{قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ ويَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ، وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ}

Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah (sunnah/petunjuk)ku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS Ali ‘Imran:31)

Keutamaan Penghafal Al Quran

Abu Fathan | 15:52 | 0 comments
Menghafal al-Quran termasuk ibadah jika dilakuka ikhlas karena Allah dan bukan untuk mengharapkan pujian di dunia. Bahkan salah satu ciri orang yang berilmu menurut standar al-Quran, adalah mereka yang memiliki hafalan al-Quran. Allah berfirman,
بَلْ هُوَ آَيَاتٌ بَيِّنَاتٌ فِي صُدُورِ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ وَمَا يَجْحَدُ بِآَيَاتِنَا إِلَّا الظَّالِمُونَ
Bahkan, Al Quran itu adalah ayat-ayat yang nyata, yang ada di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu..(QS. al-Ankabut: 49).
Allah memberikan banyak keutamaan bagi para penghafal al-Quran, di dunia dan ahirat.
Berikut diantaranya,
Pertama, dia didahulukan untuk menjadi imam ketika shalat jamaah
Dari Abu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللَّهِ فَإِنْ كَانُوا فِى الْقِرَاءَةِ سَوَاءً فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ … وَلاَ يَؤُمَّنَّ الرَّجُلُ الرَّجُلَ فِى سُلْطَانِهِ…
Yang paling berhak jadi imam adalah yang paling banyak hafalan al-Quran-nya. Jika dalam hafalan quran mereka sama, maka didahulukan yang paling paham dengan sunnah… dan seseorang tidak boleh menjadi imam di wilayah orang lain. (HR. Ahmad 17526, Muslim 1564, dan yang lainnya)
Dari Ibnu Umar, beliau bercerita,
Ketika para muhajirin pertama tiba di Quba, sebelum kedatangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang menjadi imam mereka shalat adalah Salim mantan budak Abu Hudzaifah. Dan beliau adalah orang paling banyak hafalan qurannya. (HR. Bukhari 660)
Kedua,  ketika meninggal, dia didahulukan
Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma bercerita,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggabungkan dua jenazah uhud dalam satu kain kafan. Setiap hendak memakamkan, beliau tanya, “Siapa yang paling banyak hafalan qurannya?”
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memposisikan yang paling banyak hafalannya di posisi paling dekat dengan lahat. Lalu beliau bersabda,
أَنَا شَهِيدٌ عَلَى هَؤُلاَءِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Saya akan menjadi saksi bagi mereka kelak di hari kiamat. (HR. Bukhari 1343 & Turmudzi 1053)
Ketiga, diutamakan untuk menjadi pemimpin jika dia mampu memagangnya
Ketika Umar radhiyallahu ‘anhu menjadi khalifah, beliau menunjuk Nafi’ bin Abdul Harits untuk menjadi gubernur di Mekah.
Suatu ketika, Umar bertemu Nafi’ di daerah Asfan.
“Siapa yang menggantikanmu di Mekah?” tanya Umar.
“Ibnu Abza.” Jawab Nafi’.
“Siapa Ibnu Abza?” tanya Umar.
“Salah satu mantan budak di Mekah.” Jawab Nafi’.
“Mantan budak kamu jadikan sebagai pemimpin?” tanya Umar.
“Dia hafal al-Quran, dan paham tentang ilmu faraid.” Jawab Nafi’.
Kemudian Umar mengatakan, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
إِنَّ اللَّهَ يَرْفَعُ بِهَذَا الْكِتَابِ أَقْوَامًا وَيَضَعُ بِهِ آخَرِينَ
“Sesungguhnya Allah mengangkat sebagian kaum berkat kitab ini (al-Quran), dan Allah menghinakan kaum yang lain, juga karena al-Quran.” (HR. Ahmad 237 & Muslim 1934)
Keempat, kedudukan hafidz al-Quran di surga, sesuai banyaknya ayat yang dia hafal
Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يُقَالُ لِصَاحِبِ الْقُرْآنِ اقْرَأْ وَارْتَقِ وَرَتِّلْ كَمَا كُنْتَ تُرَتِّلُ فِى الدُّنْيَا فَإِنَّ مَنْزِلَكَ عِنْدَ آخِرِ آيَةٍ تَقْرَؤُهَا
Ditawarkan kepada penghafal al-Quran, “Baca dan naiklah ke tingkat berikutnya. Baca dengan tartil sebagaimana dulu kamu mentartilkan al-Quran ketika di dunia. Karena kedudukanmu di surga setingkat dengan banyaknya ayat yang kamu hafal.” (HR. Abu Daud 1466, Turmudzi 3162 dan dishahihkan al-Albani)
Kelima, ditemani Malaikat
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَثَلُ الَّذِى يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَهْوَ حَافِظٌ لَهُ مَعَ السَّفَرَةِ الْكِرَامِ ، وَمَثَلُ الَّذِى يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَهْوَ يَتَعَاهَدُهُ وَهْوَ عَلَيْهِ شَدِيدٌ ، فَلَهُ أَجْرَانِ
Orang yang membaca dan menghafal al-Quran, dia bersama para malaikat yang mulia. Sementara orang yang membaca al-Quran, dia berusaha menghafalnya, dan itu menjadi beban baginya, maka dia mendapat dua pahala. (HR. Bukhari 4937)
Keenam, di akhirat, akan diberi mahkota dan pakaian kemuliaan
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَجِىءُ الْقُرْآنُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيَقُولُ يَا رَبِّ حَلِّهِ فَيُلْبَسُ تَاجَ الْكَرَامَةِ ثُمَّ يَقُولُ يَا رَبِّ زِدْهُ فَيُلْبَسُ حُلَّةَ الْكَرَامَةِ ثُمَّ يَقُولُ يَا رَبِّ ارْضَ عَنْهُ فَيَرْضَى عَنْهُ فَيُقَالُ لَهُ اقْرَأْ وَارْقَ وَتُزَادُ بِكُلِّ آيَةٍ حَسَنَةً
Al-Quran akan datang pada hari kiamat, lalu dia berkata, “Ya Allah, berikan dia perhiasan.” Lalu Allah berikan seorang hafidz al-Quran mahkota kemuliaan. Al-Quran meminta lagi, “Ya Allah, tambahkan untuknya.” Lalu dia diberi pakaian perhiasan kemuliaan. Kemudian dia minta lagi, “Ya Allah, ridhai dia.” Allah-pun meridhainya. Lalu dikatakan kepada hafidz quran, “Bacalah dan naiklah, akan ditambahkan untukmu pahala dari setiap ayat yang kamu baca.(HR. Turmudzi 3164 dan beliau menilai Hasan shahih).
Ketujuh, al-Quran memberi syafaat baginya
Dari Abu Umamah al-Bahili radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اقْرَءُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيعًا لأَصْحَابِهِ
Rajinlah membaca al-Quran, karena dia akan menjadi syafaat bagi penghafalnya di hari kiamat. (HR. Muslim 1910).
Kedelapan, orang tuanya akan diberi mahkota cahaya kelak di akhirat
Dari Buraidah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
من قرأ القرآن وتعلَّم وعمل به أُلبس والداه يوم القيامة تاجاً من نور ضوؤه مثل ضوء الشمس ، ويكسى والداه حلتين لا تقوم لهما الدنيا فيقولان : بم كسينا هذا ؟ فيقال : بأخذ ولدكما القرآن
Siapa yang menghafal al-Quran, mengkajinya dan mengamalkannya, maka Allah akan memberikan mahkota bagi kedua orang tuanya dari cahaya yang terangnya seperti matahari. Dan kedua orang tuanya akan diberi dua pakaian yang tidak bisa dinilai dengan dunia. Kemudian kedua orang tuanya bertanya, “Mengapa saya sampai diberi pakaian semacam ini?” Lalu disampaikan kepadanya, “Disebabkan anakmu telah mengamalkan al-Quran.” (HR. Hakim 1/756 dan dihasankan al-Abani).
Dalam riwayat lain, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
يجيء القرآن يوم القيامة كالرجل الشاحب يقول لصاحبه : هل تعرفني ؟ أنا الذي كنتُ أُسهر ليلك وأظمئ هواجرك… ويوضع على رأسه تاج الوقار ، ويُكسى والداه حلَّتين لا تقوم لهما الدنيا وما فيها ، فيقولان : يا رب أنى لنا هذا ؟ فيقال لهما : بتعليم ولدكما القرآن
Al-Quran akan datang pada hari kiamat seperti orang yang wajahnya cerah. Lalu bertanya kepada penghafalnya, “Kamu kenal saya? Sayalah membuat kamu bergadangan tidak tidur di malam hari, yang membuat kamu kehausan di siang harimu… ” kemudian diletakkan mahkota kehormatan di kepalanya, dan kedua orang tuanya diberi pakaian indah yang tidak bisa dinilai dengan dunia seisinya. Lalu orang tuanya menanyakan, “Ya Allah, dari mana kami bisa diberi pakaian seperti ini?” kemudian dijawab, “Karena anakmu belajar al-Quran.” (HR. Thabrani dalam al-Ausath 6/51, dan dishahihkan al-Albani).
Allahu a’lam.
Ustadz Ammi Nur Baits 

Keseimbangan Ajaran Islam Terkait Dengan Kuburan

Abu Fathan | 16:38 | 0 comments
ILUSTRASI
Pernahkah istri Anda membuat masakan yang keasinan atau hambar alias lupa membubuhkan garam ? Bagaimana rasanya ? Tentu saja tidak enak ! Begitulah sesuatu yang tidak pas dan proporsional, akan tidak enak dirasa, juga tidak indah dipandang.

"Kaidah" tersebut bukan hanya berlaku dalam urusan duniawi belaka. Dalam hal-hal yang bersifat ukhrawi (baca: ibadah) pun "kaidah" ini juga berlaku. Hanya saja dalam hal-hal yang berbau agama, barometernya jauh lebih jelas dan akurat. Berbeda dengan urusan duniawi, subjektifitas penilai seringkali lebih berperan. Contoh mudahnya, masakan yang menurut saya tingkat keasinannya sudah pas, belum tentu menurut Anda juga demikian. Relatif!

PROPORSIONALITAS AJARAN ISLAM
Tawâzun atau tanâsub (keseimbangan), begitu bahasa lain proporsional dalam bahasa Arab. Salah satu keistimewaan ajaran Islam, ia memiliki karakter yang seimbang dalam segala sesuatunya. Karenanya terlihat begitu indah. 

Dalam menyikapi dua alam; dunia dan akhirat, misalnya, Islam membolehkan manusia untuk menikmati keindahan duniawi, selama dalam koridor yang diizinkan agama. Namun Islam juga memotivasi manusia untuk mengumpulkan bekal sebanyak-banyaknya demi menggapai kebahagiaan abadi di negeri akhirat kelak. Amat proporsional bukan ? Jadi, Islam bukanlah agama yang mengharamkan kenikmatan duniawi, tidak pula mengusung ideologi yang melupakan negeri keabadian. 

Masih banyak contoh lain yang menggambarkan keseimbangan ajaran Islam. Yang manakala ajaran tersebut tidak dipraktekkan dengan baik, maka pasti akan muncul ketimpangan-ketimpangan dalam kehidupan seorang insan.

UKURAN PROPORSIONALITAS AMALAN
Saat kita berbicara tentang suatu amalan, apakah ia benar atau salah, atau apakah ia proporsional atau tidak, bisa jadi ada sebagian kalangan yang menyeletuk, “Benar menurut siapa ? Proporsional menurut siapa ? Menurut saya atau Anda ? Menurut Ulama kami atau Ulama kalian ? Menurut kami amalan ini sudah benar dan proporsional. Toh jika menurut kalian salah dan ekstrim, itu adalah pendapat kalian. Kebenaran kan relative ? Begitu komentar mereka. 

Anda tidak perlu merasa bingung menghadapi pertanyaan seperti ini. Sebab kita memiliki barometer yang jelas dan gamblang untuk mengukur hal tersebut. Amalan atau ideologi apapun yang dilandasi dalil shahih, maka itulah yang benar. Sikap apapun yang bersumber dari al-Qur`ân atau hadits shahîh, serta didukung dengan pemahaman para sahabat Nabi n , itulah sikap yang proporsional. 

Dari sini kita mengetahui kekeliruan celetukan sebagian orang, saat mengomentari temannya yang rajin shalat lima waktu berjamaah di masjid tepat pada waktunya. Ditambah sangat berhati-hati dalam bergaul dengan lawan jenis, “Kamu itu jangan alim-alim amat kenapa ?! Ekstrim banget sih ! Cobalah kamu lebih moderat dikit!”. 

Dia menilai shalat tepat waktu dan menjaga jarak dengan lawan jenis sebagai perilaku ekstrim. Padahal itu bagian dari ajaran agama. Sehingga tidaklah mungkin dikategorikan perilaku ekstrim. Sebab ajaran Islam, manakala diterapkan dengan benar, itulah inti dari sikap proporsional. Tidak ada aturan yang lebih proporsional dibanding aturan Allâh Azza wa Jalla .

PROPORSIONALITAS ISLAM DALAM MENYIKAPI KUBURAN
Agama Islam sangat kental dengan keseimbangan dan sikap tengah dalam setiap bagian ajarannya.Termasuk dalam perihal kuburan.

Terkait dengan masalah kuburan, sikap proporsional tersebut terbangun di atas dua pertimbangan. Pertama, maslahat menjaga kehormatan orang yang telah meninggal. Kedua, maslahat menjaga kemurnian akidah orang yang masih hidup.[1] 

Upaya menjaga kehormatan orang yang telah meninggal, harus dengan sesuatu yang tidak sampai mengorbankan akidah orang yang masih hidup. Dan sebaliknya, usaha untuk menjaga akidah orang yang masih hidup, bukan dengan sesuatu yang menodai kehormatan orang yang telah meninggal. Dengan sikap proporsional seperti ini, maka tidak ada pihak yang dirugikan.

Berikut beberapa contoh ajaran Islam yang berdimensi penghormatan terhadap kuburan, juga orang yang telah meninggal dunia.

1. Islam mengharamkan membuang hajat di atas kuburan.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لَأَنْ أَمْشِي عَلَى جَمْرَة أَوْ سَيْف , أَوْ أَخْصِف نَعْلِي بِرِجْلِي أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَمْشِي عَلَى قَبْرِ مُسْلِمٍ وَمَا أُبَالِي أَوَسْطَ الْقَبْر - كَذَا قَالَ - كَذَا قَالَ - قَضَيْت حَاجَتِي , أَوْ وَسْطَ الطَّرِيق

Lebih baik aku berjalan di atas bara api atau pedang, atau aku menjahit sandalku menggunakan kakiku; daripada aku harus berjalan di atas kuburan seorang Muslim. Aku tidak peduli antara buang hajat di tengah pekuburan atau di tengah pasar (keduanya sama-sama buruk). (HR Ibnu Majah, II/154 no. 1589; dari ‘Uqbah bin ‘Amir Radhiyallahu anhu. Al-Mundziri menilai sanad hadits ini jayyid (baik).[2] Syaikh al-Albani menyatakan hadits ini shahîh.[3] 

2. Islam melarang berjalan di atas kuburan.
Dalilnya antara lain adalah hadits ‘Uqbah bin ‘Amir Radhiyallahu anhu tersebut di atas.

3. Islam melarang duduk di atas kuburan.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan :

لأَنْ يَجْلِسَ أَحَدُكُمْ عَلَى جَمْرَةٍ فَتُحْرِقَ ثِيَابَهُ فَتَخْلُصَ إِلَى جِلْدِهِ؛ خَيْرٌلَهُ مِنْ أَنْ يَجْلِسَ عَلَى قَبْرٍ

Lebih baik salah seorang dari kalian duduk di atas bara api hingga membakar baju dan kulitnya; daripada duduk di atas kuburan. [HR Muslim, VII/41 no. 245; dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu].

4. Islam melarang mengenakan sandal di pekuburan.
Basyir Radhiyallahu anhu hamba sahaya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bercerita bahwa suatu saat beliau melihat seseorang berjalan di pekuburan sambil mengenakan sandal. Maka beliaupun bersabda,

يَاصَاحِبَ السِّبْتِيَّتَيْنِ وَيْحَكَ! أَلْقِ سِبْتِيَّتَيْكَ!

Wahai si pemakai sandal, celaka engkau. Lepaskan kedua sandalmu!”.[HR. Abu Dawud (III/360 no. 3230) dan isnadnya dinyatakan shahîh oleh al-Hakim[4] dan al-Albani][5]. 

5. Islam melarang mematahkan tulang mayit.
Nabiyullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan :

كَسْرُ عَظْمِ الْمَيِّتِ كَكَسْرِهِ حَيًّا

Mematahkan tulang mayit mukmin seperti mematahkannya di saat ia masih hidup”.[HR. Ahmad (41/58 no. 24739) dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma dan dinilai shahîh oleh Ibn Hibban[6] serta al-Albani][7]. 

6. Islam membolehkan meletakkan tanda di atas kuburan.
Hal itu dalam rangka menandai bahwa tempat tersebut adalah kuburan, sehingga mudah diketahui saat akan berziarah. Juga tidak dilangkahi atau diduduki.

Anas bin Malik Radhiyallahu anhu menuturkan :

"أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْلَمَ قَبْرَ عُثْمَانَ بْنِ مَظْعُوْنٍ بِصَخْرَةٍ

Sesungguhnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menandai kuburan ‘Utsman bin Mazh’un dengan batu. [HR Ibnu Majah, II/152 no. 1583; dan isnadnya dinyatakan hasan oleh al-Bushiri[8] juga Ibnu Hajar][9]. 

Inilah kadar tanda yang dibenarkan oleh agama kita. Adapun menandai kuburan dengan bangunan, apapun bentuknya, entah sekedar bangunan persegi panjang atau hingga kubah, maka hal itu terlarang. Sebagaimana akan dijelaskan kemudian.

Jika dicermati dengan baik, berbagai aturan tersebut di atas, mengarah kepada penghormatan terhadap kuburan dan ahli kubur, namun tidak beraroma pengkultusan. Sehingga akidah umat tetap terjaga kemurniannya. Inilah salah satu keindahan ajaran Islam. Amat proporsional! 

Adapun segala sikap yang menjurus kepada pengkultusan kuburan atau ahli kubur dan bisa menodai akidah umat, maka pintu tersebut ditutup rapat-rapat oleh agama kita. Walaupun berdalihkan penghormatan. Misalnya:

1. Shalat menghadap kuburan.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mewanti-wanti:

لَاتَجْلِسُوا عَلَى الْقُبُورِ وَلَاتُصَلُّوا إِلَيْهَا

Janganlah kalian duduk di atas kuburan dan jangan pula shalat menghadapnya. [HR Muslim, II/668 no. 972; dari Abu Martsad Radhiyallahu anhu]. 

Imam Nawawi rahimahullah (w. 676 H) menyimpulkan, “Hadits ini menegaskan terlarangnya shalat ke arah kuburan. Imam Syafi’i rahimahullah berkata, 'Aku membenci tindak pengagungan makhluk hingga kuburannya dijadikan masjid. Khawatir mengakibatkan fitnah atas dia dan orang-orang sesudahnya'.” [10] 

Dalam hadits di atas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggabungkan antara dua etika. Etika pertama, untuk menghormati ahli kubur, yakni dengan tidak menduduki kuburannya. Etika kedua, untuk menjaga akidah orang yang masih hidup, yakni dengan tidak shalat menghadap kuburan. Ini menunjukkan bahwa tidak ada kontradiksi antara penghormatan terhadap ahli kubur dengan penjagaan terhadap akidah umat.

2. Membangun masjid di kuburan.
Rasûllullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan :

"قَاتَلَ اللَّهُ الْيَهُودَ ؛اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ

Semoga Allâh membinasakan kaum Yahudi. Mereka menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai masjid. [HR Bukhari, I/531 no. 437 dan Muslim, I/376 no. 530; dari Abu Hurairah Radhiyallahu ahu].

3. Mendirikan bangunan di atas kuburan
Di antara yang disunnahkan berkenaan dengan masalah kuburan adalah mening¬gikannya satu jengkal saja dan tidak lebih dari itu. Jabir bin Abdullâh Radhiyallahu anhu menceritakan bentuk makam Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

وَرُفِعَ قَبْرُهُ مِنَ الْأَرْضِ نَحْواً مِنْ شِبْرٍ 

Makam beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditinggikan dari tanah seukuran satu jengkal. [HR Ibnu Hibban, XIV/602 no. 6635, dan isnadnya dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani][11]. 

Bahkan, para Ulama melarang untuk menambah tanah di atas kuburan dengan tanah yang berasal dari luar kuburan tersebut. Imam Syafi’i (w. 204 H) berkata, “Aku lebih suka untuk tidak ditambahkan di atas kuburan tanah dari selainnya.”[12] 

Seandainya meninggikan kuburan lebih dari sejengkal dengan tanah lain saja dilarang, bagaimana jika didirikan bangunan di atasnya? Entah itu berupa nisan persegi panjang (biasanya dibuat setelah seribu hari dari kematian), kubah, joglo atau masjid! Sebab itu semua menyelisihi hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut:

نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُبْنَى عَلَى الْقَبْرِ أَوْ يُزَادَ عَلَيْهِ.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang untuk dibangun di atas kuburan atau ditambah di atasnya. [HR an-Nasa`i, IV/391 no. 2026; dari Jabir Radhiyallahu anhu. Hadits ini dinilai shahîh oleh Ibn Hibban,[13] al-Hakim[14] dan al-Albani][15]. 

Membuat bangunan di atas kuburan merupakan salah satu faktor terbesar yang akan mengantarkan kepada pengkultusan kuburan tersebut. Yang ujung-ujungnya bermuara kepada kesyirikan. Karena itulah tidak heran jika para ulama mu’tabar dari kalangan empat mazhab Ahlus Sunnah satu kata dalam melarang hal tersebut.[16] 

Dan masih banyak praktek-praktek lain terhadap kuburan yang dilarang di dalam Islam. Seperti membuat tulisan di atas kuburan, mewarnainya, meneranginya dengan lampu dan yang semisal. Yang semuanya itu pasti akan menimbulkan dampak negatif, besar atau kecil, terasa atau tidak, terutama terhadap akidah umat. 

Sebab kita haqqul yaqin bahwa setiap yang dilarang agama, pasti akan membawa keburukan. Sebaliknya, setiap yang diperintah agama, pasti akan mendatangkan kemaslahatan.

RENUNGAN
Alangkah menyedihkan perilaku sebagian kalangan yang begitu bersemangat untuk menghiasi kuburan dengan bangunan, padahal itu jelas-jelas haram. Di kesempatan lain, saat mengantar jenazah ke pemakaman, dengan santai sambil ngobrol, mereka duduk-duduk di atas kuburan. Padahal ini juga terlarang. Jadi, larangan mana yang tidak mereka langgar? Terus maslahat apa yang sudah mereka realisasikan? 

KESIMPULAN
Dari studi ringkas di atas, insya Allâh kita bisa melihat betapa ajaran Islam mengenai kuburan sangatlah proporsional dan tidak timpang sudut pandangannya. Semua mendapat porsi perhatian yang memadai. Baik kepentingan ahli kubur, maupun kepentingan orang yang masih hidup. Kehormatan orang yang meninggal tetap dihargai. Akidah masyarakat pun tetap terjaga.

Jika aturan di atas tidak dijalankan, bisa dipastikan ada pihak yang dirugikan. Bisa jadi yang dirugikan adalah ahli kubur, karena kehormatannya dinodai. Atau lebih parah lagi, yang dirugikan adalah umat manusia, karena akidah mereka rusak. Ujung-ujungnya keindahan proporsionalitas ajaran Islam tentang kuburan, akan nampak buram, akibat ulah sebagian kaum muslimin sendiri. 

Oleh Ustadz Abdullâh Zaen, Lc., MA

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XVII/1434H/2013.]
_______
Footnote
[1]. Baca al-Qubûriyyah, Nasy’atuhâ, Âtsâruhâ, Mauqif al-‘Ulamâ’ minhâ – al-Yaman Namûdzajan, karya Ahmad bin Hasan al-Mu’allim, hlm. 63.
[2]. Periksa at-Targhîb wa at-Tarhîb, III/1286.
[3]. Lihat Irwâ’ al-Ghalîl, I/102 no. 63.
[4]. Baca al-Mustadrak, I/709 no. 1421.
[5]. Cermati Irwâ’ al-Ghalîl, III/211 no. 760. Dalam beberapa kitab yang lain, beliau menyatakan hadits ini hasan.
[6]. Lihat Shahîh Ibn Hibbân, VII/437 no. 3167.
[7]. Baca Irwâ’ al-Ghalîl, III/213 no. 763.
[8]. Sebagaimana dalam Mishbâh az-Zujâjah di hasyiyah Sunan Ibn Majah, II/152.
[9]. Melalui jalan Abu Dawud. Periksa at-Talkhîsh al-Habîr, III/1241 no. 964.
[10]. Syarh Shahîh Muslim, VII/42.
[11]. Lihat Ahkâm al-Janâiz, hlm. 195.
[12]. Al-Umm, I/463.
[13]. Shahîh Ibn Hibban, VII/434 no. 3163.
[14]. Al-Mustadrak, no. 1369.
[15]. Lihat Shahîh Sunan an-Nasâ’i, II/65 no. 2026.
[16]. Sekedar contoh, untuk ulama Mazhab Hanafi, silahkan baca Badâ’i’ ash-Shanâ’i’ karya al-Kâsâni (II/797) dan Hasyiyah Ibn ‘Âbidîn (II/236). Ulama Mazhab Maliki, silahkan periksa Ikmâl al-Mu’lim karya al-Qadhi ‘Iyadh (II/540) dan Tafsîr al-Qurthubi (XIII/242-243). Ulama Mazhab Syafi’i, silahkan telaah al-Umm karya Imam Syafi’i (I/463), al-Majmû’ karya an-Nawawi (V/289) dan Faidh al-Qadîr karya al-Munawi (V/274). Ulama Mazhab Hambali, silahkan lihat al-Mughni karya Ibn Qudamah (III/441), Majmû’ Fatâwâ Ibn Taimiyyah (XXVII/488) dan Ighâtsah al-Lahfân karya Ibn al-Qayyim (I/350).

Pemimpin Akan Berlepas Diri Dari Pengikutnya

Abu Fathan | 16:51 | 0 comments
Di antara yang dikhawatirkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap umatnya adalah adanya pemimpin-pemimpin yang menyeret para pengikutnya ke lembah kesesatan. Dalam sebuah hadits disebutkan, dari Tsaubân Radhiyallahu anhu, dia berkata, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

وَإِنَّمَا أَخَافُ عَلَى أُمَّتِي الْأَئِمَّةَ الْمُضِلِّينَ

Sesungguhnya yang aku khawatirkan pada umatku adalah imam-imam (tokoh-tokoh panutan) yang menyesatkan. [HR Abu Dawud, no. 4252; Ahmad, 5/278, 284; al-Baihaqi, no. 3952. Dishahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albâni].

Hadits ini menunjukkan kekhawatiran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap imam-imam yang menyesatkan. Yaitu orang-orang yang mengajak menuju kekafiran, kemusyrikan, bid’ah, kefasikan, dan kemaksiatan. 

Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh rahimahullah berkata, “Yaitu umara’ (para penguasa), Ulama’ (para ahli agama), dan ahli-ahli ibadah, mereka menetapkan suatu hukum dengan tanpa ilmu sehingga mereka menyesatkan umat”.[1] 

Benar, apa yang dikhawatirkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pembawa rahmat ini, banyak kita lihat pada zaman ini, atau zaman-zaman sebelumnya. Manusia berbondong-bondong mengikuti seorang tokoh panutan, walaupun tokoh itu berada di dalam kesesatan. Hanya Allâh tempat memohon pertolongan.

PEMIMPIN TIDAK BOLEH DITAATI DALAM PERKARA MAKSIAT
Telah terjadi ijma' (kesepakatan) Ahlus Sunnah tentang kewajiban mendengar dan mentaati ulil amri berdasarkan nash-nash yang nyata dan banyak. Di antaranya adalah firman Allâh Azza wa Jalla :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allâh dan ta'atilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allâh (Al-Qur'an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allâh dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. [an-Nisa'/4: 59]

Namun ketaatan kepada ulil amri tersebut adalah di dalam perkara yang bukan maksiat. Adapun jika mereka memerintahkan maksiat, maka tidak boleh taat. 

Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa'di rahimahullah berkata: "Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan agar (orang-orang yang beriman) mentaati ulil amri, mereka adalah para pemimpin manusia dari kalangan penguasa, pemerintah, dan mufti. Karena sesungguhnya urusan agama dan dunia manusia tidak akan lurus kecuali dengan mentaati dan tunduk kepada ulil amri, dengan niat mentaati Allâh dan mengharap pahala di sisiNya. Akan tetapi dengan syarat, mereka tidak memerintahkan maksiat. Jika mereka memerintahkan maksiat, maka tidak ada ketaatan kepada makhluk di dalam bermaksiat kepada al-Khaliq. Dan kemungkinan ini merupakan rahasia ditiadakannya kata perintah ketika memerintahkan mentaati ulil amri, dan Allâh menyebutkannya bersama ketaatan kepada Rasul. Karena sesungguhnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah memerintahkan kecuali dengan ketaatan kepada Allâh, maka barangsiapa mentaatinya berarti dia mentaati Allâh. Adapun ulil amri, maka syarat perintah mentaati mereka adalah perintah itu bukan maksiat".[2] 

Banyak hadits menyebutkan bahwa kewajiban mentaati ulil amri itu adalah dalam perkara yang bukan maksiat. Di antaranya adalah hadits-hadits berikut ini:

عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ جَيْشًا وَأَمَّرَ عَلَيْهِمْ رَجُلًا فَأَوْقَدَ نَارًا وَقَالَ ادْخُلُوهَا فَأَرَادُوا أَنْ يَدْخُلُوهَا وَقَالَ آخَرُونَ إِنَّمَا فَرَرْنَا مِنْهَا فَذَكَرُوا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لِلَّذِينَ أَرَادُوا أَنْ يَدْخُلُوهَا لَوْ دَخَلُوهَا لَمْ يَزَالُوا فِيهَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَقَالَ لِلْآخَرِينَ لَا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةٍ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ

Dari 'Ali Radhiyallahu anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus satu pasukan dan mengangkat seorang laki-laki sebagai panglima mereka. Kemudian panglima itu menyalakan api dan berkata (kepada pasukannya): "Masuklah kamu ke dalam api!" Sebagian pasukan berkehendak memasukinya, orang-orang yang lain mengatakan,"Sesungguhnya kita lari dari api (neraka)," kemudian mereka menyebutkan hal itu kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka beliau bersabda kepada orang-orang yang berkehendak memasukinya, "Jika mereka memasuki api itu, mereka akan terus di dalam api itu sampai hari kiamat". Dan beliau bersabda kepada yang lain,"Tidak ada ketaatan di dalam maksiat, taat itu hanya dalam perkara yang ma'ruf". [HR Bukhari, no. 7257; Muslim, no. 1840].

Imam Qurthubi rahimahullah berkata: "Yang dimaksudkan ma'ruf di sini adalah perkara yang bukan mungkar dan bukan maksiat. Sehingga masuk di dalam ma'ruf ini, yaitu ketaatan-ketaatan yang wajib, perkara-perkara yang mandub (dianjurkan), dan perkara-perkara yang boleh menurut agama. Jika penguasa memerintahkan perkara yang jaiz (boleh), mentaati penguasa di dalam perkara itu menjadi wajib hukumnya, dan tidak boleh menyelisihinya"[3]. 

PEMIMPIN KESESATAN AKAN BERLEPAS DIRI DARI PENGIKUT
Barangsiapa mentaati pemimpin dengan mutlak, mentaatinya di dalam kekafiran dan kemaksiatan, maka sesungguhnya dia akan menyesal dengan penyesalan yang besar. Karena pemimpin yang dia ikuti tidak akan bisa menolongnya pada hari kiamat, bahkan pemimpin itu akan berlepas diri dari para pengikutnya. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

إِذْ تَبَرَّأَ الَّذِينَ اتُّبِعُوا مِنَ الَّذِينَ اتَّبَعُوا وَرَأَوُا الْعَذَابَ وَتَقَطَّعَتْ بِهِمُ الْأَسْبَابُ ﴿١٦٦﴾ وَقَالَ الَّذِينَ اتَّبَعُوا لَوْ أَنَّ لَنَا كَرَّةً فَنَتَبَرَّأَ مِنْهُمْ كَمَا تَبَرَّءُوا مِنَّا ۗ كَذَٰلِكَ يُرِيهِمُ اللَّهُ أَعْمَالَهُمْ حَسَرَاتٍ عَلَيْهِمْ ۖ وَمَا هُمْ بِخَارِجِينَ مِنَ النَّارِ 

Ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa; dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus sama sekali.
Dan berkatalah orang-orang yang mengikuti: "Seandainya kami dapat kembali (ke dunia), pasti kami akan berlepas diri dari mereka, sebagaimana mereka berlepas diri dari kami." Demikianlah Allâh memperlihatkan kepada mereka amal perbuatannya menjadi sesalan bagi mereka; dan sekali-kali mereka tidak akan keluar dari api neraka. [al-Baqarah/2:166-167].

PENGIKUT MEMINTA TANGGUNG JAWAB PEMIMPIN
Para pengikut yang telah melihat siksa Allâh, akan meminta kepada para pemimpinnya dahulu agar menyelamatkan dari siksa tersebut. Namun hal itu tidak mungkin terpenuhi. Allâh Azza wa Jalla memberitakan kejadian itu di dalam firman-Nya :

وَبَرَزُوا لِلَّهِ جَمِيعًا فَقَالَ الضُّعَفَاءُ لِلَّذِينَ اسْتَكْبَرُوا إِنَّا كُنَّا لَكُمْ تَبَعًا فَهَلْ أَنْتُمْ مُغْنُونَ عَنَّا مِنْ عَذَابِ اللَّهِ مِنْ شَيْءٍ ۚ قَالُوا لَوْ هَدَانَا اللَّهُ لَهَدَيْنَاكُمْ ۖ سَوَاءٌ عَلَيْنَا أَجَزِعْنَا أَمْ صَبَرْنَا مَا لَنَا مِنْ مَحِيصٍ

Dan mereka semuanya (di padang Mahsyar) akan berkumpul menghadap ke hadirat Allâh, lalu berkatalah orang-orang yang lemah kepada orang-orang yang sombong: "Sesungguhnya kami dahulu adalah pengikut-pengikutmu, maka dapatkah kamu menghindarkan daripada kami azab Allâh (walaupun) sedikit saja?" Mereka menjawab: "Seandainya Allâh memberi petunjuk kepada kami, niscaya kami dapat memberi petunjuk kepadamu. Sama saja bagi kita, apakah kita mengeluh ataukah bersabar. Sekali-kali kita tidak mempunyai tempat untuk melarikan diri". [Ibrâhîm/14:21].

Di dalam ayat yang lain Allâh Azza wa Jalla memberitakan perbantahan para pengikut dengan para pemimpin mereka ketika mereka telah berada di dalam neraka. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

وَإِذْ يَتَحَاجُّونَ فِي النَّارِ فَيَقُولُ الضُّعَفَاءُ لِلَّذِينَ اسْتَكْبَرُوا إِنَّا كُنَّا لَكُمْ تَبَعًا فَهَلْ أَنْتُمْ مُغْنُونَ عَنَّا نَصِيبًا مِنَ النَّارِ ﴿٤٧﴾ قَالَ الَّذِينَ اسْتَكْبَرُوا إِنَّا كُلٌّ فِيهَا إِنَّ اللَّهَ قَدْ حَكَمَ بَيْنَ الْعِبَادِ 

Dan (ingatlah), ketika mereka berbantah-bantah dalam neraka, maka orang-orang yang lemah berkata kepada orang-orang yang menyombongkan diri: "Sesungguhnya kami adalah pengikut-pengikutmu, maka dapatkah kamu menghindarkan dari kami sebahagian azab api neraka?"
Orang-orang yang menyombongkan diri menjawab: "Sesungguhnya kita semua sama-sama dalam neraka, karena sesungguhnya Allâh telah menetapkan keputusan antara hamba-hamba-(Nya)". [Ghafir/40:47-48].

PEMIMPIN DAN PENGIKUT SALING MENYALAHKAN
Ketika pemimpin berada di dalam kesesatan, kemudian mereka menyesatkan para pengikut, mereka semua mengira berada di atas kebenaran. Namun ketika kebenaran hakiki telah tersingkap, bahwa mereka semua berada di dalam kesesatan, karena menentang para Rasul Allâh, maka akhirnya mereka saling menyalahkan. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَلَوْ تَرَىٰ إِذِ الظَّالِمُونَ مَوْقُوفُونَ عِنْدَ رَبِّهِمْ يَرْجِعُ بَعْضُهُمْ إِلَىٰ بَعْضٍ الْقَوْلَ يَقُولُ الَّذِينَ اسْتُضْعِفُوا لِلَّذِينَ اسْتَكْبَرُوا لَوْلَا أَنْتُمْ لَكُنَّا مُؤْمِنِينَ﴿٣١﴾قَالَ الَّذِينَ اسْتَكْبَرُوا لِلَّذِينَ اسْتُضْعِفُوا أَنَحْنُ صَدَدْنَاكُمْ عَنِ الْهُدَىٰ بَعْدَ إِذْ جَاءَكُمْ ۖ بَلْ كُنْتُمْ مُجْرِمِينَ﴿٣٢﴾وَقَالَ الَّذِينَ اسْتُضْعِفُوا لِلَّذِينَ اسْتَكْبَرُوا بَلْ مَكْرُ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ إِذْ تَأْمُرُونَنَا أَنْ نَكْفُرَ بِاللَّهِ وَنَجْعَلَ لَهُ أَنْدَادًا ۚ وَأَسَرُّوا النَّدَامَةَ لَمَّا رَأَوُا الْعَذَابَ وَجَعَلْنَا الْأَغْلَالَ فِي أَعْنَاقِ الَّذِينَ كَفَرُوا ۚ هَلْ يُجْزَوْنَ إِلَّا مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Dan orang-orang kafir berkata: "Kami sekali-kali tidak akan beriman kepada Al-Quran ini dan tidak (pula) kepada kitab yang sebelumnya". Dan (alangkah hebatnya) kalau kamu lihat ketika orang-orang yang zhalim itu dihadapkan kepada Rabbnya, sebahagian dari mereka menghadapkan perkataan kepada sebagian yang lain; orang-orang yang dianggap lemah berkata kepada orang-orang yang menyombongkan diri: "Kalau tidaklah karena kamu, tentulah kami menjadi orang-orang yang beriman".
Orang-orang yang menyombongkan diri berkata kepada orang-orang yang dianggap lemah: "Kamikah yang telah menghalangi kamu dari petunjuk sesudah petunjuk itu datang kepadamu? (Tidak), sebenarnya kamu sendirilah orang-orang yang berdosa".
Dan orang-orang yang dianggap lemah berkata kepada orang-orang yang menyombongkan diri: "(Tidak), sebenarnya tipu daya(mu) di waktu malam dan siang (yang menghalangi kami), ketika kamu menyeru kami supaya kami kafir kepada Allâh dan menjadikan sekutu-sekutu bagi-Nya". Kedua belah pihak menyatakan penyesalan tatkala mereka melihat adzab. Dan Kami akan memasang belenggu di leher orang-orang yang kafir. mereka tidak dibalas melainkan dengan apa yang telah mereka kerjakan. [Saba’/34:31-33].

PENYESALAN PENGIKUT
Semua orang kafir, baik pemimpin maupun pengikut, akan kekal di dalam siksa neraka. Karena kemarahan, kejengkelan, dan kesusahan, maka para pengikut memohon kepada Allâh agar para pemimpin itu disiksa dengan siksa dua kali lipat, yaitu dengan sebab kekafiran mereka dan dengan sebab mereka menyesatkan pengikutnya. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

قَالُوا رَبَّنَا مَنْ قَدَّمَ لَنَا هَٰذَا فَزِدْهُ عَذَابًا ضِعْفًا فِي النَّارِ

Mereka (para pengikut) berkata (lagi): "Ya Rabb kami; orang yang telah menjerumuskan kami ke dalam adzab ini, maka tambahkanlah adzab kepadanya dengan berlipat ganda di dalam neraka". [Shaad/38: 61]

Di dalam ayat yang lain Allâh Azza wa Jalla berfirman :

إِنَّ اللَّهَ لَعَنَ الْكَافِرِينَ وَأَعَدَّ لَهُمْ سَعِيرً﴿٦٤﴾اخَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۖ لَا يَجِدُونَ وَلِيًّا وَلَا نَصِيرًا﴿٦٥﴾يَوْمَ تُقَلَّبُ وُجُوهُهُمْ فِي النَّارِ يَقُولُونَ يَا لَيْتَنَا أَطَعْنَا اللَّهَ وَأَطَعْنَا الرَّسُولَا﴿٦٦﴾وَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءَنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلَا﴿٦٧﴾رَبَّنَا آتِهِمْ ضِعْفَيْنِ مِنَ الْعَذَابِ وَالْعَنْهُمْ لَعْنًا كَبِيرًا

Sesungguhnya Allâh melaknat orang-orang kafir dan menyediakan bagi mereka api yang menyala-nyala (neraka); mereka kekal di dalamnya selama-lamanya; mereka tidak memperoleh seorang pelindungpun dan tidak (pula) seorang penolong. Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikan dalam neraka, mereka berkata: "Alangkah baiknya, andaikata kami taat kepada Allâh dan taat (pula) kepada Rasul". Dan mereka berkata:"Ya Rabb kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar). Ya Rabb kami, timpakanlah kepada mereka adzab dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan yang besar". [al-Ahzâb/33:64-68].

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Thâwus rahimahullah mengatakan, “Saadatana yaitu para pemimpin, sedangkan kubaro-ana (pembesar-pembesar kami) adalah ulama". (Riwayat Ibnu Abi Haatim). Yaitu, kami dahulu telah mentaati para penguasa dan para pembesar dari kalangan ulama’, dan kami telah menyelisihi para Rasul, kami dahulu meyakini bahwa mereka memiliki sesuatu (manfaat, Pen.), dan bahwa mereka di atas sesuatu (kebenaran, Pen.), namun ternyata mereka tidak di atas sesuatu (kebenaran).[4] 

Demikianlah penyesalan di akhirat. Penyesalan para pengikut terhadap para panutan yang telah menyesatkan mereka, baik panutan dari kalangan penguasa maupun ahli agama. Maka sepantasnya orang-orang yang berakal menggunakan akalnya, dan mengikuti petunjuk Allâh dan Rasul-Nya, sehingga tidak hanya mengikuti dengan buta kepada tokoh-tokohnya. 

Semoga Allâh Azza wa Jalla menjaga kita dari segala keburukan, dan membimbing kita di atas jalan kebenaran. al-hamdulillah Rabbil-'Alamin.

Oleh. Ustadz Abu Isma’il Muslim al-Atsari

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XVI/1434H/2013.]
_______
Footnote
[1]. Fathul Majîd, hlm. 243.
[2]. Tafsir as-Sa'di, surat an-Nisa/4:59.
[3]. Al-Mufhim, 4/41. Dinukil dari catatan kaki kitab Fiqih as-Siyâsah asy-Syar'iyyah, hlm. 279.
[4]. Tafsir Ibnu Katsir, surat al-Ahzâb/33 ayat 67-68, dengan ringkas.

Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafur Bercermin Kepada Negeri Saba'

Abu Fathan | 16:56 | 0 comments
Oleh
Ustadz Ruslan Zuardi Mora Elbagani, Lc.


Allâh Subhanahu wa Ta’ala adalah Dzat yang Maha Sempurna dan Maha Mengetahui. Ilmu-Nya meliputi segala sesuatu. Ia memilih waktu tertentu dan menjadikannya sebagai waktu yang memiliki keutamaan. Seperti halnya Lailatul-Qadar yang dijadikan lebih baik dari seribu bulan. Demikian pula, Allâh Subhanahu wa Ta’ala telah memilih kota Makkah al-Mukarramah sebagai satu tempat di bumi yang lebih utama dibanding tempat-tempat yang lain. Begitu pula Allâh Subhanahu wa Ta’ala menyebut suatu tempat (negeri) sebagai Baldatun Thayyibatun. Ini semua merupakan bukti dari kesempurnaan ilmu-Nya yang mengetahui rahasia dan hakikat sesuatu.

Baldatun Thayyibatun merupakan istilah yang tidak asing bagi kaum muslimin. Alangkah baiknya jika kemudian diiringi dengan mengetahui profil negeri Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur tersebut, dengan merujuk kepada kitab-kitab tafsir dan sejarah Islam. Negeri manakah yang dimaksud? 

Dalam al-Qur'ân al-Karim, Allâh Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan perihal negeri yang sukses, atau Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman: 

لَقَدْ كَانَ لِسَبَإٍ فِي مَسْكَنِهِمْ آيَةٌ ۖ جَنَّتَانِ عَنْ يَمِينٍ وَشِمَالٍ ۖ كُلُوا مِنْ رِزْقِ رَبِّكُمْ وَاشْكُرُوا لَهُ ۚ بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ

Sesungguhnya bagi kaum Saba' ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka, yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan sebelah kiri. (Kepada mereka dikatakan): "Makanlah olehmu dari rizki yang (dianugerahkan) Rabbmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Rabbmu) adalah Rabb yang Maha Pengampun". [Saba'/34:15].

Imam ath-Thabari rahimahullah menukil dari Imam Mujahid rahimahullah, bahwa yang dimaksud dengan Baldatun Thayyibatun adalah kota ash-Shan'a.[1] 

Syaikh as-Sa'di menyebutkan, Saba' adalah sebuah kabilah yang cukup terkenal di semenanjung Negeri Yaman. Tempat tinggal mereka disebut dengan Ma'rib.[2] 

Al-Khazin ketika menafsirkan makna dari kalimat " مَسْكَنِهِمْ" ,( di tempat kediaman mereka) ia berkata: "Yaitu kota Ma'rib yang terletak di Negeri Yaman". Dan yang dimaksud dengan Baldatun Thayyibatun adalah Negeri Yaman.[3] 

Adapun keutamaan Negeri Saba' telah diceritakan dalam al-Qur'ân al-Karim, diantaranya, dahulu Saba’ adalah negeri yang subur dan makmur. Kesuburan tanahnya dilukiskan dari terlihatnya di kiri kanan jalan penuh kebun-kebun menghijau, dihiasi dengan pohon-pohon berbuah lebat. Buah-buahan yang ada juga digambarkan dengan segala sifat kelezatan dan keistimewaan dibandingkan dengan buah-buahan yang ada di tempat lain di bumi. Sehingga yang berjalan di seluruh Negeri Saba' tak pernah merasakan lelah, haus, dan lapar, karena jika ingin makan, tinggal memetik aneka macam buah yang terdapat di sepanjang jalan. Sehingga sejauh dan seberat apa pun perjalanan, senantiasa terasa dekat dan ringan. 

Ahli tafsir di kalangan tabi’in, seperti Qatâdah, dan yang lain menggambarkan betapa subur dan makmur Negeri Saba’ itu ; digambarkan, seorang wanita berjalan di bawah pepohonan dengan memanggul keranjang di atas kepalanya untuk mewadahi buah-buahan yang berjatuhan, maka keranjang itu penuh tanpa harus susah payah memanjat atau memetiknya.[4] 

Air di Negeri Saba' mengalir dan memancar di mana-mana. Air tersebut, bersumber dari bendungan Ma'arib. Sebuah bendungan besar yang mampu menampung curahan air hujan satu kali musim hujan, cukup untuk memenuhi kebutuhan selama dua atau tiga tahun musim kemarau.

Imam asy-Syaukâni menyebutkan dari Imam Abdurrahman bin Zaid tentang firman-Nya (Sesungguhnya bagi kaum Saba ada tanda (kekuasaan Rabb) di tempat kediaman mereka…) "Sungguh merupakan tanda kekuasan Allâh Subhanahu wa Ta’ala pada kaum Saba' berupa anugerah yang Allâh Subhanahu wa Ta’ala berikan kepada mereka di tempat kediaman mereka. Mereka tidak pernah melihat adanya hewan-hewan yang berbahaya seperti nyamuk, lalat, kutu, kalajengking, ular dan hewan (pengganggu) lainnya. Bila ada iringan kafilah yang hendak melintas di perkampungan mereka dengan mengenakan pakaian yang dihinggapi oleh kutu-kutu, maka kutu-kutu itupun mati tatkala mereka melihat rumah penduduk Negeri Saba'."[5] 

Demikian keberkahan yang diberikan Allâh Subhanahu wa Ta’ala kepada Negeri Saba'. Selain itu, tercatat dalam sejarah, penduduknya adalah penduduk yang senantiasa tunduk dan patuh dalam menjalankan perintah Allâh Subhanahu wa Ta’ala , terbebas dari perbuatan syirik dan zhalim serta selalu mensyukuri nikmat yang Allâh Subhanahu wa Ta’ala berikan. Sungguh mereka mencintai Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan Allâh Subhanahu wa Ta’ala mencintai mereka. 

Dari sisi akhlak, kaum Saba' senantiasa meninggalkan pekerjaan yang mengandung unsur kebohongan, baik dalam ucapan maupun tindakan. Kaum Saba' benar-benar jujur dalam berkata dan bekerja. Sehingga mereka mendapat ganjaran berupa taufik, yaitu peningkatan nilai amal mereka, keunggulan dan keberhasilan yang mencakup semua bidang pekerjaan. Baik berdagang, berternak maupun dalam bidang pertanian.

Predikat mulia, Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafûr yang dahulu pernah diraih oleh kaum Saba', kini hanyalah sebuah nama tanpa makna. Keberkahannya telah berganti dengan petaka berupa banjir besar yang meluluhlantakkan negeri tersebut. Penyebabnya adalah mereka berpaling dari ketaatan dan peribadatan kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala , dan kebanyakan mereka tidak bersyukur kepada-Nya. 

Demikian pula, jika kita senantiasa bertakwa kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala , tidak melakukan perbuatan syirik dan selalu bersyukur atas nikmat dan karunia-Nya, maka gelar kemuliaan Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafûr bisa dimiliki negeri kita ini.

Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَٰكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, akan tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. [al-A'râf/7:96].

Kemudian firman-Nya :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا ﴿٧٠﴾ يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allâh memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mangampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa mentaati Allâh dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar. [al-Ahzâb/33:70-71].

Saba' merupakan bagian dari Negeri Yaman, terletak di Jazirah Arab. Letaknya berdekatan dengan Saudi Arabia, yang dalam sejarah Islam telah kita ketahui adalah negeri yang memiliki banyak keutamaan, baik negeri maupun penduduknya. Telah dikenal dalam kitab-kitab sejarah Islam betapa banyaknya keutamaan serta kebaikan yang Allâh Subhanahu wa Ta’ala limpahkan kepada negeri ini, seperti halnya Saba' yang merupakan bagian dari Negeri Yaman.

Penduduk Negeri Yaman terkenal dengan akhlak yang mulia, baik dahulu kala pada masa jahiliyah maupun sesudah datang Islam. Negeri ini juga dikenal sebagai negeri yang mengeluarkan banyak para ulama, ahli ibadah, ahli sya'ir dan selain daripada yang demikian. 

Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لَائِمٍ ۚ ذَٰلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ ۚ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa diantara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allâh akan mendatangkan suatu kaum yang Allâh mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah-lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allâh, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allâh, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allâh Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. [al-Mâ-idah/5:54].

Kaum yang Allâh Subhanahu wa Ta’ala sebutkan di atas, sebagai kaum yang Allâh Subhanahu wa Ta’ala mencintai mereka dan mereka mencintai Allâh Subhanahu wa Ta’ala , mereka adalah bangsa Yaman, sebagaimana datang penjelasan tafsir ayat di atas dalam hadits di bawah ini,

عَنْ جَابِرٍ بْنِ عَبْدِ الله قَالَ :سُئِلَ رَسُوْلُ اللهِ عَنْ قَوْلِهِ تَعَالَى : فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ ) قَالَ : هَؤُلاَءِ قَوْمٌ مِنَ الْيَمَنِ)

Dari sahabat Jabir bin Abdillah bahwasanya ia berkata: "Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah ditanya tentang firman Allâh “maka kelak Allâh akan mendatangkan suatu kaum yang Allâh mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya“, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Mereka adalah sekelompok kaum dari Negeri Yaman". [HR ath-Thabrani,[6] dihasankan oleh Syaikh al-Albani].[7] 

Selain itu dikisahkan pada zaman Rasulullâh, Ahlul-Yaman berbondong-bondong memasuki agama Allâh, sebagaimana dikisahkan dalam hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , beliau berkata, "Tatkala diturunkan ayat : 

إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ ﴿١﴾ وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا

'Apabila telah datang pertolongan Allâh dan kemenangan. Dan kamu lihat manusia masuk agama Allâh dengan berbondong-bondong,' [an-Nashr/110:1-2]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : 

أَتَاكُمْ أَهْلُ الْيَمَنِ, هُمْ أَرَقُّ قُلُوْبًا, الإِيْمَانُ يَمَانٍ وَالْفِقْهُ يَمَانٍ وَالْحِكْمَةُ يَمَانِيَّةٌ

Telah datang kepada kalian penduduk negeri Yaman. Mereka adalah orang-orang yang paling lembut hatinya, iman itu ada pada Yaman, dan Fiqih ada pada Yaman, dan hikmah ada pada negeri Yaman [HR Imam Ahmad,[8] disahîhkan oleh Syaikh al-Albani][9]. 

Imam al-Baghawi rahimahullah berkata, “Yang demikian itu merupakan pujian kepada penduduk Yaman, dikarenakan mereka adalah kaum yang cepat berimannya, dan keimanan mereka kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala bagus”.[10] 

Dikisahkan pula dalam suatu hadits, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendo’akan hidayah dan barakah buat penduduk Yaman.

عَنْ أَنَسٍ عَنْ زَيْدٍ بْنِ ثَابِتٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ n نَظَرَ قِبَلَ الْيَمَنِ فَقَالَ اللَّهُمَّ أَقْبِلْ بِقُلُوْبِهِمْ وَبَارِكْ لَنَا فِي صَاعِنَا وَمُدِّنَا

Dari Anas Radhiyallahu anhu, dari sahabat Zaid bin Tsâbit Radhiyallahu anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengarahkan pandangannya ke arah Negeri Yaman, kemudian beliau berdoa, 'Ya Allâh, jadikanlah di hati mereka kelapangan dalam menerima Islam dan berikanlah keberkahan kepada sha' dan mud kami'." [HR at-Tirmidzi.[11] Syaikh al-Albani berkata, "Hadits ini adalah hadits hasan shahîh"][12]. 

Demikianlah seperti yang telah dikisahkan sebelumnya, sebagai salah satu bukti dari janji Allâh Subhanahu wa Ta’ala untuk orang-orang atau penduduk negeri yang bertakwa, yaitu Negeri Saba'. Negeri berlabel Baldatun Thayyibatun Rabbun Ghafûr. Dan kita memohon kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala agar menjadikan negeri kita ini sebagai negeri yang diberkahi. Wallâhu Ta'ala 'alam. 

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XVI/1434H/2013. ]
_______
Footnote
[1]. Tafsir ath-Thabari, 14/284.
[2]. Lihat Tafsir as-Sa'di, 1/677. 
[3]. Lubab at-Ta'wîl fi Ma'âni at-Tanzîl, 5/287.
[4]. Lihat al-Bidâyah wa an-Nihâyah, 2/193.
[5]. Fathu al-Qadîr, 4/454.
[6]. Al-Mu'jam al-Ausath, no. 1392.
[7]. Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah, 13/181.
[8]. Al-Musnad, no. 7723.
[9]. Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah, 13/182.
[10]. Syarhu as-Sunnah, 14/201. 
[11]. Sunan at-Tirmidzi, no. 3924.
[12]. Shahih at-Tirmidzi, no. 3086.
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. BERITA SUNNAH - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger