{قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ ويَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ، وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ}

Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah (sunnah/petunjuk)ku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS Ali ‘Imran:31)

Islam Bukan Budaya Arab

Abu Fathan | 07:27 | 0 comments
Akhir-akhir ini kita sering diperdengarkan sebuah istilah baru dalam penyebutan sebuah konsep beragama dengan istilah; Islam Nusantara. Istilah ini mulai mengemuka setelah penggunaan langgam Jawa dalam tilawah al-Qur’an pada tanggal 17 Mei Tahun 2015 di Istana Negara. Kejadian tersebut menuai kritik dari berbagai kalangan. Kejadian tersebut bukan sebuah kejadian tanpa disengaja, akan tetapi itu merupakan sebuah konsep yang akan digulirkan oleh Menteri Agama RI! Kemudian istilah ini lebih mengelinding lagi bagaikan bola salju ketika muktamar NU ke-33 di Jombang mengambil tema: “Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia”. Alhasil isu Islam Nusantara menjadi topik yang ramai diperbincangkan oleh banyak pihak, mulai dari tokoh agama, tokoh politik dan kalangan akademisi. Akan tetapi berbagai tanggapan dan pendapat seputar Islam Nusantara belum juga bisa didudukan dengan jelas, karena memang salah satu target dari pencetusan ide ini adalah untuk menimbulkan kebingungan yang berkepanjangan di tengah masyarakat. Karena Istilah Islam Nusantara, disatu sisi bisa benar dan pada sisi lain salah, alias samar-samar (Mutasyâbih). Kalau kita umpamakan istilah Islam Nusantara bagaikan ular berkepala belut, mau dikatakan halal ada unsur haramnya, sebaliknya jika dikatakan haram ada pula unsur halalnya.

Perlu kita ketahui bahwa menggunakan bahasa yang samar (Mutasyâbih) adalah salah satu metode pemasaran pemikiran sesat yang dilakukan oleh orang-orang sesat sejak dahulu kala. Sebagaimana Allâh Azza wa Jalla menceritakan kebiasaan Bani Israil:

وَلَا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui. [Al-Baqarah/2:42]

Oleh sebab itu, Allâh Azza wa Jalla melarang mengikuti istilah yang memiliki penafsiran ganda, seperti Allâh Azza wa Jalla melarang orang Islam untuk meniru-niru istilah orang Yahudi yang biasa mereka gunakan untuk mengejek Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقُولُوا رَاعِنَا وَقُولُوا انْظُرْنَا وَاسْمَعُوا 

Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): “Râ’ina”, tetapi katakanlah, “Unzhurna” dan “dengarlah!”, [Al-Baqarah/2:104]

Kata Râ’ina memiliki makna ganda, bisa berarti “Dengarkanlah kami!” Dan juga bermakna celaan. Akan tetapi orang-orang Yahudi mengucapkannya untuk mencela Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Agar tidak terjadi kesamaran dalam sebuah istilah atau ungkapan, Allâh Azza wa Jalla melarang orang-orang Mukmin menggunakan dan mengucapkan kalimat tersebut. Oleh sebab itu, sangat latah jika kita ikut-ikutan menggunakan istilah-istilah yang menimbulkan polemik dalam pemahaman.

Tujuan penggunaan istilah yang “abu-abu” adalah untuk mengelabui orang awam, atau jika mereka berhadapan dengan lawan yang kuat mereka munculkan sisi benarnya, dan mereka akan terang-terangan bila berbicara dihadapan sesama rekan mereka, dimana hakikat ide Islam Nusantara adalah untuk menghambat perkembangan dakwah yang hak, dakwah yang mengajak untuk menjalani Islam yang belum terkontaminasi oleh berbagai budaya, yang dalam istilah mereka disebut Islam Arab.

Kalau kita cermati banyak hal yang perlu dipertanyakan tentang ide dan konsep Islam Nusantara tersebut. Diantara pertanyaan tersebut; Apa dasar pemikiran Islam Nusantara? Apa Tujuannya? Kalau jawabannya: Dasar pemikiran Islam Nusantara al-Qur’an dan as-Sunnah. Berarti tidak ada bedanya dengan Islam yang sudah diamalkan sejak kedatangan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Tapi bila jawabannya: Islam yang berdasarkan budaya, maka berarti berbeda dengan Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Lalu tujuannya apa? Kalau jawabannya untuk terciptanya kedamaian dan toleransi dalam kehidupan bernegara. Bukankah Islam datang untuk menegakkan misi ini? Bukankah hal ini sudah dibuktikan dalam sejarah Islam sewaktu Islam berkuasa di Madinah, Syam dan Andalusia? Tapi bila jawabannya untuk menjadikan Indonesia sebagai model percontohan kedamaian dan toleran. Kenapa Islam Nusantara tidak toleran terhadap orang-orang yang tidak mau dengan konsep Islam Nusantara? Apa toleran itu berlaku untuk sesama pemeluk Islam Nusantara saja?

Kenapa istilah Islam Nusantara sering dibenturkan dengan istilah Islam Arab? Yang pada akhirnya akan melahirkan sebuah polemik anti Arab. Kenapa yang ditolak itu budaya Arab saja dan tidak disebutkan menolak budaya Barat juga?

Suatu pertanyaan lagi adalah; kenapa yang ending itu istilah “Islam Nusantara” yang diusung oleh NU? Bukan istilah “Islam Yang Berkemajuan” yang diusung oleh Muhammadiyah?

Kenapa yang dianggap sebagai Islam Nusantara hanya tradisi keberagamaan yang dilakukan oleh massa NU, kenapa pengamalan ormas-ormas Islam lain tidak dianggap sebagai bagian dari Islam Nusantara? Bahkan ada yang lebih fatal lagi, untuk menilai seseorang itu pro NKRI atau tidak dilihat dari sisi tahlilan atau tidak!? Bukankah di sana sangat banyak sekali ormas yang tidak melakukan tahlilan? seperti Muhammadiyah, Persis, al-Irsyad dan lain-lain. Bahkan diantara ormas Islam tersebut ada yang lebih dahulu lahir dari ormas NU. Berati Islam Nusantara adalah paham yang kaku, tidak toleran alias radikal.

Rasanya kita tidak perlu membuang waktu dan energi untuk membuktikan kelabilan konsep Islam Nusantara dari berbagai sisi. Cukup kita melihat siapa yang melakoni atau pencetus Islam Nusantara itu sendiri. Apakah mereka para pencetus Islam Nusantara orang yang patut dicontoh pemahaman dan pengamalan terhadap ajaran Islam? Apakah mereka orang-orang yang benar-benar berakhlak mulia? terutama terhadap orang yang menegakkan dan menjalani ajaran Islam dengan baik? Atau malah sebaliknya; suka memperolok-olok dan melecehkan para penegak sunnah? Apakah mereka selama ini adalah para pembela Islam atau sebaliknya? Apakah pemahaman mereka lebih baik dari pemahaman para Sahabat g ? Sehingga teori yang mereka cetuskan lebih baik dari keislaman para Sahabat? Apakah mereka orang yang taat beribadah dan suka membaca al-Qur’an? Apakah alasan dan hal yang melatarbelakangi lahirnya konsep Islam Nusantara ini belum tercover dalam ajaran Islam yang dibawa oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan disebarkan oleh para Sahabat?

Berikut ini kita akan mengupas topik Islam Bukan Budaya Arab, tidak seperti yang disinyalir oleh kaum SIPILIS termasuk Jemaat Islam Nusantara bahwa ajaran Islam sarat dengan budaya Arab.

DEFINIS BUDAYA DAN HAKIKATNYA

Secara etimologi budaya dalam bahasa Arab disebut ‘âdah atau ‘Uruf.[1] Secara terminologi budaya berarti kebiasaan dalam masyarakat, baik berbentuk ucapan maupun perbuatan yang sesuai dengan akal sehat dan tabi’at yang baik.[2]

Namun sebagian diantara Ulama ada yang membedakan antara ‘âdah dengan ‘Uruf secara terminologi. Ada yang mengatakan ‘âdah lebih khusus, sedangkan ‘Uruf lebih umum. Dan ada pula yang berpendapat sebaliknya. wallâhu a’lam. [3]

Pengertian budaya dalam bahasa Arab tidak berbeda dengan pengertiannya dalam bahasa lain. Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi, dan akal manusia. [4]

Di jelaskan dalam wikipedia: Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang, dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang, dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya, dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.

Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. Budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar, dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.[5]

Pengertian budaya menurut ilmuwan Barat juga tidak jauh berbeda dengan pengertian yang dijelaskan oleh para Ulama Islam. Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism. Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic.

Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial, norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual, dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.

Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat. Menurut Selo Soemardjan, dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.

Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan adalah sesuatu yang akan memengaruhi tingkat pengetahuan, dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak.

Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku, dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat. [6]

Dapat disimpulkan dari berbagai penjelasan di atas bahwa hakikat budaya adalah hasil dari buah pikiran manusia yang dianggap baik oleh masyarakat tertentu. Baik buruknya budaya berbeda-beda berdasarkan persepsi masing-masing masyarakat, lalu menjadi tabi’at mereka sehari-hari. Maka suatu budaya bisa dianggap baik oleh sekelompok masyarakat namun juga dianggap tidak baik oleh sekelompok masyarakat lain. Dalam artian bahwa kebenarannya relatif dan tidak absolut. Contoh dalam budaya barat lesbi, homoseksual dan minum khamar adalah budaya yang maju dalam sisi kebebasan. Namun budaya tersebut sangat tidak cocok di tengah-tengah budaya masyarakat timur.

Atau bisa saja suatu budaya pada suatu masa dianggap baik, namun pada masa yang lain bisa dianggap tidak baik oleh masyarakat yang sama. Berarti penilaian terhadap sebuah budaya itu bisa berubah-ubah atau kondisional. Contoh dulu masyarakat Eropa lebih suka budaya sosialisme akan tetapi sekarang budaya yang mereka sukai adalah budaya kapitalisme.

Maka berikut ini akan dijelaskan beberapa sisi perbedaan antara Islam dengan Budaya.

PERBEDAAN ANTARA ISLAM DAN BUDAYA

Pertama: Budaya bersumber dari manusia yang umumnya memiliki sifat zhalim lagi bodoh.

Sebagaimana Allâh Azza wa Jalla gambarkan tetang sifat manusia secara umum dalam firman-Nya:

إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنْسَانُ ۖ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا

Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zhalim dan amat bodoh”[Al-Ahzâb/33:72)

Islam sumbernya dari Allâh Yang Maha Mengetahui, Maha Bijaksana dan Maha Adil. Allâh Maha Mengetahui apa yang terbaik bagi seluruh makhluk. Allâh Maha Bijaksana dalam segala ketentuan dan keputusan-Nya, tidak ada yang sia-sia dalam segala ciptaan-Nya. Allâh Maha Adil dalam segala ketetapan dan hukum-Nya, tidak sedikitpun ada kezhaliman dalam segala ketetapan Allâh Azza wa Jalla . Sebagaimana Allâh Azza wa Jalla tegaskan dalam kitab suci al-Qur’an:

لَا يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلَا مِنْ خَلْفِهِ ۖ تَنْزِيلٌ مِنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ

Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari al- Qur’an ketika al-Qur’an itu datang kepada mereka, (mereka itu pasti akan celaka), dan sesungguhnya al-Quran itu adalah kitab yang mulia. Yang tidak datang kepadanya (al- Qur’an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.”[Fushshilat/41:42)

Dan Allâh Azza wa Jalla tidak sedikitpun berbuat zhalim terhadap para hamba-Nya. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلِنَفْسِهِ ۖ وَمَنْ أَسَاءَ فَعَلَيْهَا ۗ وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِلْعَبِيدِ

Barangsiapa mengerjakan amal yang shaleh maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, maka (dosanya) untuk dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu menganiaya para hamba-Nya.” [Fushshilat/41:46]

Kedua: Sebuah budaya belum tentu cocok untuk semua manusia

Budaya Asia belum tentu cocok untuk orang Afrika, budaya Arab belum tentu cocok untuk orang Eropa. Akan tetapi ajaran Islam cocok untuk seluruh umat manusia, apapun bangsa dan suku mereka, bahkan untuk Jin sekalipun.

Sebagaimana Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui. [Saba’/34:28]

Ketiga: Sebuah budaya belum tentu cocok pada setiap saat, terkadang hanya cocok untuk waktu dan zaman tertentu.

Sedangkan Islam diturunkan Allâh Azza wa Jalla untuk sepanjang waktu dan masa sampai akhir zaman. Islam tidak hanya berlaku pada fase kenabian dan kekhalifahan saja, akan tetapi berlaku untuk seluruh generasi umat manusia sampai hari kiamat. Karena Islam adalah agama terakhir yang dijaga keasliannya oleh Allâh Azza wa Jalla sampai hari kiamat. Sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. [Al-Hijr/15:9]

Dan akan tetap ada golongan dari manusia yang beramal dan berada di atas Islam yang murni sampai hari kiamat, sebagaimana Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tegaskan dalam sabdanya:

لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أمتي ظَاهِرِينَ عَلَى الْحَقِّ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى يأتي أَمْرُ اللَّهِ وَهُمْ كَذَلِكَ

Akan senantiasa ada satu golongan dari umatku berada diatas kebenaran, mereka tidak merasa terganggu dengan orang-orang yang menghina mereka, sampai datang keputusan Allâh (hari kiamat) mereka tetap seperti itu.[7]

Keempat: Sebuah budaya belum tentu cocok pada semua tempat, bahkan sering terbatasi oleh tempat dan ruang. 

Sedangkan Islam diturunkan Allâh Azza wa Jalla berlaku untuk di semua tempat, baik di Barat maupun di Timur, baik di Eropa, Afrika maupun di Asia. Islam tidak hanya berlaku di Arab saja, sebagaimana Allâh Azza wa Jalla tegaskan dalam al-Qur’an:

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ

Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. [Al-Anbiyâ’/21:107]

Kelima: Sebuah budaya boleh untuk kita pilah-pilih, bisa kita tolak dan tinggalkan bahkan kita lupakan

Sedangkan Islam wajib untuk kita terima dan amalkan, tidak boleh kita tolak, tidak boleh kita tinggalkan apalagi dilupakan.

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمُ اتَّبَعُوا مَا أَسْخَطَ اللَّهَ وَكَرِهُوا رِضْوَانَهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ

Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka mengikuti apa yang menimbulkan kemurkaan Allâh dan (karena) mereka membenci(apa yang menimbulkan) keridhaan-Nya, sebab itu Allâh menghapus (pahala) amal-amal mereka.[Muhammad/47:28]

Islam tidak boleh kita pilah-pilih bahkan harus kita terima dan kita jalankan secara total dan maksimal, sebagaimana Allâh Azza wa Jalla perintahkan dalam firman-Nya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ

Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu“. [Al-Baqarah/2:208]

PANDANGAN ISLAM TERHADAP BUDAYA

Salah satu cara orang Arab Jahiliyah untuk menolak kebenaran Islam adalah membanggakan budaya nenek moyang, sebagaimana Allâh Azza wa Jalla sebutkan argumentasi orang-orang musyrik ketika diseru ke dalam agama Islam:

أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۗ وَمَا لَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ

Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allâh,” mereka menjawab: “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk? [Al-Baqarah/2:170]

Demikian pula disebutkan dalam firman Allâh Azza wa Jalla yang lain:

وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا ۚ أَوَلَوْ كَانَ الشَّيْطَانُ يَدْعُوهُمْ إِلَىٰ عَذَابِ السَّعِيرِ

Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang diturunkan Allâh.” Mereka menjawab: “(Tidak), tapi kami (hanya) mengikuti apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya.” Dan apakah mereka (akan mengikuti bapak-bapak mereka) walaupun syaitan itu menyeru mereka ke dalam siksa api yang menyala-nyala (neraka Sa’ir)?[Luqmân/31:21]

Begitu banyak budaya Arab jahiliyah yang dikoreksi oleh Islam, ini menunjukkan bahwa Islam bukanlah budaya Arab. Berikut ini kita sebutkan beberapa contoh budaya Arab yang dihapus oleh Islam:
Bertawassul dengan orang mati.

Salah satu kebiasaan masyarakat Arab Jahiliyah yaitu mengkultuskan orang shaleh namanya Latta. Pada mulanya patung Latta adalah simbol orang yang sangat dermawan kepada para jamaah haji. Dengan berlalunya waktu akhirnya patung itu dijadikan oleh masyarakat Arab Jahiliyah sebagai media bertawassul kepada Allâh Azza wa Jalla . Jika mereka ingin mendapatkan sesuatu mereka mendatangi patung Latta tersebut untuk bertawassul.

وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَىٰ

dan orang-orang yang menggambil selain Allâh sebagai pembantu, kami tidak menyembah mereka kecuali untuk mendekatkan kami kepada Allâh sedekat-dekatnya. [Az-Zumar/39:3]

Menurut asumsi mereka hal itu bukan perbuatan syirik akan tetapi bagian dari minta syafaat dalam budaya mereka.

وَيَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنْفَعُهُمْ وَيَقُولُونَ هَٰؤُلَاءِ شُفَعَاؤُنَا عِنْدَ اللَّهِ

Dan mereka menyembah selain daripada Allâh apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan, dan mereka berkata: “Mereka itu adalah pemberi syafa’at kepada kami di sisi Allâh. [Yûnus/10:18]

Karena hal itu sudah menjadi adat kebiasaan dan budaya nenek moyang mereka sejak dulu kala, mereka menolak untuk meninggalkannya.

قَالُوا أَجِئْتَنَا لِنَعْبُدَ اللَّهَ وَحْدَهُ وَنَذَرَ مَا كَانَ يَعْبُدُ آبَاؤُنَا ۖ فَأْتِنَا بِمَا تَعِدُنَا إِنْ كُنْتَ مِنَ الصَّادِقِينَ

Mereka berkata, “Apakah kamu datang kepada kami, agar kami hanya menyembah Allâh saja dan meninggalkan apa yang biasa disembah oleh nenek moyang kami? maka datangkanlah adzab yang kamu ancamkan kepada kami jika kamu termasuk orang-orang yang benar.” [Al-A’râf/7:70]
Tawaf di Ka’bah tanpa busana

Allâh Azza wa Jalla sebutkan perilaku buruk mereka ini dalam firman-Nya yang mulia:

يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

Wahai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allâh tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. [Al-A’râf/7:31]

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Ayat ini adalah bantahan atas kebiasaan orang-orang musyrik bertawaf di Ka’bah dalam keadaan telanjang. Sebagaimna yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Nasaai dan Ibnu Jarir … dari Ibnu Abbas, ia berkata, ‘Mereka orang-orang musyrik bertawaf di Ka’bah dalam keadaan telanjang, baik laki-laki maupun wanita; (untuk) laki-laki pada siang hari dan wanita di malam hari.”[8]
Beribadah di Ka’bah dengan bersorak sambil bertepuk tangan.

Hal ini Allâh Azza wa Jalla sebutkan dalam surat al-Anfâl:

وَمَا كَانَ صَلَاتُهُمْ عِنْدَ الْبَيْتِ إِلَّا مُكَاءً وَتَصْدِيَةً ۚ فَذُوقُوا الْعَذَابَ بِمَا كُنْتُمْ تَكْفُرُونَ

Tidaklah shalat mereka di sekitar Baitullah itu, kecuali hanyalah siulan dan tepukan tangan. Maka rasakanlah adzab disebabkan kekafiranmu itu.”[Al-Anfâl/8 :35]
Suka bernyanyi atau menyewa para biduan untuk bernyanyi

Kebiasaan ini Allâh Azza wa Jalla sebutkan dalam surat Luqmân:

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا ۚ أُولَٰئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ

Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allâh tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allâh itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.” [Luqmân/31:6]

Menurut para Ulama ahli tafsir (mufassirin) dari kalangan Sahabat dan Tabi’in bahwa yang dimaksud membeli lahwal hadîts (perkataan sia-sia) dalam ayat di atas adalah nyanyian, alat-alat musik dan menyewa para biduan atau biduanita.[9]
Meramal nasib dengan binatang atau benda

Dianatara kebiasan yang suka dilakukan oleh masyarakat Arab Jahiliyah yaitu menggundi nasib atau meramal nasib dengan suara atau gerakan burung. Umpamanya ada seseorang sakit lalu mereka mendengar burung gagak atau burung hantu berbunyi di malam hari, maka mereka meramal bahwa orang yang sakit tersebut akan meninggal dunia. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh mereka untuk meninggalkan budaya tersebut dalam sabdanya:

عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ الْحَكَمِ السلمي قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أُمُورًا كُنَّا نَصْنَعُهَا في الْجَاهِلِيَّةِ كُنَّا نأتي الْكُهَّانَ. قَالَ: فَلاَ تَأْتُوا الْكُهَّانَ . قَالَ قُلْتُ كُنَّا نَتَطَيَّرُ. قَالَ : ذَاكَ شيء يَجِدُهُ أَحَدُكُمْ في نَفْسِهِ فَلاَ يَصُدَّنَّكُمْ

Dari Muawiyah bin al-Hakam as-Sulamy, aku berkata kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , ‘Wahai Rasûlullâh! Ada beberapa hal yang pernah kami lakukan di masa jahiliyah; kami pernah mendatangi dukun? Jawab Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam : Jangan kalian mendatangi dukun. Lalu aku berkata lagi: Kami dahulu suka mengundi nasib dengan burung? Jawab Beliau: itu sesuatu yang terbetik dalam hati kalian janganlah menghalangi kalian”. [10]

Dalam riwayat lain, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الطِّيَرَةُ شِرْكٌ الطِّيَرَةُ شِرْكٌ

Thiyarah adalah syirik, thiyarah adalah syirik. [11]

Yang dimaksud dengan Thiyarah yaitu meramal suatu kejadian buruk dengan burung atau lainnya seperti yang telah jelaskan di atas.

BISAKAH ISLAMISASI BUDAYA?

Sebagaimana yang telah kita jelaskan di atas tentang perbedaan antara Islam dengan budaya, maka Islam itu sudah sempurna tidak perlu ditambah dengan budaya lokal. Budaya tetap budaya tidak bisa dijadikan ajaran Islam. Akan tetapi Islam memberikan ruang untuk sebuah kebiasaan atau budaya masyarakat untuk dilakukan selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam dan tidak dianggap sebagai ajaran agama yang wajib dijalankan. Bagi siapa yang mau melakukan silakan menjalankannya asal tidak menjadi alat untuk memecah belah persatuan kaum Muslimin. Apalagi menjadi tolak ukur ketakwaan dan menghukum orang yang tidak menjalankannya sebagai kelompok sesat. Seperti kejadian beberapa kasus di berbagai tempat, seorang Muslim yang meninggal dilarang dikuburkan di pemakaman umum karena tidak ikut yasinan dan tahlilan! Beberapa pondok pesantren dibakar dan diusir santrinya karena tidak melaksanakan maulidan dan salawatan! Ini menunjukkan sebuah penyimpangan dalam pemahaman beragama terutama masyarakat yang diasuh oleh agen-agen Islam Nusantara. Sebaliknya, kita tidak pernah melihat atau mendengar pengusiran bagi orang yang tidak shalat, yang tidak berhijab dan bahkan terang-terangan berbuat maksiat di depan umum. Seakan-akan kedudukan budaya lebih tinggi dari hal-hal yang diwajibkan Allâh Azza wa Jalla . Jangankan apa yang disebut sebagaibid’ah hasanah, orang yang tidak melaksanakan sunnah muakkadah saja tidak berhak diusir, bahkan orang yang meninggalkan hal yang wajib sekalipun juga tidak berhak diusir! Silakan anda renungkan kenapa sikap radikal seperti ini terjadi terhadap orang yang tidak suka budaya, tapi tidak diberlakukan terhadap orang yang tidak suka pada agama? Sungguh aneh alias ajiib.

KENAPA JAZIRAH ARAB TERPILIH MENJADI TEMPAT DITURUNKANNYA ISLAM, MENGAPA TIDAK DI INDONESIA?

Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla menjadikan makhluknya dalam aturan yang sempurna di atas segala kesempurnaan. Allâh Azza wa Jalla tidak memilih dan menentukan sebuah keputusan yang sia-sia, akan tetapi berdasarkan ilmu-Nya yang Maha Sempurna dan dibalik ketentuan tersebut tersimpan berjuta-juta hikmah.

Allâh Azza wa Jalla melebihkan satu makhluk atas makhluk yang lain, bumi dijadikan berlembah dan berbukit, sebagian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga Allâh Azza wa Jalla beri kelebihan atas Nabi yang lain.

تِلْكَ الرُّسُلُ فَضَّلْنَا بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ ۘ مِنْهُمْ مَنْ كَلَّمَ اللَّهُ ۖ وَرَفَعَ بَعْضَهُمْ دَرَجَاتٍ

Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian (dari) mereka atas sebagian yang lain. Di antara mereka ada yang Allâh berkata-kata (langsung dengan dia) dan sebagiannya Allâh meninggikannya beberapa derajat. [Al-Baqarah/2:253]

Sebagaimana surat dan ayat al-Qur’an juga berbeda dari sisi kelebihan dan keutamaan. Demikian pula suatu tempat dan bangsa juga Allâh Azza wa Jalla beri kelebihan atas tempat dan bangsa yang lain. Maka Allâh Azza wa Jalla memuliakan bumi Mekah atas belahan bumi yang lain, memilih bangsa Arab untuk Nabi yang terakhir walau sebelumnya kebanyakan Nabi berasal dari bangsa Bani Israil.

Bumi Mekah memiliki keutamaan yang tidak dimiliki oleh belahan bumi lain, sebagaimana disebutkan dalam hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

وَاللَّهِ إِنَّكِ لَأَحَبُّ أَرْضِ اللَّهِ تَعَالَى إِلَى اللَّهِ، وَأَحَبُّ أَرْضِ اللَّهِ تَعَالَى إِلَيَّ، وَلَوْلَا أَنِّي أُخْرِجْتُ مِنْكِ مَا خَرَجْتُ

Demi Allâh! Sesungguhnya engkau (negeri Mekah) adalah sebaik-baik bumi Allâh, dan bumi yang paling dicintai Allâh, seandanya aku tidak diusir darimu niscaya aku tidak akan keluar darimu. [12]

Allâh Azza wa Jalla telah memilih sebagai pembawa risalah yang terakhir dari negeri yang paling mulia juga dari keturunan yang paling mulia. Sebagaimana Firman Allâh:

اللَّهُ يَصْطَفِي مِنَ الْمَلَائِكَةِ رُسُلًا وَمِنَ النَّاسِ ۚ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ بَصِيرٌ

Allâh memilih utusan-utusan-(Nya) dari malaikat dan dari manusia; sesungguhnya Allâh Maha Mendengar lagi Maha Melihat. [Al-Hajj/22:75]

Dan sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى كِنَانَةَ مِنْ وَلَدِ إِسْمَاعِيلَ وَاصْطَفَى قُرَيْشًا مِنْ كِنَانَةَ وَاصْطَفَى مِنْ قُرَيْشٍ بَنِى هَاشِمٍ وَاصْطَفَانِي مِنْ بَنِى هَاشِمٍ

Sesungguhnya Allâh telah memilih Kinânah dari keturunan Ismail, dan memilih Quraisy dari Kinaanah, dan dari suku Quraisy memilih Bani Hasyim, dan memilih aku dari suku Bani Hasyim. [13]

Berkata Ibnu Mas’ud Radhiyallah anhu :

إِنَّ اللَّهَ عز وجل نَظَرَ فِي قُلُوبِ الْعِبَادِ، فَوَجَدَ قَلْبَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْرَ قُلُوبِ الْعِبَادِ، فَاصْطَفَاهُ لِنَفْسِهِ، فَابْتَعَثَهُ بِرِسَالَتِهِ، ثُمَّ نَظَرَ فِي قُلُوبِ الْعِبَادِ بَعْدَ قَلْبِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَوَجَدَ أَصْحَابَهُ خَيْرَ قُلُوبِ الْعِبَادِ، فَجَعَلَهُمْ وُزَرَاءَ نَبِيِّهِ، يُقَاتِلُونَ عَلَى دِينِهِ

Sesungguhnya Allâh melihat kepada hati-hati manusia, maka Allâh mendapati hati Muhammad sebaik-baik hati manusia. Maka Allâh memilihnya secara khusus dan mengutusnya untuk membawa risalah-Nya. Kemudian Allâh melihat hati manusia setelah hati Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka Allâh mendapati hati para Sahabatnya sebaik-baiknya hati manusia, maka Allâh menjadikan mereka sebagai pembantu nabi-Nya, berperang membela agamanya.[14]

Semua itu kembali kepada kehendak Allâh Azza wa Jalla secara mutlak, kita tidak berhak mempertanyakan perbuatan Allâh Azza wa Jalla , akan tetapi kitalah yang akan ditanya tentang perbuatan kita.

لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ

Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah yang akan ditanyai. [Al-Anbiyâ/21:23]

Dan firman Allâh Azza wa Jalla :

إِنَّ اللَّهَ يَفْعَلُ مَا يُرِيدُ

Sesungguhnya Allâh berbuat apa yang Dia kehendaki. [Al-Hajj/22:14]

Dan firman Allâh Azza wa Jalla :

وَمَنْ يُهِنِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ مُكْرِمٍ ۚ إِنَّ اللَّهَ يَفْعَلُ مَا يَشَاءُ

Dan barangsiapa dihinakan Allâh maka tidak seorangpun yang memuliakannya. Sesungguhnya Allâh berbuat apa yang Dia kehendaki.” [Al-Hajj/22:18]

Orang-orang kafir Mekah pernah mempertanyakan: kenapa Allâh Azza wa Jalla tidak mengutus orang lain selain nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ? Allâh menjawab keberatan mereka: apakah mereka yang akan mengatur pembagian rahmat Allâh?

وَقَالُوا لَوْلَا نُزِّلَ هَٰذَا الْقُرْآنُ عَلَىٰ رَجُلٍ مِنَ الْقَرْيَتَيْنِ عَظِيمٍ ﴿٣١﴾ أَهُمْ يَقْسِمُونَ رَحْمَتَ رَبِّكَ ۚ نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ مَعِيشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۚ وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَا

Dan mereka berkata, “Mengapa al–Qur’an ini tidak diturunkan kepada seorang besar dari salah satu dua negeri (Mekah dan Thaif) ini?” Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Rabbmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, [Az-Zukhruf/43:31-32]

KESIMPULAN
Budaya adalah hasil karya akal dan pengalaman manusia yang punya banyak sisi kelemahan, kebenarannya relatif.
Budaya yang berjalan dan berlaku di tengah-tengah masyarakat bisa diterima dalam Islam selama tidak melanggar prinsip-prinsip ajaran Islam.
Islam bukan budaya Arab, akan tetapi Islam adalah agama Allâh Azza wa Jalla yang sempurna, diturunkan untuk semua suku bangsa dan berlaku untuk sepanjang masa serta cocok pada setiap tempat.

Oleh Ustadz Dr. Ali Musri Semjan Putra, M.A.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XIX/1437H/2016M.]
_______
Footnote
[1] Lihat al Mausû’ah al Fiqhiyah al Kuwaitiyah, 30/53

[2] Lihat Qâ’idah al ‘Âdah Muhakkamah, Ya’qûb bin Abd Wahab, hlm. 27

[3] Lihat Qâ’idah al ‘Âdah Muhakkamah, Ya’qub bin Abd Wahab, hlm. 49


[5] Lihat: https://id.wikipedia.org/wiki/Budaya#Definisi_Budaya

[6] Lihat: https://id.wikipedia.org/wiki/Budaya#Definisi_Budaya

[7] HR. Muslim

[8] Lihat, Tafsir Ibnu Katsir, 3/405.

[9] Lihat, Tafsir Ibnu katsir, 6/331.

[10] HR. Muslim

[11] HR. Abu Daud. Dishahihkan syaikh al-Albani

[12] HR. Tirmidzi. Dishahihkan Syaikh al-Albani rahimahullah

[13] HR. Muslim

[14] HR.Ahmad. Dan Berkata al-Arnauth : “Sanadnya hasan”

Ringkasan Tabligh Akbar Nikmat Aman Di Indonesia Dan Kiat Kiat Menjaganya

Abu Fathan | 21:47 | 0 comments
Rasa aman, secara bahasa artinya adalah lawan dari rasa takut.

فَلْيَعْبُدُوا رَبَّ هَٰذَا الْبَيْتِ * الَّذِي أَطْعَمَهُمْ مِنْ جُوعٍ وَآمَنَهُمْ مِنْ خَوْفٍ

” Maka hendaknya mereka menyembah kepada Rabb pemilik rumah ini (Ka’bah). (Dia) yang telah memberikan makan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan memberikan keamanan kepada mereka dari rasa takut.” (Quraisy: 3-4)


Para ulama mendefiniskan rasa aman dengan makna tenang dan damai (ٌطُمَأْنِيْنَةٌ وَ سَكِيْنَة), yang tidak ada rasa ketakutan padanya.

Keamanan ada dua jenis:

1. Keamanan agama, yaitu selamatnya agama seorang muslim, di atas tauhid dan menjauhi kesyirikan.

Alloh berfirman :

الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَٰئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ


“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” ( Al An’am: 82)

2. Keamanan badan / fisik, seorang muslim hidup di negerinya dalam keadaan merasa aman pada perkara hartanya, jiwanya, dan harga dirinya atau kehormatannya.

Apabila seorang hamba merasa aman dalam perkara-perkara tersebut maka dapat dikatakan bahwa dia telah tinggal di sebuah negeri yang aman.

Alhamdulillah, negeri Indonesia termasuk negeri yang diberi nikmat keamanan oleh Alloh ‘azza wa jalla. Maka nikmat ini harus senantiasa dijaga.

Bangsa Indonesia sudah terkenal di kalangan bangsa Arab jauh sebelum negara ini dinamai dengan nama Indonesia. Terkenal sebagai bangsa yang damai, berbudi luhur, dan tertib. Tiap tahun Masjidil Haram tidak pernah kosong dari jama’ah kaum muslimin dari Indonesia. Bahkan penduduk kota Mekah dan Madinah bisa tahu tanda datangnya musim haji dengan kedatangan kaum muslimin dari penjuru Indonesia.

Hendaknya senantiasa waspada terhadap pihak-pihak yang berusaha merusak keamanan negeri ini. Pihak pemerintah harus menindak tegas semua pihak yang berpotensi merusak nikmat keamanan ini.

Kiat-kiat dalam menjaga nikmat keamanan pada suatu negeri :

1. Berpegang teguh dengan agama Alloh.

Kaum muslimin harus senantiasa memperhatikan perkara agama mereka, aqidah mereka, serta menolong agama mereka, menolong dakwah Islam, sehingga pertolongan Alloh pun akan datang kepada mereka.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ

” Wahai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” ( Muhammad: 7 )

2. Menerapkan Al Quran dan As Sunnah dalam semua aspek kehidupan. Berhukum dengan Al Quran dan As Sunnah. Dengannya Alloh akan mencurahkan barokahNya dan berbagai karuniaNya.

3. Menyebarkan ajaran agama Islam di tengah-tengah masyarakat.

Memperhatikan permasalahan pendidikan Islami, pendidikan tentang ilmu-ilmu agama di seluruh jenjang pendidikan. Sehingga masyarakat muslimin akan terdidik dengan pendidikan islami dan mereka akan paham tentang perkara-perjara agama mereka.

4. Menegakkan amar ma’ruf nahi munkar.

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّه

” Kalian adalah sebaik-baiknya ummat yang diutus kepada umat manusia. Kalian memerintahkan kepada yang ma’ruf dan melarang dari yang munkar dan kalian beriman kepada Alloh.” (Ali Imron: 110)

Ketika suatu kaum senantiasa menegakkan amar ma’ruf nahi munkar maka Alloh akan menjauhkan mereka dari semua bencana, musibah, fitnah serta menegakkan keamanan di tengah-tengah mereka.

Alangkah indahnya ketika ada pada suatu negeri Islam suatu lembaga resmi yang khusus mengurusi perkara amar ma’ruf nahi munkar seperti yang berlaku di negara Saudi Arabia.

Tidaklah Alloh menurunkan bencana, musibah, fitnah pada suatu kaum kecuali karena mereka meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar.

5. Taat kepada pemerintah kaum muslimin yang sah pada selain perkara yang diharamkan oleh syariat.

Rasululloh _shollallohu ‘alaihi wa sallam_ bersabda :

مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَمَنْ يُطِعْ الْأَمِيرَ فَقَدْ أَطَاعَنِي وَمَنْ يَعْصِ الْأَمِيرَ فَقَدْ عَصَانِي

” Barang siapa yang taat kepadaku berarti dia telah taat kepada Allah dan barang siapa yang bermaksiat kepadaku berarti dia telah bermaksiat kepada Allah. Dan barang siapa yang taat kepada pemimpin berarti dia telah taat kepadaku dan barang siapa yang bermaksiat kepada pemimpin berarti dia telah bermaksiat kepadaku.” (HR. Bukhori dan Muslim, dari Abu Hurairah _radhiyallohu ‘anhu_)

Dengan ketaatan rakyat kepada pemimpinnya pada perkara-perkara yang tidak menyelisihi syariat, maka akan tercipta keamanan. Dan inilah salah satu sebab terbesar terciptanya keamanan di suatu negeri.

Ketika rakyat tidak taat kepada pemimpinnya, maka akan tercipta berbagai kejelekan yang merata.

6. Apabila muncul kesalahan dari pemimpin kaum muslimin, maka hendaknya kita bersabar. Karena mereka hanya manusia biasa yang pasti akan terjatuh ke dalam kesalahan.

مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ عَلَيْهِ فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شِبْرًا فَمَاتَ إِلَّا مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً

” Siapapun yang melihat sesuatu dari pemimpinnya yang tidak disukainya, hendaklah ia bersabar terhadapnya, sebab barang siapa yang memisahkan diri sejengkal dari jama’ah, kemudian dia mati, maka dia mati dalam keadaan jahiliyah.” (HR. Bukhori dan Muslim, dari sahabat Ibnu Abbas _radhiyallohu ‘anhuma_)

Dan kewajiban kita hanya menasihati pemimpin kaum muslimin jika ada pada mereka kesalahan, secara sembunyi-sembunyi, rahasia, dan tidak melakukannya di hadapan manusia. Dan tidak boleh untuk menjelek-jelekkan pemimpin di hadapan manusia, di forum-forum umum.

مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ فَلَا يُبْدِ لَهُ عَلَانِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوَ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ لَهُ

” Barangsiapa yang hendak menasehati penguasa dengan suatu perkara, maka jangan dilakukan dengan terang-terangan, tapi gandenglah tangannya dan menyepilah berdua. Jika diterima memang begitu, jika tidak maka dia telah melaksakan kewajibannya” ( HR. Ahmad dan Ibnu Abi Ashim, dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani)

Berhati-hatilah dan jauhilah perbuatan menyebut-nyebut kejelekan pemimpin di hadapan manusia. Jauhilah demonstrasi, karena itu merupakan jalan yang mengarahkan kepada rusaknya kemanan. Walaupun dinamakan sebagai aksi damai, tapi semua itu pada hakikatnya akan mengarah kepada kerusakan yang lebih besar.

7. Senantiasa berpegang teguh dengan al jama’ah, yaitu kaum muslimin beserta pemimpinnya. Tidak memberontak kepada pemimpin kaum muslimin.

Perhatikan wasiat Rasululloh sholallohu ‘alaihi wa sallam kepada Hudzaifah ibnul Yaman radhiyallohu ‘anhu berikut ini:

تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلْأَمِيرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ

” Dengar dan patuhilah kepada pemimpinmu, walaupun ia memukulmu dan merampas harta bendamu, dengar dan patuhilah dia.” (HR. Muslim)

8. Menasihati kaum muslimin yang memiliki kesalahan dalam perkara agama,ataupun yang menyimpang dari pemahaman agama Islam.

Maka pemerintah mengambil langkah yang tegas dalam mengembalikan mereka kepada pemahaman agama yang benar.

9. Wajib atas pemerintah kaum muslimin untuk tidak membiarkan pihak-pihak yang berusaha meracuni kaum muslimin dengan pemikiran-pemikiran yang menyimpang dari ajaran Islam. Yang bertujuan untuk memecah belah barisan kaum muslimin dan menghilangkan keamanan di negeri kaum muslimin.

10. Berdoa kepada Alloh agar senantiasa menjaga kita dari makar-makar musuh-musuhNya, senantiasa menyatukan hati-hati kaum muslimin di atas taqwa dan agama yang lurus, serta menjauhkan kita dari segala macam fitnah.

Demikian ringkasan materi dari apa yang kami dimudahkan untuk menulis dan menyusunnya, dari muhadhoroh yang disampaikan oleh Fadhilatusy Syaikh Ibrohim Ar Ruhaily hafizhohulloh di Masjid Agung Al Aqsho, Klaten, 29 Januari 2017)

Di Ringkas Oleh : Abu Umar Al Jakarty

==========
*Tanya jawab* ;

1. Nasehat atas bahaya Syiah dan Komunis.

Wajib bagi umat Islam dan pemerintah untuk tidak memberikan jalan bagi para perusak yang destruktif

2. Pemerintah dipilih dengan sistem tidak islami

Islam memiliki tata cara memilih pemimpin melalui Syuro. Namun jika dipilih secara tidak syari maka tetap wajib utk menaatinya dalam rangka untuk menjaga darah kaum muslimin

3. Pemimpin non muslim yang adil apakah lebih baik dari pemimpin muslim yang zhalim.

Pemimpin muslim memiliki tauhid yang tidak dimiliki pemimpin kafir bahwasanya
syirik adalah dosa paling besar

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, Allah akan menolong suatu negeri walaupun kafir namun adil, dan tidak menolong negeri yang zhalim walaupun muslim, maksudnya adalah beliau ingin menjelaskan pentingnya Keadilan yang diperlukan dalam mengelola sebuah negara BUKAN dalam konteks kepemimpinan kafir lebih baik

4. Lembaga amar ma’ruf nahi munkar

Kewajiban pemerintah untuk membentuk lembaga tersebut, jika belum ada maka kaum Muslimin dapat menyampaikan kepada pemerintah dan beramar ma’ruf nahi munkar sesuai kemampuannya.

APA PEDOMANMU DALAM BERIBADAH KEPADA ALLAH TA’ALA?

Abu Fathan | 18:52 | 0 comments
Seorang hamba wajib menghambakan dirinya kepada Allâh Ta’ala. Dalam proses menghambakan dan mendekatkan dirinya, atau lebih lazim dikenal dengan beribadah, kepada Rabbnya itu, ia tidak boleh berbuat dan melakukan sesukanya berdasarkan kata hati, perasaan, akal atau menurut kebanyakan orang.

Ada enam pedoman dalam beribadah[1] yang wajib diikuti oleh seorang Muslim dalam mengamalkan seluruh ibadahnya. Pedoman-pedoman tersebut adalah:

Pertama: Ibadah itu bersifat تَوْفِيْقِيَّة (tauqifiyyah, tidak ada ruang bagi akal di dalamnya).

Para hamba wajib untuk hanya patuh terhadap ketentuan pemegang hak syariat saja, Allâh Azza wa Jalla. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَمَنْ تَابَ مَعَكَ وَلَا تَطْغَوْا ۚ إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

“Maka, tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang-orang yang telah bertaubat bersamamu dan janganlah melampaui batas”[Hûd/11:112]

Bahkan Rasul kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun wajib tunduk patuh terhadap aturan yang Allâh gariskan kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَىٰ شَرِيعَةٍ مِنَ الْأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ

Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui [Al-Jâtsiyah/45:18]

Kedua: Ibadah harus dikerjakan dengan ikhlas karena Allâh Azza wa Jalla ,bersih dari noda-noda kesyirikan.

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

“Barang siapa mengharap pertemuan dengan Rabbnya, maka hendaknya ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Rabbnya” [Al-Kahfi/18:110].

Apabila ibadah terkontaminasi oleh unsur syirik dan tercampur dengannya, maka akan membatalkan dan membuyarkannya. Allâh Azza wa Jalla berfirman setelah menyebutkan 18 rasul:

وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Seandainya mereka mempersekutukan Allâh, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan [Al-An’âm/6:88]

Allâh Azza wa Jalla juga berfirman:

وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ ﴿٦٥﴾ بَلِ اللَّهَ فَاعْبُدْ وَكُنْ مِنَ الشَّاكِرِينَ

Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu, “Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orng yang merugi. Karena itu, maka hendaklah Allâh saja kamu ibadahi dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur”.[Az-Zumar/39:65-66]

Ketiga: Hendaknya teladan dalam ibadah dan insan yang menjelaskannya adalah Rasûlullâh Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allâh dan (kedatangan) Hari Kiamat dan dia banyak menyebut Allâh [Al-Ahzâb/33:21]

Tentang ayat di atas, Imam Ibnu Katsîr rahimahullah berkata, “Ayat ini merupakan kaedah besar tentang (keharusan) mengikuti Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam segala ucapan, perbuatan dan keadaannya”.

Perkara-perkara yang Allâh Azza wa Jalla cintai untuk dijadikan ritual ibadah oleh umat manusia kepada Rabbnya hanya diketahui oleh Rasûlullâh Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bertindak sebagai utusan Allâh Azza wa Jalla yang menjadi perantara antara Allâh Azza wa Jalla dan hamba-hamba-Nya.

Ayat di atas ( Al-Ahzâb/33:21) sebenarnya sering kali disampaikan dalam acara-acara peringatan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam acara peringatan yang tidak dibenarkan syariat Islam tersebut, memang penceramah juga menekankan untuk meneladani budi pekerti Rasulullah yang luhur semata. Sementara terkait urusan ibadah, jarang sekali atau tidak pernah disinggung bahwa kita pun wajib meneladani Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam melaksanakan ibadah.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah menekankan agar mengikuti tata cara ibadah yang Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ajarkan. Dalam tata cara shalat misalnya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِيْ أُصَلِّي

Kerjakanlah shalat oleh kalian sebagaimana kalian melihatku mengerjakan shalat [Muttafaqun ‘alaih]

Tentang haji, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

خُذُوْا عَنِّي مَنَاسِكَكُمْ

Ambillah dariku manasik haji kalian [Muttafaqun ‘alaih]

Di sisi lain, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan bahaya orang yang beribadah tanpa mengikuti petunjuk yang dibawa Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak berdasarkan petunjuk kami, maka akan tertolak [HR. Muslim]

Dalam riwayat lain:

مَنْ أَحْدَثَفِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa mengadakan perkara baru dalam urusan (agama) kami yang bukan darinya, maka akan tertolak [Muttafaqun ‘alaih]

Oleh sebab itu, orang-orang yang suka mengadakan perkara baru dalam urusan agama yang tidak pernah diajarkan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam perlu menjawab pertanyaan berikut, “Apakah mereka lebih tahu tentang syariat dari pada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ?!”. “Dan apakah mereka lebih paham tentang ajaran Islam dari pada para Shahabat yang mengambil ajaran agama langsung dari utusan Allâh, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ?!”

Empat: Ibadah itu diatur dengan waktu-waktu dan ketentuan-ketentuan yang tidak boleh dilanggar dan diabaikan.

Semisal ibadah shalat, Allah Azza wa Jalla berfirman:

إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا

Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. [An-Nisâ`/4:103].

Dalam haji, Allâh Azza wa Jalla berfirman:

الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ 

Musim haji itu adalah beberapa bulan yang dimaklumi. [Al-Baqarah/2:197]

Sedangkan tentang puasa, Allâh Azza wa Jalla berfirman:

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ ۚ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ 

(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur`an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa di bulan itu. [Al-Baqarah/2:185]

Kelima: Ibadah harus dibangun di atas mahabbah kepada Allâh Azza wa Jalla , dzull (kehinaan), al-khauf (rasa takut) ar-rajâ (pengharapan) kepada-Nya

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Katakanlah, “Jika kamu benar-benar mencintai Allâh, maka ikutilah aku, niscaya Allâh akan mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Allâh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang [Ali ‘Imrân/3:31]

Di sini, Allâh Azza wa Jalla menyebutkan tanda cinta kepada Allâh Azza wa Jalla dan dampak positifnya.Tandanya adalah mengikuti Rasûlullâh Muhammad. Adapun, buahnya ialah memperoleh cinta dari Allâh Azza wa Jalla, ampunan atas dosa-dosa dan rahmat dari-Nya.

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

أُولَٰئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَىٰ رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ ۚ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا

Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Rabb mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allâh) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan adzab-Nya. Sesungguhnya adzab Rabbmu adalah suatu yang (harus) di takuti.[Al-Isrâ`/17:57]

Keenam: Ibadah tidak akan pernah gugur dari seorang mukallaf sejak ia baligh hingga ajal datang menghentikan kehidupan dunianya.

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ

Dan beribadahlah kepada Allâh sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal) [Al-Hijr/15:99].

Sâlim bin ‘Abdillâh bin ‘Umar, Mujâhid, Qatâdah dan Ulama tafsir lainnya menyatakan bahwa maksud al-yaqîn dalam ayat adalah kematian.

Karena itu, Imam Ibnu Katsir rahimahullah dalam Tafsirnya (II/579) mengatakan, “Dari ayat ini disimpulkan bahwa ibadah seperti shalat dan ibadah lainnya, wajib dilakukan selamanya selama akal masih ada. Ia melakukannya sesuai dengan kondisi yang ia mampu”.

Kemudian beliau juga menilai sebagai bentuk kekufuran, kesesatan dan kebodohan kepada orang yang berpandangan seseorang akan bebas dari beban taklif (tidak dikenai kewajiban ibadah) bila telah sampai pada derajat ma’rifah. Beliau mengungkapkan fakta bahwa paran nabi dan shahabat-shabahat mereka adalah orang-orang yang paling mengenal Allâh dan mengetahui hak-hak dan sifat-sifat-Nya. Dan mereka adalah orang yang paling banyak beribadah dan istiqomah untuk melakukan amal kebaikan sampai wafat.

Wallâhua’lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XIX/1436H/2015.]
_______
Footnote
[1] DiadaptasidariHaqîqatu at-Tashawwuf, Syaikh Shâlih bin Fauzân bin ‘Abdullâh al-Fauzân hlm.9-13 dengan beberapa tambahan.

LIMA METODOLOGI YANG MENUNJANG TADABBUR Al-QUR’AN

Abu Fathan | 18:50 | 0 comments
Oleh DR. Kamal Qalami[1]

Allâh Azza wa Jalla telah menurunkan Kitab-Nya yang mulia kepada hamba-Nya sebagai petunjuk, rahmat, penerang, pembawa kabar gembira serta peringatan bagi siapa saja yang mau mengambil peringatan. Allâh Azza wa Jalla juga mengajak mereka untuk membaca dan mentadaburinya (merenunginya), sebagaimana Allâh Azza wa Jalla berfirman :

أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ ۚ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا

Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an? sekiranya al-Qur’an itu bukan dari sisi Allâh, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. [An-Nisâ’/4:82]

Dalam ayat lain Allâh Azza wa Jalla berfirman:

أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَىٰ قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا

Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci? [Muhammad/47:24]

Allâh Azza wa Jalla juga menginformasikan bahwa Dia telah menurunkan al-Qur’an sebagai sarana untuk merenungi tanda-tanda kebesaran Allâh Azza wa Jalla , sebagaimana firman-Nya :

كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ

Ini adalah sebuah Kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatNya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran. [Shâd/38:29]

Allâh Subhanahu wa Ta’ala juga telah menjelaskan bahwa salah faktor yang menyebabkan sesatnya seseorang dari jalan lurus adalah lantaran meraka tidak mentadaburi al-Qur’an dan tidak mau mendengarnya, sebagaimana Allâh Azza wa Jalla berfirman:

قَدْ كَانَتْ آيَاتِي تُتْلَىٰ عَلَيْكُمْ فَكُنْتُمْ عَلَىٰ أَعْقَابِكُمْ تَنْكِصُونَ ﴿٦٦﴾ مُسْتَكْبِرِينَ بِهِ سَامِرًا تَهْجُرُونَ ﴿٦٧﴾ أَفَلَمْ يَدَّبَّرُوا الْقَوْلَ أَمْ جَاءَهُمْ مَا لَمْ يَأْتِ آبَاءَهُمُ الْأَوَّلِينَ

Sesungguhnya ayat-ayat-Ku (al-Qur’an) selalu dibacakan kepada kamu sekalian, Maka kamu selalu berpaling ke belakang, dengan menyombongkan diri terhadap al-Qur’an itu dan mengucapkan perkataan-perkataan keji terhadapnya di waktu kamu bercakap-cakap di malam hari. Maka apakah mereka tidak memperhatikan perkataan (Kami), atau apakah telah datang kepada mereka apa yang tidak pernah datang kepada nenek moyang mereka dahulu? [al-Mu’minûn/23: 66-68]

Allâh Azza wa Jalla telah menjelaskan keagungan dan pengaruh kuat al-Qur’an, yaitu seandainya al-Qur’an ini diturunkan kepada gunung besar niscaya gunung tersebut akan tunduk dan terpecah belah lantaran ketakutannya kepada Allâh Azza wa Jalla . Allâh Azza wa Jalla berfirman:

لَوْ أَنْزَلْنَا هَٰذَا الْقُرْآنَ عَلَىٰ جَبَلٍ لَرَأَيْتَهُ خَاشِعًا مُتَصَدِّعًا مِنْ خَشْيَةِ اللَّهِ ۚ وَتِلْكَ الْأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ

Kalau sekiranya Kami turunkan al-Qur’an ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan ketakutannya kepada Allâh. dan perumpamaan-perumpamaan itu kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir. [Al-Hasyr/59:21]

Imam al-Qurthubi rahimahullah dalam mentafsirkan ayat di atas menyampaikan, “Dengan ayat ini, Allâh Azza wa Jalla mengajak untuk mentadaburi petuah-petuah al-Qur’an. Allâh Azza wa Jalla juga menjelaskan bahwa tidak ada alasan dalam meninggalkan tadabur tersebut, karena sekiranya al-Qur’an ditujukan kepadan gunung niscaya gunung tersebut akan patuh dengan petuah-petuahnya, dan gunung tersebut akan tunduk terpecah belah sekalipun ia teramat kokoh dan kuat.”[2]

Ini adalah sebagian kemuliaan kitab al-Qur’an, maka sudah selayakanya bagi setiap Muslim untuk memuliakan, membaca, mentadaburi, serta memahami dan merenungi kandungan ayat-ayatnya sebagaimana mestinya. Ibnu Quddâmah rahimahullah menerangkan perihal al-Qur’an, “Hendaklah orang yang membacanya menyadari bahwa apa yang ia baca bukan perkataan manusia. Hendaknya ia menyadari keagungan Allâh yang memiliki perkataan itu serta merenungi firman-Nya itu. Karena mentadabburi (merenungi) merupakan tujuan dari membaca al-Qur’an. Jika ia tidak bisa menghayati dan merenunginya kecuali dengan mengulang-ulang ayat, maka hendaklah ia membacanya berulang kali!’[3]

Imam ibn al-Qayyim rahimahullah menegaskan, “Tidak ada sesuatu yang lebih bermanfaat bagi hati bila dibandingkan dengan membaca al-Qur’an disertai tadabbur dan tafakur (memahami dan merenungi maknanya). … itulah yang menumbuhkan rasa cinta, rindu, optimisme, keinginan untuk taubat, tawakal, ridha, berserah diri, sabar, dan semua yang membuat hati seseorang menjadi hidup dan sempurna. Itu juga bisa mencegah seseorang dari seluruh sifat dan perbuatan tercela yang menyebabkan hati menjadi rusak dan binasa. Sekiranya umat manusia itu mengetahui keutamaan yang terdapat dalam membaca al-Qur’an dengan disertai tadabbur (perenungan terhadap makna-maknanya) tentu mereka telah menyibukkan diri mereka dengannya dan meninggalkan semua aktifitas lainnya. Apabila ia membaca disertai tafakur lalu dia mendapati satu ayat yang dia butuhkan untuk mengobati hatinya, dia akan mengulanginya meskipun sampai seratus kali di sepanjang malam. Membaca satu ayat disertai tafakkur (merenunginya) lebih baik daripada mengkhatamkannya tanpa disertai tadabbur dan pemahaman, dan lebih bermanfaat bagi hati, lebih bisa menghantarkan kepada keimanan dan meraih manisnya al-Qur’an.” [4]

Jadi, mentadabburi al-Qur’an adalah maksud dan tujuan utama dalam membaca al-Qur’an. Seyogyanya, seorang Muslim harus berusaha untuk melakukannya dengan maksimal. Para Ulama pun telah banyak menjelaskan berbagai metoda yang bisa membantu pembaca al-Qur’an dalam merealisasikan tujuan dan maksud mulia tersebut dengan seizin Allâh Azza wa Jalla . Sekedar mengingatkan para pembaca, akan disebutkan beberapa metoda tersebut dengan berharap kepada Allâh Azza wa Jalla semoga bisa memberikan manfaat bagi kita semua.

Faktor-faktor yang menunjang keberhasilan dalam mentadabburi al-Qur’an adalah sebagai berikut:
Memahami Makna-Makna Al-Qur’an Dan Kandungan Isinya

Ini bisa dilakukan dengan membaca kitab-kitab tafsir al-Qur’an ringkas, seperti kitab Taisîr al-Karîm ar-Rahman Fi Tafsîr Kalâm al-Mannân karya Syaikh Abdurrahaman Sa’di rahimahullah dan kitab al-Misbâh al-Munîr fi Tahdzîb Tafsîr Ibnu Katsîr yang sudah dicetak dengan kata pengantar Syaikh Shafiyyu ar-Rahman al-Mubârakfûri.

Jika tidak memahami, maka tidak mungkin bisa mentadabburi sebuah perkataan tanpa memahami maknanya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menuturkan, “Mentadabburi al-Qur’an tanpa memahami maknanya adalah hal yang tidak mungkin. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ

Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa al-Qur’an dengan berbahasa arab, agar kamu memahaminya. [5]

Mengerti sebuah perkataan artinya adalah memahaminya. Dan sebagaimana sudah diketahui bersama bahwa maksud dari (diucapkannya-red) semua perkataan adalah agar dipahami makna-maknanya dan bukan sekadar (pengucapan-red) lafazh-lafazhnya saja. Jika begini faktanya, maka al-Qur’an lebih utama untuk dipahami.”[6]

Hal senada diungkapkan oleh al-Qhadhi Iyas rahimahullah, “Orang-orang yang membaca al-Qur’an tanpa memahami tafsirnya ibarat satu kaum yang mendapatkan surat dari raja mereka di malam yang gelap sementara mereka tidak memiliki lampu penerangan, sehingga timbul rasa takut namun mereka tidak tahu isi surat itu. Sedangkan orang yang membaca dengan memahami tafsir al-Qur’an ibarat seseorang yang membawakan kepada mereka lampu penerangan sehingga mereka bisa membaca isi surat tersebut.”[7]
Membaca Al-Qur’an Dengan Perlahan

Membaca al-Qur’an dengan perlahan akan lebih membantu dan lebih memotivasi seseorang dalam memahami dan merenungi isi kandungan al-Qur’an. Allâh Azza wa Jalla menegaskan dengan firman-Nya :

وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلًا

Dan bacalah al-Qur’an itu dengan perlahan-lahan [Muzammil/73:4]

Ketika menafsirkan ayat ini, Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Maksudnya, bacalah al-Qur’an dengan perlahan! Karena hal itu akan lebih membantu dalam memahami dan merenunginya. Begitulah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu membaca al-Qur’an. ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma berkata, ‘Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca al-Qur’an dengan tartil.” [8]

Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu menjawab ketika ditanya perihal bacaan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Bacaan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam panjang.” Kemudian Anas bin Malik membaca Bismillâhir Rahmânir Rahîm dan beliau Radhiyallahu anhu, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanjangkan Allâh, ar-Rahmân dan ar-Rahîm”. [9]

Dari Hudzaifah Radhiyallahu anhu, ia mengatakan:

صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ فَافْتَتَحَ الْبَقَرَةَ فَقُلْتُ يَرْكَعُ عِنْدَ الْمِائَةِ ثُمَّ مَضَى فَقُلْتُ يُصَلِّي بِهَا فِي رَكْعَةٍ فَمَضَى فَقُلْتُ يَرْكَعُ بِهَا ثُمَّ افْتَتَحَ النِّسَاءَ فَقَرَأَهَا ثُمَّ افْتَتَحَ آلَ عِمْرَانَ فَقَرَأَهَا يَقْرَأُ مُتَرَسِّلًا إِذَا مَرَّ بِآيَةٍ فِيهَا تَسْبِيحٌ سَبَّحَ وَإِذَا مَرَّ بِسُؤَالٍ سَأَلَ وَإِذَا مَرَّ بِتَعَوُّذٍ تَعَوَّذَ

Saya pernah shalat bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu malam. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai dengan membaca surat al-Baqarah, lalu saya katakan (dalam hati), ’Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan ruku’ pada ayat keseratus.’ Namun ternyata Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam lewati. Saya katakan, ‘Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan baca surat ini seluruhnya dalam satu rakaat.’ Namun ternyata Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam lewati. Aku katakan, ‘Beliau akan ruku’ (namun ternyata tidak-red), kemudian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai membaca surat an-Nisâ’ sampai selesai lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai membaca surat Ali Imran sampai selesai. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membacanya dengan perlahan-lahan, tidak tergesa-gesa. Apabila Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat yang terdapat (perintah-red) bertasbih, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berhenti dan mengucapkan tasbîh. Apabila Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat yang ada (perintah-red) memohon, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memohon, dan bila melewati ayat yang ada (perinath-red) ta’âwwudz, Beliau membaca ta’âwwudz’. [10]

Imam abu al-Abbas al-Qurtubi mengatakan, “Maksud dari perkataan Ibnu Hudzifah, membaca dengan mutarassilan dalam hadist di atas adalah membaca dengan pelan dan tidak tergesa-gesa. Kata itu diambil dari kata ‘ala rislik (عَلَى رِسْلِكَ) yang berarti santai dan perlahanlah.” [11]

Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhuma pernah mengingkari Nuhaik bin Sinan saat dia berkata kepadanya, “Sesungguhnya aku membaca Mufasshal[12] dalam satu rakaat.” Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu anhuma berkata kepada orang tersebut:

هَذًّا كَهَذِّ الشِّعْرِ إِنَّ أَقْوَامًا يَقْرَؤُوْنَ الْقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ وَلَكِنْ إِذَا وَقَعَ فِي الْقَلْبِ فَرَسَخَ فِيْهِ نَفْعٌ

Bacaanmu secepat membaca syair saja (beliau mengingkari bacaan orang tersebut yang begitu cepat). Sesunguhnya suatu kaum membaca al-Qur’an, namun bacaan mereka tidak bisa melewati kerongkongan mereka. Andai saja bacaan mereka merasuk ke dalam jiwa mereka, niscaya itu akan bermanfaat.”[13]

Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhuma juga berkata, “Janganlah kalian membaca al-Qur’an (dengan cepat) sebagaimana kurma kering berjatuhan[14], dan jangan pula kalian membacanya seperti membaca syair! Berhentilah di setiap keajaibannya dan gerakkan hati-hati manusia dengannya, serta janganlah perhatian kalian hanya fokus pada akhir surat saja.”[15]

Dari Abi Jamrah ad-Dhaba’i rahimahullah berkata, “Aku pernah berkata kepada Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhuma , ‘Aku ini orang yang terbiasa membaca dengan cepat. Bolehkah aku membacanya dengan cepat?’ Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhuma menjawab, “Demi Allâh! Aku membaca surat al-Baqarah dengan tartil sambil merenungkan maknanya lebih aku sukai daripada membacanya dengan cepat.”[16]
Memperbagus Suara Ketika Membaca Al-Qur’an

Ini termasuk salah satu sarana terbaik yang bisa membantu seseorang untuk mentadabburi al-Qur’an dan juga untuk menghadirkan kekhusyu’an dan ketudunkan. Dan tabiat jiwa yang masih bersih pasti senang mendengar bacaan al-Qur’an yang dilantunkan oleh orang yang pandai membacanya dan memiliki suara yang bagus.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendengarkan bacaan Abi Musa al-Asy’ari pada suatu malam, paginya Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya engkau melihatku ketika aku mendengarkan bacaan al-Qur’anmu tadi malam. Sungguh engkau telah diberi salah satu seruling keluarga Daud.” Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Ibnu Hibban dan beliau membawakan tambahan, yaitu perkataan Abu Musa, “Aku berkata, “Wahai Rasûlullâh! Seandainya aku mengetahui posisi engkau saat mendengarkan bacaanku, maka sungguh aku akan lebih memperbagus lagi bacaanku untuk engkau.”[17]

Al-Qamah bin Qais berkata, “Saya adalah orang yang telah dikaruniai oleh Allâh Azza wa Jalla suara merdu dalam melantunkan al-Qur’an, terkadang Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu mengutus seseorang kepadaku, aku pun membacakan al-Qur’an untuknya. Setiap kali aku selesai membaca, dia selalu berkata, “Tambah lagi bacaannya..! karena aku pernah mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

حُسْنُ الصَّوْتِ زِيْنَةُ الْقُرْآنِ

Suara merdu adalah hiasan al-Qur’an [18]

Suara merdu memiliki tempat tersendiri dalam hati manusia serta memiliki pengaruh dalam melembutkan hati. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memotivasi umatnya agar memperindah dan memperbagus suara mereka ketika membaca al-Qur’an dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan siapa saja yang meninggalkannya, sebagaimana Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

زَيِّنُوْا الْقُرْآنَ بِأَصْوَاتِكُمْ

Hiasilah al-Qur’an dengan suara-suara kalian[19]

لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَتَغَنَّ بِالْقُرْآنِ

Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak memperbagus suaranya ketika membaca al-Qur’an.[20]

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Para Ulama dari zaman dahulu dan sekarang, baik dari kalangan Sahabat, Tabi’in maupun para Ulama dan imam kaum Muslimin setelah mereka telah bersepakat tentang disunahkannya memperbagus suara ketika membaca al-Qur’an. Perkataan dan amalan mereka sangat mashur dalam masalah ini, sehingga kita tidak perlu menukilkan riwayat dari masing-masing individu. Dalil-dalil dari hadist Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam masalah ini juga sudah masyhur baik dikalangan Ulama maupun awam.”[21]
Mengulang-Ulang Bacaan

Salah satu faktor yang bisa membantu seseorang dalam merenungi makna al-Qur’an dan agar bisa merasakan keindahannya yaitu dia berhenti pada ayat-ayat yang menggugahnya, mengulangnya beberapa kali dan tidak melewatinya begitu saja. Dia memperhatikannya berulang kali sambil terus memikirkannya, terutama saat pikirannya sedang tenang tidak tersibukkan dengan perkara dunia dan penghalang-penghalang lainnya. Keadaan seperti ini biasanya jarang didapatkan kecuali ketika gelapnya malam tengah menyelimuti dunia. Oleh sebab itu, ketika menjelaskan firman Allah Azza wa Jalla :

إِنَّ نَاشِئَةَ اللَّيْلِ هِيَ أَشَدُّ وَطْئًا وَأَقْوَمُ قِيلًا

Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyuk) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan. [Muzammil/73:6]

Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhu mengatakan, “Wa aqwamu qîla, maknanya adalah waktu terbaik untuk memahami al-Qur’an.”[22]

Sebagian Ulama salaf ada menunaikan shalat Tahajjud dengan membaca satu ayat sampai terbit fajar. Dan ini mereka lakukan karena mencontoh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Diriwayatkan dari Abu Dzarr Radhiyallahu anhu [23], dia mengatakan, ”Nabi pernah bangun (shalat malam) membaca satu ayat sampai pagi. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengulang-ulanginya. Ayat tersebut adalah :

إِنْ تُعَذِّبْهُمْ فَإِنَّهُمْ عِبَادُكَ ۖ وَإِنْ تَغْفِرْ لَهُمْ فَإِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau, dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. [Al-Mâidah/5:118]

Shafwan bin Sulaim rahimahullah mengisahkan bahwa Tamim ad-Dâri Radhiyallahu anhu setelah mengerjakan shalat Isya di masjid, beliau berdiri melakukan shalat. Kemudian beliau membaca ayat:

تَلْفَحُ وُجُوهَهُمُ النَّارُ وَهُمْ فِيهَا كَالِحُونَ

Muka mereka dibakar api neraka, dan mereka di dalam neraka itu dalam keadaan cacat [al-Mukminûn/23:104]

Tamim tidak bisa meninggalkan ayat tersebut sampai terdengar adzan shalat Shubuh. (Diriwayatkan oleh Abnu Abi ad-Dunya dalam kitab at-Tahajjud wa Qiyâmul Lail, hlm. 50 dengan sanad yang hasan)

Diriwayatkan dari ‘Abbâd bin ‘Abdillah bin az-Zubair Radhiyallahu anhu , dia berkata, “Asma’ binti Abu Bakr Radhiyallahu anhuma membuka shalatnya dengan surat ath-Thûr. Ketika sampai pada ayat :

فَمَنَّ اللَّهُ عَلَيْنَا وَوَقَانَا عَذَابَ السَّمُومِ

Maka Allâh memberikan karunia kepada kami dan memelihara kami dari adzab neraka [Ath-Thûr/52:27]

Saya pergi ke pasar untuk suatu keperluan. Setelah selesai membeli keperluan-keperluan, saya kembali lagi padanya dan dia masih mengulang-ulang ayat tersebut.”

Dia bertutur, “Dan Asma’ ketika itu dalam keadaan shalat.”[24]

Dari al-Qâsim bin Abi Ayyub berkata, “Aku pernah mendengar Sa’id bin Jubair mengulang-ulang ayat ini lebih dari dua puluh kali:[25]

وَاتَّقُوا يَوْمًا تُرْجَعُونَ فِيهِ إِلَى اللَّهِ ۖ ثُمَّ تُوَفَّىٰ كُلُّ نَفْسٍ مَا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ

Dan peliharalah dirimu dari (adzab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allâh. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan) [Al-Baqarah/2:281]

Dari ‘Abdurrahman bin ‘Ajlân, dia mengatakan, “Pada suatu malam, saya bermalam di kediaman ar-Rabi’ bin Khutsaim. Dia bangun shalat malam, tatkala dia melawati ayat :

أَمْ حَسِبَ الَّذِينَ اجْتَرَحُوا السَّيِّئَاتِ أَنْ نَجْعَلَهُمْ كَالَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ سَوَاءً مَحْيَاهُمْ وَمَمَاتُهُمْ ۚ سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ

Apakah orang-orang yang membuat kejahatan itu menyangka bahwa Kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh, yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka? amat buruklah apa yang mereka sangka itu. [al-Jâtsiyat/45: 21]

Dia berdiri di malam itu sampai tiba waktu shalat Shubuh sambil menangis dan tidak bisa melewati ayat itu ke ayat yang lain.[26]

Dari Nu’aim bin Hammâd rahimahullah berkata, “Seorang berkata kepada Ibnul Mubârak rahimahullah, ‘Aku membaca semua al-Qur’an semalam dalam satu raka’at.’ Ibnul Mubârak rahimahullah berkata, “Akan tetapi aku mengetahui seseorang selama satu malam terus membaca ayat :

أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ

Bermegah-megahan telah melalaikan kamu [At-Takâtsur/102:1]

Dia terus membacanya sampai pagi, tanpa sanggup melewati ayat tersebut – maksudnya dia sendiri[27]

Banyak riwayat lain dari para Ulama salaf berkenaan dengan masalah ini. Beberapa diantara riwayat tersebut telah diriwayatkan oleh Imam Muhammad bin Nashr al-Marûzi rahimahullah dalam kitab Qiyâmul Lail[28] dengan memberikan judul pembahasan, “Orang yang sedang shalat mengulang-ulang bacaan ayat beberapa kali untuk merenungi kandungannya.” Imam Nawawi rahimahullah juga membuat sebuah pembahasan dalam kitabnya at-Tibyân fi Adâbi Hamalati al-Qur’an, dia mengatakan, “Pembahasan tentang sunnahnya mengulang-ulang ayat untuk merenunginya”, dan beliau rahimahullah menyampaikan bahwa ada sebagian Ulama salaf yang membaca satu ayat, mereka mentadaburi dan mengulang-ulangnya sampai waktu Shubuh tiba.”[29]

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Begitulah kebiasaan para Ulama salaf, diantara mereka ada yang mengulang-ulang satu ayat sampai pagi.”[30]
Berdoa Sesuai Kandungan Makna 

Diantara faktor yang sangat membantu seseorang yang sedang membaca al-Qur’an untuk mentadabur dan memahami al-Qur’an adalah dengan menghadirkan perasaan bahwa al-Qur’an merupakan firman Allâh Azza wa Jalla yang ditujukan kepadanya. Dengan demikian, dia akan hidup bersama al-Qur’an dan akan terpengaruh dengan firman-firman Allâh Azza wa Jalla . Jika dia melewati ayat yang menggambarkan surga dan keindahannya, dia akan memohon kepada Allâh Azza wa Jalla ridha dan karunia-Nya. Jika dia melewati ayat-ayat tentang siksa neraka, dia memohon kepada Allâh Azza wa Jalla agar melindunginya dari siksa neraka. Jika dia melewati ayat-ayat yang berisi tentang pengagungan dan tasbih kepada Allâh Azza wa Jalla , dia bertasbih dan mengagungkan Allâh Azza wa Jalla , dan begitu seterusnya.

Al-Imam al-Hâfidz as-Suyuthi rahimahullah berkata dalam kitab al-Itqân, “Disunnahkan membaca al-Qur’an sambil merenungi dan berusaha memahami. Itulah tujuan teragung dan yang peling penting dari membaca al-Qur’an. Dengan sebab itu, dadanya akan menjadi lapang dan hati akan tersinari (dengan hidayah-red). Allâh Azza wa Jalla berfirman :

كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ

Ini adalah sebuah Kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatNya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran. [Shâd/38:29]

Allâh Azza wa Jalla juga berfirman dalam ayat lain :

أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ ۚ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا

Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an? sekiranya al-Qur’an itu bukan dari sisi Allâh, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. [An-Nisâ’/4:82]

Caranya yaitu dengan mengkonsentrasikan hati dalam memikirkan makna ayat yang sedang dibacanya. Sehingga dia bisa mengetahui makna setiap ayat, merenungi perintah dan larangannya sambil meyakini bahwa semua yang dia lakukan itu diterima oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Jika dia mendapati kekurangan dirinya pada masa-masa lalu, maka dia memohon maaf dan beristighfar. Disaat melewati ayat tentang rahmat dan kasih sayang Allâh Azza wa Jalla , dia merasa senang lalu memohon kepada rahmat kepada Allâh Azza wa Jalla. Disaat melewati ayat tentang siksa, dia merasa takut lalu memohon perlindungan kepada Allâh Azza wa Jalla . Disaat melewati ayat tentang pengagungan Allâh Azza wa Jalla , dia mengagungkan dan memulikan-Nya. Disaat melewati tentang doa, dia bergegas memohon kepada Allâh Azza wa Jalla dengan penuh tunduk dan khusyu’.

Imam Muslim meriwayatkan hadits dari Khudzaifah Radhiyallahu anhu , dia mengatakan:

صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ فَافْتَتَحَ الْبَقَرَةَ فَقَرَأَهَا ثُمَّ النِّسَاءَ فَقَرَأَهَا ثُمَّ آلَ عِمْرَانَ فَقَرَأَهَا يَقْرَأُ مُتَرَسِّلًا إِذَا مَرَّ بِآيَةٍ فِيهَا تَسْبِيحٌ سَبَّحَ وَإِذَا مَرَّ بِسُؤَالٍ سَأَلَ وَإِذَا مَرَّ بِتَعَوُّذٍ تَعَوَّذَ

Saya pernah shalat bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu malam. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai dengan membaca surat al-Baqarah sampai selesai, kemudian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melanjutkan dengan membaca surat an-Nisâ’ sampai selesai lalu surat Ali Imran sampai selesai. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membacanya dengan perlahan-lahan, tidak tergesa-gesa. Apabila Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat yang terdapat (perintah-red) bertasbih, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berhenti dan mengucapkan tasbîh. Apabila Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat yang ada (perintah-red) memohon, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memohon, dan bila melewati ayat yang ada (perinath-red) ta’âwwudRadhiyallahu anhu, Beliau membaca ta’âwwudRadhiyallahu anhu’.

Dari Auf bin Malik Radhiyallahu anhu , “Saya berdiri shalat bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri lalu membaca surat al-Baqarah. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melewati ayat tentang rahmat (kasih sayang) Allah Azza wa Jalla , kecuali Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berhenti sejenak lalu memohon rahmat (kasih sayang). Dan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melewati ayat tentang siksa, kecuali Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berhenti sejenak dan memohon perlindungan dari adzab Allah Azza wa Jalla .”

Inilah beberapa faktor yang bisa membantu orang yang membaca al-Qur’an untuk mentadaburi dan mengambil manfaat al-Qur’an sambil memperhatikan hukum dan adab-adab membaca al-Qur’an yang telah dijelaskan oleh para Ulama. Kemudian, hendaknya diketahui bahwa tujuan utama dalam mentadabburi al-Qur’an adalah agar membuahkan hasil yang diharapkan serta benar-benar bisa merealisasikan misi diturunkannya al-Qur’an. Yaitu membenarkan berita dan kisahnya, melaksanakan perintah dan meninggalkan larangannya serta tidak melanggar batasan-batasannya. Itulah maksud dari haqqut tilawah yang disebutkan oleh Allah Azza wa Jalla dalam al-Quran sebagai bentuk pujian kepada para hamba-Nya. Allâh Azza wa Jalla barfirman :

الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلَاوَتِهِ أُولَٰئِكَ يُؤْمِنُونَ بِهِ ۗ وَمَنْ يَكْفُرْ بِهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ

Orang-orang yang telah Kami berikan al-Kitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya, mereka itu beriman kepadanya. dan barangsiapa yang ingkar kepadanya, Maka mereka Itulah orang-orang yang rugi. [Al-Baqarah/2:121]

Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma berkata, “Mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya, maknanya adalah mereka menghalalkan yang dihalalkan dan mengharam yang haram serta tidak menyelewengkannya dari tempat semestinya.”[31]

Mujahid rahimahullah mengatakan, “Mereka mengamalkannya dengan sebenar-benarnya”. [32]

Demikianlah contoh dari para Ulama salaf dalam bermuamalah dengan al-Qur’an. Mereka menggabungkan antara ilmu dan amal, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu anhuma, “Seorang dari kami jika belajar sepuluh ayat, maka dia tidak akan melewatinya sebelum memahami makna dan mengamalkannya”.[33]

Dari Abu Abdurrahman as-Sulami rahimahullah, dia berkata, “Sungguh kami telah mengambil al-Qur’an dari kaum yang bercerita kepada kami bahwa jika mereka telah belajar sepuluh ayat, maka mereka tidak akan melewatinya atau melanjukannya ke sepuluh ayat berikutnya sampai mereka bisa mengamalkannya sepuluh ayat tersebut. Jadi kami mempelajari al-Qur’an sekaligus mengamalkannya.”[34]

Imam Hasan al-Bashri merasa sedih melihat orang-orang pada masa beliau rahimahullah yang hafal ayat-ayat al-Qur’an namun mereka meninggalkan hukum-hukumnya dan sama sekali al-Qur’an tidak memberikan bekas dalam amal serta tingkah laku mereka. Beliau rahimahullah mengatakan, “Sungguh, al-Qur’an ini telah dibaca oleh para budak sahaya dan anak kecil. Mereka tidak tidak mengerti tafsirnya. Sesungguhnya orang yang paling berhak terhadap al-Qur’an ini adalah orang yang memperaktikkan al-Qur’an itu dalam perbuatannya. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ

Ini adalah sebuah Kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatNya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran. [Shâd/38:29]

Mentadabburi ayatnya, maknanya adalah mengikutinya dengan amal perbuatan. Demi Allâh! Tadabbur itu bukan hanya sekedar menghafal huruf-hurufnya namun meninggalkan hukum-hukum (yang terkandung pada) nya. Diantara mereka ada yang mengatakan, “Sungguh saya telah membaca seluruh al-Qur’an dan tak ada satu huruf pun yang luput dariku.” Padahal, demi Allâh! Orang itu telah menggugurkan seluruh al-Qur’an karena al-Qur’an tidak terlihat bekasnya dan tidak terlihat pengaruhnya pada akhlak dan amalnya.”[35]

Itu di zaman beliau rahimahullah, lalu bagaimana dengan masyarakat di zaman kita?! Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan.

Akhirnya, kami akhiri tulisan ini dengan untaian nasihat yang sangat menyentuh dari Imam al-Âjurri rahimahullah yang mengingatkan tentang keutamaan dan pentingnya tadabbur al-Qur’an. Imam al-Âjurri rahimahullah berkata, “Allâh Azza wa Jalla mengajak makhluk-Nya untuk merenungi al-Qur’an melalui firman-Nya :

أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَىٰ قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا

Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci? [Muhammad/47:24]

أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ ۚ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا

Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an? sekiranya al-Qur’an itu bukan dari sisi Allâh, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. [An-Nisâ’/4:82]

Tidakkah kalian perhatikan (semoga Allâh Azza wa Jalla merahmati kalian), bagaimana Allâh Azza wa Jalla Rabb kalian yang Mahamulia mengajak para hamba-Nya untuk mentadabburi firman-Nya? Barangsiapa merenungi firman-Nya, niscaya dia akan mengenal Rabb-nya, dia akan mengetahui keagungan kerajaan dan kekuasaan-Nya, dia akan menyadari betapa besar karunia yang diberikan kepada orang-orang yang beriman. Dia juga akan mengetahui ibadah yang diwajibkan kepadanya, sehingga ia bisa mewajibkan dirinya untuk melakukan yang dan menjauhi segala hal yang dilarang oleh Rabb mereka yang Mahamulia. Dia akan mencintai segala hal yang disuruh oleh Allâh Azza wa Jalla untuk dicintai. Barangsiapa memiliki sifat seperti itu ketika membaca al-Qur’an dan ketika mendengarnya dari orang lain, maka al-Qur’an merupakan obat baginya, sehingga dia akan merasa kaya walaupun tidak memiliki harta, dia akan merasa mulia walaupun tidak memiliki keluarga, ia akan merasa nyaman dengan apa yang orang lain takuti. Ketika membaca surat dalam al-Qur’an, fokus pikirannya adalah kapan saya dapat mengambil pelajaran dari apa yang saya baca ini? Bukan, kapan saya dapat menyelesaikan bacaan surat ini? Keinginannya adalah kapan saya dapat memahami firman Allâh Azza wa Jalla ini? Kapan saya bisa mengambil pelajaran dari peringatannya? Kapan saya bisa mengambil pelajaran? Kerana membaca al-Qur’an adalah ibadah dan ibadah tidak bisa dilakukan dalam keadaan hati lalai. Hanya Allâh Subhanahu wa Ta’ala yang dapat memberi pertolongan.”[36]

Kami bermohon kepada Allâh Azza wa Jalla dengan wasilah Nama-nama dan Sifat-Nya yang Mahamulia, agar menjadikan al-Qur’an yang agung ini sebagai pelipur hati kita, pembebas sedih kita dan penyembuh penyakit yang bersarang di dada kita.

Semoga Allâh Azza wa Jalla menjadikan kita semua ahli al-Qur¦an yang senantiasa membacanya, siang dan malam serta menjadikan kita semua termasuk orang-orang yang senantiasa mengamalkan isinya, mengimani kandungannya, memperhatikan huruf dan hukum-hukumnya sesuai dengan apa yang diridhai-Nya.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XIX/1436H/2015.]
_______
Footnote
[1] Diangkat dari majalah al-Ishlâh, ed. 38

[2] Al-Jâmi’ li Ahkâmi al-Qur’ân, 20/388

[3] Mukhtashar Minhaju al-Qoshidin : 57

[4] Miftah Daar as-Sa’adah : 1/535

[5] QS. Yusuf/12 : 2

[6] Muqaddimanfi Ushulit Tafsir, hlm. 75. lihat Majmu’ Fatawa, 13/332

[7] DIbawakan oleh al-Qurthubi dalam tafsir beliau, 1/26

[8] HR. Imam Mâlik t dalam Muwattha’, 309 dan Imam Muslim dalam Shahihnya, 733

[9] HR. Imam Al-Bukhâri, 5046

[10] HR. Muslim, 772

[11] Al-Mufham Li Asykâl Min Talkhish Kitab Muslim : 2/405

[12] Bagian Al-Qur’an mulai surat Qaf sampai an-Nas

[13] HR. Imam al-Bukhâri, 775 dan Muslim, 822

[14] Maksudnya, sebagaimana kurma berjatuhan ketika pohonnya digoncang

[15] HR. Al-Ajurri dalam kitab Akhlaq Hamalati al-Quran, hlm. 1

[16] HR. Ibn Dhurais dalam kitab Fadhâilil Qur’ân, 32

[17] HR. Muslim, no. 793 dan Ibnu Hibban dalam Shahih, no. 7197

[18] HR. At-Thabrani dengan sanad yang hasan dalam kitab al-Mu’jamu al-Kabîr, 10/82. Lihat as-Silsilah as-Shahihah, no.1815

[19] HR. Imam Ahmad, 18494; Abu Dawud, 1468; An-Nasa’i dalam kitab al-Kubra, 1088; Ibnu Mâjah, 1342 dan al-Hakim, 1/571-572.

[20] HR. Imam al-Bukhâri dalam Shahihnya, no. 7527 dari hadist Abu Hurairah Radhiyallahu anhu

[21] At-Tibyân fi Adâbi Hamalatil Qur’an, hlm. 109

[22] Diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, no. 1304 dan hadits ini dinilai hasan oleh syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud, no. 1177

[23] HR. An-Nasâ’I, no. 1010; Ibnu Majah, no. 1350; Ahmad, no. 21328; Ibnu Khuzaimah, no. 120 dan al-Hakim, 1/241 dan beliau menilai hadits ini shahih

[24] Fadhâil al-Qur’ân : 159, Diriwiyatkan oleh Abu ‘Abdillah al-Qâsim bin Sallam dengan sanad la ba’sa bih.

[25] Fadhâil al-Qur’ân 160, Diriwiyatkan oleh abu ‘Ubaid dengan sanad yang para periwayatnya tsiqah.

[26] Zawaid az-Zuhd : 1925 dan al-Hilyah : 2/112, Diriwiyatkan oleh Imam Ahmad dengan sanad yang baik.

[27] Diriwayatkan oleh Abu Bakr ad-Dînawari dalam al-Mujâlasatu wa Jawâhirul ilmi, 1232 dan Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasq

[28] Lihat Mukhtashar Qiyamu al-Lail karya Ahmad bkn ‘Ali al-Maqriri : 148-151.

[29] At-Tibyân, hlm. 85

[30] Miftâhu Dâru as-Sa’âdah, 1/535

[31] Diriwayatkan oleh Abi Hâtim dalam Tafsirnya : 1/319, Ibnu Jarir dalam Jâmi’ al-Bayân, 2/188, dan al-Hakim dalam al-Mustadrak, 2/266.

[32] Diriwayatkan oleh Ibn Jarir dalam Jâmi’ al-Bayân, 2/490, dan Al-Ajurri dalam Akhlâq Hamalati al-Qur’ân, hlm. 5

[33] Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam Jâmi’ al-Bayân :1 /74 dan al-Hakim dalam al-Mustadrak, 1/743.

[34] Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad, no. 23482, dan Ibnu Sa’ad dalam Thabaqat al-Qubra, 6/172, Ibn Jarir dalam Jâmi’ al-Bayân, 1 /74 dan dikatakan hasan sanadnya oleh Imam Ahmad Syakir dalam Ta’lîq ‘Ala Jâmi’ al-Bayân, 1/80

[35] Dibawakan oleh Abdurrazaq dalam al-Mushannaf, 3/364; Ibnul Mubarak dalam az-Zuhd, hlm. 793; Said bin Manshur dalam Sunannya; al-Ajurri dalam Akhlaqu Hamalatil Qur’an, Hlm. 34; dan al-Baihaqi dalam Syu’abul Imân, 4/209

[36] Akhlaqu Hamalatil Qur’an, 2
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. BERITA SUNNAH - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger