{قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ ويَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ، وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ}

Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah (sunnah/petunjuk)ku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS Ali ‘Imran:31)

Kota Madinah: Masjid Nabawi Dan Masjid Quba

Abu Fathan | 18:05 | 0 comments
Pada kota Madinah terdapat dua masjid yang agung yaitu masjid Nabawi dan Masjid Kuba’. Kedua masjid tidak akan terpisahkan dari pembicaraan seputara kota Madinah, karena kedua memiliki kedudukan tinggi. Berikut penjelasan singkat terkait kedua masjid tersebut. 

MASJID NABAWI
Masjid Nabawi yang terletak di kota Madinah memiliki banyak keutamaan yang dijelaskan dalam banyak hadits. Diantaranya adalah sabda Rasûlullâh : 

لَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ: الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ، وَمَسْجِدِي هَذَا، وَمَسْجِدِ الْأَقْصَى

Tidak boleh melakukan safar (menuju tempat yang dianggap berkah) kecuali safar menuju tiga masjid yaitu Masjidil Haram, Masjidku ini dan Masjidil Aqsha. [HR. Imam al-Bukhâri dan Muslim]

Di kota Madinahlah terdapat salah satu dari tiga masjid yang dibangun oleh para Nabi Alihimussalam.

Ada juga hadits yang menunjukkan keutamaan shalat di Masjid Nabawi. Shalat di Masjid Nabawi lebih baik dari seribu shalat, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 

صَلاةٌ فِي مَسْجِدِي هَذَا أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلاةٍ فِيمَا سِوَاهُ إِلا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ وَصَلاةٌ فِي ذَلِك أَفْضَلُ مِنْ مِائَةِ صَلاةٍ فِي هَذَا يَعْنِي فِي مَسْجِد الْمَدِينَة

Shalat dimasjidku ini lebih baik dari seribu shalat di masjid lainnya, kecuali Masjidil Haram. Dan shalat di masjid itu (Masjidil Haram) lebih baik dari seratus shalat di masjid ini (Masjid Nabawi). [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]

Ini merupakan keutamaan yang sangat agung dan momen diantara momen akhirat, keuntungan pahala padanya berlipatganda, bukan hanya puluhan kali, bukan pula ratusan akan tetapi lebih dari ribuan kali.

Sudah diketahui bersama, bahwa para pebisnis apabila meyakini atau mengetahui barang dagangan mereka laris atau laku di suatu tempat pada suatu waktu, maka mereka akan mempersiapkan diri mereka untuk menyambut momen tersebut, walaupun keuntungan yang akan didapatkan hanya setengah atau satu kali lipat. Ini perdagangan duniawi, lalu bagaimana keuntungan akhirat yang ada didapatkan Masjid Nabawi, bukan hanya sepuluh kali lipat, atau seratus kali lipat, tidak pula lima ratus atau enam ratus, akan tetapi lebih dari seribu??!

Janji Allah Azza wa Jalla lewat lisan Rasul-Nya ini tentu akan semakin memompa semangat kaum Muslimin untuk memperbanyak beribadah di Masjid Nabawi. Namun terkait ini ada beberapa perkara yang perlu diperhatikan berkenaan dengan masjid yang penuh berkah ini:

1. Pelipatgandaan pahala shalat di Masjid Nabawi sampai lebih dari seribu tidak dikhususkan untuk shalat fardhu saja tanpa shalat sunnah, tidak pula sebaliknya, akan tetapi mencakup shalat fardu dan sunnah. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan kata shalat secara mutlak. Jadi shalat fardhu setara dengan seribu shalat fardhu, dan shalat sunnah setara dengan seribu shalat sunnah.

2. Pelipatgandaan pahala yang terdapat dalam hadits tidak dikhususkan untuk area Masjid yang ada pada zaman Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam saja, akan tetapi mencakup semua area yang ditambahkan saat perluasan masjid. Terbukti khalifah Umar dan Utsmân Radhiyallahu anhuma memperluas masjid dari arah depan, dan kita ketahui bersama bahwa tempat imam dan shaf setelahnya termasuk dari area perluasan, diluar areal masjid pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seandainya area perluasan tidak memiliki hukum yang sama denga area sebelum perluasan, niscaya dua khalifah besar itu tidak akan melakukan perluasan dari sisi depan masjid, kemudian juga jumlah para Shahabat di masa dua khalifah tersebut masih sangat banyak dan tidak ada seorangpun yang menyangkal atau menolak perluasan masjid. Ini merupakan bukti yang sangat kuat bahwa pelipatgandaan pahala tidak terbatas pada arela masjid di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam saja.

3. Di dalam area Masjid Nabawi terdapat tempat yang disebut oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai salah satu taman dari taman surga. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 

ما بَيْنَ بَيْتِيْ ومِنْبَرِيْ رَوْضَةٌ مِنْ رِيَاضِ الْجَنَّةِ

Area diantara rumahku dan mimbarku adalah taman dari taman-taman surga. [HR. al-Bukhâri dan Muslim].

Pengkhususan area ini sebagai salah satu taman surga tanpa penyebutan area-area lain dari Masjid Nabawi menunjukkan keutamaan dan keistimewaan tempat tersebut. Keutamaan akan bisa diraih dengan melakukan shalat sunnah di sana atau berzikir dan membaca al-Qur’ân, dengan tanpa menyakiti atau mengganggu orang lain yang sudah berada di dalamnya atau ketika mencapai tempat tersebut. Adapun shalat fardhu, maka ia lebih utama dilakukan pada shaf-shaf awal, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

خَيْرُ صُفُوفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا، وَشَرُّهَا آخِرُهَا

Sebaik-baiknya shaf kaum laki-laki adalah shaf yang paling depan, dan seburuk buruk shaf mereka adalah shaf yang paling belakang. [HR. Muslim]

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda: 

لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِي النِّدَاءِ وَالصَّفِّ الأَوَّلِ ثُمَّ لَمْ يَجِدُوا إِلا أَنْ يَسْتَهِمُوا عَلَيْهِ لاسْتَهَمُوا عَلَيْهِ

Seandainya manusia mengetahui ganjaran yang terdapat pada panggilan adzan dan shaf pertama, kemudian mereka tidak bisa mendapatkannya kecualai dengan cara undian niscaya mereka akan berundi untuk mendapatkannya [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]

4. Apabila Masjid Nabawi sudah penuh dengan orang yang sedang menunaikan shalat berjama'ah, maka orang yang datang terlambat bisa melakukan shalat di jalan-jalan yang ada pada tiga sisi masjid selain jalan yang ada pada sisi depan. Dengan itu dia sudah mendapatkan pahala shalat berjama'ah, namun mendapatkan keutamaan shalat di Masjid Nabawi. Karena pahala yang lebih dari seribu kali itu dikhususkan untuk orang yang shalat di dalam Masjid Nabawi saja, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : 

صَلاةٌ فِي مَسْجِدِي هَذَا أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلاةٍ فِيمَا سِوَاهُ إِلا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ 

Satu shalat dimasjidku ini lebih baik dari seribu shalat di masjid lainnya, kecuali Masjidil Haram. [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]

Dan orang yang shalat di jalan-jalan tidak dianggap shalat di dalam Masjid Nabawi, maka dia tidak mendapatkan pahala yang berlipat-lipat.

5. Telah tersebar di tengah masyarakat kaum Muslimin, bahwa barangsiapa datang ke kota Madinah maka dia harus menunaikan shalat empat puluh kali shalat di Masjid Nabawi, berdasar hadits dalam Musnad Imam Ahmad dari Shahabat Anas Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ صَلَّى فِي مَسْجِدِي أَرْبَعِينَ صَلَاةً لَا تَفُوتُهُ صَلَاةٌ، كُتِبَتْ لَهُ بَرَاءَةٌ مِنَ النَّارِ، وَنَجَاةٌ مِنَ الْعَذَابِ وَبَرِئَ مِنَ النِّفَاقِ

Barangsiapa shalat di masjidku ini empat puluh shalat tidak terlewatkan satu shalat pun, maka akan dituliskan baginya kebebasan dari api neraka, selamat dari adzab, dan terlepas dari sifat munafik

Hadits ini adalah hadits yang dhaif (lemah) yang tidak bisa dijadikan hujjah (argumen). 
Juga masalah ini adalah masalah yang fleksibel. Jadi, siapa pun yang datang ke kota Madinah tidak diharuskan untuk melakukan shalat-shalat tertentu di Masjid Nabwi, akan tetapi setiap shalat yang dilakukan di Masjid Nabawi berpahala lebih dari seribu kali shalat di tempat lain selain Masjidil Haram tanpa ada batasan atau pengkhususan shalat-shalat tertentu.

6. Banyak kalangan kaum Muslimin diberbagai belahan dunia yang membangun masjid di atas kubur, atau memakamkan mayat di dalam masjid. Untuk membenarkan perbuatan ini, mereka terkadang berdalih dengan kuburan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berada di dalam Masjid Nabawi. Syubhat ini bisa dibantah dengan mengatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri yang membangun Masjid Nabawi saat pertama kali tiba di kota Madinah, kemudian Beliau membangun rumah-rumah Beliau yang ditempati oleh para istri Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tepat di samping Masjid Nabawi. Diantara rumah-rumah itu ada rumah untuk Aisyah Radhiyallahu anhuma yang pada akhirnya nanti menjadi tempat Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dikuburkan. Rumah-rumah ini tetap berada di luar area Masjid Nabawi pada zaman khulafâ’ ar-râsyidîn, zaman Mu’âwiyah dan zaman beberepa khalifah setelahnya. Dipertengahan khilafah Umawiyyah, Masjid Nabawi diperluas dan rumah Aisyah Radhiyallahu anhuma yang berisi kubur Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk menjadi area Masjid Nabawi. 

Selain itu banyak hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tidak mungkin dinaskh (dihapus hukumnya) yang menunjukkan haramnya menjadikan kuburan sebagai masjid. Diantaranya hadits Jundub bin Abdillah al-Bajali, beliau Radhiyallahu anhu mendengarnya langsung dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam lima hari sebelum Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat. Jundub Radhiyallahu anhu berkata, "Saya mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda lima hari sebelum Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal: 

إِنِّي أَبْرَأُ إِلَى اللَّهِ أَنْ يَكُونَ لِي مِنْكُمْ خَلِيلٌ، وَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ قَدِ اتَّخَذَنِي خَلِيلًا كَمَا اتَّخَذَ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلًا، وَلَوْ كُنْتُ مُتَّخِذًا مِنْ أُمَّتِي خَلِيلًا لَاتَّخَذْتُ أَبَا بَكْرٍ خَلِيلًا، أَلَا مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ يَتَّخِذُونَ قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ وَصَالِحِيهِمْ مَسَاجِدَ، أَلَا فَلَا تَتَّخِذُوا الْقُبُورَ مَسَاجِدَ فَإِنِّي أَنْهَاكُمْ عَنْ ذَلِكَ

Saya berlepas diri kepada Allâh dari menjadikan salah seorang diantara kalian sebagai kekasih, sesungguhnya Allâh menjadikanku sebagai kekasih-Nya sebagaimana Allâh Azza wa Jalla telah mengambil Nabi Ibrâhîm sebagai kekasih-Nya. Aeandainya saya diperkenannkan mengambil salah seorang diantara ummatku sebagai kekasih, niscaya saya telah menjadikan Abu Bakr sebagai kekasihku. Ketahuilah sesungguhnya orang-orang sebelum kalian menjadikan kuburan para nabi dan orang-orang shaleh mereka sebagai masjid, maka janganlah kalian menjadikan kubur sebagai masjid, karena sesungguhnya aku melarang kalian dari perbuatan tersebut. [HR. Muslim di dalam Shahîhnya)

Bahkan ketika ajal akan menjemput Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih sempat memperingatkan ummatnya dari perbuatan yang menjadikan kuburan sebagai masjid, sebagaimana termaktub dalam Shahîh al-Bukhâri dan Shahîh Muslim dari Aisyah Radhiyallahu anhuma dan Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhuma. Mereka berdua berkata, "Ketika ajal akan menjemput Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan sehelai kain hitam di wajah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian tatkala Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam susah bernafas Beliau melepaskannya, lantas Beliau bersabda: 

لَعْنَةُ اللهِ عَلَى الْيَهُوْدِ والنَّصَارَى اتَّخَذُوْا قُبُوْرَ أَنَبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ

Semoga Allâh melaknat kaum Yahudi dan Nashra, mereka menjadikan kubur para Nabi mereka sebagai masjid.

Beliau mewanti-wanti umatnya Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar tidak melakukan apa yang telah dilakukan kaum Yahudi dan Nashara.

Hadits-hadits yang diriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahu anhuma, Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhuma dan Jundub Radhiyallahu anhu adalah hadits muhkam yang tidak bisa dinasakh (dihapus) hukumnya bagaimanapun keadaannya. Karena hadits Jundub Radhiyallahu anhu terjadi pada hari-hari akhir Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Adapun hadits Aisyah Radhiyallahu anhuma dan Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhuma terjadi di saat-saat akhir Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Oleh karena itu, tidak dibenarkan bagi kaum Muslimin secara individu dan maupun berkelompok untuk meninggalkan isi hadits-hadits ini, dan menjadikan apa yang dilakukan pada bani Ummayah berupa perluasan masjid yang mengakibatkan masuknya kubur Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke dalam Masjid Nabawi sebagai hujjah untuk membolehkan pembangunan masjid di atas kubur, atau memakamkan mayat di dalam masjid.

MASJID QUBA
Masjid Quba' adalah masjid kedua dari dua masjid yang memiliki keutamaan dan kedudukan penting di kota Madinah. Kedua masjid itu didirikan atas dasar ketakwaan sejak hari pertama. Khusus tentang Masjid Quba', ada beberapa dalil yang menunjukkan keutamaan shalat di masjid itu. Dalil-dalil itu berasal dari perkataan mau perbuatan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dalil yang berasal dari perbuatan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abdullâh bin Umar Radhiyallahu anhuma. Beliau Radhiyallahu anhuma berkata:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْتِي مَسْجِدَ قُبَاءٍ كُلَّ سَبْتٍ، مَاشِيًا وَرَاكِبًا فَيُصَلِّي فِيْهِ رَكْعَتَيْنِ

Dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi Masjid Quba setiap hari Sabtu dengan berjalan kaki atau berkendaraan kemudian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat dua rekaat. [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]

Sedangkan dalil yang berasal dari perkataan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hadits yang diriwayatkan dari Sahl bin Hunaif Radhiyallahu anhu berkata, "Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ تَطَهَّرَ فِي بَيْتِهِ ثُمَّ أَتَى مَسْجِدَ قُبَاءَ، فَصَلَّى فِيهِ صَلَاةً، كَانَ لَهُ كَأَجْرِ عُمْرَةٍ

Barangsiapa bersuci di rumahnya kemudian datang ke Masjid Quba', kemudian dia mendirikan shalat di sana, maka dia mendapatkan pahala umrah [HR. Ibnu Majah dan lainnya]

Sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits di atas :

فَصَلَّى فِيهِ صَلَاةً

Kemudian dia mendirikan shalat 

Kata shalat disini mencakup semua shalat fardu dan sunnah. 

Itulah keutamaan Masjid Nabawi dan Masjid Quba' yang dijelaskan dalam hadits-hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Selain kedua masjid di kota Madinah di atas, tidak ada keterangan dalam hadits yang menunjukkan keutamaan tertentu dari masjid-masjid lain yang ada di kota Madinah.

Semoga bermanfaat.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XVIII/1436H/2014M.]

Amalan-Amalan Khusus Kota Madinah

Abu Fathan | 18:03 | 0 comments
Di samping memberikan berbagai keistimewaan kepada kota Madinah, Allâh Azza wa Jalla juga mensyariatkan berbagai amalan khusus di kota Madinah. Alangkah baiknya jika penduduk dan peziarah kota Madinah bisa menambah bekal akhirat dan mengisi waktu mereka dengan amalan-amalan ini. Amalan-amalan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Shalat di Masjid Nabawi
Shalat di Masjid Nabawi memiliki keutamaan yang besar sebagaimana dijelaskan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

صَلاَةٌ فِي مَسْجِدِي هَذَا خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيمَا سِوَاهُ، إِلَّا المَسْجِدَ الحَرَام

Satu shalat di masjid saya ini lebih baik daripada seribu shalat ditempat lain, kecuali Masjidil Haram. [HR. Al-Bukhâri no. 1190 dan Muslim no. 1394]

Ini adalah anugerah yang sangat besar dari Allâh Azza wa Jalla , di mana satu shalat fardhu di Masjid Nabawi lebih baik daripada shalat fardhu seorang Muslim di masjid kampungnya selama dua ratus hari.[1] 

Keutamaan ini mencakup shalat fardhu dan sunnah, dilakukan di Masjid Nabawi yang lama maupun bagian perluasannya, dan umum mencakup pria maupun wanita.

2. Beribadah di Raudhah
Raudhah secara bahasa adalah taman. Di Masjid Nabawi ada sebuah tempat yang disebut sebagai salah satu taman surga. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا بَيْنَ بَيْتِي وَمِنْبَرِي رَوْضَةٌ مِنْ رِيَاضِ الجَنَّةِ

Tempat yang terletak diantara rumah saya dan mimbar saya adalah salah satu di antara taman-taman surga [HR. al-Bukhari no. 1195 dan Muslim no. 1390] 

Dalam riwayat Thabrani di al-Mu'jam al-Ausath no. 3112, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa yang rumah yang dimaksud adalah rumah Aisyah Radhiyallahu anhuma, yakni rumah tempat Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dan sekarang menjadi tempat kubur Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Riwayat ini menjelaskan rumah yang di maksud, karena Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki beberapa rumah di sekitar Masjid Nabawi dan masing-masing ditinggali oleh para isteri Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan tiga penafsiran untuk hadits ini,[2] yaitu:
a. Tempat ini seperti taman surga, dalam ketenangan dan kedamaian yang didapati orang yang memasukinya.
b. Beribadah di tempat ini akan membuat pelakunya masuk surga. 
c. Tempat ini akan dipindah ke surga dan menjadi salah satu tamannya di akhirat kelak. 

Raudhah adalah tempat yang paling mulia di Masjid Nabawi, karenanya disyariatkan untuk memperbanyak ibadah sunnah seperti shalat, dzikir dan membaca al-Qur`an, dengan syarat bisa khusyu' dan tidak menyakiti orang lain saat berada disana maupun saat menuju kesana. Adapun untuk shalat wajib, shaf-shaf yang ada di depan Raudhah lebih utama. 

3. Berjihad Di Masjid Nabawi.
Sebuah amalan ringan di Masjid Nabawi terhitung sebagai jihad di jalan Allâh Azza wa Jalla . Hanya dengan niat belajar atau mengajar saat melangkahkan kaki menuju Masjid Nabawi, itu laksana berjihad di jalan Allâh Azza wa Jalla . Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 

مَنْ جَاءَ مَسْجِدِي هَذَا، لَمْ يَأْتِهِ إِلاَّ لِخَيْرٍ يَتَعَلَّمُهُ أَوْ يُعَلِّمُهُ، فَهُوَ بِمَنْزِلَةِ الْمُجَاهِدِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ. وَمَنْ جَاءَ لِغَيْرِ ذَلِكَ، فَهُوَ بِمَنْزِلَةِ الرَّجُلِ يَنْظُرُ إِلَى مَتَاعِ غَيْرِهِ

Barangsiapa mendatangi masjidku ini, ia tidak dating kecuali untuk kebaikan yang ingin dia pelajari atau diaajarkan, maka kedudukannya seperti mujahid di jalan Allâh. Dan barangsiapa dating untuk selain itu, maka ia laksana orang yang hanya memandang barang orang lain. [HR. Ibnu Majah no. 227, dihukumi shahih oleh al-Albani]

Memandang barang orang lain maksudnya adalah ia seperti orang yang masuk ke pasar, tapi tidak menjual atau membeli, dan hanya memandang barang orang lain sehingga tidak mendapatkan apa-apa. 

Hadits ini juga menunjukkan bahwa Masjid Nabawi adalah sûq al-‘ilmi (pasar ilmu), dan selayaknya bagi orang yang masuk ke dalamnya untuk berdagang ilmu, baik dengan menuntut ilmu atau mengajarkannya.

Jika anda paham bahasa Arab, anda bisa belajar langsung kepada para Ulama di Masjid Nabawi. Jika tidak, anda bisa membawa kitab untuk dibaca, berdiskusi atau membaca al-Quran dan terjemahnya. Atau menghadiri pengajian berbahasa Indonesia di sana. Yang penting setiap langkah anda dari rumah atau penginapan menuju Masjid Nabawi tidak lepas dari niat mempelajari kebaikan atau mengajarkannya, agar pahala jihad tidak luput dari anda.

4. Ziarah Kubur Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam 
Orang yang tinggal di Madinah atau mengunjunginya disunnahkan untuk berziarah ke kubur Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun mereka perlu memperhatikan pesan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini:

لَا تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ قُبُورًا، وَلَا تَجْعَلُوا قَبْرِي عِيدًا، وَصَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّ صَلَاتَكُمْ تَبْلُغُنِي حَيْثُ كُنْتُمْ

Jangan jadikan rumah kalian seperti kuburan, jangan jadikan kubur saya sebagai 'ied, dan bershalawatlah untuk saya, karena shalawat kalian sampai kepada saya darimanapun kalian bershalawat. [HR. Abu Dawud no. 2042, dihukumi shahih oleh al-Albani]

Menjadikan kuburan sebagai 'îd adalah dengan mengunjunginya secara terus-menerus, misalnya setiap sore, setiap pekan, setiap bulan dan seterusnya. Atau menziarahinya seolah-olah kita mengadakan perayaan. Maksud utama ziarah kubur Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah untuk mengucapkan salam dan shalawat. Ketika Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang umat Islam untuk terus berziarah, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan penggantinya, yaitu mengucapkan shalawat di manapun mereka berada, tanpa harus datang kekubur beliau.

Disyariatkan pula untuk mengunjungi kuburan Baqi' al-Gharqad yang berisi sekitar sepuluh ribu Shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga kuburan para syuhada dalam Perang Uhud.[3] 

5. Shalat Di Masjid Quba`
Umrah adalah salah satu ibadah yang agung. Bagi penduduk Madinah, ibadah umrah cukup mudah dilakukan. Namun meski hanya berjarak 425 km dari Makkah, ibadah ini cukup menyita waktu dan tenaga. Dengan kebijaksanaan dan kemurahan-Nya, Allâh membuka untuk mereka pintu pahala umrah dengan amalan yang lebih mudah. Hal tersebut tertuang dalam sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut:

مَنْ تَطَهَّرَ فِي بَيْتِهِ ثُمَّ أَتَى مَسْجِدَ قُبَاءَ، فَصَلَّى فِيهِ صَلَاةً، كَانَ لَهُ كَأَجْرِ عُمْرَةٍ

Barangsiapa bersuci di rumahnya, lalu mendatangi Masjid Quba` dan shalat di sana satu shalat, ia mendapatkan pahala seperti pahala umrah. [HR. Ibnu Majah no. 1.412, dihukumi shahih oleh al-Albani]

Bahkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjalankan sunnah ini setiap pecan, sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْتِي مَسْجِدَ قُبَاءٍ كُلَّ سَبْتٍ، مَاشِيًا وَرَاكِبًا

Dari Ibnu Umar Radhiyallahu a nhu beliau berkata, "Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi Masjid Quba` setiap hari Sabtu dengan berjalan kaki dan berkendara." [HR. al-Bukhari no. 1.193 dan Muslim no. 1399]

6. Sabar Akan Rasa Lapar Dan kerasnya Madinah
Kota Madinah menawarkan cuaca yang keras. Di musim panas, cuacanya sangat panas, dan begitu sebaliknya di musim dingin. Di masa lalu juga menawarkan rasa lapar. Namun bagi yang mau bersabar, keutamaan yang besar telah menanti mereka. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَا يَصْبِرُ عَلَى لَأْوَاءِ الْمَدِينَةِ وَشِدَّتِهَا أَحَدٌ مِنْ أُمَّتِي، إِلَّا كُنْتُ لَهُ شَفِيعًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَوْ شَهِيدًا

Tidaklah seorang di antara umat saya bersabar akan rasa lapar dan kerasnya Madinah, melainkan saya akan menjadi pemberi syafa'at atau saksi baginya pada hari kiamat." [HR. Muslim no. 1378]

Penutup
Meski memiliki segudang keistimewaan, tanah Madinah seperti tanah yang lain tidak bisa mensucikan penghuninya, sebagaimana dikatakan oleh Salman al-Farisi Radhiyallahu anhu :

إِنَّ الْأَرْضَ لَا تُقَدِّسُ أَحَدًا, وَإِنَّمَا يُقَدِّسُ الْإِنْسَانَ عَمَلُهُ 

Sungguh tanah tidak mensucikan orang, yang mensucikannya hanyalah amalannya [HR Malik di al-Muwaththa` no. 2842, al-Albani berdalil dengannya di beberapa karya beliau].

Karena itu, hendaknya para penghuni dan peziarah Madinah memperhatikan amalan-amalan yang disyariatkan, baik yang khusus kota Madinah maupun amalan lain secara umum.

Oleh Ustadz Anas Burhanuddin Lc, MA

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XVIII/1436H/2014M.]
_______
Footnote
[1]. Adapun shalat di Masjidil Haram lebih baik dari seratus ribu shalat di tempat lain. Itu artinya, satu shalat fardhu di sana lebih baik dari shalat fardhu seorang Muslim di masjid kampungnya selama lebih dari 55,5 tahun. Jika seorang yang beribadah umrah shalat lima waktu saja di sana, itu lebih baik dari shalat fardhu di masjid kampungnya selama lebih dari 275 tahun. Sungguh keistimewaan luar biasa. Hendaknya ini memotivasi kita untuk berkunjung ke masjid-masjid istimewa ini dan selalu rindu kepadanya.
[2]. Fathul Bâri 4/100
[3]. Lihat: Fadhlul Madinah karya Syaikh Abdul Muhsin al-'Abbad hal.37

Adab Penduduk Kota Madinah Dan Orang Yang Berziarah

Abu Fathan | 18:03 | 0 comments
Menjadi salah satu penduduk kota Mekah atau Madinah atau sekedar berada di Mekah dan Madinah dalam waktu yang sangat terbatas merupakan kenikmatan yang diidamkan banyak kaum Muslimin. Karena dengan berada di dua tempat suci tersebut, mereka bisa meraup berbagai keutamaan ibadah yang dijanjikan, diantaranya pelipatgandaan nilai ibadah. Namun kenikmatan ini menjadi tidak berguna jika tidak disyukuri dengan memanfaatkannya untuk beramal shalih dan menjauhi perbuatan menyimpang dan maksiat. Berikut kami sajikan beberapa adab-adab yang harus diperhatikan ketika berada di kota Madinah, baik sebagai penduduk yang berdomisili di sana ataupun hanya sebagai peziarah. Adab-adab ini kami nukil dari kutaib yang ditulis oleh Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd al-Abbad al-Badr. 

ADAB-ADAB PENDUDUK MADINAH
1. Hendaknya seorang mencintai kota Madinah, karena ia memiliki banyak keistimewaan dan juga karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencintainya, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam kitab Shahîhnya dari Anas Radhiyallahu anhu :

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا قَدِمَ مِنْ سَفَرٍ فَنَظَرَ إِلَى جُدُرَاتِ الْمَدِينَةِ أَوْضَعَ رَاحِلَتَهُ وَإِنْ كَانَ عَلَى دَابَّةٍ حَرَّكَهَا مِنْ حُبِّهَا

Sesunnga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila pulang dari safarnya lalu melihat dinding-dinding kota Madinah sudah dekat, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mempercepat perjalanannya, apabila berada diatas tunggangan maka Beliau segera memacunya, dikarenakan kecintaan Beliau terhadap kota Madinah.”

2. Seorang Muslim hendaknya berantusias untuk berada di kota Madinah dalam keadaan istiqâmah dengan apa yang Allâh perintahkan, tetap taat kepada Allâh dan rasul-Nya, dan juga hendaknya ekstra berhati-hati agar tidak terjatuh dalam perbutan bid’ah dan maksiat. Karena kebaikan yang dilakukan di kota Madinah memiliki kedudukan yang sangat agung begitu pula bid’ah dan maksiat di kota Madinah sangat berbahaya bagi pelakunya. Orang yang berbuat maksiat di kota suci ini, dosanya lebih besar dan lebih berat dibandingkan dengan dosa yang dilakukan di tempat lain. Kejelekan yang dilakukan tidak dilipatgandakan nominal dosanya, akan tetapi dosa kejelekan tersebut akan membesar apabila dilakukan di tanah suci ini.

3. Seorang Muslim yang berada di kota Madinah hendaknya bersemangat untuk ikut serta dalam usaha meraih hasil maksimal dari perdagangan akhirat yang menjanjikan keuntungannya berlipat ganda. Yaitu dengan melakukan shalat-shalat yang bisa dilakukan di masjid Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam demi mendapatkan pahala besar yang dijanjikan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

صَلاةٌ فِي مَسْجِدِي هَذَا أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلاةٍ فِيمَا سِوَاهُ إِلا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ

Shalat di masjidku ini lebih baik daripada seribu kali shalat di masjid lain selain Masjidil Haram (HR. Al-Bukhâri dan Muslim)

4. Hendaknya kaum Muslimin yang ada di kota Madinah yang penuh berkah ini menjadi teladan dalam kebaikan, karena mereka tinggal di kota yang terpancar darinya cahaya kebaikan. Dari sini pulalah para dai dan penyeru kebaikan menyebar ke seluruh penjuru dunia. Dengan demikian, para delegasi yang ditugaskan ke kota Madinah ini akan mendapati para penduduk kota ini sebagai contoh suri tauladan yang baik, bersifat dan berakhlak mulia serta agung. Jika demikian, saat delegasi itu kembali ke negaranya, dia akan pulang ke negerinya dengan membawa kesan positif serta bisa mengambil pelajaran dari pemandangan yang dia lihat. Namun sebaliknya, jika pemandangan yang dilihatnya buruk, maka dia akan kembali ke negeranya dengan membawa kesan negatif bahkan mungkin sambil mencela.

5. Hendaknya seorang Muslim yang sedang berada di kota Madinah ini mengingat bahwa dia sedang berada di di sebuah tempat yang baik, kota yang merupakan tempat turunnya wahyu serta tempat kembalinya keimanan, juga tempat aktifitas Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta para Shahabatnya g dari kalangan Muhajirin dan Anshâr. Mereka berjalan dan bergerak di kota ini di atas kebaikan, istiqâmah serta berpegang kepada kebenaran dan petunjuk. Hendaknya seorang Muslim yang sedang berada di kota Madinah ini waspada agar tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan apa yang dilakukan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabat Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , misalnya melakukan sesuatu yang mengundang murka Allâh Azza wa Jalla atau mendatangkan bahaya atau akibat buruk di dunia dan akhirat.

6. Bagi orang yang diberi kesempatan oleh Allâh Azza wa Jalla untuk tinggal di kota Madinah hendaknya berhati-hati agar jangan sampai melakukan perbuatan bid’ah dan maksiat atau melindungi pelakunya, karena itu akan membuatnya terkena laknat. Diriwayatkan dalam sebuah hadits, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : 

الْمَدِينَةُ حَرَمٌ ، فَمَنْ أَحْدَثَ فِيهَا حَدَثًا، أَوْ آوَى مُحْدِثًا، فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ وَالْمَلائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ، لَا يَقْبَلُ اللَّهُ مِنْهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ صَرْفًا وَلا عَدْل

Kota Madinah adalah tanah suci, maka barangsiapa yang melakukan perbuatan bid’ah dan maksiat atau melindungi pelakunya maka baginya laknat Allâh, laknat para malaikat dan laknat manusia seluruhnya. Pada hari kiamat nanti tidak diterima darinya amalan wajib maupun sunnah

Hadits ini diriwayat oleh Muslim dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , hadits juga terdapat dalam kitab Shahîhain dari Ali Radhiyallahu anhu .

7. Hendaknya tidak memotong tumbuh-tumbuhan atau memburu binatang, berdasarkan hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ إِبْرَاهِيمَ حَرَّمَ مَكَّةَ وَإِنِّي حَرَّمْتُ الْمَدِينَةَ مَابَيْنَ لاَبَتَيْهَا لَا يُقْطَعُ عِضَاهُهَا، وَلا يُقْتَلُ صَيْدُهَا

Sesungguhnya Nabi Ibrâhîm menjadikan kota Mekah sebagai kota haram, dan sesungguhnya aku menjadikan Madinah sebagai kota yang haram antara dua bebatuan hitam, pepohonanya tidak boleh dipotong dan binatangnya tidak boleh diburu.” 

Hadits ini diriwayatkan Muslim dari hadits Jâbir Radhiyallahu anhu 
Imam Muslim juga meriwayatkan dari Saad bin Abi Waqqas Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 

إِنِّي أُحَرِّمُ مَا بَيْنَ لابَتَيِ الْمَدِينَةِ أَنْ يُقْطَعَ عِضَاهَا أَوْ يُقْتَلَ صَيْدُهَا

Saya jadikan antara dua bebatuan hitam Madinah sebagai tanah haram. Pepohonanya tidak boleh dipotong dan binatangnya tidak boleh diburu.

Dalam Shahîhain dari Âshim bin Sulaiman al-Ahwal berkata: “Saya berkata pada Anas, “Apakah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengharamkan kota Madinah? Dia menjawab:

نَعَمْ مَا بَيْنَ كَذَا إِلَى كَذَا لَا يُقْطَعُ شَجَرُهَا مَنْ أَحْدَثَ فِيهَا حَدَثًا فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ

Benar, antara ini dan itu, tidak boleh dipotong tumbuhannya. Barangsiapa yang melakukan perbuatan bid’ah atau maksiat maka baginya laknat Allâh dan para malaikat dan manusia seluruhnya.”

Dalam Shahîhain dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu Seandainya aku mendapatkan kijang sedang diam, niscaya aku tidak akan mengejutkannya’ Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَابَيْنَ لاَبَتَيْهَا حَرَامٌ

Antara dua bebatuan hitam Madinah adalah sebagai tanah haram

Maksud pohon yang tidak boleh dipotong adalah pohon yang Allâh Azza wa Jalla tumbuhkan, adapun pohon yang ditanam oleh orang-orang maka mereka boleh dipotong.

8. Hendaknya kaum Muslimin yang tinggal di kota Madinah bersabar atas apa yang menimpanya seperti ekonomi yang susah, musibah ataupun kesulitan. Ini berdasarkan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَا يَصْبِرُ عَلَى لَأْوَاءِ الْمَدِينَةِ وَشِدَّتِهَا أَحَدٌ مِنْ أُمَّتِي، إِلَّا كُنْتُ لَهُ شَفِيعًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَوْ شَهِيدًا

Tidaklah seorang di antara umat saya bersabar akan rasa lapar dan kerasnya Madinah, melainkan saya akan menjadi pemberi syafa'at atau saksi baginya pada hari kiamat.

Didalam Shahîh Muslim pula dikisahkan bahwa Abu Sa’id Maula al-Mahri datang kepada Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu untuk meminta pendapat beliau Radhiyallahu anhu tentang keinginannya pindah dari Madinah, serta mengeluhkan harga barang-barang yang teramat mahal, ditambah lagi dengan beban tanggungan keluarga yang banyak. Dia mengabarkan bahwa sudah tidak mampubersabar akan kerasnya hidup di Madinah serta kesulitan tinggal di kotaMadinah. Maka Abu Said al-khudri Radhiyallahu anhu pun menasehatinya ‘Celaka engkau!! Saya tidak menganjurkan anda untuk keluar dari Madinah’ Saya pernah mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda bersabda, (yang artinya) "Tidak ada seorangpun yang bersabar menghadapi kerasnya Madinah kemudian maninggal melainkan aku akan menjadi pemberi syafaat atau menjadi saksi baginya pada hari kiamat kelak, jika dia seorang Muslim.”

9. Hendaknya seorang Muslim tidak mengganggu atau menyakiti penduduk kota Madinah, karena mengganggu atau menyakiti seorang Muslim dimanapun hukumnya adalah haram, namun menyakiti di kota suci ini keharamannya lebih keras. Imam al-Bukhâri meriwayatkan dalam Shahîhnya dari Saad bin Abi Waqqâs Radhiyallahu anhu , beliau Radhiyallahu anhu berkata, "Saya mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَكِيْدُ أَهْلَ المدينةِ أَحَدٌ بِسُوْءٍ إِلاَّ انْمَاعَ كَمَا يَنْمَاعُ الْمِلْحُ فِي الْمَاءِ

Tidak ada seorangpun yang membuat tipu daya terhadap penduduk Madinah, melainkan dia akan mencair sebagaimana garam mencair garam dalam air

Imam Muslim dalam Shahîhnya meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : 

مَنْ أَرَادَ أَهْلَ هَذِهِ الْبَلْدَةِ بِسُوءٍ أَذَابَهُ اللَّهُ كَمَا يَذُوبُ الْمِلْحُ فِي الْمَاءِ

Barangsiapa merencanakan keburukan bagi penduduk kota in i(Madinah) maka Allâh akan jadikan keburukannya itu lebur sebagaimana garam lebur dalam air

10. Hendaknya orang yang tinggal di kota Madinah tidak tertipu dengan statusnya sebagai penduduk kota Madinah, lalu mengatakan, "Saya termasuk penduduk kota Madinah. Saya berada dalam kebaikan." Karena jika hanya berstatus penduduk Madinah saja, namun tidak memiliki amalan sholeh, tidak istiqâmah dalam ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya serta tidak menjauhi perbuatan dosa dan maksiat maka statusnya tersebut tidak bermanfaat sama sekali bahkan justru akan menjadi keburukan baginya. Imam Mâlik rahimahullah meriwayatkan dalam kitab al- Muwatha’ bahwasanya Salman al-Fârisi Radhiyallahu anhu berkata:

إِنَّ الأَرْضَ لاَ تُقَدِّسُ أَحَدًا وَإِنَّمَا يُقَدِّسُ الإِنْسَانَ عَمَلُهُ

Sesungguhnya tempat itu tidak membuat orang menjadi suci, namun yang meyucikan seseorang adalah amalannya. 

Meskipun sanadnya terputus akan tetapi maknanya benar, karena ini sesuai dengan realita. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ

Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kalian adalah orang yang bertakwa [Al-Hujurât/49:13]

Seperti yang telah diketahui umum bahwa kota Madinah sejak zaman dahulu sampai sekarang, penduduknya ada yang baik dan ada juga orang-orang yang jelek. Orang-orang yang baik, amalan mereka akan mendatangkan manfaat kepada mereka, sementara orang-orang yang jelek maka kota Madinah tidak akan bisa menyucikan diri mereka serta tidak pula mengangkat derajat mereka. Masalah ini sama seperti masalah nasab (garis keturunan). Orang yang memiliki garis keturunan yang baik tapi tidak memiliki amalan baik maka nasabnya itu tidak akan bermanfaat baginya di sisi Allâh Azza wa Jalla, berdasarkan sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

وَمَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ

Barangsiapa diperlambat oleh amalnya maka nasabnya tidak akan bisa mempercepatnya masuk surga. Hadits ini diriwayat oleh Muslim dalam kitab Shahîhnya. 

11. Hendaknya seorang Muslim yang sedang berada di kota Madinah merasa bahwa dirinya sedang berada di kota yang terpancar darinya cahaya keimanan, tempat yang menjadi sumber tersebarnya ilmu yang bermanfaat ke seluruh penjuru alam. Jika dia merasa atau menyadari ini, maka dia akan bersemangat untuk mendapatkan dan meraih ilmu agama. Dengan Ilmu agama tersebut dia akan berjalan menuju Allâh di atas petunjuk dan juga bisa mengajak orang lain ke jalan tersebut sesuai dengan ilmu dan petunjuk. Terlebih lagi kalau dia menuntut ilmu di Masjid Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, berdasarkan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, beliau Radhiyallahu anhu mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ دَخَلَ مَسْجِدَنَا هَذَا يَتَعَلَّمُ خَيْرًا أَوْ يُعَلِّمُهُ كَانَ كَالْمُجَاهِدِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَمَنْ دَخَلَهُ لِغَيْرِ ذَلِكَ كَانَ كَالنَّاظِرِ إِلَى مَا لَيْسَ لَهُ

Barangsiapa masuk masjid kami ini, untuk mempelajari kebaikan (ilmu agama) ataupun mengajarkannya, maka dia seperti orang yang berjihad di sabîlillâh, namun barangsiapa masuk dengan tujuan selain itu maka dia seperti orang yang menonton sesuatu yang bukan untuk dirinya. [HR. Ahmad dan Ibnu Majah dan yang lain. Hadits ini punya penguat riwayat Thabrani dari hadits Sahl bin Sa’d Radhiyallahu anhu]

ADAB ORANG YANG BERZIARAH KE KOTA MADINAH
Penduduk Madinah diharuskan untuk beradab dengan adab-adab tertentu, begitu juga para peziarah kota Madinah. Para penziarah kota Madinah hendaknya menjaga adab-adab orang yang sedang tinggal di kota Madinah yang telah disebutkan di atas. Juga, seyogyanya orang yang datang berziarah ke kota Madinah berniat untuk menziarahi masjid Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , berdasarkan sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam

لَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ: الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ، وَمَسْجِدِي هَذَا، وَمَسْجِدِ الْأَقْصَى

Janganlah kalian safar dalam rangka ibadah kecuali menuju tiga masjid: Masjidil Haram, Masjidku ini (Masjib Nabawi), masjid al-Aqsha. [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]

Hadits ini mengandung larangan bepergian menuju suatu tempat, baik masjid atau apapun yang lain dalam rangka untuk mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla di tempat yang ia tuju tersebut kecuali bepergian ke tiga masjid di atas. Berdasarkan hadits yang terdapat di sunan Nasa’i juga dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , beliau Radhiyallahu anhu berkata, 'Saya bertemu Bashrah bin Abu Bashrah al-Ghifari Radhiyallahu anhu lalu dia berkata, 'Darimana kalian?’ Saya menjawab, 'Dari Gunung Thûrr’. Dia berkata, ‘Kalau saja saya bertemu kalian sebelum kalian ke sana maka kalian tidak akan bisa ke sana.’ Saya bertanya, 'Mengapa demikian?’ Dia menjawab, ‘Saya pernah mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَا تُعْمَلُ الْمَطِيُّ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ، الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ، وَمَسْجِدِي، وَمَسْجِدِ الْأَقْصَى

Tidak boleh menggunakan kendaraan untuk safar kecuali menuju tiga masjid; Masjidil Haram, Masjidku ini dan Masjid di Baitul Maqdis

Ini adalah hadits shahih. Dengan hadits tersebut Bashrah bin Abu Bashrah al-Ghifari Radhiyallahu anhu berdalil akan terlarangnya berpergian menuju masjid atau yang lainnya selain tiga masjid ini.

Maka bagi siapa yang sampai di kota Madinah ini, disyariatkan untuknya menziarahi dua masjid dan tiga pekuburan. Dua masjid yang dimaksud adalah Masjid Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam (Masjid Nabawi) dan Masjid Qubâ, sebagaimana telah dijelaskan pada mabhats lain tentang dalil-dalil tentang keutamaan dan keistimewaan shalat pada kedua tempat tersebut.

Sedangkan tiga pekuburan yang dianjurkan untuk diziarahi adalah kuburan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kedua Shahabatnya yaitu Abu Bakar dan Umar Radhiyallahu anhuma, pekuburan Baqi’ dan pekuburan Syuhada (Mujahidin) Uhud.

Apabila peziarah datang kekuburan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kedua Shahabatnya maka hendaknya dia datang dari arah depan dan menghadap kuburan, dengan catatan ziarah yang dilakukan sesuai dengan tuntunan oleh syariat. Ziarah yang sesuai dengan tuntunan syariat yaitu dengan memberi salam kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta mendoakan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan penuh adab dan suara yang pelan. Kemudian salam kepada Abu Bakr Radhiyallahu anhu dan berdoa untuknya kemudian salam kepada Umar Radhiyallahu anhu dan berdoa untuknya.

Dan perlu diketahui juga bahwa kedua orang yang agung ini adalah khalifah yang mendapatkan petunjuk. Mereka berdua dimuliakan Allâh Azza wa Jalla melebihi yang lain. Abu Bakar Radhiyallahu anhu misalnya, beliau Radhiyallahu anhu adalah lelaki pertama yang beriman kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika Allâh Azza wa Jalla mengutusnya dengan membawa kebenaran dan petunjuk. Beliau Radhiyallahu anhu diberi kesempatan untuk menyertai Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Mekah selama tiga tahun setelah dinobatkan sebagai Rasûl. Disaat Allâh Azza wa Jalla mengizinkan Nabinya n untuk berhijrah ke kota Madinah, beliau menyertainya dalam perjalanan menuju kota Madinah dan turunlah ayat mengenai hal itu yang diabadikan dalam al-Qur’ân dan senantiasa dibaca, yaitu firman Allâh Azza wa Jalla :

إِلَّا تَنْصُرُوهُ فَقَدْ نَصَرَهُ اللَّهُ إِذْ أَخْرَجَهُ الَّذِينَ كَفَرُوا ثَانِيَ اثْنَيْنِ إِذْ هُمَا فِي الْغَارِ إِذْ يَقُولُ لِصَاحِبِهِ لَا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا ۖ فَأَنْزَلَ اللَّهُ سَكِينَتَهُ عَلَيْهِ وَأَيَّدَهُ بِجُنُودٍ لَمْ تَرَوْهَا وَجَعَلَ كَلِمَةَ الَّذِينَ كَفَرُوا السُّفْلَىٰ ۗ وَكَلِمَةُ اللَّهِ هِيَ الْعُلْيَا ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

Jikalau kamu tidak menolongnya (Muhammad) maka sesungguhnya Allâh telah menolongnya (yaitu)) ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekah) mengeluarkannya (dari Mekah) sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada didalam gua, diwaktu dia berkata kepada temannya, 'Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allâh beserta kita.” Maka Allâh menurunkan keterangan-Nya kepada (Muhammad) dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya, dan Allâh jadikan seruan orang-orang kafir itulah yang rendah. Dan kalimat Allâhlah itulah yang tinggi. Allâh Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.[At-Taubah/9:40] 

Abu Bakar Radhiyallahu anhu juga menyertai Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah selama sepuluh tahun, mengikuti semua peperangan bersama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Setelah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat beliau memegang kekhalifahan. Beliau pun melaksanakan kewajibannya dengan sebaik-baiknya. Tatkala Allâh Azza wa Jalla mewafatkannya, Allâh muliakan dia dengan dikuburkan disisi kuburan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sehingga manakala dibangkitkan nanti dia dibangkitkan bersama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam di surga. Tentu semua itu adalah karunia dari Allâh yang diberikan kepada siapa yang dikehendaki-Nya.

Adapun mengenai Umar bin Khattab Radhiyallahu anhu , beliau Radhiyallahu anhu masuk Islam setelah empat puluh orang lain sebelumnya masuk Islam dari kalangan laki-laki. Dahulunya Umar Radhiyallahu anhu adalah orang yang sangat keras terhadap Islam, namun setelah mendapatkan petunjuk dan hidayah, maka kekuatan dan kekerasannya ditujukan untuk orang kafir. Islamnya Umar sebuah power bagi kaum Muslimin, sebagaimana dikatakan oleh Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu : ‘Kami senantiasa memiliki pamor sejak Umar memeluk Islam’ (Riwayat ini dibawakan oleh al-Bukhâri dalam Shahîhnya.

Beliau Radhiyallahu anhu menyertai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Mekah dan beliau Radhiyallahu anhu juga berhijrah menuju kota Madinah. Beliau Radhiyallahu anhu juga mengikuti semua peperangan bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Tatkala Abu Bakar menjadi khalifah, Umar Radhiyallahu anhu adalah tangan kanannya. Kemudian beliau Radhiyallahu anhu memegang kekhalifahan sepeninggalan Abu Bakar Radhiyallahu anhu . Kekhalifahannya berlangsung selama sepuluh tahun. Beliau Radhiyallahu anhu melakukan berbagai penaklukan, sehingga semakin luaslah negara Islam, sehingga bisa mengalahkan dua imperium besar tatkala itu yaitu imperium Persia dan Romawi kuno. Harta kekayaan Kisra dan Kaisar yang ia dapatkan diinfakkan di jalan Allâh. Penaklukan Romawi dan Persia itu sesuai dengan apa yang telah dikabarkan sebelumnya oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Semua itu menjadi nyata pada masa kekhalifahan Umar Radhiyallahu anhu. Tatkala beliau Radhiyallahu anhu wafat, Allâh Azza wa Jalla memuliakannya juga dengan dikuburkan disisi Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sehingga manakala dibangkitkan iapun akan dibangkitkan bersama Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam di surga. Semua itu adalah karunia dari Allâh yang Allâh berikan kepada siapa yang dikehendaki Nya.

Masih pantaskah ada orang yang benci dan mencela dua tokoh seagung dan sebaik mereka ini …?! Semoga Allâh Azza wa Jalla kita semua dari perbuatan hina.

Wahai Rabb kami ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dalam keimanan, dan janganlah engkau jadikan dalam hati kami rasa dengki terhadap orang-orang yang beriman. Wahai Rabb kami! Sesungguhnya engkau adalah maha baik lagi maha pengasih

Wahai Rabb kami! Janganlah Engkau simpangkan hati kami setelah Engkau berikan petunjuk pada kami. Berikanlah kasih sayang-Mu! Sesungguhnya Engkau adalah Maha Pemberi’.

Ibnu Katsir menukil dalam kitab tafsirnya pada firman Allâh Azza wa Jalla : 

إِنْ تَجْتَنِبُوا كَبَائِرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَنُدْخِلْكُمْ مُدْخَلًا كَرِيمًا

Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar diantara dosa-dosa yang kalian dilarang mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu atau dosa-dosamu yang kecil dan niscaya Kami masukkan kamu ketempat yang mulia (syurga) [An-Nisâ'/4:30]

Dari Abu Hatim dengan sanad yang sampai pada Mughirah bin Miqsam, dia berkata, "Mencela Abu Bakr dan Umar termasuk Radhiyallahu anhuma adalah dosa besar’. Kemudian Ibnu Katsir rahimahullah berkata, "Sebagian Ulama berpendapat akan kafirnya orang yang mencela para Shahabat’. Pendapat tersebut diriwayatkan dari Mâlik bin Anas rahimahullah. Muhammad bin Sirrin rahimahullah berkata, "Saya kira tidak akan ada orang yang mengaku mencintai Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tapi mencela Abu Bakar dan Umar." Ini diriwayatkan oleh at-Tirmidzi rahimahullah.

Demikian, sajian singkat tentang adab-adab yang perlu diperhatikan ketika seorang Muslim berada di Mekah atau Madinah. Semoga bermanfaat

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XVIII/1436H/2014M.]
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. BERITA SUNNAH - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger