orang pulang dari perang tersebut –termasuk Rasulullah- dia memunculkan ide penyebaran hadits ifk (berita palsu). Dia menuduh ummul mukminin ash Shiddiqah bin ash Shiddiq (‘Aisyah) dengan tuduhan zina. Wal iyyadzu billah.

Lihatlah, ia mengalihkan peperangan ke rumah beliau, pada kehormatan beliau. Dalam suasana panas penuh isu, simpang-siur sarat berita bohong, orang munafik ini ingin memanfaatkan kesempatan ini, atau ingin menghantam beliau, atau ingin memancing dalam air keruh.

Pada situasi demikian ia mengatakan: لَئِن رَّجَعْنَآ إِلَى الْمَدِينَةِ لَيُخْرِجَنَّ اْلأَعَزُّ مِنْهَا اْلأَذَلَّ (Sesungguhnya jika telah kembali ke Madinah, benar-benar orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah darinya). Yang ia maksud dengan orang yang kuat adalah dia sendiri. Sedangkan yang ia maksud orang yang lemah adalah Rasullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Inilah konsep izzah dalam kaca mata jahiliyah, membanggakan diri, membanggakan kedudukan sosial, dengan nasab, nenek moyang, golongan, banyaknya pengikut, banyaknya harta, dengan jabatan dan harta. Inilah izzah menurut jahiliyah.

Dalam masalah berita palsu ini, Allah tidak membiarkan ada orang yang membantah para penyebar isu berita palsu tersebut. Yang membantah adalah langsung Allah sendiri. Allah merehabilitasi nama baik Ummul Mukminin dalam sebelas ayat pertama dari surat An-Nur. Sementara di dalam surat Al-Munafiqin, Allah membantah Abdullah bin Ubay bin Salul (dengan firmanNya).

وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَلَٰكِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَا يَعْلَمُونَ

“Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi RasulNya dan bagi orang-orang mu’min, tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui” [Al-Munafiqun : 8]

Firman Allah ini seolah-olah mengatakan, tidak ada kebesaran kecuali milik Allah. Dialah yang maha perkasa dan bijak, Maha kuat dan perkasa.Tidak ada kebesaran, kecuali milik Allah. Tidak ada kejayaan, kecuali bersama dengan Allah.

Siapa saja yang tergantung dengan yang maha kuat, niscaya ia menjadi insan yang kuat. Oleh karena itu, Rasulullah berpegang dengan Allah, sehingga ia menjadi kuat. Dan demikian pula dengan kaum mukminin, mereka berpegang kepada Allah dan RasulNya, mereka menjadi insan–insan yang kuat.

Inilah makna izzah dalam kosep imani, bangga diri dengan agama, dengan Allah, Rasul, amal shalih, ilmu yang bermanfaat, serta dakwah kepada Allah. Lihatlah, bagaimana konsep Islam mengangkat manusia dari permukaan bumi menuju ketinggian izzah. Menuju tingginya tekad. Kendatipun jasad-jasad mereka bersentuhan dengan yang ada di bumi, tetapi jiwa-jiwa mereka terikat dengan malail a’la (majlis yang paling tinggi), dengan kenikmatan-kenikmatan yang ada di sisi Allah. Jadi izzah milik Islam.



Apakah (yang menjadi) sumbernya?

Sudah kami katakan tadi, bahwa tidak ada kebesaran kecuali milik Allah. Dan siapa saja yang bersama dengan yang maha perkasa, ia menjadi perkasa Dan siapa saja yang mencari kejayaan dengan selain Allah, niscaya akan hina.



Faktor paling besar yang mendukung kukuhnya izzah ini, adalah aqidah Islamiyyah. aqidah ini bertumpu pada tauhidullah (mentauhidkan Allah), terhadap dzatNya, tindakan-tindakanNya dan asma wa sifatNya,Tidak ada dzat yang berhak di sembah kecuali Allah. Karena itu, barang siapa menyambah Allah, ia menjadi insan yang perkasa. Dan orang yang meyekutukan Allah, akan menjadi manusia hina. Allah-lah yang mengangkat derajat atau menghinakan seseorang. Allah berfirman .



وَتُعِزُّ مَن تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَن تَشَاءُ




Dan Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki, dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. [Ali–Imron : 26]



Barang siapa konsisten pada aqidah yang benar dan tauhid yang lurus, niscaya Alloh akan memuliakannya dengan aqidah dan agama ini. Dan barang siapa yang menyimpang darinya, hendaknya tidak mencela kecuali dirinya sendiri saja.



Faktor lain yang juga dapat mewujudkan ‘ izzah adalah manhaj. Oleh karena itu, Alloh berfirman.



وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِّمَّن دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ



Siapakah yang lebih baik perkataannya dari pada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal sholeh dan berkata : “Sesungguhnya aku termsuk orang–orang yang berserah diri.” [Fushiliat : 33]



Lihatah, setelah ia berpegangan dengan manhaj dan dakwah, kemudian mempunyai rasa bangga dengan agama. Dia mengumandangkan suaranya, bahwa ia seorang muslim, termasuk yang bertauhid kepada Allah dan mengikuti Allah dan RasulNya. Firman Allah :




وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا



(Dan siapakah yang lebih baik perkataannya …), maka jawabannya, tidak ada seorang pun yang lebih baik darinya. Dalam ayat ini Allah mengikat dakwah dengan manhaj. Baru kemudian mengerjakan amalan shalih. Setelah itu, akhirnya ia bangga dengan Islam.



Oleh karena itu, berkaitan dengan syarat diterimanya amalan shalih, ada syarat sah dan syarat kamal (kesempurnaan).



Tentang syarat sah diterimanya amal adalah ikhls bagi Allah dan ittiba’ kepada Nabi. Sedangkan syarat kesempurnaannya amal ialah.



Pertama : Seseorang harus menggenggam agamanya dengan kuat. Allah berfirman.



يَا يَحْيَىٰ خُذِ الْكِتَابَ بِقُوَّةٍ




Hai, Yahya. Ambillah Al–Kitab (Taurat) itu dengan sungguh–sungguh. [Maryam : 12]



Allah berfirman :





"Pegangilah dengan teguh apa yang Kami berikan kepadamu” [Al–Baqarah : 63]



Dan yang dimaksud dengan quwwah ini adalah berbangga diri dengan agama Islam.



Kedua : Tidak malas beramal shalih dan menyegerakan diri dalam mengerjakan amal kebaikan maupun ketaatan.




Sumber kemuliaan Islam yang lain, yaitu menjadi seorang muslim yang mempunyai ciri khas tersendiri dalam aqidah, cara–cara beribadah, penampilan lahiriah atau batiniah.



Dalam seluruh aspek, seorang muslim memiliki ciri khas tersendiri. Umat Islam memiliki nilai istimewa dengan menonjolnya kebaikannya. Allah berfirman :



“Artinya : Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia” [Al–Imran : 110]



Memiliki nilai tersendiri sebagai umat yang adil dan pilihan. Allah berfirman :



“Artinya : Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kami (umat Islam), sebagai umat yang adil dan pilihan” [Al–Baqarah : 143]



Mereka menjadi saksi–saksi Allah di bumi. Lihatlah nilai istimewa yang dimiliki kaum Muslimin dalam ayat.




“Artinya : Tunjukilah kami jalan yang lurus. (Yaitu) jalan orang–orang yang telah Engkau anugerahkan kenikmatan kepada mereka, bukan (jalan) yang dimurkai Allah (yaitu : Yahudi) dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat (yaitu : Nashara” )" [Al–Fatihah : 6–7]



Artinya, tunjukilah kami wahai Rabb ke jalan yang benar dan lurus, bukan jalan orang–orang yang dimurkai Allah, yaitu kaum Yahudi. Juga bukan jalan orang–orang yang sesat, yaitu kaum Nashara. Seorang muslim berbeda dengan Yahudi dan Nashara, penganut agama dan golongan lain. Oleh karena itu Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa salaam melarang tasyabbuh (berserupa) dengan orang–orang kafir. Larangan itu tertuang dalam nasihat beliau yang sangat mengagumkan.



“Artinya : Aku diutus dengan pedang, saat hari Kebangkitan sudah dekat, supaya Allah saja yang disembah. Ditimpakan kehinaan dan kerendahan pada orang yang menentang perintahku. Rezekiku ditetapkan berada di bawah ujung tombak. Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, niscaya ia termasuk dari mereka” [Hadits Riwayat Ahmad]



“Artinya : Aku diutus dengan pedang saat hari Kebangkitan sudah dekat, supaya Allah saja yang disembah”



Ini adalah ‘izzatul Islam. Kita memperjuangkan Islam sampai orang–orang menyembah Pencipta mereka. Kita berjuang untuk mengeluarkan orang–orang dari kegelapan menuju cahaya. Kita memperjuangkan Islam dengan kata–kata, dakwah, dengan hujjah dan burhan sebelum memasuki perjuangan dengan pedang, di setiap tempat dan moment.



Kemudian Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wa salaam mengatakan :




“Artinya : Aku diutus dengan pedang, saat hari Kebangkitan sudah dekat, supaya Allah saja yang disembah”



Jadi, kita berjuang sampai orang–orang menyembah Allah, yang menciptakan mereka.



“Ditimpakan kehinaan dan kerendahan pada orang yang menentang perintah Ku”



Jadi barang siapa mengikuti perintah Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia akan menggenggam izzah (kebesaran) dan rif’ah (ketinggian kedudukan). Barang siapa menentang manhaj Rasul Shalallahu 'alaihi wa sallam, ia akan ditimpa kehinaan. Setelah itu Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam mengatakan.



“Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, niscaya ia termasuk dari mereka”



Maksudnya, barang siapa menyerupai musuh, niscaya akan terhina. Barang siapa silau dengan para musuh, ia akan tersesat. Barangsiapa mengikuti manhaj para musuh, ia akan terhina. Tetapi, orang yang mengikuti manhaj Nabi, tidak ada kesesatan dan tidak ada kehinaan yang menimpanya. Ringkasnya, seorang muslim harus berbeda jati dirinya dari orang lain, dalam hal aqidah, jati diri dalam setiap urusannya. Insan yang mandiri. Tidak ke timur juga tidak ke barat.




Bagaimana Kita Mengetahui Bahwa Islam Itu Besar Di Mata Manusia Atau Sebaliknya ? Atau Bagaimana Kita Mengetahui Bahwa Kaum Muslimin Itu Agung Atau Lemah ?



Ada beberapa hal yang menunjukkan bahwa kemuliaan Islam ada di tengah kehidupan kaum Muslimin dan kemuliaan kaum Muslimin ada di tengah umat manusia.



Bukti Kemuliaan Islam Yang Pertama.

Semaraknya dan tersebarnya panji–panji Islam yang banyak.



Jika Anda ingin mengetahui tegaknya izzah Islam di tengah kaum Muslimin, maka perhatikanlah, apakah syiar–syiar agama, seperti adzan, shalat, pelaksanaan rukun Islam, amar makruf nahi mungkar terlihat jelas di tengah kaum Muslimin ? Apakah berwasiat dalam kebaikan dan kesabaran ada di tengah kaum Muslimin ?



Kalau Anda melihat nilai–nilai ada, melihat amal shalih, ilmu yang bermanfaat ada. Jika anda menyaksikan kondisi–kondisi seperti ini dan akhlak yang shalih ada, berarti manusia dalam keadaan baik, dan agama Islam masih dalam keadaan mulia.




Oleh karena itu, Rasulullah menghubungkan kemuliaan Islam dengan pelaksanaan syiar–syiar agama Islam, berkembangnya Sunnah di kalangan umat Islam. Dan anda sekalian mengetahui, bahwa orang yang berpuasa, tatkala matahari telah terbenam, maka hendaknya langsung berbuka. Sebabnya, menyegerakan berbuka puasa termasuk sunnah. Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda.



“Artinya : Agama ini senantiasa akan tegak, selama orang–orang menyegarakan berbuka puasa”



Sabda beliau yang lain



“Artinya : Agama ini akan selalu mulia selama umatku tidak menunggu terbitnya bintang dalam berbuka puasa”



Disini, beliau Shalallahu 'alaihi wa sallam menghubungkan tegaknya agama dengan tumbuhnya syiar–syiar agama. Kalian melihat ada semangat emosional bagi Islam. Orang–orang masih memilikinya, alhamdulillah, belum padam. Tetapi kita menginginkan tumbuhnya syiar–syiar Islam dalam kehidupan nyata kaum Muslimin. Kita ingin semangat yang ada di kalbu umat tersebut menjelma menjadi tumbuhnya syiar–syiar Islam.



Lihatlah, kasus sang pelukis kafir tatkala berbuat aniaya terhadap Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa salalm, melukis karikatur–karikatur buruk lagi dusta yang melecehkan beliau Shalallahu 'alaihi wa sallam. Di timur dan barat, utara dan selatan, umat tergerak untuk mengingkarinya. Sebagian tindakan mereka dapat dibenarkan syariat. Namun sebagian yang lain tidak dapat dibenarkan oleh agama. Ada pemboikotan kepada negara–negara kafir dalam bidang ekonomi. Ini berarti masih ada semangat agama pada mereka. Kita tidak ingin ini saja. Tapi bersama ini, kita ingin tegaknya syiar–syiar agama.




Kita memang mencintai Rasulullah dengan sepenuh perasaan kita. Tapi pembelaan kita yang hakiki kepada Rasul adalah membela Sunnah Rasul, dengan menghidupkan sunnahnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala menjanjikan pertolongan kepada orang yang menolong agamaNya.



“Artinya : Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama) Nya. Sesungguhnya Allah benar–benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa” [Al–Hajj : 40]



Barang siapa yang menolong agama Allah Subhanahu wa Ta’ala, niscaya Allah membelanya. Barang siapa menolong Rasul, niscaya Allah akan membelanya. Allah berfirman.



“Artinya : Dan kami sekalian menguatkan (agama) nya dan menghormatiny” [ Al–Fath : 9]



Menurut mayoritas ulama tafsir, kata ganti ketiga (pada ayat di atas) ini mewaikili Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam.



Kalau umat ingin benar–benar membela Rasul, maka harus konsisten dengan agamanya. Kita mendukung adanya pemboikotan produk musuh. Tetapi sebelum itu, kita harus memboikot pemikiran musuh, kebudayaan barat, aqidah musuh, kebudayaan asing. Dengan ini, syiar–syiar agama akan terlihat di tengah khalayak.




Tanda Kemuliaan Umat Yang Lainnya.

Yaitu adanya sikap mandiri, tidak bergantung kepada umat lain ; sebagai umat merdeka dengan aqidah, manhajnya, ekonominya, kebudayaannya, tidak meniru barat, umat kafir atau umat lainnya. Bukan berarti kita tidak boleh mengambil manfaat dari produk ilmu–ilmu mereka. Imu–ilmu teknologi tersebut bukan monopoli mereka saja, milik siapa saja, dapat diraih oleh siapa saja yang menekuninya. Dan umat Islam, diperintahkan untuk menyatukan dua kebaikan, dunia dan akhirat.



“Artinya : Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi” [Al–Qashash : 77]



Jadi, seorang mukmin beramal untuk akhiratnya, dengan amal shalih ; dan beramal untuk dunia, dengan membangunnya. Oleh karena itu terlihat kembali hadits Nabi Shalallahu 'slaihi wa sallam.



“Artinya : agama ini akan selalu mulia selama umatku tidak menunggu terbitnya bintang dalam berbuka puasa.”



Siapakah yang menunggu terbitnya bintang–bintang saat akan berbuka puasa ? (Mereka) ialah : Yahudi dari orang kafir dan golongan Rafidhah (Syi’ah). Artinya, Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam mengatakan, apabila umatku menunggu terbitnya bintang–bintang untuk berbuka puasa, maka mereka telah mengekor umat lain yang mengakibatkan jati diri umat ini menjadi lemah.




Tanda Kemuliaan Islam Yang Lain.

Orang–orang memberlakukan syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala pada denyut kehidupan mereka, para penguasa menetapkan Al–Qur’an dan As–Sunnah sebagai aturan perundang–undangan. Karena, aplikasi syari’at hukumnya wajib dan fardhu ‘ain atas setiap muslim. Perhatikanlah sabda Nabi.



“Artinya : Ketahuilah, bahwa setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin ditanya tentang pertanggung jawabannya”



Dari sini, setiap muslim adalah pemimpin. Dan sebagai pemimpin, bertanggung jawab untuk menerapkan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shalallahu 'alaihi Wa Salaam. Jadi, menegakkan hukum Allah sebagai undang–undang adalah wajib, fardhu ‘ain sesuai kedudukan dan tanggung jawabnya. Allah berfirman.



“Artinya : Dan tentang perkara apa saja yang kamu perselisihkan, maka putusannya (terserah) kepada Allah” [Asy-Syura : 10]



“Artinya : Menetapkan hokum itu hanyalah hak Allah” [Al-An’am : 57]




Jadi, penerapan syari’at, hukum Allah dan penegakan Negara Islam merupakan kewajiban atas umat Islam. Sedangkan meremehkan atau lemah dalam mengusahakan masalah ini, tidak akan membuahkan hasil sama sekali. Tetapi dalam hal menyeru kepada hal ini, harus sesuai dengan metode Nabi. Kita menyeru agar ditetapkan syarat, agama dan hokum Allah dengan cara Rasulullah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.



“Artinya : Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-mu, dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik” [An-Nahl : 125]



“Artinya : Katakanlah : Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata. Maha Suci Allah dan aku tidak termasuk orang-orang yang musyrik” [Yusuf : 108]



Jadi, kita menyeru dengan hujjah, burhan, dalil dan penjelasan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berhasil menegakkan sebuah Negara Islam, tetapi tidak dengan pedang. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mampu menegakkannya tatkala berhasil menanamkan aqidah pada umat. Setiap umat yang telah berhasil mengekkan tauhid dan kalimat Laa Ilaaha Illallah dalam kehidupan mereka, niscaya Allah menegakkan daulah Islam di negeri mereka.



Oleh karena itu tatkala Nabi menawarkan dakwah Islam kepada kabilah-kabilah saat musim haji, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan.



“Artinya : Katakanlah sebuah pernyataan! Dengan itu, bangsa Arab akan tunduk kepada kalian, dan kalian akan menguasai bangsa Asing. Katakanlah Laa Ilaaha Illa Allah, niscaya kalian akan selamat”.




Jadi umat yang menegakkan tauhid, menegakkan sunnah Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menganugrahkan kekuasaan bagi mereka di bumi ini. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.



“Artinya : Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman diantara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhaiNya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan merubah (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahKu dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku” [An-Nur : 55]



Istikhlaf dan Tamkin (kekuasaan dan kemenangan) adalah sebuah janji dari Allah bagi orang-orang beriman yang berusaha. Kemudian lihatlah "Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah Allah ridhai untuk mereka". Sebelum Allah menegakkan Negara di bumi, Allah menegakkan agama di hati manusia. Tatkala agama telah tertanam di hati kita masing-masing, kita sudah menegakkan hukum Allah di hati masing-masing, kita telah menegakkan hukum Allah dalam kehidupan sesuai dengan kemampuan kita, niscaya Allah akan memberikan anugrah berupa Istikhlaf dan Tamkin.



Apakah Islam Akan Kembali Agung Seperti Semula ?

Perkara ini telah di beritahukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang shahih.



“Artinya : Agama ini akan menyebar sejauh jarak yang dicapai malam dan siang, dengan kemulian orang yang mulia dan kehinaan orang yang terhjina ; yaitu kemuliaan yang dengannya Allah akan memuliakan Islam dan penganutnya, dan menghinakan kesyirikan dan pengikutnya”.




(Dalam hadits ini) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa Islam, meskipun tertekan dalam kehidupan manusia dan lemah di jiwa sebagian kaum muslimin, (tetap ia) akan kembali agung, menang, bercahaya sebagaimana disebutkan Rasul dalam hadits yang mulia. Ini juga menunjukkan, masa depan hanya milik Islam. Tidak syak lagi, ini pasti datiang dan tiba, tidak bisa tidak ! Karena kita mengimani Allah dan RasulNya. Maha Benar Allah, demikian juga RasulNya. Peristiwa yang diberitahukan Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam pasti tiba, tidak ada yang bisa mengingkarinya.



Tapi ada faktor-faktor yang menghalangi menuju kebesaran Islam dan jalan ke sana, di antaranya yang paling penting ialah.



Pertama : Fanatisme Daerah Dan Sukuisme

Di tengah kaum muslimin tumbuh seruan-seruan kepada fanatisme daerah dan sukuisme. Seruan ini telah mencerai beraikan kaum muslimin. Juga merupakan perkara yang menekan dan menghinakan mereka.Bangsa Arab menyeru kepada fanatisme golongannya sendiri. Demikian juga bangsa Persia, Turki. Bangsa Urdu berperang untuk memperjuangkan fanatisme golongannya. Kaum muslimin terpecah belah menjadi berbagi macam golongan. Bahkan dalam satu golongan pun bercerai berai, muncul banyak faksi. Satu pihak menyeru ke arah selatan dan pihak lainnya menyeru kea rah utara. Ini menyeru kepada barat dan itu menyeru kea rah timur, padahal mereka berasal dari negara yang sama, keturunan yang sama.



Kaum muslimin bercerai berai menjadi berbagai golongan dan sekte, padahal sebelumnya mereka adalah umat yang satu. Tatkala mereka terpecah belah, maka kekuatannya melemah dan menjadi pengekor musuh serta makanan yang diperbutkan musuh-musuh Islam. Inilah sebagian penghalang yang menghadang jalan menuju keagungan Islam.



Dengan pandangan yang tajam, kita bisa mengetahui dampak yang muncul bahwa penguasaan yang dilakukan orang-orang kafir bukan berbentuk dzati, tetapi merupakan penguasaan yang sifatnya efek dari kejadian lainnya. Maksudnya, lantaran kelemahan iman dan kelemahan umat Islam. Kita melihat factor penunjang kekuatan barat adalah kekuatan politik militer dan ekonomi serta kelemahan kaum muslimin.




Kalau kita memperhatikan kekuatan politik barat, ternyata konsep politik mereka telah terbuka kedoknya, terbongkar boroknya, politik yang tertumpu pada dusta, nifak, memainkan standard yang pincang, mengukur dengan timbangan ganda, memainkan dua benang. Mereka menuntut penerapan sesuatu, tetapi justru mereka yang mempecundanginya. Mereka menuntut negara-negara Islam menerapkan demokrai, tetapi ketika negara-negara kaum muslimin memenangkannya, mereka mengingkarinya. Ini menunjukkan bahwa politik mereka bedasarkan kedustaan dan kepalsuan, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah membuka kedok mereka.



Mari kita lihat kekuatan ekonomi barat. Kekuatan ekonomi mereka hancur. Kekuatan ekonomi mereka menjadi kuat lantaran menguasai kekuasaan alam negara-negara Islam, mengeruk kekayaannya. Mereka menjajah negara-negara Islam. Minyak bumi kita, mereka rampok. Emas-emas kita, mereka curi. Minyak bumi dan kekayaan negara kita dikeruk, dijual dipasar dengan nilai rendah. Tidak ada yang mengetahui berapa banyaknya kecuali Allah.



Adapun kekuatan militer mereka, Allah-lah yang akan mengatasinya. Lihatlah, di penghujung abad sebelumnya, ada dua kekuatan yang menguasai dunia. Kekuatan Timur yang terwakili oleh kekuatan komunisme Soviet dan kekuatan Barat yang kapitalisme dengan Amerika sebagai pemimpinnya.



Bagaimana Uni Soviet bisa terkoyak, padahal memiliki persenjataan yang canggih? Allah mendatangi mereka dari sudut yang tidak mereka sangka, dan melemparkan rasa takut di hati-hati mereka. Mereka hancurkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan kaum muslimin. Ambillah pelajaran dari kejadian ini, wahai orang-orang yang berakal.



Amerika tidak menyerang Uni Soviet dengan nuklirnya (sehingga hancur). Kehancuran kekuatan Uni Soviet berasal dari dalam. Sedab, adanya factor-faktor yang memaksanya hancur. Demikian juga, Amerika sudah berada di ambang kehancuran dari dalam. Melemahnya ekonomi, kerusakan dan degradasi moral, kekalahan kekiuatan militer. Kekuatan-kekuatan ini sudah tidak bertaji lagi. Kekuatan mereka yang tersisa adalah kelemahan kaum muslimin. Oleh karena itu, mereka berusaha mengkondisikan agar kaum muslimin dalam keadaan lemah. Lemah dalam agama, duniawi, pemikiran dan harapan. Jika kaum muslimin kembali pada agama mereka, niscaya kesyirikan akan runtuh, kekufuran akan lenyap. Kekuatan yang menakutkan dunia ini akan sirna dengan kalmatut tauhid, Laa Ilaaha Illallah.



Jadi, penghalang yang paling besar demi mencapai kebesaran Islam adalah terpecah belahnya umat Islam.




Apa Jalan Menuju Kebesaran Islam ?

Konsepnya adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti tercantum dalam hadits Ibnu Umar Radhiyallahu anhu.



“Artinya : Jika kalian berjual beli dengan cara ‘inah, memegangi ekor-ekor sapi, dan menyenangi pertanian dan meninggalkan jihad, niscaya Allah akan menimpakan pada kalian kehinaan, tidak akan mencabutnya dari kalian sampai kalian kembali kepada agama kalian”.



Jika demikian, jalan menuju ke sana, wahai saudara-saudaraku, wahai pemuda Islam, wahai harapan umat, wahai orang yang menjadi bekal harapan bagi masa depan yang terang ; jalan menuju keagungan Islam adalah degan kembali memegangi agama kita ini yang dahulu dipegangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat dan generasi Salafush Shalih. Tatkala mereka konsisten berada di atas agama ini, mereka menjadi umat manusia yang terbaik, para pemimpin wilayah, guru bagi umat manusia, mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju ke cahaya terang. Dengan kembali kepada agama kita, agama kita akan menjadi besar lagi. Masa itu pasti akan dating, tetapi membutuhkan kesabaran dan ketabahan.



“Artinya : Wahai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap-siap siaga (diperbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu beruntung” [Ali-Imran : 200]

Semoga Allah Al-Qawiyyu Al-Aziz menolong Islam dan kaum Muslimin, menampakkan Al-Haq dan menegakkan negeri Islam dengan Al-Kitab dan As-Sunnah. Allah-lah yang akan mewujudkannya dan Dia Maha Kuasa untuk itu.

Oleh Syaikh Abu Usamah Salim bin Id Al-Hilali

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun X/1427H/2006.]

Sifat-Sifat Dan Balasan Pelaku Kebajikan

Abu Fathan | 18:52 | 0 comments
هَلْ أَتَىٰ عَلَى الْإِنسَانِ حِينٌ مِّنَ الدَّهْرِ لَمْ يَكُن شَيْئًا مَّذْكُورًا

إِنَّا خَلَقْنَا الْإِنسَانَ مِن نُّطْفَةٍ أَمْشَاجٍ نَّبْتَلِيهِ فَجَعَلْنَاهُ سَمِيعًا بَصِيرًا


1. Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut.

2. Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan),

karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat. [al Insan/76:1-2].

Ketahuilah, sesungguhnya surat al Insan ini memiliki kandungan yang sangat menakjubkan meski ringkas. Allah Subhanahu wa Ta'ala memulainya dengan penyebutan penciptaan manusia dari nuthfah (hasil pembuahan antara sel telur lelaki dan wanita) yang bercampur. Dengan kekuasaan, kelembutan dan hikmah-Nya, Allah menciptakannnya melalui beberapa fase; mengalihkannya dari keadaan satu ke keadaan berikutnya, sampai akhirnya proses penciptaan tersebut tuntas, bentuk dan rupanya sempurna. Selanjutnya, Allah mengeluarkannya sebagai manusia yang sempurna, bisa mendengar lagi melihat.

Begitu daya tangkap dan penalarannya beranjak sempurna, Allah menunjukinya kepada dua jalan. Yaitu jalan kebaikan dan kejelekan. Allah Subahnahu wa Ta'ala berfirman :


إِنَّا هَدَيْنَاهُ السَّبِيلَ إِمَّا شَاكِرًا وَإِمَّا كَفُورًا

Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir. [al Insan/76:3].

Berikutnya, Allah Subhanahu wa Ta'ala mengemukakan tempat kesudahan orang-orang yang bersyukur dan orang-orang yang kufur, serta apa-apa yang disediakan bagi masing-masing golongan itu.

Allah memulai dengan memaparkan kesudahan orang-orang kafir (secara global) dan diiringi dengan penjelasan kesudahan orang-orang yang bersyukur. Dan di penghujung surat ini, Allah menyebutkan orang-orang yang meraih rahmat terlebih dahulu, kemudian dilanjutkan dengan keterangan orang-orang yang ditimpa siksa.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

يُدْخِلُ مَن يَشَاءُ فِي رَحْمَتِهِ ۚ وَالظَّالِمِينَ أَعَدَّ لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا

Dia memasukkan siapa yang dikehendaki-Nya ke dalam rahmat-Nya (surga). Dan bagi orang-orang zhalim disediakan-Nya adzab yang pedih. [al Insan/76:31].

Jadi, Dia memulai surat ini dengan fase pertama manusia, yaitu nuthfah, dan mengakhiri surat al Insan dengan menyebutkan keadaan fase penghujung kehidupanrnya. Yaitu, menjadi yang meraih rahmat atau tertimpa siksa.

Di tengah-tengah ayat, Allah menyebutkan amal perbuatan dua golongan tersebut. Mengenai orang-orang yang ditimpa siksaan, Allah menyebutkan secara global dalam firman-Nya:

إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ سَلَاسِلَ وَأَغْلَالًا وَسَعِيرًا

Sesungguhnya Kami menyediakan bagi orang kafir rantai, belenggu dan neraka yang menyala-nyala. [al Insan/76:4].

Ayat di atas diiringi dengan menceritakan amal perbuatan orang-orang yang mendapat rahmat-Nya dan balasan kepada mereka secara detail.

Jadi, dalam surat ini, mengandung dua klasifikasi anak Adam. Mereka itu, menjadi golongan kiri -yaitu kaum kuffar- dan golongan kanan yang terbagi menjadi dua bagian, yaitu golongan abrar (orang-orang yang berbuat kebajikan) dan muqarrabun (orang-orang yang didekatkan kepada Allah).

Allah Subhanahu wa Ta'ala menyebutkan, minuman kaum al abrar dicampur dengan minuman para hamba Allah dari kalangan muqarrabin. Karena mereka juga mencampur amalan-amalan mereka. Sedangkan kalangan muqarrabun, minuman mereka adalah minuman yang murni, sebagaimana mereka telah memurnikan amalan-amalan mereka. Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadikan minuman orang-orang muqarrabin dari bahan kafur, yang mengandung unsur kesejukan dan kekuatan, sesuaian dengan kesejukan keyakinan dan kekuatannya yang mengendap di dalam hati mereka dan menembusnya saat berada di dunia, disamping usahanya untuk menjauhkan diri dari Neraka Sa'ir.

Allah Subhanahu wa Ta'ala memberitahukan (juga), bahwa bagi mereka minuman lain yang bercampur dengan zanjabil (jahe), karena aromanya yang sedap dan kelezatan cita-rasanya, serta kehangatan yang akan merubah dinginnya kafur dan melarutkan kotoran-kotoran dan membersihkan rongga-rongga (tubuh).

وَيُسْقَوْنَ فِيهَا كَأْسًا كَانَ مِزَاجُهَا زَنجَبِيلًا

Di dalam surga itu mereka diberi minum segelas (minuman) yang campurannya adalah jahe. [al Insan/76:17].

Karena itu, Allah l menyebutnya sebagai ma`an thahura. Artinya minuman yang membersihkan lambung-lambung mereka. Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan sebutan kepada mereka dengan keelokan fisik dan batin. Allah berfirman:

وَلَقَّاهُمْ نَضْرَةً وَسُرُورًا

[dan memberikan kepada mereka kejernihan (wajah) dan kegembiraan hati. -al Insan/76 ayat 11].

النَّضْرَة (An-nadhrah, kejernihan) merupakan sifat keelokan pada wajah mereka. Sedangkan surur (keceriaan hati), adalah keindahan hati-hati mereka. Seperti firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

تَعْرِفُ فِي وُجُوهِهِمْ نَضْرَةَ النَّعِيمِ

Kamu dapat mengetahui dari wajah mereka kesenangan hidup mereka yang penuh kenikmatan. [al Muthaffifin/83:24].

Kemudian, Allah Subhanahu wa Ta'ala menyampaikan sebagian amal perbuatan kalangan al abrar yang mengisyaratkan kepada yang mendengarnya, bahwa mereka telah membukukan seluruh amal-amal baik.

يُوفُونَ بِالنَّذْرِ وَيَخَافُونَ يَوْمًا كَانَ شَرُّهُ مُسْتَطِيرًا

Mereka menunaikan nadzar dan takut akan suatu hari yang adzabnya merata di mana-mana. [al Insan/76:7].

Allah Subhanahu wa Ta'ala menyebutkan sifat menepati nadzar yang merupakan kewajiban tingkat terendah. Lantaran manusialah yang mewajibkannya atas dirinya sendiri (bukan Allah). Tingkatannya di bawah kewajiban yang Allah gariskan kepadanya. Bila manusia telah memenuhi kewajiban yang paling lunak di antara dua kewajiban yang ia pegangi itu, sudah tentu dan pasti ia akan lebih memperhatian untuk menjalankan kewajiban yang lebih agung yang telah Allah wajibkan atas dirinya.

Dari sini, sejumlah ahli tafsir menyatakan, kalangan muqarrabun telah menepati ketaatan kepada Allah dan menjalankan hak-Nya yang menjadi kewajiban mereka. Demikian ini, karena jika seorang hamba telah mengikrarkan sebuah nadzar bagi Allah sebagai amalan ketaatan, lantas memenuhinya, berarti ia menjalankannya semata-mata hanya lantaran telah menjadi hak milik Allah yang wajib ia tunaikan. Hak ini berada dalam lingkup hak-hak Allah, sama dengan yang lain.

Kemudian Allah Subhanahu wa Ta'ala memberitahukan, mereka adalah manusia-manusia yang takut kepada hari yang sulit lagi sangat dingin. Yakni hari Kiamat. Ketakutan mereka kepada hari Kiamat nampak dari keimanan mereka kepada hari Akhir, pengekangan diri dari berbuat maksiat yang akan mendatangkan malapetaka, pelaksanaan amal-amal ketaatan yang bermanfaat bagi mereka dan sebaliknya, mereka pun meninggalkan perbuatan yang akan berbuah mudharat bagi mereka.

وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَىٰ حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا

Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. [al Insan/76:8].

Berikutnya (pendapat di atas), Allah Subhanahu wa Ta'ala memberitahukan karakter mereka yang suka memberi makanan kepada orang lain, meskipun mereka begitu menyukainya. Sesuatu yang sedemikian penting dan besar nilainya, dapat menyebabkan jiwa manusia menjadi pelit, hati merasa sangat membutuhkannya, tangan ingin mendekapnya seerat mungkin. Ini menjadi pertanda, betapa besar dan berharganya kebutuhan mereka terhadap makanan itu. Sehingga, jika mereka telah mengorbankannya dalam kondisi seperti itu, berarti ini menunjukkan mereka lebih mudah dalam memenuhi hak sesama.

Jadi, Allah Subhanahu wa Ta'ala menyebutkan sebagian hak-hak sesama yang dipenuhi (oleh mereka), secara konkret dalam bentuk memberi bahan makanan pokok, kendatipun sangat bernilai dan sangat dibutuhkan (oleh diri mereka sendiri), guna mengingatkan pemenuhan yang mereka jalankan kepada perkara-perkara lain yang tingkatannya lebih rendah. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala mengemukakan sebagian pemenuhan hak-hak-Nya oleh mereka melalui pemenuhan nadzar, guna mengarahkan perhatian kepada pemenuhan kewajiban yang lebih tinggi dan lebih wajib.

Allah Subhanahu wa Ta'ala mengisyaratkan dengan firman Allah عَلَىٰ حُبِّهِ (yang disukainya) sebuah realita. Seandainya Allah Subhanahu wa Ta'ala bukan dzat yang mereka cintai dari makanan pokok itu, sudah tentu mereka tidak akan mengutamakan Allah Subhanahu wa Ta'ala dibandingkan apa yang mereka sukai. Mereka lebih mendahulukan kecintaan bagi yang lebih tinggi ketimbang kecintaan kepada obyek yang lebih rendah (makanan).

Pos distribusi makanan mereka adalah orang-orang miskin, anak yatim, tawanan yang tidak ada kekuatan bagi mereka untuk menolong orang-orang tersebut, tiada kekayaan untuk menopang hidup orang-orang itu, tidak ada keluarga, kerabat yang mereka tunggu-tunggu dari orang-orang itu untuk memberi balasan sebagaimana dituju oleh para pemuja dunia yang mencari timbal-balik melalui infak dan pemberian makanan.

إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنكُمْ جَزَاءً وَلَا شُكُورًا

Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih. [al Insan/76:9].

Allah Subhanahu wa Ta'ala memberitahukan bahwa mereka berbuat itu semua karena wajah Allah, tidak menginginkan balasan dari orang-orang yang menerima makanan dari mereka, baik berupa materi dunia maupun sanjungan manusia; tidak seperti tujuan orang-orang yang tidak memiliki keikhlasan, yaitu dengan menyebar luaskan kebaikan-kebaikan kepada manusia untuk mencari pamrih, atau ungkapan terima kasih dari manusia. Jadi, sifat ikhlas kepada Allah tanpa mencari pamrih dari manusia ini mencerminkan sifat mahabbah (cinta), ikhlas dan ihsan kaum Abrar

Kemudian Allah Subhanahu wa Ta'ala mengabarkan tentang kejujuran mereka yang sudah dibuktikan Allah sebelum mereka berkata:

إِنَّا نَخَافُ مِن رَّبِّنَا يَوْمًا عَبُوسًا قَمْطَرِيرًا

[Sesungguhnya kami takut akan (adzab) Rabb kami pada suatu hari yang (di hari itu) orang-orang bermuka masam penuh kesulitan. –al Insan/76 ayat 10].

Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mempercayainya sebelum mereka menyampaikan pengakuan. Karena Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

يُوفُونَ بِالنَّذْرِ وَيَخَافُونَ يَوْمًا كَانَ شَرُّهُ مُسْتَطِيرًا

Mereka menunaikan nazar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana. [al Insan/76:7]

Allah Subhanahu wa Ta'ala mengemukakan, sesungguhnya mereka telah dipelihara oleh Allah dari keburukan yang mereka takutkan. Allah menjaga mereka dengan perlindungan yang melebihi dari apa yang mereka angankan.

فَوَقَاهُمُ اللَّهُ شَرَّ ذَٰلِكَ الْيَوْمِ وَلَقَّاهُمْ نَضْرَةً وَسُرُورًا

Maka Rabb memelihara mereka dari kesusahan hari itu, dan memberikan kepada mereka kejernihan (wajah) dan kegembiraan hati. [al Insan/76:11].

Ayat-ayat selanjutnya, yaitu surat al Insan/76 ayat 12–20 menyebutkan kenikmatan-kenikmatan yang sudah Allah Subhanahu wa Ta'ala berikan kepada mereka berupa tempat tinggal, pakaian, tempat-tempat duduk, buah-buahan, para pelayan, kenikmatan hidup dan kerajaan (kekuasaan) yang besar.

Lantaran titik fokus kesabaran adalah pengekangan jiwa dan penggencetannya dengan perkara keras yang akan dirasakan oleh fisik dan batin berupa kelelahan, keletihan dan kepanasan. Maka, balasannya adalah surga dengan berbagai kenikmatannya, sutra yang penuh kelembutan lagi halus dan cara duduk bersandar yang menunjukkan kenyamanannya, serta naungan yang melindunginya dari panas.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

Dan Dia memberi balasan kepada mereka karena kesabaran mereka (dengan) surga dan (pakaian) sutera, di dalamnya mereka duduk bertelakan di atas dipan, mereka tidak merasakan di dalamnya (teriknya) matahari dan tidak pula dingin yang bersangatan. Dan naungan (pohon-pohon surga itu) dekat di atas mereka dan buahnya dimudahkan memetiknya semudah-mudahnya. Dan diedarkan kepada mereka bejana-bejana dari perak, dan piala-piala yang bening laksana kaca, (yaitu) kaca-kaca (yang terbuat) dari perak yang telah diukir mereka dengan sebaik-baiknya. Di dalam surga itu mereka diberi minum segelas (minuman) yang campurannya adalah jahe. (Yang didatangkan dari) sebuah mata air surga yang dinamakan Salsabil. Dan mereka dikelilingi oleh pelayan-pelayan muda yang tetap muda. Apabila kamu melihat mereka, kamu akan mengira mereka, mutiara yang bertaburan. Dan apabila kamu melihat di sana (surga), niscaya kamu akan melihat berbagai macam kenikmatan dan kerajaan yang besar. [al Insan/76:12-20].

Warna pakaian yang dipakai oleh kalangan al abrar adalah kain sutra halus yang berwarna hijau dan kain sutra yang tebal. Perhiasan yang mereka kenakan ialah gelang-gelang dari perak. Ini semua merupakan atribut keindahan secara zhahirnya. Sedangkan keindahan batin mereka berupa syarab thahur, yaitu bermakna minuman yang mensucikan.

عَالِيَهُمْ ثِيَابُ سُندُسٍ خُضْرٌ وَإِسْتَبْرَقٌ ۖ وَحُلُّوا أَسَاوِرَ مِن فِضَّةٍ وَسَقَاهُمْ رَبُّهُمْ شَرَابًا طَهُورًا

Mereka memakai pakaian sutera halus yang hijau dan sutera tebal, dan dipakaikan kepada mereka gelang terbuat dari perak, dan Rabb memberikan kepada mereka minuman yang bersih. [al Insan/76:21].

إِنَّ هَٰذَا كَانَ لَكُمْ جَزَاءً وَكَانَ سَعْيُكُم مَّشْكُورًا

Sesungguhnya ini adalah balasan untukmu, dan usahamu adalah disyukuri (diberi balasan). [al Insan/76:22].

Demikianlah, Allah mengabarkan, bahwa itu semua merupakan balasan terhadap usaha-usaha mereka, yaitu golongan al abrar dan muqarrabin yang harus disyukuri. Jadi, Allah menyebutkan usaha yang dihargai dan perbuatan yang dimurkai.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XI/1428H/2007.]
_______

Footnote

•) Diadaptasi oleh Ustadz Ashim bin Musthofa, dari Risalah fil Ma'anil Mustambathah min Suratil Insan, yang dibukukan dalam kitab Jami'ur Rasail, karya Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah, Tahqiq: Dr. Muhammad Rasyad Salim, Darul Mughni I, Tahun 1422 H – 2001M, halaman 67-77.

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. BERITA SUNNAH - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger