{قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ ويَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ، وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ}

Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah (sunnah/petunjuk)ku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS Ali ‘Imran:31)

Membela Islam

Abu Fathan | 01:44 | 0 comments
Ada beberapa ayat dalam al-Quran, yang memerintahkan kita untuk membela Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kita akan lihat beberapa ayat berikut,

Pertama, firman Allah,

وَلَيَنْصُرَنَّ اللَّهُ مَنْ يَنْصُرُهُ إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ

Sungguh Allah akan menolong orang yang membela-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa. (QS. al-Hajj: 40)

Allah juga berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ؛ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ

“Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong agama Allah, niscaya Dia akan menolong kalian dan mengokohkan kaki kalian.” (QS. Muhammad: 7)

Di ayat lain, Allah berfirman memerintahkan umat islam untuk membela Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ شَاهِدًا وَمُبَشِّرًا وَنَذِيرًا . لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُعَزِّرُوهُ وَتُوَقِّرُوهُ

Sesungguhnya Kami mengutus kamu sebagai saksi, pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, Supaya kalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, mendukung beliau, memuliakan beliau…. (QS. al-Fath: 8-9)

Apa makna membela dan menolong Allah?

Ada banyak ayat dalam al-Quran yang menggunakan istilah yang umumnya digunakan manusia.

Diantaranya, Allah membeli dari jiwa dan harta orang beriman dengan dibayar surga. Allah berfirman,

إِنَّ اللَّهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ

“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh…” (QS. at-Taubah: 111)

Di ayat lain, Allah menawarkan kepada manusia untuk menghutangi dan akan dibalas dengan berlipat ganda,

مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً

“Siapa yang memberikan pinjaman kepada Allah dengan kebaikan maka Allah akan mengganti dengan berlipat ganda.” (QS. al-Baqarah: 245)

Imam as-Sa’di menjelaskan surat Muhammad ayat 7,

هذا أمر منه تعالى للمؤمنين، أن ينصروا الله بالقيام بدينه، والدعوة إليه، وجهاد أعدائه، والقصد بذلك وجه الله، فإنهم إذا فعلوا ذلك، نصرهم الله وثبت أقدامهم

Ini merupakan perintah dari Allah kepada orang yang beriman agar mereka membela Allah dengan menjalankan agamanya, mendakwahkannya dan berjihad melawan musuhnya. Dan semua itu bertujuan untuk mengharap wajah Allah. Jika mereka melakukan semua itu, maka Allah akan menolong mereka dan mengokohkan kaki mereka. (Tafsir as-Sa’di, hlm. 785)

Ahlus Sunnah Adalah Ahlul Wasath

Abu Fathan | 09:16 | 0 comments
Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah Ahlul Wasath (ummat yang pertengahan di antara firqah-firqah[1] yang menyimpang)[2]. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjadikan ummat (Islam) ini sebagai ummat pertengahan (ummat yang adil dan terpilih), di kalangan semua ummat manusia, sebagaimana firman-Nya:

وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِّتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا

“Dan demikian pula telah Kami jadikan kamu (ummat Islam), ummat yang adil dan pilihan, agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.” [Al-Baqarah/2: 143]

Mereka (Ahlus Sunnah) adalah pertengahan di antara firqah-firqah (golongan-golongan) yang sesat. Menurut penjelasan Imam ‘Abdullah Ibnul Mubarak (wafat th. 181 H) dan Yusuf al-Asbath (wafat th. 195 H) bahwa golongan yang binasa (sesat) banyak jumlahnya, akan tetapi sumber perpecahannya ada empat firqah (golongan), yaitu:
Rafidhah.
Khawarij.
Qadariyyah.
Murji’ah.

Ada orang yang bertanya kepada ‘Abdullah Ibnul Mubarak tentang golongan Jahmiyyah, maka beliau menjawab: “Mereka itu bukan ummat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”[3]

Di antara keyakinan dan manhaj Ahlus Sunnah yang merupakan pertengahan adalah:
Mereka (Ahlus Sunnah) adalah pertengahan dalam masalah Sifat-Sifat Allah antara golongan Jahmiyyah dan Musyabbihah.

Jahmiyyah adalah aliran yang sesat dan dikafirkan oleh para ulama. Muncul pada akhir kekuasaan Bani Umayyah. Disebut demikian karena dikaitkan dengan nama tokoh pendirinya, yaitu Abu Mahraz Jahm bin Shafwan at-Tirmidzi yang dibunuh pada tahun 128 H. Di antara pendapat aliran ini adalah mengingkari Asma’ dan Sifat-Sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala, Al-Qur-an adalah makhluk (barang ciptaan) dan bahwa iman itu adalah hanya sekedar mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala, mereka berkeyakinan bahwa Surga dan Neraka itu fana (akan binasa) dan lain-lain.[4]

Musyabbihah yaitu aliran yang sesat dan termasuk ahlul bid’ah. Mereka menyamakan atau menyerupakan Sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya. Termasuk dalam golongan tamtsil ini adalah Jawaliqiyyah, Hisyamiyyah dan Jawaribiyyah.[5]

Sedangkan pandangan Ahlus Sunnah tentang Sifat Allah dapat dilihat dalam pembahasan Tauhid Asma’ wash Shifat.
Ahlus Sunnah pertengahan antara aliran Jabariyyah dan Qa-dariyyah dalam masalah af’alul ‘ibad (perbuatan hamba-Nya).

Jabariyyah adalah aliran yang sesat dan termasuk ahlul bid’ah. Berasal dari kata ‘jabr’ artinya paksaan. Dan mereka mempunyai pandangan bahwa manusia dalam segala perbuatan, gerak-gerik dan tingkah lakunya adalah dipaksa, tidak memiliki kekuasaan dan kebebasan. Mereka menafikan perbuatan hamba secara ha-kikat dan menyandarkannya kepada Allah. Termasuk dalam aliran ini adalah Jahmiyyah, mereka berpandangan seperti itu. Menurut Syahrastani bahwa Jabariyyah ada dua golongan: Jabariyyah Khalishah dan Jabariyyah Mutawassithah.[6]

Qadariyyah adalah aliran yang sesat dan termasuk ahlul bid’ah. Berasal dari kata ‘qadar’, artinya ketentuan Ilahi. Aliran ini tidak mengakui adanya qadar tersebut dan mengatakan manusialah yang menentukan nasibnya sendiri dan dialah yang membuat perbuatannya, terlepas dari kodrat serta iradat Ilahi. Termasuk dalam aliran ini adalah Mu’tazilah yang juga berpan-dangan sama.[7]

Pandangan Ahlus Sunnah Tentang Perbuatan Hamba adalah:

Pertama : Perbuatan hamba pada hakekatnya adalah ciptaan Allah Azza wa Jalla.

Kedua : Yang melaksanakan perbuatan tersebut adalah hamba itu sendiri secara hakiki.

Ketiga : Seorang hamba mempunyai kekuasaan (kemampuan) untuk melaksanakan perbuatannya secara hakiki dan mempunyai pengaruh atas terjadinya perbuatan tersebut. Dan Allah-lah yang memberi kemampuan kepada mereka untuk melakukan perbuatan tersebut.[8]

Imam Abu ‘Utsman ash-Shabuni (wafat th. 499 H) rahimahullah berkata: “Pemahaman Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah keyakinan bahwa perbuatan hamba adalah diciptakan Allah Azza wa Jalla. Dan mereka tidak ada yang membantah serta tidak ada keraguan sedikit pun. Sebaliknya, mereka menganggap orang yang mengingkari dan tidak menerima kenyataan itu sebagai orang yang menyimpang dari petunjuk dan kebenaran.”[9]
Mereka (Ahlus Sunnah) pertengahan dalam masalah ancaman Allah[10], antara Murji’ah dan aliran Wa’idiyyah, dari kalangan Qadariyyah dan selain mereka.

Murji’ah adalah aliran yang sesat dan termasuk ahlul bid’ah. Berasal dari kata irja’ yang berarti pengakhiran, sebab mereka mengakhirkan (memisahkan) amal dari iman. Mereka mengatakan: “Suatu dosa tidak membahayakan selama ada iman, sebagai-mana suatu ketaatan tidak berguna selama ada kekafiran.” Menurut mereka, amal tidaklah termasuk dalam kriteria iman, serta iman tidak bertambah dan tidak pula berkurang.[11]

Wa’idiyyah adalah aliran yang sesat dan termasuk ahlul bid’ah, berasal dari kata wa’iid yang berarti ancaman. Mereka berpendapat bahwa Allah harus melaksanakan ancaman-Nya, sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur-an. Oleh karena itu, mereka berpendapat bahwa pelaku dosa besar, apabila ia wafat tanpa bertaubat, maka ia akan kekal di dalam Neraka, sebagaimana yang diancamkan oleh Allah terhadap mereka, sebab Allah tidak akan menyalahi janji-Nya.[12]

Sedangkan menurut pandangan Ahlus Sunnah bahwasanya seorang Muslim yang berbuat dosa besar akan mendapat ancaman dengan Neraka apabila ia tidak bertaubat, jika Allah menghendaki, Dia akan mengampuninya, dan jika Allah menghendaki, Dia akan menyiksanya di dalam Neraka, akan tetapi ia tidak kekal di Neraka.[13]
Ahlus Sunnah pertengahan dalam hal nama-nama iman dan agama, antara golongan Haruriyyah dan Mu’tazilah, serta antara kaum Murji’ah dan Jahmiyyah.

Haruriyyah adalah aliran sesat dan termasuk ahlul bid’ah. Berasal dari kata haruura’ (حَرُوْرَاءُ), yaitu suatu tempat di dekat Kufah. Haruriyyah termasuk salah satu sekte dalam aliran Khawarij. Dinamakan demikian karena di tempat itulah mereka ber-kumpul ketika mereka keluar (memberontak) dari kekhalifahan ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu. Menurut mereka, pelaku dosa besar ada-lah kafir dan di akhirat ia kekal di dalam Neraka.[14]

Mu’tazilah adalah aliran yang sesat dan termasuk ahlul bid’ah. Mereka adalah pengikut Washil bin ‘Atha’ dan ‘Amr bin ‘Ubaid. Dikatakan Mu’tazilah karena mereka mengeluarkan diri (‘itizal) dari kelompok kajian al-Hasan al-Bashri (wafat tahun 110 H) rahimahullah, atau karena mereka mengisolir diri dari pandangan sebagian besar ummat Islam ketika itu dalam hal pelaku dosa besar, karena menurut Washil bin ‘Atha’, pelaku dosa besar berada dalam status antara iman dan kafir, tidak dikatakan beriman dan tidak pula dikatakan kafir, atau disebut dengan istilah mereka: manzilah bainal manzilatain (tempat di antara dua kedudukan, tidak mukmin dan tidak kafir). Dan jika tidak bertaubat, maka ia di akhirat akan kekal dalam Neraka.[15]

Adapun menurut Ahlus Sunnah, pelaku dosa besar dari kaum Muslimin masih tetap disebut Mukmin karena imannya, hanya saja ia itu fasiq karena perbuatan dosa besarnya. Atau dikatakan ia itu Mukmin yang kurang imannya, sedang urusannya di akhirat -apabila belum bertaubat- adalah terserah Allah, jika Allah Azza wa Jalla menghendaki, akan disiksa-Nya (sesuai dengan keadilan-Nya) dan jika Dia menghendaki akan diampuni-Nya (sesuai dengan sifat kasih-Nya).[16]
Ahlus Sunnah juga pertengahan antara golongan Rafidhah dan Khawarij, dalam masalah Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Rafidhah adalah aliran yang sesat dan termasuk ahlul bid’ah. Berasal dari kata ‘Rafadha’, artinya menolak. Salah satu sekte di dalam aliran Syi’ah. Mereka bersikap berlebih-lebihan terhadap ‘Ali dan Ahlul Bait, serta mereka menyatakan permusuhan terhadap sebagian besar Sahabat, khususnya Abu Bakar dan ‘Umar Radhiyallahu anhuma. Disebut Rafidhah, karena mereka menolak untuk membantu serta mendukung Zaid bin ‘Ali bin al-Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib pada masa kepemimpinan Hisyam bin ‘Abdil Malik. Sebabnya, karena mereka meminta kepada Zaid supaya menyatakan tidak berpihak kepada Abu Bakar dan ‘Umar, beliau menolak dan tidak mau sehingga mereka pun menolak untuk mendukungnya. Oleh karena itu mereka disebut Rafidhah.[17]

Khawarij adalah aliran yang sesat dan termasuk ahlul bid’ah. Berasal dari kata kharaja yang berarti keluar. Suatu aliran yang menyempal dari agama Islam dan mereka keluar dari para Imam pilihan dari kaum Muslimin. Bahkan mereka mengkafirkan ‘Ali dan Mu’awiyah serta para pendukung keduanya. Mereka (Khawarij) disebut demikian karena menyatakan keluar dari kekhalifahan ‘Ali setelah peristiwa Shiffin. Prinsip Khawarij yang paling mendasar ada tiga, yang mereka telah menyimpang, sesat dan menyesatkan kaum Muslimin:

Pertama : Mengkafirkan ‘Ali bin Abi Thalib, ‘Utsman bin ‘Affan dan dua hakim[18] Radhiyallahu anhum.

Kedua : Wajib keluar (berontak) dari penguasa yang zhalim.

Ketiga: Pelaku dosa besar adalah kafir dan di akhirat kekal dalam Neraka.[19]

Firqah yang pertama kali keluar dari ummat Islam adalah Khawarij, merekalah yang pertama kali mengkafirkan kaum Muslimin dengan sebab dosa besar, dan mereka juga yang meng-halalkan darah kaum Muslimin dengan sebab itu.[20]

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]
_______
Footnote
[1] Firqah adalah kelompok atau golongan, aliran, pemahaman yang menyimpang dari pemahaman para Sahabat Radhiyallahu anhum. Mereka mempunyai prinsip dan kaidah da-lam beragama yang berbeda dengan prinsip ‘aqidah dan manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah

[2] Untuk lebih jelas tentang pertengahan Ahlus Sunnah di antara firqah-firqah yang sesat, bacalah kitab Wasathiyyah Ahlus Sunnah bainal Firaq karya Dr. Muhammad Bakarim Muhammad Ba’abdullah, cet. I- Daarur Rayah, th.1415H

[3] Majmuu’ Fataawaa (III/350) oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah

[4] Lihat Maqaalaat Islamiyyiin (juz I) oleh Abul Hasan al-Asy’ari, al-Farqu bainal Firaq (hal. 158), al-Milal wan Nihal (hal. 86-88) oleh Syahrastani, Syarhul ‘Aqiidah al-Waasithiyyah (hal 185) oleh Khalil Hirras, tahqiq as-Saqqaf, dan Wasathiyyah Ahlis Sunnah (hal. 296).

[5] Lihat Syarhul ‘Aqiidah al-Waasithiyyah (hal. 185) oleh Khalil Hirras, tahqiq as-Saqqaf, al-Farqu bainal Firaq (hal. 170-174) dan Wasathiyyah Ahlis Sunnah (hal. 317-318).

[6] Lihat Maqaalaatul Islamiyyiin (I/338), al-Milal wan-Nihal (hal. 85) oleh Syah-rastani dan Wasathiyah Ahlis Sunnah (hal. 374-375).

[7] Lihat al-Farqu bainal Firaq (hal. 79) oleh al-Khatib al-Baghdadi, tahqiq Muhyidin ‘Abdul Hamid, al-Milal wan-Nihal (hal. 43-45) oleh Syahrastani dan Wasathiyyah Ahlis Sunnah (hal. 378).

[8] Lihat Wasathiyyah (hal. 379) dan Minhaajus Sunnah (II/298).

[9] Aqiidatus Salaf Ash-haabil Hadiits (hal. 90 no. 118)

[10] Lihat pembahasan tentang al-Wa’du wal Wa’iid pada buku ini (hal. 374-380).

[11] Lihat al-Milal wan-Nihal (hal. 139) oleh Syahrastani, Wasathiyyah Ahlis Sunnah (hal. 294-295).

[12] Lihat Syarhul ‘Aqiidah al-Waasithiyyah (hal. 188) oleh Khalil Hirras, tahqiq as-Saqqaf dan Wasathiyyah Ahlus Sunnah (hal. 355-356).

[13] Wasathiyyah Ahlus Sunnah (hal. 357).

[14] Lihat Maqaalaatul Islamiyyiin (I/167) oleh Abul Hasan al-Asy’ari, tahqiq Muhyidin ‘Abdul Hamid, Majmu’ al-Fataawaa (VII/481-482) oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Syarhul ‘Aqiidah al-Waasithiyyah (hal. 190) oleh Khalil Hirras, tahqiq as-Saqqaf

[15] Lihat al-Farqu bainal Firaq (hal. 15), Wasathiyyah (hal. 296-297, 341-343).

[16] Lihat Wasathiyyah Ahlis Sunnah (hal. 346) dan Syarhul ‘Aqiidah al-Waasithiyyah (hal. 191) oleh Khalil Hirras, tahqiq as-Saqqaf

[17] Lihat Minhaajus Sunnah (I/34-36) oleh Syaikhul Islam, tahqiq Dr. Muhammad Rasyad Salim, Maqaalaatul Islamiyyiin (I/65, 88, 136) dan Wasathiyyah Ahlis Sunnah (hal. 405-418)

[18] Yang dimaksud dengan dua hakim adalah dua orang utusan untuk melerai perselisihan antara ‘Ali dan Mu’awiyah. Dari pihak ‘Ali diutus Abu Musa al-Asy’ari dan dari pihak Mu’awiyah diutus ‘Amr bin al-‘Ash, رضوان الله عليهم أجمعين.

[19] Lihat Maqaalaatul Islaamiyyiin (I/167-168), al-Milal wan-Nihal (hal. 114-115) oleh Syahrastani, Fat-hul Baari (XII/283-284) dan Wasathiyyah (hal. 290-291).

[20] Majmuu’ Fataawaa (III/349 dan VII/481) oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah

Ahlus Sunnah Menasehati Pemerintah Dengan Cara Yang Baik, Tidak Mengadakan Provokasi Dan Penghasutan

Abu Fathan | 17:49 | 0 comments
Prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah, tidak mengadakan provokasi atau penghasutan untuk memberontak kepada penguasa meskipun penguasa itu berbuat zhalim. Tidak boleh melakukan provokasi baik dari atas mimbar, tempat khusus atau pun umum dan media lainnya. Karena yang demikian menyalahi petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Salafush Shalih.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِي سُلْطَانٍ فَلاَ يُبْدِهِ عَلاَنِيَةً، وَلَكِنْ يَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوْبِهِ، فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَ إِلاَّ كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ.

“Barangsiapa yang ingin menasihati penguasa, janganlah ia menampakkan dengan terang-terangan. Hendaklah ia pegang tangannya lalu menyendiri dengannya. Jika penguasa itu mau mendengar nasihat itu, maka itu yang terbaik dan bila si penguasa itu enggan (tidak mau menerima), maka sungguh ia telah melaksanakan kewajiban amanah yang dibebankan kepadanya.”[1]

Jika sudah ada dalil yang shahih, maka wajib bagi seorang Muslim untuk taat kepada Allah dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hujjah itu terdapat pada hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih dan tidak boleh menolak hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan beralasan kepada perkataan ulama atau perbuatan satu kaum atau siapa saja.[2]

Ahlus Sunnah tidak suka dan tidak rela dengan kezhaliman dan kemunkaran yang dilakukan oleh penguasa atau lainnya. Akan tetapi cara mengingkari kemunkaran yang dilakukan oleh penguasa dan cara menasihati penguasa harus sesuai dengan petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan atsar Salafush Shalih.

Menjelek-jelekkan penguasa, membeberkan aibnya, menyebutkan kekurangannya, menampakkan kebencian kepadanya di hadapan umum atau melalui media lainnya dan mengadakan provokasi, hal tersebut bukan cara yang benar. Bahkan cara ini menyalahi petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, berdosa karena menyalahi Sunnah, menimbulkan kerusakan dan bahaya yang lebih besar serta tidak ada manfaatnya. Orang yang melakukan hal demikian akan dihinakan Allah pada hari Kiamat.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ أَكْرَمَ سُلْطَانَ اللهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى فِي الدُّنْيَا أَكْرَمَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ أَهَانَ سُلْطَانَ اللهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى فِي الدُّنْيَا أَهَانَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.

“Barangsiapa yang memuliakan penguasa di dunia, akan dimuliakan Allah di akhirat, dan barangsiapa yang menghinakan penguasa di dunia, maka Allah akan hinakan dia pada hari Kiamat.”[3]

Imam Ibnu ‘Ashim dalam kitabnya, As-Sunnah, memberikan bab: “Apa-apa yang diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memerintahkan untuk memuliakan penguasa dan melarang keras untuk menghinakannya.”[4]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh kita untuk bersabar terhadap kezhaliman penguasa. Dan dengan kesabaran itu Allah akan berikan ganjaran yang besar.

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيْرِهِ شَيْئًا فَلْيَصْبِرْ عَلَيْهِ, فَإِنَّهُ لَيْسَ أَحَدٌ مِنَ النَّاسِ خَرَجَ مِنَ السُّلْطَانِ شِبْرًا, فَمَاتَ عَلَيْهِ إِلاَّ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً.

“Barangsiapa yang tidak menyukai sesuatu dari pemimpinnya maka hendaklah ia bersabar terhadapnya. Sebab, tidaklah seorang manusia keluar dari penguasa lalu ia mati di atasnya, melainkan ia mati dengan kematian Jahiliyyah.”[5]

Ahlus Sunnah wal Jama’ah berpendapat bahwa mentaati pemimpin secara ma’ruf merupakan salah satu dasar utama ‘aqidah. Dari sini para imam Salaf memasukkannya dalam kategori ‘aqidah. Jarang sekali kitab ‘aqidah melainkan (pasti) menyebutkan dan menjelaskannya. Ketaatan ini termasuk kewajiban syar’i atas setiap muslim; karena ini merupakan perkara asasi untuk mewujudkan ketertiban dalam negeri Islam.

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]
_______
Footnote
[1] HR. Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah (II/507-508, bab Kaifa Nashiihatur Ra’iyyah lil Wulaat, no. 1096, 1097, 1098), Ahmad (III/403-404) dan al-Hakim (III/290) dari ‘Iyadh bin Ghunm Radhiyallahu anhu.

[2] Lihat kaidah ke-5 pada bab Kaidah dalam Mengambil Dalil dalam Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i

[3] HR. Ahmad (V/42, 48-49), dari Abi Bakrah, Nufai’ bin al-Harits Radhiyallahu anhuma. Hadits ini hasan, lihat Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (V/375-376).

[4] Lihat as-Sunnah (II/475-476) oleh Ibnu Abi ‘Ashim

[5] HR. Muslim (no. 1849 (56))

============

Mari kita perhatikan seksama pesan-pesan Rasulullah ﷺ berikut. Nasehat yang sangat cocok di zaman fitnah ini, seakan beliau berada di tengah-tengah kita.
Pertama, sabda Rasulullah ﷺ,
خِيَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ
Sebaik-baik pemimpin kalian adalah mereka mencintai kalian dan kalian mencintai mereka, mereka mendo’akan kalian dan kalian mendo’akan mereka. Dan seburuk-buruk pemimpin kalian adalah yang membenci kalian dan an membenci mereka, mereka mengutuk kalian dan kalian mengutuk mereka“.
Kemudian seorang sahabat bertanya kepada Nabi ﷺ apakah boleh pemimpin semacam itu kita perangi dengan pedang (memberontak). “Ya Rasulullah, tidakkah kita perangi saja mereka dengan pedang?”
Nabi ﷺ menjawab,
َِ لَا مَا أَقَامُوا فِيكُمْ الصَّلَاةَ وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلَاتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُونَهُ فَاكْرَهُوا عَمَلَهُ وَلَا تَنْزِعُوا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ
TIDAK…! Selagi mereka mendirikan shalat bersama kalian. Jika kalian melihat dari pemimpin kalian sesuatu yg tak baik maka bencilah tindakannya dan janganlah kalian melepaskan ketaatan kepada mereka” (HR. Muslim No.3447).
Kemudian dalam hadis dari sahabat Hudzaifah bin Yaman radhiyallahu’anhu disebutkan, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,
يَكُوْنُ بَعْدِيْ أَئِمَّةٌ، لاَيَهْتَدُوْنَ بِهُدَايَ، وَلاَ يَسْتَنُّوْنَ بِسُنَّتِيْ
Akan ada sepeninggalku nanti para penguasa yang merek tidak berpegang dengan petunjukku dan tidak mengikuti sunahku.
Apa yang kuperbuat bila aku mendapatinya?” Tanya sahabat Hudzaifah.
Rasulullah menjawab,
تَسْمَعُ وَتُطِيْعُ لِلأَمِيْرِ، وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ، فَاسْمَعْ وَأَطِعْ!
Hendaknya kamu mendengar dan taat kepada penguasa tersebut, walaupun punggungmu dicambuk (menyengsarakan rakyat) dan hartamu dirampas olehnya (seperti korupsi), dengarlah perintahnya dan taatilah” (Hadis shahih, diriwayatkan Imam Muslim no.1476, 1847. Sebagian ulama (diantara Syaikh Muqbil Al Wadi’i rahimahullah menerangkan bahwa kalimat “walaupun punggungmu dicambuk dan hartamu dirampas olehnya” adalah dho’if).
Kedua, hadis dari sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiallahu’anhu, beliau berkata, “Rasulullah ﷺ bersabda kepada kami,
َ إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ بَعْدِي أَثَرَةً وَأُمُورًا تُنْكِرُونَهَا
Kalian akan menyaksikan sikap-sikap egois (red. kezaliman penguasa seperti korupsi dan lain-lain) sepeninggalku, dan beberapa perkara yang kalian ingkari” .
Para sahabat bertanya, “Lantas bagaimana anda menyuruh kami ya Rasulullah?
Nabi menjawab,
أَدُّوا إِلَيْهِمْ حَقَّهُمْ وَسَلُوا اللَّهَ حَقَّكُمْ
Tunaikanlah hak mereka dan mintalah kepada Allah hakmu!” (HR. Bukhori).
Ketiga, diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu anhuma, dari Nabi ﷺ beliau bersabda :
مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ عَلَيْهِ فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الجَمَاعَةَ شِبْرًا فَمَاتَ، إِلَّا مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
Barangsiapa yang melihat pada pemimpinnya sesuatu yang ia benci, maka hendaklah ia bersabar atas hal tersebut. Karena barangsiapa yang memisahkan diri dari jama’ah (persatuan kaum muslimin) satu jengkal lalu ia meninggal dunia, ia meninggal dunia seperti mati jahiliyah” (HR Bukhari : 7054, Muslim : 1849).

Mengapa Ahlu sunnah Wal Jamâ’ah Tidak Menempuh Solusi Politik Dan Revolusi Dalam Perbaikan Masyarakat?

Abu Fathan | 17:53 | 0 comments
Agama Islam telah mencakup seluruh kebutuhan makhluk, Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَيَوْمَ نَبْعَثُ فِي كُلِّ أُمَّةٍ شَهِيدًا عَلَيْهِمْ مِنْ أَنْفُسِهِمْ ۖ وَجِئْنَا بِكَ شَهِيدًا عَلَىٰ هَٰؤُلَاءِ ۚ وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ

(Dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri[An-Nahl/16:89].

Diantara kebutuhan ini adalah sisi politik yang menjadi sarana keteraturan masyarakat dan sisi jihad yang menjadi penjamin kemuliaan dan menghalangi musuh yang menyerangnya. Kemulian orang yang melaksanakan kedua hal ini dengan ilmu dan keadilan adalah perkara yang sudah masyhur.

Hal ini kami sampaikan untuk menjelaskan bahwa politik syar’i termasuk bagian agama dan jihad yang syar’i juga bagian dari agama bahkan menjadi menaranya sebagaimana dijelaskan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Namun ketika banyak kaum Muslimin yang tidak memiliki banyak pengetahuan dari ajaran agama mereka, maka banyak musibah yang menimpa mereka. Padahal dahulu kaum Muslimin adalah umat yang satu lagi mulia dan kokoh, tiba-tiba berubah persatuannya menjadi perpecahan dan kekuatannya menjadi lemah sekali. Para aktifis dakwah Islam telah melakukan perbaikan keadaan yang ada, namun mereka berselisih dalam perbaikan ini sesuai perbedaan mereka dalam merealisasikan akar permasalahan. Mayoritas memandang semua musibah besar yang menimpa kaum Muslimin sekarang, sebabnya adalah rusaknya sistem perpolitikan. Hal ini telah menjadi hasil pemikiran para jamaah dakwah yang beragam manhajnya.

Ada dua jama’ah yang muncul di medan dakwah. Yang pertama memandang semua ini menuntut kaum Muslimin terlibat langsung ke medan politik untuk merubah program-program pemerintah; Dan yang kedua memandang tidak ada obat dalam hal ini kecuali peperangan.

Kelompok pertama meyakini semua hal ini perlu untuk berlomba-lomba meraih kekuasaan dan yang lainnya hanya memandang mengkudeta para penguasa imperalis.

Bukanlah perbedaan disini dalam masalah pengakuan tentang rusaknya keadaan masyarakat dan tidak juga tentang urgensinya berusaha memperbaiki keadaan atau tidak memperbaiki. Namun perbedaannya yaitu dalam metode memperbaikinya. Efek dari perbedaan dalam masalah ini cukup jelas; karena cara perbaikan apabila dianggap tidak ada atau dilalaikan maka pelakunya terus akan kelelahan merubah sesuatu tapi bukan pintunya. Ini seperti orang yang ingin sampai pada satu sasaran tidak melalui jalurnya, lalu kapan sampainya?!

Demikian juga masalah mencari akar masalah penyimpangan, karena tabiat terapi berbeda-beda sesuai perbedaan analisa pokok penyakit. Oleh karenanya saya ingin menjelaskan sebab utama musibah kaum Muslimin; karena pengetahuan tentang hal ini menentukan cara pengobatan yang pas. Sebab keberhasilan pengobatan seluruh penyakit berawal dari akar masalah ini.

Orang yang meneliti sejarah pelaku perbaikan –terutama para Nabi – mengetahui secara yakin bahwa dua jamaah di atas menyelisihi mereka, baik dalam melihat akar permasalahannya atau melihat cara memperbaikinya; sebab para Nabi diutus pada kaum yang memiliki semua keburukan termasuk juga buruk dalam politik, lalu tida ada dalam al-Qur`an dan as-Sunnah satu petunjukpun yang menjelaskan para Nabi pertama kali melakukan perbaikan keadaan politik dengan menjadi praktisi politik atau praktisi revolusi berdarah.

Barangsiapa meneliti dakwah para Nabi dengan niat menerima dan mencontoh tentulah akan tampak jelas dan yakin akan hal tersebut tanpa susah payah. Sebab para Nabi diajak masuk dan ikut dalam kekuasan lalu mereka menolak dengan menyatakan kepada kaum mereka:

وَمَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ ۖ إِنْ أَجْرِيَ إِلَّا عَلَىٰ رَبِّ الْعَالَمِينَ

Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Rabb semesta alam [Asy-Syu’ara/26:109]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun diutus pada waktu kerusakan politik yang sudah merata. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak memfokuskan pada perbaikan sistem perpolitikan, walaupun politik adalah bagian dari agama sebagaimana telah dijelaskan tadi. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun diajak oleh para pemimpin besar Quraisy untuk bersekutu dalam kekuasaan dan beliau menolaknya. Bisa dilihat dalam tafsir Ibnu Katsîr pada awal-awal surat Fushilat dan ada juga riwayat yang semakna dengan ini bisa dilihat takhrijnya dan dihasankan oleh syaikh al-Albâni t dalam komentar beliau t pada kitab Fiqhus-Sîrah, hlm 106. Dalam sebagian jalan periwayatkannya, kaum Quraisy berkata kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

وَإِنْ كُنْتَ تُرِيْدُ شَرَفًا، سَوَّدْنَاكَ عَلَيْنَا، فَلاَ نَقْطَعْ أَمْرًا دُوْنَكَ. وَإِنْ كُنْتَ تُرِيْدُ مُلْكًا مَلَّكْنَاكَ عَلَيْنَا.

Apabila kamu inginkan kehormatan maka kami jadikan kamu pemimpin kami dan kami tidak akan memutuskan satu perkarapun tanpa kamu dan bila kamu inginkan kerajaan maka kami akan mengangkatmu sebagai raja kami…

Bahkan orang yang membandingkan antara dakwah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada raja-raja dan para penguasa dengan dakwah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada masyarakay pasti mengetahui perbedaannya.

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu menghadapi masyarakat dengan bergerak dan semangat berapi-api dalam mendakwahi mereka di tempat-tempat berkumpul mereka, pasar-pasar dan rumah-rumah serta selainnya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendakwahi mereka, baik kabilah maupun pribadi-pribadi tanpa lelah hingga mencapai puncak kesedihan, sehingga Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَلَا تَذْهَبْ نَفْسُكَ عَلَيْهِمْ حَسَرَاتٍ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِمَا يَصْنَعُونَ

Maka janganlah dirimu binasa karena kesedihan terhadap mereka. Sesungguhnya Allâh Subhanahu wa Ta’ala Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat [Fâthir/35: 8]

Bahkan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam hampir bunuh diri karena itu hingga Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

فَلَعَلَّكَ بَاخِعٌ نَفْسَكَ عَلَىٰ آثَارِهِمْ إِنْ لَمْ يُؤْمِنُوا بِهَٰذَا الْحَدِيثِ أَسَفًا

Maka (apakah) barangkali kamu akan membunuh dirimu karena bersedih hati setelah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan ini (al-Quran) [Al-Kahfi/18: 6]

Sedangkan terhadap para raja dan penguasa pada umumnya keadaan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membebani dirinya untuk datang menemui mereka, bahkan cukup dengan mengutus utusan kepada mereka membawa ucapan ringkas dan selesai, ucapan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut adalah:

مِنْ مُحَمَّدٍ عَبْدِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى هِرَقْلَ عَظِيمِ الرُّومِ: سَلاَمٌ عَلَى مَنِ اتَّبَعَ الهُدَى، أَمَّا بَعْدُ، فَإِنِّي أَدْعُوكَ بِدِعَايَةِ الإِسْلاَمِ، أَسْلِمْ تَسْلَمْ، يُؤْتِكَ اللَّهُ أَجْرَكَ مَرَّتَيْنِ، فَإِنْ تَوَلَّيْتَ فَإِنَّ عَلَيْكَ إِثْمَ الأَرِيسِيِّينَ ” قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَىٰ كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ ۚ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ

Dari Muhammad hamba Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan rasulNya kepada Hiraklius penguasa Romawi, Semoga keselamatan diberikan kepada orang yang mengikuti petunjuk. Amma ba’du: Sungguh aku mengajak kamu dengan ajakan islam: Masuklah kedalam Islam niscaya kamu selamat dan Allâh Subhanahu wa Ta’ala memberikan kamu pahala dua kali. Apabila kamu berpaling maka kamu menanggung dosa arisiyun dan Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allâh Subhanahu wa Ta’ala “. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)” (Ali Imrân/3:64). [HR al-Bukhari (no.7) dan Muslim (no 1773].

Bandingkanlah antara dakwah Nabi yang bijak dengan ceramah-ceramah politik yang panjang dan menghabiskan umur prkatisinya hingga jenggot mereka beruban, pasti mengetahui mana dari dua kelompok tersebut yang lebih berhak dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Bahkan waktu itu masuk islam seorang raja besar yaitu an-Najâsyî raja Habasyah, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berpikir untuk berhijrah kesana untuk tinggal menetap di kerajaannya atau menjadikannya sebagai awal negara Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Juga tidak berkata: Dari istana seperti ini dakwah akan berjalan maju; karena Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui bahwa masyarakat umum apabila belum menerima sepenuhnya Islam, maka keksuasan yang didapatkan tidak banyak bermanfaat. Kalau begitu, wajib bagi pengikut para Nabi untuk memperhatikan cara-cara mereka dalam perbaikan. Kalau sudah demikian maka kemenanganpun akan datang!

Pengaruh perubahan raja dalam perbaikan masyarajak sudah sangat jelas; namun ketika kebaikan dan rusaknya raja mengikuti kebaikan dan kerusakan masyarakatnya dan tidak sebaliknya. Maka perbedaan inilah yang ada dalam sejarah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam antara perbaikan pemimpin dan perbaikan masyarakat dan perhatian besar dalam mendakwahi masyarakat lebih banyak dari perhatian mendakwahi raja-raja.

Sebuah kepastian bahwa penyebab kerusakan keadaan kaum Muslimin di semua negara adalah kerusakan penguasa dan rakyat. Kalau sudah jelas demikian maka kerusakan penguasa banyak menyebabkan kerusakan rakyatnya dengan memasukkan kepada rakyatnya aturan-aturan yang menyelisihi syariat Rabb alam semesta. Maka perlu diketahui rusaknya penguasa disebabkan pertama kali dari rusaknya rakyat; karena Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَكَذَٰلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضًا بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

Dan demikianlah Kami jadikan sebahagian orang-orang yang zalim itu menjadi teman bagi sebahagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan [Al-An’âm/6:129]

Allâh Subhanahu wa Ta’ala mengkhabarkan bahwa diantara takdir-Nya adalah orang zhalim menjajah orang yang zhalim juga. Allâh Subhanahu wa Ta’ala juga menjelaskan pengertian ini dalam firman-Nya:

وَإِذَا أَرَدْنَا أَنْ نُهْلِكَ قَرْيَةً أَمَرْنَا مُتْرَفِيهَا فَفَسَقُوا فِيهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْنَاهَا تَدْمِيرًا

Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya [Al-Isra’/17:16].

Dalam ayat ini Allâh Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan para pemimpin yang hidup mewah dengan kedurhakan mereka menjajah penduduk negeri yang pantas dibinasakan. Tidak diragukan lagi penduduk tersebut berhak dibinasakan karena mereka zhalim, sebagaimana Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَتِلْكَ الْقُرَىٰ أَهْلَكْنَاهُمْ لَمَّا ظَلَمُوا وَجَعَلْنَا لِمَهْلِكِهِمْ مَوْعِدًا

Dan (penduduk) negeri telah Kami binasakan ketika mereka berbuat zalim, dan telah Kami tetapkan waktu tertentu bagi kebinasaan mereka [Al-Kahfi/18:59].

Sebagian salaf memahami ayat ini dengan tafsir ini, diriwayatkan oleh Abu Nu’aim t (6/30) dan al-Baihaqi t dalam asy-Syu’ab al-Imaan no. 7389 dan Abu Amru ad-Daani t dalam as-Sunan al-Waaridah fil Fitan no. 299 dengan sanad yang shahih dari Ka’ab al-Ahbâr bahwa beliau berkata:

إِنَّ لِكُلِّ زَمَانٍ مَلِكًا يَبْعَثُهُ اللَّهُ عَلَى قُلُوبِ أَهْلِهِ , فَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ صَلَاحًا بَعَثَ فِيهِمْ مُصْلِحًا , وَإِذَا أَرَادَ بِقَوْمٍ هَلَكَةً بَعَثَ فِيهِمْ مُتْرِفًا , ثُمَّ قَرَأَ: وَإِذَا أَرَدْنَا أَنْ نُهْلِكَ قَرْيَةً أَمَرْنَا مُتْرَفِيهَا فَفَسَقُوا فِيهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْنَاهَا تَدْمِيرًا

Sesungguhnya setiap zaman ada raja yang Allâh Subhanahu wa Ta’ala angkat sesuai hati-hati penduduknya. Apabila Allâh Subhanahu wa Ta’ala inginkan pada satu kaum kebaikan maka mengangkat pada mereka raja yang memperbaiki dan bila ingin kebinasaan maka Allâh Subhanahu wa Ta’ala mengangkat pemimpin yang bermewah-mewahan, kemudian beliau membaca firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala : Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya [Al-Isra’/17:16].

Al-Munawi rahimahullah dalam Faidhul Qadîr 1/265 berkata, “Lengkapnya adalah jika Allah Azza wa Jalla menginginkan keburukan pada satu kaum yang jelek, maka Allâh Subhanahu wa Ta’ala mengangkat para tokoh yang bermewah-mewah sebagai pemimpin mereka karena ketidak istiqamahan rakyat tersebut.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah menjelaskan dengan jelas bahwa kezhaliman penguasa kepada rakyatnya diawali dengan dosa-dosa mereka sendiri. Beliau bersabda:

وَلَمْ يَنْقُصُوا الْمِكْيَالَ وَالْمِيزَانَ، إِلَّا أُخِذُوا بِالسِّنِينَ وَشِدَّةِ الْمَؤونَةِ وَجَوْرِ السُّلْطَانِ عَلَيْهِمْ.

Dan mereka tidak mengurangi takaran dan timbangan kecuali disiksa dengan kelaparan dan kesulitan hidup serta kezhaliman penguasa [HR Ibnu Majah no. 4019 dan dishahihkan al-Albani dalam Shahih Sunan Ibnu majah].

Demikianlah efek dosa, tidak dilanggar peringatan Allah di satu kaum kecuali akan tertimpa mala petaka, sehingga mereka terjajah, dirampas rezeki mereka, dilecehkan kehormatan dan hilang kebebesan mereka. Kemungkaran menimpa mereka sesuai kadar kejelekan yang mereka perbuat dan hilang dari mereka kebahagian sesuai dengan yang mereka hilangkan dari ketaatan.

Ketika ini semua adalah sebab utama, maka Allâh Subhanahu wa Ta’ala menjadikan perbaikan individu sebagai cara satu-satunya dalam perbaikan penguasa dan rakyat, Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ

Sesungguhnya Allâh Subhanahu wa Ta’ala tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. [Ar-Ra’d/13:11]

Oleh karena itu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak lebih dalam Khutbah beliau dari berlindung dari keburukan jiwa , beliau berkata:

وَنَعُوذُ بهِ مِنْ شُرُورِ أنْفُسِنَا، وَمِنْ سَيئاتِ أعْمَالِنَا

Dan kami berlindung kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dari keburukan jiwa dan kejelakan amalan kami. (HR ash-Habus sunan dan dishahihkan al-Albani ).

Mengapa banyak para dai yang berpaling dari ketaatan kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan mengikuti Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam masalah ini?

Yang mendorong saya untuk menyampaikan tulisan ini adalah rasa sayang kepada usaha besar yang telah dikeluarkan dalam dakwah islam yang habis tanpa faedah yang dapat dikenang, lebih-lebih lagi usaha-usaha ini mencakup medan luas dari medan-medan dakwah yang menyita banyak waktu praktisinya. Seandainya mereka mengambil petunjuk al-Qur`an dan Sunnah dan meneliti sirah para Nabi dengan niyat ittiba’ pastilah sampai dengan izin Allah pada tujuan dengan waktu yang singkat. Namun yang menyimpang dari hal ini dari dua kelompok yang telah diisyaratkan diatas dikhawatirkan tidak mendapatkan bagian dari amalannya ini kecuali seperti yang disampaikan Allâh Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya:

عَامِلَةٌ نَاصِبَةٌ

Bekerja keras lagi kepayahan. [Al-Ghâsyiyah/88:3]

Inilah keadaan orang-orang yang berlebihan dalam praktek politik dan revolusi berdarah.

Oleh Syaikh Abdul Malik Ramadhani

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XIX/1436H/2015.]
_______
Footnote
[1] Syaikh Abdul Mâlik Ramadhâni (diambil dari makalah beliau yang berjudul Limâdza Lâ yalja’ Ahlus Sunnah Fi Islâhihim Ilâl-Hil as-Siyâsi wal Hil ad-Damawi? dalam majalah al-Ishlâh edisi 5, Romadhân/syawal 1428 hlm 36-40

Negara Darurat Moral

Abu Fathan | 18:03 | 0 comments
BILA BANGSA TAK BERMORAL

Puncak keberhasilan seorang Muslim dalam beragama tercemin dalam budi pekerti yang agung, moral yang luhur, dan akhlak yang mulia. Prestasi sebuah negara juga akan meningkat bersama meningkatnya moralitas bangsanya. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berprestasi sempurna memberi keteladanan kepada umatnya dengan akhlaknya Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia dan budi pekertinya yang agung dalam beragama. Allâh Azza wa Jalla memberikan pujian kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ

Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung. [Al-Qalam/68:4]

Sebagai umat yang mengaku mencintai Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka seyogyanya kita mengikuti apa yang Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam contohkan kepada kita, baik dalam beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla maupun dalam berakhlak dan bermuamalah dengan sesama makhluk. Tidak seperti kondisi umat manusia saat ini yang sungguh sangat memprihatinkan. Budi pekerti tidak lagi diperhatikan, moral tidak lagi terpelihara dan akhlak mulia tidak menjadi ukuran sehingga eksistensi kehidupan merosot kepada titik yang paling nadir. Akibatnya budaya kekerasan, kedzaliman, kecurangan, penindasan dan berbagai prilaku buruk lainnya melanda masyarakat di dunia ini. Tegur sapa, sopan santun, simpati dan empati sulit ditemukan. Yang ada, memanfaatkan kesempitan, kesusahaan dan kesulitan orang lain menjadi kesempatan emas bagi sebagian orang untuk meraup keuntungan duniawi. Sehingga benar apa yang dinyatakan oleh Ahmad Syauqi:

إِنَّمَا الأُمَمُ الأَخْلاَقُ مَا بَقِيَتْ فَإِنْ هُمْ ذَهَبَتْ أَخْلاَقُهُمْ ذَهَبُوْا

Sesungguhnya eksistensi umat-umat itu sangat bergantung pada akhlaknya

Apabila akhlak mereka pudar maka punahlah eksistensinya.

Alasannya, akhlak adalah cermin keimanan, pondasi peradaban, pilar tegaknya tatanan masyarakat yang maju, instrumen pergaulan dan modal utama untuk menciptakan keadilan, kedamaian dan keamanan. Lebih dari itu akhlak sebagai landasan komunikasi sosial dan politik yang melahirkan suasana batin yang harmonis, hubungan yang humanis, interaksi yang toleran dan fleksibel. Bahkan Akhlak memiliki peran penting dalam mewujudkan revolusi mental yang damai dan konstruktif serta sebagai mercusuar bangsa untuk mendapat pengakuan dan pujian tulus dari komunitas internasional sehingga hikmah utama diutusnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ (مَكَارِمَ) الْأَخْلَاقِ

Saya diutus dalam rangka menyempurnakan kesalihan (kemuliaan)[1] akhlak.[2]

Perhatikanlah wasiat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Abu Dzar Radhiyallahu anhu :

‏ ‏يَا أَبَا ذَرٍّ لَا عَقْلَ كَالتَدْبِيْرِ وَلَا وَرَعَ كَالكَفِّ وَلَا حَسَبَ كَحُسْنِ الخُلُقِ‏‏‏

Wahai Abu Dzar tiada kecerdikan dibanding pengaturan, tiada sikap wara` dibanding menjaga diri dan tiada kedudukan paling tinggi dibanding akhlak mulia[3]

Bukankah nama umat dan bangsa terdahulu harum namanya sehingga tetap dikenang oleh sejarah karena akhlak mereka yang luhur? Imam Ibnu Khaldun rahimahullah menuturkan tentang faidah belajar sejarah bahwa sesungguhnya sejarah merupakan mazhab keilmuan yang bergengsi dan faidahnya sangat banyak. Dengan mengenang sejarah kita mampu mengenali akhlak umat-umat terdahulu, jejak hidup para Nabi, dan bentuk pemerintahan dan tata politik raja-raja, dengan tujuan agar kita bisa mengikuti perikehidupan dan mengambil faidah dari mereka untuk kepentingan dunia dan agama.[4]

NEGERI DARURAT MORAL

Krisis moral menerpa Negeri kita tercinta. Kondisi anak negeri bejat moralnya, rusak akhlaknya dan hilang tata kramanya. Pergaulan bebas sudah menjadi tradisi, pacaran menjadi budaya bahkan bila tidak pacaran dianggap tidak normal dan membuat sebagian orang tua sedih anaknya tidak mempunyai pacar. Padahal pacaran sering menimbulkan kejahatan seperti mencuri, memperkosa, membunuh, aborsi dan kejahatan lainnya. Perzinaan tidak dianggap dosa besar, bahkan dianggap biasa bukan dosa. Narkoba tidak lagi dianggap barang haram. Kedurhakaan merajalela, ada anak tega membunuh orang tuanya dan orang tua tega membunuh anaknya. Kekacauan dan kekerasan terjadi dimana-mana sehingga kondisi mereka bagaikan sampah yang tidak berharga dan bernilai di mata bangsa lain, sebagaimana yang digambarkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah hadits:

يُوشِكُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمْ الْأُمَمُ كَمَا تَدَاعَى الْأَكَلَةُ إِلَى قَصْعَتِهَا فَقَالَ قَائِلٌ أو مِنْ قِلَّةٍ نَحْنُ يَوْمَئِذٍ؟ قَالَ بَلْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ كَثِيرٌ وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَّيْلِ وَلَيَنْزَعَنَّ اللّٰهُ مِنْ صُدُورِ عَدُوِّكُمْ الْمَهَابَةَ مِنْكُمْ وَلَيَقْذِفَنَّاللّٰهُ فِي قُلُوبِكُمْ الْوَهْنَ قالوا يَا رَسُولَ اللّٰهِ وَمَا الْوَهْنُ؟ قَالَ حُبُّ الدُّنْيَا وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ

Hampir-hampir umat lain bersatu memperebutkan kalian seperti orang berebut hidangan dari piring. Mereka bertanya, “Wahai Rasûlullâh apakah lantaran jumlah kita sedikit? Nabi menjawab, “Bah-kan kalian ketika itu banyak, tetapi keadaan kamu laksana buih se-perti buih banjir, dan Allâh akan menarik dari hati musuh kalian perasaan takut kepada kalian, lalu Allâh akan menimpakan kepada kalian penyakit Wahn. Mereka bertanya: Wahai Rasûlullâh apakah wahn itu. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Cinta dunia dan benci mati.“[5]

Kezhaliman dari skala terkecil hingga skala terbesar baik dilakukan oleh rakyat atau penguasa menjadi tontonan sehari-hari. Berbohong, menipu, dan berbuat curang sudah tidak asing lagi. Pembegalan dan perampokan menjadi menu berita harian di media massa, baik elektronik maupun cetak. Seolah tidak ada tempat lagi di Negeri ini kecuali sudah penuh dengan berbagai kejahatan. Dalam bersosial, berpolitik dan berbisnispun tidak lepas dari manipulasi, berbohong, menipu dan curang sehingga mereka rame-rame membalas kebaikan Allâh dengan kufur nikmat bahkan kufur syari’at. Padahal Allâh Azza wa Jalla sudah mengingatkan dalam firman-Nya:

وَضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا قَرْيَةً كَانَتْ آمِنَةً مُطْمَئِنَّةً يَأْتِيهَا رِزْقُهَا رَغَدًا مِنْ كُلِّ مَكَانٍ فَكَفَرَتْ بِأَنْعُمِ اللَّهِ فَأَذَاقَهَا اللَّهُ لِبَاسَ الْجُوعِ وَالْخَوْفِ بِمَا كَانُوا يَصْنَعُونَ

Dan Allâh telah membuat suatu perumpamaan (dengan)sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezekinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tem-pat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allâh; karena itu Allâh merasakan kepada mereka pakai-an kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat.” [An-Nahl/16:112]

Lebih mengenaskan lagi kondisi kaum wanita yang terjebak pada lingkaran setan, menjadi sarana perusak dan pemuas budak nafsu bejat, untuk menghinakan atau merendahkan derajat orang-orang yang lemah iman. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَاللَّهُ يُرِيدُ أَنْ يَتُوبَ عَلَيْكُمْ وَيُرِيدُ الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الشَّهَوَاتِ أَنْ تَمِيلُوا مَيْلًا عَظِيمًا

Dan Allâh hendak menerima taubatmu sedang orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya bermaksud supaya kamu berpaling sejauh-jauhnya (dari kebenarannya).[An-Nisâ’/4:27].

Mereka berusaha memancing kaum wanita agar keluar rumahnya untuk bekerja dalam satu kantor, pabrik, atau wilayah bersama kaum laki-laki. Diantara mereka ada yang menjadi perawat untuk mendampingi dokter laki-laki, pramugari di pesawat terbang, pengajar di sekolah yang ikhtilath, pemain sinetron atau film, penyanyi, penari, penyiar radio atau presenter siaran televisi dengan penampilan yang mengundang fitnah. Dengan demikian, mereka menjadi sumber fitnah bagi kaum laki-laki sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

مَا تَرَكْتُ بَعْدِيْ فِتْنَةً أَضَرُّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ

Aku tidak meninggalkan sesudahku, suatu fitnah yang lebihberbahaya bagi pria daripada wanita.[6]

Tidak sedikit wanita yang bekerja sebagai budak pemuas hawa nafsu laki-laki. Mereka dipajang di cover-cover majalah dengan tampilan sensual yang memikat. Mereka di iming-iming imbalan uang yang melimpah, fasilitas materi berupa kendaraan atau rumah tinggal yang menggiurkan, sehingga kaum wanita pun banyak yang langsung tergoda dan dengan sekejap terbawa arus fitnah yang menyesatkan. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ وَإِنَّ اللّٰهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيْهَا فَنَاظِرٌ كَيْفَ تَعْمَلُوْنَ فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِيْ إِسْرَائِيْلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ

Sesungguhnya dunia itu manis lagi elok (namun menipu) dan sesungguhnya Allâh menjadikan kalian sebagai khalifah di dalamnya, maka Dia melihat apa yang kalian per-buat, berhati-hatilah terhadap dunia dan berhati-hatilah terhadap wanita karena fitnah pertama kali yang menimpa bani Israil adalah dari kaum wanita.[7]

Akhirnya banyak wanita yang tidak betah tinggal di rumah dan memilih menjadi wanita karier. Mereka begitu bangga saat berangkat ke kantor dengan gaya seksi dan memfitnah. Mereka sangat tersanjung saat ada orang yang memujinya sebagai eksekutif muda, wanita modis, artis berbakat, foto model beken, miss world, ratu catwalk, atau selebriti. Pada akhirnya, suami istri terpaksa menyerahkan urusan rumah dan pendidikan anaknya kepada para pembantu sehingga memicu timbulnya berbagai fitnah dan kejahatan di dalam rumah tangga.

Banyak kita saksikan pemandangan aneh berupa maksiat, tabarruj, pamer aurat dan ikhtilath. Hal ini merupakan pelecehan terhadap syari’at Islam karena syariat melarang hal itu sebagaimana firman Allâh:

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَىٰ

”Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu.”[Al-Ahzâb/33:33]

Setiap hamba Allâh terutama Muslimah seharusnya memiliki semangat untuk mengamalkan Islam, memelihara kehormatan dan kesucian serta tidak ikut-ikutan meniru budaya yang mendatangkan murka Allâh dan Rasul-Nya.

KERUSAKAN MORAL TANGGUNG JAWAB SIAPA?

Berbagai kerusakan moral di atas bila dibiarkan akan menghancurkan stabilitas negara dan meruntuhkan sendi-sendi kehidupan. Semua terjadi karena pondasi keimanan lemah dan akhlak yang sangat buruk, serta laju sosial media yang tidak terbendung. Bila suatu negeri kembali kepada Allâh Azza wa Jalla dengan bertakwa dan berakhlak mulia, Allâh Azza wa Jalla akan menurunkan keberkahan baik dari langit dan bumi sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ

Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. [Al-A’râf/7:96]

Orang yang bertakwa pasti berakhlak mulia karena takwa merupakan puncak karier seorang hamba dalam beragama. Bahkan kedekatan seorang hamba dengan Allâh Azza wa Jalla sangat ditentukan oleh keimanan dan ketakwaannya sehingga dia menjadi wali Allâh. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ ﴿٦٢﴾ الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ

Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allâh itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan me-reka selalu bertakwa. [Yûnus/10: 62-63]

Keimanan yang lemah akan mengakibatkan kerusakan moral dan akhlak, menjadikan kehidupan tidak beraturan, memperturutkan hawa nafsu, dan mengekor pada kemauan syubhat dan syahwat sehingga terjadi dekadensi moral. Hukum Allâh tidak lagi dijadikan pedoman hidup. Akibatnya, pola hidupnya liar dan bebas tanpa mengenal batas, interaksi sosial dan politik tidak mengenal etika dan berperilaku tidak mengenal rasa malu bahkan lebih parah dari binatang sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :

وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ ۖ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا ۚ أُولَٰئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ

Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahanam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allâh) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allâh), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allâh). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. [Al-A’râf/7:179]

Pergaulan laki dan perempuan bebas sebebasnya, makan harta haram sudah biasa, yang kuat menindas yang lemah, uang bertahta, pangkat dan jabatan berkuasa dan tatanan kehidupan benar-benar memilukan. Kejahatan merajalela, kenakalan remaja meruyak, pembunuhan mudah terjadi, pemerkosaan dianggap sepele, pencurian gampang dilakukan, penganiayaan pemandangan lumrah, korupsi menjadi konsekuensi jabatan, narkoba dianggap bagian kehidupan tak mungkin terpisahkan dan kejahatan lainnya sering kita saksikan dimana-mana bahkan dirumah sendiri.

Siapakah yang bertanggung jawab dalam hal ini?!

Pemerintah, dan rakyat bahkan semua pihak harus bertanggung jawab. Dengan mengembalikan tatanan kehidupan sesuai dengan aturan syariat. Bila syariat tegak dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara maka suasana kehidupan akan tertata rapi, kejahatan akan bisa diredam, hak-hak kehidupan berjalan normal dan stabilitas negara akan kokoh sebagaimana janji Allâh Azza wa Jalla :

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَىٰ لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا ۚ يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا ۚ وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

Dan Allâh telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa, mereka tetap menyembah-Ku dengan tidak mempersekutukan sesuatu apapun dengan aku. dan Barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang fasik. [An-Nûr/24:55].

Janji kemapanan dan kemakmuran merata di muka bumi, rasa takut akan hilang diganti dengan rasa aman sebagai bentuk isyarat agar bersiap-siap untuk mewujudkan sebab-sebabnya yang disertai dengan jaminan taufiq dan sukses asalkan mereka mampu mengambil darinya dan pokoknya adalah mentaati Allâh dan Rasul-Nya.[8]

MENANGGULANGI BENCANA MORAL

Bagaimana menanggulangi bencana moral? Tidak ada cara lain kecuali umat Islam secara keseluruhan, mulai dari pimpinan hingga rakyatnya harus kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah menurut pemahaman Salaful Umah. Beraqidah, beribadah, berakhlak dan bermuamalah secara benar dan ikhlas hanya karena Allâh Azza wa Jalla . Kehidupan yang adil, damai, aman dan tertata rapi bisa diraih dengan akhlak yang mulia. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan,

حُسْنُ الْخُلُقِ نَمَاءٌ وَسُوءُ الْخُلُقِ شُؤْمٌ وَالْبِرُّ زِيَادَةٌ فِى الْعُمُرِ وَالصَّدَقَةُ تَمْنَعُ مِيتَةَ السَّوْءِ

Akhlak mulia adalah kebahagiaan, akhlak yang tercela adalah kesengsaraan, amal kebaikan adalah penambah umur, dan sedekah menghalangi seseorang dari mati da-lam keadaan jelek.[9]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus untuk memperbaiki dan menyempurnakan akhlak, dengan berbagai macam ibadah yang diperintahkan Allâh Azza wa Jalla . Hasil utamanya adalah untuk perbaikan perilaku dan pembentukkan akhlak dalam makna luas. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلَاةَ ۖ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ ۗ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ

Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu al-Kitab (al-Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allâh (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain), dan Allâh mengetahui apa yang kamu kerjakan. [Al-Ankabût/29:45]

Ayat tersebut secara jelas menyatakan, bahwa muara dari ibadah shalat adalah terbentuknya pribadi yang terbebas dari sikap keji dan munkar, yang pada hakikatnya adalah membentuk manusia berakhlak mulia. Jika kita telusuri lebih mendalam, proses shalat selalu dimulai dengan berbagai persyaratan tertentu, seperti bersih badan, pakaian dan tempat, dengan cara mandi dan wudhu. Dengan ini, shalat diharapkan membentuk sikap selalu bersih, patuh, tata peraturan, dan melatih seseorang untuk tepat waktu.

Akhlak yang mulia dan budi pekerti yang luhur juga dapat menentukan kesempurnaan iman seseorang sebagaimana sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

أَكْمَلُ الْـمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا

Kaum Mukminin yang paling sempurna imannya adalah mereka yang paling baik akhlaknya[10]

Hadits tersebut secara nyata mengandung arti bahwa akhlak mulia pertanda kesempurnaan iman seseorang. Selama ini mungkin sebagian orang menganggap perbuatan jahatnya kepada orang lain atau tetangga sebagai hal biasa yang tidak berpengaruh pada eksistensi keimanan. Padahal, faktanya akhlak buruk sangat besar pengaruhnya terhadap keimanan. Bahkan manusia paling jelek di sisi Allâh Azza wa Jalla pada hari kiamat adalah manusia yang berakhlak jelek. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ شَرَّ النَّاسِ عِنْدَ اللَّهِ مَنْزِلَةً يَوْمَ القِيَامَةِ مَنْ تَرَكَهُ النَّاسُ اتِّقَاءَ شَرِّهِ

Sesungguhnya manusia paling jelek disisi Allâh pada hari kiamat adalah seseorang yang ditinggalkan orang lain, karena menghindari kejelekannya[11]

Sebaliknya orang yang berakhlak mulia memiliki kedudukan tinggi dan mulia di sisi Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari kiamat, sebagaimana sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

إِنَّ مِنْ أَحَبِّكُمْ إِلَىَّ وَأَقْرَبِكُمْ مِنِّى مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَحَاسِنَكُمْ أَخْلَاقًاوَإِنَّ أَبْغَضَكُمْ إِلَىَّ وَأَبْعَدَكُمْ مِنِّى مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الثَّرْثَارُونَ وَالْمُتَشَدِّقُوْنَ وَالْمُتَفَيْهِقُونَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللّٰهِ قَدْ عَلِمْنَا الثَّرْثَارُوْنَ وَالْمُتَشَدِّقُوْنَ فَمَا الْمُتَفَيْهِقُونَ قَالَ: الْمُتَكَبِّرُوْنَ

Sesungguhnya orang yang paling aku cintai dan paling dekat denganku pada hari kiamat adalah orang yang terbaik akhlak-nya di antara kalian, dan sesungguhnya orang yang paling aku benci dan paling jauh denganku kelak pada hari kiamat adalah ats-tsartsarun (orang yang suka mengkritik), dan al-muta-syaddiqun (orang yang berbicara sembrono) dan al-mutafai-qihun.”Para sahabat bertanya,”Wahai Rasûlullâh! Kami telah mengetahui orang yang banyak bicara dan orang yang banyak ngomong dengan sembrono, namun apa yang dimaksud dengan al-mutafaihiquun?” Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Mereka adalah orang-orang yang sombong.”[12]

Cerminan pribadi seseorang juga sering digambarkan melalui tingkah laku atau akhlak yang ditunjukkan. Akhlak adalah perhiasan bagi seseorang. Oleh karena itu, orang yang berakhlak jika dibandingkan dengan orang yang tidak berakhlak, tentu orang berakhlak yang lebih disenangi orang. Karena secara naluri, orang suka sesuatu yang berhias.

Orang yang berakhlak mulia akan mendapatkan jaminan surga. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan dalam sabdanya:

أَنَا زَعِيْمُ بِبَيْتٍ فِيْ رَبَضِ الجَنَّةِ لمِنَ تَرَكَ المِرَاءِ وَإِنْ كَانَ مُحِقَّاوَبِبَيْتٍ فِيْ وَسَطِ الجَنَّةِ لمِنَ تَرَكَ الكَذِبَ وَإِنْ كَانَ مَازِحًا وَبِبَيْتٍفِيْ أَعْلَى الجَنَّةِ لِمَنْ حَسُنَ خُلُقُهُ

Aku menjamin sebuah rumah di taman surga bagi orang yang meninggalkan debat meskipun dia benar, dan aku menjamin rumah di tengah surga bagi orang yang mening-galkan dusta meskipun hanya senda gurau. Dan aku men-jamin rumah di bagian tertinggi surga bagi orang yang baik akhlaknya.”[13]

Dengan demikian, untuk menanggulangi bencana moral yang menimpa bangsa secara kolektif adalah dengan menegakkan pilar-pilar akhlak Islam yang mulia secara komperhensif. Camkanlah sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini:

اتَّقِ اللّٰهَ حَيْثُ مَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَيِّئّةِ الحَسَنَةِ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ

“Bertakwalah anda kepada Allâh dimana saja anda berada. Iringilah keburukan dengan kebaikan, niscaya kebaikan itu akan menghapusnya. Dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik.[14]

Dari hadits di atas, seorang Muslim dituntut untuk mewujudkan tiga pilar akhlak yang menjadi syarat sempurnanya keislaman seseorang yang antara lain:

Pertama: Akhlak kepada Allâh Azza Wa Jalla

Akhlak seorang hamba kepada Allâh Azza wa Jalla dengan mewujudkan ketakwaan. Sikap takwa pasti akan melahirkan perilaku positif di tengah masyarakat. Oleh karena itu ciri orang yang bertakwa adalah senantiasa menjunjung tinggi akhlak mulia yang tertuang dalam firman Allâh Azza wa Jalla :

وَسَارِعُوا إِلَىٰ مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ ﴿١٣٣﴾ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ ۗ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allâh menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” [Ali Imrân/3: 133-134]

Kedua: Akhlak seseorang terhadap diri sendiri.

Seseorang juga dituntut berakhlak mulia kepada diri sendiri dengan terus menerus melakukan perbaikan, instropeksi diri dan bertaubat kepada Allâh Azza wa Jalla . Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَىٰ مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ

Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allâh, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allâh? dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.[Ali Imrân/3: 135]

Ketiga: Akhlak terhadap sesama

Akhlak seorang hamba terhadap sesama manusia dengan menjunjung tinggi etika pergaulan dan akhlak mulia yang diajarkan oleh Islam. Sehingga dalam kehidupan satu dengan yang lainnya kita akan dipandang oleh orang-orang sekitar kita sebagai pribadi yang sopan, santun dan ramah serta bertata krama.

Diantara akhlak seorang hamba kepada sesama manusia yang sangat dianjurkan:
Akhlak terhadap Kedua orang tua

Ibu dan bapak adalah kedua orang tua yang sangat besar jasanya dan yang paling bertanggung jawab terhadap anaknya. Jasa mereka tidak dapat dihitung dan dibandingkan dengan harta, kecuali seorang anak mampu memerdekakan keduanya yang menjadi budak sebagai manusia yang mempunyai hak kemanusiaan penuh. Karena menjadi budak atau hamba sahaya sesuatu keadaan yang tidak diinginkan.

Seorang bapak bekerja mencari nafkah untuk menghidupi istri dan anaknya, sedangkan seorang ibu melahirkan dengan bertaruh nyawanya kemudian menyusui anaknya dengan penuh pengorbanan. Apakah perbuatan demikian perbuatan yang mudah? Tidak, perbuatan demikian adalah hal yang sangat sulit. Sebagai seorang anak sudah semestinya untuk berbakti dan menghormati keduanya.

Diantara bentuk akhlak mulia seorang anak kepada orang tua adalah:
Berbuat baik kepada ibu dan bapak, walaupun keduanya zhalim, kafir atau musyrik.
Memuliakan dan berkata lemah lembut kepada keduanya.
Berbuat baik kepada ibu dan bapaknya yang sudah meninggal dunia dengan (mendoakannya) serta menyambung silaturahim dengan para sahabat orang tuanya.
Akhlak terhadap tetangga

Dalam Islam tetangga memiliki hak kedamaian dan perlindungan yang sangat besar, sehingga mereka merupakan pihak yang paling berhak mendapat kebaikan dan perhatian kita melalui beberapa hal berikut ini:
Berbuat baik kepada tetangga kita.
Saling menolong dengan mereka
Tidak menjelek-jelekkan tetangga.
Menjaga hubungan baik dengan mereka.

Karena pentingnya menjaga hubungan baik dengan tetangga, sampai-sampai Rasulullah n sempat menduga akan ada waris-mewarisi antar tetangga. Dugaan ini muncul, karena malaikat Jibril sering datang memberi nasehat agar selalu menjaga hubungan baik dengan tetangga.
Akhlak pergaulan laki-laki dan perempuan

Islam mengatur etika pergaulan antara laki-laki dan perempuan dengan aturan dan batasan yang ditetapkan oleh syariat. Misalnya, seorang perempuan dan seorang laki-laki yang bukan mahramnya tidak boleh berkhalwat (berdua-duaan), berikhtilath, saling berjabat tangan atau berbicara mesra atau bepergian bersama. Jika ini dilaksanakan perzinaan, perselingkuhan dan pemerkosaan mampu diminimalisir.
Akhlak terhadap lingkungan atau alam sekitar

Manusia hidup tidak mungkin terlepas dari lingkungan. Lingkungan perlu dijaga dan diperhatikan. Pengertian lingkungan hidup adalah keadaan sekeliling kehidupan manusia di muka bumi, seperti udara untuk bernafas, sungai untuk keperluan minum, mandi, mencuci dan lain sebagainya. Hutan untuk perlindungan alam dan kayu-kayunya bermanfaat untuk keperluan hidup manusia. Oleh sebab itu, orang yang beriman dianjurkan mempunyai akhlak terhadap lingkungan dengan memperlakukan lingkungan hidup secara baik dan wajar, diantaranya:
Melestarikan lingkungan.
Menjaga lingkungan dari pencemaran.
Memanfaatkan sumberdaya untuk kesejahteraan bersama.

MENAJAMKAN PENDIDIKAN MORAL

Mendidik generasi bangsa di tengah kerusakan akhlak, kebobrokan moral dan maksiat yang merajalela, syahwat diperturutkan tanpa kendali, kebaikan diabaikan, ajaran agama dicampakkan, kedurhakaan menjamur, pergaulan bebas tanpa batas, shalat dan ibadah disia-siakan dan hamil di luar nikah tidak dianggap aib, membutuhkan kerja keras, keuletan dan kesabaran.

Akan tetapi banyak orang tua atau pendidik yang tidak mau sadar dan tidak bersikap tegas dalam pendidikan, bahkan sebagian orangtua takut kepada anaknya dan tidak berdaya ketika melihat anaknya sedang berbuat dosa di depan mata, berani melawan orang tua, bertindak anarkis atau bersikap tidak sopan dengan orang yang lebih tua, sehingga muncullah generasi yang disebut Allâh dalam firman-Nya,

فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ ۖ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا

Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, Maka mereka kelak akan menemui kesesatan.” [Maryam/19:59].

Usaha untuk membentengi dan mengarahkan anak agar tidak menjadi anak durhaka dan tak bermoral, dimulai sejak usia dini dengan memberikan stimulus pendidikan sesuai dengan tahap perkembangan anak, yang dimulai dengan perbaikan akidah dan moral orang tua. Mendidik anak di atas akidah yang benar, ibadah yang sahih, akhlak yang mulia dan menguasai metode pendidikan akan membuahkan hasil yang luar biasa. Hasil pendidikkan akan mempengaruhi masa depan umat yang siap dipetik buahnya di dunia dan akhirat, Allâh Azza wa Jalla berfirman:

جَنَّاتُ عَدْنٍ يَدْخُلُونَهَا وَمَنْ صَلَحَ مِنْ آبَائِهِمْ وَأَزْوَاجِهِمْ وَذُرِّيَّاتِهِمْ

(Yaitu) syurga ‘Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang saleh dari bapak-bapaknya, istri-istrinya dan anak cucunya. [Ar-Ra’d/13:23

Hambatan dan rintangan dalam mendidik anak akan selalu datang silih berganti namun sebagai orang tua tidak boleh putus asa dan tidak boleh menyerah. Orang tua harus sabar, ikhlas, selalu mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla dan berdoa memohon pertolongan-Nya agar dimudahkan dalam mendidik anak-anaknya dan dijadikan anaknya menjadi anak saleh.

Tanggung jawab pendidikan anak bukan hanya menjadi beban sekolah namun perubahan prilaku anak sangat dipengaruhi oleh tiga lingkungan:
Lingkungan Keluarga

Lingkungan keluarga menjadi faktor pertama dan utama bagi pertumbuhan prilaku dan kecerdasan anak. Karena anak paling sering menghabiskan waktu bersama keluarganya. Dari keluarganyalah seorang anak mendapatkan pengasuhan dan pendidikan dan karena pengaruh kedua orang tua, anak menjadi baik atau buruk. Abu Hurairah z berkata bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا مِنْ مَوْلُوْدٍ إِلَّا يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ وَيُنَّصِرَانِهِ وَيُمَجِّسَانِهِ كَمَا تَنْتُجُ البَهِيْمَةُ بَهِيْمَةَ جَمْعَاءَ. هَلْ تُحِسُّوْنَ فِيْهَا مِنْ جَدْعَاءَ؟ ثُمَّ يَقُوْلُ أَبُوْ هُرَيْرَةَ: وَاقْرَؤُا إِنْ شِئْتُمْ: فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ

Tidaklah seorang bayi yang dilahirkan melainkan dalam keadaan fitrah (bertauhid). Maka kedua ibu-bapaknyalah yang men-jadikan Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Bagaikan onta yang lahir sehat, apakah kamu menemuinya cacat.

Kemudian Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berkata, ‘Dan bacalah firman Allâh Azza wa Jalla jika kamu mau, (yang artinya” (Tetaplah atas) fitrah Allâh yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allâh’.“[Ar-Rûm/30:30][15]
Lingkungan Sekolah

Untuk mengembangkan bakat dan karakter anak, tidak cukup hanya dengan belajar di rumah saja, anak membutuhkan sekolah untuk bersosialisasi dengan teman. Banyak sekali manfaat yang diambil dari bersosialisasi dengan teman-teman di sekolah. Diantaranya, anak bisa belajar menghargai, menghormati dan bekerjasama dengan teman-temannya. Oleh sebab itu, orang tua berkewajiban mencarikan sekolah yang terbaik untuk anak-anaknya. Terbaik di sini bukan terbaik karena standar internasionalnya, terbaik karena prestasi akademiknya, tetapi terbaik dalam menanamkan nilai-nilai Islam sesuai dengan manhaj para Salafush shaleh. Karena dengan belajar di sekolah yang berkarakter Islam yang benar maka anak akan mendapatkan guru dan teman-teman yang shaleh yang bisa mengontrol prilaku dan sikapnya
Lingkungan Masyarakat

Selain lingkungan keluarga dan lingkungan sekolah, anakpun akan menghadapi lingkungan sosial masyarakat. Lingkungan sosial masyarakat lebih luas cakupannya dibanding lingkungan keluarga maupun lingkungan sekolah. Lingkungan masyarakat lebih majemuk sehingga membutuhkan kejelian orang tua. Karena selain kebutuhan anak bersosialisasi dengan masyarakat, orang tua juga harus waspada terhadap pengaruh buruknya. Bila lingkungan masyarakat bagus, maka itu akan berpengaruh bagus terhadap pendidikan anak, namun sebaliknya, bila lingkungan masyarakat buruk maka akan berpengaruh buruk juga terhadap pendidikan dan jiwa anak.

Seluruh elemen masyarakat harus bertanggung jawab terhadap proses pendidikan generasi umat dan anak bangsa sebagaimana sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ الأَمِيْرُ رَاعٍ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

Setiap kalian adalah pemimpin dan akan diminta pertanggung jawaban atas kepemimpinannya dan imam adalan pemimpin, dan orang laki-laki adalah pemimpin bagi keluarganya, dan wanita adalah penanggung jawab atas rumah suami dan anaknya. Dan setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan diminta per-tanggungjawaban atas kepemimpinannya. [16]

Tidak mungkin masalah pendidikan yang begitu komplek dan ruwet hanya menjadi beban segelintir aktivis Islam atau sebagian komponen bangsa saja. Tugas berat ini menjadi tanggungjawab seluruh umat Islam secara kolektif, baik para pejabat negara, mulai dari tingkat RT hingga Presiden, tokoh masyarkat dan agama, Ulama, da’i, pakar politik, budaya, ekonomi dan cendikiawan, ormas, yayasan Islam, aktifis dakwah, lembaga pendidikan, LSM dan seluruh kantong kekuatan Islam.

Hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, kita memohon pertolongan dan taufiq-Nya dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab yang berat ini.

Oleh Ustadz Zainal Abidin bin Syamsuddin Lc

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02-03/Tahun XIX/1436H/2015.]
_______
Footnote
[1] Shahih: Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam Sunanul Kubra, 10/192

[2] Shahih: Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam Sunanul Kubra, 10/192; Imam Ahmad dalam Musnadnya, no. 8932; Imam al-Hakim memandang hadits ini shahih dan disetujui adz-Dzahabi dan Lihat Shahîh al-Jâmi’, no. 2349.

[3] Shahih:Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya, no.11713 dari Abu Said al-Khudri z ; Imam ath-Thabrani, no. 1651; Imam Ibnu Hibban dalam Shahîhnya, no. 362; Imam al-Haitsami dalam Majma’ Zawaidnya, no. 7113.

[4]. Lihat Muqadimah Ibnu Khaldun, hlm. 21

[5] Shahih: Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya, no. 22296 dan Imam Abu Dawud dalam Sunannya, no. 4297.

[6] Shahih: Diriwayatkan Imam al-Bukhâri dalam Shahîhnya, no. 5096; Imam Muslim dalam Shahîhnya, no. 6880 dan Imam Tirmidzi dalam Sunannya, no.2780.

[7] Shahih: Diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahîhnya, no. 2742; Imam al-Baihaqi dalam Sunannya, 3/369; dan Imam Abu Ya’la dalam Musnad-nya, no. 1096

[8] Lihat Tafsîr at-Tahrîr wat Tanwîr, Ibnu Asyur, 8/282.

[9] Shahih:Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnadnya, no. 16024, dan perawinya tsiqah.

[10] Shahih dikeluarkan Imam al-Hâkim dalam Mustadraknya (221) dan Ibnu Hibbân dalam Shahîhnya (4176) dari Abu Hurairah z . Dan Syaikh al-Albani menilai hadits ini sebagai hadits shahih dalam Shahîh Jâmi ash-Shaghîr , no. 3316 dan Silsilah al-Ahâdîts Shahîhah, 285

[11] Shahih diriwayatkan Imam al-Bukhâri dalam Shahîhnya, no. 6032 dan Imam Hibban dalam Shahîhnya, no. 4538

[12] Shahih: Diriwayatkan oleh oleh at-Tirmidzi dalam Sunannya, no. 2018; Kitab Bab Berkaitan Tentang Kebajikan, no. 70, kemudian berkata, “Hadits ini hadits hasan.”

[13] Shahih: Diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi dalam Sunannya, no. 1993; Imam Abu Dawud dalam Sunannya, no. 4800 dan Imam al-Mundziri dalam at-Targhîb wa at-Tarhîb, no. 4437 dan Imam Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, no. 8017.

[14] Hasan: Diriwayatakan Imam Ahmad dalam Musnadnya 21251, 21297, 21428 dan 21958; Imam at-Tirmidzi dalam Shahihnya, no. 1987 dan Imam al-Hakim dalam Mustadraknya, no. 178 serta Imam ath-Thabrani dalam al-Mu’-jam al-Kabir, no. 295, 296 dan 297.

[15] Shahih: Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya, no 7438, 8164 dan 10192; Imam al-Bukhâri dalam Shahîhnya, no. 1385 dan Imam Muslim dalam Shahîhnya, no. 2658; Imam Abu Dawud dalam Sunannya, no. 4714 dan Imam at-Tirmidzi dalam Sunannya, no. 2138.

[16] Shahih: Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya, no. 5869, Imam al-Bukhâri dalam Shahîhnya, no. 844, 2232, 2368, 4801, Imam Muslim dalam Shahîhnya, no. 1829, Imam Abu Dawud dalam Sunannya, no. 2928, Imam at-Tirmidzi dalam Sunannya, no. 1705, Imam Baihaqi dalam Sunannya, 7/291, Imam Ibnu Hibban dalam Shahîhnya, no. 4472 dan Imam Abu Ya’la dalam Musnadnya, no. 5805.
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. BERITA SUNNAH - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger