{قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ ويَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ، وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ}

Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah (sunnah/petunjuk)ku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS Ali ‘Imran:31)

Menolak Hadiah

Abu Fathan | 22:17 | 0 comments

Agama Islam telah mensyari’atkan bagi pemeluknya untuk saling memberi hadiah. Hadiah yang diberikan dengan ikhlash dan rasa kasih sayang. Dengan saling memberikan hadiah, akan tercipta rasa cinta.
حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ خَالِدٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا ضِمَامُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ، قَالَ: سَمِعْتُ مُوسَى بْنَ وَرْدَانَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " تَهَادُوا، تَحَابُّوا "
Telah menceritakan kepada kami ‘Amru bin Khaalid, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Dlammaam bin Ismaa’iil, ia berkata : Aku mendengar Muusaa bin Wardaan, dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Saling memberi hadiahlah kalian, niscaya kalian akan saling mencintai” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy dalam Al-Adabul-Mufrad hal. 306 no. 594; dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albaaniy dalam Irwaaul-Ghaliil no. 1601].
وَأَخْبَرَنِي أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ، قَالَ: حَدَّثَنِي عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " تَصَافَحُوا يَذْهَبِ الْغِلُّ، وَتَهَادَوْا تَذْهَبِ الشَّحْنَاءُ ".
Dan telah mengkhabarkan kepadaku Usaamah bin Zaid, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku ‘Abdul-‘Aziiz bin ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz, dari ayahnya : Bahwasannya Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : “Saling berjabat tanganlah, niscaya akan hilang kedengkian. Dan saling memberi hadiahlah kalian, niscaya akan hilang permusuhan” [Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Wahb dalam Al-Jaami’ no. 246; sanadnya mursal hasan. Asy-Syaikh Saliim Al-Hilaaliy membawakan beberapa jalan penguatnya dalam takhrij-nya terhadap Al-Muwaththa’ 4/303-304].
Oleh karena itu, disunnahkan bagi kita untuk menerima hadiah, menghargai pemberinya, tidak meremehkannya, mendoakannya, dan membalasnya (dengan hadiah semisal).
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ، حَدَّثَنَا عِيسَى بْنُ يُونُسَ، عَنْ هِشَامٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، قَالَتْ: " كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْبَلُ الْهَدِيَّةَ، وَيُثِيبُ عَلَيْهَا "
 Telah menceritakan kepada kami Musaddad : Telah menceritakan kepada kami ‘Iisaa bin Yuunus, dari Hisyaam, dari ayahnya, dari ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa, ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam biasa menerima hadiah dan membalasnya” [Diriwayatkan Al-Bukhaariy no. 2585].
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يَزِيدَ، حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ أَبِي أَيُّوبَ، حَدَّثَنِي أَبُو الْأَسْوَدِ، عَنْ بُكَيْرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، عَنْ بُسْرِ بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ خَالِدِ بْنِ عَدِيٍّ الْجُهَنِيِّ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " مَنْ بَلَغَهُ مَعْرُوفٌ عَنْ أَخِيهِ مِنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ، وَلَا إِشْرَافِ نَفْسٍ، فَلْيَقْبَلْهُ وَلَا يَرُدَّهُ، فَإِنَّمَا هُوَ رِزْقٌ سَاقَهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَيْهِ "
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Yaziid : Telah menceritakan kepada kami Sa’iid bin Abi Ayyuub : Telah menceritakan kepadaku Abul-Aswad, dari Bukair bin ‘Abdillah, dari Busr bin Sa’iid, dari Khaalid bin ‘Adiy Al-Juhaniy, ia berkata : Aku mendengar Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa yang sampai kepadanya kebaikan (hadiah) dari saudaranya tanpa meminta dan tanpa ambisi jiwa, hendaklah ia menerimanya dan jangan menolaknya. Karena ia hanyalah rizki yang Allah ‘azza wa jalla kirimkan/berikan kepadanya” [Diriwayatkan oleh Ahmad 4/220-221 (29/456) no. 17936; Al-Arna’uth dkk. berkata : “Sanadnya shahih”].
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ، حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عَدِيٍّ، عَنْ شُعْبَةَ، عَنْ سُلَيْمَانَ، عَنْ أَبِي حَازِمٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " لَوْ دُعِيتُ إِلَى ذِرَاعٍ أَوْ كُرَاعٍ لَأَجَبْتُ، وَلَوْ أُهْدِيَ إِلَيَّ ذِرَاعٌ أَوْ كُرَاعٌ لَقَبِلْتُ "
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basysyaar : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi ‘Adiy, dari Syu’bah, dari Sulaimaan, dari Abu Haazim, dari Abu Hurairahradliyallaahu ‘anhu, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Seandainya aku diundang untuk makan hasta atau kaki kambing, niscaya akan aku penuhi. Dan seandainya dihadiahkan kepadaku hasta atau kaki kambing, niscaya akan aku terima” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2568].
حَدَّثَنَا عَاصِمُ بْنُ عَلِيٍّ، حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ، عَنِ الْمَقْبُرِيِّ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " يَا نِسَاءَ الْمُسْلِمَاتِ، لَا تَحْقِرَنَّ جَارَةٌ لِجَارَتِهَا وَلَوْ فِرْسِنَ شَاةٍ "
Telah menceritakan kepada kami ‘Aashim bin ‘Aliy : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi Dzi’b, dari Al-Maqburiy, dari ayahnya, dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, beliau bersabda : “Wahai para wanita muslimah, janganlah kalian meremehkan pemberian tetangga kalian meskipun hanya sekedar bagian kaki kambing” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2566].
حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ الْحَسَنِ الْمَرْوَزِيُّ بِمَكَّةَ، وَإِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعِيدٍ الْجَوْهَرِيُّ، قَالَا: حَدَّثَنَا الْأَحْوَصُ بْنُ جَوَّابٍ، عَنْ سُعَيْرِ بْنِ الْخِمْسِ، عَنْ سُلَيْمَانَ التَّيْمِيِّ، عَنْ أَبِي عُثْمَانَ النَّهْدِيِّ، عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " مَنْ صُنِعَ إِلَيْهِ مَعْرُوفٌ فَقَالَ لِفَاعِلِهِ: جَزَاكَ اللَّهُ خَيْرًا فَقَدْ أَبْلَغَ فِي الثَّنَاءِ "
Telah menceritakan kepada kami Al-Husain bin Al-Hasan Al-Marwaziy di makkah dan Ibraahiim bin Sa’iid Al-Jauhariy, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Al-Ahwash bin Jawwaab, dari Su’air bin Al-Khims, dari Sulaimaan At-Taimiy, dari Abu ‘Utsmaan An-Nahdiy, dari Usaamah bin Zaid, ia berkata : Telah bersabda Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Barangsiapa yang diberikan kepadanya satu kebaikan, hendaklah ia berkata (mendoakan) kepada pelakunya (orang yang memberi) : ‘Jazaakallaahu khairan (semoga Allah memberikan balasan kebaikan kepadamu), maka ia telah memberikan pujian yang besar” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy 3/557 no. 2035, dan ia berkata : “Hadits ini hasan jayyid ghariib”. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan At-Tirmidziy 2/392].
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ، عَنِ الأَعْمَشِ، عَنْ مُجَاهِدٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " مَنِ اسْتَعَاذَ بِاللَّهِ فَأَعِيذُوهُ، وَمَنْ سَأَلَ بِاللَّهِ فَأَعْطُوهُ، وَمَنْ أَتَى إِلَيْكُمْ مَعْرُوفًا فَكَافِئُوهُ، فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا فَادْعُوا لَهُ، حَتَّى يَعْلَمَ أَنْ قَدْ كَافَأْتُمُوهُ "
Telah menceritakan kepada kami Musaddad, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awaanah, dari Al-A’masy, dari Mujaahid, dari Ibnu ‘Umar, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Barangsiapa yang meminta perlindungan kepadamu dengan menyebut nama Allah, maka lindungilah ia. Barangsiapa yang meminta dengan menyebut nama Allah, maka berilah ia. Barangsiapa yang datang kepada kalian kebaikan, maka balaslah. Apabila kalian tidak mendapatkan (sesuatu untuk membalasnya) maka doakanlah ia hingga ia mengetahui bahwa kalian telah membalasnya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy dalam Al-Adabul-Mufrad hal. 113 no. 216; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Ash-Shahiihah no. 254].
Akan tetapi, ada beberapa sebab dan keadaan yang menghalangi kita menerima hadiah. Diantaranya :
1.     Hadiah yang diberikan adalah barang yang haram, misalnya : khamr atau harta curian.
2.     Hadiah yang diberikan berkaitan dengan kedudukan atau pekerjaan yang diberi hadiah, karena ia termasuk ghuluul.[1]
حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ أَخْزَمَ أَبُو طَالِبٍ، حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمٍ، عَنْ عَبْدِ الْوَارِثِ بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ حُسَيْنٍ الْمُعَلِّمِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُرَيْدَةَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقًا فَمَا أَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ غُلُولٌ "
Telah menceritakan kepada kami Zaid bin Akhzam Abu Thaalib : Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Aashim, dari ‘Abdul-Waarits bin Sa’iid, dari Husain Al-Mu’allim, dari ‘Abdullah bin Buraidah, dari ayahnya, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Barangsiapa yang kami pekerjakan dengan satu pekerjaan dan kami upah ia (atas pekerjaan yang ia lakukan), maka harta apapun yang ia ambil selebih dari itu adalah ghuluul (korupsi)” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 2943; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan Abi Daawud 2/230].
3.     Hadiah yang diberikan merupakan sogokan untuk memuluskan satu maksud dengan melanggar prosedur atau mendhalimi hak-hak orang-hak orang lain.
حَدَّثَنَا أَبُو مُوسَى مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى، حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ الْعَقَدِيُّ، حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ، عَنْ خَالِهِ الْحَارِثِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو، قَالَ: " لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ "
Telah menceritakan kepada kami Abu Muusaa Muhammad bin Al-Mutsannaa : Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Aamir Al-‘Aqadiy : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi Dzi’b, dari pamannya yang bernama Al-Haarits bin ‘Abdirrahmaan, dari Abu Salamah, dari ‘Abdullah bin ‘Amru, ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallammelaknat orang yang melakukan suap dan yang disuap” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy 3/16 no. 1337, dan ia berkata : “Hadits hasan shahih”. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan At-Tirmidziy 2/69].
وَحَدَّثَنِي مَالِك، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ يَسَارٍ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَبْعَثُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ رَوَاحَةَ إِلَى خَيْبَرَ، فَيَخْرُصُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ يَهُودِ خَيْبَرَ، قَالَ: فَجَمَعُوا لَهُ حَلْيًا مِنْ حَلْيِ نِسَائِهِمْ، فَقَالُوا لَهُ: هَذَا لَكَ، وَخَفِّفْ عَنَّا وَتَجَاوَزْ فِي الْقَسْمِ.فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَوَاحَةَ: يَا مَعْشَرَ الْيَهُودِ، وَاللَّهِ إِنَّكُمْ لَمِنْ أَبْغَضِ خَلْقِ اللَّهِ إِلَيَّ، وَمَا ذَاكَ بِحَامِلِي عَلَى أَنْ أَحِيفَ عَلَيْكُمْ، فَأَمَّا مَا عَرَضْتُمْ مِنَ الرَّشْوَةِ، فَإِنَّهَا سُحْتٌ وَإِنَّا لَا نَأْكُلُهَا، فَقَالُوا: بِهَذَا قَامَتِ السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ.
Telah menceritakan kepadaku Maalik, dari Ibnu Syihaab, dari Sulaimaan bin Yasaar : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah mengutus ‘Abdullah bin Rawaahah ke Khaibar, lalu ia menaksir pembagian antara dirinya dan Yahudi Khaibar.Perawi berkata : Lalu mereka (Yahudi Khaibar) mengumpulkan perhiasan dari perhiasan wanita-wanita mereka untuknya. Mereka berkata kepadanya : “Ini adalah bagianmu. Berilah keringanan bagi kami dan lebihkanlah bagian kami”. Maka ‘Abdullah bin Rawaahah berkata : “Wahai sekalian orang Yahudi, demi Allah, sesungguhnya kalian termasuk makhluk Allah yang paling aku benci. Namun demikian, hal itu tidak menyebabkan aku berbuat dhalim kepada kalian. Adapun sesuatu yang kalian berikan kepadaku itu termasuk risywah (suap/sogokan) dan dosa. Sesungguhnya kami (kaum muslimin) tidak memakannya”. Mereka berkata : “Dengan ini, tegaklah langit dan bumi” [Diriwayatkan oleh Maalik dalam Al-Muwaththa’ 3/494-495 no. 1514; sanadnyamursal shahih. Al-Arna’uth menjelaskan beberapa jalan yang menyambungkannya, dan kemudian menghasankannya dalam Jaam’ul-Ushuul 4/617 no. 2701. Dishahihkan oleh Al-Hilaaliy dalam Takhrij Al-Muwaththaa’ 3/494-495].
4.     Hadiah diberikan karena telah memberikan syafa’ah (pertolongan) kepada yang memberikan hadiah.
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَمْرِو بْنِ السَّرْحِ، حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ، عَنْ عُمَرَ بْنِ مَالِكٍ، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي جَعْفَرٍ، عَنْ خَالِدِ بْنِ أَبِي عِمْرَانَ، عَنْ الْقَاسِمِ، عَنْ أَبِي أُمَامَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " مَنْ شَفَعَ لِأَخِيهِ بِشَفَاعَةٍ فَأَهْدَى لَهُ هَدِيَّةً عَلَيْهَا فَقَبِلَهَا، فَقَدْ أَتَى بَابًا عَظِيمًا مِنْ أَبْوَابِ الرِّبَا "
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin ‘Amru bin As-Sarh : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, dari ‘Umar bin Maalik, dari ‘Ubaidullah bin Abi Ja’far, dari Khaalid bin Abi ‘Imraan, dari Al-Qaasim, dari Abu Umaamah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Barangsiapa yang memberikan syafa’at (pertolongan) kepada saudaranya, lalu saudaranya tersebut memberinya hadiah atas pertolongan tersebut, kemudian ia menerimanya, sungguh ia mendatangi satu pintu di antara pintu-pintu riba” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 3541; dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan Abi Daawud 2/383].
Catatan : Para ulama berbeda pendapat dalam menyikapi hadits ini. Diantara mereka ada yang melarang menerima hadiah dengan mengambil dhahir hadits, ada yang mengatakan larangan tersebut berkaitan dengan pertolongan dalam perbuatan dhalim, dan yang lainnya. Yang selamat adalah tidak mengambil imbalan hadiah setelah memberikan pertolongan dengan hanya mengharapkan pahala dari Allah ta’ala.
5.     Hadiah diberikan oleh orang yang mengharap-harap imbalan/balasan yang lebih banyak, yang dengan diterimanya hadiah dapat merendahkan martabat/kehormatan.
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مَنِيعٍ، حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ، أَخْبَرَنِي أَيُّوبُ، عَنْ سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ أَعْرَابِيًّا أَهْدَى لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَكْرَةً، فَعَوَّضَهُ مِنْهَا سِتَّ بَكَرَاتٍ، فَتَسَخَّطَهَا، فَبَلَغَ ذَلِكَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ، ثُمَّ قَالَ: " إِنَّ فُلَانًا أَهْدَى إِلَيَّ نَاقَةً فَعَوَّضْتُهُ مِنْهَا سِتَّ بَكَرَاتٍ، فَظَلَّ سَاخِطًا، وَلَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ لَا أَقْبَلَ هَدِيَّةً إِلَّا مِنْ قُرَشِيٍّ، أَوْ أَنْصَارِيٍّ، أَوْ ثَقَفِيٍّ، أَوْ دَوْسِيٍّ "
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Manii’ : Telah menceritakan kepada kami Yaziid bin Haaruun : Telah mengkhabarkan kepadaku Ayyuub, dari Sa’iid Al-Maqburiy, dari Abu Hurairah : Bahwasannya ada seorang A’rabiy (Arab baduwi) memberikan hadiah kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam seekor onta muda, lalu setelah itu membalasnya dengan memberi enam ekor onta muda, namun orang tersebut marah tidak meridlainya. Sampailah hal tersebut kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Setelah memuji Allah, beliau bersabda : “Sesungguhnya Fulaan memberikan hadiah kepadaku seekor onta betina, lalu aku membalasnya dengan enam ekor onta muda, namun ternyata ia tidak ridla. Dan sungguh, aku berkeinginan untuk tidak menerima hadiah lagi kecuali dari orang Quraisy, orang Anshaar, orang Tsaqaf, atau orang Daus” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy 6/218 no. 3945; dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan At-Tirmidziy 3/594].
Wallaahu a’lam.
Semoga ada manfaatnya.
abul-jauzaa’

Hati yang Sehat

Abu Fathan | 22:12 | 0 comments
Hati yang sehat dan selamat -kata Ibnul Qayyim- adalah hati yang lepas dari noda syirik dan mengikuti ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah hati yang nantinya bermanfaat ketika bertemu Sang Khalik di hari kiamat kelak.
Perlu kita tahu bahwa hati itu ada tiga macam. Ada hati yang sehat (selamat dari penyakit), hati yang sakit dan hati yang mati. Ketiga jenis hati ini disebutkan dalam ayat berikut ini,
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ وَلَا نَبِيٍّ إِلَّا إِذَا تَمَنَّى أَلْقَى الشَّيْطَانُ فِي أُمْنِيَّتِهِ فَيَنْسَخُ اللَّهُ مَا يُلْقِي الشَّيْطَانُ ثُمَّ يُحْكِمُ اللَّهُ آَيَاتِهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ (52) لِيَجْعَلَ مَا يُلْقِي الشَّيْطَانُ فِتْنَةً لِلَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ وَالْقَاسِيَةِ قُلُوبُهُمْ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَفِي شِقَاقٍ بَعِيدٍ (53) وَلِيَعْلَمَ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَيُؤْمِنُوا بِهِ فَتُخْبِتَ لَهُ قُلُوبُهُمْ وَإِنَّ اللَّهَ لَهَادِ الَّذِينَ آَمَنُوا إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ (54)
Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasul pun dan tidak (pula) seorang nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan, syaitan pun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu, Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana, agar Dia menjadikan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, sebagai cobaan bagi orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit (hati yang sakit) dan yang mati hatinya. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu, benar-benar dalam permusuhan yang sangat, dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu (yang punya hati yang sehat), meyakini bahwasanya Al Quran itulah yang hak dari Rabb-mu lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka kepadanya dan sesungguhnya Allah adalah Pemberi Petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus.” (QS. Al Hajj: 52-54). Dalam ayat ini, disebutkan tiga macam hati, yaitu dua hati yang terkena fitnah dan satu hati yang selamat. Hati yang terkena fitnah adalah hati yang sakit dan yang mati. Sedangkan hati yang selamat adalah hati orang beriman yang selalu tunduk dan patuh pada Rabb-Nya, serta selalu merasakan ketenangan.
Bagaimana keadaan hati yang sehat?
Hati yang sehat, itulah yang akan selamat pada kegentingan hari kiamat kelak. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ (88) إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ (89)
(Yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.” (QS. Asy Syu’araa’: 88-89).
Hati yang sehat adalah hati yang selamat dari syahwat yang menyelisihi perintah dan larangan Allah dan selamat dari syubhat yang bertentangan dengan kabar dari Allah, selamat dari penghambaan pada selain Allah, selamat dari berhukum pada selain hukum Rasulullah. Hati yang sehat juga selamat dari cinta ibadah yang menduakan Allah, dari takut ibadah yang menduakan Allah, begitu pula dari rasa harap yang menduakan Allah. Intinya, segala ubudiyah (penghambaan) hanyalah ditujukan pada Allah, itulah hati yang selamat. Demikian kalimat yang jaami’ ketika mendefinisikan hati yang sehat sebagaimana diuraikan oleh Ibnul Qayyim.
Hati yang sehat, selamat dari syirik (penghambaan ibadah pada selain Allah) dan hati tersebut tunduk pada syari’at yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dua unsur penting ini dimiliki oleh orang yang memiliki hati yang sehat. Demikian kesimpulan dari Ibnul Qayyim rahimahullah.
Dalam ibadah ditanyakan dua hal, yaitu: (1) Mengapa? (2) Bagaimana?
Sebagian salaf berkata,
ما من فعلة وإن صغرت إلا ينشر لها ديوانان : لم وكيف أى لم فعلت وكيف فعلت
“Setiap amalan tidak lepas dari dua pertanyaan yaitu mengapa dan bagaimana, maksudnya (1) mengapa dilakukan? (2) bagaimana dilakukan?” (Ighotsatul Lahfan, 1: 42).
Pertanyaan pertama dimaksudkan apakah motivasi yang mendorong melakukan amalan tersebut, apakah dilakukan untuk meraup keuntungan dunia, suka akan pujian manusia, takut pada celaan mereka, ataukah ingin mendekatkan diri pada Allah.
Pertanyaan kedua dimaksudkan bagaimana amalan tersebut dilakukan, apakah sesuai yang disyari’atkan Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- ataukah tidak.
Intinya, pertanyaan pertama tentang ikhlas dalam amalan, sedangkan pertanyaan kedua tentang ittiba’ (mengikuti ajaran Rasul - shallallahu ‘alaihi wa sallam-). Amalan tidaklah diterima melainkan dengan memenuhi dua syarat ini. Sehingga hati yang selamat dan meraih kebahagiaan adalah hati yang ikhlas dan hati yang berusaha mengikuti setiap petunjuk Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- dalam amalan ibadah. Sehingga Ibnul Qayyim pun mengatakan,
فهذا حقيقة سلامة القلب الذي ضمنت له النجاة والسعادة
Inilah (hati yang ikhlas dan ittiba’) itulah hakikat hati yang salim, yang akan meraih keselamatan dan kebahagiaan.” (Ighotsatul Lahfan, 1: 43).
Semoga Allah menganugerahkan pada kita hati yang sehat, bersih dari noda syirik dan noda amalan tiada tuntunan.
Wallahu waliyyut taufiq.

Referensi:
Ighotsatul Lahfan fii Mashoyidisy Syaithon, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan kedua, tahun 1432 H.

---
Riyadh-KSA, 11 Rabi’ul Akhir 1434 H
rumaysho

Demi Sebuah Kursi Kedudukan

Abu Fathan | 21:13 | 0 comments

عَنِ ابْنِ كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ الْأَنْصَارِيِّ، عَنْ أَبِيهِ قَالَ :قَالَ رَسُولُ الله ِn: مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِلاَ فِي غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الْمَالِ وَالشَّرَفِ لِدِينِهِ

Dari Ka’b bin Malik z, Rasulullah n bersabda, “Tidaklah dua ekor serigala yang lapar dilepas di tengah sekawanan kambing lebih merusak daripada merusaknya seseorang terhadap agamanya karena ambisinya untuk mendapatkan harta dan kedudukan.”
Hadits ini diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (no. 2482) melalui jalan Suwaid bin Nashr, dari Abdullah bin Al-Mubarak, dari Zakariya bin Abi Zaidah, dari Muhammad bin Abdirrahman, dari Ibn Ka’b bin Malik, dari ayahnya, dari Rasulullah n.
Al-Imam Ibnu Rajab t berkata, ”Hadits ini diriwayatkan melalui jalan lain dari Nabi n. Di antaranya dari hadits Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas, Abu Hurairah, Usamah bin Zaid, Abu Sa’id, dan ‘Ashim bin ‘Adi Al-Anshari g.”
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad t (3/456).
Hadits ini dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil di dalam Ash-Shahihul Musnad (2/178) dan Asy-Syaikh Al-Albani di dalam Shahihul Jami’ (no. 5620).
Al-Qadhi t menerangkan, hadits ini shahih dan sangat masyhur. Kami memperoleh hadits ini lebih dari satu jalur periwayatan. Secara umum, pada lafadz hadits terdapat perbedaan kata namun bermakna sama.
Makna Hadits
Makna hadits ini, kerusakan yang ditimbulkan oleh dua ekor serigala lapar yang dibiarkan bebas di antara sekawanan kambing masih belum seberapa apabila dibandingkan kerusakan yang muncul karena ambisi seseorang untuk mendapatkan kekayaan dan kedudukan. Karena, ambisi untuk mendapatkan harta dan kedudukan akan mendorong seseorang untuk mengorbankan agamanya. Adapun harta, dikatakan merusak karena ia memiliki potensi untuk mendorongnya terjatuh dalam syahwat serta mendorongnya untuk berlebihan dalam bersenang-senang dengan hal-hal mubah. Sehingga akan menjadi kebiasaannya. Terkadang ia terikat dengan harta lalu tidak dapat mencari dengan cara yang halal, akhirnya ia terjatuh dalam perkara syubhat. Ditambah lagi, harta akan melalaikan seseorang dari zikrullah. Hal-hal seperti ini tidak akan terlepas dari siapapun.
Adapun kedudukan, cukuplah sebagai bukti kerusakannya bahwa harta dikorbankan untuk meraih kedudukan. Sementara kedudukan tidak mungkin dikorbankan hanya untuk mendapatkan harta. Inilah yang dimaksud dengan syirik khafi (syirik yang tersamar). Dia tenggelam di dalam sikap oportunis, merelakan prinsipnya hilang, kenifakan, dan seluruh akhlak tercela. Maka, ambisi terhadap kedudukan lebih merusak dan lebih merusak. (Tuhfatul Ahwadzi Syarah Sunan At-Tirmidzi)
Al-Imam Ibnu Rajab Al-Hanbali t berkata, “Nabi Muhammad n (di dalam hadits ini) mengabarkan bahwa ambisi untuk memperoleh kedudukan dapat merusak agama seseorang. Kerusakannya tidak kurang dari kerusakan yang ditimbulkan oleh dua ekor serigala terhadap sekawanan kambing. Agama seorang hamba tidak akan selamat bila ia memiliki ambisi untuk memperoleh harta dan kedudukan, hanya sedikit yang dapat selamat. Perumpamaan yang teramat agung ini memberikan pesan untuk benar-benar waspada dari keburukan ambisi untuk memperoleh harta dan kedudukan di dunia.”
Beliau t juga berkata, “Ambisi seseorang terhadap kedudukan tentu lebih berbahaya dibandingkan ambisinya terhadap harta. Karena usaha untuk mendapatkan kedudukan duniawi, derajat tinggi, kekuasaan atas orang lain, dan kepemimpinan di atas muka bumi, lebih besar mudaratnya dibandingkan usaha mencari harta. Sungguh besar mudaratnya. Bersikap zuhud dalam hal ini begitu sulit.” (Syarh Ibnu Rajab)
Menjaga Agama Adalah Cita-cita Mulia
Di dalam hadits ini terdapat faedah yang mengingatkan kita bahwa perkara yang terpenting bagi seorang hamba adalah menjaga agamanya. Serta merasa rugi apabila muncul kekurangan di dalam menjalankan agama. Cinta seorang hamba terhadap harta dan kedudukan, upaya yang ia tempuh untuk mendapatkannya, ambisi untuk meraih harta dan kedudukan, serta kerelaan bersusah-payah untuk mengalahkan, hanya akan menyebabkan kehancuran agama dan runtuhnya sendi-sendi agamanya. Simbol-simbol agama akan terhapus. Bangunan-bangunan agamanya pun akan roboh. Ditambah lagi bahaya yang akan ia hadapi karena menempuh sebab-sebab kebinasaan.
Apakah Hanya Karena Sebuah Kedudukan Kita Menjatuhkan Diri Dalam Jurang Kehancuran?
Rasulullah n melarang umat Islam untuk meniru akhlak tercela kalangan Yahudi. Karena meniru akhlak tercela mereka akan berakhir dengan kehancuran dan celaka. Di antara sekian banyak tingkah laku Yahudi yang harus dijauhi adalah ambisi untuk mendapatkan kedudukan. Apakah pantas seorang muslim mengaku memperjuangkan Islam, sementara cara yang digunakan adalah cara-cara Yahudi? Dengan berebut kursi, meraih suara terbanyak, ingin tampil ke depan, hendak memimpin, menduduki kursi-kursi kedudukan, dan menjadi seorang penguasa? Allah l berfirman:
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (Ali ‘Imran: 14)
Al-Imam Abu Ja’far Ath-Thabari t ketika menjelaskan ayat di atas menyatakan, “Telah dibuat indah untuk manusia sifat tertariknya mereka terhadap wanita dan anak keturunan serta segala hal yang disebutkan. Allah l menyebutkan hal ini hanyalah untuk menjelaskan sifat buruk orang-orang Yahudi. Mereka lebih mengutamakan dunia dan ambisi terhadap kekuasaan dibandingkan harus mengikuti Nabi Muhammad n, padahal mereka telah mengetahui kebenarannya.” (Tafsir Ath-Thabari)
Ambisi Untuk Berkuasa Pasti Disertai Sikap Menjelekkan Orang Lain
Adapun orang-orang yang berambisi untuk meraih tampuk kekuasaan, Ibnul Qayyim t menjelaskan, mereka mengejar kekuasaan untuk melampiaskan seluruh keinginan. Yaitu berkuasa di muka bumi, agar seluruh hati mengarah dan cenderung kepada mereka, serta membantu mereka di dalam mewujudkan keinginan. Dalam keadaan merekalah yang menguasai dan mengatur. Sehingga ambisi untuk meraih kekuasaan hanya akan melahirkan kerusakan-kerusakan yang tidak mungkin diketahui secara pasti jumlahnya kecuali oleh Allah l. Akan muncul dosa, hasad, perbuatan-perbuatan yang melampaui batas, dengki, kezaliman, fitnah, fanatik pribadi, tanpa memedulikan lagi hak Allah l. Orang yang terhina di sisi Allah l akan dimuliakan sementara orang yang dimuliakan Allah l pasti dihina. Kekuasaan duniawi tidak mungkin sempurna kecuali dengan cara-cara kotor seperti tersebut di atas. Kekuasaan duniawi tidak akan tercapai kecuali dengan menempuh langkah-langkah yang penuh dengan mafsadah, bahkan berkali-kali lipat. Sementara orang-orang yang telah meraih kekuasaan amatlah buta dengan hal-hal ini. (Ar-Ruh, Ibnul Qayyim t)
Al-Fudhail bin ‘Iyadh t berkata: “Tidak ada seorang pun yang memiliki ambisi untuk mendapatkan kekuasaan melainkan ia pasti senang menyebutkan kekurangan dan cela orang lain, sehingga dialah yang dikenal sebagai orang sempurna. Dia pun tidak senang apabila ada yang menyebutkan kebaikan orang lain. Barangsiapa gila kekuasaan maka ucapkan ‘selamat berpisah’ dari kebaikan-kebaikannya.”
Ambisi Untuk Meraih Kekuasaan Akan Merusak Ilmu
Al-Ahnaf bin Qais t menjelaskan bahwa penyakit yang akan merusak alim ulama adalah ambisi untuk meraih kekuasaan. (‘Aja’ib Al-Atsar)
Al-Imam Ahmad t pernah berkata kepada Sufyan bin ‘Uyainah t, “Cinta kekuasaan lebih disenangi orang dibandingkan emas dan perak. Barangsiapa berambisi memperoleh kekuasaan ia akan mencari-cari aib orang lain.” (Al-Adab Asy-Syar’iyyah, Ibnu Muflih)
Sufyan Ats-Tsauri t berkata, “Kekuasaan lebih disenangi oleh ahli qira’ah dibandingkan emas merah.” (Al-Wara’, Al-Imam Ahmad hal. 91)
Ibnu ‘Abdus t berkata, “Setiap kali bertambah kemuliaan seorang alim dan bertambah tinggi derajatnya, maka semakin cepat dia merasa ujub. Kecuali orang yang dijaga oleh Allah l dengan taufiq-Nya dan membuang ambisi terhadap kekuasaan dari dirinya.” (Jami’ Bayan Al-‘Ilmi wa Fadhlih 1/142, Ibnu ‘Abdil Barr t)
“Ilmu hadits adalah disiplin ilmu yang mulia. Yang sesuai untuk ilmu ini hanyalah akhlak mulia dan perilaku yang terpuji. Ilmu ini akan menghilangkan akhlak buruk dan perilaku tercela. Ilmu hadits adalah ilmu akhirat, bukan ilmu dunia. Barangsiapa yang ingin mendengarkan periwayatan hadits atau ingin menyampaikan ilmu hadits, hendaknya ia berupaya meluruskan dan mengikhlaskan niat. Dia pun harus membersihkan hatinya dari tujuan-tujuan duniawi dan segenap noda-nodanya. Dia pun harus berhati-hati dari penyakit dan kotoran dari ambisi terhadap kekuasaan.” (Muqaddimah Ibnu Shalah)
Salah satu hal yang membedakan antara ulama dunia dan ulama akhirat, ulama dunia senantiasa memerhatikan kekuasaan. Senang akan pujian dan massa. Sementara ulama akhirat menjauhi hal tersebut. Mereka benar-benar menjaga diri dari hal itu dan menyayangkan orang-orang yang terkena penyakit tersebut.
Namun dikarenakan telah terbiasa dan memiliki ambisi mendapatkan kedudukan, telah menguasai pemikiran mereka. Tinggallah ilmu hanya terucap melalui lisan sebagai sebuah adat, bukan untuk diamalkan. (Shaidul Khathir, Ibnul Jauzi t)
Ambisi Untuk Meraih Kekuasaan Akan Merusak Realisasi Cinta Kepada Allah l
Seringkali syahwat khafiyyah (tersembunyi) yang masuk pada diri seseorang dapat merusak realisasi cinta seorang hamba kepada Allah l. Merusak pula penghambaan dan keikhlasan di dalam beragama. Sebagaimana pernyataan Syaddad bin Aus t, ”Wahai sekalian sisa-sisa orang Arab. Sesungguhnya yang paling aku cemaskan bila menimpa kalian adalah riya’ dan syahwat khafiyyah.”
Ketika ditanya tentang makna syahwat khafiyyah, Al-Imam Abu Dawud As-Sijistani t menjawab, “Syahwat khafiyyah adalah ambisi terhadap kekuasaan.”
Hadits ini menjelaskan bahwa keyakinan yang benar tentu tidak akan membawa dirinya untuk berambisi semacam ini. Karena bila hati telah merasakan manisnya beribadah kepada Allah l, merasakan manisnya mahabbah kepada Allah l, tentu tidak ada lagi yang lebih ia cintai selain itu sampai ia menemui-Nya. Dengan sebab inilah, keburukan dan kekejian akan dijauhkan dari orang yang benar-benar ikhlas kepada Allah l. Allah l berfirman:
“Demikianlah, agar Kami memalingkan darinya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba kami yang terpilih.” (Yusuf: 24) [Al-'Ubudiyyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t]
Termasuk Golongan Manakah Kita?
Rasulullah n memberitakan bahwa ambisi seorang hamba untuk memperoleh harta dan kekuasaan akan merusak agamanya. Seperti halnya atau bahkan lebih parah dibandingkan dua ekor serigala yang dibiarkan bebas di tengah-tengah kawanan kambing. Sungguh, Allah l telah mengabarkan keadaan orang yang mendapatkan catatan amal dengan tangan kirinya. Dia menyatakan:
“Hartaku sekali-kali tidak memberi manfaat kepadaku. Telah hilang kekuasaan dariku.” (Al-Haqqah: 28-29)
Akhir kehidupan seseorang yang haus akan kekuasaan hanyalah seperti Fir’aun. Adapun para penumpuk harta, akhir kehidupannya hanyalah seperti Qarun. Padahal Allah l telah memberitakan keadaan Fir’aun dan Qarun di dalam kitab-Nya. Allah l berfirman:
“Dan apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi, lalu memerhatikan betapa kesudahan orang-orang yang sebelum mereka. Mereka itu adalah lebih hebat kekuatannya daripada mereka dan (lebih banyak) bekas-bekas mereka di muka bumi, maka Allah mengazab mereka disebabkan dosa-dosa mereka. Dan mereka tidak mempunyai seorang pelindung dari azab Allah.” (Ghafir: 21)
Allah l juga berfirman:
“Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (Al-Qashash: 83)
Sesungguhnya manusia ada empat macam.
Pertama, orang-orang yang menginginkan kekuasaan dan kerusakan di atas muka bumi, yaitu dengan durhaka kepada Allah l. Mereka adalah para raja dan penguasa yang selalu berbuat kejahatan seperti Fir’aun dan pengikutnya. Mereka adalah makhluk yang paling buruk. Allah k berfirman:
“Sesungguhnya Fir’aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah-belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya Fir’aun termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Al-Qashash: 4)
Al-Imam Muslim t meriwayatkan di dalam Shahih-nya dari Ibnu Mas’ud z, Rasulullah n bersabda, “Tidak akan masuk Al-Jannah seseorang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan seberat semut kecil. Dan tidak akan masuk neraka seseorang yang di dalam hatinya keimanan seberat semut kecil.” Kemudian ada orang bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku merasa senang bila pakaian dan sandalku bagus. Apakah hal ini termasuk dari kesombongan?” Rasulullah menjawab, “Tidak, sesungguhnya Allah adalah Dzat Yang Maha Indah, Dia senang dengan keindahan. Sombong ialah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.”
Sikap menolak kebenaran dan merendahkan orang lain adalah sikap orang yang menginginkan kekuasaan dan kerusakan.
Kedua, orang-orang yang menghendaki kerusakan tanpa disertai keinginan untuk berkuasa. Seperti para pencuri dan penjahat dari kalangan orang-orang rendahan.
Ketiga, orang-orang yang menginginkan kekuasaan tanpa disertai kerusakan. Sebagaimana halnya orang yang memiliki agama namun ingin menguasai yang lain.
Keempat, para penduduk Al-Jannah. Yaitu orang-orang yang tidak menginginkan kekuasaan dan kerusakan di atas muka bumi. Padahal mereka lebih mulia kedudukannya dibanding yang lain. Allah l berfirman:
“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (Ali Imran: 139)
“Janganlah kamu lemah dan minta damai padahal kamulah yang di atas dan Allah-(pun) beserta kamu dan Dia sekali-kali tidak akan mengurangi (pahala) amal-amalmu.” (Muhammad: 35)
“Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui.” (Al-Munafiqun: 8)
Alangkah banyak orang yang mengharapkan kekuasaan padahal justru membuat dirinya semakin terhina. Betapa banyak orang yang diangkat kedudukannya padahal dirinya tidak berharap kekuasaan dan kerusakan. (As-Siyasah Asy-Syar’iyyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t)
Ulama Islam dan Kedudukan
Kepada mereka yang mengaku sedang memperjuangkan Islam. Kepada mereka yang merasa sedang mengibarkan bendera Islam. Apakah mereka lebih baik dari Salaf, generasi pertama umat Islam? Apakah mereka tidak membaca biografi para ulama? Perhatikanlah sabda Rasulullah n kepada Abdurrahman bin Samurah z dalam riwayat Muslim t:
يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ، لاَ تَسْأَلِ الْإِمَارَةَ فَإِنَّكَ إِنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا وَإِنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا
“Wahai Abdurrahman, janganlah engkau meminta kepemimpinan. Karena sesungguhnya bila engkau memperoleh kepemimpinan karena permintaanmu maka engkau akan dibiarkan. Dan jika engkau memperolehnya tanpa dasar permintaan engkau akan dibantu.” (Silakan merujuk majalah Asy Syariah Vol I/No. 06/Maret 2004/Muharram 1425 untuk keterangan lebih lengkap tentang hadits ini, dengan temaHukum Meminta Jabatan)
Al-Imam Adz-Dzahabi t di dalam Siyar A’lam An-Nubala’ menyebutkan banyak kisah menakjubkan dari sisi-sisi kehidupan para ulama. Mereka adalah manusia-manusia pilihan yang berusaha menjauhkan diri dari kedudukan dan kekuasaan. Berikut ini beberapa contoh yang dapat diambil ibrahnya.
- Manshur bin Al-Mu’tamir As-Sulami t menolak untuk diangkat sebagai seorang qadhi. Maka dikirimlah serombongan pasukan untuk memaksanya. Kepada Yusuf bin ‘Umar, komandan pasukan tersebut, dikatakan, ”Walaupun engkau koyak kulit tubuhnya, dia tidak akan mau untuk menerima tawaran tersebut.” Maka, Manshur pun ditinggalkan.
- Abu Qilabah Al-Jarmi t, salah seorang tabi’in, lari meninggalkan negerinya dari Bashrah hingga daerah Yamamah dan meninggal di sana. Beliau lari untuk menghindari tawaran menjadi seorang qadhi. Ayyub As-Sikhtiyani t pernah menemuinya dan bertanya tentang alasan beliau untuk lari menghindar. Maka Abu Qilabah menjawab, “Aku tidak melihat sebuah perumpamaan yang tepat untuk seorang qadhi kecuali seseorang yang tercebur di dalam lautan yang luas, hingga kapan dia akan mampu berenang? Pasti dia akan tenggelam.”
- Abdullah bin Wahb bin Muslim Al-Qurasyi t ketika menolak untuk diangkat menjadi seorang qadhi, beliau berkata kepada seseorang yang menanyakan sebab penolakannya, “Apakah engkau tidak mengerti bahwa para ulama akan dikumpulkan pada hari kiamat bersama para nabi? Sementara para qadhi akan dikumpulkan bersama para penguasa?”
- Al-Mughirah bin Abdillah Al-Yasykuri t menolak permintaan Khalifah Harun Ar-Rasyid untuk menjadi seorang qadhi. Beliau beralasan, Sungguh demi Allah, wahai Amirul Mukminin, aku lebih memilih dicekik oleh setan daripada harus memegang kedudukan qadha’. Ar-Rasyid lalu berkata, “Tidak ada lagi keinginan selain itu.” Kemudian Harun Ar-Rasyid pun mengabulkan permintaannya.
- Al-Imam Abdurrahman bin Mahdi t berkata, “Amirul Mukminin memaksa Sufyan Ats-Tsauri untuk memegang kedudukan al-qadha’ (yakni menjadi qadhi). Maka, Sufyan pun berpura-pura menjadi orang bodoh agar terbebas. Setelah Amirul Mukminin mengetahui hal tersebut, maka Sufyan pun dibebaskan lalu ia melarikan diri.”
Marilah kita membaca biografi para ulama yang lain, seperti Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Abu ‘Amr Abdurrahman bin ‘Amr Al-Auza’i, Muhammad bin Wasi’ bin Jabir Al-Akhnas, Abu Sufyan Waki’ ibn Al-Jarrah Al-Kufi, Al-Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit, Abu Ya’la Mu’alla bin Manshur Ar-Razi, Abdullah bin Idris bin Yazid Al-Kufi, dan yang lain. Mereka berusaha menjauhi kursi kedudukan. Benar-benar mengagumkan.
Apabila demikian sikap para ulama Islam, maka apakah mereka yang berebut kursi dan mencari suara terbanyak dapat dikatakan sedang memperjuangkan Islam? Dusta dan sungguh dusta lisan mereka. Mungkin terbersit dalam benak, jika kita tidak menduduki kursi-kursi penting maka Islam akan diinjak-injak? Maka, jawabnya ada pada pendirian seorang Imam Ahlus Sunnah Ahmad bin Hanbal t. Disebutkan dalam Mihnatul Imam Ahmad (hal. 70-72) beliau berkata, ”Sungguh, sekali-kali tidak mungkin hal itu akan terjadi! Sesungguhnya Allah l pasti akan membela agama-Nya. Sesungguhnya ajaran Islam ini memilki Rabb yang akan menolongnya. Dan sesungguhnya dienul Islam ini sangat kuat dan kokoh.”
Wallahu a’lam.

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Nasim Mukhtar)

Kisah Nabi Yusuf dan Meminta Jabatan

Abu Fathan | 18:08 | 0 comments
Penjelasan Asy-Syaikh Abdul Malik Ramadhani tentang Kisah Nabi Yusuf

Orang yang berdalil dengan kisah masuknya Nabi Yusuf dalam siyasah (pemerintahan) telah tenggelam dalam kesalahan. Yaitu ketika beliau mengatakan:

“Jadikanlah aku bendaharawan negara Mesir.” (Yusuf: 55)

Padahal beliau tidak memasuki tugas ini kecuali setelah mendapatkan persaksian dari Allah l. Tertulis pada persaksian tersebut:

“Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi sangat berpengetahuan.” (Yusuf: 55)1

Ahli balaghah (sastra Arab) dapat membedakan antara kata الْحَافِظُ (yang berarti menjaga) dengan kata الْحَفِيظُ (yang sangat pandai menjaga), juga antara kata الْعَالِمُ(yang berilmu) dengan kata الْعَلِيمُ (yang sangat berpengetahuan). Maka perhatikan hal ini, karena sesungguhnya ini termasuk rahasia-rahasia Al-Qur`an yang penuh hikmah.

Sebagaimana diherankan dari yang lain juga, yang membolehkan diri mereka menerima jabatan politik masa ini –bersamaan dengan apa yang ada di dalamnya berupa sistem parlemen kafir atau jahat– berdalil dengan perbuatan Nabi Yusuf, sembari melalaikan bahwa Nabi Yusuf tidak memintanya. Namun raja itulah yang menawarkannya kepada beliau. Beliau juga tidak menerimanya melainkan ketika raja tersebut menjamin keamanan dan kebebasan baginya. Sehingga tidak ada tekanan, atau ancaman, atau mengorbankan agama, atau tarik ulur, atau tawar menawar, atau adu argumentasi. Oleh karena itu, perhatikan urutannya dalam firman Allah l:

“Dan raja berkata: ‘Bawalah Yusuf kepadaku, agar aku memilih dia sebagai orang yang rapat kepadaku.” Maka tatkala raja telah bercakap-cakap dengan dia, dia berkata: ‘Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercaya pada sisi kami.’ Berkata Yusuf: ‘Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi sangat berpengetahuan’.” (Yusuf: 54-55)

Adapun mereka (para politikus, pen), mereka telah takjub dan berbaik sangka terhadap diri mereka sendiri. Sehingga setan menggambarkan suatu gambaran yang terbayang dalam benak mereka bahwa mereka akan kokoh dalam kebenaran. Sementara sebenarnya mereka leleh dalam keridhaan terhadap aturan manusia. Allah lah tempat memohon pertolongan.

Adapun Nabi Yusuf, beliau tidak mengorbankan agamanya dan tidak menyia-nyiakan kesungguhannya dalam siyasah (politik) yang syar’i. Tidak pula beliau melaksanakan undang-undang raja yang kafir, dengan dalih maslahat dakwah. Allah l berfirman:

“Tiadalah patut Yusuf menghukum saudaranya menurut undang-undang raja, kecuali Allah menghendaki-Nya. Kami tinggikan derajat orang yang Kami kehendaki; dan di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada lagi Yang Maha Mengetahui.” (Yusuf: 76)

Bila kita mengalah (pada anggapan mereka yakni beliau minta jabatan, pen) maka kamipun akan mengatakan sebagaimana yang dinyatakan ulama ushul fiqih, ‘syariat umat sebelum kita bukanlah syariat bagi kita pada perkara yang menyelisihi syariat kita’. Padahal di sini syariat kita menyelisihinya, karena kita dilarang untuk minta jabatan. Seperti dalam hadits Abdurrahman bin Samurah, ia berkata: Rasulullah n bersabda kepadaku:

يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ سَمُرَةَ، لَا تَسْأَلِ الْإِمَارَةَ فَإِنَّكَ إِنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا وَإِنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا

“Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta kepemimpinan, karena jika engkau diberi karena permintaanmu niscaya akan dibebankan kepadamu (tidak akan ditolong). Namun jika engkau diberi tanpa memintanya niscaya engkau akan ditolong” (Muttafaqun ‘alaih)

Kami akan menjawab bahwa Nabi Yusuf telah disebutkan kesuciannya oleh Allah l dan tidak bekerja kecuali dengan bimbingan Allah. Yakni, semua manusia berlaku padanya kaidah “jika engkau diberi kepemimpinan karena permintaanmu, niscaya akan dibebankan kepadamu (tidak ditolong) ….” kecuali yang diberi predikat kesucian oleh wahyu yang tidak akan salah. Adapun mereka yang sok pandai pada masa ini, mereka tunduk pada kondisi undang-undang pada hari ini ataupun besok. Bahkan sebelum melaksanakan tugas poltiik tersebut, mereka harus bersumpah untuk menghormati undang-undang. Dan ini telah terjadi, bahkan kami tidak tahu bahwa selainnya juga telah terjadi. Maka sungguh ajaib orang yang menyingkirkan kekafiran dengan kekafiran.

Maka tersimpulkan dari ketergesaan ini lima jawaban:

1. Nabi Yusuf tidak meminta kepemimpinan, namun ditwarkan kepada beliau, sebagaimana ditunjukkan oleh susunan ayat. Maksimal yang ada dalam ucapan beliau

“Jadikan aku bendaharawan negeri (Mesir)” adalah keterangan tentang spesialisasinya dan pilihannya.

2. Beliau aman dari tekanan peraturan (negara) dan dipersilakan untuk mengamalkan syariat Islam. Dua hal ini hanyalah sebuah khayalan dalam realita aturan-aturan di muka bumi masa ini.

3. Bahwa beliau mendapat persaksian kesucian di mana beliau juga seorang Rasul. Sehingga tidak dikhawatirkan pada beliau apa yang dikhawatirkan pada orang lain.

Diriwayatkan oleh Muhammad bin Sirin t, bahwa Umar z menugaskan Abu Hurairah z sebagai gubernur di daerah Bahrain. Lalu Abu Hurairah z datang membawa uang 10.000. Maka Umar mengatakan kepadanya: “Apakah engkau peruntukkan harta ini untuk kepentingan pribadimu, wahai musuh Allah dan musuh kitab-Nya?!”

Maka Abu Hurairah menjawab: “Aku bukan musuh Allah ataupun musuh kitab-Nya, akan tetapi justru musuh yang memusuhi keduanya.”

Umar menukas: “Lalu darimana hartamu ini?”

“Itu adalah kuda yang berkembang biak, dan hasil kerjaan budakku, serta pemberian yang datang beberapa kali,” jawab Abu Hurairah.

Mereka pun memeriksanya. Ternyata mereka mendapatkannya seperti apa yang dikatakan Abu Hurairah. Setelah hal itu berlalu, Umar memanggil Abu Hurairah untuk ditugaskan kembali akan tetapi beliau menolak. Maka Umar berkata: “Apakah kamu tidak suka jabatan ini, padahal telah memintanya orang yang lebih baik darimu, Yusuf q?”

Abu Hurairah menjawab: Yusuf adalah seorang nabi, putra seorang nabi, dan cucu seorang nabi. Sedangkan saya, Abu Hurairah, putra seorang ibu yang kecil. Dan aku khawatir tiga tambah dua (perkara -pent).”

Umar berkata: “Tidakkah kamu katakan lima saja?”

Abu Hurairah menjawab: “Saya khawatir berkata tanpa ilmu, memutuskan tanpa kesabaran dan pikir panjang, takut punggungku dicambuk, hartaku diambil dan kehormatanku dicela.”2

4. Syariat umat sebelum kita bukanlah syariat bagi kita pada perkara yang menyelisihi syariat kita. Dalam hal ini, syariat kita telah menyelisihinya.

5. Nabi Yusuf melakukan apa yang beliau lakukan pada tugasnya tersebut dengan posisi beliau sebagai seorang rasul. Seandainya pun seseorang diperbolehkan mengikuti beliau dalam urusan itu, maka pewarisnya secara syar’i adalah seorang mujtahid. Ibnu Abdil Bar berkata: “Bila yang demikian itu (menyebut keahliannya dalam kondisi terpaksa -pent), maka boleh bagi seorang ulama saat itu untuk memuji dirinya dan mengingatkan tentang kedudukannya, maka saat itu berarti dia membicarakan nikmat Allah pada dirinya dalam rangka mensyukurinya.” (Jami’ Bayanil ‘Ilm wa Fadhlihi, 1/176).

Wallahu a’lam.

Penjelasan Asy-Syaikh As-Sa’di

Asy-Syaikh Al-Mufassir Abdurrahman As-Sa’di mengatakan: “Jawabannya ada pada firman Allah:

“Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi sangat berpengetahuan.”

Yakni, beliau memintanya demi mewujudkan maslahat ini yang tidak mungkin dilakukan orang lain. Yaitu, menjaga harta dengan sempurna, mengetahui segala sisi yang terkait dengan perbendaharaan tersebut, baik pengeluaran, pembelanjaan maupun penegakan keadilan yang sempurna. Maka ketika beliau melihat sang raja mendekatkan dirinya kepadanya (menjadikannya orang khusus) dan mengutamakannya atas raja itu sendiri, serta pada kedudukan yang tinggi, maka menjadi wajib baginya untuk memberikan pengarahan yang sempurna bagi raja maupun rakyat. Itu adalah suatu keharusan dalam tugasnya.

Oleh karenanya, ketika beliau melakukan tugas menjaga perbendaharaan Mesir, beliau sangat berusaha untuk menguatkan pertanian, sehingga tidak tersisa satu tempat pun dari tanah Mesir, dari ujung ke ujung yang lain, yang pantas untuk ditanami melainkan ia tanami selama tujuh tahun. Lalu beliau bentengi dan jaga dengan penjagaan yang sangat ajaib. Setelah itu, datanglah tahun-tahun paceklik. Manusia sangat membutuhkan pangan. Maka, beliaupun berusaha menimbang dengan penuh keadilan, sehingga beliau larang para pedagang untuk membeli makanan, khawatir mendesak orang-orang yang butuh. Maka terwujudlah dengan itu maslahat yang banyak dan manfaat yang tidak terhitung, sebagaimana telah diketahui.” (Bahjatul Qulub Al-Abrar)

(ditulis oleh: Al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc)

1 Lihat kitab Bahjatu Qulubil Abrar karya Asy-Syaikh As-Sa’di t, hal. 150-151.

2 Riwayat Ibnu Sa’d dalam kitab Thabaqat Al-Kubra (4/335). Dalam sanadnya Abu Hilal Ar-Rasibi dan dia –walaupun haditsnya tidak sangat dibuang– tapi juga didukung dalam riwayat ini oleh Ayyub As-Sikhtiyani sebagaimana dalam kitab As-Siyar karya Adz-Dzahabi (2/612). Dengan itu, riwayat ini menjadi shahih.
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. BERITA SUNNAH - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger