{قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ ويَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ، وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ}

Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah (sunnah/petunjuk)ku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS Ali ‘Imran:31)

Showing posts with label Akhlak. Show all posts
Showing posts with label Akhlak. Show all posts

Negara Darurat Moral

Abu Fathan | 18:03 | 0 comments
BILA BANGSA TAK BERMORAL

Puncak keberhasilan seorang Muslim dalam beragama tercemin dalam budi pekerti yang agung, moral yang luhur, dan akhlak yang mulia. Prestasi sebuah negara juga akan meningkat bersama meningkatnya moralitas bangsanya. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berprestasi sempurna memberi keteladanan kepada umatnya dengan akhlaknya Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia dan budi pekertinya yang agung dalam beragama. Allâh Azza wa Jalla memberikan pujian kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ

Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung. [Al-Qalam/68:4]

Sebagai umat yang mengaku mencintai Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka seyogyanya kita mengikuti apa yang Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam contohkan kepada kita, baik dalam beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla maupun dalam berakhlak dan bermuamalah dengan sesama makhluk. Tidak seperti kondisi umat manusia saat ini yang sungguh sangat memprihatinkan. Budi pekerti tidak lagi diperhatikan, moral tidak lagi terpelihara dan akhlak mulia tidak menjadi ukuran sehingga eksistensi kehidupan merosot kepada titik yang paling nadir. Akibatnya budaya kekerasan, kedzaliman, kecurangan, penindasan dan berbagai prilaku buruk lainnya melanda masyarakat di dunia ini. Tegur sapa, sopan santun, simpati dan empati sulit ditemukan. Yang ada, memanfaatkan kesempitan, kesusahaan dan kesulitan orang lain menjadi kesempatan emas bagi sebagian orang untuk meraup keuntungan duniawi. Sehingga benar apa yang dinyatakan oleh Ahmad Syauqi:

إِنَّمَا الأُمَمُ الأَخْلاَقُ مَا بَقِيَتْ فَإِنْ هُمْ ذَهَبَتْ أَخْلاَقُهُمْ ذَهَبُوْا

Sesungguhnya eksistensi umat-umat itu sangat bergantung pada akhlaknya

Apabila akhlak mereka pudar maka punahlah eksistensinya.

Alasannya, akhlak adalah cermin keimanan, pondasi peradaban, pilar tegaknya tatanan masyarakat yang maju, instrumen pergaulan dan modal utama untuk menciptakan keadilan, kedamaian dan keamanan. Lebih dari itu akhlak sebagai landasan komunikasi sosial dan politik yang melahirkan suasana batin yang harmonis, hubungan yang humanis, interaksi yang toleran dan fleksibel. Bahkan Akhlak memiliki peran penting dalam mewujudkan revolusi mental yang damai dan konstruktif serta sebagai mercusuar bangsa untuk mendapat pengakuan dan pujian tulus dari komunitas internasional sehingga hikmah utama diutusnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ (مَكَارِمَ) الْأَخْلَاقِ

Saya diutus dalam rangka menyempurnakan kesalihan (kemuliaan)[1] akhlak.[2]

Perhatikanlah wasiat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Abu Dzar Radhiyallahu anhu :

‏ ‏يَا أَبَا ذَرٍّ لَا عَقْلَ كَالتَدْبِيْرِ وَلَا وَرَعَ كَالكَفِّ وَلَا حَسَبَ كَحُسْنِ الخُلُقِ‏‏‏

Wahai Abu Dzar tiada kecerdikan dibanding pengaturan, tiada sikap wara` dibanding menjaga diri dan tiada kedudukan paling tinggi dibanding akhlak mulia[3]

Bukankah nama umat dan bangsa terdahulu harum namanya sehingga tetap dikenang oleh sejarah karena akhlak mereka yang luhur? Imam Ibnu Khaldun rahimahullah menuturkan tentang faidah belajar sejarah bahwa sesungguhnya sejarah merupakan mazhab keilmuan yang bergengsi dan faidahnya sangat banyak. Dengan mengenang sejarah kita mampu mengenali akhlak umat-umat terdahulu, jejak hidup para Nabi, dan bentuk pemerintahan dan tata politik raja-raja, dengan tujuan agar kita bisa mengikuti perikehidupan dan mengambil faidah dari mereka untuk kepentingan dunia dan agama.[4]

NEGERI DARURAT MORAL

Krisis moral menerpa Negeri kita tercinta. Kondisi anak negeri bejat moralnya, rusak akhlaknya dan hilang tata kramanya. Pergaulan bebas sudah menjadi tradisi, pacaran menjadi budaya bahkan bila tidak pacaran dianggap tidak normal dan membuat sebagian orang tua sedih anaknya tidak mempunyai pacar. Padahal pacaran sering menimbulkan kejahatan seperti mencuri, memperkosa, membunuh, aborsi dan kejahatan lainnya. Perzinaan tidak dianggap dosa besar, bahkan dianggap biasa bukan dosa. Narkoba tidak lagi dianggap barang haram. Kedurhakaan merajalela, ada anak tega membunuh orang tuanya dan orang tua tega membunuh anaknya. Kekacauan dan kekerasan terjadi dimana-mana sehingga kondisi mereka bagaikan sampah yang tidak berharga dan bernilai di mata bangsa lain, sebagaimana yang digambarkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah hadits:

يُوشِكُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمْ الْأُمَمُ كَمَا تَدَاعَى الْأَكَلَةُ إِلَى قَصْعَتِهَا فَقَالَ قَائِلٌ أو مِنْ قِلَّةٍ نَحْنُ يَوْمَئِذٍ؟ قَالَ بَلْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ كَثِيرٌ وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَّيْلِ وَلَيَنْزَعَنَّ اللّٰهُ مِنْ صُدُورِ عَدُوِّكُمْ الْمَهَابَةَ مِنْكُمْ وَلَيَقْذِفَنَّاللّٰهُ فِي قُلُوبِكُمْ الْوَهْنَ قالوا يَا رَسُولَ اللّٰهِ وَمَا الْوَهْنُ؟ قَالَ حُبُّ الدُّنْيَا وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ

Hampir-hampir umat lain bersatu memperebutkan kalian seperti orang berebut hidangan dari piring. Mereka bertanya, “Wahai Rasûlullâh apakah lantaran jumlah kita sedikit? Nabi menjawab, “Bah-kan kalian ketika itu banyak, tetapi keadaan kamu laksana buih se-perti buih banjir, dan Allâh akan menarik dari hati musuh kalian perasaan takut kepada kalian, lalu Allâh akan menimpakan kepada kalian penyakit Wahn. Mereka bertanya: Wahai Rasûlullâh apakah wahn itu. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Cinta dunia dan benci mati.“[5]

Kezhaliman dari skala terkecil hingga skala terbesar baik dilakukan oleh rakyat atau penguasa menjadi tontonan sehari-hari. Berbohong, menipu, dan berbuat curang sudah tidak asing lagi. Pembegalan dan perampokan menjadi menu berita harian di media massa, baik elektronik maupun cetak. Seolah tidak ada tempat lagi di Negeri ini kecuali sudah penuh dengan berbagai kejahatan. Dalam bersosial, berpolitik dan berbisnispun tidak lepas dari manipulasi, berbohong, menipu dan curang sehingga mereka rame-rame membalas kebaikan Allâh dengan kufur nikmat bahkan kufur syari’at. Padahal Allâh Azza wa Jalla sudah mengingatkan dalam firman-Nya:

وَضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا قَرْيَةً كَانَتْ آمِنَةً مُطْمَئِنَّةً يَأْتِيهَا رِزْقُهَا رَغَدًا مِنْ كُلِّ مَكَانٍ فَكَفَرَتْ بِأَنْعُمِ اللَّهِ فَأَذَاقَهَا اللَّهُ لِبَاسَ الْجُوعِ وَالْخَوْفِ بِمَا كَانُوا يَصْنَعُونَ

Dan Allâh telah membuat suatu perumpamaan (dengan)sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezekinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tem-pat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allâh; karena itu Allâh merasakan kepada mereka pakai-an kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat.” [An-Nahl/16:112]

Lebih mengenaskan lagi kondisi kaum wanita yang terjebak pada lingkaran setan, menjadi sarana perusak dan pemuas budak nafsu bejat, untuk menghinakan atau merendahkan derajat orang-orang yang lemah iman. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَاللَّهُ يُرِيدُ أَنْ يَتُوبَ عَلَيْكُمْ وَيُرِيدُ الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الشَّهَوَاتِ أَنْ تَمِيلُوا مَيْلًا عَظِيمًا

Dan Allâh hendak menerima taubatmu sedang orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya bermaksud supaya kamu berpaling sejauh-jauhnya (dari kebenarannya).[An-Nisâ’/4:27].

Mereka berusaha memancing kaum wanita agar keluar rumahnya untuk bekerja dalam satu kantor, pabrik, atau wilayah bersama kaum laki-laki. Diantara mereka ada yang menjadi perawat untuk mendampingi dokter laki-laki, pramugari di pesawat terbang, pengajar di sekolah yang ikhtilath, pemain sinetron atau film, penyanyi, penari, penyiar radio atau presenter siaran televisi dengan penampilan yang mengundang fitnah. Dengan demikian, mereka menjadi sumber fitnah bagi kaum laki-laki sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

مَا تَرَكْتُ بَعْدِيْ فِتْنَةً أَضَرُّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ

Aku tidak meninggalkan sesudahku, suatu fitnah yang lebihberbahaya bagi pria daripada wanita.[6]

Tidak sedikit wanita yang bekerja sebagai budak pemuas hawa nafsu laki-laki. Mereka dipajang di cover-cover majalah dengan tampilan sensual yang memikat. Mereka di iming-iming imbalan uang yang melimpah, fasilitas materi berupa kendaraan atau rumah tinggal yang menggiurkan, sehingga kaum wanita pun banyak yang langsung tergoda dan dengan sekejap terbawa arus fitnah yang menyesatkan. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ وَإِنَّ اللّٰهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيْهَا فَنَاظِرٌ كَيْفَ تَعْمَلُوْنَ فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِيْ إِسْرَائِيْلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ

Sesungguhnya dunia itu manis lagi elok (namun menipu) dan sesungguhnya Allâh menjadikan kalian sebagai khalifah di dalamnya, maka Dia melihat apa yang kalian per-buat, berhati-hatilah terhadap dunia dan berhati-hatilah terhadap wanita karena fitnah pertama kali yang menimpa bani Israil adalah dari kaum wanita.[7]

Akhirnya banyak wanita yang tidak betah tinggal di rumah dan memilih menjadi wanita karier. Mereka begitu bangga saat berangkat ke kantor dengan gaya seksi dan memfitnah. Mereka sangat tersanjung saat ada orang yang memujinya sebagai eksekutif muda, wanita modis, artis berbakat, foto model beken, miss world, ratu catwalk, atau selebriti. Pada akhirnya, suami istri terpaksa menyerahkan urusan rumah dan pendidikan anaknya kepada para pembantu sehingga memicu timbulnya berbagai fitnah dan kejahatan di dalam rumah tangga.

Banyak kita saksikan pemandangan aneh berupa maksiat, tabarruj, pamer aurat dan ikhtilath. Hal ini merupakan pelecehan terhadap syari’at Islam karena syariat melarang hal itu sebagaimana firman Allâh:

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَىٰ

”Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu.”[Al-Ahzâb/33:33]

Setiap hamba Allâh terutama Muslimah seharusnya memiliki semangat untuk mengamalkan Islam, memelihara kehormatan dan kesucian serta tidak ikut-ikutan meniru budaya yang mendatangkan murka Allâh dan Rasul-Nya.

KERUSAKAN MORAL TANGGUNG JAWAB SIAPA?

Berbagai kerusakan moral di atas bila dibiarkan akan menghancurkan stabilitas negara dan meruntuhkan sendi-sendi kehidupan. Semua terjadi karena pondasi keimanan lemah dan akhlak yang sangat buruk, serta laju sosial media yang tidak terbendung. Bila suatu negeri kembali kepada Allâh Azza wa Jalla dengan bertakwa dan berakhlak mulia, Allâh Azza wa Jalla akan menurunkan keberkahan baik dari langit dan bumi sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ

Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. [Al-A’râf/7:96]

Orang yang bertakwa pasti berakhlak mulia karena takwa merupakan puncak karier seorang hamba dalam beragama. Bahkan kedekatan seorang hamba dengan Allâh Azza wa Jalla sangat ditentukan oleh keimanan dan ketakwaannya sehingga dia menjadi wali Allâh. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ ﴿٦٢﴾ الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ

Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allâh itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan me-reka selalu bertakwa. [Yûnus/10: 62-63]

Keimanan yang lemah akan mengakibatkan kerusakan moral dan akhlak, menjadikan kehidupan tidak beraturan, memperturutkan hawa nafsu, dan mengekor pada kemauan syubhat dan syahwat sehingga terjadi dekadensi moral. Hukum Allâh tidak lagi dijadikan pedoman hidup. Akibatnya, pola hidupnya liar dan bebas tanpa mengenal batas, interaksi sosial dan politik tidak mengenal etika dan berperilaku tidak mengenal rasa malu bahkan lebih parah dari binatang sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :

وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ ۖ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا ۚ أُولَٰئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ

Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahanam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allâh) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allâh), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allâh). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. [Al-A’râf/7:179]

Pergaulan laki dan perempuan bebas sebebasnya, makan harta haram sudah biasa, yang kuat menindas yang lemah, uang bertahta, pangkat dan jabatan berkuasa dan tatanan kehidupan benar-benar memilukan. Kejahatan merajalela, kenakalan remaja meruyak, pembunuhan mudah terjadi, pemerkosaan dianggap sepele, pencurian gampang dilakukan, penganiayaan pemandangan lumrah, korupsi menjadi konsekuensi jabatan, narkoba dianggap bagian kehidupan tak mungkin terpisahkan dan kejahatan lainnya sering kita saksikan dimana-mana bahkan dirumah sendiri.

Siapakah yang bertanggung jawab dalam hal ini?!

Pemerintah, dan rakyat bahkan semua pihak harus bertanggung jawab. Dengan mengembalikan tatanan kehidupan sesuai dengan aturan syariat. Bila syariat tegak dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara maka suasana kehidupan akan tertata rapi, kejahatan akan bisa diredam, hak-hak kehidupan berjalan normal dan stabilitas negara akan kokoh sebagaimana janji Allâh Azza wa Jalla :

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَىٰ لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا ۚ يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا ۚ وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

Dan Allâh telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa, mereka tetap menyembah-Ku dengan tidak mempersekutukan sesuatu apapun dengan aku. dan Barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang fasik. [An-Nûr/24:55].

Janji kemapanan dan kemakmuran merata di muka bumi, rasa takut akan hilang diganti dengan rasa aman sebagai bentuk isyarat agar bersiap-siap untuk mewujudkan sebab-sebabnya yang disertai dengan jaminan taufiq dan sukses asalkan mereka mampu mengambil darinya dan pokoknya adalah mentaati Allâh dan Rasul-Nya.[8]

MENANGGULANGI BENCANA MORAL

Bagaimana menanggulangi bencana moral? Tidak ada cara lain kecuali umat Islam secara keseluruhan, mulai dari pimpinan hingga rakyatnya harus kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah menurut pemahaman Salaful Umah. Beraqidah, beribadah, berakhlak dan bermuamalah secara benar dan ikhlas hanya karena Allâh Azza wa Jalla . Kehidupan yang adil, damai, aman dan tertata rapi bisa diraih dengan akhlak yang mulia. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan,

حُسْنُ الْخُلُقِ نَمَاءٌ وَسُوءُ الْخُلُقِ شُؤْمٌ وَالْبِرُّ زِيَادَةٌ فِى الْعُمُرِ وَالصَّدَقَةُ تَمْنَعُ مِيتَةَ السَّوْءِ

Akhlak mulia adalah kebahagiaan, akhlak yang tercela adalah kesengsaraan, amal kebaikan adalah penambah umur, dan sedekah menghalangi seseorang dari mati da-lam keadaan jelek.[9]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus untuk memperbaiki dan menyempurnakan akhlak, dengan berbagai macam ibadah yang diperintahkan Allâh Azza wa Jalla . Hasil utamanya adalah untuk perbaikan perilaku dan pembentukkan akhlak dalam makna luas. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلَاةَ ۖ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ ۗ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ

Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu al-Kitab (al-Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allâh (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain), dan Allâh mengetahui apa yang kamu kerjakan. [Al-Ankabût/29:45]

Ayat tersebut secara jelas menyatakan, bahwa muara dari ibadah shalat adalah terbentuknya pribadi yang terbebas dari sikap keji dan munkar, yang pada hakikatnya adalah membentuk manusia berakhlak mulia. Jika kita telusuri lebih mendalam, proses shalat selalu dimulai dengan berbagai persyaratan tertentu, seperti bersih badan, pakaian dan tempat, dengan cara mandi dan wudhu. Dengan ini, shalat diharapkan membentuk sikap selalu bersih, patuh, tata peraturan, dan melatih seseorang untuk tepat waktu.

Akhlak yang mulia dan budi pekerti yang luhur juga dapat menentukan kesempurnaan iman seseorang sebagaimana sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

أَكْمَلُ الْـمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا

Kaum Mukminin yang paling sempurna imannya adalah mereka yang paling baik akhlaknya[10]

Hadits tersebut secara nyata mengandung arti bahwa akhlak mulia pertanda kesempurnaan iman seseorang. Selama ini mungkin sebagian orang menganggap perbuatan jahatnya kepada orang lain atau tetangga sebagai hal biasa yang tidak berpengaruh pada eksistensi keimanan. Padahal, faktanya akhlak buruk sangat besar pengaruhnya terhadap keimanan. Bahkan manusia paling jelek di sisi Allâh Azza wa Jalla pada hari kiamat adalah manusia yang berakhlak jelek. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ شَرَّ النَّاسِ عِنْدَ اللَّهِ مَنْزِلَةً يَوْمَ القِيَامَةِ مَنْ تَرَكَهُ النَّاسُ اتِّقَاءَ شَرِّهِ

Sesungguhnya manusia paling jelek disisi Allâh pada hari kiamat adalah seseorang yang ditinggalkan orang lain, karena menghindari kejelekannya[11]

Sebaliknya orang yang berakhlak mulia memiliki kedudukan tinggi dan mulia di sisi Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari kiamat, sebagaimana sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

إِنَّ مِنْ أَحَبِّكُمْ إِلَىَّ وَأَقْرَبِكُمْ مِنِّى مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَحَاسِنَكُمْ أَخْلَاقًاوَإِنَّ أَبْغَضَكُمْ إِلَىَّ وَأَبْعَدَكُمْ مِنِّى مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الثَّرْثَارُونَ وَالْمُتَشَدِّقُوْنَ وَالْمُتَفَيْهِقُونَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللّٰهِ قَدْ عَلِمْنَا الثَّرْثَارُوْنَ وَالْمُتَشَدِّقُوْنَ فَمَا الْمُتَفَيْهِقُونَ قَالَ: الْمُتَكَبِّرُوْنَ

Sesungguhnya orang yang paling aku cintai dan paling dekat denganku pada hari kiamat adalah orang yang terbaik akhlak-nya di antara kalian, dan sesungguhnya orang yang paling aku benci dan paling jauh denganku kelak pada hari kiamat adalah ats-tsartsarun (orang yang suka mengkritik), dan al-muta-syaddiqun (orang yang berbicara sembrono) dan al-mutafai-qihun.”Para sahabat bertanya,”Wahai Rasûlullâh! Kami telah mengetahui orang yang banyak bicara dan orang yang banyak ngomong dengan sembrono, namun apa yang dimaksud dengan al-mutafaihiquun?” Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Mereka adalah orang-orang yang sombong.”[12]

Cerminan pribadi seseorang juga sering digambarkan melalui tingkah laku atau akhlak yang ditunjukkan. Akhlak adalah perhiasan bagi seseorang. Oleh karena itu, orang yang berakhlak jika dibandingkan dengan orang yang tidak berakhlak, tentu orang berakhlak yang lebih disenangi orang. Karena secara naluri, orang suka sesuatu yang berhias.

Orang yang berakhlak mulia akan mendapatkan jaminan surga. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan dalam sabdanya:

أَنَا زَعِيْمُ بِبَيْتٍ فِيْ رَبَضِ الجَنَّةِ لمِنَ تَرَكَ المِرَاءِ وَإِنْ كَانَ مُحِقَّاوَبِبَيْتٍ فِيْ وَسَطِ الجَنَّةِ لمِنَ تَرَكَ الكَذِبَ وَإِنْ كَانَ مَازِحًا وَبِبَيْتٍفِيْ أَعْلَى الجَنَّةِ لِمَنْ حَسُنَ خُلُقُهُ

Aku menjamin sebuah rumah di taman surga bagi orang yang meninggalkan debat meskipun dia benar, dan aku menjamin rumah di tengah surga bagi orang yang mening-galkan dusta meskipun hanya senda gurau. Dan aku men-jamin rumah di bagian tertinggi surga bagi orang yang baik akhlaknya.”[13]

Dengan demikian, untuk menanggulangi bencana moral yang menimpa bangsa secara kolektif adalah dengan menegakkan pilar-pilar akhlak Islam yang mulia secara komperhensif. Camkanlah sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini:

اتَّقِ اللّٰهَ حَيْثُ مَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَيِّئّةِ الحَسَنَةِ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ

“Bertakwalah anda kepada Allâh dimana saja anda berada. Iringilah keburukan dengan kebaikan, niscaya kebaikan itu akan menghapusnya. Dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik.[14]

Dari hadits di atas, seorang Muslim dituntut untuk mewujudkan tiga pilar akhlak yang menjadi syarat sempurnanya keislaman seseorang yang antara lain:

Pertama: Akhlak kepada Allâh Azza Wa Jalla

Akhlak seorang hamba kepada Allâh Azza wa Jalla dengan mewujudkan ketakwaan. Sikap takwa pasti akan melahirkan perilaku positif di tengah masyarakat. Oleh karena itu ciri orang yang bertakwa adalah senantiasa menjunjung tinggi akhlak mulia yang tertuang dalam firman Allâh Azza wa Jalla :

وَسَارِعُوا إِلَىٰ مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ ﴿١٣٣﴾ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ ۗ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allâh menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” [Ali Imrân/3: 133-134]

Kedua: Akhlak seseorang terhadap diri sendiri.

Seseorang juga dituntut berakhlak mulia kepada diri sendiri dengan terus menerus melakukan perbaikan, instropeksi diri dan bertaubat kepada Allâh Azza wa Jalla . Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَىٰ مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ

Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allâh, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allâh? dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.[Ali Imrân/3: 135]

Ketiga: Akhlak terhadap sesama

Akhlak seorang hamba terhadap sesama manusia dengan menjunjung tinggi etika pergaulan dan akhlak mulia yang diajarkan oleh Islam. Sehingga dalam kehidupan satu dengan yang lainnya kita akan dipandang oleh orang-orang sekitar kita sebagai pribadi yang sopan, santun dan ramah serta bertata krama.

Diantara akhlak seorang hamba kepada sesama manusia yang sangat dianjurkan:
Akhlak terhadap Kedua orang tua

Ibu dan bapak adalah kedua orang tua yang sangat besar jasanya dan yang paling bertanggung jawab terhadap anaknya. Jasa mereka tidak dapat dihitung dan dibandingkan dengan harta, kecuali seorang anak mampu memerdekakan keduanya yang menjadi budak sebagai manusia yang mempunyai hak kemanusiaan penuh. Karena menjadi budak atau hamba sahaya sesuatu keadaan yang tidak diinginkan.

Seorang bapak bekerja mencari nafkah untuk menghidupi istri dan anaknya, sedangkan seorang ibu melahirkan dengan bertaruh nyawanya kemudian menyusui anaknya dengan penuh pengorbanan. Apakah perbuatan demikian perbuatan yang mudah? Tidak, perbuatan demikian adalah hal yang sangat sulit. Sebagai seorang anak sudah semestinya untuk berbakti dan menghormati keduanya.

Diantara bentuk akhlak mulia seorang anak kepada orang tua adalah:
Berbuat baik kepada ibu dan bapak, walaupun keduanya zhalim, kafir atau musyrik.
Memuliakan dan berkata lemah lembut kepada keduanya.
Berbuat baik kepada ibu dan bapaknya yang sudah meninggal dunia dengan (mendoakannya) serta menyambung silaturahim dengan para sahabat orang tuanya.
Akhlak terhadap tetangga

Dalam Islam tetangga memiliki hak kedamaian dan perlindungan yang sangat besar, sehingga mereka merupakan pihak yang paling berhak mendapat kebaikan dan perhatian kita melalui beberapa hal berikut ini:
Berbuat baik kepada tetangga kita.
Saling menolong dengan mereka
Tidak menjelek-jelekkan tetangga.
Menjaga hubungan baik dengan mereka.

Karena pentingnya menjaga hubungan baik dengan tetangga, sampai-sampai Rasulullah n sempat menduga akan ada waris-mewarisi antar tetangga. Dugaan ini muncul, karena malaikat Jibril sering datang memberi nasehat agar selalu menjaga hubungan baik dengan tetangga.
Akhlak pergaulan laki-laki dan perempuan

Islam mengatur etika pergaulan antara laki-laki dan perempuan dengan aturan dan batasan yang ditetapkan oleh syariat. Misalnya, seorang perempuan dan seorang laki-laki yang bukan mahramnya tidak boleh berkhalwat (berdua-duaan), berikhtilath, saling berjabat tangan atau berbicara mesra atau bepergian bersama. Jika ini dilaksanakan perzinaan, perselingkuhan dan pemerkosaan mampu diminimalisir.
Akhlak terhadap lingkungan atau alam sekitar

Manusia hidup tidak mungkin terlepas dari lingkungan. Lingkungan perlu dijaga dan diperhatikan. Pengertian lingkungan hidup adalah keadaan sekeliling kehidupan manusia di muka bumi, seperti udara untuk bernafas, sungai untuk keperluan minum, mandi, mencuci dan lain sebagainya. Hutan untuk perlindungan alam dan kayu-kayunya bermanfaat untuk keperluan hidup manusia. Oleh sebab itu, orang yang beriman dianjurkan mempunyai akhlak terhadap lingkungan dengan memperlakukan lingkungan hidup secara baik dan wajar, diantaranya:
Melestarikan lingkungan.
Menjaga lingkungan dari pencemaran.
Memanfaatkan sumberdaya untuk kesejahteraan bersama.

MENAJAMKAN PENDIDIKAN MORAL

Mendidik generasi bangsa di tengah kerusakan akhlak, kebobrokan moral dan maksiat yang merajalela, syahwat diperturutkan tanpa kendali, kebaikan diabaikan, ajaran agama dicampakkan, kedurhakaan menjamur, pergaulan bebas tanpa batas, shalat dan ibadah disia-siakan dan hamil di luar nikah tidak dianggap aib, membutuhkan kerja keras, keuletan dan kesabaran.

Akan tetapi banyak orang tua atau pendidik yang tidak mau sadar dan tidak bersikap tegas dalam pendidikan, bahkan sebagian orangtua takut kepada anaknya dan tidak berdaya ketika melihat anaknya sedang berbuat dosa di depan mata, berani melawan orang tua, bertindak anarkis atau bersikap tidak sopan dengan orang yang lebih tua, sehingga muncullah generasi yang disebut Allâh dalam firman-Nya,

فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ ۖ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا

Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, Maka mereka kelak akan menemui kesesatan.” [Maryam/19:59].

Usaha untuk membentengi dan mengarahkan anak agar tidak menjadi anak durhaka dan tak bermoral, dimulai sejak usia dini dengan memberikan stimulus pendidikan sesuai dengan tahap perkembangan anak, yang dimulai dengan perbaikan akidah dan moral orang tua. Mendidik anak di atas akidah yang benar, ibadah yang sahih, akhlak yang mulia dan menguasai metode pendidikan akan membuahkan hasil yang luar biasa. Hasil pendidikkan akan mempengaruhi masa depan umat yang siap dipetik buahnya di dunia dan akhirat, Allâh Azza wa Jalla berfirman:

جَنَّاتُ عَدْنٍ يَدْخُلُونَهَا وَمَنْ صَلَحَ مِنْ آبَائِهِمْ وَأَزْوَاجِهِمْ وَذُرِّيَّاتِهِمْ

(Yaitu) syurga ‘Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang saleh dari bapak-bapaknya, istri-istrinya dan anak cucunya. [Ar-Ra’d/13:23

Hambatan dan rintangan dalam mendidik anak akan selalu datang silih berganti namun sebagai orang tua tidak boleh putus asa dan tidak boleh menyerah. Orang tua harus sabar, ikhlas, selalu mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla dan berdoa memohon pertolongan-Nya agar dimudahkan dalam mendidik anak-anaknya dan dijadikan anaknya menjadi anak saleh.

Tanggung jawab pendidikan anak bukan hanya menjadi beban sekolah namun perubahan prilaku anak sangat dipengaruhi oleh tiga lingkungan:
Lingkungan Keluarga

Lingkungan keluarga menjadi faktor pertama dan utama bagi pertumbuhan prilaku dan kecerdasan anak. Karena anak paling sering menghabiskan waktu bersama keluarganya. Dari keluarganyalah seorang anak mendapatkan pengasuhan dan pendidikan dan karena pengaruh kedua orang tua, anak menjadi baik atau buruk. Abu Hurairah z berkata bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا مِنْ مَوْلُوْدٍ إِلَّا يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ وَيُنَّصِرَانِهِ وَيُمَجِّسَانِهِ كَمَا تَنْتُجُ البَهِيْمَةُ بَهِيْمَةَ جَمْعَاءَ. هَلْ تُحِسُّوْنَ فِيْهَا مِنْ جَدْعَاءَ؟ ثُمَّ يَقُوْلُ أَبُوْ هُرَيْرَةَ: وَاقْرَؤُا إِنْ شِئْتُمْ: فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ

Tidaklah seorang bayi yang dilahirkan melainkan dalam keadaan fitrah (bertauhid). Maka kedua ibu-bapaknyalah yang men-jadikan Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Bagaikan onta yang lahir sehat, apakah kamu menemuinya cacat.

Kemudian Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berkata, ‘Dan bacalah firman Allâh Azza wa Jalla jika kamu mau, (yang artinya” (Tetaplah atas) fitrah Allâh yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allâh’.“[Ar-Rûm/30:30][15]
Lingkungan Sekolah

Untuk mengembangkan bakat dan karakter anak, tidak cukup hanya dengan belajar di rumah saja, anak membutuhkan sekolah untuk bersosialisasi dengan teman. Banyak sekali manfaat yang diambil dari bersosialisasi dengan teman-teman di sekolah. Diantaranya, anak bisa belajar menghargai, menghormati dan bekerjasama dengan teman-temannya. Oleh sebab itu, orang tua berkewajiban mencarikan sekolah yang terbaik untuk anak-anaknya. Terbaik di sini bukan terbaik karena standar internasionalnya, terbaik karena prestasi akademiknya, tetapi terbaik dalam menanamkan nilai-nilai Islam sesuai dengan manhaj para Salafush shaleh. Karena dengan belajar di sekolah yang berkarakter Islam yang benar maka anak akan mendapatkan guru dan teman-teman yang shaleh yang bisa mengontrol prilaku dan sikapnya
Lingkungan Masyarakat

Selain lingkungan keluarga dan lingkungan sekolah, anakpun akan menghadapi lingkungan sosial masyarakat. Lingkungan sosial masyarakat lebih luas cakupannya dibanding lingkungan keluarga maupun lingkungan sekolah. Lingkungan masyarakat lebih majemuk sehingga membutuhkan kejelian orang tua. Karena selain kebutuhan anak bersosialisasi dengan masyarakat, orang tua juga harus waspada terhadap pengaruh buruknya. Bila lingkungan masyarakat bagus, maka itu akan berpengaruh bagus terhadap pendidikan anak, namun sebaliknya, bila lingkungan masyarakat buruk maka akan berpengaruh buruk juga terhadap pendidikan dan jiwa anak.

Seluruh elemen masyarakat harus bertanggung jawab terhadap proses pendidikan generasi umat dan anak bangsa sebagaimana sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ الأَمِيْرُ رَاعٍ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

Setiap kalian adalah pemimpin dan akan diminta pertanggung jawaban atas kepemimpinannya dan imam adalan pemimpin, dan orang laki-laki adalah pemimpin bagi keluarganya, dan wanita adalah penanggung jawab atas rumah suami dan anaknya. Dan setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan diminta per-tanggungjawaban atas kepemimpinannya. [16]

Tidak mungkin masalah pendidikan yang begitu komplek dan ruwet hanya menjadi beban segelintir aktivis Islam atau sebagian komponen bangsa saja. Tugas berat ini menjadi tanggungjawab seluruh umat Islam secara kolektif, baik para pejabat negara, mulai dari tingkat RT hingga Presiden, tokoh masyarkat dan agama, Ulama, da’i, pakar politik, budaya, ekonomi dan cendikiawan, ormas, yayasan Islam, aktifis dakwah, lembaga pendidikan, LSM dan seluruh kantong kekuatan Islam.

Hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, kita memohon pertolongan dan taufiq-Nya dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab yang berat ini.

Oleh Ustadz Zainal Abidin bin Syamsuddin Lc

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02-03/Tahun XIX/1436H/2015.]
_______
Footnote
[1] Shahih: Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam Sunanul Kubra, 10/192

[2] Shahih: Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam Sunanul Kubra, 10/192; Imam Ahmad dalam Musnadnya, no. 8932; Imam al-Hakim memandang hadits ini shahih dan disetujui adz-Dzahabi dan Lihat Shahîh al-Jâmi’, no. 2349.

[3] Shahih:Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya, no.11713 dari Abu Said al-Khudri z ; Imam ath-Thabrani, no. 1651; Imam Ibnu Hibban dalam Shahîhnya, no. 362; Imam al-Haitsami dalam Majma’ Zawaidnya, no. 7113.

[4]. Lihat Muqadimah Ibnu Khaldun, hlm. 21

[5] Shahih: Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya, no. 22296 dan Imam Abu Dawud dalam Sunannya, no. 4297.

[6] Shahih: Diriwayatkan Imam al-Bukhâri dalam Shahîhnya, no. 5096; Imam Muslim dalam Shahîhnya, no. 6880 dan Imam Tirmidzi dalam Sunannya, no.2780.

[7] Shahih: Diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahîhnya, no. 2742; Imam al-Baihaqi dalam Sunannya, 3/369; dan Imam Abu Ya’la dalam Musnad-nya, no. 1096

[8] Lihat Tafsîr at-Tahrîr wat Tanwîr, Ibnu Asyur, 8/282.

[9] Shahih:Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnadnya, no. 16024, dan perawinya tsiqah.

[10] Shahih dikeluarkan Imam al-Hâkim dalam Mustadraknya (221) dan Ibnu Hibbân dalam Shahîhnya (4176) dari Abu Hurairah z . Dan Syaikh al-Albani menilai hadits ini sebagai hadits shahih dalam Shahîh Jâmi ash-Shaghîr , no. 3316 dan Silsilah al-Ahâdîts Shahîhah, 285

[11] Shahih diriwayatkan Imam al-Bukhâri dalam Shahîhnya, no. 6032 dan Imam Hibban dalam Shahîhnya, no. 4538

[12] Shahih: Diriwayatkan oleh oleh at-Tirmidzi dalam Sunannya, no. 2018; Kitab Bab Berkaitan Tentang Kebajikan, no. 70, kemudian berkata, “Hadits ini hadits hasan.”

[13] Shahih: Diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi dalam Sunannya, no. 1993; Imam Abu Dawud dalam Sunannya, no. 4800 dan Imam al-Mundziri dalam at-Targhîb wa at-Tarhîb, no. 4437 dan Imam Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, no. 8017.

[14] Hasan: Diriwayatakan Imam Ahmad dalam Musnadnya 21251, 21297, 21428 dan 21958; Imam at-Tirmidzi dalam Shahihnya, no. 1987 dan Imam al-Hakim dalam Mustadraknya, no. 178 serta Imam ath-Thabrani dalam al-Mu’-jam al-Kabir, no. 295, 296 dan 297.

[15] Shahih: Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya, no 7438, 8164 dan 10192; Imam al-Bukhâri dalam Shahîhnya, no. 1385 dan Imam Muslim dalam Shahîhnya, no. 2658; Imam Abu Dawud dalam Sunannya, no. 4714 dan Imam at-Tirmidzi dalam Sunannya, no. 2138.

[16] Shahih: Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya, no. 5869, Imam al-Bukhâri dalam Shahîhnya, no. 844, 2232, 2368, 4801, Imam Muslim dalam Shahîhnya, no. 1829, Imam Abu Dawud dalam Sunannya, no. 2928, Imam at-Tirmidzi dalam Sunannya, no. 1705, Imam Baihaqi dalam Sunannya, 7/291, Imam Ibnu Hibban dalam Shahîhnya, no. 4472 dan Imam Abu Ya’la dalam Musnadnya, no. 5805.

AKHLAK KEPADA ALLAH DAN RASUL-NYA

Abu Fathan | 17:52 | 0 comments
Suatu hari, ibunda ‘Aisyah radhiyallahu’anha bertanya kepada Rasulullah shallallahu  ‘alaihi wasallam : Wahai Rasulullah! Ibnu Jud’an, dahulu di zaman jahiliyah, adalah seorang yang senantiasa menyambung tali silaturahim dan memberi makan orang miskin, apakah itu semua bermanfaat baginya kelak di akhirat? Nabi shallallahu‘alaihi wasallam menjawab, “Hal itu tidak bermanfaat baginya karena dia tidak pernah sedikit pun mengucapkan, “Wahai Rabb-ku, ampunilah dosa-dosaku di hari kiamat kelak.” (HR Muslim). Hadits ini menceritakan tentang Ibnu Jud’an, yaitu seseorang dari kaum jahiliyah yang terkenal suka membantu orang yang lemah dan suka menyambung silaturrahim. Namun Rasulullah mengabarkan bahwa kebaikannya kepada manusia itu tidak akan bermafaat bagi dirinya kelak di hari akhir. Hal tersebut karena ia belum mengatakan “Wahai Rabb-ku, ampunilah dosa-dosaku di hari kiamat kelak”. Maksudnya ia belum beriman kepada Allah dan juga hari kebangkitan yang ia akan dihisab dan diberi pembalasan atas apa yang telah dilakukannya. Dan orang-orang yang mengingkari hari kebangkitan maka ia tergolong sebagai orang kafir. Dan orang kafir tidak akan Allah terima amalannya. Adapun orang kafir yang luhur akhlaknya di dunia, Allah memberikan balasan atas amal baiknya hanya di dunia saja, yaitu berupa kesehatan, harta yang melimpah dan keturunan yang banyak. Adapun di akhirat ia akan mendapatkan balasan dan kedudukan yang sama dengan orang-orang kafir lainnya.

Hakikat akhlak mulia
Lalu sebenarnya apakah akhlak itu? Bagaiamana bisa semua kebaikan yang dia lakukan kepada sesama manusia tidak memiliki arti dan tidak bermanfaat sama sekali baginya di hari kiamat kelak? Padahal Rasulullah shallallahu‘alaihi wasallam bersabda: “Kebajikan itu keluhuran akhlak” (HR. Muslim). Untuk menjawab hal tersebut, marilah kita lihat perkataan Ibnu Rajab Al Hanbali mengenai hadits di atas: “Diantara makna al birr (kebajikan) adalah mengerjakan seluruh ketaatan, baik secara lahir maupun batin. (Makna seperti ini) tertuang dalam firman Allah Ta’ala: (artinya) : “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al Baqarah: 177). Dari penjelasan Ibnu Rajab di atas, dengan dalil ayat 177 surat Al Baqarah, kita dapat pahami bahwa kebaikan yang paling utama yaitu menjalankan apa yang Allah perintahkan kepada kita dalam wahyu yang diturunkan-Nya melalui Nabi-Nya shallallahu’alaihi wa sallam. Barulah setelah itu kita menjalankan akhlak kepada sesama makhluk.
Oleh karena itu, akhlak kepada Allah Ta’ala (berupa ketaatan) adalah dasar dari diterimanya segala amalan baik kepada sesama makhluk di dunia, seperti memberi harta yang dicintai kepada kerabat, anak, istri, anak-anak yatim, orang miskin, dan musafir, serta kebaikan-kebaikan lainnya yang disebutkan dalam ayat tadi. Jika sesuatu yang menjadi dasarnya tidak dipenuhi, maka bagaimana cabang-cabangnya bisa terpenuhi dengan sempurna? Yang menjadi dasar adalah keimanan. Jika dasarnya tersebut sudah ada, maka amalan kebaikan yang kita lakukan dapat bermanfaat dan berbuah pahala. Sebagaimana seseorang yang masuk kuliah. Jika status sebagai mahasiswa saja tidak dimiliki (karena tidak ikut seleksi untuk menjadi mahasiswa), bagaimana ia bisa mendapat nilai dan ijazah kuliahnya tersebut? Marilah bersama-sama kita renungkan! Karena sesunguhnya kesempurnaan akhlak mulia adalah beradab kepada Allah Ta’ala, Rabb semesta alam. Yaitu dengan mengetahui hak Rabb-nya dan bersegera memenuhi hak Rabb-nya dari perkara yang diwajibkan atasnya serta dari sunnah yang dimudahkan atasnya. Sehingga seorang hamba dapat mencapai derajat yang tinggi di hadapan Allah Ta’ala.

Berakhlak mulia kepada Rasulullah
Konsekuensi dari pentingnya adab kita kepada Allah (yaitu berupa ketaatan kepada-Nya) adalah kita juga mentaati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana firman Allah dalam ayat-Nya yang mulia (artinya): “Barangsiapa yang mentaati Rasul, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka” (QS. An Nisa: 80). Oleh karena itu, mentaati Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga merupakan bentuk ketaatan kita kepada Allah Ta’ala. Sedangkan jika seseorang berpaling, maka tidak ada satupun yang dirugikan kecuali dirinya sendiri. Dan ketaatan kepada Rasul juga termasuk salah satu adab kita sebagai umatnya kepada Rasulullah, sebagaimana banyak disebutkan oleh Allah dalam firman-Nya (artinya): “Taatilah Allah, dan taatilah Rasul” (QS. An Nisa: 59).
Diantara perkara lain yang merupakan bentuk akhlak kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu mencintainya melebihi seluruh makhluk. Sebagaimana hadits dari Anas Radhiyallahu’anhu, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak akan sempurna keimanan seseorang sampai aku menjadi orang yang lebih ia cintai dari anaknya, orang tuanya, dan semua manusa” (HR. Bukhari dan Muslim). Ibnu Taimiyah menjelaskan: adapun sebab kita harus lebih mencintai dan mengagungkan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dibanding siapapun, adalah karena kebaikan yang paling agung yang bisa kita rasakan di dunia saat ini maupun di akhirat nanti tidak akan bisa tergapai oleh kita kecuali dengan sebab Nabi, yaitu dengan cara mengimani dan mengikutinya. Dan juga seseorang tidak terhindar dari adzab dan tidak juga bisa mendapatkan rahmat Allah kecuali dengan perantara beliau dengan cara mengimaninya, mencintainya, membelanya, dan mengikutinya. Dan beliaulah yang menjadi sebab Allah menyelamatkan kita dari adzab dunia dan akhirat. Dan beliaulah yang menjadi perantara untuk mendapatkan kebaikan di dunia dan akhirat. Maka termasuk nikmat yang paling besar dan paling bermanfaat adalah nikmat keimanan. Dan nikmat tersebut tidak akan bisa kita peroleh kecuali melalui perantara beliau. Oleh karena itu, diutusnya nabi lebih bermanfaat dibanding diri kita sendiri dan harta kita. Maka siapapun yang Allah keluarkan dari kegelapan menuju cahaya yang terang-benderang, tidak ada jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah selain melalui jalan yang beliau ajarkan. Adapun diri seseorang dan keluarganya, tidak memiliki kuasa apapun untuk menyelamatkan diri (jika tanpa sebab beliau shallallahu alaihi wa sallam) di hadapan Allah Ta’ala (Majmu’ Fatawa).
Dari pemaparan di atas, kita bisa menarik kesimpulan: (1) bahwa Iman adalah syarat diterimanya amal shalih dan kebermanfaatan amal shalih tadi bagi kita di akhirat kelak. Sebagaimana firman Allah Ta’ala (artinya) “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan“ (QS. An Nahl: 97). (2) Orang yang musyrik, bagaimana pun amalan baiknya ketika di dunia, tidak akan membuat dia mendapat ampunan di hari kiamat. Allah Ta’ala berfirman (artinya) “Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu. “Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi” (QS. Az Zumar: 65). (3) dan juga amalannya itu tidak menambah berat amalan baiknya di hari kiamat, hanya akan mendapatkan balasan di dunia, namun tidak di akhirat, (4) bahwa orang yang tidak megimani hari kebangkitan adalah orang yang kafir, karena ia tidak mengimani salah satu dari rukun iman, yang semua umat islam diwajibkan utuk mengimaninya, dan ia juga tidak akan mendapatkan ampunan di hari kiamat kecuali jika ia telah bertaubat ketika masih hidup di dunia. (5) adapun taat kepada Rasul, termasuk bentuk ketaatan kepada Allah. Dengan demikian, juga merupakan salah satu akhlak yang luhur kepada Allah juga Rasul-Nya shallallahu’alaihi wa sallam, (6) Begitu juga dengan mencintai Nabi shallallahu’alaihi wa sallam , adalah bentuk berakhlak mulia kepada Rasul dan bukti kesempurnaan Iman seseorang.
Demikian dari kami, semoga Kita tergolong orang yang paling berakhlak, baik kepada Allah dan Rasul-Nya, maupun kepada sesama makhluk Allah, dan kita tergolong orang yang mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Aamiin
Penulis : Parangeni Muhammad Lubis (Alumni Ma’had Al-‘Ilmi Yogyakarta)
Murojaah : Ust. Abu Salman, BIS

Akhlak Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam

Abu Fathan | 18:30 | 0 comments
Diantara perintah Allâh Azza wa Jalla kepada kita adalah perintah agar kita mengikuti Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Allâh Azza wa Jalla berfirman : 

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasûlullâh itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allâh dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allâh [al-Ahzâb/33:21]

Untuk meneladani dan mengikuti beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , kita terlebih dahulu harus mengetahui bagaimana beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kehidupannya. Maka pada hari ini, kita akan sedikit saling mengingatkan tentang keagungan pribadi dan akhlak Muhammad Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Semoga dengan mengenal dan terus mengingatnya, kita akan semakin terpacu untuk mengikuti beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam 

Pribadi Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah pribadi yang sangat agung, yang menjunjung tinggi akhlak mulia. Akhlak beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memadukan antara pemenuhan terhadap hak Allâh, sebagai Rabbnya dan penghargaan kepada sesama manusia. Dengannya, hidup menjadi bahagia dan akhirnya berbuah manis. Bagaimanakah akhlak Rasûlullâh itu? Berikut diantaranya :

Muhammad Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang hamba yang banyak sekali bersyukur kepada Allâh Azza wa Jalla atas nikmat-nikmat-Nya dan sering bertaubat dan beristigfâr. Bahkan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat sampai kedua kaki beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bengkak, sehingga ada yang mengatakan : 

يَا رَسُوْلَ اللهِ غَفَرَ اللَّهُ لَكَ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ قَالَ أَفَلَا أَكُونُ عَبْدًا شَكُورًا

“Wahai Rasûlullâh! Allâh telah mengampuni dosa-dosamu yang telah lewat dan yang datang?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan ringan menjawab, “Apakah aku tidak mau menjadi hamba yang banyak (pandai) bersyukur?!” 

Meski beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat pandai bersyukur kepada atas segala limpahan nikmat-Nya, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap saja banyak beristighfâr, memohon ampun kepada Allâh Azza wa Jalla . Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : 

وَاللَّهِ إِنِّي لَأَسْتَغْفِرُ اللَّهَ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ فِي الْيَوْمِ أَكْثَرَ مِنْ سَبْعِينَ مَرَّةً

Demi Allâh! Sesungguhnya aku beristigfar, memohon ampun kepada Allâh Azza wa Jalla lebih dari 70 kali dalam sehari.[1] 

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga sangat takut terhadap murka Allâh Azza wa Jalla . Jika beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat gumpalan awan, terlihat di wajah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam isyarat seakan tidak suka. Aisyah x pernah menanyakan hal tersebut, “Wahai Rasûlullâh! Orang-orang umumnya senang melihat gumpalan awan karena berharap guyuran hujan, sementara engkau terlihat tidak suka.” Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

يَاعَائِشَةُ وَمَا يُؤْمِنُنِى أَنْ يَكُوْنَ فِيْهِ عَذَابٌ قَدْ عُذِّبَ قَوْمٌ بِالرِّيْحِ

Wahai Aisyah! Adakah yang memberi jaminan kepadaku bahwa tidak ada adzab dibalik awan itu? Karena ada juga kaum yang diadzab dengan menggunakan angin.

Meski demikian, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling berani. Pada suatu malam penduduk madinah dikejutkan oleh suara keras, sehingga mereka semuanya bergegas menuju kearah suara. Saat mereka sedang berangkat menuju sumber suara, justru mereka berjumpa dengan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sedang dalam perjalanan pulang dari sumber suara. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mendatangi sumber suara sebelum yang lain. 

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga seorang yang sangat lembut dan tidak tergesa-gesa. Suatu ketika beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berjumpa dengan seorang arab badui lalu orang itu menarik selendang yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kenakan dipundak sehingga meninggalkan bekas pada pundak beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Lalu orang itu berkata,”Wahai Muhammad, berilah aku sebagian dari harta yang Allâh Azza wa Jalla berikan kepadamu!” Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak marah. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menoleh dan menyuruh kepada para shahabatnya agar memberikan sesuatu kepada orang ini.[2] 

Kisah lain datang dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu yang pernah tinggal dan membantu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam selama 10 tahun, baik dalam perjalanan maupun ketika di rumah. Anas Radhiyallahu anhu menceritakan bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam selama 10 tahun tidak pernah mengatakan ‘Uh” kepadanya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga tidak pernah menyalahkan Anas Radhiyallahu anhu terhadap apa yang dilakukan, dengan mengatakan, “Kenapa engkau melakukan ini?” atau terhadap apa yang tidak dilakukan, dengan mengatakan, “Kenapa enkau tinggalkan?”[3] 

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memukul siapapun dengan tangan beliau, meskipun seorang pembantu kecuali dalam kondisi jihad fi sabilillah. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga tidak pernah melakukan aksi pembalasan terhadap semua perlakuan buruk yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam alami kecuali jika perlakukan buruk tersebut sudah masuk kategori pelanggaran terhadap apa yang diharamkan oleh Allâh Azza wa Jalla , maka saat itu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan pembalasan karena Allâh Azza wa Jalla [4] 

Betapa tinggi serta mulia akhlak Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ

Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung. [Al-Qalam/68:4]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam orang yang paling agung, paling mulia dan paling luhur akhlaknya. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukan perbuatan nista, tidak pernah mencela dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah tipe orang yang suka melaknat.[5] 

Jika beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi dua pilihan, maka beliau akan memilih yang paling ringan dan mudah selama pilihan yang paling ringan dan mudah itu tidak mengandung dosa. Jika mengandung dosa, maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling darinya.[6] 

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga adalah seorang yang sangat dermawan terutama pada bulan Ramadhan. Kedermawanan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengalahkan angin yang berhembus. Jika ada yang meminta sesuatu kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam atas nama Islam, maksudnya untuk memotivasinya agar masuk, maka pasti beliau akan berikan, meskipun itu besar. Perhatikanlah ketika Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan ghanimah (harta rampasan perang) kepada seorang arab badui yang meminta ghanimah. Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan ghanimah yang sangat banyak karena beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berharap orang ini dan pengikutnya mendapatkan kebaikan. Setelah mendapatkan ghanimah yang sangat banyak tersebut, orang itu pulang ke kaumnya dan mengatakan :

يَاقَوْمِ أَسْلِمُوْا فَإِنَّ مُحَمَّدًا يُعْطِي عَطَاءَ مَنْ لاَ يَخْشَى الْفَاقَةَ

Wahai kaumku, masuklah kalian ke agama Islam, karena Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan sesuatu sebagaimana pemberian orang yang tidak takut kemiskinan[7] 

Akhlak mulia beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikutnya adalah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat zuhud terhadap dunia, padahal beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam Rasûlullâh , utusan Allâh Azza wa Jalla , Rabb yang maha kaya. Jika beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menginginkan dunia, maka pasti beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa mendapatkannya, namun beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menginginkannya. Ketika beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diberikan pilihan antara hidup di dunia semaunya ataukah menemui Rabbnya, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memilih untuk menemui Rabbnya, maksudnya meninggal.[8] 

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah menahan lapar selama berhari-hari, karena tidak memiliki makanan yang bisa digunakan untuk mengganjal perut. 

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan dunia ini tanpa meninggalkan harta warisan berupa emas, perak maupun binatang ternak. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya meninggalkan senjata dan baju besi beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang digadaikan kepada seorang yahudi untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Subhanallah, bagaimanakah dengan kita?! Padahal beliau adalah Rasûlullâh, yang pasti terjaga dan tidak akan terfitnah oleh dunia. 

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pemimpin juga sangat perhatian dengan umatnya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kadang jalan untuk melihat dari dekat keadaan para janda dan orang-orang miskin. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam penuhi panggilan atau undangan mereka dan jika mampu, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memenuhi kebutuhan mereka.[9] 

Pergaulan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak hanya sebatas orang-orang dewasa saja, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam terkadang mendatangi dan mengucapkan salam kepada anak-anak kecil serta mencandai mereka. Namun perlu diingat bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mengucapkan perkataan dusta, meski sedang bercanda. Pernah ada yang mengatakan kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّكَ تُدَاعِبُنَا قَالَ إِنِّي لاَ أَقُوْلُ إِلاَّ حَقًّا

Wahai Rasûlullâh, sesungguhnya engkau mencandai kami,” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya saya tidak mengucapkan apapun kecuali yang benar.” [HR. al-Bukhâri dalam Adabul Mufrad, no. 265 dan at-Tirmidzi, no. 1990 dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu]

Itulah sedikit gambaran akhlak Muhammad Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , orang yang diutus oleh sebagai rahmat bagi seluruh alam. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ

Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. [al-Anbiya’/21:107]

(Diangkat dari ad-Dhiyâ’ul Lâmi minal Khutabil Jawâmi, 5/134)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XVII/1435H/2014M.]
_______
Footnote
[1]. HR al-Bukhâri, no. 6307 dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu 
[2]. HR al-Bukhâri, no. 3149 dan Muslim, no. 1057 dari Hadits Anas bin Malik Radhiyallahu anhu 
[3]. HR al-Bukhâri, no. 2768 dan Muslim, no. 2309 dari Hadits Anas bin Malik Radhiyallahu anhu
[4]. HR Muslim, no. 2328 dari hadits Aisyah Radhiyallahu anhuma 
[5]. Lihat hadits riwayat Imam al-Bukhâri, no. 3559 dari Abdullah bin Umar c juga no. 6046 dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu 
[6]. HR al-Bukhâri, no. 3560 dari Aisyah Radhiyalahu anhuma 
[7]. HR Muslim, no. 2312 dari hadits Anas bin Malik Radhiyallahu anhu 
[8]. HR al-Bukhâri, no. 466 dan Ibnu Hibban, 14/558 (6594) dari hadits Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu 
[9]. HR an-Nasa’I, 3/109, no. 1413, dari hadits Abdullah bin Abi Aufa Radhiyallahu anhu
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. BERITA SUNNAH - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger