{قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ ويَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ، وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ}

Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah (sunnah/petunjuk)ku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS Ali ‘Imran:31)

Showing posts with label Politik. Show all posts
Showing posts with label Politik. Show all posts

Penjelasan Syarat Kaidah "Menempuh Mudharat Yang Terkecil Dari Dua Mudharat"

Abu Fathan | 19:17 | 0 comments
Terkait PEMILU banyak yang berdalih dengan kaedah ini, namun banyak mereka yang tidak paham dhawabith dari penerapan kaedah ini..

Dibawah ini adalah penjelasan tentang dhawabith dan persyaratan kaedah tersebut. Semoga bermanfaat.


1️⃣ ﺍﻟﻮﻗﻮﻉ ﻋﻦ ﻏﻴﺮ ﻗﺼﺪ ﺃﻭ ﺗﺼﻤﻴﻢ

[Terjadinya mudharat itu bukan sesuatu yang sengaja dicari-cari atau dirancang terjadinya]


Dengan demikian orang yang berhak dan dibenarkan ia mengamalkan kaedah ini adalah :


ﻣﻦ ﻳﻬﺮﺏ ﻣﻦ ﺳﺎﺣﺎﺕ ﺍﻟﻔﺘﻦ ﻭﻣﻈﺎﻧﻬﺎ ﻭﻻ ﻳﻘﺼﺪﻫﺎ ﻓﻲ ﺷﻲﺀ، ﺛﻢ ﻫﻮ ﻳﻘﻊ ﻓﻲ ﻇﺮﻭﻑ ﺍﻹﻛﺮﺍﻩ ﻭﺍﻻﺿﻄﺮﺍﺭ ﻗﺪﺭﺍً

[Orang yang telah berusaha lari menjauh dari tempat-tempat fitnah/mudharat itu dan tidak ia sengaja untuk menuju fitnah/mudharat itu, namun ia akhirnya jatuh juga dalam kondisi terpaksa dan dharurat tersebut.]


Inilah orang yang dibenarkan kondisinya mengamalkan kaedah itu.


2️⃣ ﻣﺘﻰ ﻳُﺮﻓﻊ ﻋﻨﻪ ﺍﻹﻛﺮﺍﻩ ﺃﻭ ﺍﻻﺿﻄﺮﺍﺭ ﻻ ﻳﺠﻮﺯ ﻟﻪ ﺍﻗﺘﺮﺍﻑ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﻤﺤﻈﻮﺭ، ﺃﻭ ﺍﻻﺳﺘﻤﺮﺍﺭ ﺑﻪ، ﻟﻠﻘﺎﻋﺪﺓ ﺍﻟﻔﻘﻬﻴﺔ ﺍﻟﺘﻲ ﺗﻘﻮﻝ ": ﻣﺎ ﺟﺎﺯ ﻟﻌﺬﺭ ﺑﻄﻞ ﺑﺰﻭﺍﻟﻪ ."


[Apabila kondisi terpaksa atau dharurat tersebut telah hilang maka tidak boleh menempuh perkara yang terlarang itu atau terus menerus melakukannya karena kaedah fiqhiyah yang mengatakan :

ﻣﺎ ﺟﺎﺯ ﻟﻌﺬﺭ ﺑﻄﻞ ﺑﺰﻭﺍﻟﻪ


"Sesuatu yang dibolehkan karena 'udzur maka batal kebolehannya dengan hilangnya udzur itu"]


3️⃣ ﺑﻴﻨﻤﺎ المرء ﻣﻌﺬﻭﺭ ﻟﻮ ﻭﻗﻊ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﺤﻈﻮﺭ، ﻭﻫﻮ ﻓﻘﻂ ﺍﻟﺬﻱ ﻳﻨﺘﻔﻊ ﻣﻦ ﺍﺳﺘﺨﺪﺍﻡ ﻗﺎﻋﺪﺓ ﺍﺭﺗﻜﺎﺏ ﺃﺧﻒ ﺍﻟﻀﺮﺭﻳﻦ


[Ketika seseorang ia diberi udzur untuk menggunakan kaedah ini seandainya ia jatuh dalam perkara yang terlarang tersebut, maka hanya ia saja yang boleh menggunakan kaedah "menempuh mudharat yang terkecil dari dua mudharat"]


Berarti dalam hal ini jelas bahwa penggunaan kaedah ini tidak muthlaq berlaku pada setiap orang dan keadaan, boleh bagi si Fulan belum tentu boleh bagi si Alan.

Apa yang boleh untuk kasus Amerika dan Kuwait tidak menjadi hujjah dan dasar kebolehannya di Indonesia


4️⃣ ﺃﻥ ﺗﻜﻮﻥ ﺍﻟﻤﺼﻠﺤﺔ ﺍﻟﻤﺮﺟﻮﺓ ﻣﻦ ﺍﻟﻮﻗﻮﻉ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﺤﻈﻮﺭ ﺃﻛﺒﺮ ﻣﻦ ﺫﺍﺕ ﺍﻟﻤﻔﺴﺪﺓ ﺍﻟﻤﺮﺗﻜﺒﺔ


[Hendaklah maslahah yang diharapkan yang ingin dicapai dari perbuatan menjatuhkan diri dalam yang hal terlarang itu adalah maslahah yang lebih besar dari pada mudharat yang ditempuh]


Contoh dalam hal ini, seseorang yang dalam kondisi kelaparan yang sangat, kemudian memakan daging babi untuk menyelamatkan nyawanya dari bahaya kelaparan, maka maslahahnya jelas lebih besar dari pada mudarat makan daging babi itu.


Namun kalau daging babi itu ternyata daging yang beracun, yang juga bisa menyebabkan kematian jika memakannya, maka tidak boleh ia memakannya..


Dengan demikian mudharat apa yang lebih besar dari kesyirikan dan kekufuran..? Sebagaimana maslahah yang mana yang lebih besar selain maslahah tauhid dan tegaknya sunnah..?!


5️⃣ ﺃﻥ ﻻ ﻳﻜﻮﻥ ﻫﻨﺎﻙ ﺳﺒﻴﻞ ﺁﺧﺮ ﻣﺸﺮﻭﻉ ﻟﺪﻓﻊ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﻤﻔﺴﺪﺓ، ﺃﻭ ﺗﺤﻘﻴـﻖ ﺗﻠﻚ ﺍﻟﻤﺼﻠﺤﺔ


[Tidak ada lagi cara lain yang sesuai syariat untuk menolak mudharat ini atau untuk mencapai mashlahah]


Berarti selagi masih ada cara lain yang sesuai syariat, maka tidak boleh masuk kedalam perkara yang terlarang dan menempuh jalan mudharat.


Dalam surat An Nur 55 Allah telah menyebut janjinya bagi orang yang beriman, beramal shalih yang mentauhidkan Allah : - Kekuasaan di berikan kepada mereka -2 Kekokohan Agama 3- Keamanan

Maka Iman, tauhid, Amal shalih adalah sebab yang disyariatkan


6️⃣ ﺍﻟﻀﺮﻭﺭﺍﺕ ﺗﻘﺪﺭ ﺑﻘﺪﺭﻫﺎ؛ ﻓﻼ ﻳﺠﻮﺯ ﺍﻟﺘﻮﺳﻊ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﺤـﻈﻮﺭﺍﺕ ﺃﻛﺜﺮ ﻣﻤﺎ ﺗﺴﺘﺪﻋﻴﻪ ﺍﻟﻀﺮﻭﺭﺓ، ﻭﺍﻟﻘﺎﻋﺪﺓ ﺗﻘﻮﻝ ": ﺇﺫﺍ ﺍﺗﺴﻌﺖ ﺿﺎﻗﺖ " .


[Kondisi terpaksa /dharurat itu dipergunakan seukuran kadarnya yang dibutuhkan, maka tidak boleh berluas-luas dalam perkara terlarang itu melebihi ukuran yang diperlukan. Kaedah mengatakan :"Jika perkara itu telah menjadi mudah, maka kembali ia menjadi sempit (kehukum asalnya)"]


🔶 Tambahan :


Mayoritas orang yang mencalonkan diri hari ini (kalau tidak dikatakan seluruhnya) adalah orang-orang yang bertujuan dengan pencalonan diri mereka :


- Untuk mendapatkan fasilitas dunia dan kendaraan hawa nafsunya..


Mungkinkah mereka adalah orang yang akan memperjuangkan islam dan kaum muslimin ..?! sementara tidak dikenal selama ini perjuangan mereka untuk Islam dan kaum muslimin...??!


Apa kira-kira yang menyebabkan seseorang mengeluarkan harta ratusan juta bahkan milyaran dan sampai berhutang untuk biaya kampanye dirinya ..? Mungkinkah semua itu untuk memperjuangkan Islam dan kaum Muslimin..?! Kalau memang untuk Islam, alangkah baiknya ia infakkan harta itu di jalan allah untuk membangun madrasah dan pesantren untuk anak-anak kaum muslimin.


- Tidak mereka bertujuan untuk menghindarkan umat islam dari mudharat yang lebih besar... dan tidak mereka berilmu tentang mana yang membawa mudharat dan yang tidak


7️⃣ ﺇﻋﻤﺎﻝ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﻘﻮﺍﻋﺪ ﻓﻴﻤﺎ ﻻ ﻧَﺺّ ﻓﻴﻪ ، ﺃﻣﺎ ﻣﻊ ﻭُﺟﻮﺩ ﺍﻟﻨﺼﻮﺹ ﻓﻼ .ﻭﺇﺫﺍ ﺗﻌﺎﺭَﺿَﺖْ ﻣﻊ ﻧُﺼﻮﺹ ﺍﻟﻮﺣﻴﻴﻦ ، ﻓﺈﻥ ﺍﻟﻨﺺّ ﻳُﻘﺪّﻡ ؛ ﻷﻥ ﺍﻟﻨﺺ ﻟﻪ ﻋِﺼْﻤَﺔ ، ﻭﺍﻟﻘﻮﺍﻋﺪ ﻟﻴﺲ ﻟﻬﺎ ﻋِﺼﻤﺔ


[Diamalkan kaedah ini dalam perkara yang tidak ada nash tentang perkara itu, adapun jika ada nashnya maka tidak boleh beramal dengannya .

Jika bertentangan kaedah itu dengan nash dua Wahyu (Kitab dan Sunnah ) maka nash lebih didahulukan. Karena nash wahyu terpelihara sedangkan kaedah tidak terpelihara]


Karena itulah berfatwa Syekh Muqbil bin Hadi rahimahullah :


ﺃﺭﺑﻌﻤﺎﺋﺔ ﻋﺎﻟﻢ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﺃﻓﺘﻮﺍ ﺑﺎﻻﻧﺘﺨﺎﺑﺎﺕ !! ، ﻓﺄﻗﻮﻝ : ﺭﺏ ﺍﻟﻌﺰﺓ ﻳﻘﻮﻝ ﻓﻲ ﻛﺘﺎﺑﺔ ﺍﻟﻜﺮﻳﻢ : " ﻭﺇﻥ ﺗﻄﻊ ﺃﻛﺜﺮ ﻣﻦ ﻓﻲ ﺍﻷﺭﺽ ﻳﻀﻠﻮﻙ ﻋﻦ ﺳﺒﻴﻞ ﺍﻟﻠﻪ " ‏[ ﺍﻷﻧﻌﺎﻡ : 116 ‏] ﻭﻳﻘﻮﻝ " ﻭﻗﻠﻴﻞ ﻣﻦ ﻋﺒﺎﺩﻱ ﺍﻟﺸﻜﻮﺭ " ‏[ ﺳﺒﺄ : 13 ‏] ﻭﻳﻘﻮﻝ ﺳﺒﺤﺎﻧﻪ ﻭﺗﻌﺎﻟﻰ : " ﻭﻟﻜﻦ ﺃﻛﺜﺮﻫﻢ ﻻ ﻳﻌﻠﻤﻮﻥ " ‏[ ﺍﻷﻧﻌﺎﻡ 37 : ‏] ﻓﻨﺤﻦ ﻻ ﻧﺒﺎﻟﻲ ﺑﺎﻟﻜﺜﺮﺓ ﻻ ﻓﻲ ﺍﻧﺘﺨﺎﺑﺎﺕ ﻭﻻ ﺑﻔﺘﻮﻯ ﻋﻠﻤﺎﺀ، ﺑﻞ ﻧﺒﺎﻟﻲ ﺑﺎﻟﺤﻖ ﺇﺫﺍ ﻛﺎﻥ ﺍﻟﺤﻖ ﻭﻟﻮ ﻣﻊ ﺃﺻﻐﺮ ﻭﺃﺣﺪ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﻓﻨﻘﺒﻠﻪ

"


..(sekalipun) 400 orang alim berfatwa bolehnya mencoblos!!, maka saya katakan : "Rabb yang Maha Mulia mengatakan :


ﻭَﺇِﻥْ ﺗُﻄِﻊْ ﺃَﻛْﺜَﺮَ ﻣَﻦْ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺄَﺭْﺽِ ﻳُﻀِﻠُّﻮﻙَ ﻋَﻦْ ﺳَﺒِﻴﻞِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ۚ

Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah

______________

(QS. Al An'am : 116).


ﻭَﻗَﻠِﻴﻞٌ ﻣِﻦْ ﻋِﺒَﺎﺩِﻱَ ﺍﻟﺸَّﻜُﻮﺭُ

Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang berterima kasih (QS. Sabaa` : 13).

ﻭَﻟَٰﻜِﻦَّ ﺃَﻛْﺜَﺮَﻫُﻢْ ﻟَﺎ ﻳَﻌْﻠَﻤُﻮﻥَ

Tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui

(QS. Al-An'aam : 37).


Kami tidak peduli dengan jumlah pendukung yang banyak, tidak dalam perkara pemilu dan tidak juga dalam fatwa ulama, namun yang kami pedulikan adalah al-haq (kebenaran), jika disana ada kebenaran walaupun didukung oleh sejumlah kecil dari kalangan kaum muslimin, maka kami menerimanya.. "



Rooby Kader

Apakah "PEMILU" Khilaf Tanawwu' atau Khilaf Taddhad

Abu Fathan | 09:08 | 0 comments
Asy-Syaikh Muqbil Rahimahullah mengatakan Pemilu ini bukan KHILAF TANAWWU' tetapi KHILAF TADDHAD.

KHILAF TANAWWU' artinya kalau ada orang yang berpendapat lain, itu bisa diberi udzur atau dimaafkan, misalnya dalam Sholat ketika i'tidal ada yang tangan sedekap dan ada yang tidak sedekap, itu perselisihannya Khilaf Tanawwu', tetapi "PEMILU" ini khilafnya Khilaf Taddhad, Khilaf yang saling bertentangan, harus mengetahui bahwa yang kuat atau benar cuma satu. Misalnya, yang satu menyembah kubur yang satunya tidak, maka yang benar cuma satu tidak ada kedua-duanya benar.

Oleh karena itu ini adalah masalah besar dan bukan perkara kecil dan kerusakannya yang sangat besar dalam pandangan Syari'at, maka jangan dianggap sebagai kerusakan yang kecil.

Jadi kalau ada perkataan yang mengatakan bahwa para ulama Sunnah membolehkan "PEMILU" secara mutlak, maka itu "DUSTA BESAR".

Secara dasar para ulama Sunnah semua mengharamkan pemilu. Namun sebagian para ulama mutakhirin yang membolehkan "PEMILU" hanya membolehkan dengan beberapa persyaratan dan itupun persyaratan tidak bisa diterapkan.

_📼 Ustadz Dzulqarnain M. Sunusi Hafizhahullah_

Mengapa Memilih Untuk Tidak Memilih ?

Abu Fathan | 17:52 | 0 comments
PENDAHULUAN

Permasalahan ikut serta dalam pesta demokrasi bukanlah baru-baru ini muncul, melainkan sudah sejak lama diperdebatkan.

Ana sendiri sudah mencoba untuk merenungi ini dari sekian lama, bahkan pada tahun 2014 silam ana mengikuti pendapat untuk memilih karena melihat dalil-dalil yang dikemukakan.

Akan tetapi seiring dengan berjalannya waktu, ada beberapa kejanggalan yang muncul dari itu semua, sehingga menjadikan ana mencoba untuk mengkaji lagi apa yang dahulu saya yakini.

Berikut ini adalah tulisan dari ana, yang merupakan hasil dari bahan renungan serta pengkajian ulang dari apa yang ana yakini sebelumnya.


DALIL-DALIL DILARANGNYA PEMILU

Berikut ini dalil-dalil tentang keharusan untuk tidak ikut dalam pemilu:

PERTAMA: Firman Allah ta'ala:

ولا تعاونوا على الإثم والعدوان
“Dan janganlah kalian tolong menolong dalam dosa dan permusuhan” (Q.S Al-Ma'idah :2)

SISIS PENDALILAN: Tidak diragukan lagi bahwa ikut partisipasi dalam pesta besar demokrasi atau pemilu merupakan bentuk tolong menolong dalam dosa dan maksiat.

Bahkan maksiat ini adalah merupakan bentuk kesyirikan kepada Allah Subhanahu wa ta'ala, karena dalam sistem demokrasi bentuk pensyari'atan ada berada ditangan rakyat.

Dan ini jelas bertentangab dengan pondasi agama islam, yang menjadikan hak pensyari'atan hanya semata-mata untuk Allah subhanahu wa ta'ala.

Allah berfirman:
فَالْحُكْمُ لِلَّهِ الْعَلِيِّ الْكَبِيرِ 
“Sesungguhnya Hukum itu hanyalah milik Allah yang maha tinggi dalagi maha besar” (Q.S. Ghaafir: 12)
Allah berfirman:
إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ
“Hukum itu hanya milik Allah (Q.S Yusuf :40)
Allah berfirman:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْماً لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ 
“Apakah yang mereka inginkan hukum jahiliyah?, Hukum siapakah yang lebih baik dari Allah bagi orang-orang yaing beriman” (Q.S Al-Ma'idah :50)
Disebutkan dalam Kitab “Mausu’ah Al-adyan Wal Madzaahib Mu'ashirah 2/1066):
ولا شك في أن النظم الديمقراطية أحد صور الشرك الحديثة في الطاعة والانقياد أو في التشريع ، حيث تُلغى سيادة الخالق سبحانه وتعالى وحقه في التشريع المطلق ، وتجعلها من حقوق المخلوقين 
“Tidak diragukan lagi bahwasnya sistem demokrasi adalah salah satu bentuk kesyririkan terbaru dalam keta'atan, ketundukan dan hak pensyari'atan, dimana (dalam sitem ini) hak pensyari'atan mutlak bagi Allah telah dihilangkan, dan itu dijadikan sebagai hak-hak makhluk”.

Sungguh sangatlah aneh jika pemilu itu dipisahkan dengan sistem demokrasi, karena kenyataan yang ada justru pemilu ini adalah inti dari acara besar-besaran sistem demokrasi..

Maka dengan ikut serta dalam pesta demokrasi ini secara tidak langsung dia ikut serta dalam merayakan sistem yang bathil ini.

KEDUA: Allah ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلا تَجَسَّسُوا وَلا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa. Dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain (Tajassus) dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang” [QS. Al-Hujuraat: 12].

SISI PENDALILAN:

Tidak diragukan lagi bahwa pemilu ini adalah merupakan ajang setiap pendukung salah satu pasangan calon untuk tajassus (mencari aib) dan menghibahi pendukung pasangan calon yang lainnya.
Tidak sedikit diantara mereka yang melontarkan perkataan-perkataan yang tidak pantas seperti cebong,kampret dan sebagainya.
Bahkan yang sangat menyedihkan inipun terjadi pada salah seorang diantara mereka yang menisbatkan diri kepada manhaj salaf mengikuti jalan mereka dengan memberikan laqob kepada salah satu paslon “ojokuwi”...!!!!
Dan ini semua adalah perbuatan yang diharamkan dalam islam.
Rosulullah Sholallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda:
إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ، وَلَا تَحَسَّسُوا وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا تَحَاسَدُوا وَلَا تَدَابَرُوا وَلَا تَبَاغَضُوا وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا 
Berhati-hatilah kalian terhadap prasangka (buruk), karena prasangka (buruk) itu adalah sedusta-dusta perkataan. Janganlah kalian saling mencari-cari kejelekan (Tahassus), saling memata-matai (Tajassus), saling hasad, saling membelakangi, dan saling membenci. Jadilah kalian, wahai hamba-hamba Allah, orang-orang yang bersaudara” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6064].
Rosulullah Sholallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda:
وَاللهِ لأَنْ يَأْكُلَ أَحَدُكُمْ مِنْ لَحْمِ هَذَا (حَتَّى يمْلأَ بَطْنَهُ) خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيْهِ (الْمُسْلِمِ)
: “Demi Allah, salah seorang dari kalian memakan daging bangkai ini (hingga memenuhi perutnya) lebih baik baginya daripada ia memakan daging saudaranya (yang muslim)”
(Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Adabul mufrod no.736)
Rosulullah Sholallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda:
: كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ، دَمُهُ وَعِرْضُهُ وَمَالُه
Semua muslim terhadap muslim yang lain adalah harom, yaitu darahnya, kehormatannya, dan hartanya”. [HR. Muslim]

KETIGA: : Firman Allah ta'ala: 
إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا لَسْتَ مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ ۚ إِنَّمَا أَمْرُهُمْ إِلَى اللَّهِ ثُمَّ يُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَفْعَلُونَ
“Artinya ; Sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah (terserah) kepada Alloh, kemudian Alloh akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat” [Al-An’am ; 159]
SISI PENDALILAN: Bagi siapa saja yang memperhatikan realita pemilu maka dia akan mendapatkan bagaimana pemilu ini merupakan sarana untuk memecah belah kaum muslimin.
Dan tidak diragukan lagi bahwa segala sesuatu yang bisa mendatangkan perpecahan ditubuh kaum muslimin maka itu adalah dilarang.
Allah Ta’ala berfirman,
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَآءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara. (QS Ali Imran:103)


KEMPAT :Firman Allah :
إِذْ جَعَلَ الَّذِينَ كَفَرُوا فِي قُلُوبِهِمُ الْحَمِيَّةَ حَمِيَّةَ الْجَاهِلِيَّةِ فَأَنْزَلَ اللَّهُ سَكِينَتَهُ عَلَىٰ رَسُولِهِ وَعَلَى الْمُؤْمِنِينَ وَأَلْزَمَهُمْ كَلِمَةَ التَّقْوَىٰ وَكَانُوا أَحَقَّ بِهَا وَأَهْلَهَا ۚ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
“Dan ingatlah ketika orang-orang kafir telah menjadikan dihati-hati mereka fanatisme jahiliyah maka Allah turunkan ketenangan kepada Rosul-Nya dan orang-orang beriman dan Allah mewajibkan kepada mereka kalimat taqwa (Q.S Alfath :48)
SISI PENDALILAN: Dalam ayat yang mulia ini terdapat larangan untuk ta'ashub (fanatisme) seperti halnya orang-orang jahiliyah.
Dan dalam pemilu tersebut merupakan sarana bagi seseorang untuk menunjukkan sikap fanatisme ala jahiliyah kepada calon pasangan yang iya dambakan, sehingga dengan segala cara ditempuh agar pasangan calon tersebut menang dalam pertempuran kancah demokrasi.
Rosulullah Sholallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda:
إِذَا رَأَيْتُمُ الرَّجُلَ يَتَعَزَّى بِعَزَاءِ الْجَاهِلِيَّةِ فَأَعْرِضُوْهُ بِهَنِ أَبِيْهِ وَلاَ تَكْنَوا
“Jika kalian melihat seseorang mengajak kepada ta’ashub jahiliyyah maka suruhlah ia ‘menggigit kemaluan bapaknya’ Dan jangan pakai ungkapan lain.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi)

Dan dalam riwayat Muslim, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Barangsiapa yang berperang di bawah bendera emosi, membela ashabiyah maka bangkainya adalah bangkai jahiliyyah.” (HR. Muslim dan Nasa`i dari hadits Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu)

KELIMA: Rasulullah Sholallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda:
من تشبه بقوم فهو منهم
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka, ia bagian dari kaum tersebut (H.R Abu Dawud no. 4031, Dishahikan oleh Syeikh Al-Albani dalam Shahihul Jami' no.6146)
SISI PENDALILAN: Ikut serta dalam pesta demokrasi adalah merupakan bentu tasyabuh kepada orang-orang kafir yang telah membuat sistem demokrasi ini.
Karena sejatinya ikut serta dalam pesta demokrasi berarti sama saja dengan mengikuti mereka yang menjalankan sistem yang bathil ini.

FATWA-FATWA ULAMA YANG MENGAHARAMKAN PEMILU
Berikut ini adalah fatwa ulama2 yang mengaharamkan pemilu
1. Syeikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi'iy
Beliau menyatakan pemilu itu haram dalam bukunya “hurmatul intikhobat”
2. Syeikh Shalih Fauzan
Beliau mengatakan bahwa pemilu itu bertentangan dengan syari'at islam
Silahkan disimak disini https://youtu.be/hFrNKSGjnlY
3. Syeikh Albani dalam satu fatwanya
Beliau ketika ditanya tentang hukum pemilu diamerika beliau menjawab tidak boleh ikut
Silahkan disimak disini https://youtu.be/nLlAR5CENgA
4. Syeikh Utsaimin dalam fatwanya
Beliau juga pernah ditanya tentang ikut pemilu dan bergabung dengan partai2 yang didalamnya ada ahl bid'ah dan lainnya
Beliau menjawab tidak boleh
5. Syeik Abdurrahman Al Barrak (anggota hia'ah kibar ulama)
Beliau mengatakan bahwa hukum pemilu haram dakam fatwanya sebagaimana dinukil dalam buku “al intikhobat wa ahkumuha” hal: 58
6. Syeikh Rabi' bin Hadi Al Madkhaliy
Bisa disimak disini 
7. Syeikh Muhammad bin Hadi
Bisa disimak disini
8. Lajnah da'imah
Dalam fatwanya (23/406-407) mengatakan:
“Tidak boleh bagi seorang muslim untuk mencalonkan diri ke suatau negara yang tidak berhukum dengan hukum Allah dan syari'at islam.
DAN TIDAK BOLEH BAGI SEORANG MUSLIM JUGA UNTUK MEMILIHNYA atau yang lainnya yang mereka bekerja di negeri itu.
Kecuali jika ada seoarang calon yang ingin mengubah hukum negara tersebut dengan syari'at islam. Dan menjadikan itu hanya sekedar perantara untuk menjatuhkan hukum negara tersebut
Dengan syarat orang yang sudah mencalonkannya juga ketika terpilih tidak melakukan sesuatu yang bertentangn dengan syari'at islam.”
9. Syeikh Muhammad bin Abdullah Al-Imam
Dalam bukunya yang berjudul “Tanwiir Dzulumat Bi Kasyfi mafaasid wa syubbat Al-intikhobaat”

KERUSAKAN-KERUSAKAN PADA PEMILU

Bagi siapa saja yang memperhatikan acara besar pesta demokrasi atau pemilu ini maka dia akan mendapatkan banyak sekali kerusakan-kerusakan yang dimunculkan disebabkan pemilu ini, diantara kerusakam-kerusakan itu
1. Membantu terselenggaranya sistem kesyrikan
2. Tidak adanya Al-wala' wal Bara' yang dibangun diatas agama
3. Tunduk kepada undang-undang sekulerisme
4. Memberikan keragu-raguan kepada kaum muslimin
5. Memberikan celah kepada sistem demokrasi dalam hak pensyari'atan
6. Membantu musuh-musuh islam dalam menjauhkan kaum muslimin dari agama mereka
7. Menyelisihi manhaj (megode) Rosulullah Sholllahu 'alai wa sallam dalam menghadapi musuh.
8. Perantara kepada sesuatu yang diharamkan
9. Memecah belah persatuan kaum muslimin
10. Meruntuhkan perasaudaraan sesama muslim
11. Fanatisme golongan
12. Membantu para kaum hizbiyah
13. Dan masih banyak lagi akan kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan dari pemilu yang disebutkan oleh Syeikh Muhammad bin Abdillah Al-Imam dalam kitabnya “Tanwiir Dzulumat Bi Kasyfi mafaasid wa syubbat Al-intikhobaat”

KEJANGGALAN-KEJANGGALAN 
Banyak kejanggalan-kejanggalan yang kita temukan pada mereka-mereka yang menyeru ummat untuk ikut dalam pesta demokrasi.
Berikut beberapa Kejanggalan dan sekaligus keanehan dari mereka

PERTAMA: Memisahkan pemilu dengan sistem demorasi

Sungguh suatu keanehan yang luar biasa dari mereka yang pro kepada pemilu dengan memisahkan pemilu dari sistem demokrasi ini..!!!
Bagaimana mungkin pemilu tidak bisa dikaitkan dengan sistem demokrasi ini sementara pemilu ini merupakan suatu inti dari sistem demokrasi itu sendiri, bahkan mereka yang membuat sistem demokrasi ini mengatakan bahwa pemilu itu adalah pesta demokrasi.

KEDUA: Selalu memakai kaidah “irtikab Akhaffu dhararain” pada setiap pemilu akan diselenggarakan
Inilah yang menjadikan saya sempat merenung dari tahun 2014 silam.. 
Apa iya kaidah ini digunakan dalam setiap lima tahun sekali.
Apa ada darurat yang menjadikan kita untuk melakukan terus menurus sesuatu yang diharamkan tanpa batas??

KETIGA: Memakai Kaidah “Irtikab Akhaaffu dhararain” tanpa batasan dan syarat yang telah ditetapkan ulama.
Memakai kaidah ini tanpa adanya batasan berarti sama saja menghilang semua yang telah diharamkan oleh Allah
Karena jika kita memakai kaidah ini tanpa batasan dan syarat-syaratnya maka disana tidak ada lagi sesuatu yang haram
Dan inilah yang ditempuh oleh kaum sekulerisme dalam menghalalkan apa yang mereka kehendaki (lihat kitab 'Almaniyab hal.33 oleh Mahmud Syakir Syarif)
Adapun syarat-syarat dari kaidah ini:
1. Adanya dhorar (bahaya) yang akan ditimbulkan 
2. Tidak adanya wasilah (perantara) yang dibolehkan untuk menghilangkan bahaya tersebut.
3. Hendaknya melakukan yang diharam kan dalam kondisi darurat ini disesuaikan dengan kadarnya dalam arti tidak belebihan
4. Tidak menimbulkan kerusakan yang lainnya yang sama atau bahkan lebih parah 
Dan sudah kita jelaskan tentang kaidah ini tidak bisa diterapkan dalam kondisi pemilu ini.

KEEMPAT: Anggapan mereka kalau kita tidak nyoblos nanti akan terjadi seperti ini dan itu.
Inilah kenyataan yang kita dapati dimana kita selalu ditakut-takuti oleh mereka yang pro nyoblos kalau tidak nyoblos maka negeri ini akan dikuasai oleh syi'ah, pki dan musuh-musuh islam.
Alhamdulillah sudah sekian lama ketakutan ini muncul tapi sampai sekarang tidak terjadi apa-apa.
Yang ini menunjukkan bahwa ketakutan seperti ink adalah khurafat ala harokiyyin yang sudah ada sejak lama.
Silahkan anda tanyakan kepada ustad-ustadz senior yang sepuh, apakah khurafat ini baru sekarang muncul??

KELIMA: Anggapan sebagian mereka bahwa permasalahan ini bukanlah masuk dalam aqidah hanya sekedar permasalah furu'.
Subhanallah...!!
Perkara seperti ini bukanlah perkara yang ringan ya ikhwah.
Karena hal ini berkaitan erat dengan demokrasi yang merupakan kesyirikan.
Kita ikut serta dalam merayakan pesta demokrasi atau yang disebut dengan pemilu, maka kita telah mengambil andil dalam kelancaran sistem demokrasi.
Tidaklah mudah bagi kita untuk mengatakan ini adalah perkara furu' dan bukan masuk dalam ranah aqidah..

KEENAM: Perkataan mereka “bahwa kita tidak memilih juga tidak lepas dari demokrasi”.
Dan kejanggalan ini baru-baru muncul, yang ana sendiri menilai ini adalah kejanggalan yang paling aneh, yang tidak paham akan pembicaraan kita.
Bagaimana mungkin kita yang tidak memilih dikatakan dia telah menjalankan sistem demokrasi, sementara kita mengingkari akan sistem demokrasi itu sendiri.
Apa mungkin sistem demokrasi akan bejalan jika memang semua rakyat tidak memilih?
Tentu jawabannya tidak.
Demokrasi tidak akan berjalan jika memang yang memilih itu dibawah angka 50 % 
Dan Secara hukum, kalau di atas 50 persen (angka golput), maka pemilu tidak sah. Secara konstitusional, angka golput harus dipastikan di bawah 50 persen
Lagi pula kejanggalan ini menunjukkan ketidakpahaman apa yang sedang kita bicarakan
Karen pembicaraan kita seputar hukum ikutserta dalam pesta demokrasi, yang mana seseorang ikut serta dalam pesta demokrasi maka dia dikatakan telah ikut andil mensukseskan acara inti dari sistem demokrasi?
Apa iya ada orang berakal mengatakan kalau tidak ikut dalam pesta demokrasi ini dikatakan ikut mensukseskannya??
Terlebih jika hal itu ditambah dengan peringatan kepada kaum muslimin akan bahaya sistem demokrasi ini terhadap aqidah seorang muslim

PENUTUP

Inilah yang mungkin bisa ana tulis dalam permasalahan pemilu ini, sebagai bentuk tanggung jawab untuk memberikan nasihat kepada kaum muslimin dan kepada ikhwah salafiyyun khususnya, agar mereka tidak terjatuh kedalam lubang khurafat haroki yang selalu menakut-nakuti kaum muslimin ketika menjelang pemilu.
Dan dalam penutup ini ana ingin tegaskan bahwa pendapat yang ana pilih ini bukanlah semata-mata bertujuan untuk mengeluarkan saudara-saudara kita yang ikut nyoblos atau ikut serta dalam pesta demokrasi dari barisan salafy.
Semoga tulisan ini bisa memberikan manfaat kepada ana pribadi dan kepada ikhwah salafiyyin yang lainnya
Wallahu'alam

Ditulis oleh

Agus Susanto Sanusi



Mengapa Ahlu sunnah Wal Jamâ’ah Tidak Menempuh Solusi Politik Dan Revolusi Dalam Perbaikan Masyarakat?

Abu Fathan | 17:53 | 0 comments
Agama Islam telah mencakup seluruh kebutuhan makhluk, Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَيَوْمَ نَبْعَثُ فِي كُلِّ أُمَّةٍ شَهِيدًا عَلَيْهِمْ مِنْ أَنْفُسِهِمْ ۖ وَجِئْنَا بِكَ شَهِيدًا عَلَىٰ هَٰؤُلَاءِ ۚ وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ

(Dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri[An-Nahl/16:89].

Diantara kebutuhan ini adalah sisi politik yang menjadi sarana keteraturan masyarakat dan sisi jihad yang menjadi penjamin kemuliaan dan menghalangi musuh yang menyerangnya. Kemulian orang yang melaksanakan kedua hal ini dengan ilmu dan keadilan adalah perkara yang sudah masyhur.

Hal ini kami sampaikan untuk menjelaskan bahwa politik syar’i termasuk bagian agama dan jihad yang syar’i juga bagian dari agama bahkan menjadi menaranya sebagaimana dijelaskan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Namun ketika banyak kaum Muslimin yang tidak memiliki banyak pengetahuan dari ajaran agama mereka, maka banyak musibah yang menimpa mereka. Padahal dahulu kaum Muslimin adalah umat yang satu lagi mulia dan kokoh, tiba-tiba berubah persatuannya menjadi perpecahan dan kekuatannya menjadi lemah sekali. Para aktifis dakwah Islam telah melakukan perbaikan keadaan yang ada, namun mereka berselisih dalam perbaikan ini sesuai perbedaan mereka dalam merealisasikan akar permasalahan. Mayoritas memandang semua musibah besar yang menimpa kaum Muslimin sekarang, sebabnya adalah rusaknya sistem perpolitikan. Hal ini telah menjadi hasil pemikiran para jamaah dakwah yang beragam manhajnya.

Ada dua jama’ah yang muncul di medan dakwah. Yang pertama memandang semua ini menuntut kaum Muslimin terlibat langsung ke medan politik untuk merubah program-program pemerintah; Dan yang kedua memandang tidak ada obat dalam hal ini kecuali peperangan.

Kelompok pertama meyakini semua hal ini perlu untuk berlomba-lomba meraih kekuasaan dan yang lainnya hanya memandang mengkudeta para penguasa imperalis.

Bukanlah perbedaan disini dalam masalah pengakuan tentang rusaknya keadaan masyarakat dan tidak juga tentang urgensinya berusaha memperbaiki keadaan atau tidak memperbaiki. Namun perbedaannya yaitu dalam metode memperbaikinya. Efek dari perbedaan dalam masalah ini cukup jelas; karena cara perbaikan apabila dianggap tidak ada atau dilalaikan maka pelakunya terus akan kelelahan merubah sesuatu tapi bukan pintunya. Ini seperti orang yang ingin sampai pada satu sasaran tidak melalui jalurnya, lalu kapan sampainya?!

Demikian juga masalah mencari akar masalah penyimpangan, karena tabiat terapi berbeda-beda sesuai perbedaan analisa pokok penyakit. Oleh karenanya saya ingin menjelaskan sebab utama musibah kaum Muslimin; karena pengetahuan tentang hal ini menentukan cara pengobatan yang pas. Sebab keberhasilan pengobatan seluruh penyakit berawal dari akar masalah ini.

Orang yang meneliti sejarah pelaku perbaikan –terutama para Nabi – mengetahui secara yakin bahwa dua jamaah di atas menyelisihi mereka, baik dalam melihat akar permasalahannya atau melihat cara memperbaikinya; sebab para Nabi diutus pada kaum yang memiliki semua keburukan termasuk juga buruk dalam politik, lalu tida ada dalam al-Qur`an dan as-Sunnah satu petunjukpun yang menjelaskan para Nabi pertama kali melakukan perbaikan keadaan politik dengan menjadi praktisi politik atau praktisi revolusi berdarah.

Barangsiapa meneliti dakwah para Nabi dengan niat menerima dan mencontoh tentulah akan tampak jelas dan yakin akan hal tersebut tanpa susah payah. Sebab para Nabi diajak masuk dan ikut dalam kekuasan lalu mereka menolak dengan menyatakan kepada kaum mereka:

وَمَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ ۖ إِنْ أَجْرِيَ إِلَّا عَلَىٰ رَبِّ الْعَالَمِينَ

Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Rabb semesta alam [Asy-Syu’ara/26:109]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun diutus pada waktu kerusakan politik yang sudah merata. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak memfokuskan pada perbaikan sistem perpolitikan, walaupun politik adalah bagian dari agama sebagaimana telah dijelaskan tadi. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun diajak oleh para pemimpin besar Quraisy untuk bersekutu dalam kekuasaan dan beliau menolaknya. Bisa dilihat dalam tafsir Ibnu Katsîr pada awal-awal surat Fushilat dan ada juga riwayat yang semakna dengan ini bisa dilihat takhrijnya dan dihasankan oleh syaikh al-Albâni t dalam komentar beliau t pada kitab Fiqhus-Sîrah, hlm 106. Dalam sebagian jalan periwayatkannya, kaum Quraisy berkata kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

وَإِنْ كُنْتَ تُرِيْدُ شَرَفًا، سَوَّدْنَاكَ عَلَيْنَا، فَلاَ نَقْطَعْ أَمْرًا دُوْنَكَ. وَإِنْ كُنْتَ تُرِيْدُ مُلْكًا مَلَّكْنَاكَ عَلَيْنَا.

Apabila kamu inginkan kehormatan maka kami jadikan kamu pemimpin kami dan kami tidak akan memutuskan satu perkarapun tanpa kamu dan bila kamu inginkan kerajaan maka kami akan mengangkatmu sebagai raja kami…

Bahkan orang yang membandingkan antara dakwah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada raja-raja dan para penguasa dengan dakwah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada masyarakay pasti mengetahui perbedaannya.

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu menghadapi masyarakat dengan bergerak dan semangat berapi-api dalam mendakwahi mereka di tempat-tempat berkumpul mereka, pasar-pasar dan rumah-rumah serta selainnya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendakwahi mereka, baik kabilah maupun pribadi-pribadi tanpa lelah hingga mencapai puncak kesedihan, sehingga Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَلَا تَذْهَبْ نَفْسُكَ عَلَيْهِمْ حَسَرَاتٍ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِمَا يَصْنَعُونَ

Maka janganlah dirimu binasa karena kesedihan terhadap mereka. Sesungguhnya Allâh Subhanahu wa Ta’ala Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat [Fâthir/35: 8]

Bahkan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam hampir bunuh diri karena itu hingga Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

فَلَعَلَّكَ بَاخِعٌ نَفْسَكَ عَلَىٰ آثَارِهِمْ إِنْ لَمْ يُؤْمِنُوا بِهَٰذَا الْحَدِيثِ أَسَفًا

Maka (apakah) barangkali kamu akan membunuh dirimu karena bersedih hati setelah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan ini (al-Quran) [Al-Kahfi/18: 6]

Sedangkan terhadap para raja dan penguasa pada umumnya keadaan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membebani dirinya untuk datang menemui mereka, bahkan cukup dengan mengutus utusan kepada mereka membawa ucapan ringkas dan selesai, ucapan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut adalah:

مِنْ مُحَمَّدٍ عَبْدِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى هِرَقْلَ عَظِيمِ الرُّومِ: سَلاَمٌ عَلَى مَنِ اتَّبَعَ الهُدَى، أَمَّا بَعْدُ، فَإِنِّي أَدْعُوكَ بِدِعَايَةِ الإِسْلاَمِ، أَسْلِمْ تَسْلَمْ، يُؤْتِكَ اللَّهُ أَجْرَكَ مَرَّتَيْنِ، فَإِنْ تَوَلَّيْتَ فَإِنَّ عَلَيْكَ إِثْمَ الأَرِيسِيِّينَ ” قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَىٰ كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ ۚ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ

Dari Muhammad hamba Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan rasulNya kepada Hiraklius penguasa Romawi, Semoga keselamatan diberikan kepada orang yang mengikuti petunjuk. Amma ba’du: Sungguh aku mengajak kamu dengan ajakan islam: Masuklah kedalam Islam niscaya kamu selamat dan Allâh Subhanahu wa Ta’ala memberikan kamu pahala dua kali. Apabila kamu berpaling maka kamu menanggung dosa arisiyun dan Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allâh Subhanahu wa Ta’ala “. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)” (Ali Imrân/3:64). [HR al-Bukhari (no.7) dan Muslim (no 1773].

Bandingkanlah antara dakwah Nabi yang bijak dengan ceramah-ceramah politik yang panjang dan menghabiskan umur prkatisinya hingga jenggot mereka beruban, pasti mengetahui mana dari dua kelompok tersebut yang lebih berhak dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Bahkan waktu itu masuk islam seorang raja besar yaitu an-Najâsyî raja Habasyah, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berpikir untuk berhijrah kesana untuk tinggal menetap di kerajaannya atau menjadikannya sebagai awal negara Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Juga tidak berkata: Dari istana seperti ini dakwah akan berjalan maju; karena Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui bahwa masyarakat umum apabila belum menerima sepenuhnya Islam, maka keksuasan yang didapatkan tidak banyak bermanfaat. Kalau begitu, wajib bagi pengikut para Nabi untuk memperhatikan cara-cara mereka dalam perbaikan. Kalau sudah demikian maka kemenanganpun akan datang!

Pengaruh perubahan raja dalam perbaikan masyarajak sudah sangat jelas; namun ketika kebaikan dan rusaknya raja mengikuti kebaikan dan kerusakan masyarakatnya dan tidak sebaliknya. Maka perbedaan inilah yang ada dalam sejarah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam antara perbaikan pemimpin dan perbaikan masyarakat dan perhatian besar dalam mendakwahi masyarakat lebih banyak dari perhatian mendakwahi raja-raja.

Sebuah kepastian bahwa penyebab kerusakan keadaan kaum Muslimin di semua negara adalah kerusakan penguasa dan rakyat. Kalau sudah jelas demikian maka kerusakan penguasa banyak menyebabkan kerusakan rakyatnya dengan memasukkan kepada rakyatnya aturan-aturan yang menyelisihi syariat Rabb alam semesta. Maka perlu diketahui rusaknya penguasa disebabkan pertama kali dari rusaknya rakyat; karena Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَكَذَٰلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضًا بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

Dan demikianlah Kami jadikan sebahagian orang-orang yang zalim itu menjadi teman bagi sebahagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan [Al-An’âm/6:129]

Allâh Subhanahu wa Ta’ala mengkhabarkan bahwa diantara takdir-Nya adalah orang zhalim menjajah orang yang zhalim juga. Allâh Subhanahu wa Ta’ala juga menjelaskan pengertian ini dalam firman-Nya:

وَإِذَا أَرَدْنَا أَنْ نُهْلِكَ قَرْيَةً أَمَرْنَا مُتْرَفِيهَا فَفَسَقُوا فِيهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْنَاهَا تَدْمِيرًا

Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya [Al-Isra’/17:16].

Dalam ayat ini Allâh Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan para pemimpin yang hidup mewah dengan kedurhakan mereka menjajah penduduk negeri yang pantas dibinasakan. Tidak diragukan lagi penduduk tersebut berhak dibinasakan karena mereka zhalim, sebagaimana Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَتِلْكَ الْقُرَىٰ أَهْلَكْنَاهُمْ لَمَّا ظَلَمُوا وَجَعَلْنَا لِمَهْلِكِهِمْ مَوْعِدًا

Dan (penduduk) negeri telah Kami binasakan ketika mereka berbuat zalim, dan telah Kami tetapkan waktu tertentu bagi kebinasaan mereka [Al-Kahfi/18:59].

Sebagian salaf memahami ayat ini dengan tafsir ini, diriwayatkan oleh Abu Nu’aim t (6/30) dan al-Baihaqi t dalam asy-Syu’ab al-Imaan no. 7389 dan Abu Amru ad-Daani t dalam as-Sunan al-Waaridah fil Fitan no. 299 dengan sanad yang shahih dari Ka’ab al-Ahbâr bahwa beliau berkata:

إِنَّ لِكُلِّ زَمَانٍ مَلِكًا يَبْعَثُهُ اللَّهُ عَلَى قُلُوبِ أَهْلِهِ , فَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ صَلَاحًا بَعَثَ فِيهِمْ مُصْلِحًا , وَإِذَا أَرَادَ بِقَوْمٍ هَلَكَةً بَعَثَ فِيهِمْ مُتْرِفًا , ثُمَّ قَرَأَ: وَإِذَا أَرَدْنَا أَنْ نُهْلِكَ قَرْيَةً أَمَرْنَا مُتْرَفِيهَا فَفَسَقُوا فِيهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْنَاهَا تَدْمِيرًا

Sesungguhnya setiap zaman ada raja yang Allâh Subhanahu wa Ta’ala angkat sesuai hati-hati penduduknya. Apabila Allâh Subhanahu wa Ta’ala inginkan pada satu kaum kebaikan maka mengangkat pada mereka raja yang memperbaiki dan bila ingin kebinasaan maka Allâh Subhanahu wa Ta’ala mengangkat pemimpin yang bermewah-mewahan, kemudian beliau membaca firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala : Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya [Al-Isra’/17:16].

Al-Munawi rahimahullah dalam Faidhul Qadîr 1/265 berkata, “Lengkapnya adalah jika Allah Azza wa Jalla menginginkan keburukan pada satu kaum yang jelek, maka Allâh Subhanahu wa Ta’ala mengangkat para tokoh yang bermewah-mewah sebagai pemimpin mereka karena ketidak istiqamahan rakyat tersebut.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah menjelaskan dengan jelas bahwa kezhaliman penguasa kepada rakyatnya diawali dengan dosa-dosa mereka sendiri. Beliau bersabda:

وَلَمْ يَنْقُصُوا الْمِكْيَالَ وَالْمِيزَانَ، إِلَّا أُخِذُوا بِالسِّنِينَ وَشِدَّةِ الْمَؤونَةِ وَجَوْرِ السُّلْطَانِ عَلَيْهِمْ.

Dan mereka tidak mengurangi takaran dan timbangan kecuali disiksa dengan kelaparan dan kesulitan hidup serta kezhaliman penguasa [HR Ibnu Majah no. 4019 dan dishahihkan al-Albani dalam Shahih Sunan Ibnu majah].

Demikianlah efek dosa, tidak dilanggar peringatan Allah di satu kaum kecuali akan tertimpa mala petaka, sehingga mereka terjajah, dirampas rezeki mereka, dilecehkan kehormatan dan hilang kebebesan mereka. Kemungkaran menimpa mereka sesuai kadar kejelekan yang mereka perbuat dan hilang dari mereka kebahagian sesuai dengan yang mereka hilangkan dari ketaatan.

Ketika ini semua adalah sebab utama, maka Allâh Subhanahu wa Ta’ala menjadikan perbaikan individu sebagai cara satu-satunya dalam perbaikan penguasa dan rakyat, Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ

Sesungguhnya Allâh Subhanahu wa Ta’ala tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. [Ar-Ra’d/13:11]

Oleh karena itu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak lebih dalam Khutbah beliau dari berlindung dari keburukan jiwa , beliau berkata:

وَنَعُوذُ بهِ مِنْ شُرُورِ أنْفُسِنَا، وَمِنْ سَيئاتِ أعْمَالِنَا

Dan kami berlindung kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dari keburukan jiwa dan kejelakan amalan kami. (HR ash-Habus sunan dan dishahihkan al-Albani ).

Mengapa banyak para dai yang berpaling dari ketaatan kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan mengikuti Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam masalah ini?

Yang mendorong saya untuk menyampaikan tulisan ini adalah rasa sayang kepada usaha besar yang telah dikeluarkan dalam dakwah islam yang habis tanpa faedah yang dapat dikenang, lebih-lebih lagi usaha-usaha ini mencakup medan luas dari medan-medan dakwah yang menyita banyak waktu praktisinya. Seandainya mereka mengambil petunjuk al-Qur`an dan Sunnah dan meneliti sirah para Nabi dengan niyat ittiba’ pastilah sampai dengan izin Allah pada tujuan dengan waktu yang singkat. Namun yang menyimpang dari hal ini dari dua kelompok yang telah diisyaratkan diatas dikhawatirkan tidak mendapatkan bagian dari amalannya ini kecuali seperti yang disampaikan Allâh Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya:

عَامِلَةٌ نَاصِبَةٌ

Bekerja keras lagi kepayahan. [Al-Ghâsyiyah/88:3]

Inilah keadaan orang-orang yang berlebihan dalam praktek politik dan revolusi berdarah.

Oleh Syaikh Abdul Malik Ramadhani

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XIX/1436H/2015.]
_______
Footnote
[1] Syaikh Abdul Mâlik Ramadhâni (diambil dari makalah beliau yang berjudul Limâdza Lâ yalja’ Ahlus Sunnah Fi Islâhihim Ilâl-Hil as-Siyâsi wal Hil ad-Damawi? dalam majalah al-Ishlâh edisi 5, Romadhân/syawal 1428 hlm 36-40
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. BERITA SUNNAH - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger