{قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ ويَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ، وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ}

Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah (sunnah/petunjuk)ku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS Ali ‘Imran:31)

Kemaksiatan Dan Dampak Negatifnya Terhadap Individu Dan Masyarakat

Abu Fathan | 11:22 | 0 comments
Oleh : Syaikh Raid bin Shabri Abu ‘Ulfah

Perbuatan dosa dan maksiat memberi pengaruh yang besar serta efek yang sangat berbahaya bagi masyarakat dan individu. Allah telah menerangkan dengan sejelas-jelasnya pengaruh perbuatan ini sejak perbuatan maksiat dilakukan pertama kali. 

Marilah kita mengambil beberapa nash Al Qur’an dan hadits, serta atsar (riwayat) ulama’ Salaf yang menyebutkan pengaruh-pengaruh ini. Allah berfirman,

وَعَصَى ءَادَمُ رَبَّهُ فَغَوَى . ثُمَّ اجْتَبَاهُ رَبُّهُ فَتَابَ عَلَيْهِ وَهَدَى . قَالَ اهْبِطَا مِنْهَا جَمِيعًا بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُم مِّنِّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلاَ يَضِلُّ وَلاَ يَشْقَى . وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِى فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى . قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِي أَعْمَى وَقَدْ كُنتُ بَصِيرًا . قَالَ كَذَلِكَ أَتَتْكَ ءَايَاتُنَا فَنَسِيتَهَا وَكَذَلِكَ الْيَوْمَ تُنسَى . وَكَذَلِكَ نَجْزِي مَنْ أَسْرَفَ وَلَمْ يُؤْمِن بِئَايَاتِ رَبِّهِ وَلَعَذَابُ اْلأَخِرَةِ أَشَدُّ وَأَبْقَى

Dan Adam pun mendurhakai Rabb-nya, maka ia sesat. Kemudian Rabb-nya (Adam) memilihnya, maka Dia menerima taubatnya dan memberi Adam petunjuk. Allah berfirman, "Turunlah kamu berdua dari surga bersama-sama, sebagian kamu menjadi musuh sebagian yang lain. Maka jika datang kepadamu petunjuk dariKu, lalu barangsiapa yang mengikuti petunjukKu, ia tidak akan seat dan ia tidak akan celaka. Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatanKu, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan mengumpulkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta". Berkatalah ia:"Ya, Rabb-ku, mengapa Engkau menghimpun aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya seorang yang bisa melihat". Allah berfirman:"Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari inipun kamu dilupakan". Dan demikanlah Kami membalas orang yang melampaui batas dan tidak percaya terhadap ayat-ayat Rabb-nya. Dan sesungguhnya adzab di akhirat itu lebih berat dan lebih kekal [Thaha:121-127]. 

Ayat ini menyebutkan beberapa efek negatif yang ditimbulkan karena perbuatan maksiat. Allah menjelaskan dalam ayat ini, bahwa akibat (yang ditimbulkan karena) perbuatan maksiat adalah ghay (kesesatan) yang merupakan sebuah kerusakan. Seakan-akan Allah berfirman “Barangsiapa mendurhakai Allah, maka Allah akan merusak kehidupannya di dunia.” Makna seperti ini juga disebutkan dalam ayat-ayat berikut. FirmanNya:

فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلاَ يَضِلُّ وَلاَ يَشْقَى

lalu barangsiapa yang mengikuti petunjukKu, ia tidak akan sesat dan ia tidak akan celaka. [Thaha : 123].

Konsekwensinya, orang yang tidak mengikuti petunjuk Allah, maka ia akan sesat dan sengsara. Dan ayat-ayat berikut ini menjelaskan lebih gamblang.

وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِى فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكًا

Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatanKu, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit. [Thaha:124].

Maksudnya, dia akan mendapatkan kesengsaraan dan kesusahan. Dalam tafsirnya (3/164), Ibnu Katsir berkata: “Di dunia, dia tidak akan mendapatkan ketenangan dan ketenteraman. Hatinya gelisah yang diakibatkan kesesatannya. Meskipun dhahirnya nampak begitu enak, bisa mengenakan pakaian yang ia kehendaki, bisa mengkonsumsi jenis makanan apa saja yang ia inginkan, dan bisa tinggal dimana saja yang ia kehendaki; selama ia belum sampai kepada keyakinan dan petunjuk, maka hatinya akan senantiasa gelisah, bingung, ragu dan masih terus saja ragu. Inilah bagian dari kehidupan yang sempit”. 

Alangkah seringnya kita melihat dan mendengar berita tentang orang yang memiliki harta yang sangat banyak, mati bunuh diri dengan terjun dari tempat-tempat yang tinggi (atau gedung-gedung). Apa yang menyebabkan mereka melakukan itu? (Sudah puaskah mereka menikmati harta kekayaannya, Pent)? Pasti, penyebabnya adalah sempitnya kehidupan yang menderanya akibat berpaling dari dzikrullah. Kalau orang-orang yang berpaling dari dzikrullah itu tidak bertaubat, maka akibatnya mereka akan dikumpulkan pada hari kiamat di padang Mahsyar dalam keadaan buta. Allah berfirman.

وَمَنْ كَانَ فِي هَذِهِ أَعْمَى فَهُوَ فِي اْلأَخِرَةِ أَعْمَى وَأَضَلُّ سَبِيلاً

Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar). [Al Isra:72].

Dan dia akan dibiarkan di dalam neraka. Allah berfirman.

قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِي أَعْمَى وَقَدْ كُنتُ بَصِيرًا . قَالَ كَذَلِكَ أَتَتْكَ ءَايَاتُنَا فَنَسِيتَهَا وَكَذَلِكَ الْيَوْمَ تُنْسَى

Berkatalah ia: "Ya, Rabb-ku. Mengapa Engkau mengumpulkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya seorang yang dapat melihat?” Allah berfirman: "Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu(pula) pada hari inipun kamu dilupakan.” [Thaha :125- 126].

Kata “dilupakan” dalam ayat di atas, maksudnya adalah ia dibiarkan di dalam neraka sebagai balasan yang setimpal. Jadi balasan itu sejenis dengan perbuatannya. (Dia melupakan syari’at Allah di dunia, maka Allah melupakan dia di dalam nerakaNya, Pent).

Perhatikanlah pula pengaruh dan efek dari perbuatan maksiat dalam firman Allah.

وَإِذْ قُلْتُمْ يَا مُوسَى لَن نَّصْبِرَ عَلَى طَعَامٍ وَاحِدٍ فَادْعُ لَنَا رَبَّكَ يُخْرِجْ لَنَا مِمَّا تُنبِتُ اْلأَرْضُ مِن بَقْلِهَا وَ قِثَّآئِهَا وَفُومِهَا وَعَدَسِهَا وَبَصَلِهَا قَالَ أَتَسْتَبْدِلُونَ الَّذِي هُوَ أَدْنَى بِالَّذِي هُوَ خَيْرٌ اهْبِطُوا مِصْرًا فَإِنَّ لَكُم مَّا سَأَلْتُمْ وَضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ وَالْمَسْكَنَةُ وَبَآءُوا بِغَضَبٍ مِّنَ اللَّهِ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَانُوا يَكْفُرُونَ بِئَايَاتِ اللَّهِ وَيَقْتُلُونَ النَّبِيِّينَ بِغَيْرِ الْحَقِّ ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ

Dan (ingatlah), ketika kamu (Bani Israil) berkata: "Hai Musa, kami tidak bisa sabar (tahan) dengan satu macam makanan saja. Sebab itu mohonkanlah untuk kami kepada Rabb-mu, agar Dia mengeluarkan bagi kami, apa yang ditumbuhkan bumi, yaitu: sayur-mayurnya, ketimunnya, bawang putihnya, kacang adasnya, dan bawang merahnya". Musa berkata: "Maukah kamu mengambil sesuatu yang rendah sebagai pengganti yang baik? Pergilah kamu ke suatu kota, pastilah kamu memperoleh apa yang kamu minta". Lalu ditimpakan kenistaan dan kehinaan kepada mereka, serta mereka mendapat kemurkaan dari Allah. Hal itu (terjadi) karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa alasan yang benar. Demikian itu (terjadi) karena mereka selalu berbuat durhaka dan melampaui batas. [Al Baqarah:61].

Ayat ini memuat beberapa akibat (yang ditimbulkan karena perbuatan) maksiat. Diantaranya:

Pertama : Allah telah menetapkan kehidupan yang rendah buat mereka, karena mereka menghendaki hal itu. Maka terwujudlah yang mereka minta. Mereka menukar madu dan salwa (sejenis burung puyuh, Pent) (ini merupakan sesuatu yang lebih berharga) dengan sayur-mayur, mentimun, bawang putih, kacang adas dan bawang merah (sesuatu yang lebih rendah).

Kedua : Ditimpakan kepada mereka kehinaan. Bukan itu saja, bahkan kepada mereka ditimpakan maskanah. Yaitu kefakiran dan kehinaan. Allah telah menetapkan hal itu bagi mereka.

Ketiga : Mereka akan kembali kepada Allah dengan menanggung kemurkaan Allah Subhanahu wa Ta'ala. 

Renungkanlah firman Allah:

فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah (Rasulullah) takut akan ditimpa musibah atau ditimpa adzab yang pedih. [An Nur:63].

Maksud menyelisihi perintah Rasulullah, adalah menyeleweng dari perintahnya. Akibat yang (ditimbulkan) dari fitnah (musibah), yaitu meliputi kemurtadan, kematian, kegoncangan, kesusahan, penguasa yang zhalim dan tertutupnya hati, kemudian setelah itu (akan mendapat adzab yang pedih).

Ada seorang laki-laki datang kepada Zubair bin Bikar. Dia berkata kepada Zubair: “Wahai, Abu Abdillah. Dari manakah saya memulai berihram?” Zubair menjawab: “Dari Dzul Hulaifah (nama tempat), dari tempat mulai berihramnya Rasulullah.” Orang tadi berkata: “Saya ingin berihram dari masjid.” Abu Abdillah berkata: “Janganlah anda melakukannya”. Orang tadi berkata: “Saya ingin berihram dari masjid, dari dekat kubur itu.” Abu Abdillah berkata: “Janganlah anda melakukannya, saya khawatir akan terjadi fitnah (musibah) pada dirimu.” Orang tadi berkata lagi: “Fitnah (musibah) macam apa? Saya hanya menambah beberapa mil saja?” Abu Abdillah berkata: “Fitnah manakah yang lebih besar dari pada pendapatmu (yang menganggap bahwa) engkau telah mencapai keutamaan yang telah ditinggalkan Rasulullah? Saya pernah mendengar Allah berfirman: 

فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahNya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih. [Thaha:63].

Diantara pengaruh lainnya karena perbuatan maksiat juga, yaitu ditenggelamkan. Allah menceritakan apa yang Allah lakukan terhadap kaum Nuh Alaihissallam :

مِّمَّا خَطِيئَاتِهِمْ أُغْرِقُوا فَأُدْخِلُوا نَارًا فَلَمْ يَجِدُوا لَهُم مِّن دُونِ اللهِ أَنصَارًا

Disebabkan kesalahan-kesalahan mereka, mereka ditenggelamkan lalu dimasukkan ke neraka, maka mereka tidak mendapat penolong-penolong bagi mereka selain dari Allah. [Nuh:25].

Diantara pengaruh yang ditimbulkan karena perbuatan maksiat juga, yaitu kehancuran total. Allah berfirman.

وَإِذَآ أَرَدْنَآ أَن نُّهْلِكَ قَرْيَةً أَمَرْنَا مُتْرَفِيهَا فَفَسَقُوا فِيهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْنَاهَا تَدْمِيرًا

Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (untuk mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan di dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya”. [Al Isra’:16].

Dan (masih ada lagi akibat negatif lainnya, Pent), kitab Allah penuh dengan penyebutan pengaruh-pengaruh ini.

Begitu juga Sunnah, banyak menyebutkan akibat-akibat yang ditimbulkan karena perbuatan maksiat. Saya kira cukup dengan menyebutkan dua contoh saja, (yaitu) hadits yang menyebutkan kerendahan dan kehinaan. 
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

بُعِثْتُ بِالسَّيْفِ حَتَّى يُعْبَدَ اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ وَجُعِلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي وَجُعِلَ الذِّلَّةُ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ 

Aku diutus (Allah) sebelum hari kiamat dengan membawa pedang, sampai hanya Allah yang disembah, tidak ada sekutu bagiNya. Dan rizqiku telah dijadikan di bawah bayangan tombakku. Dan dijadikan kerendahan dan kehinaan bagi orang yang menyelisihi perintahku. Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan kaum itu. [1] 

Allah telah menetapkan kerendahan dan kehinaan bagi orang yang menyelisihi perintah Allah dan RasulNya. Siapa yang ingin mengetahui tafsir yang sebenarnya dari hadits ini, hendaklah ia melihat kenyataan, maka dia akan mendapatkan apa yang telah diberitakan Rasulullah n . Orang-orang muslim pada saat ini telah terhina. Di segala penjuru dunia, mereka dikuasai oleh musuh-musuh. Bukan itu saja, bahkan musuh-musuh itu melakukan pembunuhan dan penyiksaan terhadap mereka, padahal musuh-musuh itu mengetahui bahwa umat Islam itu tidak sedikit. Akan tetapi, (keadaan) umat Islam seperti apa yang telah dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
,
غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَّيْلِ 2

Buih, seperti buih air bah. [3]

Hadits lain yang memperkuat hadits ini, adalah hadits yang kedua berikut ini.

إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لَا يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ 

Jika kalian jual beli dengan cara ‘inah, dan kalian memegangi ekor sapi, kalian rela dengan bercocok tanam dan kalian meninggalkan jihad, maka Allah akan menimpakan kehinaan kepada kalian. Allah tidak akan menghilangkan kehinaan itu sampai kalian kembali kepada dien kalian. [4] 

Dan kata “hina” yang disebutkan dalam hadits ini sama dengan kata “hina” yang terdapat pada hadits sebelumnya. Pendek kata, umat Islam pada masa kita sekarang ini telah terpecah-pecah, maka mereka menjadi berkelompok-kelompok dan bercerai-berai Wala haula wala quwwata illa billah.

Jika seseorang telah menjadi hina dalam pandangan Allah, maka tidak ada yang bisa memuliakannya, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla.

وَمَن يُهِنِ اللهُ فَمَالَهُ مِن مُّكْرِمٍ

Dan barangsiapa yang dihinakan Allah, maka tidak seorangpun yang memuliakannya. [Al Hajj:18].

Meskipun nampaknya dia diagungkan oleh manusia, karena manusia masih membutuhkannya atau takut kepada kejahatannya, namun hakikatnya dia adalah orang yang paling hina dalam hati-hati manusia tersebut.[5] 

Adapun atsar (riwayat) ulama’ Salaf (yang menyebutkan pengaruh perbuatan maksiat), Ibnu Al Jauzi berkata dalam kitab Talbisul Iblis (227): Dari Abu Abdillah bin Al Jalla’, dia berkata: “Aku sedang melihat seorang anak Nashrani yang tampan wajahnya, lalu lewat di depan saya Abu Abdillah Al Balkha, dia berkata,“Kenapa berhenti?” Saya menjawab,”Wahai, paman. Tidakkah anda melihat bentuk ini? Bagaimana ia bisa disiksa dengan api?” Lalu dia menepukkan kedua tangannya di bahuku sambil berkata: “Sungguh kamu akan menanggung akibatnya.” Al-Jalla’ berkata: “Sayapun menanggung risikonya empat puluh tahun kemudian. Saya lupa (hapalan) Qur’an”

Terakhir, hendaklah setiap diri kita mengetahui, bahwasanya pengaruh perbuatan maksiat itu tidak hanya terbatas pada pelaku itu sendiri, akan tetapi pengaruhnya akan menular kepada anak-anak. Mereka akan merasakan efek negatif, sebagaimana juga perbuatan taat akan menularkan pengaruh positif pada anak-anak. Dua hal ini telah ditetapkankan dalam Kitabullah. Allah berfirman,

وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا

Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar. [An Nisa’:9].

Ini adalah pengaruh negatifnya. Adapun pengaruh positifnya, Allah berfirman:

وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلاَمَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَّهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَن يَبْلُغَآ أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِن رَّبِّكَ

Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang shalih, maka Rabb-mu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanan itu, sebagai rahmat dari Rabb-mu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya. [Al Kahfi:82].

Allah telah menjaga harta benda milik dua orang anak yatim dikarenakan keshalihan kedua orangtua mereka. Pengaruh amalan shalih menjadi jelas dan menular kepada anak keturunan. 

Diantara efek negatif perbuatan dosa lainnya, yaitu hilangnya anggapan dosa itu jelek. Orang yang gemar melakukan perbuatan maksiat, berarti sama dengan menorehkan titik hitam di dalam hatinya, sampai akhirnya tertutup dengan titik-titik itu akibat dosanya. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad dan Imam Tirmidzi dengan sanad yang jayyid (bagus), dari Abu Shalih dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, dia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

إِنَّ الْمُؤْمِنَ إِذَا أَذْنَبَ ذَنْبًا نُكِتَ فِي قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ فَإِنْ تَابَ وَنَزَعَ وَاسْتَغْفَرَ صُقِلَ قَلْبُهُ وَإِنْ زَادَ زَادَتْ حَتَّى تَعْلُوَ قَلْبَهُ فَذَلِكَ الرَّانُ الَّذِي ذَكَرَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فِي الْقُرْآنِ كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ 

Sesungguhnya seorang mukmin, jika melakukan satu perbuatan dosa, maka ditorehkan di hatinya satu titik hitam. Jika ia bertaubat, berhenti dan minta ampun, maka hatinya akan dibuat mengkilat (lagi). Jika semakin sering berbuat dosa, maka titik-titik itu akan bertambah sampai menutupi hatinya. Itulah raan yang disebutkan Allah dalam Al Qur’an.

كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka. [Al Muthaffifin:14]. [6] 

Pemilik hati seperti ini, tidak akan bisa membedakan antara yang baik dan buruk dalam pandangan Allah dan RasulNya, kecuali sesuatu yang dianggap baik atau buruk oleh hawa nafsunya. Tolok ukurnya bukan lagi firman Allah atau sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ia tidak menganggap jelek perbuatan maksiat yang dinyatakan jelek oleh Allah dan RasulNya, sehingga ia tidak merasa malu melakukan perbuatan maksiat di hadapan khalayak. Ia melakukan perbuatan maksiat dengan terang-terangan, bahkan dengan bangga ia menceritakan perbuatan maksiatnya yang tidak diketahui oleh orang lain. Orang-orang seperti ini termasuk golongan orang-orang yang tidak mendapatkan ampunan dari Allah, terhalangi dari pintu taubat baginya, bahkan biasanya tertutup. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلَّا الْمُجَاهِرِينَ وَإِنَّ مِنْ الْمُجَاهَرَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلًا ثُمَّ يُصْبِحَ وَقَدْ سَتَرَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ فَيَقُولَ يَا فُلَانُ عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللَّهِ عَنْهُ 

Setiap umatku akan dimaafkan, kecuali mujahirin (pelaku maksiat dengan terang-terangan). Dan termasuk dalam mujaharah (berbuat maksiat dengan terang-terangan), (yaitu) seseorang melakukan satu perbuatan pada malam hari, kemudian dia memasuki waktu pagi dan Allah menutupi perbuatannya itu, lalu ia mengatakan “Wahai, fulan. Semalam aku melakuan ini dan itu” Dia tidur semalam dan Allah menutupi perbuatannya, lalu ketika memasuki waktu pagi dia membuka tabir Allah. [HR Bukhari Muslim].[7]

Diantara efek negatif yang lain, yaitu melemahkan hati. Ini merupakan akibat yang paling mengkhawatirkan atas seorang hamba. Dosa akan melemahkan keinginan hati, keingian berbuat maksiat semakin menguat, sementara keinginan untuk bertaubat sedikit demi sedikit semakin melemah. Sampai akhirnya, keinginan untuk bertaubat hilang sama sekali. Kalau seandainya, hati seseorang mati separuh saja, maka dia tidak akan bisa bertaubat, (apalagi kalau mati total). Akibatnya, dia akan sering melakukan istighfar atau taubat dusta, sementara hatinya tertambat dengan perbuatan maksiat, dan dia tetap berazam untuk melakukannya ketika kondisi memungkinkan. Inilah penyakit hati yang paling berat dan paling dekat kepada kehancuran [8]. Dan masih banyak lagi efek negatif yang diakibatkan karena perbuatan maksiat. [9] 

Terakhir sekali, hendaklah setiap diri kita mengetahui, bahwasanya perbuatan maksiat terlihat pada wajah dan ucapan para pelaku. Tidak ada satu rahasiapun yang disembunyikan, melainkan Allah akan memasang bungkusnya. Jika baik, maka baik pula (tutupnya). Dan jika jelek, maka jelek pula tutupnya. Oleh karena itu, Allah berfirman kepada NabiNya Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.

وَلَوْ نَشَآءُ لأَرَيْنَاكَهُمْ فَلَعَرَفْتَهُم بِسِيمَاهُمْ وَلَتَعْرِفَنَّهُمْ فِي لَحْنِ الْقَوْلِ وَاللهُ يَعْلَمُ أَعْمَالَكُمْ

Dan kalau Kami menghendaki, niscaya Kami perlihatkan mereka kepadamu sehingga kamu benar-benar dapat mengenal mereka dengan tanda-tandanya. Dan kamu benar-benar akan mengenal mereka dari kiasan-kiasan perkataan mereka dan Allah mengetahui perbuatan-perbuatan kamu. [Muhammad:30].

أَمْ حَسِبَ الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِم مَّرَضٌ أَن لَّن يُخْرِجَ اللهُ أَضْغَانَهُمْ

Atau apakah orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya mengira bahwa Allah tidak akan menampakkan kedengkian mereka. [Muhammad:29].

Dan diriwayatkan dari Amirul Mukminin Utsman bin ‘Affan Radhiyallahu 'anhu, beliau berkata: “Tidaklah seseorang itu menyembunyikan satu rahasiapun, kecuali Allah nampakkan pada rona wajahnya dan ucapan lisannya”.

Sebagian Salaf mengatakan: “Demi, Allah. Sungguh saya bisa mengetahui perbuatan maksiat saya dari perangai isteri saya dan mogoknya tunggangan saya”. 

Waakhiru da’wanaa alhamdulillah Rabbil ‘alamin.

(Diterjemahkan dari majalah Al Ashalah, Edisi tanggal 15 Dzulhijjah 1416 H, halaman 60-64, dengan tambahan catatan kaki dan sedikit tambahan dari kitab Ad Da’ Wad Dawa’)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun VIII/1425H/2004M]
_______
Footnote 
[1]. HR Imam Ahmad dengan sanad jayyid (baik). Lihat Ad Da’ Wad Dawa’, karya Ibnul Qayyim rahimahullah, tahqiq Syaikh Ali Hasan Al Halabi, hlm. 93.
[2]. HR Ahmad.
[3]. Terjemahan lengkapnya “Hampir-hampir umat-umat (orang-orang kafir) bersekongkol untuk mengerubuti kalian, sebagaimana orang yang telah siap menyantap makanan yang ada di nampan (piring besar).” Ditanyakan kepada Beliau,”Wahai, Rasulullah. Apakah karena jumlah kami sedikit?” Rasulullah menjawab,”Tidak! Akan tatapi kalian seperti buih yang dibawa oleh banjir. Rasa takut dicabut dari hati-hati musuh terhadap kalian, dan akan diletakkan di dalam hati kalian al wahn” Mereka bertanya,”Apakah al wahn itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab,”Cinta dunia dan benci kematian.”
[4]. HR Abu Dawud.
[5]. Lihat Ad Da’ Wad Dawa’ , karya Ibnul Qayyim rahimahullah, tahqiq Syaikh Ali Hasan Al Halabi hafizhahullah, hlm. 93. 
[6]. Lihat Ad Da’ Wad Dawa’, karya Ibnul Qayyim rahimahullah, tahqiq Syaikh Ali Hasan Al Halaby hafizhahullah, hlm. 83.
[7]. Lihat Ad Da’ Wad Dawa’, karya Ibnul Qayyim rahimahullah, tahqiq Syaikh Ali Hasan Al Halabi hafizhahullah, hlm. 92.
[8]. Lihat Ad Da’ Wad Dawa’, karya Ibnul Qayyim rahimahullah, tahqiq Syaikh Ali Hasan Al Halabi hafizhahullah, hlm. 91.
[9]. Bagi yang ingin mengetahui secara lebih luas, kami persilahkan membaca kitab Ad Da’ Wad Dawa’, karya Ibnul Qayyim rahimahullah.

Buah Kemaksiatan dan Kelalaian

Abu Fathan | 09:33 | 0 comments
Kemaksiatan dan kelalaian, dua hal yang melahirkan berbagai jenis penderitaan di dalam diri manusia. Tidakkah anda ingat bagaimana penyesalan Nabi Adam ‘alahis salam tatkala menyadari kesalahannya setelah mendurhakai Rabb-nya? Tidakkah anda ingat bagaimana penyesalan orang-orang kafir di akhirat yang mengandaikan kalau saja ketika di dunia mereka hanya menjadi sebongkah tanah saja? Tidakkah anda ingat bagaimana penyesalan dan hukuman yang harus dirasakan oleh Ka’ab bin Malik bersama dua orang sahabatnya yang sama-sama tidak ikut perang Tabuk bersama Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat yang lainnya? Lihatlah pada diri mereka; betapa kemaksiatan dan kelalaian telah menjauhkan mereka dari ketenteraman dan kebahagiaan. Aduhai, adakah manusia yang sudi hidup dirundung rasa takut, tersiksa, dan larut dalam kesedihan demi kesedihan…
Saudaraku, semoga Allah memberikan taufik kepada aku dan kamu, ingatlah bahwa hakikat kehidupan kita di dunia ini adalah demi menjalankan sebuah misi yang sangat agung yaitu beribadah kepada Allah ta’ala semata. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah (hanya) kepada-Ku.” (QS. Adz Dzariyat: 56). Dan sesungguhnya beribadah kepada Allah itu adalah dengan melakukan apa yang Allah cintai dan meninggalkan apa yang Allah benci.
Sekarang Saatnya Menanam Pohon Ketaatan
Saudaraku, maka dari itu kehidupan ini adalah ladang amal bagi kita. Apabila kita menanam kebaikan-kebaikan di dunia ini, niscaya kita akan menuai hasil yang menggembirakan di hari kemudian. Namun sebaliknya, apabila ternyata yang kita tanam justru perbuatan dosa dan kemaksiatan, maka jangan salahkan siapa-siapa jika buah yang nantinya kita rasakan di hari kemudian adalah buah Zaqqum dan minuman mendidih yang menjijikkan dan menghancurkan saluran pencernaan.
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Tahun ibarat sebatang pohon sedangkan bulan-bulan adalah cabang-cabangnya, jam-jam adalah daun-daunnya dan hembusan nafas adalah buah-buahannya. Barang siapa yang pohonnya tumbuh di atas kemaksiatan maka buah yang dihasilkannya adalah hanzhal (buah yang pahit dan tidak enak dipandang, pent) sedangkan masa untuk memanen itu semua adalah ketika datangnya Yaumul Ma’aad (kari kiamat). Ketika dipanen barulah akan tampak dengan jelas buah yang manis dengan buah yang pahit. Ikhlas dan tauhid adalah ‘sebatang pohon’ di dalam hati yang cabang-cabangnya adalah amal-amal sedangkan buah-buahannya adalah baiknya kehidupan dunia dan surga yang penuh dengan kenikmatan di akherat. Sebagaimana buah-buahan di surga tidak akan akan habis dan tidak terlarang untuk dipetik maka buah dari tauhid dan keikhlasan di dunia pun seperti itu. Adapun syirik, kedustaan, dan riya’ adalah pohon yang tertanam di dalam hati yang buahnya di dunia adalah berupa rasa takut, kesedihan, gundah gulana, rasa sempit di dalam dada, dan gelapnya hati, dan buahnya di akherat nanti adalah berupa buah Zaqqum dan siksaan yang terus menerus…” (Al Fawa’id, hal. 158).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda memberikan nasihat yang sangat berharga kepada setiap kita, “Jadilah engkau di dunia ini seperti orang yang asing atau orang yang sedang mengadakan perjalanan.” Ibnu ‘Umar mengatakan, ‘Apabila kamu berada di waktu sore, janganlah menunggu datangnya waktu pagi. Dan apabila kamu berada di waktu pagi janganlah menunggu datangnya waktu sore. Manfaatkanlah saat sehatmu sebelum datang saat sakitmu, dan gunakan masa hidupmu sebelum datang kematianmu.’.” (HR. Bukhari).
An Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Janganlah kamu terlalu menggantungkan hati kepada dunia, dan jangan jadikan ia sebagai tempat tinggal, janganlah kamu katakan kepada dirimu bahwa kamu selamanya akan tinggal di sana. Janganlah bergantung kepadanya kecuali sekedar seperti orang asing yang membutuhkan sesuatu hal ketika berada di suatu tempat di luar daerah asalnya yang tetap memendam rasa rindu untuk kembali kepada keluarganya.” (Durrah Salafyah, hal. 276). Beliau juga menandaskan bahwa di dalam hadits ini kita diajari untuk memendekkan angan-angan yang tidak sepantasnya, menyegerakan bertaubat, dan bersiap-siap untuk menghadapi kematian (Durrah Salafyah, hal. 276).
Siapakah di antara kita yang bisa menjamin bahwa besok pagi kita masih hidup? Oleh sebab itu manfaatkanlah waktu yang masih ada ini dengan sebaik-baiknya untuk berbuat ketaatan. Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma telah berpesan kepada kita, “Apabila kamu berada di waktu sore janganlah menunggu datangnya waktu pagi. Dan apabila kamu berada di waktu pagi janganlah menunggu datangnya waktu sore.” Syaikh Ibnu ‘Utsaiminrahimahullah menerangkan, “Artinya apabila kamu berada di waktu sore jangan kamu katakan: Aku pasti masih akan hidup hingga pagi besok. Betapa banyak orang yang memasuki waktu sore namun ternyata tidak sempat menikmati waktu pagi di keesokan harinya…” (Durrah Salafiyah, hal. 279).
Kematian pasti datang dan tidak dapat dielakkan. Kalau ia telah datang menjemput maka amal telah terputus. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Apabila seorang manusia meninggal maka akan terputus amalnya kecuali tiga perkara : sedekah yang terus mengalir (pahalanya), ilmu yang dimanfaatkan orang lain, atau anak saleh yang mendoakan kebaikan bagi orang tuanya.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu). Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Maka sudah sepantasnya bagi setiap orang berakal yang masih hidup serta berada dalam kondisi sehat dan segar bugar untuk bersemangat mengerjakan amal sebelum dia meninggal dan ketika itulah amalnya menjadi terputus.” (Durrah Salafiyah, hal. 280).
Seorang khalifah yang lurus dan mendapatkan bimbingan hidayah Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Bersikap pelan-pelan dalam segala hal itu adalah baik kecuali dalam mengerjakan berbagai kebajikan demi meraih kebahagiaan di akherat kelak.” Hasan Al Bashri juga menasihatkan, “Bersegeralah, bersegeralah! Karena hidup kita ini sebenarnya adalah tarikan nafas demi tarikan nafas. Seandainya tarikan-tarikan itu dihentikan dari diri kalian niscaya akan terputuslah amal-amal yang sedang kalian kerjakan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah ‘azza wa jalla. Semoga Allah merahmati seorang manusia yang memperhatikan dirinya sendiri dan menangisi sekian banyak jumlah dosa yang telah dia lakukan…” (Durrah Salafiyah, hal. 280). Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu juga menasihati kita dengan sebuah nasihat yang sangat menyentuh, “Sesungguhnya dunia pasti akan lenyap dan pergi tunggang-langgang. Sedangkan akhirat pasti akan datang dan menghadang. Dan masing-masing di antara keduanya mempunyai anak-anak yang mengejarnya. Maka jadilah kalian sebagai ‘anak-anak akhirat’. Dan janganlah kalian termasuk ‘anak-anak dunia’. Karena sesungguhnya masa sekarang ini (kehidupan dunia) adalah masa untuk beramal serta belum ada hisab (perhitungan). Adapun esok (hari akhirat) adalah perhitungan yang tidak ada lagi kesempatan untuk beramal. ” (lihat Durrah Salafiyah, hal. 280).
Pahitnya Buah Kemaksiatan dan Kelalaian
Ibnul Qayyim rahimahullah memaparkan, “Sedikitnya taufik (pertolongan dari Allah), rusaknya pemikiran, tersamarnya kebenaran, rusaknya isi hati, tidak membekasnya bacaan zikir yang dibaca, perjalanan waktu yang tersia-siakan, ketidaksukaan dan kepergian teman, perasaan hampa dan sempit pada diri seorang hamba di hadapan Rabbnya, terhambatnya pengabulan doa, hati yang keras, tercabutnya keberkahan dalam urusan rezeki dan umur, terhalang mendapatkan ilmu, terselimuti dengan kehinaan dan kerendahan karena tekanan musuh, perasaan sempit dada, tertimpa musibah berupa dikelilingi oleh teman-teman dekat yang jelek sehingga merusakkan isi hati dan membuang-buang waktu, kesedihan dan gundah gulana yang berkepanjangan, penghidupan yang sempit dan tertutupnya kemampuan untuk memperbaiki keadaan diri, itu semua terlahir dari kemaksiatan dan kelalaian untuk mengingat Allah. [Itulah dampak kemaksiatan] Sebagaimana halnya tanaman yang tumbuh dari dalam genangan air, atau seperti panas yang membakar dari sebuah nyala api. Sedangkan hal-hal yang menjadi lawan dari itu semua akan muncul dari ketaatan.” (Al Fawa’id, hal. 35-36).
Pada suatu saat Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha mengisahkan, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Apabila kemaksiatan telah merajalela di kalangan umatku maka Allah meratakan azab kepada mereka semua dari sisi-Nya…’.” (HR. Ahmad, dinilai sahih oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ [5231] dan Sahih Sunan Abu Dawud [4347]. Lihat Ad Daa’ wa Ad Dawaa’, hal. 51).
Allah ta’ala berfirman,
لُعِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ عَلَى لِسَانِ دَاوُودَ وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ . كَانُوا لَا يَتَنَاهَوْنَ عَنْ مُنْكَرٍ فَعَلُوهُ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَفْعَلُونَ
“Telah dilaknat orang-orang kafir dari kalangan Bani Isra’il melalui lisan Daud dan ‘Isa bin Maryam, hal itu dikarenakan perbuatan maksiat yang mereka lakukan dan mereka senantiasa melampaui batas. Mereka tidak saling melarang dari kemungkaran yang dilakukan di antara mereka. Sungguh jelek apa yang telah mereka kerjakan itu.” (QS. Al Ma’idah: 78)
Di dalam ayat yang mulia ini Allah ta’ala mengabarkan kepada kita bahwa Bani Isra’il mendapatkan laknat dari Allah karena kemaksiatan yang mereka lakukan, sikap mereka yang melampai batas, dan mereka tidak menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar. Syaikh As Sa’di rahimahullah menjelaskan, “Artinya (mereka dilaknat) karena kemaksiatan mereka kepada Allah dan kezaliman mereka terhadap hamba-hamba Allah. Itulah yang menjadi sebab kekafiran mereka dan jauhnya mereka dari rahmat Allah. Karena sesungguhnya perbuatan-perbuatan dosa dan kezaliman itu pasti membuahkan hukuman-hukuman…” (Taisir Al Karim Ar Rahman, hal. 241).
Saudaraku, ingatlah bahwa segala macam bentuk kemaksiatan dan kelalaian adalah termasuk tindak kezaliman. Sebab hak Allah atas hamba-Nya adalah untuk ditaati bukan didurhakai, diingat dan bukan dilalaikan. Kezaliman ada tiga macam : kezaliman manusia terhadap hak Allah yaitu syirik, kezaliman manusia kepada dirinya sendiri itulah yang biasa disebut dengan maksiat, serta kezaliman terhadap sesama. Ketiga hal ini adalah kezaliman dan juga sekaligus kemaksiatan. Kalau kezaliman seorang hamba kepada dirinya adalah maksiat, maka bagaimana lagi kezalimannya kepada orang lain, dan bagaimanakah lagi jika yang dizaliminya adalah hak Allah subhanahu wa ta’ala Dzat yang telah menciptakan dirinya?
Apakah sebab timbulnya berbagai macam kerusakan di atas muka bumi ini kalau bukan karena kemaksiatan yang dilakukan oleh umat manusia? Allahta’ala berfirman,
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ
“Telah tampak kerusakan di atas daratan dan juga di lautan dikarenakan apa yang telah diperbuat oleh tangan-tangan manusia…” (QS. Ar Ruum: 41)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Tindakan merusak bumi itu terdiri dari dua bentuk: Pertama, perusakan secara fisik yang bisa dilihat dengan indera, yaitu seperti dengan cara merobohkan rumah-rumah, merusak jalan-jalan, dan kejahatan lain semacamnya. Yangkedua adalah perusakan secara maknawi, yaitu dengan melakukan perbuatan-perbuatan maksiat. Pada hakekatnya maksiat itulah sebesar-besar tindak perusakan yang terjadi di atas muka bumi.” Kemudian beliau membacakan ayat di atas (Al Qaul Al Mufid, II/77).
Dan karena kezaliman pulalah umat-umat terdahulu yang durhaka dihancurkan oleh Allah dengan berbagai macam bentuk siksaan dan bencana yang mengerikan. Allah ta’ala berfirman,
وَمَا كُنَّا مُهْلِكِي الْقُرَى إِلَّا وَأَهْلُهَا ظَالِمُونَ
“Dan tidaklah Kami akan menghancurkan negeri-negeri itu kecuali karena para penduduknya adalah orang-orang yang zalim.” (QS. Al Qashash: 59)
Ayat ini menunjukkan bahwa orang-orang yang gemar berbuat zalim berupa kekafiran atau maksiat memang berhak untuk menerima hukuman dari Allah. Karena Allah tidak akan menghukum siapa pun kecuali karena kezaliman yang dilakukannya dan setelah hujjah ditegakkan kepadanya (lihat Taisir Al Karim Ar Rahman, hal. 621).
Oleh sebab itu Allah ta’ala melarang keras tindak perusakan di atas muka bumi ini dengan segala jenisnya. Allah ta’ala berfirman,
وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا
“Dan janganlah kalian melakukan perusakan di atas muka bumi setelah sebelumnya ia diperbaiki…” (QS. Al A’raaf: 56)
Sembari menukil ayat, Syaikh As Sa’di rahimahullah menjelaskan, “Dan janganlah kalian berbuat kerusakan di muka bumi” Artinya adalah (jangan berbuat kerusakan, pent) dengan melakukan berbagai perbuatan maksiat. “Sesudah dia diperbaiki.” Artinya adalah (sebelumnya bumi itu telah baik, pent) dengan amal-amal ketaatan. Karena sesungguhnya berbagai perbuatan maksiat itu menjadi sebab rusaknya akhlak, rusaknya amalan dan carut marut rezeki. Ini serupa dengan firman Allah ta’ala yang artinya, “Telah muncul kerusakan di daratan dan di lautan dengan sebab ulah tangan-tangan manusia.” Sebagaimana halnya berbagai perbuatan ketaatan menjadi sebab baiknya akhlak, bagusnya amalan, dan kelancaran rezeki serta kebaikan kondisi di dunia maupun di akhiat.” (Taisir Al Karim Ar Rahman, hal. 292).
Belum lagi, kalau kita mengetahui bahwasanya kezaliman yang kita lakukan itu ternyata akan menghalangi kita dari mendapatkan manisnya hidayah. Tentunya setelah menyadari hal ini kita akan berusaha untuk menjauhkan diri darinya sejauh-jauhnya. Allah ta’ala berfirman,
فَإِنْ لَمْ يَسْتَجِيبُوا لَكَ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُونَ أَهْوَاءَهُمْ وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Maka apabila mereka tidak memenuhi seruanmu (wahai Muhammad), ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka itu hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka. Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya tanpa petunjuk dari Allah. Sesungguhnya Allah tidak akan memberikan petunjuk kepada kaum yang zalim.” (QS. Al Qashash: 50)
Orang-orang yang dimaksud oleh ayat ini adalah orang yang kezaliman telah menjadi karakter hidupnya dan suka menentang (kebenaran) telah melekat dalam perangainya. Ketika hidayah menyapa, mereka justru menolaknya. Mereka lebih senang menuruti kemauan hawa nafsunya. Mereka sendirilah yang menutup pintu-pintu dan jalan menuju hidayah. Mereka justru membuka pintu-pintu kesesatan dan jalan menuju ke sana. Mereka menutup mata dan tidak mau tahu, padahal mereka telah tenggelam dalam kesesatan dan penyimpangan. Mereka terombang-ambing, hidup di ambang kehancuran (lihat Taisir Al Karim Ar Rahman, hal. 618). Ayat ini juga merupakan dalil yang menunjukkan bahwa semua orang yang tidak mau memenuhi seruan Rasul dan justru menganut pendapat yang menyelisihi ucapan Rasul maka dia tidaklah bermazhabkan bimbingan hidayah akan tetapi mazhabnya adalah hawa nafsu (lihat Taisir Karimir Rahman, hal. 618).
Padahal kita sudah sama-sama tahu bahwa hidayah adalah perkara yang sangat kita butuhkan, lebih daripada kebutuhan kita kepada makanan dan minuman. Tidakkah kita ingat sebuah doa nan indah yang selalu terucap dari lisan orang yang melakukan shalat lima waktu yang dilakukannya setiap hari? ‘Ya Allah tunjukilah kami jalan yang lurus’. Bukankah itu doa yang terus kita panjatkan di setiap rakaat shalat yang kita lakukan? Apakah itu artinya? Apakah itu berarti kita mengucapkan sesuatu yang sia-sia dan tanpa makna? Apakah itu artinya kita bisa hidup tenteram dan bahagia tanpa bimbingan dan petunjuk dari Allah ta’ala? Tidakkah kita sadar bahwa hal itu menunjukkan bahwa hidayah itu lebih penting dari segala kebutuhan dunia; yang primer, sekunder, apalagi tersiernya? Lalu apalah artinya kita hidup jika tanpa bimbingan dan pertolongan dari-Nya? Lihatlah betapa pahit akibat yang harus dirasakan oleh orang yang bermaksiat kepadanya; kehilangan sesuatu yang paling berharga dan menjadi ruh kehidupannya yaitu hidayah dari Allah ta’alala haula wa la quwwata illa billah
Penyebab Terjadinya Maksiat
Ibnul Qayyim rahimahullah memaparkan, “Tidaklah seorang hamba menerjang sesuatu yang diharamkan oleh Allah melainkan disebabkan oleh [salah satu di antara] dua kemungkinan:
Pertama: Karena persangkaan buruknya kepada Rabbnya. Dia mengira kalau dia tetap taat kepada Allah serta lebih mengutamakan keinginan-Nya maka Allah tidak akan memberikan ganti lebih baik darinya yang halal untuk dinikmati.
Kedua: Dia telah menyadari hal itu, dan dia pun tahu bahwa orang yang meninggalkan sesuatu karena Allah niscaya Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik darinya. Akan tetapi hawa nafsunya telah menguasai dirinya sehingga dia tidak lagi bersabar dan dia pun telah mencampakkan akal sehatnya.
Yang pertama terjadi karena lemahnya ilmu yang dia punyai. Sedangkan yang kedua terjadi karena lemahnya akal dan kejernihan mata hati yang dia miliki…” (Al Fawa’id, hal. 46).
Wahai saudaraku, marilah kita cermati diri kita masing-masing. Tidakkah kita ingat, dahulu kita ini bukan apa-apa. Kita dulu belum terlahir ke alam dunia, kita dulu tidak mengetahui apa-apa, tidak punya apa-apa, dan tidak bisa melakukan apa-apa. Lantas Allah menciptakan kita dengan rupa dan bentuk yang amat sempurna. Dan Allah mengaruniakan akal, penglihatan, pendengaran, dan hati kepada kita. Allah juga yang menciptakan berbagai macam binatang ternak, tanaman, dan buah-buahan sehingga bisa dinikmati oleh manusia. Allah juga yang memberikan akal dan kecerdasan kepada umat manusia sehingga mereka bisa mengembangkan teknologi canggih di mana-mana. Apakah yang telah membuat kita lalai dan larut dalam kemaksiatan kepada-Nya?
Apakah dengan melakukan maksiat itu berarti kita menyangka Allah tidak melihat perbuatan kita? Apakah dengan melakukan maksiat itu berarti kebahagiaan yang hakiki akan kita raih, atau justru sebaliknya; perasaan sedih, menyesal, bersalah, dan gundah gulana yang akan mengisi relung-relung hati kita? Tidakkah orang yang miskin menyadari bahwa dengan mencuri dia tidak akan menjadi kaya, bahkan bisa jadi dia akan dijebloskan ke dalam penjara? Tidakkah orang yang kehausan sadar bahwa dengan meminum khamr maka rasa hausnya justru tidak akan terobati dan bahkan dirinya akan semakin tersiksa? Tidakkah para koruptor sadar bahwa uang haram yang dia masukkan ke dalam rekeningnya justru akan mencabut keberkahan hartanya serta menyiksa hati dan pikirannya, dan bisa jadi menjatuhkan kedudukannya di hadapan masyarakat, atau paling tidak mereka akan dimurkai oleh Allah ta’ala? Apakah setelah menyadari ini semua -wahai insan- kamu akan tetap bersikeras bermaksiat dan lalai dari mengingat keagungan-Nya?
Allah ta’ala berfirman,
أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آَمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ
“Belumkah tiba saatnya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka dengan mengingat Allah dan kebenaran yang diturunkan. Dan janganlah mereka menjadi seperti orang-orang sebelumnya yang telah diberikan Al Kitab, masa yang panjang mereka lalui (dengan kelalaian) sehingga hati mereka pun mengeras, dan banyak sekali di antara mereka yang menjadi orang-orang fasik.” (QS. Al Hadid: 16)
Apakah belum tiba waktunya bagi kita untuk mengisi hari-hari kita dengan bacaan al-Qur’an dan mentadabburinya? Apakah belum tiba waktunya bagi kita untuk tunduk secara total mengikuti keindahan ajaran syari’at-Nya? Ataukah kita akan membiarkan hati ini mengeras tanpa siraman ayat-ayat-Nya dan panduan ajaran Nabi-Nya? Wahai manusia, sesungguhnya Allah sangat menyayangi diri kalian, oleh sebab itu Allah turunkan al-Qur’an bagi kalian untuk dipelajari bukan untuk dicampakkan. Allah utus Nabi-Nya kepada kalian untuk kalian ikuti bukan untuk ditinggalkan. Maka alangkah meruginya kalian jika kalian justru menyia-nyiakan bimbingan ilahi ini. Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah mengatakan, “Hati-hati manusia sangat butuh untuk berzikir dan mengingat wahyu yang diturunkan oleh Allah serta mengisi ucapan-ucapannya dengan hikmah. Tidak semestinya hal itu dilalaikan. Karena kelalaian adalah penyebab keras dan membekunya hati.” (Taisir Al Karim Ar Rahman, hal. 840).
Kita memohon kepada Allah dengan keagungan nama-nama dan sifat-sifat-Nya semoga Allah menganugerahkan kepada kita ilmu yang bermanfaat, kekhusyu’an dalam beribadah, dan rasa takut kepada-Nya baik di saat bersama manusia maupun tidak bersama mereka. Semoga Allah mengaruniakan kepada kita taubatan nasuha sehingga Allah mengampuni dosa dan kesalahan-kesalahan kita. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdulillahi rabbil ‘alamiin.
Abu Mushlih Ari Wahyudi

Kemulian Wanita

Abu Fathan | 20:26 | 0 comments
Oleh Syaikh Abdurrazaq bin Abdul Muhsin al-Badr 

Dalam naungan ajaran Islam, kaum wanita hidup dengan penuh kemuliaan. Wanita terus mendapatkan pernghargaan dan dihargai serta dimuliakan semenjak pertama kali dia terlahir ke bumi. Mereka dimuliakan dalam semua fase kehidupan yang mereka lalui, baik ketika ia sebagai seorang anak, ibu, istri, saudari, atau bibi. Kaum wanita pada semua fase kehidupannya selalu dimuliakan dan diberikan hak-hak khusus oleh Islam.

1. Wanita Sebagai Anak
Saat seorang wanita sebagai seorang anak, Islam menyerukan agar berbuat baik padanya, memperhatikan pendidikan dan pengasuhannya, agar dia menjadi wanita shalihah yang menjaga kehormatannya. Islam juga mencela perbuatan kaum jahiliyah yang telah mengubur anak-anak perempuan mereka hidup-hidup dan perbuatan orang-orang yang membenci kehadiran mereka. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِالْأُنْثَىٰ ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيمٌ ﴿٥٨﴾ يَتَوَارَىٰ مِنَ الْقَوْمِ مِنْ سُوءِ مَا بُشِّرَ بِهِ ۚ أَيُمْسِكُهُ عَلَىٰ هُونٍ أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ ۗ أَلَا سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ

Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu [an-Nahl/16:58-59]

Dalam sebuh hadist yang terdapat dalam Shahîh al-Bukhâri dan Muslim, dari al-Mughirah bin Syu’bah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : 

إنَّ اللهَ حَرَّمَ عَلَيْكُمْ : عُقُوقَ الأمَّهَاتِ ، وَمَنْعاً وهاتِ ، وَوَأْدَ البَنَاتِ

sesungguhnya Allâh telah mengharamkan bagi kalian perbuatan durhaka kepada para ibu, menahan hak (yang harus ditunaikan) dan selalu meminta sesuatu (yang bukan haknya), serta perbuatan mengubur bayi perempuan hidup-hidup[1] 

Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan bahwa orang-orang jahiliyah menguburkan anak-anak wanita dengan dua model :

Pertama : Mereka menyuruh istri mereka sebelum proses kelahiran untuk berada didekat lubang. Apabila yang dilahirkan bayi laki-laki, maka bayi tersebut diambil dan diasuh. Namun, apabila yang terlahir perempuan, maka mereka langsung dimasukkan kedalam lubang dan dikubur.

Kedua : Sebagian mereka, apabila anak perempuannya sudah berumur enam tahun, sang ibu disuruh untuk menghiasinya dengan alasan akan dibawa ziarah ke karib kerabatnya. Kemudian dia dibawa ke tengah padang pasir hingga sampai pada sebuah sumur, lantas dia disuruh melihat kedalam sumur tersebut. Saat dia melihat ke dalam, ia didorong kedalamnya kemudian ditimbun.[2] 

Itulah perlakuan buruk mereka terhadap anak perempuan mereka. Ini sangat berbeda dengan syari’at Islam yang menganggap anak wanita sebagai sebuah nikmat yang agung, anugerah mulia dari Allâh Azza wa Jalla . Allâh Azza wa Jalla berfirman :

لِلَّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ ۚ يَهَبُ لِمَنْ يَشَاءُ إِنَاثًا وَيَهَبُ لِمَنْ يَشَاءُ الذُّكُورَ ﴿٤٩﴾ أَوْ يُزَوِّجُهُمْ ذُكْرَانًا وَإِنَاثًا ۖ وَيَجْعَلُ مَنْ يَشَاءُ عَقِيمًا ۚ إِنَّهُ عَلِيمٌ قَدِيرٌ

Kepunyaan Allâh-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki, atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa) yang dikehendaki-Nya, dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa. [as-Syûra/42:49-50]

Dalam musnad Imam ahmad bin Hambal rahimahullah, dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : 

مَنْ كَانَتْ لَهُ أُنْثَى ، فَلَمْ يَئِدْهَا وَلَمْ يُهِنْهَا ، وَلَمْ يُؤثِرْ وَلَدَهُ عَلَيْهَا، أَدْخَلَهُ اللهُ الْجَنَّةَ

Barangsiapa memiliki anak perempuan dan dia tidak menguburnya hidup-hidup, tidak pula dia hinakan, dan tidak lebih mengutamakan anak laki-laki darinya, maka Allâh akan memasukkannya kedalam surga[3]. 

Diriwayatkan dari Ibnu Mâjah, dari ‘Uqbah bin ‘Âmir Radhiyallahu anhu , dia berkata : aku pernah mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : 

مَنْ كَانَ لَهُ ثَلَاثُ بَنَاتٍ فَصَبَرَ عَلَيْهِنَّ وَكَسَاهُنَّ مِنْ جِدَتِهِ كُنَّ لَهُ حِجَابًا مِنْ النَّارِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Barangsiapa memiliki tiga anak perempuan, dan dia bersabar atas mereka, serta memberikan mereka pakaian sesuai kemampuannya, maka Allâh akan menjadikan mereka sebagai hijab (penghalang) baginya dari api neraka pada hari Kiamt[4] 

Diriwayatkan oleh imam Muslim dalam Shahîhnya, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : 

مَنْ عَالَ جَارِيَتَيْنِ حَتَّى تَبْلُغَا جَاءَ يَوْم الْقِيَامَة أَنَا وَهُوَ كَهَاتَيْنِ, وَضَمَّ أَصَابِعَهُ

“Barangsiapa mengasuh dua anak perempuan sampai mereka mencapai usia baligh, maka dia akan datang pada hari kiamat bersamaku seperti dua ini” Beliau menyatukan dua anak jarinya.[5] 

Imam Ahmad juga meriwayatkan, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : 

مَنْ عَالَ ابْنَتَيْنِ أَوْ ثَلَاثَ بَنَاتٍ أَوْ أُخْتَيْنِ أَوْ ثَلَاثَ أَخَوَاتٍ، حَتَّى يَبْلُغْنَ، أَوْ يَمُوتَ عَنْهُنَّ، أَنَا وَهُوَ كَهَاتَيْنِ 

“Barangsiapa mengasuh dua atau tiga anak perempuan, dua atau tiga saudara perempuannya sampai mereka mencapai usia baligh, atau dia meninggal dan mereka dalam asuhannya, maka dia dan aku seperti dua jari ini”[6] 

Imam al-Bukhâri meriwayatkan dalam kitab Adabul Mufrad dari Sahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bernama Jâbir bin Abdillah Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ كَانَ لَهُ ثَلاَثُ بَنَاتٍ يُؤْوِيْهِنَّ وَيَكْفِيْهِنَّ وَيَرْحَمُهُنَّ وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ الْبَتَّةَ فَقَالَ رَجَلٌ مِنْ بَعْضِ الْقَوْمِ : وَثِنْتَيْنِ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: وَثِنْتَيْنِ

“Barangsiapa mengasuh tiga anak perempuan, mencukupi kebutuhan mereka, dan mengasihi mereka maka telah dipastikan baginya surga.” Salah seorang Sahabat bertanya, “Bagaimana dengan dua anak perempuan, wahai Rasûlullâh? Beliau bersabda, “Dua anak perempuan juga seperti itu.”[7]

Dalam Shahîh al-Bukhâri dan Shahîh Muslim, diriwayatkab bahwa ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma mengatakan, bahwa ada seorang Arab Badui mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya :

أَتُقَبِّلُونَ الصِّبْيَانَ؟ فَمَا نُقَبِّلُهُمْ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَوَأَمْلِكُ لَكَ أَنْ نَزَعَ اللَّهُ مِنْ قَلْبِكَ الرَّحْمَةَ

Apakah kalian pernah mencium anak-anak kalian? Dia menjawab, “Kami tidak menciumi mereka.” Rasûlullâh kemudian bersabda, ‘Saya tidak mampu menjadikan rasa kasih sayang di hatimu, jika Allâh Azza wa Jalla telah mencabutnya dari hatimu.[8] 

2. Wanita Sebagai Ibu
Agama Islam menyeru manusia agar memuliakan kaum wanita dengan penghormatan dan pemuliaan khusus ketika dia menjadi seorang ibu. Pemuliaan dan penghormatan itu dengan cara berbakti kepadanya, berbuat baik kepadanya, mendo’akannya, dan menghindari segala hal yang bisa menyakitinya serta bergaul dengan cara yang lebih dibandingkan cara kita bergaul dengan teman atau sahabat, Allâh Azza wa Jalla berfirman : 

وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا ۖ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا ۖ وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْرًا ۚ حَتَّىٰ إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَىٰ وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي ۖ إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya. Ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: "Ya Rabbku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri." [al-Ahqâf/46:15 ]

Allâh Azza wa Jalla juga berfirman :

وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا ﴿٢٣﴾ وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا 

Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan beribadah kepada selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia, Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Rabbku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil". [al-Isrâ’/17:23-24]

Dalam Shahîh al-Bukhâri dan Muslim, dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia berkata: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya : 

يَا رَسُولَ اللهِ مَنْ أَبَرُّ؟ قَالَ أُمَّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ ؟ قَالَ أُمَّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ ؟ قَالَ ثُمَّ أَبَاكَ

Wahai Rasûlullâh! Siapakah yang harus saya perlakukan dengan baik? Rasul menjawab, “Ibumu.” Lelaki tersebut bertanya lagi, ”Kemudian siapa?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ibumu.” Lelaki itu bertanya lagi, ”Kemudian siapa?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Bapakmu.”[9] 

Diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ibnu Mâjah dari Abdullah bin Amru Radhiyallahu anhu , dia berkata, ”Seorang lelaki datang menemui Rasûlullâh dalam rangka membaiat beliau untuk hijrah. Orang ini meninggalkan kedua orang tuanya dalam keadaan menangis, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya :

فَارْجِعْ إِلَيْهِمَا فَأَضْحِكْهُمُا كَمَا أَبْكَيْتَهُمُا

Kembalilah kepada keduanya, buatlah mereka tertawa sebagaimana kamu telah membuat mereka menangis[10] 

Dalam Shahîh al-Bukhâri dan Muslim dari Abdullah bin Mas’ûd Radhiyallahu anhuma, dia berkata :

سَأَلْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلى اللهِ قَالَ: الصَّلاةُ عَلى وَقْتِها قَالَ: ثُمَّ أَيّ قَالَ: ثُمَّ بِرُّ الْوالِدَيْنِ قَالَ: ثُمَّ أَيّ قَالَ: الْجِهادُ في سَبيلِ اللهِ

Saya bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Amalan apa yang paling dicintai Allâh?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Shalat pada waktunya,’ Kemudian aku bertanya lagi, ‘Kemudian apa lagi?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Berbakti kepada orang tua,’ Aku bertanya lagi, ‘Kemudian apa lagi?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Jihad fî sabîlillâh’[11] 

Islam sangat melarang menyakiti kedua orang tua atau melakukan sesuatu yang bisa menimbulkan segala yang menyakiti mereka berdua. Islam menganggap perbuatan tersebut sebagai bentuk kedurhakaan yang akan dihisab oleh Allâh Azza wa Jalla pada hari kiamat nanti, bahkan lebih dari itu Islam menganggap perbuatan tersebut sebagai dosa besar.

Dalam Shahîh al-Bukhâri dan Muslim, dari Abu Bakrah Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : 

ألا أُنَبِّئُكُمْ بأكْبَرِ الكَبَائِرِ ؟ ثلاثاً قاَلُوْا : بَلَى ، يَا رَسُول الله ، قَالَ : الإشْرَاكُ بالله ، وَعُقُوقُ الوَالِدَيْنِ ، وكان مُتَّكِئاً فَجَلَسَ ، فَقَالَ : ألاَ وَقَوْلُ الزُّورِ 

Maukah kalian aku kabari dosa yang paling besar diantara dosa-dosa besar?’ Para sahabat berkata : “Tentu wahai Rasûlullâh! Rasûlullâh berkata, ‘Menyekutukan Allâh Azza wa Jalla , durhaka kepada orang tua,’ Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk tegak dari sandaran beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya bersabda, ‘Perkataan dusta,’ Beliau terus mengulangi hal tersebut sampai kami berharap Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diam ( tidak mengulangi ).[12] 

Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahîhnya, dari Ali Radhiyallahu anhu, dia Radhiyallahu anhu berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لَعَنَ اللهُ مَنْ لَعَنَ وَالِدَيْهِ

Allâh melaknat orang yang melaknat kedua orang tuanya.[13] 

3. Wanita Sebagai Istri
Islam juga menyeru kepada umat manusia untuk memuliakan wanita dalam statusnya sebagai istri. Pemuliaan itu dilakukan dengan memberikannya hak-hak yang agung atas suaminya sebagaimana juga dia memiliki kewajiban-kewajiban terhadap suaminya. Diantara hak istri dalam Islam ialah mendapatkan perlakuan baik dari suaminya, juga mendapatkan perlakuan baik dalam hal makanan, minumam, dan pakaian. Istri juga berhak mendapatkan perlakuan yang lembut dari suami, dimuliakan, serta seorang suami harus bersabar dalam menyikapi istri. Dalam syariat Islam sebaik-baik manusia adalah orang yang paling baik perlakuannya untuk keluarganya. Termasuk hak seorang istri dalam Islam adalah berhak mendapatkan pembelajaran tentang agamanya yaitu Islam, berhak juga mendapatkan penjagaan fisik dan agamanya.

Salah satu ayat al-Qur’ân yang paling lengkap mencakup hak-hak istri yaitu firman Allâh Azza wa Jalla :

وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ 

Dan bergaullah dengan mereka secara patut [an-Nisâ/4:19]

Banyak hadist dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menegaskan kewajiban suami untuk memperhatikan hak-hak istri , diantaranya hadist dalam Shahîh al-Bukhâri dan Muslim dari sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasûlullâh bersabda : 

اسْتَوْصُوا بالنِّساءِ خَيْراً ؛ فَإِنَّ المَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلعٍ ، وَإنَّ أعْوَجَ مَا في الضِّلَعِ أعْلاهُ ، فَإنْ ذَهَبتَ تُقيمُهُ كَسَرْتَهُ ، وَإنْ تَرَكْتَهُ ، لَمْ يَزَلْ أعْوجَ ، فَاسْتَوصُوا بالنِّساءِ

Terimalah wasiatku untuk berbuat baik kepada para wanita. Sesungguhnya mereka diciptakan dari tulang rusuk (yang bengkok). Dan yang paling bengkok dari tulang rusuk adalah tulang rusuk teratas. Apabila kamu meluruskannya kamu akan mematahkannya, namun pabila kamu diamkan dia akan semkin bengkok, maka berlaku baiklah padanya.[14] 

Imam Nawawi rahimahullah berkata,”Dalam hadist ini terdapat perintah untuk bersikap lembut dan berbuat baik kapada wanita, serta bersabar atas akhlaknya yang masih bengkok (salah) serta bersabar juga menghadapi lemahnya akal mereka. Hadist ini juga berisi makruhnya menjatuhkan talak atas mereka tanpa sebab, dan tidak berusaha meluruskannya, wallahu a’lam.[15] 

Imam Ahmad, Abu Daud, dan Turmuzi meriwayatkan hadist dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : 

أكْمَلُ المُؤمِنِينَ إيمَاناً أحْسَنُهُمْ خُلُقاً ، وخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ

Mukmin yang paling sempurna keimanannya adalah yang paling baik akhlaknya, dan sebaik baik orang diantara kalian adalah yang baik akhlaknya bagi keluarganya[16] 

Diriwayatkan oleh imam Muslim dalam Shahîhnya dari Jâbir bin Abdullah Radhiyallahu anhu , bahwasanya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah pada haji Wada’, (yang artinya, “Bertakwalah kepada Allâh dalam urusan wanita-wanita kalian! Sesungguhnya kalian mengambil mereka dengan amanah dari Allâh. Kalian menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimatullâh (akad nikah). Kalian (para suami) mempunyai hak atas mereka untuk tidak membiarkan seseorang yang kalian benci menjamah kasur kalian. Apabila mereka melalaikan hal tersebut maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menyakiti, dan bagi mereka (hak mereka ) makanan dan pakaian dengan ma’rûf.”[17] 

Maksud dari sabda Rasûlullâh, “Mereka tidak membiarkan seseorang yang kalian benci menjamah kasur kalian” yaitu para istri-istri kalian tidak mengizinkan seseorang yang kalian benci untuk masuk kedalam rumah kalian dan duduk didalamnya, baik laiki-laki ataupun wanita.

Diriwayatkan oleh imam Muslim dalam Shahîhnya, dari sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , dia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah sorang Mukmin membenci seorang wanita Mukminah, apabila dia tidak suka darinya sebuah perangai dia akan ridha (suka) dengan perangainya yang lian.”[18] 

Barangsiapa mendapatkan dari istrinya sebuah perangai yang dia tidak sukai, maka sungguh ada pada istrinya banyak akhlak dan prilaku mulia yang akan membuatnya ridha.

Imam Ahmad, Abu Daud, dan Tirmizi meriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّمَا النِّسَاءُ شَقَائِقُ الرِّجَالِ

Sesungguhnya wanita merupakan saudari kandung bagi laki-laki.[19] 

Ibnu al-Atsîr rahimahullah mengatakan, “Maksudnya adalah wanita itu memiliki kedudukan yang sama dengan laki-laki dari segi akhlak dan perangai. Seolah-olah para wanita itu diambil dari laki-laki. Juga dikarenakan Hawa’ diciptakan dari Adam. Syaqîqur rajul artinya saudara kandung. Kata Syaqîq, bentuk pluralnya adalah asyiqqâ[20]’ ( أشقاء )

4. Wanita sebagai Saudari dan Bibi
Disamping hal-hal di atas, Islam juga menyeru umatnya agar memuliakan wanita dalam statusnya sebagai saudara perempuan dan bibi. Pemuliaan ini diwujudkan dengan menyambung silaturahmi, berbuat baik kepada mereka, memahami dan mengetahui hak-hak mereka. Orang yang melakukan ini, akan mendapatkan pahala yang besar dari Allâh Azza wa Jalla .

Imam al-Bukhâri dalam al-Adabul Mufrad, dan Ibnu Mâjah dari al-Mikdam bin Ma’di Karib Radhiyallahu anhu, beliau Radhiyallahu anhu pernah mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : 

إِنَّ اللَّهَ يُوصِيكُمْ بِأُمَّهَاتِكُمْ ثُمَّ يُوصِيكُمْ بِأُمَّهَاتِكُمْ ثُمَّ يُوصِيكُمْ بِآبَائِكُمْ ثُمَّ يُوصِيكُمْ بِالْأَقْرَبِ فَالْأَقْرَبِ

Sesungguhnya Allâh mewasiatkan kepada kalian ibu-ibu kalian, kemudian ibu-ibu kalian, kemudian Allâh mewasiatkan kepada kalian bapak-bapak kalian, kemudian keluarga yang paling dekat dengan kalian dan baru keluarga yang dekat.[21] 

Diriwayatkan dari imam Tirmidzi dan Abu Daud dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya, “Tidaklah seseorang memiliki tiga anak wanita atau tiga saudara perempuan, kemudian dia berbuat baik kepada mereka, kecuali dia akan masuk surga.”[22] 

Dalam Shahîh al-Bukhâri dan Muslim dari Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya, “Barangsiapa ingin dilapangkan rizkinya, diperbanyak anaknya, maka hendaknya dia menyambung tali silaturahminya.”[23] 

6. Wanita Asing
Perhatian Islam terhadap wanita, tidak hanya ketika dia memiliki hubungan kekeluargaan, tapi juga terhadap wanita asing yang tidak memiliki kekerabatan dengannya. Islam menganjurkan agar umatnya memperhatikan mereka, berbuat baik dan memberikan pertolongan jika dia butuh bantuan.

Dalam Shahîh al-Bukhâri dan Muslim dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

السَّاعِي عَلَى الأَرْمَلَةِ وَالمِسْكِينِ ، كَالْمُجَاهِدِ فِي سَبِيْلِ اللهِ أَوْ كَالْقَائِمِ الَّذِي لاَ يَفْتُرُ ، وَكَالصَّائِمِ الَّذِي لاَ يُفْطِرُ

Orang yang membantu janda dan orang miskin seperti seorang mujahid fisabilillah, atau seperti orang yang selalu shalat malam dan tidak pernah malas, atau seperti orang yang terus berpuasa tanpa henti.[24] 

Ini sedikit gambaran dari penghormatan yang diraih kaum wanita dalam syair’at Islam. Penghormatan dan penghargaan seperti ini tidak mungkin diraih oleh seorang wanita pada selain agama Islam, sebuah agama yang diridhai oleh Allâh buat para hamba-Nya. 

(Diangkat dari al-Jâmi’ lil Buhûts war Rasâ’il, Syaikh Abdurrazaq bin Abdulmuhsin, hlm. 528-534)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XVII/1435H/2014. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. HR al-Bukhâri, no. 5975 dan Muslim, no. 593
[2]. Fathul Bâri ( 10/421)
[3]. Musnad Imam Ahmad ( 1/223)
[4]. Sunan Ibnu Mâjah, no. 3669
[5]. Shahîh Muslim, no. 2631
[6]. Musnad imam Ahmad (3/148)
[7]. HR al-Bukhâri dalam Adabul Mufrad, no. 178
[8]. Shahîh al-Bukhâri, no. 5998 dan Shahîh Muslim, no. 2317 
[9]. Shahîh al-Bukhâri, no 5971 dan Muslim, no. 2548
[10]. Abu Daud, no. 2528 dan Ibnu Mâjah, no. 2782
[11]. Shahîh al-Bukhâri , no. 5970 dan Muslim, no. 85
[12]. Shahîh al-Bukhâri, no. 5976 dan Muslim, no. 87
[13]. HR. Muslim, no. 1978
[14]. Shahîh al-Bukhâri, no. 3331 dan Muslim, no. 1468
[15]. Syarah Shahîh Muslim (10/57)
[16]. Ahmad ( 2/250,472), Abu Daud, no. 4682 dan at-Tirmizi, no. 1162
[17]. Shahîh Muslim, no. 1218
[18]. Shahîh Mulim, no. 1469
[19]. Ahmad (6/277,256), Abu Daud, no. 236), dan Tirmizi, no. 113
[20]. an-Nihâyah, Ibnu Atsîr (2/492)
[21]. al-Bukhâri dalam al-Adabul Mufrad, no. 60 dan Ibnu Majah, no. 3661
[22]. Tirmizi, no. 1912 dan Abu Daud, no. 5147
[23]. Shahîh al-Bukhâri, no. 5986 dan Muslim, no. 2557
[24]. Shahîh al-Bukhâri , no. 6007 dan Muslim, no. 2982
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. BERITA SUNNAH - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger