Mengikuti hawa nafsu dan apa yang disenanginya termasuk penghalang dari ittiba’ dan sebab terbesar terjadinya penyimpangan dari kebenaran. Bahkan seluruh bid’ah dan maksiat muncul dengan sebab didahulukannya hawa nafsu atas nash yang shahih. Hal itu karena tabiat jiwa manusia selalu menginginkan dan cenderung kepada apa yang dia sukai dan senangi. Dan sangat susah bagi seorang manusia untuk memalingkan jiwanya dari hal itu – terlebih lagi jika jiwanya telah terbiasa dengannya – selama keimanan dan keyakinannya belum kuat dan kokoh.
Bahkan, setiap orang yang tidak mau mengikuti Rasul Shallallahu’alaihi Wasallam dan menerima ajaran yang beliau bawa, maka sesungguhnya dia tidak mengikuti petunjuk, akan tetapi mengikuti hawa nafsunya1. Oleh karena itu, kita dapati banyak nash yang mencela dan memberi peringatan dari mengikuti hawa nafsu. Di antaranya, firman Allah Ta’ala,
فَإِنْ لَمْ يَسْتَجِيبُوا لَكَ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُونَ أَهْوَاءَهُمْ وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Maka jika mereka tidak mau menyambutmu, ketahuilah sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka. Dan siapakah yang lebih sesat dari pada orang yang mengikuti hawa nafsunya tanpa petunjuk dari Allah. Sesungguhnya Allah tidak akan memberi petunjuk kepada orang-orang yang berbuat zhalim” (QS. Al-Qashash: 50)
Allah Ta’ala berfirman,
أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَى عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْدِيهِ مِنْ بَعْدِ اللَّهِ أَفَلاَ تَذَكَّرُونَ
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai sesembahannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka Mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (QS. Al-Jatsiyah: 23)
Dari Mu’awiyah radhiallahu’anhu, dia berkata, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,
وَإِنَّهُ سَيَخْرُجُ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ تَجَارَى بِهِمْ تِلْكَ الْأَهْوَاءُ كَمَا يَتَجَارَى الْكَلْبُ لِصَاحِبِهِ وَقَالَ عَمْرٌو الْكَلْبُ بِصَاحِبِهِ لاَ يَبْقَى مِنْهُ عِرْقٌ وَلاَ مَفْصِلٌ إِلاَّ دَخَلَهُ
“Dan sesungguhnya akan muncul kaum-kaum dari umatku yang hawa nafsu mengalir pada mereka sebagaimana penyakit anjing gila mengalir pada penderitanya. Tidak ada satu urat dan persendianpun melainkan dimasukinya”2
Dan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam takut terhadap hawa nafsu, beliau berlindung kepada Allah dengan berdo’a,
« اللهم إني أعوذ بك من منكرات الأخلاق ، والأعمال ، والأهواء »
“Ya Allah, aku berlindung kepadaMu dari kemungkaran akhlaq, amal dan hawa nafsu”3
Yang menjadi masalah bukanlah adanya hawa nafsu pada diri seorang hamba, yang mendorong untuk menyelisihi Rasul Shallallahu’alaihi Wasallam. Karena hal itu (keberadaan hawa nafsu) adalah sebagai medan ujian dan cobaan, sedangkan seorang hamba tidak menguasainya. Akan tetapi yang menjadi masalah adalah jika seorang hamba mengikuti hawa nafsunya, mengambil apa yang disukai, meninggalkan apa yang dibenci, dan menjadikannya sebagai faktor pendorong perkataan dan perbuatannya baik sesuai ataupun menyelisihi apa yang dicintai oleh Allah Ta’ala.4
Kadang-kadang hawa nafsu masuk kepada orang yang memiliki keterkaitan dan ikatan dengan nash-nash. Hawa nafsu itu tidak mendorongnya untuk meninggalkan dan berpaling dari nash-nash itu secara keseluruhan. Akan tetapi, pertama-tama hawa nafsu itu membiarkan ia menetapkan apa yang dia inginkan, kemudian mulai beralih kepada nash-nash itu, sehingga dia mengambil nash yang sesuai dengan hawa nafsunya saja. Mahmud Syaltut berkata, “terkadang, seorang pemerhati dalil adalah seorang yang dikuasai oleh hawa nafsunya. Sehingga hawa nafsunya itu mendorongnya untuk menetapkan suatu hukum yang merealisasikan tujuannya. Kemudian dia mulai mencari-cari dalil untuk dijadikan sandaran dan hujjah dalam berdebat. Maka pada kenyataannya, orang ini menjadikan hawa nafsunya sebagai dasar untuk memahami dan menghukumi dalil-dalil. Dan ini berarti membalik perkara tasyri’ (pembuatan syari’at) dan merusak tujuan Syaari’ (Pembuat syari’at) di dalam menegakkan dalil-dalil.”5
Catatan Kaki
1 Lihat Tafsir As-Sa’di (6/33).
2 Abu Daud (5/5-6) no. 4597, dihasankan Al-Albani di dalam Shahih Abi Daud (3/869) no. 383.
3 At-Tirmidzi (5/575) no. 3591, dishahihkan oleh Al-Albani di dalam Shahih At-Tirmidzi (3/184) no. 2840.
4 Lihat Fatawa karya Ibnu Taimiyah (28/131-133).
5 Al-Bid’ah Asbaabuha wa Madhaarruha karya Syaltut halaman 24.
—
Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
0 comments:
Post a Comment