Kaum Mukminin mengimani bahwa Allâh Azza wa Jalla adalah Rabb dan Pemilik mereka, dan sesungguhnya Dia Maha Bijaksana, Maha Mengetahui, Maha Kuasa, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Allâh Azza wa Jalla mengutus Rasul-Nya untuk menunjukkan jalan hidayah kepada mereka. Dan menurunkan bersamanya kitab suci dan timbangan.
Maka, apa yang dikabarkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka Allâh Azza wa Jalla sebenarnya telah mengetahuinya. Dan Allâh Azza wa Jalla mengabarkan segala sesuatu sesuai dengan sifat ilmu-Nya yang luas, sehingga tidak mungkin Dia k mengabarkan sesuatu yang berlawanan dengan sifat ilmu-Nya. Dan segala yang diperintahkan Rasul-Nya, maka itu termasuk bagian dari hukum Allâh dan Allâh lah yang memerintahkan Beliau untuk menyampaikannya. Dia Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
لَٰكِنِ اللَّهُ يَشْهَدُ بِمَا أَنْزَلَ إِلَيْكَ ۖ أَنْزَلَهُ بِعِلْمِهِ ۖ وَالْمَلَائِكَةُ يَشْهَدُونَ ۚ وَكَفَىٰ بِاللَّهِ شَهِيدًا
(Mereka tidak mau mengakui yang diturunkan kepadamu itu), akan tetapi, Allâh mengakui al-Qur`an yang diturunkan-Nya kepadamu. Allâh menurunkannya dengan Ilmu-Nya; dan malaikat-malaikat pun menjadi saksi (pula). Cukuplah Allâh yang mengakuinya. [An-Nisâ/4:166]
Untuk itu, seluruh perkara yang dikabarkan oleh Rasûlullâh Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Rabbnya Azza wa Jalla wajib diimani, baik kita mengetahui maknanya ataupun tidak memahaminya sama sekali. Sebab, Beliau adalah shâdiqul mashdûq. Semua yang berasal dari al-Qur`ân dan Sunnah wajib diimani oleh setiap Mukmin, walaupun ia belum mampu memahami maknanya.
Demikian ini mendatangkan konsekuensi untuk meyakini bahwa semua yang disampaikan oleh Rasûlullâh adalah haq dari sisi Allâh Azza wa Jalla , sejalan dengan Ilmu dan Kehendak-Nya.
Maka, sudah menjadi kewajiban siapapun dari umat ini untuk menyikapi setiap berita yang dikabarkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mengimaninya dengan kuat dan penyerahan diri secara total. Dan merespon perintah dan larangan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan ketaatan dan ketundukan.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. [An-Nisâ/4:65]
Ini adalah satu bentuk qasam (sumpah) dari Allâh Azza wa Jalla dengan Dzat-Nya yang Maha Mulia yang sudah menunjukkan betapa urgens dan pentingnya perkara yang disumpahi, dengan diawali huruf lâ sebelum kata sumpah yang menunjukkan kata nafi, kemudian pengulangannya setelah qasam sebagai tambahan penegasan atas penafiaan iman. Jadi, Allâh Azza wa Jalla menafikan keimanan dari setiap orang dan mengaitkan keberadaan iman dan wujudnya dengan kemauan untuk tahâkum kepada Rasul n dalam seluruh perkara yang berbentuk akhbâriyyah (berita-berita) maupun insyâ`iyyah (perintah dan larangan).
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ
Apakah kamu beriman kepada sebagian al-Kitab dan ingkar terhadap sebagian yang lain?. [Al-Baqarah/2:85]
Ayat di atas meskipun pembicaraannya terarah kepada kaum Yahudi, hanya saja kaum Muslimin juga diperintah untuk menyelisihi gaya mereka dan menjauhi cara-cara mereka. Dan pelajaran itu dipetik melalui keumuman yang ada dalam teksnya.
Sedangkan, dalil dari hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengharuskan umat untuk menerima nash-nash syar’i dengan bulat, di antaranya hadits dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, sesungguhnya ia berkata, “Aku dan saudaraku pernah duduk dalam satu kesempatan yang lebih aku sukai daripada memiliki unta merah. Aku dan saudaraku datang, dan ternyata orang-orang senior dari kalangan Sahabat Rasûlullâh telah duduk-duduk di dekat salah satu pintu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Kami tidak ingin mengganggu mereka. Maka kami duduk di salah satu sisi. Tiba-tiba mereka menyebutkan satu ayat dari al-Qur`ân, lalu saling bersilang-pendapat tentangnya, sehingga suara mereka pun meninggi. Kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dalam keadaan marah, wajahnya memerah, melemparkan debu ke arah mereka, sambil mengatakan:
مَهْلًا يَا قَوْمُ! بِهَذَا أُهْلِكَتِ الْأُمَمُ مِنْ قَبْلِكُمْ بِاخْتِلَافِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ وَضَرْبِهِمُ الْكُتُبَ بَعْضُهَا بِبَعْضٍ. إِنَّ الْقُرْآنَ لَمْ يَنْزِلْ يُكَذِّبُ بَعْضُهُ بَعْضًا, بَلْ يُصَدِّقُ بَعْضُهُ بَعْضًا. فَمَا عَرَفْتُمْ مِنْهُ فَاعْمَلُوْا بِهِ, وَمَا جَهِلْتُمْ مِنْهُ فَرُدُّوْهُ إِلَى عَالِمِهِ
Berhati-hatilah kalian, wahai manusia!. Dengan perbuatan seperti ini, umat-umat terdahulu sebelum kalian binasa, karena mereka silang-pendapat terhadap para nabi mereka dan menghantamkan kitab-kitab suci sebagian dengan sebagian yang lain. Sesungguhnya al-Qur`ân ini tidak diturunkan, sebagiannya mendustakan sebagian lainnya. Bahkan sebagiannya membenarkan sebagian yang lainnya. Maka, apa yang kalian ketahui, amalkannya. Dan apa yang tidak kalian ketahui, kembalikanlah kepada yang mengetahuinya.[1]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t mengatakan, “Hadits ini dan hadits lain yang serupa termasuk yang berisi larangan untuk menyanggah kebenaran dengan kebenaran. Sebab, konsekuensinya adalah mendustakan salah satu kebenaran, atau ketidakjelasan maupun keragu-raguan (pada salah satunya). Padahal yang wajib adalah membenarkan kebenaran. Dan itulah sikap yang benar”.[2]
Generasi Salaful ummah juga memiliki sikap demikian, mengimani segala yang berasal dari syariat, baik yang terdapat dalam al-Qur`ân maupun Hadits. Lihatlah sikap betapa besarnya keimanan Abu Bakar ash-Shiddîq Radhiyallahu anhu terhadap berita dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Tentang Isrâ Mi’râj yang didustakan oleh kaum musyrikin, ketika mereka menanyakan sikapnya tentang peristiwa tersebut, Abu Bakar ash-Shiddîq mengatakan, “Aku bersaksi apabila dia (Muhammad) mengatakannya, sungguh ia telah jujur”. Abu Salamah Radhiyallahu anhu mengatakan, “Melalui momen ini, beliau Radhiyallahu anhu dijuluki Abu Bakar ash-Shiddîq”.[3]
Inilah respon seorang Mukmin sejati, membenarkan apapun bila itu memang bersumber dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Imam Ibnu Abil ‘Izzi rahimahullah mengatakan, “Sudah menjadi kewajiban (atas setiap Muslim) untuk menunjukkan sikap penyerahan diri secara sempurna kepada Rasul , ketundukan terhadap perintahnya dan menerima berita darinya dengan bulat dan membenarkannya; tanpa menyanggahnya dengan pikiran yang batil yang disebut logika atau menganggapnya memuat unsur syubhat atau keragu-raguan, atau lebih mengutamakan pendapat-pendapat orang dan kotoran-kotoran pemikiran mereka di atasnya. Kita jadikan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai satu-satunya orang berhak yang menentukan hukum, dan kita berikan sikap taslîm, kepatuhan dan ketundukan (kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam) , sebagaimana kita esakan Dzat yang mengutus Beliau (Allâh Azza wa Jalla ) dengan ibadah, ketundukan, kehinaan, inabah dan tawakkal. Dua bentuk tauhid yang tidak ada keselamatan bagi seorang hamba dari siksa Allâh Azza wa Jalla , kecuali dengan keduanya, mengesakan Dzat yang mengutus rasul dan mengesakan mutâba’ah kepada sang rasul-Nya..[4]
Beberapa manfaat dari komitmen dengan pedoman ini:
[1] Bentuk realisasi keimanan kepada Allâh dan risalah Rasul-Nya.
[2] Menjauhi sikap-sikap umat-umat manusia yang sesat, yang menolak apa yang diberitakan oleh rasul-rasul mereka dan bahkan melawannya dengan ungkapan-ungkapan yang batil, seperti yang dilakukan bangsa Yahudi kepada Musa g yang diberitakan dalam Kalam Ilahi berikut: .
لَنْ نُؤْمِنَ لَكَ حَتَّىٰ نَرَى اللَّهَ جَهْرَةً
Hai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allâh dengan terang [Al-Baqarah/2:55].
Berdasarkan ayat ini, siapa saja yang mengaitkan kemauannya untuk mengimani nash-nash pada sesuatu di luar nash-nash tersebut, maka pada dirinya ada keserupaan dengan sikap orang-orang Yahudi.
[3] Kebatilan klaim yang menyebutkan akal sanggup mengetahui kemaslahatan-kemaslahatan yang terkait dengan agama, atau merupakan syarat untuk mendapatkannya, dengan tidak mau mengimani nash sampai kandungannya cocok dengan akalnya. Ini tidak benar.
[4] Orang yang hanya mau beriman kepada nash-nash bila akal mendukungnya, sehingga tidak ada bedanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup dan menyampaikan berita-berita kepadanya ataupun tidak adanya Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka pengaruh ayat-ayat al-Qur`ân, Hadits dan Ijma’ yang disampaikan akan nihil pada dirinya. Na’ûdzubillâh min dzâlik.
[5] Menutup pintu takwil bid’ah yang sebenarnya adalah bentuk tahrîf, perubahan kata dan makna dari maksudnya yang benar. Dan orang tidaklah berani melakukan tahrîf pada nash-nash kecuali setelah terbetik pada benaknya bahwa nash-nash tersebut menunjukkan makna-makna yang batil. Dan ini juga yang dilakukan oleh bangsa Yahudi.
[5] Komitmen dengan pedoman ini akan menyelamatkan umat dari pandangan-pandangan ahli bid’ah, yang biasa menolak nash-nash ketika tidak sejalan dengan pandangan dan keyakinan mereka, dan akhirnya membantah nash-nash yang benar dengan berbagai syubhat dan pemikiran yang batil. Sementara, orang Mukmin yang sejati, meyakini bahwa seluruh nash itu muncul dari sumber yang satu, sebagian membenarkan sebagian yang lain.
[6] Menepis adanya kontradiksi antar nash. Sebab, keyakinan adanya kontradiksi antar nash berkonsekuensi menafikan ilmu Allâh Azza wa Jalla dan sifat hikmah-Nya. Padahal Allâh Azza wa Jalla berfirman:
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ ۚ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا
Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur`ân?. Kalau kiranya al-Qur`ân itu bukan dari sisi Allâh, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. [An-Nisâ/4:82].
[7] Menepis pertentangan antara wahyu dan akal, sebagaimana dilakukan oleh ahli bid’ah yang mengingkari nash-nash tentang alam barzakh, shirâth, mîzân dan Allâh Azza wa Jalla dapat dilihat di akhirat kelak dan hadits tentang lalat, yang menurut mereka tidak dapat dicerna oleh akal. Mereka menjadikan akal untuk menilai memutuskan benar tidaknya petunjuk syariat. Sementara ahlul haqqi wal îmân mendudukkan syariat sebagai pemutus segala urusan dan kebenarannya mutlak.
Diringkas dari Manhaju al-Istidlâli ‘alâ Masâilil I’tiqâdi ‘indâ Ahlis Sunnati wal Jamâ’ati, ‘Utsmân bin ‘Ali Hasan, Maktabar ar-Rusyd, Riyadh, Cet. II, Th.1413H, hlm.221-241.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XIX/1437H/2015M.]
_______
Footnote
[1] HR. Ahmad dalam Musnadnya no.6702. Syaikh Ahmad Syâkir t mengatakan, “Isnâdnya shahîh”.
[2] Dar`u Ta’ârudhi al-‘Aqli wan Naqli VIII/404.
[3] Dalâilu an-Nubuwwah lil Baihaqi II/111,112.
[4] Syarh ‘Aqîdah ath-Thahâwiyah hlm.160
0 comments:
Post a Comment