Di dalam al-Qur’an, Allâh Azza wa Jalla menyatakan keberadaan para tokoh penyeru kesesatan dan para tokoh penyeru kepada petunjuk kebaikan.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَجَعَلْنَاهُمْ أَئِمَّةً يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ ۖ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا يُنْصَرُونَ
Dan Kami jadikan mereka pemimpin-pemimpin yang menyeru (manusia) ke neraka dan pada hari kiamat mereka tidak akan ditolong [Al-Qashash/28:41].
Dalam ayat lain, Allâh Azza wa Jalla juga berfirman:
وَجَعَلْنَاهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا وَأَوْحَيْنَا إِلَيْهِمْ فِعْلَ الْخَيْرَاتِ وَإِقَامَ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءَ الزَّكَاةِ ۖ وَكَانُوا لَنَا عَابِدِينَ
Dan Kami jadikan mereka sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada mereka untuk mengerjakan kebaikan, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan hanya kepada Kamilah mereka selalu menyembah [Al-Anbiyâ’/21:73].
Shahabat yang mulia, ‘Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallahu anhu mengatakan, “Allâh Subhanahu wa Ta’ala menjadikan imam (pemimpin) bagi manusia di dunia ini yang mengajak manusia kepada kesesatan atau petunjuk kebaikan.” Kemudian beliau Radhiyallahu anhu membaca dua ayat tersebut di atas.[1]
Dalam beberapa hadits shahih, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam juga menegaskan keberadaan dan bahaya para tokoh pengusung kesesatan ini.
Dari Tsauban Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:
إِنَّمَا أَخَافُ عَلَى أُمَّتِي الْأَئِمَّةَ الْمُضِلِّيْنَ
Sesungguhnya yang saya khawatirkan (akan merusak) umatku hanyalah para imam (tokoh) yang menyeru kepada kesesatan.[2]
Mereka adalah para tokoh penyeru kepada bid’ah, kefasikan dan keburukan.[3]
Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan Alu asy-Syaikh berkata, “(Mereka) adalah para pemimpin, tokoh agama dan ahli ibadah yang mengarahkan manusia tanpa ilmu (pemahaman agama yang benar), sehingga mereka menyesatkan manusia, sebagaimana dalam firman Allâh Azza wa Jalla :
وَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءَنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلَا
Dan mereka (orang-orang yang sesat) berkata, “Ya Rabb Kami (Allâh Subhanahu wa Ta’ala)! Sesungguhnya kami telah mentaati para pemimpin dan para pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar) [Al-Ahzâb/33:67][4]
Dan Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
Sesungguhnya Allâh Subhanahu wa Ta’ala tidak mencabut ilmu (pemahaman agama yang benar) dengan menghilangkannya dari (dada atau hati) para hamba-Nya, akan tetapi Allâh Subhanahu wa Ta’ala mencabut ilmu dengan mewafatkan para Ulama. Sampai ketika tidak tersisa lagi seorang Ulama’pun, maka manusia akan mengangkat para pemimpin (tokoh panutan) yang jahil (tidak memiliki pemahaman agama yang benar), lalu para pemimpin itu ditanya (tentang masalah agama), maka mereka berfatwa (memberikan jawaban atau arahan) tanpa dasar ilmu, sehingga mereka tersesat dan menyesatkan orang lain.[5]
Dalam hadits ini terdapat peringatan keras agar tidak menjadikan orang yang jahil (tidak memiliki pemahaman agama yang benar) sebagai tokoh panutan, karena dia akan mengarahkan manusia dengan kejahilannya, sehingga dia tersesat atau menyimpang dan menyesatkan manusia.[6]
Dalam hadits shahih lainnya, dari Hudzaifah bin al-Yaman Radhiyallahu anhu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam menyebutkan munculnya fitnah besar di akhir jaman dalam sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam :
نَعَمْ دُعَاةٌ عَلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ مَنْ أَجَابَهُمْ إِلَيْهَا قَذَفُوهُ فِيهَا
Ya. (Akan muncul) para penyeru di atas pintu-pintu neraka Jahannam. Barangsiapa mengikuti seruan mereka maka dia akan dilemparkan ke dalam neraka Jahannam.[7]
Maksudnya, para penyeru ini akan mengajak manusia untuk melakukan perbuatan yang bisa menjerumuskan mereka ke dalam neraka Jahannam[8], na’ûdzu billâhi min dzâlik.
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Para Ulama menjelaskan bahwa mereka ini adalah para pemimpin yang menyeru kepada bid’ah atau kesesatan lainnya, seperti orang-orang Khawarij (para pemberontak kepada pemerintah Muslim dan mereka mudah mengkafirkan kaum muslimin), al-Qarâ-mithah dan tokoh-tokoh pembawa fitnah (pemikiran sesat).”[9]
KEBURUKAN DAN BAHAYA BESAR YANG DITIMBULKAN OLEH PARA TOKOH PENGUSUNG KESESATAN
Dalam ayat al-Qur’an dan hadits-hadits yang telah kami nukilkan di atas dijelaskan bahwa para tokoh pengusung kesesatan ini akan selalu mengajak manusia kepada pemahaman sesat dan perbuatan-perbuatan menyimpang dari agama Allâh Azza wa Jalla . Dan tentu saja mereka lakukan ini dengan bahasa yang manis dan kata-kata indah yang memperdaya. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الْإِنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَىٰ بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا
Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari kalangan) manusia dan (dari kalangan) jin, yang mereka satu sama lain saling membisikkan perkataan-perkataan yang indah untuk menipu (manusia) [al-An’aam/6:112].
Mereka, satu sama lain saling menghiasi keburukan dan kesesatan yang mereka serukan (kepada manusia), serta memperindah kata-kata yang mereka sampaikan, sehingga menjadikan keburukan itu tampak dalam bentuk yang (terlihat) baik, supaya orang-orang jahil (tidak paham) mudah tertipu dan orang-orang awam terpengaruh untuk mengikutinya… Lalu mereka akan menyangka kebenaran itu adalah kebatilan dan kebatilan itu adalah kebenaran.[10]
Tentu saja, ini akan menimbulkan banyak keburukan dan kerusakan di tengah-tengah masyarakat. Karena di samping pemikiran sesat dan perbuatan buruk tersebut akan mendatangkan berbagai macam bencana disebabkan kemurkaan Allâh Azza wa Jalla , juga keburukan yang ditampilkan dalam bentuk yang terlihat baik di mata manusia mengakibatkan keburukan itu tidak akan diingkari oleh manusia bahkan justru malah dibela dengan sekuat tenaga karena diyakini sebagai kebenaran. Ini akan menyebabkan datangnya musibah di atas musibah.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
Dan musibah apa saja yang menimpa kamu maka itu disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allâh memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu). [Asy-Syûrâ/42:30]
Imam Abul ‘Aliyah ar-Riyâhi[11] rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang bermaksiat kepada Allâh Azza wa Jalla di muka bumi maka (berarti) dia telah berbuat kerusakan padanya, karena perbaikan di muka bumi dan di langit (hanya bisa diwujudkan) dengan ketaatan (kepada Allâh Azza wa Jalla )”.[12]
Adapun tentang keburukan yang tidak diingkari, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:
إِنَّ النَّاسَ إِذَا رَأَوا الْمُنْكَرَ لاَ يُغَيِّرُوْنَهَ أَوْشَكَ أَنْ يَعُمَّهُمُ اللهُ بِعِقَابِهِ
Sesungguhnya manusia jika mereka melihat kemungkaran (keburukan) dan tidak (berusaha) merubahnya (menghilangkannya) maka tidak lama lagi Allâh akan menimpakan adzab-Nya yang merata kepada mereka.[13]
Bahkan ini adalah jenis kerusakan yang dilakukan oleh orang-orang munafik dengan meng-atasnamakan perbaikan di muka bumi. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ﴿١١﴾أَلَا إِنَّهُمْ هُمُ الْمُفْسِدُونَ وَلَٰكِنْ لَا يَشْعُرُونَ
Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi!”, Mereka menjawab, “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.” Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar(QS. Al-Baqarah/2:11-12)
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah berkata, “Jadi, mereka menghimpun (dua keburukan besar) antara perbuatan (maksiat) yang menimbulkan kerusakan di muka bumi dan menampilkan perbuatan buruk tersebut (seolah-olah) bukan keburukan, bahkan (dikesankan sebagai) upaya perbaikan, untuk memutarbalikkan fakta. Mereka mengumpulkan antara perbuatan buruk dan meyakini keburukan itu sebagai kebenaran. Ini lebih besar keburukannya daripada orang yang berbuat maksiat dan dia masih meyakini bahwa apa yang dia lakukan itu buruk, karena orang ini lebih dekat dan lebih bisa diharapkan untuk kembali (bertaubat)” [14].
Sebagai contoh dalam hal ini adalah kelompok khawarij. Mereka adalah kelompok pertama yang menyempal dalam Islam dan diperangi oleh para Sahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam di bawah pimpinan Sahabat yang mulia, ‘Ali Bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu berdasarkan perintah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam .
Pemikiran sesat kelompok ini banyak melahirkan kerusakan dan keburukan besar di tengah kaum Muslimin, bahkan di tengah umat manusia pada umumnya, dari dulu sampai sekarang. Seperti perbuatan mengkafirkan pemerintah Muslim, memberontak kepada mereka, melakukan teror, pertumpahan darah dan bom bunuh diri, yang semua ini tentu sangat dikutuk dan dicela dalam Islam.
Bersamaan dengan itu, kelompok khawarij ini selalu menampilkan diri sebagai pembela Islam serta penegak amar ma’ruf dan nahi mungkar, untuk menyembunyikan penyimpangan dan kesesatan yang besar dalam batin mereka.
Dalam hadits yang shahih, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam menggambarkan hal tersebut ketika menjelaskan ciri-ciri kelompok ini. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:
يَقُوْلُوْنَ مِنْ خَيْرِ قَوْلِ الْبَرِيَّةِ يَقْرَأُوْنَ الْقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ
Mereka (orang-orang khawarij) selalu mengucapkan (secara lahir) kata-kata yang indah, dan mereka membaca al-Qur’an tapi (bacaan tersebut) tidak melampaui tenggorokan mereka (tidak masuk ke dalam hati mereka)[15]
Dalam riwayat yang lain, Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu mengatakan, “Wahai sekalian manusia! Sesungguhnya aku pernah mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:
يَخْرُجُ قَوْمٌ مِنْ أُمَّتِيْ يَقْرَأُوْنَ الْقُرْآنَ لَيْسَ قِرَاءَتُكُمْ إِلَى قِرَاءَتِهِمْ بِشَيْءٍ وَلاَ صَلاَتُكُمْ إِلَى صَلاَتِهِمْ بِشَيْءٍ وَلاَ صِيَامُكُمْ إِلَى صِيَامِهِمْ بِشَيْءٍ
Akan terlahir dari umatmu satu kaum yang mereka itu membaca al-Qur’an; Bacaan al-Qur’an kalian (wahai para Sahabatku) tidak ada artinya jika dibandingkan dengan bacaan al-Qur’an mereka, (demikian pula) shalat kalian tidak ada artinya jika dibandingkan dengan shalat mereka, juga puasa kalian tidak ada artinya jika dibandingkan dengan puasa mereka[16]
Hadits-hadits di atas jelas menunjukkan bahwa mereka selalu menampilkan diri dengan penampilan dan pengakuan yang terkesan indah untuk menipu dan memperdaya manusia.
Oleh karena itu, tatkala kelompok khawarij ini keluar untuk memberontak di jaman khalifah yang mulia, ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu, dengan membawa satu slogan yang mereka elu-elukan, “Tidak ada hukum selain hukum Allâh Azza wa Jalla ”, ketika itu ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahun anhu menanggapi slogan tersebut dengan ucapan beliau Radhiyallahu anhu yang sangat terkenal, yaitu, “(Slogan mereka itu) adalah kalimat (yang nampaknya) benar tetapi dimaksudkan untuk kebatilan.”[17]
Para Ulama Ahlus sunnah senantiasa memperingatkan tentang keberadaan dan bahaya mereka di tengah-tengah umat dari dahulu sampai sekarang, khususnya dalam mempengaruhi orang-orang awam untuk mengikuti pemahaman mereka yang rusak, sehingga banyak terjadi penyimpangan dan kerusakan di tubuh kaum Muslimin.
Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Orang-orang yang menisbatkan diri kepada dakwah (menyeru manusia) pada jaman ini, di antara mereka ada yang mengajak kepada kesesatan dan menginginkan para pemuda Islam untuk menyimpang (dari pemahaman Islam yang benar), memalingkan manusia dari agama yang benar, memecah belah persatuan kaum Muslimin dan menjerumuskan mereka ke dalam fitnah.
Maka yang menjadi penilaian bukanlah (sekedar) penisbatan diri (pengakuan) atau penampilan lahir, akan tetapi yang menjadi penilaian adalah hakikat dan kesudahan dari perkara tersebut”[18].
SOLUSI DAN PENUTUP
Jalan keluar untuk selamat dari semua keburukan dan kerusakan di atas – dengan izin Allâh Azza wa Jalla – adalah dengan selalu berpegang teguh dan berkomitmen terhadap petunjuk Allâh Azza wa Jalla yang diturunkan-Nya kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam . Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَمَنْ يَعْتَصِمْ بِاللَّهِ فَقَدْ هُدِيَ إِلَىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
Barangsiapa berpegang teguh kepada (agama) Allâh maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk (taufik dari Allâh Subhanahu wa Ta’ala ) kepada jalan yang lurus [Ali ‘Imrân/3:101]
Dalam ayat lain, Allâh Azza wa Jalla berfirman:
فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُمْ مِنِّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَىٰ
Maka jika datang kepadamu petunjuk daripada-Ku (wahai manusia), maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk (agama)-Ku, dia tidak akan sesat dan ia tidak akan celaka [Thâhâ/20:123]
Imam Ibnu Syihab az-Zuhri rahimahullah berkata, “Berpegang teguh dengan sunnah (petunjuk Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam) adalah keselamatan (dari segala keburukan dan kesesatan)”[19].
Yang dimaksud di sini adalah pemahaman agama Islam yang benar, sebagaimana yang dijalani oleh generasi terbaik umat ini, yaitu para Sahabat Radhiyallahu anhu, kemudian para Ulama Ahlus sunnah wal jama’ah yang mengikuti petunjuk mereka dengan baik. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari (kalangan) orang-orang muhajirin dan anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allâh ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada-Nya, dan Allâh menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar [At-Taubah/9:100]
Dalam sebuah hadits yang shahih, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam menegaskan bahwa inilah solusi untuk selamat dari berbagai fitnah dan kerusakan di akhir jaman.
Dari al-‘Irbadh bin Sariyah Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:
فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
Sesungguhnya barangsiapa yang masih hidup di antara kamu sepeninggalku nanti, dia akan melihat banyak perpecahan (fitnah), maka (untuk keselamatanmu) hendaknya kamu berpegan teguh dengan petunjukku dan petunjuk para khulafâ-ur râsyidin yang selalu mendapat petunjuk (para Sahabat Radhiyallahu anhum), berkomitmenlah dengan petunjuk itu dan gigitlah dengan gigi gerahammu, serta jauhilah perkara yang diada-adakan (dalam urusn agama), karena semua perkara yang diada-adakan adalah bid’ah dan semua bid’ah adalah kesesatan”[20].
Ini semua menuntut kita waspada dan teliti dalam menilai setiap pemahaman agama yang tersebar di masyarakat kita, apakah pemahaman tersebut sesuai dengan pemahaman yng benar atau tidak?
Dalam hal ini, Imam Abu Muhammad al-Barbahari rahimahullah berkata, “Perhatikan dan cermatilah – semoga Allâh Azza wa Jalla Merahmatimu – semua orang yang menyampaikan satu ucapan atau pemahaman di hadapanmu! Jangan sekali-kali kamu terburu-buru untuk membenarkan dan mengikuti ucapan atau pemahaman tersebut, sampai kamu tanyakan dan meneliti kembali: Apakah ucapan atau pemahaman tersebut pernah disampaikan oleh para Sahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam atau pernah disampaikan oleh Ulama ahlus Sunnah? Kalau kamu dapati ucapan atau pemahaman tersebut sesuai dengan pemahaman mereka g , maka berpegangteguhlah dengannya, dan janganlah (sekali-kali) kamu meninggalkannya dan memilih pemahaman lain, sehingga (akibatnya) kamu akan terjerumus ke dalam neraka![21]
Sebagai penutup, camkanlah nasehat emas Imam Malik bin Anas rahimahullah yang populer, “Tidak akan baik (keadaan) generasi terakhir umat ini kecuali dengan sesuatu (metode benar) yang telah memperbaiki (keadaan) generasi pertama umat ini”[22].
Semoga tulisan ini bermanfaat dan menjadi sebab kebaikan bagi kaum Muslimin.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XXI/1438H/2017M. Oleh Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni MA]
_______
Footnote
[1] Dinukil oleh Imam al-Bagawi dalam tafsir beliau, 5/109
[2] HSR. Abu Dawud, no. 4252 dan at-Tirmidzi, 4/504. Hadits ini dinyatakan shahih oleh Imam at-Tirmidzi dan Syaikh al-Albani.
[3] Lihat kitab ’Aunul Ma’bûd, 11/218 dan Tuhfatul Ahwadzi, 6/401
[4] Kitab Fat-hul Majîd Syarhu Kitâbit Tauhîd, hlm. 323
[5] HSR. Al-Bukhâri, 6/2595 dan Muslim, no. 1847
[6] Lihat penjelasan Imam an-Nawawi rahimahullah dalam Syarhu shahîhi Muslim, 16/224
[7] HSR. Al-Bukhâri, 1/50 dan Muslim, no. 2673
[8] Lihat penjelasan Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam Fat-hul Bâri, 1/117
[9] Kitab Syarhu Shahîhi Muslim, 12/237
[10] Penjelasan Syaikh ‘Abdurrahman as-Sa’di t dalam tafsir beliau Taisîrul Karîmirrahmân, hlm. 269
[11] Beliau adalah Rufai’ bin Mihran ar-Riyâhi (wafat 90 H), seorang Tabi’in senior yang terpercaya dalam meriwayatkan hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam . Lihat kitab Taqrîbut Tahdzîb, hlm. 162
[12] Dinukil oleh imam Ibnu Katsir dalam tafsir beliau, 3/576
[13] HR. Ahmad, 1/2 dan Ibnu Majah, no. 4005. Hadits ini dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albani.
[14] Kitab Taisîr Karîmirrahmân, hlm. 42
[15] HSR. Imam Muslim (7/175 – syarh An Nawawi, cet. Darul Qalam), dari ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu
[16] HSR. Imam Muslim (7/176 – syarh An Nawawi), dari ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu
[17] HSR. Imam Muslim, no. 1066
[18] Kitab kecil Du’âtun ‘ala Abwâbi Jahannam, hlm. 5-6
[19] Dinukil oleh Imam al-Lâlika-i dalam kitab Syarhu Ushûli I’tiqâdi Ahlis Sunnati wal Jamâ-‘ah, 1/56 dan 94
[20] HR. Abu Dawud, no. 4607; At-Tirmidzi, 5/44 dan Ibnu Majah, no. 43. Hadits ini dinyatakan shahih oleh Imam at-Tirmidzi dan Syaikh al-Albani.
[21] Syarh As-Sunnah, Imam Al Barbahari, hlm.61, tahqiq Syaikh Khalid ar-Radadi
[22] Dinukil oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Iqtidhâ ash-Shirâthil Mustaqîm, hlm. 367 dan Imam Ibnul Qayyim dalam Igâtsatul lahfân, 1/200
0 comments:
Post a Comment