{قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ ويَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ، وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ}

Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah (sunnah/petunjuk)ku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS Ali ‘Imran:31)

AKAL, KEUTAMAAN DAN KEISTIMEWAANYA

Abu Fathan | 19:31 | 0 comments
Akal adalah nikmat paling agung pengaruhnya setelah nikmat iman. Semua bukti dan fakta menjadi saksi, bahwa wahyu Allâh Azza wa Jalla dan akal manusia adalah selaras dan serasi.
Banyak nash syar’i yang menunjukkan keharusan menggunakan akal untuk bertafakkur, dalam rangka untuk mengenal Allâh Azza wa Jalla dan mentauhidkan-Nya dengan menunaikan konsekuensinya.
Tidak akan sempurna agama seseorang sampai akalnya sempurna. Akal tanpa agama akan sesat, dan beragama tanpa akal adalah tangga menuju pemahaman yang salah dan perilaku buruk. Dan seringkali itu mencoreng wajah Islam yang murni!
Al-Hasan al-Bashri rahimahullah bila diberitahukan tentang seseorang yang shalih, ia akan bertanya, “Bagaimana akalnya? Agama seorang hamba tidak akan sempurna sama sekali hingga akalnya sempurna.” Apa yang diucapkan al-Hasan al-Bashri rahimahullah bisa kita kembalikan pada firman Allâh Azza wa Jalla :
وَيَجْعَلُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِينَ لَا يَعْقِلُونَ
Dan Allâh menimpakan adzab kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya. [Yûnus /10:100]

Akal merupakan salah satu karunia di antara karunia Allâh yang paling agung. Seseorang yang punya akal sehat akan bisa mengambil manfaat dari wejangan dan petunjuk al-Quran. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَا أَوْ آذَانٌ يَسْمَعُونَ بِهَا ۖ فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَٰكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ
Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada. [al-Hajj /22:46]
Juga firman-Nya:
إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَذِكْرَىٰ لِمَنْ كَانَ لَهُ قَلْبٌ أَوْ أَلْقَى السَّمْعَ وَهُوَ شَهِيدٌ
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.[Qâf /50:37]
Hati di sini maksudnya adalah akal.
Luqman berkata kepada anaknya, “Wahai anakku! Ketahuilah, bahwa puncak dari kemuliaan dan kejayaan di dunia dan akhirat adalah bagusnya akal. Sesungguhnya bila akal seorang hamba itu bagus, maka itu bisa menutupi aib dan celanya, serta bisa memperbaiki berbagai keburukannya.”
Akal yang dipuji dalam syariat, adalah akal yang memahami tentang Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya. Akal yang membentengi pemiliknya dari segala yang hina serta mendorongnya untuk taat dan berperilaku mulia. Inilah tipe dan corak akal seorang Mukmin. Sedangkan kaum kafir, mereka tidak memahami hakikat akal yang dipuji syariat. Barulah di akhirat mereka akan sadar –namun tiada guna-; sehingga mereka pun mengatakan seperti dalam firman-Nya:
وَقَالُوا لَوْ كُنَّا نَسْمَعُ أَوْ نَعْقِلُ مَا كُنَّا فِي أَصْحَابِ السَّعِيرِ
Dan mereka berkata, “Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala.” [Al-Mulk /67:10]
Seorang alim Mekkah, Atha’ bin Rabah rahimahullah ditanya tentang karunia Allâh yang paling utama bagi hamba-Nya, ia menjawab, “Memahami tentang Allâh Azza wa Jalla ”
Memahami tentang Allâh Azza wa Jalla , memahami firman-Nya, dan memahami maksud yang diinginkan oleh Allâh Azza wa Jalla . Itulah gerbang terbesar kebaikan dunia dan akhirat. Saat itu berarti ia telah mengerti apa maksud tujuan diciptakannya akal.
Sedangkan akal yang berobsesi dunia akan menjadi sumber petaka yang melahirkan problematika dalam semua bidang kehidupan. Ia adalah penyebab utama yang menjadikan  banyak orang enggan turut serta berjuang untuk agama ini. Dan akal yang tidak digunakan semestinya, akan menyeret manusia ke dalam siksa neraka, sebagaimana yang difirmankan Allâh Azza wa Jalla :
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ ۖ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allâh) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allâh), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allâh). [Al-A’raf /7:179]
Dalam riwayat yang sah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti dalam riwayat Ahmad, juga al-Bukhâri dan Muslim, Beliau n bersabda:
أَنَّهُ  يُقَالَ لِلرَّجُلِ مَا أَجْلَدَهُ مَا أَظْرَفَهُ مَا أَعْقَلَهُ وَمَا فِى قَلْبِهِ مِثْقَالُ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ مِنْ إِيمَانٍ
Dikatakan kepada seseorang: betapa kuatnya dia, betapa cerdiknya dia, betapa pandai akalnya, padahal di dalam hatinya tidak ada sedikitpun iman walau sebesar biji sawi
Akal bisa bekerja dengan benar bila berpedoman dengan cahaya wahyu ilahi; dan juga dari pengalaman dan berbagai peristiwa sepanjang sejarah.
Akal yang mengambil petunjuk dari cahaya Allâh Azza wa Jalla tercermin pada banyak perilaku. Ia akan mendahulukan perintah Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya dibanding apapun juga. Ia menghindari kecenderungan nafsunya. Ia selalu meminta keselamatan. Namun bila musibah menimpa, ia pun ridha dan bersabar.
Ia tahu bahwa petaka tergantung dari ucapan. Karena itulah ia selalu berusaha untuk berkata baik, tidak dusta, menggunjing atau mengadu domba.
Ia tidak menyuruh kebaikan kepada orang sedangkan ia melupakan dirinya. Ia tidak berbicara sesuatu yang tidak bermanfaat.
Seorang yang berakal tahu hakikat dunia yang hanya kesenangan yang pasti sirna sementara akhirat kekal. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَالدَّارُ الْآخِرَةُ خَيْرٌ لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ ۗ أَفَلَا تَعْقِلُونَ
Dan kampung akhirat itu lebih bagi mereka yang bertakwa. Maka apakah kamu sekalian tidak mengerti? [Al-A’raf /7:169]
Seorang berakal akan berusaha menyatukan kalimat Muslimin dan mencampakkan perpecahan dan permusuhan.
Perhiasan orang berakal adalah tawadhu’. Bila akal seseorang bagus, maka ia tidak hasad; Ia tidak merendahkan orang lain, terutama para Ulama.
Orang yang berakal, berbakti kepada kedua orang tua. Ia pun sangat perhatian terhadap nasib kaum Muslimin.
Pendek kata, ia sangat tanggap terhadap setiap kebaikan. Ia selalu bertaubat dari setiap kesilapan. Sungguh, betapa nikmat dan manis hidupnya! Itulah surga yang disegerakan di dunia ini.
Semoga Allâh Azza wa Jalla menjadikan kita termasuk orang-orang berakal yang senantiasa menggunakan akalnya sesuai dengan panduan cahaya wahyu ilahi.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XIX/1437H/2016M.]
_______
Footnote
[1] Disarikan dari khutbah DR. Khalid al-Ghamidi yang disampaikan di Masjidil Haram, Mekah dengan judul Fadhâilul Aqli wa Mazayahu, pada tanggal 15 Shafar 1437 H , bertepatan dengan tanggal 27 November 2015 M. Diambil dari Bawwabatul Haramain asy-Syarifain

PERSATUAN UMAT ISLAM

Abu Fathan | 18:59 | 0 comments
Agama Islam mengajak manusia kepada persatuan, berkumpul di atas kebenaran, berpijak kepada al-Qur`an dan as-Sunnah menurut pemahaman salafush shalih. Agama Islam memerintahkan untuk saling tolong menolong dalam kebaikan dan takwa, dan melarang tolong menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan  [Al-Mâ`idah/5:2]
Islam melarang perpecahan dan berkelompok-kelompok yang masing-masing berbangga dengan golongannya.
Persatuan yang dikehendaki dalam agama Islam adalah kesatuan dalam akidah, manhaj, dan berpegang teguh kepada al-Qur`an dan Sunnah menurut pemahaman salafus shalih. Persatuan yang dimaksud bukan sekedar persatuan badan atau perkumpulan, tetapi lebih ditekankan kepada persatuan hati dalam berakidah dan menjalani hidup ini sesuai dengan al-Qur`an dan Sunnah menurut pemahaman salafus shalih. Jangan membuat persatuan dan perkumpulan yang membawa kepada perpecahan, yang pada hakikanya adalah persatuan yang semu seperti orang Yahudi yang Allâh sebutkan dalam al-Qur`an:
تَحْسَبُهُمْ جَمِيعًا وَقُلُوبُهُمْ شَتَّىٰ
Kamu kira mereka itu bersatu padahal hati mereka terpecah belah [Al-Hasyr/59:14]
Dalam mengajak manusia kepada persatuan dan berpegang teguh kepada agama Allâh Azza wa Jalla itu wajib ditegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Karena tidak mungkin manusia bersatu tanpa melarang mereka dari perbuatan syirik, bid’ah, maksiat dan penyimpangan lainnya. Jadi persatuan yang dikehendaki dalam agama Islam adalah persatuan di atas akidah dan manhaj serta berpegang teguh kepada al-Qur`an dan as-Sunnah menurut pemahaman salafus shalih dan melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar.
Ahlus Sunnah mengajak kepada persatuan kaum Muslimin dan melarang mereka dari berpecah belah, sebagaimana firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا ۚ وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَىٰ شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
Dan berpegang teguhlahlah kamu semuanya pada tali (agama) Allâh, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah nikmat Allâh kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuhan, lalu Allâh mempersatukan hatimu, sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara, sedangkan (ketika itu) kamu berada di tepi jurang neraka, lalu Allâh menyelamatkan kamu dari sana. Demikianlah, Allâh menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk.” [Ali ‘Imrân/3:103]
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah (wafat th. 774 H) menafsirkan ayat ini:
Firman Allâh, “Dan berpegang teguhlahlah kamu semuanya pada tali (agama) Allâh, dan janganlah kamu bercerai berai,” Ada yang berpendapat bahwa “kepada tali Allâh” berarti kepada janji Allâh, sebagaimana firman Allâh pada ayat setelahnya:
ضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ أَيْنَ مَا ثُقِفُوا إِلَّا بِحَبْلٍ مِنَ اللَّهِ وَحَبْلٍ مِنَ النَّاسِ
Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka (berpegang) pada tali (agama) Allâh dan tali (perjanjian) dengan manusia  [Ali ‘Imrân/3:112]
Yakni dengan perjanjian dan perlindungan. Ada yang berpendapat, “(berpegang) Kepada tali Allâh itu maksudnya adalah (berpegang) kepada al-Qur`an, sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan dari ‘Ali z tentang sifat al-Qur`an,
هُوَ حَبْلُ اللهِ الْمَتِيْنِ، وَصِرَاطُهُ الْمُسْتَقِيْمُ
Al-Qur`an itu adalah tali Allâh yang kokoh dan jalan-Nya yang lurus
Firman-Nya, yang artinya, “dan janganlah kamu bercerai berai,” Allâh memerintahkan mereka untuk bersatu dengan jama’ah dan melarang berpecah belah.
Banyak hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang melarang perpecahan dan menyuruh untuk menjalin persatuan. Sebagaimana disebutkan dalam Shahîh Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ يَرْضَى لَكُمْ ثَلَاثًا وَيَسْخَطُ لَكُمْ ثَلَاثًا: يَرْضَى لَكُمْ أَنْ تَعْبُدُوْهُ وَلَا تُشْرِكُوْا بِهِ شَيْئًا، وَأَنْ تَعْتَصِمُوْا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيْعًا وَلَا تَفَرَّقُوْا، وَأَنْ تُنَاصِحُوْا مَنْ وَلَّاهُ اللهُ أَمْرَكُمْ، وَيَسْخَطُ لَكُمْ قِيلَ وَقَالَ، وَإِضَاعَةَ الْمَالِ، وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ.
Sesungguhnya Allâh meridhai kalian dalam tiga perkara dan membenci kalian dalam tiga perkara. Dia meridhai kalian jika kalian beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun, berpegang teguh pada tali Allâh dan tidak bercerai berai dan memberi nasehat kepada ulil amri (pemimpin) yang mengurus urusan kalian. Dan Allâh membenci kalian dalam tiga perkara, yaitu banyak bicara (menyampaikan perkataan tanpa mengetahui kebenarannya-pent), menyia-nyiakan harta (berlebihan, boros), dan banyak bertanya (yang tidak penting-pent).”[1]
Dan mereka (kaum Muslimin jika bersatu) telah diberikan jaminan perlindungan dari kesalahan ketika mereka bersepakat. Sebagaimana hal itu telah disebutkan pula dalam banyak hadits.
Dan yang dikhawatirkan terhadap mereka adalah akan terjadi juga perpecahan dan perselisihan. Dan ternyata hal itu memang terjadi pada ummat ini, di mana mereka terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Dari semua golongan tersebut, terdapat satu golongan yang selamat masuk ke Surga serta selamat dari adzab Neraka, mereka itu adalah orang-orang yang berada di atas jalan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya.
Firman-Nya:
وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَىٰ شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
dan ingatlah nikmat Allâh kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuhan, lalu Allâh mempersatukan hatimu, sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara, sedangkan (ketika itu) kamu berada di tepi jurang neraka, lalu Allâh menyelamatkan kamu dari sana. Demikianlah, Allâh menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk.”
Konteks ayat ini berkenaan dengan kaum Aus dan Khazraj. Sebab pada masa jahiliyyah, di antara mereka telah terjadi banyak peperangan, permusuhan yang parah, rasa dengki dan dendam.
Maka ketika Allâh Azza wa Jalla menurunkan Islam, di antara mereka pun memeluknya, sehingga mereka jadi bersaudara dan saling mencintai karena Allâh Azza wa Jalla , saling menjaga hubungan dan tolong-menolong dalam kebajikan dan ketakwaan. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
هُوَ الَّذِي أَيَّدَكَ بِنَصْرِهِ وَبِالْمُؤْمِنِينَ ﴿٦٢﴾ وَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ ۚ لَوْ أَنْفَقْتَ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا مَا أَلَّفْتَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ أَلَّفَ بَيْنَهُمْ ۚ إِنَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
… Dialah yang memberikan kekuatan kepadamu dengan pertolongan-Nya dan dengan (dukungan) orang-orang mukmin, dan Dia (Allâh) yang mempersatukan hati mereka (orang yang beriman). Walaupun kamu menginfakkan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, tetapi Allâh telah mempersatukan hati mereka. Sungguh, Dia Mahaperkasa, Mahabijaksana.” [Al-Anfâl/8:62-63]
Mereka sebelumnya berada di tepi jurang neraka disebabkan oleh kekufuran, lalu Allâh Azza wa Jalla menyelamatkan mereka dengan memberikan hidayah untuk beriman. Mereka diberi kelebihan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari pembagian harta rampasan perang Hunain, lalu salah seorang di antara mereka mencela Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam , karena Beliau melebihkan yang lain dalam pembagian sesuai dengan yang ditunjukkan Allâh kepada Beliau.
Mengetahui ini, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berseru kepada mereka, “Wahai kaum Anshar! Bukankah aku telah mendapati kalian dalam kesesatan, lalu Allâh memberikan petunjuk kepada kalian melalui diriku. Kalian sebelumnya terpecah belah, kemudian Allâh Azza wa Jalla menyatukan hati kalian melalui diriku. Dan kalian miskin, lalu Allâh Azza wa Jalla menjadikan kalian kaya juga melalui diriku.”
Setiap kali Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan sesuatu, mereka berucap, “Allâh dan Rasul-Nya lebih dermawan.” [HR. Al-Bukhari dan Imam Ahmad][2]
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ ۚ وَأُولَٰئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih setelah sampai kepada mereka keterangan yang jelas. Dan mereka itulah orang-orang yang mendapat adzab yang berat.” [Ali ‘Imrân/3:105]
وَلَا تَكُونُوا مِنَ الْمُشْرِكِينَ ﴿٣١﴾ مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا ۖ كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ
… Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allâh, yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Setiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka. [Ar-Rûm/30:31-32]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اَلْجَمَاعَةُ رَحْمَةٌ وَالْفُرْقَةُ عَذَابٌ
Berjama’ah (bersatu) adalah rahmat sedangkan berpecah-belah adalah adzab[3]
Ahlus Sunnah mengajak kepada persatuan yang dilandasi dengan al-Qur’an dan as-Sunnah menurut pemahaman Salafush Shalih, bukan persatuan semu dan sesat. Ahlus Sunnah tidak menyeru kepada perkara-perkara yang dapat memecah belah persatuan kaum Muslimin. Persatuan yang dikehendaki ialah persatuan menurut pemahaman ulama Salaf dan orang-orang yang mengikuti manhaj (pedoman) mereka. Bukan menurut pemahaman pengikut hawa nafsu dan hizbiyyah.[4]
Syaikh Shafiyurrahman al-Mubarakfury  rahimahullah mengatakan, “Al-Hizb secara bahasa adalah: ‘Golongan atau kumpulan manusia, berkumpulnya manusia karena ada sifat yang sama atau kemaslahatan yang menyeluruh. Mereka terikat oleh ikatan akidah dan iman atau ikatan kekufuran, kefasikan, kemaksiatan atau terikat karena (adanya perasaan) kebangsaan dan setanah air atau (ikatan) nasab atau keturunan, pekerjaan, bahasa, atau apa-apa yang serupa dengan itu berupa ikatan-ikatan, kriteria, kemaslahatannya yang secara adat manusia mereka berkumpul di atasnya dan bersatu karena sifat-sifat tersebut.
Bukanlah sesuatu yang tidak tersembunyi bagi seseorang yang berakal bahwa setiap hizb mempunyai prinsip-prinsip, pemikiran  intern dan teori-teori yang menjadi patokan sebagai undang-undang bagi kelompok (hizb). Meskipun sebagian mereka tidak menyebutnya sebagai undang-undang.
Undang-undang tersebut kedudukannya sebagai asas, menjadi dasar sistem pengorganisasian hizb, dan hizb sengaja dibangun berdasarkan undang-undang tersebut. Barangsiapa percaya dan meyakininya dengan sungguh-sungguh dengan istilah lain: dia mengakuinya, mengambilnya sebagai asas pergerakan dan amal jama’i yang tersusun rapi dalam hizb tersebut, maka ia menjadi anggotanya atau pendukung setianya. Yang tidak setuju atau menolak, maka ia tidak termasuk anggota hizb. Jadi, undang-undang itu menjadi asas wala’ (kesetiaan/loyalitas) dan bara’ (permusuhan) persatuan dan perpecahan, kepedulian dan ketidakpedulian.
Atas pertimbangan yang demikian maka sesungguhnya di dunia ini hanya ada dua hizb, yaitu hizb Allâh dan hizb syaitan, yang menang dan yang kalah, yang Muslim dan yang kafir. Orang yang memasukkan hizb-hizb (kelompok, pergerakan, jama’ah-jama’ah) ke dalam hizb Allâh, maka dia telah merobek-robek hizb Allâh, memecah belah kalimat Allâh Azza wa Jalla .
Seorang Muslim harus meninggalkan dan menanggalkan semua bentuk hizbiyyah yang sempit yang telah melemahkan hizb Allâh, dan tidak boleh toleran kepada semua kelompok atau golongan atau jama’ah supaya agama Islam ini seluruhnya milik Allâh.[5]
 AHLUS SUNNAH MENGAJAK KAUM MUSLIMIN KEPADA PERSATUAN DI ATAS SUNNAH.
Jika kaum Muslimin bersatu di atas Sunnah, mereka akan mendapatkan rahmat Allâh Azza wa Jalla , kebaikan dan kekuatan. Dan jika mereka berselisih, yang terjadi adalah kelemahan, kekalahan, dan kehancuran.
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ ۖ وَاصْبِرُوا ۚ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
Dan taatilah Allâh dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berselisih, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan kekuatanmu hilang dan bersabarlah. Sungguh, Allâh beserta orang-orang sabar.” [Al-Anfâl/8:46]
Namun wajib diketahui bahwa persatuan itu dibangun di atas ittiba’ (ketaatan) kepada as-Sunnah bukan di atas bid’ah. Kebanyakan firqah-firqah yang mencela adanya perpecahan dan mengajak kepada persatuan, yang mereka maksud dengan perpecahan adalah golongan yang menyelesihi mereka meskipun golongan itu berada di atas kebenaran. Sedangkan yang mereka maksud dengan persatuan adalah kembali kepada prinsip dan manhaj mereka. Padahal prinsip dan manhaj mereka telah menyimpang dari jalan ash-shirath al-mustaqiim (jalan yang lurus). Oleh karena itu apabila terjadi perselisihan hendaklah dikembalikan kepada Allâh (al-Qur-an) dan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam (Sunnahnya) dengan pemahaman Salafush Shalih.
Ahlus Sunnah menyerukan persatuan ummat Islam atas dasar Sunnah dan melarang berpecah-belah serta bergolong-golongan.
Ahlus Sunnah menyeru ummat Islam untuk berada dalam satu barisan di atas Sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menghadapi musuh-musuh mereka. Adapun partai-partai, kelompok-kelompok bawah tanah, jama’ah-jama’ah sempalan dan bai’at-bai’at yang dikenal sebagai bai’at dakwah, ini   merupakan penyebab timbulnya perpecahan dan fitnah (pertikaian). Bai’at hanya boleh diberikan kepada orang yang ditunjuk oleh ahlul halli wal ‘aqdi (semacam lembaga yudikatif) atau kepada seorang Muslim yang berkuasa dengan kekuatannya, meskipun ia seorang yang zhalim.
Ahlus Sunnah berpendapat tentang hadits:
مَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِيْ عُنُقِهِ بَيْعَةٌ، مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً
Barang siapa mati sementara ia belum berbai’at, maka kematiannya terhitung kematian secara Jahiliyyah.[6]
Sanksi yang tersebut dalam hadits di atas ditujukan kepada orang yang tidak membai’at penguasa yang telah ditunjuk dan disepakati oleh ahlul halli wal ‘aqdi.”[7] Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal ketika menjawab pertanyaan Ishaq bin Ibrahim bin Hani tentang hadits di atas. Beliau (Imam Ahmad) menjawab, “Yang dimaksud dengan Imam adalah yang kaum Muslimin seluruhnya berkumpul untuk membai’atnya, itu adalah Imam dan demikianlah makna hadits ini.” Tidak sebagaimana yang diklaim oleh setiap jama’ah atau kelompok.[8]
Al-Katsiri dalam kitabnya, Faidhul Bâri berkata, “Ketahuilah bahwa hadits tersebut menunjukkan bahwa yang dianggap bai’at yang sah adalah yang dibai’at oleh seluruh kaum Muslimin. Kalau seandainya ada dua orang atau tiga orang yang membai’at, maka hal itu tidak dikatakan Imam sampai dibai’at oleh kaum Muslimin atau ahlul halli wal ‘aqdi.”[9] Jadi ancaman tentang orang yang meninggalkan bai’at diancam dengan mati Jahiliyyah itu berlaku bagi orang yang tidak berbai’at kepada imam yang berkumpul padanya seluruh kaum Muslimin atau yang diwakilkan oleh ahlul halli wal ‘aqdi. Adapun yang dilakukan oleh kelompok-kelompok (jama’ah-jama’ah) adalah bai’at yang bid’ah yang harus ditinggalkan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Hudzaifah Radhiyallahu anhu, yaitu ketika tidak adanya jama’ah dan imam, maka ia harus meninggalkan semua jama’ah.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
…تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِيْنَ وَإِمَامَهُمْ، فَقُلْتُ: فَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُمْ جَمَاعَةٌ وَلاَ إِمَامٌ ؟ قَالَ، فَاعْتَزِلْ تِلْكَ الْفِرَقَ كُلَّهَا، وَلَوْ أَنْ تَعَضَّ عَلَى أَصْلِ شَجَرَةٍ حَتَّى يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ وَأَنْتَ عَلَى ذٰلِكَ.
… Hendaklah engkau berpegang teguh (bersatu) kepada jama‘ah dan imam kaum Muslimin.” Kemudian Hudzaifah Radhiyallahu anhu bertanya: “Bagaimana kalau mereka sudah tidak mempunyai jama’ah dan imam lagi?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Jauhilah semua kelompok tersebut, meskipun harus menggigit akar pohon, hingga engkau mati dalam keadaan seperti itu.”[10]

Oleh Al-Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas  حفظه الله
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XIX/1437H/2015M.]
_______
Footnote
[1]  HR. Muslim (no. 1715) dan Ahmad (II/ 367).
[2]  Tafsir Ibnu Katsiir (II/89-90), tahqiq Sami bin Muhammad as-Salamah, cet. Dar Thaybah.
[3]   HR. Ahmad (IV/278) dan Ibnu Abi ‘Ashim (no. 93), dari Sahabat an-Nu’man bin Basyir Radhiyallahu anhuma. Lihat Silsilatul Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 667).
[4]  Lafazh hizb ada beberapa makna ditinjau dari aspek bahasa, al-Fairuz Abadi dalam Bashâiru Dzawit Tamyîzi (II/457) mengatakan: “Al-hizb adalah kelompok (golongan). Al-Ahzâb adalah kumpulan orang-orang yang bersekutu memerangi para Nabi. Sedangkan dalam al-Qur-an terdapat beberapa sudut pandang:
Bermakna beberapa golongan yang berada dalam perbedaan pandangan, syari’at, dan agama. Setiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada mereka. (Ar-Rûm/30: 32)
Bermakna tentara syaithan. (Al-Mujâdilah/58: 19)
Bermakna tentara Allâh. (Al-Mujâdilah/58: 22), adapun tentara Allâh, maka mereka di dunia adalah sebagai pemenang. (Al-Mâ-idah/5: 56) Akibat (balasan) bagi mereka adalah sebagai pemenang yang beruntung. (Al-Mujâdilah/58: 22)
[5]   Lihat ad-Da’wah ilallâh bainat Tajammu’ al-Hizbi wat Ta’âwun asy-Syar’i, hlm. 53-55 oleh Syaikh ‘Ali Hasan al-Halabi al-Atsari.
[6]  HR. Muslim (no. 1851) dan al-Baihaqi (VIII/156) dari Sahabat Ibnu ‘Umar c.
[7]  Lihat Silsilatul Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 984).
[8]   As-Sirâjul Wahhâj fii Bayânil Minhâj (no. 181), oleh Abul Hasan Mushthafa bin Isma’il as-Sulaimani al-Mishri, cet. I/Maktabah al-Furqan, th. 1420 H.
[9]   Faidhul Bâri (IV/59), dikutip dari Nashîhah Dzahabiyyah ilal Jamâ’aatil Islâmiyyah (hlm. 10) oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, ta’liq dan takhrij Syaikh Masyhur Hasan Salman, cet. I/Daar ar-Raayah, th. 1410 H.
[10]  HR. Al-Bukhari (no. 7084) dalam Kitaabul Fitan bab Kaifal Amr idzaa Lam Takun Jamaa’ah (bab: Bagaimana Urusan Kaum Muslimin Apabila Tidak Ada Jama’ah), Muslim (no. 1847) dalam Kitaabul Imaarah bab Wujuub Mulaazamah Jamaa’atil Muslimiin ‘inda Zhuhuuril Fitan wa fi Kulli Haal wa Tahriimil Khuruuj ‘alath Thaa’ati wa Mufaaraqatil Jamaa’ah (bab: Keharusan Mengikuti Jama’ah Kaum Muslimin Ketika Terjadi Fitnah dalam Segala Kondisi, dan Diharamkannya Membangkang (Tidak Taat kepada Ulil Amri) dan Meninggalkan Jama’ah).

AHLU SUNNAH WAL JAMA’AH MENGIMANI SELURUH NASH AL-QUR’AN DAN SUNNAH

Abu Fathan | 18:51 | 0 comments
Kaum Mukminin mengimani bahwa Allâh Azza wa Jalla adalah Rabb dan Pemilik mereka, dan sesungguhnya Dia Maha Bijaksana, Maha Mengetahui, Maha Kuasa, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Allâh Azza wa Jalla mengutus Rasul-Nya untuk menunjukkan jalan hidayah kepada mereka. Dan menurunkan bersamanya kitab suci dan timbangan.
Maka, apa yang dikabarkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka Allâh Azza wa Jalla sebenarnya telah mengetahuinya. Dan Allâh Azza wa Jalla mengabarkan segala sesuatu sesuai dengan sifat ilmu-Nya yang luas, sehingga tidak mungkin Dia k mengabarkan sesuatu yang berlawanan dengan sifat ilmu-Nya. Dan segala yang diperintahkan Rasul-Nya, maka itu termasuk bagian dari hukum Allâh dan Allâh lah yang memerintahkan Beliau untuk menyampaikannya. Dia Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
لَٰكِنِ اللَّهُ يَشْهَدُ بِمَا أَنْزَلَ إِلَيْكَ ۖ أَنْزَلَهُ بِعِلْمِهِ ۖ وَالْمَلَائِكَةُ يَشْهَدُونَ ۚ وَكَفَىٰ بِاللَّهِ شَهِيدًا
(Mereka tidak mau mengakui yang diturunkan kepadamu itu), akan tetapi, Allâh mengakui al-Qur`an yang diturunkan-Nya kepadamu. Allâh menurunkannya dengan Ilmu-Nya; dan malaikat-malaikat  pun menjadi saksi (pula). Cukuplah Allâh yang mengakuinya. [An-Nisâ/4:166]
Untuk itu, seluruh perkara yang dikabarkan oleh Rasûlullâh Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Rabbnya Azza wa Jalla wajib diimani, baik kita mengetahui maknanya ataupun tidak memahaminya sama sekali. Sebab, Beliau adalah shâdiqul mashdûq. Semua yang berasal dari al-Qur`ân dan Sunnah wajib diimani oleh setiap Mukmin, walaupun ia belum mampu memahami maknanya.
Demikian ini mendatangkan konsekuensi untuk meyakini bahwa semua yang disampaikan oleh Rasûlullâh adalah haq dari sisi Allâh Azza wa Jalla , sejalan dengan Ilmu dan Kehendak-Nya.
Maka, sudah menjadi kewajiban siapapun dari umat ini untuk menyikapi setiap berita yang dikabarkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mengimaninya dengan kuat dan penyerahan diri secara total. Dan merespon perintah dan larangan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan ketaatan dan ketundukan.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. [An-Nisâ/4:65]
Ini adalah satu bentuk qasam (sumpah) dari Allâh Azza wa Jalla dengan Dzat-Nya yang Maha Mulia yang sudah menunjukkan betapa urgens dan pentingnya perkara yang disumpahi, dengan diawali huruf lâ sebelum kata sumpah yang menunjukkan kata nafi, kemudian pengulangannya setelah qasam sebagai tambahan penegasan atas penafiaan iman. Jadi, Allâh Azza wa Jalla menafikan keimanan dari setiap orang dan mengaitkan keberadaan iman dan wujudnya dengan kemauan untuk tahâkum kepada Rasul n dalam seluruh perkara yang berbentuk akhbâriyyah (berita-berita) maupun insyâ`iyyah (perintah dan larangan).
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ 
Apakah kamu beriman kepada sebagian al-Kitab dan ingkar terhadap sebagian yang lain?. [Al-Baqarah/2:85]
Ayat di atas  meskipun pembicaraannya terarah kepada kaum Yahudi, hanya saja kaum Muslimin juga diperintah untuk menyelisihi gaya mereka dan menjauhi cara-cara mereka. Dan pelajaran itu dipetik melalui keumuman yang ada dalam teksnya.
Sedangkan, dalil dari hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengharuskan umat untuk menerima nash-nash syar’i dengan bulat, di antaranya hadits dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, sesungguhnya ia berkata, “Aku dan saudaraku pernah duduk dalam satu kesempatan yang lebih aku sukai daripada memiliki unta merah. Aku dan saudaraku datang, dan ternyata orang-orang senior dari kalangan Sahabat Rasûlullâh telah duduk-duduk di dekat salah satu pintu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Kami tidak ingin mengganggu mereka. Maka kami duduk di salah satu sisi. Tiba-tiba mereka menyebutkan satu ayat dari al-Qur`ân, lalu saling bersilang-pendapat tentangnya, sehingga suara mereka pun meninggi. Kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dalam keadaan marah, wajahnya memerah, melemparkan debu ke arah mereka, sambil mengatakan:
مَهْلًا يَا قَوْمُ! بِهَذَا أُهْلِكَتِ الْأُمَمُ مِنْ قَبْلِكُمْ بِاخْتِلَافِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ وَضَرْبِهِمُ الْكُتُبَ بَعْضُهَا بِبَعْضٍ. إِنَّ الْقُرْآنَ لَمْ يَنْزِلْ يُكَذِّبُ بَعْضُهُ بَعْضًا, بَلْ يُصَدِّقُ بَعْضُهُ بَعْضًا. فَمَا عَرَفْتُمْ مِنْهُ فَاعْمَلُوْا بِهِ, وَمَا جَهِلْتُمْ مِنْهُ فَرُدُّوْهُ إِلَى عَالِمِهِ
Berhati-hatilah kalian, wahai manusia!. Dengan perbuatan seperti ini, umat-umat terdahulu sebelum kalian binasa, karena mereka silang-pendapat terhadap para nabi mereka dan menghantamkan kitab-kitab suci sebagian dengan sebagian yang lain. Sesungguhnya al-Qur`ân ini tidak diturunkan, sebagiannya mendustakan sebagian lainnya. Bahkan sebagiannya membenarkan sebagian yang lainnya. Maka, apa yang kalian ketahui, amalkannya. Dan apa yang tidak kalian ketahui, kembalikanlah kepada yang mengetahuinya.[1]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t mengatakan, “Hadits ini dan hadits lain yang serupa termasuk yang berisi larangan untuk menyanggah kebenaran dengan kebenaran. Sebab, konsekuensinya adalah mendustakan salah satu kebenaran, atau ketidakjelasan maupun keragu-raguan (pada salah satunya). Padahal yang wajib adalah membenarkan kebenaran. Dan itulah sikap yang benar”.[2]
Generasi Salaful ummah juga memiliki sikap demikian, mengimani segala yang berasal dari syariat, baik yang terdapat dalam al-Qur`ân maupun Hadits. Lihatlah sikap betapa besarnya keimanan Abu Bakar ash-Shiddîq Radhiyallahu anhu terhadap berita dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Tentang Isrâ Mi’râj yang didustakan oleh kaum musyrikin, ketika mereka menanyakan sikapnya tentang peristiwa tersebut, Abu Bakar ash-Shiddîq mengatakan, “Aku bersaksi apabila dia (Muhammad) mengatakannya, sungguh ia telah jujur”. Abu Salamah Radhiyallahu anhu mengatakan, “Melalui momen ini, beliau Radhiyallahu anhu dijuluki Abu Bakar ash-Shiddîq”.[3]
Inilah respon seorang Mukmin sejati, membenarkan apapun bila itu memang bersumber dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Imam Ibnu Abil ‘Izzi rahimahullah mengatakan, “Sudah menjadi kewajiban (atas setiap Muslim) untuk menunjukkan sikap penyerahan diri secara sempurna kepada Rasul , ketundukan terhadap perintahnya dan menerima berita darinya dengan bulat dan membenarkannya; tanpa menyanggahnya dengan pikiran yang batil yang disebut logika atau menganggapnya memuat unsur syubhat atau keragu-raguan, atau lebih mengutamakan pendapat-pendapat orang dan kotoran-kotoran pemikiran mereka di atasnya. Kita jadikan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai satu-satunya orang berhak yang menentukan hukum, dan kita berikan sikap taslîm, kepatuhan dan ketundukan (kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam) , sebagaimana kita esakan Dzat yang mengutus Beliau (Allâh Azza wa Jalla ) dengan ibadah, ketundukan, kehinaan, inabah dan tawakkal. Dua bentuk tauhid yang tidak ada keselamatan bagi seorang hamba dari siksa Allâh Azza wa Jalla , kecuali dengan keduanya, mengesakan Dzat yang mengutus rasul dan mengesakan mutâba’ah kepada sang rasul-Nya..[4]
Beberapa manfaat dari komitmen dengan pedoman ini:
[1] Bentuk realisasi keimanan kepada Allâh dan risalah Rasul-Nya.
[2] Menjauhi sikap-sikap umat-umat manusia yang sesat, yang menolak apa yang diberitakan oleh rasul-rasul mereka dan bahkan melawannya dengan ungkapan-ungkapan yang batil, seperti yang dilakukan bangsa Yahudi kepada Musa g yang diberitakan dalam Kalam Ilahi berikut: .
لَنْ نُؤْمِنَ لَكَ حَتَّىٰ نَرَى اللَّهَ جَهْرَةً
Hai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allâh dengan terang  [Al-Baqarah/2:55].
Berdasarkan ayat ini, siapa saja yang mengaitkan kemauannya untuk mengimani nash-nash pada sesuatu di luar nash-nash tersebut, maka pada dirinya ada keserupaan dengan sikap orang-orang Yahudi.
[3] Kebatilan klaim yang menyebutkan akal sanggup mengetahui kemaslahatan-kemaslahatan yang terkait dengan agama, atau merupakan syarat untuk mendapatkannya, dengan tidak mau mengimani nash sampai kandungannya cocok dengan akalnya. Ini tidak benar.
[4] Orang yang hanya mau beriman kepada nash-nash bila akal mendukungnya, sehingga tidak ada bedanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup dan menyampaikan berita-berita kepadanya ataupun tidak adanya Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka pengaruh ayat-ayat al-Qur`ân, Hadits dan Ijma’ yang disampaikan  akan nihil pada dirinya. Na’ûdzubillâh min dzâlik.
[5] Menutup pintu takwil bid’ah yang sebenarnya adalah bentuk tahrîf, perubahan kata dan makna dari maksudnya yang benar. Dan orang tidaklah berani melakukan tahrîf pada nash-nash kecuali setelah terbetik pada benaknya bahwa nash-nash tersebut menunjukkan makna-makna yang batil. Dan ini juga yang dilakukan oleh bangsa Yahudi.
[5] Komitmen dengan pedoman ini akan menyelamatkan umat dari pandangan-pandangan ahli bid’ah, yang biasa menolak nash-nash ketika tidak sejalan dengan pandangan dan keyakinan mereka, dan akhirnya membantah nash-nash yang benar dengan berbagai syubhat dan pemikiran yang batil. Sementara, orang Mukmin yang sejati, meyakini bahwa seluruh nash itu muncul dari sumber yang satu, sebagian membenarkan sebagian yang lain.
[6] Menepis adanya kontradiksi antar nash. Sebab, keyakinan adanya kontradiksi antar nash berkonsekuensi menafikan ilmu Allâh Azza wa Jalla dan sifat hikmah-Nya. Padahal Allâh Azza wa Jalla berfirman:
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ ۚ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا
 Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur`ân?. Kalau kiranya al-Qur`ân itu bukan dari sisi Allâh, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. [An-Nisâ/4:82].
[7] Menepis pertentangan antara wahyu dan akal, sebagaimana dilakukan oleh ahli bid’ah yang mengingkari nash-nash tentang alam barzakh, shirâth, mîzân dan Allâh Azza wa Jalla dapat dilihat di akhirat kelak dan hadits tentang lalat, yang menurut mereka tidak dapat dicerna oleh akal. Mereka menjadikan akal untuk menilai memutuskan benar tidaknya petunjuk syariat. Sementara ahlul haqqi wal îmân mendudukkan syariat sebagai pemutus segala urusan dan kebenarannya mutlak.

Diringkas dari Manhaju al-Istidlâli ‘alâ Masâilil I’tiqâdi ‘indâ Ahlis Sunnati wal Jamâ’ati, ‘Utsmân bin ‘Ali Hasan, Maktabar ar-Rusyd, Riyadh,  Cet. II, Th.1413H, hlm.221-241.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XIX/1437H/2015M.]
_______
Footnote
[1]  HR. Ahmad dalam Musnadnya no.6702. Syaikh Ahmad Syâkir t mengatakan, “Isnâdnya shahîh”.
[2]  Dar`u Ta’ârudhi al-‘Aqli wan Naqli VIII/404.
[3] Dalâilu an-Nubuwwah lil Baihaqi II/111,112.
[4] Syarh ‘Aqîdah ath-Thahâwiyah hlm.160

Pengaruh Ilmu

Abu Fathan | 22:59 | 0 comments
Ilmu adalah cahaya yang menerangi jalan dan pelita bagi orang yang sedang berjalan. Ia merupakan poros kemajuan dan perkembangan juga merupakan jalan kebangkitan bagi dunia Islam untuk membangun peradaban yang indah, perekonomian yang kuat dan pribadi yang seimbang.
Keutamaan ilmu dan urgensinya telah dijelaskan dalam kitab-kitab para Ulama dan saat ini kita tidak membicarakan itu. Kali ini, kita akan fokus pembicaraan tentang hakekat nilai ilmu, dampak dan buahnya.
Majunya suatu umat bukan diukur dengan banyaknya wawasan yang telah terisikan dalam kepala, tidak juga dengan banyaknya hafalan yang diucapkan oleh mulut, akan tetapi diukur dengan efek dari ilmu tersebut dalam prilakunya dan hatinya. Jika jujur melihat kondisi kaum Muslimin saat ini, kita dapati mereka sangat membutuhkan pengembangan efek ilmu itu dalam  segala bidang dan lini kehidupan.
Diantara yang melemahkan efek ilmu bahkan menghilangkan sebagian nilainya adalah adanya sebagian orang yang menjadikan ilmu sebagai perhiasan yang berbangga diri dengannya. Mereka ini menjadikan ilmu sebagai tangga untuk meraih popularitas, menumpuk harta, atau mendulang pujian manusia. Na’udzubillah
Dari Jabir Radhiyallahu anhu, ia berkata, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لَا تَعَلَّمُوا الْعِلْمَ، لِتُبَاهُوا بِهِ الْعُلَمَاءَ، وَلَا لِتُمَارُوا بِهِ السُّفَهَاءَ، وَلَا تَخَيَّرُوا بِهِ الْمَجَالِسَ، فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ، فَالنَّارَ النَّارَ
Janganlah kalian menuntut ilmu demi membanggakannya dihadapan Ulama, jangan juga untuk mendebat orang-orang bodoh, dan jangan juga agar unggul di forum-forum. Barangsiapa yang melakukan demikian maka neraka-neraka” [HR. Ibnu Majah dan Ibnu Hibban. Hadits ini dinilai shahih Al-Hakim dalam kitab al-Mustadrak]
Al-Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Dahulu tidaklah seseorang belajar ilmu, kecuali tidak lama kemudian terlihat efek ilmu dalam kakhusyu’annya, dalam pandangannya, lisannya, tangannya, shalatnya, pembicaraannya dan zuhudnya”
Efek ilmu dalam jiwa itu bertingkat-tingkat dan berbeda-beda sesuai dengan perbedaan jiwa masing-masing. Dari Abu Musa al-Asy’ari Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَثَلُ مَا بَعَثَنِى اللَّهُ بِهِ مِنَ الْهُدَى وَالْعِلْمِ كَمَثَلِ الْغَيْثِ الْكَثِيْرِ أَصَابَ أَرْضًا ، فَكَانَ مِنْهَا نَقِيَّةٌ قَبِلَتِ الْمَاءَ ، فَأَنْبَتَتِ الْكَلأَ وَالْعُشْبَ الْكَثِيرَ ، وَكَانَتْ مِنْهَا أَجَادِبُ أَمْسَكَتِ الْمَاءَ فَنَفَعَ اللهُ بِهَا النَّاسَ فَشَرِبُوْا وَسَقَوْا وَزَرَعُوا ، وَكَانَ مِنْهَا طَائِفَةٌ إِنَّمَا هِىَ قِيعَانٌ لاَ تُمْسِكُ مَاءً ، وَلاَ تُنْبِتُ كَلأً ، فَذَلِكَ مَثَلُ مَنْ فَقِهَ فِى دِينِ اللَّهِ وَنَفَعَهُ مَا بَعَثَنِى اللَّهُ بِهِ فَعَلِمَ وَعَلَّمَ، وَمَثَلُ مَنْ لَمْ يَرْفَعْ بِذَلِكَ رَأْسًا ، وَلَمْ يَقْبَلْ هُدَى اللَّهِ الذي أُرسلتُ به
Permisalan petunjuk dan ilmu yang Allâh utus aku untuk membawanya adalah seperti hujan deras yang mengguyur tanah. Maka ada tanah yang baik, yang bisa menyerap air sehingga menumbuhkan tumbuh-tumbuhan dan rerumputan yang lebat. Di antaranya juga ada tanah yang ajadib, tanah yang bisa menampung air (namun tidak bisa menyerap ke dalamnya), maka Allâh menjadikannya bermanfaat bagi manusia, mereka dapat mengambil air minum dari tanah ini, lalu memberi minum untuk hewan ternaknya, dan manusia dapat mengairi tanah pertaniannya. Jenis tanah ketiga adalah  tanah qi’an yaitu tanah yang tidak bisa menampung dan tidak bisa menumbuhkan tetumbuhan. Inilah permisalan orang yang memahami agama Allâh, sehingga bermanfaat baginya ajaran yang Allâh utus aku untuk membawanya, maka iapun mengilmuinya dan mengajarkan ilmu. Dan perumpamaan orang yang tidak memperdulikan ilmu, dia tidak mau menerima petunjuk yang Allâh mengutusku dengannya.” [HR. Al-Bukhâri].
Iman merupakan pengendali dan pengarah jalan bagi ilmu agar efek baik terwujud. Jika ilmu tidak disertai dengan iman, maka kebaikan ilmu akan berubah menjadi keburukan, manfaatnya menjadi kemudorotan, dan efek buruknya akan terlihat pada individu dan umat.
Mereka yang memiliki ilmu, namun berlaku sombong dan mengingkari karunia Allâh Azza wa Jalla , mengingkari Rabb yang telah menciptakan mereka, sampai akhirnya terjerumus dalam kekufuran dan atheisme, penyebabnya adalah ilmu dan hati mereka tidak tersucikan dengan keimanan. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
فَلَمَّا جَاءَتْهُمْ رُسُلُهُمْ بِالْبَيِّنَاتِ فَرِحُوا بِمَا عِنْدَهُمْ مِنَ الْعِلْمِ وَحَاقَ بِهِمْ مَا كَانُوا بِهِ يَسْتَهْزِئُونَ
Maka tatkala datang kepada mereka rasul-rasul (yang diutus kepada) mereka dengan membawa keterangan-keterangan, mereka merasa senang dengan pengetahuan yang ada pada mereka dan mereka dikepung oleh adzab Allâh yang selalu mereka perolok-olokkan itu [Ghâfir/40:83]
Ilmu akan memberikan buahnya dalam budaya, pemikiran dan adab tatkala terikat dengan al-Kitab dan as-Sunnah. Tidak mungkin bagi umat ini bisa membuktikan eksistensinya sehingga bisa mengendalikan kepemimpinan dan berada pada posisi terdepan tanpa al-Qur’an dan As-Sunnah.
Al-Qur’an memiliki pengaruh yang tidak akan berakhir. Al-Qur’an mengangkat derajat individu dan masyarakat di dunia dan akhirat. Siapapun yang mendekatinya ia akan naik derajatnya dan meningkat, sebaliknya siapapun yang meninggalkannya pasti ia akan celaka dan terpuruk. Al-Qur’an membentuk kepribadian yang sempurna, mengharumkan nama suatu umat dan membimbingnya agar memiliki peradaban tinggi dan menjadi yang terdepan.
Umat yang mengerti akan arti dan urgensi al-Qur’an, mereka pasti akan memberikan porsi perhatian yang besar kepada al-Qur’an. Mereka akan membacanya,  memahaminya, mentadabburinya lalu mengamalkannya.
Ilmu juga berpengaruh pada akhlak yang merupakan barometer suatu umat. Ilmu sendiri tanpa tarbiyah tidak akan membuahkan generasi yang sukses. Jika ilmu telah bisa membenahi akhlak, meluruskan etika dan membersihkan hati, maka itulah ilmu yang diharapkan.
Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berkata, “Jika siang hariku sama dengan siang hari orang pandir, dan malamku seperti malam orang jahil, lalu apa yang telah aku lakukan terhadap ilmu yang telah aku catat?”
Apalah artinya ilmu, jika hasad dan dendam tetap bercokol di hati? Forum-forumnya penuh dengan ghibah, namimah dan berbagai keburukan lainnya?
Apalah artinya ilmu, jika pemiliknya ternyata menentang Robnya dengan melanggar syari’at-Nya, mengkhianati agama, negeri dan masyarakatnya?! Serta berdusta dalam perbuatan dan interaksinya dengan orang lain?!
Sungguh ia telah merobek tirai kemuliaan ilmu dan memadamkan cahayanya dengan tingkah dan akhlak buruknya.
Alangkah besar dosanya, jika dengan sebab itu masyarakat menjauhi dan membenci syari’at Allâh n yang dibawa oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Dampak baik dari ilmu juga tampak pada perkembangan akal, pemikiran yang lurus, logika yang mapan dan argumen yang kuat.
Demi mewujudkan itu semua, al-Qur’an al-Karim mendidik kaum Muslimin yang membacanya agar merenungkan ayat-ayat Allâh, dan mentadaburi keajaiban-keajaiban kekuasaan Allâh yang tersebar di penjuru alam semesta dan kehidupan. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنْفُسِهِمْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ
Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa al-Quran itu adalah benar.  [Fusshilat/41:53]
Lalu Allâh Azza wa Jalla menutup banyak ayat-Nya dengan firman-Nya, yang artinya, “Apakah kalian tidak berakal?”… “Apakah kalian tidak berfikir?”… “Apakah kalian tidak mengambil pelajaran?”
Ini semua untuk mengaktifkan dan mengembangkan akal serta melatihnya menempuh metode-metode berfikir yang tersetruktur.
Manfaat ilmu itu seharusnya juga tampak dalam kemampuan seserorang menjaga diri dari syubhat-syubhat dan pemikiran-pemikiran menyimpang dan batil. Ini tidak mungkin diperoleh kecuali dengan belajar ilmu syar’i dan mengikat para pemuda dengan aturan-aturan syari’at, terutama pengaruh kelompok-kelompok sesat yang menyusup ke tengah kaum Muslimin. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَإِنَّ كَثِيرًا لَيُضِلُّونَ بِأَهْوَائِهِمْ بِغَيْرِ عِلْمٍ ۗ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِالْمُعْتَدِينَ
Dan sesungguhnya kebanyakan (dari manusia) benar benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang melampaui batas [Al-An’âm/6:119]
Dan masih banyak lagi pengaruh baik lainnya yang merupakan buah dari ilmu.
Akhirnya kita berdoa kepada Allâh Azza wa Jalla agar terus berkenan menganugerahkan taufiq-Nya kepada kita dengan memberikan ilmu yang bermanfaat kepada kita.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XIX/1437H/2015M. ]
_______
Footnote
[1] Diadaptasi dari khutbah Jum’ah yang disampaikan oleh Syaikh DR. Abdul Bâri ats-Tsubaiti di Masjid Nabawi pada tanggal 13 Dzulqa’dah 1436 H dengan judul Atsarul ilmi fi Nufûs


KEZHALIMAN SEBAB KEBANGKRUTAN DI HARI KIAMAT

Abu Fathan | 21:47 | 0 comments
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberitakan bahwa kezhaliman merupakan kegelapan pada hari kiamat. Oleh karena itu, sepantasnya sebagai hamba yang taat dan takut terhadap Rabbnya untuk selalu berusaha menjauhi kezhaliman.

MAKNA ZHULM (KEZHALIMAN)

Kezhaliman yang dalam bahasa Arab zhulm (ظُلْمٌ) atau mazhlimah (مَظْلِمَةٌ), memiliki beberapa makna yaitu
Menyimpang dan melewati batas;
Meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya;
Merampas atau mengurangi hak orang lain.[1]

MACAM-MACAM KEZHALIMAN

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa kezhaliman ada tiga macam. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الظُلْمُ ثَلَاثَةٌ : فَظُلْمٌ لَا يَغْفِرُهُ اللَّهُ , وَظُلْمٌ يَغْفِرُهُ اللَّهُ , وَظُلْمٌ لاَ يَتْرُكُهُ اللَّهُ. فَأَمَّا الظُّلْمُ الَّذِي لاَ يَغْفِرُهُ اللَّهُ فَالشِّرْكُ, وَقَالَ: إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ . وَأَمَّا الظُّلْمُ الَّذِي يَغْفِرُهُ اللَّهُ فَظُلْمُ الْعِبَادِ لِأَنْفُسِهِمْ فِيمَا بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ رَبِّهِمْ. وَأَمَّا الظُّلْمُ الَّذِي لاَ يَتْرُكُهُ اللَّهُ فَظُلْمُ الْعِبَادِ بَعْضِهِمْ بَعْضًا حَتَّى يُدَبِّرَ لِبَعْضِهِمْ مِنْ بَعْضٍ

Kezhaliman itu ada tiga: kezhaliman yang tidak akan diampuni oleh Allâh; kezhaliman yang akan diampuni oleh Allâh; dan kezhaliman yang tidak akan dibiarkan oleh Allâh.
Adapun kezhaliman yang tidak akan diampuni oleh Allâh adalah syirik, lalu Beliau membaca (ayat yang artinya), “Sesungguhnya mempersekutukan (Allâh) adalah benar-benar kezaliman yang besar”. (Luqmân/31:13)
Adapun kezhaliman yang akan diampuni oleh Allâh (jika Dia menghendaki-pen) adalah kezhaliman hamba terhadap dirinya sendiri terkait (hak-hak) antara mereka dengan Allâh (seperti shalat atau puasa yang tidak dilakukan dengan baik-pen).
Adapun kezhaliman yang tidak akan dibiarkan oleh Allâh adalah kezhaliman sebagian hamba kepada sebagian yang lain, sampai Allâh akan mengurus untuk sebagian mereka dari sebagian yang lain.”

[HR. Ath-Thayâlisi dan al-Bazzar dari Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu . Hadits ini dinilai hasan oleh al-Albani dalam Shahîh al-Jâmi’, no. 3961 dan Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah, no. 1927]

Semua jenis kezhaliman yang diberitakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini wajib kita tinggalkan agar kita terhindar dari berbagai kegelapan pada hari kiamat. Semoga Allâh Azza wa Jalla melindungi kita dari berbagai kezhaliman tersebut.

MENZHALIMI ORANG LAIN

Inilah kezhaliman yang akan diadili oleh Allâh Azza wa Jalla , tidak akan dibiarkan. Kezhaliman sebagian hamba kepada sebagian yang lain, baik berkaitan dengan darah, harta, kehormatan dan lainnya.

Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla telah mengharamkan kezhaliman terhadap sesama hamba. Allâh Azza wa Jalla berfirman di dalam hadits qudsi:

يَا عِبَادِي إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا فَلَا تَظَالَمُوا

Wahai hamba-hambaKu, sesungguhnya Aku telah mengharamkan kezhaliman terhadap diri-Ku dan Aku menjadikannya (perkara) yang diharamkan di antara kamu, maka janganlah kamu saling menzhalimi”. [HR. Muslim, no. 2577; At-Tirmidzi, no. 2495; Ibnu Mâjah, no. 4257, dll]

BERSEGERA MENYELESAIKAN KEZHALIMAN

Oleh karena itu, seorang hamba yang telah terlanjur melakukan kezhaliman kepada orang lain hendaknya menyelesaikan urusannya secepat mungkin, dengan meminta maaf, meminta halal, atau mengembalikan hak-haknya dan menyelesaikan urusannya. Jika tidak, maka hal itu tetap akan diadili pada hari kiamat.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ z قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ n مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لِأَخِيهِ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَيْءٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ قَبْلَ أَنْ لاَ يَكُونَ دِينَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , dia berkata, “Rasûlullah bersabda, “Barangsiapa berbuat zhalim kepada saudaranya, yang berkaitan dengan kehormatan atau sesuatu apapun, hendaklah dia meminta halal darinya pada hari ini, sebelum (datang hari kiamat) yang tidak ada dinar dan dirham. Jika dia memiliki amal shalih diambil darinya seukuran kezhalimannya. Jika dia tidak memiliki keabaikan-kebaikan, diambil kesalahan-kesalahan orang yang dizhalimi lalu ditimpakan padanya.” [HR. Al-Bukhâri, no. 2449, 6534; Ahmad 2/435, 506; Ibnu Hibban no. 7361]

UMAT NABI YANG BANGKRUT

Janganlah seseorang menjadi bangkrut gara-gara kezhalimannya kepada orang lain,misalnya kezhalimannya kepada orang lain lebih banyak dari kebaikan yang dia bawa! Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan umatnya dalam sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ n قَالَ أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِسُ قَالُوا الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لَا دِرْهَمَ لَهُ وَلَا مَتَاعَ فَقَالَ إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلَاةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tahukah kamu siapakah orang bangkrut itu?” Para Sahabat Radhiyallahu anhum menjawab, “Orang bangkrut menurut kami adalah orang yang tidak punya uang dan barang.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya orang bangkrut di kalangan umatku, (yaitu) orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa (pahala amalan) shalat, puasa dan zakat. Tetapi dia juga mencaci maki si ini, menuduh si itu, memakan harta orang ini, menumpahkan darah orang ini, dan memukul orang ini. Maka orang ini diberi sebagian kebaikan-kebaikannya, dan orang ini diberi sebagian kebaikan-kebaikannya. Jika kebaikan-kebaikannya telah habis sebelum diselesaikan kewajibannya, kesalahan-kesalahan mereka diambil lalu ditimpakan padanya, kemudian dia dilemparkan di dalam neraka.” [HR. Muslim, no. 2581]

Setelah kita mengetahui penjelasan tentang kezhaliman ini, marilah kita tinggalkan segala macam kezhaliman, untuk kebaikan kita sendiri. Jika tidak, maka sesungguhnya di akhirat nanti, para pelaku kezhaliman akan menghadapi berbagai perkara yang akan menyusahkannya, dan tidak ada siapapun yang akan menolongnya, kecuali iman dan amal shalihnya. Barangsiapa mendapatkan akibat buruk, janganlah dia menyalahkan kecuali dirinya sendiri. Dan barangsiapa mendapatkan kebaikan, hendaklah dia memuji Allâh Yang Maha Terpuji.

Oleh Ustadz Abu Isma’il Muslim al-Atsari
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XIX/1437H/2016M.]
_______
Footnote
[1] Lihat Mu’jamul Wasîth, Bab Zhalama
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. BERITA SUNNAH - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger