{قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ ويَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ، وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ}

Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah (sunnah/petunjuk)ku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS Ali ‘Imran:31)

Menerapkan Syariat Islam Secara Kafah

Abu Fathan | 20:44 | 0 comments
Khutbah Pertama:
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَتُوْبُ إِلَيْهِ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ وَصَفِيُهُ وَخَلِيْلُهُ وَأَمِيْنُهُ عَلَى وَحْيِهِ بَلَّغَ الرِسَالَةَ وَأَدَّى الأَمَانَةَ وَنَصَحَ الْأُمَّةَ وَجَاهَدَ فِي اللهِ حَقَّ جِهَادِهِ حَتَّى أَتَاهُ اليَقِيْنُ، وَمَا تَرَكَ خَيْراً إِلَّا دَلَّ الأُمَّةَ عَلَيْهِ وَلَا تَرَكَ شَرّاً إِلَّا حَذَّرَ الْأُمَّةَ مِنْهُ؛ فَصَلَوَاتُ اللهِ وَسَلَامُهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ .
أَمَّا بَعْدُ:
مَعَاشِرَ المُؤْمِنِيْنَ عِبَادَ اللهِ: اِتَّقُوْا اللهَ تَعَالَى وَرَاقِبُوْهُ مُرَاقَبَةً مَنْ يَعْلَمُ أَنَّ رَبَّهُ يَسْمَعُهُ وَيَرَاهُ. وَتَقْوَى اللهَ جَلَّ وَعَلَا: عَمَلٌ بِطَاعَةِ اللهِ عَلَى نُوْرٍ مِنَ اللهِ رَجَاءَ ثَوَابَ اللهِ، وَتَرْكٌ لِمَعْصِيَةِ اللهِ عَلَى نُوْرٍ مِنَ اللهِ خِيْفَةَ عَذَابِ اللهِ.
Kaum muslimin rahimakumullah,
Islam adalah agama yang sempurna yang mengatur segala aspek kehidupan manusia, relevan dengan setiap zaman dan tempat, Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkan kaum Muslimin untuk masuk kedalam Islam secara kaffah, yaitu secara menyeluruh, sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً
“Wahai orang orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara kaffah (menyeluruh).” (QS. Al-Baqarah: 208).
Maksudnya, Allah ‘Azza wa Jalla menyuruh para hamba-Nya yang beriman dan yang membenarkan rasul-Nya untuk mengambil seluruh ajaran dan syariat Islam, melaksanakan seluruh perintah-Nya dan meninggalkan seluruh larangan-Nya sesuai dengan kemampuan mereka.
Jadi, penerapan syariat Islam mencakup perkara aqidah, ibadah, akhlak, dakwah, politik (tatanan negara), amar ma’ruf nahi munkar, dan yang lainnya.
Ibadallah,
Dalam perkara aqidah, maka wajib bagi kaum muslimin mengikuti akidah yang sesuai dengan Alquran dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik dalam tauhid rububiyah, tauhid uluhiyyah dan tauhid asma’ dan sifat, serta seluruh prinsip prinsip akidah Ahlussunnah wal Jamaah yang lain.
Dalam tauhid uluhiyyah (tauhid ibadah), maka wajib bagi setiap Muslim untuk beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan seluruh ibadah kepada-Nya, bersih dari kesyirikan, baik syirik besar atau kecil. Bahkan ini adalah inti ajaran Islam dan pondasinya yang kokoh yang akan dibangun di atasnya seluruh syariat Islam. Sehingga, sungguh sangat aneh dan mengherankan, bila ada diantara kaum Muslimin menuntut penerapan syariat Islam dalam perkara harta dan jiwa serta pengadilan, namun mereka membiarkan orang-orang yang memiliki akidah yang sesat dan batil, atau pelaku kesyirikan dibiarkan dengan keyakinan dan ritual mereka masing masing tanpa dituntut untuk kembali kepada akidah yang benar dan mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Bukankah urusan keimanan dan akidah lebih penting dari pada urusan harta dan jiwa?
Dalam tauhid asma’ dan sifat, maka hendaklah orang-orang yang menyelisihi akidah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya diberi tindakan hukum, seperti sekte Jahmiyah, Mu’tazilah, Asya’irah, Maturidiyah, Khawarij dan Murjiah. Kesesatan dan kebatilan akidah mereka harus dijelaskan, tidak boleh dibiarkan bebas menebarkan kebatilan tersebut. Keyakinan mereka wajib dihukumi dengan akidah yang sesuai dengan Alquran dan sunnah.
Dalam perkara ibadah, maka yang menjadi landasan beribadah adalah Alquran dan sunnah, bukan ibadah-ibadah yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah, atau dalam Bahasa syariatnya disebut bid’ah. Barangsiapa melakukan amalan-amalan yang baru dan bid’ah maka wajib dijelaskan kebatilan dan kesesatannya, karena amalan yang bid’ah tersebut bukan dari syariat Islam, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada landasannya dari perintah kami maka ditolak (tidak diterima).” (HR. Bukhari dan Muslim).
Jadi, penerapan syariat Islam dalam perkara ibadah itu juga wajib. Apabila ibadah sudah dijalankan sesuai dengan Alquran dan sunnah maka itu adalah ibadah yang shahih dan diterima, jika tidak maka ia adalah ibadah yang salah dan batil, dan perkara ini tidak boleh diremekan sama sekali.
Dalam perkara akhlak, maka yang menjadi standar adalah akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tertera dalam Alquran dan sunnah.
Dalam masalah amar ma’ruf nahi munkar dan dakwah maka kaum Muslimin wajib diperintahkan agar melakukan kebaikan dan mengingkari kejahatan dan maksiat yang berkembang di tengah masyarakat. Para pelaku kemungkaran dan maksiat tidak boleh dibiarkan berbuat sesuai dengan keinginan hawa nafsunya. Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ رَأى مِنْكُمْ مُنْكَراً فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ ، فَإنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ ، فَإنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ ، وَذَلِكَ أضْعَفُ الإيمَانِ
“Apabila salah seorang kalian melihat kemungkaran, maka cegahlah dengan tangan, jika tidak dengan lisan, jika tidak dengan hati, dan itulah keimanan yang paling lemah”. (HR. Muslim).
Kaum muslimin rahimakumullah,
Pelaksanaan amar ma’ruf nahi mungkar dan berdakwah harus mengikuti manhaj para nabi dan rasul dan para salafus sholeh, karena itulah manhaj yang benar dan metoda yang bijak dalam mengajak kepada Islam dan mengembalikan kejayaannya. Bukan dengan manhaj-manhaj bid’ah yang menyelisihi hukum Allah dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang banyak muncul di zaman sekarang ini.
Sesuatu yang sangat disayangkan jika ada yang menyeru untuk penerapan syariat Islam, akan tetapi jalan yang ditempuh bukan jalan yang sesuai dengan syariat Islam. Mungkinkah syariat di tegakkan dengan cara yang tidak sesuai dengan syariat Islam?
Dalam politik dan tatanan negara, hendaklah yang menjadi standar hukum dan landasan perundang-undangan adalah syariat Allah ‘Azza wa Jalla, bukan pemikiran manusia. Oleh karena itu, wajib bagi para penguasa untuk menerapkan hukum Allah ‘Azza wa Jalla (syariat Islam) dan juga mereka berkewajiban untuk mewajibkan para rakyatnya untuk berhukum dengan hukum Allah dan Rasul-Nya. Inilah tugas dan tanggug jawab penguasa yang paling utama dan besar.
Inilah hakikat praktik syariat Islam, bukan hanya dalam perkara menegakkan hukum pidana dalam masalah harta dan jiwa saja, tapi penegakan syariat sepenuhnya.
Kaum muslimin rahimakumullah,
Sebagaimana yang dimaklumi bahwa kita diciptakan oleh Allah ‘Azza wa Jalla untuk beribadah kepada-Nya dengan melakukan seluruh perkataan dan amalan yang dicintai dan diridhai oleh Allah ‘Azza wa Jalla, baik perkataan dan amalan yang lahir atau batin. Inilah hakikat syahadat “La Ilaha Illallah” dan konsekuensi dari keimanan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Ubudiyah (penghambaan diri kepada Allah ‘Azza wa Jalla) menuntut ketundukan yang sempurna kepada Allah dalam segala aspek agama, baik dalam perintah dan larangan, aqidah, perkataan dan amalan; Dia menghalalkan apa yang dihalalkan Allah ‘Azza wa Jalla dan mengharamkan apa yang diharamkan Allah ‘Azza wa Jalla.
Secara global bisa disimpulkan sikap kaum Muslimin terhadap praktik syariat Islam sebagai berikut:
Pertama: Para penguasa atau pemimpin kaum Muslimin berkewajiban untuk menerapkan hukum Allah ‘Azza wa Jalla dan menjadikannya sebagai sumber perundang-undangan dan landasan hukum, sebagaiman firman Allah‘Azza wa Jalla,
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ ۚ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. An-Nisa': 58).
Ini adalah perintah bagi para penguasa yang diberi amanah dan tanggung jawab. Mereka wajib memutuskan perkara di antara manusia dengan adil sesuai dengan syariat Allah ‘Azza wa Jalla dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dan firman Allah ‘Azza wa Jalla,
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ ۖ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُصِيبَهُمْ بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ ۗ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ ﴿٤٩﴾ أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah ‘Azza wa Jalla kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS. An-Maidah: 49-50).
Ayat diatas megandung perintah dan seruan untuk menerapkan hukum Allah (syariat Islam), yang ditegaskan oleh Allah dalam delapan poin:
  1. Perintah untuk berkukum dengan hukum Allah, yang terkandung dalam firman-Nya :
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah”.
  1. Larangan mengikuti hawa nafsu dan keinginan manusia, dan jangan sampai hal itu menghalangi seseorang dari menegakkan hukum Allah. Allah Ta’ala berfirman,
وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ
… dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka …
  1. Peringatan keras dari meninggalkan hukum Allah dalam segala perkara, baik kecil atau besar dan sedikit atau banyak:
وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ
“Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu”.
  1. Berpaling dari hukum Allah ‘Azza wa Jalla dan tidak menerima sesuatu darinya adalah perbuatan dosa besar yang menyebabkan turunnya azab yang sangat pedih dari Allah:
فَإِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُصِيبَهُمْ بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ
“Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka”.
  1. Peringatan agar tidak tertipu dengan banyaknya orang orang yang berpaling dari hukum Allah ‘Azza wa Jalla, karena hamba-hamba Allah ‘Azza wa Jalla yang bisa bersyukur itu minoritas, sementara mayoritas manusia itu fasik.
وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ
“Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik”.
  1. Allah ‘Azza wa Jalla menyebutkan bahwa berhukum dengan selain hukum Allah berarti berhukum dengan hukum Jahiliyah.
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ
“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka inginkan?”
  1. Hukum Allah ‘Azza wa Jalla adalah hukum yang terbaik dan paling adil,
وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
“Siapakah yang lebih baik hukumnya dari pada Allah, bagi kaum yang menyakini”.
  1. Kensekuensi dari keyakinan tersebut adalah mengetahui bahwa hukum Allah adalah hukum yang paling sempurna dan paling adil, jika halnya demikian maka wajib untuk ridha dan pasrah terhadap hukum Allah‘Azza wa Jalla.
وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
“Siapakah yang lebih baik hukumnya dari pada Allah, bagi kaum yang menyakini”.
Ibadallah,
Kedua: Sikap Masyarakat Terhadap Praktik Syariat
Sikap kaum Muslimin terhadap penerapkan syariat bisa simpulkan pada poin berikut:
  1. Menaati Allah dan Rasul-Nya Dalam Penerapan Syariat Tersebut,
Sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا ﴿٥٩﴾ أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا ﴿٦٠﴾ وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَىٰ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ رَأَيْتَ الْمُنَافِقِينَ يَصُدُّونَ عَنْكَ صُدُودًا
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu ? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. Apabila dikatakan kepada mereka, “Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul”, niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu.” (QS. An-Nisa': 59-61).
  1. Mencintai Penerapan Syariat Islam.
Merupakan kewajiban setiap Muslim setelah ia mengetahui hukum-hukum agama adalah mencintainya. Karena mencintai seluruh yang dicintai oleh Allah ‘Azza wa Jalla dan Rasul-Nya adalah konsekuensi dari keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya. Tanpa ragu kita mengatakan bahwa Allah ‘Azza wa Jalla mencintai praktik syariat sehingga Dia memerintahkan untuk diterapkan di permukaan bumi, bahkan kecintaan adalah faktor utama yang bisa mendorong untuk menerapkan syariat tersebut, sebagaimana yang dijelaskan oleh sebagian Ulama, “Kecintaan kepada Allah dan rasul-Nya adalah kewajiban keimanan yang paling agung. Dia adalah landasan keimanan yang paling kokoh dan kaedahnya yang paling mulia/utama, bahkan ia adalah asal setiap amalan keimanan dan agama. Sebagaimana keyakinan kepadanya asal setiap perkatan keimanan dan agama, maka sesungguhnya sertiap gerak gerik yang ada hanya muncul/bersumber dari kecintaan, baik dari kecintan yang terpuji atau kecintaan yang tercela, ..maka seluruh amalan keimanan dan keagamaan tidaklah muncul kecuali dari kecintaan yang terpuji, dan asal setiap kecintaan yang terpuji adalah kecintaan kepada Allah Ta’ala, karena amalan yang muncul dari kecintaan yang tercela tidaklah dihukumi sebagai amal sholeh disisi Allah, bahkan seluruh amalan keimanan dan agama tidaklah muncul kecuali dari kecintaan kepada Allah[3] ”
  1. Ridha Dan Pasrah Terhadap Praktik Syariat Islam, Tanpa Ada Rasa Keberatan Sedikitpun Didalam Hati Terhadapnya.
Karena keiman seseorang tidak akan sempurna kecuali bila ia menerima hukum Allah ‘Azza wa Jalla dan Rasul-Nya dan pasrah kepadanya, sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla,
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisa’: 65).
Imam az Zuhri rahimahullah berkata,
مِنَ اللهِ الرِّسَالَةُ، وَعَلَى الرَّسُوْلِ الْبَلاَغُ، وَعَلَيْنَا التَّسْلِيْمُ
“Dari Allah datangnya risalah (syariat), tugas Rasul menyampaikan, dan kewajiban bagi kita berserah diri (menerimanya)”.
Imam Ath Thahawi rahimahullah berkata, “Tidaklah kokoh berdirinya Islam kecuali di atas landasan/pondasi pasrah dan berserah diri” . Maksudnya tidaklah kokoh Islam seseorang yang tidak berserah diri kepada wahyu (Alquran dan sunnah) dan tunduk kepadanya, serta tidak menentangnya dengan pemikiran, logika dan analogi (qiyas).
  1. Saling Tolong Menolong Dalam Mempraktikan Syariat Islam.
Sikap ini sesuai dengan prinsip dasar agama yang memerintahkan untuk tolong menolong dalam kebaikan dan ketaqwaan, sebagaimana firman Allah,
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan tolong-menolonglah kalian dalam kebaikan dan ketaqwaan, dan janganlah tolong menolong dalam perbuatan dosa dan kejahatan.” (QS. Al-Maidah: 2).
Dan tidak diragukan bahwa praktik syariat adalah kebaikan semata dan akan mendatangkan kebaikan dan keberkahan kepada kaum Muslimin, sedangkan meninggalkannya adalah sumber kejahatan, kesengsaraan dan petaka.
Oleh karena itu seluruh kaum Muslimin dituntut untuk mendukung usaha mengaplikasikan penerapan syariat di daerah mereka masing-masing, sebagai bukti keta’atan kepada Allah dan Rasul-Nya serta kecintaan kepada agama yang mulia ini, dan sebagai bentuk tolong menolong dalam kebaikkan dan taqwa.
ارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي القُرْآنِ العَظِيْمِ، وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الحَكِيْمِ، وَنَفَعْنَا بِهَدْيِ سَيِّدِ المُرْسَلِيْنَ وَقَوْلُهُ القَوِيْمُ. أَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِي وَلَكُمْ وَلِلْمُسْلِمِيْنَ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَحِيْمُ.
Khutbah Kedua:
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الأَرْضِ وَالسَّمَاوَاتِ، لَهُ الْحَمْدُ أَمَرَ بِالفْضَائِلِ وَالصَّالِحَاتِ، وَنَهَى عَنِ الْبَغْيِ وَالعُدْوَانِ وَالرَّذَائِلِ وَالْمُنْكَرَاتِ، أَحْمَدُ رَبِّي عَلَى نِعَمِهِ الظَاهِرَاتِ وَالْبَاطِنَةِ الَّتِي أَسْبَغَهَا عَلَيْنَا وَعَلَى المَخْلُقَاتِ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ إِلَهُ الأَوَّلِيْنَ وَالآخِرِيْنَ لَا يَخْفَى عَلَيْهِ شَيْءٌ مِنَ الأَقْوَالِ وَالأَفْعَالِ وَالإِرَدَاتِ، وَأَشْهَدُ أَنَّ نَبِيَّنَا وَسَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ بَعَثَ اللهُ بِالْبَيِّنَاتِ، اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ السَّابِقِيْنَ إِلَى الخَيْرَاتِ.
أَمَّا بَعْدُ:
فَاتَّقُوْا اللهَ –عَزَّوَجَلَّ- وَأَطِيْعُوْهُ، وَكُوْنُوْا دَائِمًا عَلَى حَذْرٍ وَخَوْفٍ مِنَ المَعَاصِي، فَإِنَّ بَطْشَ اللهُ شَدِيْدٌ.
Ibadallah,
Hendaknya kaum muslimin merasa bangga dengan adanya sebagian daerah yang telah mencanangkan penerapan syariat Islam, kendati masih belum teraplikasi secara sempurna, dan masih ada kekurangan dalam aspek, akan tetapi secara prinsip mereka telah berusaha untuk mengaplikasikan tuntutan akidah tauhid yang wajib atas setiap individu muslim.
Bagi mereka yang belum teraplikasi syariat Islam di daerahnya, maka hendaklah berusaha sesuai dengan kemampuan mereka untuk melakukan langka langka positip dan usaha usaha yang efektif untuk terwujudnya tujuan yang mulia tersebut.
Jika tidak ada sama sekali penguasa yang menerapkan syariat Islam, maka hal ini bukan bearti menghalang kaum muslimin untuk mempraktikan Islam secara individual dalam keluarga dan masyarakatnya dalam skop yang sempit, karena penerpan syariat sebagaimana yang diutarakan diatas bukan sekedar penegakan hukum pidana saja, akan tetapi mencakup perkara akidah, ibadah, akhlak dan yang lain lain.
Semoga Allah Ta’ala membimbing para penguasa kaum muslimin dan seluruh kaum muslimin untuk mempraktikkan syariat Islam dibumi nusantara ini, sebagai bukti keimanan kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya serta kecintaan kepada agama yang mulia ini, Wallahu muwaffiq.
وَصَلُّوْا وَسَلِّمُوْا – رَعَاكُمُ اللهُ – عَلَى مُحَمَّدِ ابْنِ عَبْدِ اللهِ كَمَا أَمَرَكُمُ اللهُ بِذَلِكَ فَقَالَ: ﴿ إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً ﴾ [الأحزاب:٥٦] ، وقال صلى الله عليه وسلم : ((مَنْ صَلَّى عَلَيَّ وَاحِدَةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ عَشْرًا)) .
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ اَلْأَئِمَّةِ المَهْدِيِيْنَ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيٍّ، وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنِ الصَّحَابَةِ أَجْمَعِيْنَ، وَعَنِ التَّابِعِيْنَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنَ، وَعَنَّا مَعَهُمْ بِمَنِّكَ وَكَرَمِكَ وَإِحْسَانِكَ يَا أَكْرَمَ الأَكْرَمِيْنَ.
اَللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلَامَ وَالمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِرْكَ وَالمُشْرِكِيْنَ، اَللَّهُمَّ وَآمِنَّا فِي أَوْطَانِنَا وَأَصْلِحْ أَئِمَّتَنَا وَوُلَاةَ أُمُوْرِنَا، اَللَّهُمَّ وَفِّقْ وَلِيَ أَمْرِنَا لِهُدَاكَ وَاجْعَلْ عَمَلَهُ فِي رِضَاكَ.
اَللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا، زَكِّهَا أَنْتَ خَيْرَ مَنْ زَكَّاهَا أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلَاهَا، اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لَنَا وَلِوَالِدَيْنَا وَلِلْمُسْلِمِيْنَ وَالمُسْلِمَاتِ وَالمُؤْمِنِيْنَ وَالمُؤْمِنَاتِ اَلْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِيْ الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.
عِبَادَ اللهِ: اُذْكُرُوْا اللهَ يَذْكُرْكُمْ، وَاشْكُرُوْهُ عَلَى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ،  وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ  .
[Diadaptasi dari tulisan Dr. Muhammad Nur Ihsan di majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XVI/1433H/2012M]

Mendudukkan Akal pada Tempatnya

Abu Fathan | 22:54 | 0 comments
Betapa banyak orang yang mendewakan akal. Setiap perkara selalu dia timbang-timbang dengan akal atau logikanya terlebih dahulu. Walaupun sudah ada nash Al Qur’an atau Hadits, namun jika bertentangan dengan logikanya, maka logika lebih dia dahulukan daripada dalil syar’i. Inilah yang biasa terjadi pada ahli kalam. Lalu bagaimanakah mendudukkan akal yang sebenarnya? Apakah kita menolak dalil akal begitu saja? Ataukah kita mesti mendudukkannya pada tempatnya? Sebelum Melangkah Lebih Jauh Terlebih dahulu yang kita harus pahami, setiap insan beriman hendaklah bersikap patuh dan tunduk kepada Allah dan Rasul-Nya. Setiap wahyu yaitu Al Qur’an dan Hadits itu berasal dari-Nya. Rasul memiliki kewajiban untuk menyampaikan wahyu tersebut. Sedangkan kita memiliki kewajiban untuk menerima wahyu tadi secara lahir dan batin. Allah Ta’ala berfirman,
وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّيْتُمْ فَإِنَّمَا عَلَى رَسُولِنَا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ “Dan taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul, jika kamu berpaling maka sesungguhnya kewajiban Rasul Kami hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.” (QS. At Taghabun: 12)
Az Zuhri –rahimahullah- mengatakan,
مِنَ اللَّهِ الرِّسَالَةُ ، وَعَلَى رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – الْبَلاَغُ ، وَعَلَيْنَا التَّسْلِيمُ “Wahyu berasal dari Allah. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam hanyalah menyampaikan kepada kita. Sedangkan kita diharuskan untuk pasrah (menerima).” (Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Kitabut Tauhid secara mu’allaq yakni tanpa sanad)
Oleh karena itu, jika Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu perkara, maka tidak ada pilihan bagi seorang muslim untuk berpaling kepada selainnya, kepada perkataan ulama A, kyai B, ustadz C atau pun logikanya sendiri, padahal pendapat mereka telah nyata menyelisihi Al Qur’an dan Sunnah (ajaran) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. Al Ahzab: 36)
Ibnul Qayyim –rahimahullah- mengatakan, “Ayat ini menunjukkan bahwa jika telah ada ketetapan dari Allah dan Rasul-Nya dalam setiap masalah baik dalam permasalahan hukum atau pun berita (seperti permasalahan aqidah), maka seseorang tidak boleh memberikan pilihan selain pada ketetapan Allah dan Rasul-Nya tadi lalu dia berpendapat dengannya. Sikap berpaling kepada ketetapan selain Allah dan Rasul-Nya sama sekali bukanlah sikap seorang mukmin. Dari sini menunjukkan bahwa sikap semacam ini termasuk menafikan (meniadakan) keimanan.” (Zadul Muhajir-Ar Risalah At Tabukiyah, hal. 25) Perintah Menyimak dan Merenungkan Al Qur’an dengan Akal Ketahuilah bahwa akal adalah syarat agar seseorang bisa memahami sesuatu, sehingga membuat amalan menjadi baik dan sempurna. Oleh karena itu, akal yang baik saja yang bisa mendapatkan taklif (beban syari’at) sehingga orang gila yang tidak berakal tidak mendapat perintah shalat dan puasa. Seseorang yang tidak memiliki akal adalah keadaan yang serba penuh kekurangan. Setiap perkataan yang menyelisihi akal adalah perkataan yang batil. Oleh karena itu, Allah telah memerintahkan kita untuk memperhatikan dan merenungkan Al Qur’an dengan menggunakan akal semisal dalam beberapa ayat berikut ini,
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآَنَ “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran?” (QS. An Nisa’: 82 dan Muhammad: 24)
أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ “Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kamu berpikir?” (QS. Al Baqarah: 44)
وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَلَلدَّارُ الْآَخِرَةُ خَيْرٌ لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ “Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?” (QS. Al An’am: 32)
أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي الأرْضِ فَيَنْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَدَارُ الْآَخِرَةِ خَيْرٌ لِلَّذِينَ اتَّقَوْا أَفَلَا تَعْقِلُونَ “Maka tidakkah mereka bepergian di muka bumi lalu melihat bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka (yang mendustakan rasul) dan sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memikirkannya?” (QS. Yusuf: 109)
وَمَا أُوتِيتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَمَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَزِينَتُهَا وَمَا عِنْدَ اللَّهِ خَيْرٌ وَأَبْقَى أَفَلَا تَعْقِلُونَ “Dan apa saja yang diberikan kepada kamu, maka itu adalah kenikmatan hidup duniawi dan perhiasannya; sedang apa yang di sisi Allah adalah lebih baik dan lebih kekal. Maka apakah kamu tidak memahaminya?” (QS. Al Qashash: 60)
Al Qur’an Menggunakan Dalil Akal (Logika) Hal ini sebagaimana dapat kita lihat dalam permisalan-permisalan yang digunakan dalam Al Qur’an. Di antaranya firman Allah Ta’ala mengenai penetapan tauhid bahwa Dialah satu-satunya Pencipta,
هَذَا خَلْقُ اللَّهِ فَأَرُونِي مَاذَا خَلَقَ الَّذِينَ مِنْ دُونِهِ “Inilah ciptaan Allah, maka perlihatkanlah olehmu kepadaku apa yang telah diciptakan oleh sembahan-sembahan (mu) selain Allah.” (QS. Luqman: 11).
Lihatlah dalam ayat ini, Allah menggunakan qiyas atau analogi permisalan untuk menunjukkan adakah sesembahan selain Allah yang dapat mencipta. Contoh lainnya adalah tentang ayat yang menunjukkan adanya hari berbangkit. Allah misalkan dengan menjelaskan bahwa Dia dapat menghidupkan tanah yang mati. Jika Allah mampu melakukan demikian, tentu Allah dapat pula membangkitkan makhluk-makhluk yang sudah mati. Allah Ta’ala berfirman,
وَأَحْيَيْنَا بِهِ بَلْدَةً مَيْتًا كَذَلِكَ الْخُرُوجُ “Dan Kami hidupkan dengan air itu tanah yang mati (kering). Seperti itulah terjadinya kebangkitan.” (QS. Qaaf: 11)
Urgensi Akal dalam Syari’at Islam Syari’at Islam memberikan nilai dan urgensi yang amat tinggi terhadap akal manusia. Hal itu dapat dilihat pada beberapa point berikut ini. [Pertama] Allah hanya menyampaikan kalam-Nya kepada orang yang berakal karena hanya mereka yang dapat memahami agama dan syari’at-Nya.
وَذِكْرَى لأولِي الألْبَابِ “Dan pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai pikiran.” (QS. Shaad: 43)
[Kedua] Akal merupakan syarat yang harus ada dalam diri manusia untuk dapat menerima taklif (beban syari’at) dari Allah Ta’ala. Hukum-hukum syari’at tidak berlaku bagi orang yang tidak menerima taklif seperti pada orang gila yang tidak memiliki akal. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الصَّبِىِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ “Pena diangkat (dibebaskan) dari tiga golongan: [1] orang yang tidur sampai dia bangun, [2] anak kecil sampai mimpi basah (baligh) dan [3] orang gila sampai ia kembali sadar (berakal).” (HR. Abu Daud. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
[Ketiga] Allah Ta’ala mencela orang yang tidak menggunakan akalnya, semisal perkataan Allah pada penduduk neraka yang tidak mau menggunakan akal. [Keempat] Penyebutan begitu banyak proses dan anjuran berfikir dalam Al Qur’an, yaitu untuk tadabbur dan tafakkur, seperti la’allakum tatafakkarun (mudah-mudahan kamu berfikir) atau afalaa ta’qilun (apakah kamu tidak berpikir). Begitu pula Allah memuji ulul albab (orang-orang yang berakal/berfikir),
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَاخْتِلافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لآيَاتٍ لأولِي الألْبَابِ الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. Ali Imron: 190-191)

Walaupun akal bisa digunakan untuk merenungi dan memahami Al Qur’an, akal tidaklah bisa berdiri sendiri. Bahkan akal sangat membutuhkan dalil syar’i (Al Qur’an dan Hadits) sebagai penerang jalan. Akal itu ibarat mata. Mata memang memiliki potensi untuk melihat suatu benda. Namun tanpa adanya cahaya, mata tidak dapat melihat apa-apa. Apabila ada cahaya, barulah mata bisa melihat benda dengan jelas. Jadi itulah akal. Akal barulah bisa berfungsi jika ada cahaya Al Qur’an dan As Sunnah atau dalil syar’i. Jika tidak ada cahaya wahyu, akal sangatlah mustahil melihat dan mengetahui sesuatu. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,
“Bahkan akal adalah syarat untuk mengilmui sesuatu dan untuk beramal dengan baik dan sempurna. Akal pun akan menyempurnakan ilmu dan amal. Akan tetapi, akal tidaklah bisa berdiri sendiri. Akal bisa berfungsi jika dia memiliki instink dan kekuatan sebagaimana penglihatan mata bisa berfungsi jika ada cahaya. Apabila akal mendapati cahaya iman dan Al Qur’an barulah akal akan seperti mata yang mendapatkan cahaya mentari. Jika bersendirian tanpa cahaya, akal tidak akan bisa melihat atau mengetahui sesuatu.” (Majmu’ Al Fatawa, 3/338-339)
Intinya, akal bisa berjalan dan berfungsi jika ditunjuki oleh dalil syar’i yaitu dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah. Tanpa cahaya ini, akal tidak akan berfungsi sebagaimana mestinya. Ketika Akal dan Dalil Syar’i BertentanganJika kita sudah mengetahui bahwa akal tidaklah bisa berfungsi kecuali dengan adanya penerang dari Al Qur’an dan As Sunnah, maka tentu saja akal yang benar tidaklah mungkin bertentangan dengan dalil syar’i. Jika bertentangan, maka akal yang patut ditanyakan dan dalil syar’i lah yang patut dimenangkan. Kami dapat memberikan deskripsi tentang akal dan dalil syar’i sebagai berikut. Ada orang awam ingin bertanya suatu hal pada seorang ulama. Akhirnya dia dibantu oleh Ahmad. Ahmad pun menunjukkan orang awam tadi pada ulama tersebut. Dalam suatu masalah, Ahmad menyelisihi pendapat ulama tadi. Lalu Ahmad mengatakan pada orang awam tadi, “Aku yang telah menunjuki engkau pada ulama tersebut, seharusnya engkau mengambil pendapatku bukan pendapat ulama tadi.” Tentu saja orang awam tadi akan mengatakan, “Engkau memang yang telah menunjukiku pada ulama tadi. Engkau menyuruhku untuk mengikuti ulama tadi, namun bukan untuk mengikuti pendapatmu. Jika aku mengikuti petunjukmu bahwa ulama tadi adalah tempat untuk bertanya, hal ini bukan berarti aku harus mencocokimu dalam setiap yang engkau katakan. Jika engkau keliru dan menyelisihi ulama tadi padahal dia lebih berilmu darimu, maka kekeliruanmu pada saat ini tidaklah membuat cacat tentang keilmuanmu bahwa dia adalah ulama.” Ini adalah permisalan dengan seorang ulama yang mungkin saja salah. Lalu bagaimanakah jika pada posisi ulama tersebut adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tidak mungkin keliru dalam penyampaian berita dari Allah? Dari deskripsi ini, akal dimisalkan dengan si Ahmad yang jadi petunjuk kepada ulama tadi. Sedangkan ulama tersebut adalah permisalan dari dalil syar’i. Inilah sikap yang harus kita miliki tatkala kita menemukan bahwa akal ternyata bertentangan dengan dalil syar’i. Sikap yang benar ketika itu adalah seseorang mendahulukan dalil syar’i daripada logika. Sebagaimana kita mendahulukan ulama tadi dari si Ahmad sebagai petunjuk jalan. Jika dalil syar’i bertentangan dengan akal, maka dalil lah yang harus didahulukan. Namun hal ini tidak membuat akal itu cacat karena dia telah menunjuki kepada dalil syar’i. Inilah yang diyakini oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yaitu jika akal bertentangan dengan dalil Al Qur’an dan As Sunnah, maka dalil syar’i lebih harus kita dahulukan dari akal. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,
“Jika seseorang mengetahui dengan akalnya bahwa ini adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian ada berita dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun ternyata berita tersebut menyelisihi akal. Pada saat ini, akal harus pasrah dan patuh. Akal harus menyelesaikan perselisihan ini dengan menyerahkan pada orang yang lebih tahu darinya yaitu dari berita Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pada saat ini, akal tidaklah boleh mendahulukan hasil pemikirannya dari berita Rasul. Karena sebagaimana diketahui bahwa akal manusia itu memiliki kekurangan dibandingan dengan berita Rasul. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentu saja lebih mengerti mengenai Allah Ta’ala, nama dan sifat-sifat-Nya, serta lebih mengetahui tentang berita hari akhir daripada akal.” (Dar-ut Ta’arudh, 1/80)
Akal Tidak Mungkin Bertentangan dengan Dalil Al Qur’an dan As Sunnah Inilah yang diyakini oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah yaitu dalil akal tidaklah mungkin bertentangan dengan dalil Al Qur’an dan As Sunnah yang shahih sama sekali. Maka tidaklah tepat jika seseorang mengatakan bahwa logika (dalil akal) bertentangan dengan dalil syar’i. Jika ada yang menyatakan demikian, maka hal ini tidaklah lepas dari beberapa kemungkinan: [Pertama] Itu sebenarnya syubhat (kerancuan) dan bukan logika (dalil akal) yang benar. [Kedua] Dalil syar’i yang digunakan bukanlah dalil yang bisa diterima, mungkin karena dalilnya yang tidak shahih atau adanya salah pemahaman. [Ketiga] Hal ini karena tidak mampu membedakan antara sesuatu yang mustahil bagi akal dan sesuatu yang tidak dipahami oleh akal dengan sempurna. Syari’at itu datang minimal dengan dalil yang tidak dipahami oleh akal secara sempurna. Dan Syari’at ini tidak mungkin datang dengan dalil yang dianggap mustahil bagi akal. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,
وَالرُّسُلُ جَاءَتْ بِمَا يَعْجِزُ الْعَقْلُ عَنْ دَرْكِهِ . لَمْ تَأْتِ بِمَا يُعْلَمُ بِالْعَقْلِ امْتِنَاعُهُ “Rasul itu datang dengan wahyu minimal tidak digapai oleh akal dengan sempurna. Namun beliau tidaklah datang dengan wahyu yang mustahil bagi akal untuk memahaminya.” (Majmu’ Al Fatawa, 3/339).
Semoga kita dapat memahami hal ini. Sikap Ekstrim dan Pertengahan dalam Mendudukkan Akal Ada dua sikap ekstrim dalam mendudukkan akal. Sikap pertama: Yang menjadikan akal sebagai satu-satunya landasan ilmu sedangkan dalil Al Qur’an atau dalil syar’i hanya sekedar taabi’ (pengikut). Akal pun dianggap sebagai sumber pertama dan dianggap akal tidak butuh pada iman dan Al Qur’an. Inilah sikap yang dimiliki oleh Ahlul Kalam. Sikap kedua: Yang sangat mencela dan menjelek-jelekan akal, juga menyelisihi dalil logika yang jelas-jelas tegasnya, serta mencela dalil logika secara mutlak. Inilah sikap dari kaum Sufiyah. (Majmu’ Al Fatawa, 3/338) Sikap yang benar dan pertengahan adalah sikap yang menjadikan akal sebagai berikut:
1. Akal adalah petunjuk untuk mengetahui dalil syar’i (dalil Al Qur’an dan As Sunnah) 2. Akal tidak bisa berdiri sendiri namun butuh pada cahaya dalil syar’i. Tanpa adanya cahaya dalil Al Qur’an dan As Sunnah, akal tidaklah mungkin bisa memandang atau memahami suatu perkara dengan benar. 3. Jika akal bertentangan dengan dalil syar’i, maka dalil syar’i yang harus didahulukan karena akal hanya sekedar petunjuk untuk mengetahui dalil sedangkan dalil syar’i memiliki ilmu dan pemahaman yang lebih dibanding akal. 4. Akal (logika) yang benar tidaklah mungkin bertentangan dengan dalil Al Qur’an dan As Sunnah. 5. Akal yang tercela adalah akal yang bertentangan dengan dalil Al Qur’an dan As Sunnah.
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. BERITA SUNNAH - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger