Berdusta atas nama seseorang, walaupun bukan orang yang mulia, merupakan
dosa besar, lalu bagaimana jika berdusta atas nama Nabi Shallallahu
alaihi wa sallam , yang perkataan dan perbuatannya merupakan syari’at?
Pasti, berdusta atas nama Nabi Shallallahu alaihi wa sallam merupakan
kemungkaran dan dosa yang besar. Imam al-Bukhâri meriwayatkan:
عَنْ الْمُغِيرَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ كَذِبًا عَلَيَّ لَيْسَ
كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ
مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ
Dari al-Mughirah Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Aku mendengar
Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya berdusta
atasku tidak seperti berdusta atas orang yang lain. Barangsiapa
berdusta atasku dengan sengaja, maka hendaklah dia mengambil tempat
tinggalnya di neraka”. [HR. Al-Bukhâri, no. 1229]
Berdusta atas nama Nabi Shallallahu alaihi wa sallam sama dengan
berdusta dalam syari’at dan dampaknya menimpa seluruh umat. Oleh karena
itu, dosanya lebih besar dan hukumannya lebih berat.
Dalam hadits lain, Nabi Shallallahu alaihi wa sallam menegaskan:
لَا تَكْذِبُوا عَلَيَّ فَإِنَّهُ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ فَلْيَلِجِ النَّارَ
Janganlah kamu berdusta atasku, karena sesungguhnya barangsiapa berdusta
atasku, maka silahkan dia masuk ke neraka. [HR. Al-Bukhâri, no. 106 dan
Muslim, no. 1]
مَنْ حَدَّثَ عَنِّى بِحَدِيثٍ يُرَى أَنَّهُ كَذِبٌ فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبِينَ
Barangsiapa menceritakan sebuah hadits dariku, dia mengetahui bahwa
hadits itu dusta, maka dia adalah salah seorang dari para pendusta. [HR.
Muslim di dalam Muqaddimah]
APAKAH BERDUSTA ATAS NABI MERUPAKAN KEKAFIRAN?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah telah memberikan perincian
dalam masalah ini dalam kitab ash-Shârimul Maslûl ‘ala Syâtimir Rasûl.
Syaikhul Islam rahimahullah berkata, “Ada dua pendapat (ulama) tentang
hadits ini:
Pertama: Berpegang dengan zhahirnya, yaitu hukum bunuh terhadap orang
yang sengaja berdusta atas Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di
antara mereka ini ada yang berpendapat kafirnya dengan sebab itu. Ini
pendapat sekelompok Ulama, di antaranya Abu Muhammad al-Juwaini.
Ibnu ‘Aqîl menyatakan dari gurunya, Abul Fadhl al-Hamdani, yang berkata,
“Para pembuat bid’ah dalam agama Islam, para pendusta dan pembuat
hadits palsu, lebih berbahaya daripada orang-orang mulhid (ateis).
Karena orang-orang mulhid berniat merusak agama dari luar, sedangkan
mereka ini berniat merusak agama dari dalam. Maka mereka ini seperti
penduduk kota yang berusaha melakukan kerusakan keadaan-keadaan kota,
sedangkan orang-orang mulhid seperti orang-orang yang mengepung dari
luar. Orang-orang yang berada di dalam akan membukakan pintu benteng,
sehingga mereka lebih buruk terhadap agama Islam daripada orang-orang
yang bukan pemeluknya.”
Penjelasannya adalah berdusta atas Nabi merupakan bentuk berdusta atas
nama Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Oleh karena itu Nabi Shallallahu alaihi
wa sallam bersabda:
إِنَّ كَذِبًا عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ
Sesungguhnya berdusta atasku tidak seperti berdusta atas orang yang lain
Karena perkara yang diperintahkan oleh Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa
sallam juga diperintahkan oleh Allâh Azza wa Jalla , wajib untuk diikuti
sebagaimana wajibnya mengikuti perintah Allâh Azza wa Jalla.
Dan perkara yang diberitakan oleh Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa
sallam wajib diyakini seperti wajibnya meyakini perkara yang diberitakan
oleh Allâh Azza wa Jalla . Barangsiapa mendustakan berita dari Nabi
Shallallahu alaihi wa sallam atau tidak mau meyakini perintah Nabi
Shallallahu alaihi wa sallam , maka dia seperti orang yang mendustakan
berita dari Allâh Azza wa Jalla atau tidak mau meyakini perintah Allâh
Azza wa Jalla . Dan telah diketahui bahwa barangsiapa berdusta atas nama
Allâh Azza wa Jalla , dengan mengatakan bahwa dirinya utusan Allâh Azza
wa Jalla , atau Nabi-Nya, atau dia memberitakan suatu berita dari Allâh
Azza wa Jalla padahal dia bohong sebagaimana Musailamah, al-‘Ansi, dan
para nabi palsu lainnya, maka dia kafir, halal darahnya.
Demikian juga orang yang sengaja berdusta atas nama Rasûlullâh
Shallallahu alaihi wa sallam , karena kedudukan berdusta atas Allâh sama
dengan mendustakan-Nya. Oleh karenanya, Allâh menggabungkan keduanya
dengan firmanNya:
وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَىٰ عَلَى اللَّهِ كَذِبًا أَوْ كَذَّبَ بِالْحَقِّ لَمَّا جَاءَهُ
Dan siapakah yang lebih zhalim daripada orang-orang yang mengada-adakan
kedustaan terhadap Allâh atau mendustakan al-haq (kebenaran) tatkala
al-haq itu datang kepadanya? [Al-‘Ankabût/29: 68]
Bahkan kemungkinan berdusta atas nama Allâh lebih besar dosanya daripada
mendustakan berita-Nya. Oleh karena itu, Allâh lebih mendahulukannya.
Sebagaimana orang yang jujur berbicara tentang Allâh Azza wa Jalla lebih
tinggi derajatnya daripada orang yang membenarkan berita-Nya. Maka jika
orang yang berdusta seperti orang yang mendustakan, atau bahkan lebih
besar, dan orang yang berdusta Allâh seperti orang yang mendustakan
beritaNya, maka orang yang berdusta atas nama Rasul sama seperti orang
yang mendustakannya, karena perbuatan mendustakan sama dusta. Karena
mendustakan beritanya sama dengan menyataan bahwa dia tidak benar dalam
beritanya, dan itu sama saja dengan menganggap agama Allâh itu bathil.
Tidak ada beda antara mendustakannya dalam satu berita atau dalam dalam
seluruh berita. Dan dia menjadi kafir karena hal itu memuat pembatalan
terhadap risalah dan agama Allâh. Sedangkan orang yang berdusta atas
nama-Nya, dengan sengaja telah memasukkan ke dalam agama Allâh suatu
perkara yang bukan dari agama Islam, dan dia menganggap bahwa wajib bagi
umat ini membenarkan berita tersebut dan melaksanakannya, karena itu
merupakan bagian agama Allâh, padahal dia tahu itu bukan bagian dari
agama Allâh. Menambahkan (sesuatu) ke dalam agama sama hukumnya dengan
mengurangi (sesuatu) darinya. Dan tidak ada bedanya orang yang
mendustakan satu ayat al-Qur’ân, atau sengaja menambahkan satu kalimat
yang dia katakan sebagai surat dari al-Qur’ân.
Demikian juga, sesungguhnya sengaja berdusta atas nama Allâh Azza wa
Jalla merupakan perbuatan memperolok-olok dan merendahkan Allâh Azza wa
Jalla . Karena dia mengatakan bahwa Allâh Azza wa Jalla memerintahkan
perkara-perkara yang tidak pernah diperintahkan oleh Allâh Azza wa Jalla
, atau bahkan ada kemungkinan tidak boleh diperintahkan. Ini berarti
menyemat sifat bodoh atau tidak tahu kepada Allâh Azza wa Jalla . Atau
dia memberitakan perkara-perkara dusta, ini berarti menisbatkan dusta
kepada Allâh Azza wa Jalla , dan ini merupakan kekafiran yang nyata.
Demikian juga seandainya dia mengatakan bahwa Allâh Azza wa Jalla
mewajibkan puasa satu bulan selain pada bulan Ramadhan, atau mewajibkan
shalat keenam, dan semacamnya, atau bahwa Allâh mengharamkan roti dan
daging dan lain sebagainya. Jika dia tahu dan sadar dengan perbuatan
dustanya, maka dia menjadi kafir berdasarkan kesepakatan (Ulama).
Maka barangsiapa mengatakan bahwa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam
mewajibkan sesuatu yang Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
wajibkan, atau Nabi Shallallahu alaihi wa sallam mengharamkan sesuatu
yang Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak haramkan, maka dia telah
berdusta atas nama Allâh Azza wa Jalla , sebagaimana dia telah berdusta
atas Nabi sejak awalnya, ditambah lagi dia mengatakan dengan
terang-terangan bahwa Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam
mengucapkannya, atau Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan
fatwa dan berkata, padahal dia tidak mengatakannya dengan ijtihad dan
istimbath.
Intinya barangsiapa sengaja berdusta secara nyata atas nama Allâh Azza
wa Jalla , maka dia seperti orang yang sengaja mendustakan Allâh Azza wa
Jalla , atau bahkan keadaannya lebih buruk. Dan jelas bahwa orang yang
berdusta atas nama seseorang yang wajib untuk diagungkan, maka dia itu
meremehkannya dan merendahkan kehormatannya.
Demikian juga orang yang berdusta atas nama seseorang, dia pasti memberikan citra buruk kepadanya dan merendahkannya...
Adapun orang yang meriwayatkan sebuah hadits dan dia mengetahui bahwa
itu dusta, maka ini haram (hukumnya) sebagaimana telah shahih bahwa
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ حَدَّثَ عَنِّى بِحَدِيثٍ يُرَى أَنَّهُ كَذِبٌ فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبِينَ
Barangsiapa menceritakan sebuah hadits dariku, padahal dia tahu bahwa
hadits itu dusta, maka dia adalah salah seorang dari para pendusta
Tetapi dia tidak kafir, kecuali dia memasukkan di dalam riwayatnya
sesuatu yang menyebabkan kekafiran. Karena dia jujur saat mengatakan
bahwa gurunya telah menceritakan hadits itu kepadanya, tetapi karena dia
mengetahui bahwa gurunya berdusta dalam hadits tersebut maka dia tidak
halal meriwayatkannya. Sehingga kedudukannya seperti bersaksi atas
pernyataan atau persaksian atau perjanjian, sedangkan dia mengetahui
bahwa hal itu batil. Persaksian tersebut haram hukumnya, tetapi bukan
persaksian palsu”.
Kemudian Syaikhul Islam menyebutkan pendapat kedua, dia berkata:
“Pendapat kedua: bahwa orang yang berdusta atas Nabi Shallallahu alaihi
wa sallam hukumannya berat, tetapi tidak menjadi kafir, dan dia tidak
boleh dibunuh. Karena penyebab kekafiran dan pembunuhan telah diketahui,
sementara ini tidak termasuk di dalamnya. Maka tidak boleh menetapkan
sesuatu yang tidak ada dalilnya.
Tetapi Ulama yang berpendapat dengan pendapat ini harus mensyaratkan
pendapatnya, bahwa berdusta atas Nabi Shallallahu alaihi wa sallam itu
tidak memuat celaan yang nyata. Adapun jika seseorang memberitakan bahwa
dia mendengar Nabi Shallallahu alaihi wa sallam mengucapkan suatu
perkataan yang menunjukkan kekurangan dan cacat Nabi Shallallahu alaihi
wa sallam dengan nyata, seperti hadits “keringat kuda” dan
kedustaan-kedustaan semacamnya, maka orang yang meriwayatkan ini
memperolok-olok Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dengan nyata, maka
tidak diragukan bahwa dia kafir, halal darahnya”. [Diringkas dari
as-Shârimul Maslûl ‘ala Syâtimir Rasûl, 2/328-339]
Kesimpulannya, bahwa berdusta atas nama Nabi Shallallahu alaihi wa
sallam merupakan dosa besar dan akibatnya akan menimpa umat ini selain
pasti menimpa pelakunya. Maka orang yang berdusta atas nama Nabi
hendaklah berhati-hati. Semoga Allâh Azza wa Jalla menjaga semua dari
segala keburukan, dan menuntun kita di dalam segala kebaikan.
Oleh Ustadz Abu Isma’il Muslim al-Atsari
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XVIII/1436H/2014M.]
0 comments:
Post a Comment