Oleh DR. Kamal Qalami[1]
Allâh Azza wa Jalla telah menurunkan Kitab-Nya yang mulia kepada hamba-Nya sebagai petunjuk, rahmat, penerang, pembawa kabar gembira serta peringatan bagi siapa saja yang mau mengambil peringatan. Allâh Azza wa Jalla juga mengajak mereka untuk membaca dan mentadaburinya (merenunginya), sebagaimana Allâh Azza wa Jalla berfirman :
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ ۚ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا
Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an? sekiranya al-Qur’an itu bukan dari sisi Allâh, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. [An-Nisâ’/4:82]
Dalam ayat lain Allâh Azza wa Jalla berfirman:
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَىٰ قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا
Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci? [Muhammad/47:24]
Allâh Azza wa Jalla juga menginformasikan bahwa Dia telah menurunkan al-Qur’an sebagai sarana untuk merenungi tanda-tanda kebesaran Allâh Azza wa Jalla , sebagaimana firman-Nya :
كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ
Ini adalah sebuah Kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatNya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran. [Shâd/38:29]
Allâh Subhanahu wa Ta’ala juga telah menjelaskan bahwa salah faktor yang menyebabkan sesatnya seseorang dari jalan lurus adalah lantaran meraka tidak mentadaburi al-Qur’an dan tidak mau mendengarnya, sebagaimana Allâh Azza wa Jalla berfirman:
قَدْ كَانَتْ آيَاتِي تُتْلَىٰ عَلَيْكُمْ فَكُنْتُمْ عَلَىٰ أَعْقَابِكُمْ تَنْكِصُونَ ﴿٦٦﴾ مُسْتَكْبِرِينَ بِهِ سَامِرًا تَهْجُرُونَ ﴿٦٧﴾ أَفَلَمْ يَدَّبَّرُوا الْقَوْلَ أَمْ جَاءَهُمْ مَا لَمْ يَأْتِ آبَاءَهُمُ الْأَوَّلِينَ
Sesungguhnya ayat-ayat-Ku (al-Qur’an) selalu dibacakan kepada kamu sekalian, Maka kamu selalu berpaling ke belakang, dengan menyombongkan diri terhadap al-Qur’an itu dan mengucapkan perkataan-perkataan keji terhadapnya di waktu kamu bercakap-cakap di malam hari. Maka apakah mereka tidak memperhatikan perkataan (Kami), atau apakah telah datang kepada mereka apa yang tidak pernah datang kepada nenek moyang mereka dahulu? [al-Mu’minûn/23: 66-68]
Allâh Azza wa Jalla telah menjelaskan keagungan dan pengaruh kuat al-Qur’an, yaitu seandainya al-Qur’an ini diturunkan kepada gunung besar niscaya gunung tersebut akan tunduk dan terpecah belah lantaran ketakutannya kepada Allâh Azza wa Jalla . Allâh Azza wa Jalla berfirman:
لَوْ أَنْزَلْنَا هَٰذَا الْقُرْآنَ عَلَىٰ جَبَلٍ لَرَأَيْتَهُ خَاشِعًا مُتَصَدِّعًا مِنْ خَشْيَةِ اللَّهِ ۚ وَتِلْكَ الْأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
Kalau sekiranya Kami turunkan al-Qur’an ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan ketakutannya kepada Allâh. dan perumpamaan-perumpamaan itu kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir. [Al-Hasyr/59:21]
Imam al-Qurthubi rahimahullah dalam mentafsirkan ayat di atas menyampaikan, “Dengan ayat ini, Allâh Azza wa Jalla mengajak untuk mentadaburi petuah-petuah al-Qur’an. Allâh Azza wa Jalla juga menjelaskan bahwa tidak ada alasan dalam meninggalkan tadabur tersebut, karena sekiranya al-Qur’an ditujukan kepadan gunung niscaya gunung tersebut akan patuh dengan petuah-petuahnya, dan gunung tersebut akan tunduk terpecah belah sekalipun ia teramat kokoh dan kuat.”[2]
Ini adalah sebagian kemuliaan kitab al-Qur’an, maka sudah selayakanya bagi setiap Muslim untuk memuliakan, membaca, mentadaburi, serta memahami dan merenungi kandungan ayat-ayatnya sebagaimana mestinya. Ibnu Quddâmah rahimahullah menerangkan perihal al-Qur’an, “Hendaklah orang yang membacanya menyadari bahwa apa yang ia baca bukan perkataan manusia. Hendaknya ia menyadari keagungan Allâh yang memiliki perkataan itu serta merenungi firman-Nya itu. Karena mentadabburi (merenungi) merupakan tujuan dari membaca al-Qur’an. Jika ia tidak bisa menghayati dan merenunginya kecuali dengan mengulang-ulang ayat, maka hendaklah ia membacanya berulang kali!’[3]
Imam ibn al-Qayyim rahimahullah menegaskan, “Tidak ada sesuatu yang lebih bermanfaat bagi hati bila dibandingkan dengan membaca al-Qur’an disertai tadabbur dan tafakur (memahami dan merenungi maknanya). … itulah yang menumbuhkan rasa cinta, rindu, optimisme, keinginan untuk taubat, tawakal, ridha, berserah diri, sabar, dan semua yang membuat hati seseorang menjadi hidup dan sempurna. Itu juga bisa mencegah seseorang dari seluruh sifat dan perbuatan tercela yang menyebabkan hati menjadi rusak dan binasa. Sekiranya umat manusia itu mengetahui keutamaan yang terdapat dalam membaca al-Qur’an dengan disertai tadabbur (perenungan terhadap makna-maknanya) tentu mereka telah menyibukkan diri mereka dengannya dan meninggalkan semua aktifitas lainnya. Apabila ia membaca disertai tafakur lalu dia mendapati satu ayat yang dia butuhkan untuk mengobati hatinya, dia akan mengulanginya meskipun sampai seratus kali di sepanjang malam. Membaca satu ayat disertai tafakkur (merenunginya) lebih baik daripada mengkhatamkannya tanpa disertai tadabbur dan pemahaman, dan lebih bermanfaat bagi hati, lebih bisa menghantarkan kepada keimanan dan meraih manisnya al-Qur’an.” [4]
Jadi, mentadabburi al-Qur’an adalah maksud dan tujuan utama dalam membaca al-Qur’an. Seyogyanya, seorang Muslim harus berusaha untuk melakukannya dengan maksimal. Para Ulama pun telah banyak menjelaskan berbagai metoda yang bisa membantu pembaca al-Qur’an dalam merealisasikan tujuan dan maksud mulia tersebut dengan seizin Allâh Azza wa Jalla . Sekedar mengingatkan para pembaca, akan disebutkan beberapa metoda tersebut dengan berharap kepada Allâh Azza wa Jalla semoga bisa memberikan manfaat bagi kita semua.
Faktor-faktor yang menunjang keberhasilan dalam mentadabburi al-Qur’an adalah sebagai berikut:
Memahami Makna-Makna Al-Qur’an Dan Kandungan Isinya
Ini bisa dilakukan dengan membaca kitab-kitab tafsir al-Qur’an ringkas, seperti kitab Taisîr al-Karîm ar-Rahman Fi Tafsîr Kalâm al-Mannân karya Syaikh Abdurrahaman Sa’di rahimahullah dan kitab al-Misbâh al-Munîr fi Tahdzîb Tafsîr Ibnu Katsîr yang sudah dicetak dengan kata pengantar Syaikh Shafiyyu ar-Rahman al-Mubârakfûri.
Jika tidak memahami, maka tidak mungkin bisa mentadabburi sebuah perkataan tanpa memahami maknanya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menuturkan, “Mentadabburi al-Qur’an tanpa memahami maknanya adalah hal yang tidak mungkin. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa al-Qur’an dengan berbahasa arab, agar kamu memahaminya. [5]
Mengerti sebuah perkataan artinya adalah memahaminya. Dan sebagaimana sudah diketahui bersama bahwa maksud dari (diucapkannya-red) semua perkataan adalah agar dipahami makna-maknanya dan bukan sekadar (pengucapan-red) lafazh-lafazhnya saja. Jika begini faktanya, maka al-Qur’an lebih utama untuk dipahami.”[6]
Hal senada diungkapkan oleh al-Qhadhi Iyas rahimahullah, “Orang-orang yang membaca al-Qur’an tanpa memahami tafsirnya ibarat satu kaum yang mendapatkan surat dari raja mereka di malam yang gelap sementara mereka tidak memiliki lampu penerangan, sehingga timbul rasa takut namun mereka tidak tahu isi surat itu. Sedangkan orang yang membaca dengan memahami tafsir al-Qur’an ibarat seseorang yang membawakan kepada mereka lampu penerangan sehingga mereka bisa membaca isi surat tersebut.”[7]
Membaca Al-Qur’an Dengan Perlahan
Membaca al-Qur’an dengan perlahan akan lebih membantu dan lebih memotivasi seseorang dalam memahami dan merenungi isi kandungan al-Qur’an. Allâh Azza wa Jalla menegaskan dengan firman-Nya :
وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلًا
Dan bacalah al-Qur’an itu dengan perlahan-lahan [Muzammil/73:4]
Ketika menafsirkan ayat ini, Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Maksudnya, bacalah al-Qur’an dengan perlahan! Karena hal itu akan lebih membantu dalam memahami dan merenunginya. Begitulah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu membaca al-Qur’an. ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma berkata, ‘Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca al-Qur’an dengan tartil.” [8]
Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu menjawab ketika ditanya perihal bacaan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Bacaan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam panjang.” Kemudian Anas bin Malik membaca Bismillâhir Rahmânir Rahîm dan beliau Radhiyallahu anhu, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanjangkan Allâh, ar-Rahmân dan ar-Rahîm”. [9]
Dari Hudzaifah Radhiyallahu anhu, ia mengatakan:
صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ فَافْتَتَحَ الْبَقَرَةَ فَقُلْتُ يَرْكَعُ عِنْدَ الْمِائَةِ ثُمَّ مَضَى فَقُلْتُ يُصَلِّي بِهَا فِي رَكْعَةٍ فَمَضَى فَقُلْتُ يَرْكَعُ بِهَا ثُمَّ افْتَتَحَ النِّسَاءَ فَقَرَأَهَا ثُمَّ افْتَتَحَ آلَ عِمْرَانَ فَقَرَأَهَا يَقْرَأُ مُتَرَسِّلًا إِذَا مَرَّ بِآيَةٍ فِيهَا تَسْبِيحٌ سَبَّحَ وَإِذَا مَرَّ بِسُؤَالٍ سَأَلَ وَإِذَا مَرَّ بِتَعَوُّذٍ تَعَوَّذَ
Saya pernah shalat bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu malam. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai dengan membaca surat al-Baqarah, lalu saya katakan (dalam hati), ’Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan ruku’ pada ayat keseratus.’ Namun ternyata Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam lewati. Saya katakan, ‘Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan baca surat ini seluruhnya dalam satu rakaat.’ Namun ternyata Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam lewati. Aku katakan, ‘Beliau akan ruku’ (namun ternyata tidak-red), kemudian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai membaca surat an-Nisâ’ sampai selesai lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai membaca surat Ali Imran sampai selesai. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membacanya dengan perlahan-lahan, tidak tergesa-gesa. Apabila Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat yang terdapat (perintah-red) bertasbih, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berhenti dan mengucapkan tasbîh. Apabila Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat yang ada (perintah-red) memohon, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memohon, dan bila melewati ayat yang ada (perinath-red) ta’âwwudz, Beliau membaca ta’âwwudz’. [10]
Imam abu al-Abbas al-Qurtubi mengatakan, “Maksud dari perkataan Ibnu Hudzifah, membaca dengan mutarassilan dalam hadist di atas adalah membaca dengan pelan dan tidak tergesa-gesa. Kata itu diambil dari kata ‘ala rislik (عَلَى رِسْلِكَ) yang berarti santai dan perlahanlah.” [11]
Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhuma pernah mengingkari Nuhaik bin Sinan saat dia berkata kepadanya, “Sesungguhnya aku membaca Mufasshal[12] dalam satu rakaat.” Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu anhuma berkata kepada orang tersebut:
هَذًّا كَهَذِّ الشِّعْرِ إِنَّ أَقْوَامًا يَقْرَؤُوْنَ الْقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ وَلَكِنْ إِذَا وَقَعَ فِي الْقَلْبِ فَرَسَخَ فِيْهِ نَفْعٌ
Bacaanmu secepat membaca syair saja (beliau mengingkari bacaan orang tersebut yang begitu cepat). Sesunguhnya suatu kaum membaca al-Qur’an, namun bacaan mereka tidak bisa melewati kerongkongan mereka. Andai saja bacaan mereka merasuk ke dalam jiwa mereka, niscaya itu akan bermanfaat.”[13]
Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhuma juga berkata, “Janganlah kalian membaca al-Qur’an (dengan cepat) sebagaimana kurma kering berjatuhan[14], dan jangan pula kalian membacanya seperti membaca syair! Berhentilah di setiap keajaibannya dan gerakkan hati-hati manusia dengannya, serta janganlah perhatian kalian hanya fokus pada akhir surat saja.”[15]
Dari Abi Jamrah ad-Dhaba’i rahimahullah berkata, “Aku pernah berkata kepada Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhuma , ‘Aku ini orang yang terbiasa membaca dengan cepat. Bolehkah aku membacanya dengan cepat?’ Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhuma menjawab, “Demi Allâh! Aku membaca surat al-Baqarah dengan tartil sambil merenungkan maknanya lebih aku sukai daripada membacanya dengan cepat.”[16]
Memperbagus Suara Ketika Membaca Al-Qur’an
Ini termasuk salah satu sarana terbaik yang bisa membantu seseorang untuk mentadabburi al-Qur’an dan juga untuk menghadirkan kekhusyu’an dan ketudunkan. Dan tabiat jiwa yang masih bersih pasti senang mendengar bacaan al-Qur’an yang dilantunkan oleh orang yang pandai membacanya dan memiliki suara yang bagus.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendengarkan bacaan Abi Musa al-Asy’ari pada suatu malam, paginya Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya engkau melihatku ketika aku mendengarkan bacaan al-Qur’anmu tadi malam. Sungguh engkau telah diberi salah satu seruling keluarga Daud.” Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Ibnu Hibban dan beliau membawakan tambahan, yaitu perkataan Abu Musa, “Aku berkata, “Wahai Rasûlullâh! Seandainya aku mengetahui posisi engkau saat mendengarkan bacaanku, maka sungguh aku akan lebih memperbagus lagi bacaanku untuk engkau.”[17]
Al-Qamah bin Qais berkata, “Saya adalah orang yang telah dikaruniai oleh Allâh Azza wa Jalla suara merdu dalam melantunkan al-Qur’an, terkadang Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu mengutus seseorang kepadaku, aku pun membacakan al-Qur’an untuknya. Setiap kali aku selesai membaca, dia selalu berkata, “Tambah lagi bacaannya..! karena aku pernah mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
حُسْنُ الصَّوْتِ زِيْنَةُ الْقُرْآنِ
Suara merdu adalah hiasan al-Qur’an [18]
Suara merdu memiliki tempat tersendiri dalam hati manusia serta memiliki pengaruh dalam melembutkan hati. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memotivasi umatnya agar memperindah dan memperbagus suara mereka ketika membaca al-Qur’an dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan siapa saja yang meninggalkannya, sebagaimana Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
زَيِّنُوْا الْقُرْآنَ بِأَصْوَاتِكُمْ
Hiasilah al-Qur’an dengan suara-suara kalian[19]
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَتَغَنَّ بِالْقُرْآنِ
Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak memperbagus suaranya ketika membaca al-Qur’an.[20]
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Para Ulama dari zaman dahulu dan sekarang, baik dari kalangan Sahabat, Tabi’in maupun para Ulama dan imam kaum Muslimin setelah mereka telah bersepakat tentang disunahkannya memperbagus suara ketika membaca al-Qur’an. Perkataan dan amalan mereka sangat mashur dalam masalah ini, sehingga kita tidak perlu menukilkan riwayat dari masing-masing individu. Dalil-dalil dari hadist Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam masalah ini juga sudah masyhur baik dikalangan Ulama maupun awam.”[21]
Mengulang-Ulang Bacaan
Salah satu faktor yang bisa membantu seseorang dalam merenungi makna al-Qur’an dan agar bisa merasakan keindahannya yaitu dia berhenti pada ayat-ayat yang menggugahnya, mengulangnya beberapa kali dan tidak melewatinya begitu saja. Dia memperhatikannya berulang kali sambil terus memikirkannya, terutama saat pikirannya sedang tenang tidak tersibukkan dengan perkara dunia dan penghalang-penghalang lainnya. Keadaan seperti ini biasanya jarang didapatkan kecuali ketika gelapnya malam tengah menyelimuti dunia. Oleh sebab itu, ketika menjelaskan firman Allah Azza wa Jalla :
إِنَّ نَاشِئَةَ اللَّيْلِ هِيَ أَشَدُّ وَطْئًا وَأَقْوَمُ قِيلًا
Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyuk) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan. [Muzammil/73:6]
Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhu mengatakan, “Wa aqwamu qîla, maknanya adalah waktu terbaik untuk memahami al-Qur’an.”[22]
Sebagian Ulama salaf ada menunaikan shalat Tahajjud dengan membaca satu ayat sampai terbit fajar. Dan ini mereka lakukan karena mencontoh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Diriwayatkan dari Abu Dzarr Radhiyallahu anhu [23], dia mengatakan, ”Nabi pernah bangun (shalat malam) membaca satu ayat sampai pagi. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengulang-ulanginya. Ayat tersebut adalah :
إِنْ تُعَذِّبْهُمْ فَإِنَّهُمْ عِبَادُكَ ۖ وَإِنْ تَغْفِرْ لَهُمْ فَإِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau, dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. [Al-Mâidah/5:118]
Shafwan bin Sulaim rahimahullah mengisahkan bahwa Tamim ad-Dâri Radhiyallahu anhu setelah mengerjakan shalat Isya di masjid, beliau berdiri melakukan shalat. Kemudian beliau membaca ayat:
تَلْفَحُ وُجُوهَهُمُ النَّارُ وَهُمْ فِيهَا كَالِحُونَ
Muka mereka dibakar api neraka, dan mereka di dalam neraka itu dalam keadaan cacat [al-Mukminûn/23:104]
Tamim tidak bisa meninggalkan ayat tersebut sampai terdengar adzan shalat Shubuh. (Diriwayatkan oleh Abnu Abi ad-Dunya dalam kitab at-Tahajjud wa Qiyâmul Lail, hlm. 50 dengan sanad yang hasan)
Diriwayatkan dari ‘Abbâd bin ‘Abdillah bin az-Zubair Radhiyallahu anhu , dia berkata, “Asma’ binti Abu Bakr Radhiyallahu anhuma membuka shalatnya dengan surat ath-Thûr. Ketika sampai pada ayat :
فَمَنَّ اللَّهُ عَلَيْنَا وَوَقَانَا عَذَابَ السَّمُومِ
Maka Allâh memberikan karunia kepada kami dan memelihara kami dari adzab neraka [Ath-Thûr/52:27]
Saya pergi ke pasar untuk suatu keperluan. Setelah selesai membeli keperluan-keperluan, saya kembali lagi padanya dan dia masih mengulang-ulang ayat tersebut.”
Dia bertutur, “Dan Asma’ ketika itu dalam keadaan shalat.”[24]
Dari al-Qâsim bin Abi Ayyub berkata, “Aku pernah mendengar Sa’id bin Jubair mengulang-ulang ayat ini lebih dari dua puluh kali:[25]
وَاتَّقُوا يَوْمًا تُرْجَعُونَ فِيهِ إِلَى اللَّهِ ۖ ثُمَّ تُوَفَّىٰ كُلُّ نَفْسٍ مَا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ
Dan peliharalah dirimu dari (adzab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allâh. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan) [Al-Baqarah/2:281]
Dari ‘Abdurrahman bin ‘Ajlân, dia mengatakan, “Pada suatu malam, saya bermalam di kediaman ar-Rabi’ bin Khutsaim. Dia bangun shalat malam, tatkala dia melawati ayat :
أَمْ حَسِبَ الَّذِينَ اجْتَرَحُوا السَّيِّئَاتِ أَنْ نَجْعَلَهُمْ كَالَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ سَوَاءً مَحْيَاهُمْ وَمَمَاتُهُمْ ۚ سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ
Apakah orang-orang yang membuat kejahatan itu menyangka bahwa Kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh, yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka? amat buruklah apa yang mereka sangka itu. [al-Jâtsiyat/45: 21]
Dia berdiri di malam itu sampai tiba waktu shalat Shubuh sambil menangis dan tidak bisa melewati ayat itu ke ayat yang lain.[26]
Dari Nu’aim bin Hammâd rahimahullah berkata, “Seorang berkata kepada Ibnul Mubârak rahimahullah, ‘Aku membaca semua al-Qur’an semalam dalam satu raka’at.’ Ibnul Mubârak rahimahullah berkata, “Akan tetapi aku mengetahui seseorang selama satu malam terus membaca ayat :
أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ
Bermegah-megahan telah melalaikan kamu [At-Takâtsur/102:1]
Dia terus membacanya sampai pagi, tanpa sanggup melewati ayat tersebut – maksudnya dia sendiri[27]
Banyak riwayat lain dari para Ulama salaf berkenaan dengan masalah ini. Beberapa diantara riwayat tersebut telah diriwayatkan oleh Imam Muhammad bin Nashr al-Marûzi rahimahullah dalam kitab Qiyâmul Lail[28] dengan memberikan judul pembahasan, “Orang yang sedang shalat mengulang-ulang bacaan ayat beberapa kali untuk merenungi kandungannya.” Imam Nawawi rahimahullah juga membuat sebuah pembahasan dalam kitabnya at-Tibyân fi Adâbi Hamalati al-Qur’an, dia mengatakan, “Pembahasan tentang sunnahnya mengulang-ulang ayat untuk merenunginya”, dan beliau rahimahullah menyampaikan bahwa ada sebagian Ulama salaf yang membaca satu ayat, mereka mentadaburi dan mengulang-ulangnya sampai waktu Shubuh tiba.”[29]
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Begitulah kebiasaan para Ulama salaf, diantara mereka ada yang mengulang-ulang satu ayat sampai pagi.”[30]
Berdoa Sesuai Kandungan Makna
Diantara faktor yang sangat membantu seseorang yang sedang membaca al-Qur’an untuk mentadabur dan memahami al-Qur’an adalah dengan menghadirkan perasaan bahwa al-Qur’an merupakan firman Allâh Azza wa Jalla yang ditujukan kepadanya. Dengan demikian, dia akan hidup bersama al-Qur’an dan akan terpengaruh dengan firman-firman Allâh Azza wa Jalla . Jika dia melewati ayat yang menggambarkan surga dan keindahannya, dia akan memohon kepada Allâh Azza wa Jalla ridha dan karunia-Nya. Jika dia melewati ayat-ayat tentang siksa neraka, dia memohon kepada Allâh Azza wa Jalla agar melindunginya dari siksa neraka. Jika dia melewati ayat-ayat yang berisi tentang pengagungan dan tasbih kepada Allâh Azza wa Jalla , dia bertasbih dan mengagungkan Allâh Azza wa Jalla , dan begitu seterusnya.
Al-Imam al-Hâfidz as-Suyuthi rahimahullah berkata dalam kitab al-Itqân, “Disunnahkan membaca al-Qur’an sambil merenungi dan berusaha memahami. Itulah tujuan teragung dan yang peling penting dari membaca al-Qur’an. Dengan sebab itu, dadanya akan menjadi lapang dan hati akan tersinari (dengan hidayah-red). Allâh Azza wa Jalla berfirman :
كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ
Ini adalah sebuah Kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatNya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran. [Shâd/38:29]
Allâh Azza wa Jalla juga berfirman dalam ayat lain :
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ ۚ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا
Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an? sekiranya al-Qur’an itu bukan dari sisi Allâh, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. [An-Nisâ’/4:82]
Caranya yaitu dengan mengkonsentrasikan hati dalam memikirkan makna ayat yang sedang dibacanya. Sehingga dia bisa mengetahui makna setiap ayat, merenungi perintah dan larangannya sambil meyakini bahwa semua yang dia lakukan itu diterima oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Jika dia mendapati kekurangan dirinya pada masa-masa lalu, maka dia memohon maaf dan beristighfar. Disaat melewati ayat tentang rahmat dan kasih sayang Allâh Azza wa Jalla , dia merasa senang lalu memohon kepada rahmat kepada Allâh Azza wa Jalla. Disaat melewati ayat tentang siksa, dia merasa takut lalu memohon perlindungan kepada Allâh Azza wa Jalla . Disaat melewati ayat tentang pengagungan Allâh Azza wa Jalla , dia mengagungkan dan memulikan-Nya. Disaat melewati tentang doa, dia bergegas memohon kepada Allâh Azza wa Jalla dengan penuh tunduk dan khusyu’.
Imam Muslim meriwayatkan hadits dari Khudzaifah Radhiyallahu anhu , dia mengatakan:
صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ فَافْتَتَحَ الْبَقَرَةَ فَقَرَأَهَا ثُمَّ النِّسَاءَ فَقَرَأَهَا ثُمَّ آلَ عِمْرَانَ فَقَرَأَهَا يَقْرَأُ مُتَرَسِّلًا إِذَا مَرَّ بِآيَةٍ فِيهَا تَسْبِيحٌ سَبَّحَ وَإِذَا مَرَّ بِسُؤَالٍ سَأَلَ وَإِذَا مَرَّ بِتَعَوُّذٍ تَعَوَّذَ
Saya pernah shalat bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu malam. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai dengan membaca surat al-Baqarah sampai selesai, kemudian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melanjutkan dengan membaca surat an-Nisâ’ sampai selesai lalu surat Ali Imran sampai selesai. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membacanya dengan perlahan-lahan, tidak tergesa-gesa. Apabila Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat yang terdapat (perintah-red) bertasbih, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berhenti dan mengucapkan tasbîh. Apabila Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat yang ada (perintah-red) memohon, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memohon, dan bila melewati ayat yang ada (perinath-red) ta’âwwudRadhiyallahu anhu, Beliau membaca ta’âwwudRadhiyallahu anhu’.
Dari Auf bin Malik Radhiyallahu anhu , “Saya berdiri shalat bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri lalu membaca surat al-Baqarah. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melewati ayat tentang rahmat (kasih sayang) Allah Azza wa Jalla , kecuali Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berhenti sejenak lalu memohon rahmat (kasih sayang). Dan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melewati ayat tentang siksa, kecuali Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berhenti sejenak dan memohon perlindungan dari adzab Allah Azza wa Jalla .”
Inilah beberapa faktor yang bisa membantu orang yang membaca al-Qur’an untuk mentadaburi dan mengambil manfaat al-Qur’an sambil memperhatikan hukum dan adab-adab membaca al-Qur’an yang telah dijelaskan oleh para Ulama. Kemudian, hendaknya diketahui bahwa tujuan utama dalam mentadabburi al-Qur’an adalah agar membuahkan hasil yang diharapkan serta benar-benar bisa merealisasikan misi diturunkannya al-Qur’an. Yaitu membenarkan berita dan kisahnya, melaksanakan perintah dan meninggalkan larangannya serta tidak melanggar batasan-batasannya. Itulah maksud dari haqqut tilawah yang disebutkan oleh Allah Azza wa Jalla dalam al-Quran sebagai bentuk pujian kepada para hamba-Nya. Allâh Azza wa Jalla barfirman :
الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلَاوَتِهِ أُولَٰئِكَ يُؤْمِنُونَ بِهِ ۗ وَمَنْ يَكْفُرْ بِهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
Orang-orang yang telah Kami berikan al-Kitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya, mereka itu beriman kepadanya. dan barangsiapa yang ingkar kepadanya, Maka mereka Itulah orang-orang yang rugi. [Al-Baqarah/2:121]
Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma berkata, “Mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya, maknanya adalah mereka menghalalkan yang dihalalkan dan mengharam yang haram serta tidak menyelewengkannya dari tempat semestinya.”[31]
Mujahid rahimahullah mengatakan, “Mereka mengamalkannya dengan sebenar-benarnya”. [32]
Demikianlah contoh dari para Ulama salaf dalam bermuamalah dengan al-Qur’an. Mereka menggabungkan antara ilmu dan amal, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu anhuma, “Seorang dari kami jika belajar sepuluh ayat, maka dia tidak akan melewatinya sebelum memahami makna dan mengamalkannya”.[33]
Dari Abu Abdurrahman as-Sulami rahimahullah, dia berkata, “Sungguh kami telah mengambil al-Qur’an dari kaum yang bercerita kepada kami bahwa jika mereka telah belajar sepuluh ayat, maka mereka tidak akan melewatinya atau melanjukannya ke sepuluh ayat berikutnya sampai mereka bisa mengamalkannya sepuluh ayat tersebut. Jadi kami mempelajari al-Qur’an sekaligus mengamalkannya.”[34]
Imam Hasan al-Bashri merasa sedih melihat orang-orang pada masa beliau rahimahullah yang hafal ayat-ayat al-Qur’an namun mereka meninggalkan hukum-hukumnya dan sama sekali al-Qur’an tidak memberikan bekas dalam amal serta tingkah laku mereka. Beliau rahimahullah mengatakan, “Sungguh, al-Qur’an ini telah dibaca oleh para budak sahaya dan anak kecil. Mereka tidak tidak mengerti tafsirnya. Sesungguhnya orang yang paling berhak terhadap al-Qur’an ini adalah orang yang memperaktikkan al-Qur’an itu dalam perbuatannya. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ
Ini adalah sebuah Kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatNya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran. [Shâd/38:29]
Mentadabburi ayatnya, maknanya adalah mengikutinya dengan amal perbuatan. Demi Allâh! Tadabbur itu bukan hanya sekedar menghafal huruf-hurufnya namun meninggalkan hukum-hukum (yang terkandung pada) nya. Diantara mereka ada yang mengatakan, “Sungguh saya telah membaca seluruh al-Qur’an dan tak ada satu huruf pun yang luput dariku.” Padahal, demi Allâh! Orang itu telah menggugurkan seluruh al-Qur’an karena al-Qur’an tidak terlihat bekasnya dan tidak terlihat pengaruhnya pada akhlak dan amalnya.”[35]
Itu di zaman beliau rahimahullah, lalu bagaimana dengan masyarakat di zaman kita?! Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan.
Akhirnya, kami akhiri tulisan ini dengan untaian nasihat yang sangat menyentuh dari Imam al-Âjurri rahimahullah yang mengingatkan tentang keutamaan dan pentingnya tadabbur al-Qur’an. Imam al-Âjurri rahimahullah berkata, “Allâh Azza wa Jalla mengajak makhluk-Nya untuk merenungi al-Qur’an melalui firman-Nya :
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَىٰ قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا
Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci? [Muhammad/47:24]
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ ۚ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا
Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an? sekiranya al-Qur’an itu bukan dari sisi Allâh, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. [An-Nisâ’/4:82]
Tidakkah kalian perhatikan (semoga Allâh Azza wa Jalla merahmati kalian), bagaimana Allâh Azza wa Jalla Rabb kalian yang Mahamulia mengajak para hamba-Nya untuk mentadabburi firman-Nya? Barangsiapa merenungi firman-Nya, niscaya dia akan mengenal Rabb-nya, dia akan mengetahui keagungan kerajaan dan kekuasaan-Nya, dia akan menyadari betapa besar karunia yang diberikan kepada orang-orang yang beriman. Dia juga akan mengetahui ibadah yang diwajibkan kepadanya, sehingga ia bisa mewajibkan dirinya untuk melakukan yang dan menjauhi segala hal yang dilarang oleh Rabb mereka yang Mahamulia. Dia akan mencintai segala hal yang disuruh oleh Allâh Azza wa Jalla untuk dicintai. Barangsiapa memiliki sifat seperti itu ketika membaca al-Qur’an dan ketika mendengarnya dari orang lain, maka al-Qur’an merupakan obat baginya, sehingga dia akan merasa kaya walaupun tidak memiliki harta, dia akan merasa mulia walaupun tidak memiliki keluarga, ia akan merasa nyaman dengan apa yang orang lain takuti. Ketika membaca surat dalam al-Qur’an, fokus pikirannya adalah kapan saya dapat mengambil pelajaran dari apa yang saya baca ini? Bukan, kapan saya dapat menyelesaikan bacaan surat ini? Keinginannya adalah kapan saya dapat memahami firman Allâh Azza wa Jalla ini? Kapan saya bisa mengambil pelajaran dari peringatannya? Kapan saya bisa mengambil pelajaran? Kerana membaca al-Qur’an adalah ibadah dan ibadah tidak bisa dilakukan dalam keadaan hati lalai. Hanya Allâh Subhanahu wa Ta’ala yang dapat memberi pertolongan.”[36]
Kami bermohon kepada Allâh Azza wa Jalla dengan wasilah Nama-nama dan Sifat-Nya yang Mahamulia, agar menjadikan al-Qur’an yang agung ini sebagai pelipur hati kita, pembebas sedih kita dan penyembuh penyakit yang bersarang di dada kita.
Semoga Allâh Azza wa Jalla menjadikan kita semua ahli al-Qur¦an yang senantiasa membacanya, siang dan malam serta menjadikan kita semua termasuk orang-orang yang senantiasa mengamalkan isinya, mengimani kandungannya, memperhatikan huruf dan hukum-hukumnya sesuai dengan apa yang diridhai-Nya.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XIX/1436H/2015.]
_______
Footnote
[1] Diangkat dari majalah al-Ishlâh, ed. 38
[2] Al-Jâmi’ li Ahkâmi al-Qur’ân, 20/388
[3] Mukhtashar Minhaju al-Qoshidin : 57
[4] Miftah Daar as-Sa’adah : 1/535
[5] QS. Yusuf/12 : 2
[6] Muqaddimanfi Ushulit Tafsir, hlm. 75. lihat Majmu’ Fatawa, 13/332
[7] DIbawakan oleh al-Qurthubi dalam tafsir beliau, 1/26
[8] HR. Imam Mâlik t dalam Muwattha’, 309 dan Imam Muslim dalam Shahihnya, 733
[9] HR. Imam Al-Bukhâri, 5046
[10] HR. Muslim, 772
[11] Al-Mufham Li Asykâl Min Talkhish Kitab Muslim : 2/405
[12] Bagian Al-Qur’an mulai surat Qaf sampai an-Nas
[13] HR. Imam al-Bukhâri, 775 dan Muslim, 822
[14] Maksudnya, sebagaimana kurma berjatuhan ketika pohonnya digoncang
[15] HR. Al-Ajurri dalam kitab Akhlaq Hamalati al-Quran, hlm. 1
[16] HR. Ibn Dhurais dalam kitab Fadhâilil Qur’ân, 32
[17] HR. Muslim, no. 793 dan Ibnu Hibban dalam Shahih, no. 7197
[18] HR. At-Thabrani dengan sanad yang hasan dalam kitab al-Mu’jamu al-Kabîr, 10/82. Lihat as-Silsilah as-Shahihah, no.1815
[19] HR. Imam Ahmad, 18494; Abu Dawud, 1468; An-Nasa’i dalam kitab al-Kubra, 1088; Ibnu Mâjah, 1342 dan al-Hakim, 1/571-572.
[20] HR. Imam al-Bukhâri dalam Shahihnya, no. 7527 dari hadist Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
[21] At-Tibyân fi Adâbi Hamalatil Qur’an, hlm. 109
[22] Diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, no. 1304 dan hadits ini dinilai hasan oleh syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud, no. 1177
[23] HR. An-Nasâ’I, no. 1010; Ibnu Majah, no. 1350; Ahmad, no. 21328; Ibnu Khuzaimah, no. 120 dan al-Hakim, 1/241 dan beliau menilai hadits ini shahih
[24] Fadhâil al-Qur’ân : 159, Diriwiyatkan oleh Abu ‘Abdillah al-Qâsim bin Sallam dengan sanad la ba’sa bih.
[25] Fadhâil al-Qur’ân 160, Diriwiyatkan oleh abu ‘Ubaid dengan sanad yang para periwayatnya tsiqah.
[26] Zawaid az-Zuhd : 1925 dan al-Hilyah : 2/112, Diriwiyatkan oleh Imam Ahmad dengan sanad yang baik.
[27] Diriwayatkan oleh Abu Bakr ad-Dînawari dalam al-Mujâlasatu wa Jawâhirul ilmi, 1232 dan Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasq
[28] Lihat Mukhtashar Qiyamu al-Lail karya Ahmad bkn ‘Ali al-Maqriri : 148-151.
[29] At-Tibyân, hlm. 85
[30] Miftâhu Dâru as-Sa’âdah, 1/535
[31] Diriwayatkan oleh Abi Hâtim dalam Tafsirnya : 1/319, Ibnu Jarir dalam Jâmi’ al-Bayân, 2/188, dan al-Hakim dalam al-Mustadrak, 2/266.
[32] Diriwayatkan oleh Ibn Jarir dalam Jâmi’ al-Bayân, 2/490, dan Al-Ajurri dalam Akhlâq Hamalati al-Qur’ân, hlm. 5
[33] Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam Jâmi’ al-Bayân :1 /74 dan al-Hakim dalam al-Mustadrak, 1/743.
[34] Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad, no. 23482, dan Ibnu Sa’ad dalam Thabaqat al-Qubra, 6/172, Ibn Jarir dalam Jâmi’ al-Bayân, 1 /74 dan dikatakan hasan sanadnya oleh Imam Ahmad Syakir dalam Ta’lîq ‘Ala Jâmi’ al-Bayân, 1/80
[35] Dibawakan oleh Abdurrazaq dalam al-Mushannaf, 3/364; Ibnul Mubarak dalam az-Zuhd, hlm. 793; Said bin Manshur dalam Sunannya; al-Ajurri dalam Akhlaqu Hamalatil Qur’an, Hlm. 34; dan al-Baihaqi dalam Syu’abul Imân, 4/209
[36] Akhlaqu Hamalatil Qur’an, 2
0 comments:
Post a Comment