{قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ ويَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ، وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ}

Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah (sunnah/petunjuk)ku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS Ali ‘Imran:31)

Home » » Keluarga Berencana Islami

Keluarga Berencana Islami

Abu Fathan | 22:32 | 0 comments

بسم الله الرحمن الرحيم
Semua orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian wajib meyakini bahwa syariat Islam diturunkan oleh Allah untuk kebaikan dan kebahagiaan hidup Manusia. Karena Allah mensyariatkan agama-Nya dengan ilmu-Nya yang maha tinggi dan hikmah-Nya yang maha sempurna, maka jadilah syariat Islam satu-satunya pedoman hidup yang bisa mendatangkan kebahagiaan hakiki bagi semua orang yang menjalankannya dengan baik.
Allah berfirman:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ}
“Hai orang-orang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul-Nya yang mengajak kamu kepada suatu yang memberi (kemaslahatan/kebaikan)[1] hidup bagimu” (QS al-Anfaal:24).
Imam Ibnul Qayyim – semoga Allah merahmatinya – berkata: “(Ayat ini menunjukkan) bahwa kehidupan yang bermanfaat hanyalah didapatkan dengan memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya . Maka barangsiapa yang tidak memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya maka dia tidak akan merasakan kehidupan (yang baik). Meskipun dia memiliki kehidupan (seperti) hewan, yang juga dimiliki oleh binatang yang paling hina (sekalipun). Maka kehidupan baik yang hakiki adalah kehidupan seorang yang memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya secara lahir maupun batin”[2].
Semakna dengan ayat di atas Allah berfirman:
{مَنْ عَمِلَ صَالِحاً مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ}
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik (di dunia), dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka (di akhirat) dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan ” (QS. an-Nahl:97).
Para ulama salaf menafsirkan makna “kehidupan yang baik (di dunia)” dalam ayat di atas dengan “kebahagiaan hidup” atau “rezki yang halal” dan kebaikan-kebaikan lainnya[3].
Oleh karena itulah, jalan keluar dan solusi dari semua masalah yang kita hadapi, tidak terkecuali masalah dalam rumah tangga dan problema pendidikan anak, hanya akan dicapai dengan bertakwa kepada Allah dengan menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya.
Allah Y berfirman:
{وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجاً. وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لا يَحْتَسِبُ}
“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberikan baginya jalan keluar (dalam semua masalah yang dihadapinya), dan memberinya rezki dari arah yang tidak disangka-sangkanya” (QS. ath-Thalaaq:2-3).
Dalam ayat berikutnya Allah berfirman:
{وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْراً}
“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan menjadikan baginya kemudahan dalam (semua) urusannya” (QS. ath-Thalaaq:4).
Artinya: Allah akan meringankan dan memudahkan (semua) urusannya, serta menjadikan baginya jalan keluar dan solusi yang segera (menyelesaikan masalah yang dihadapinya)[4].
Anjuran memperbanyak keturunan
Dari Ma’qil bin Yasar al-Muzani dia berkata: Seorang lelaki pernah datang (menemui) Rasulullah dan berkata: Sesungguhnya aku mendapatkan seorang perempuan yang memiliki kecantikan dan (berasal dari) keturunan yang terhormat, akan tetapi dia tidak bisa punya anak (mandul), apakah aku (boleh) menikahinya? Rasulullah menjawab: “Tidak (boleh)”, kemudian lelaki itu datang (dan bertanya lagi) untuk kedua kalinya, maka Rasulullah kembali melarangnya, kemudian lelaki itu datang (dan bertanya lagi) untuk ketiga kalinya, maka Rasulullah bersabda: “Nikahilah perempuan yang penyayang dan subur (banyak anak)[5], karena sesungguhnya aku akan membanggakan (banyaknya jumlah kalian) dihadapan umat-umat lain (pada hari kiamat nanti)”[6].
Hadits ini menunjukkan dianjurkannya memperbanyak keturunan, yang ini termasuk tujuan utama pernikahan, dan dianjurkannya menikahi perempuan yang subur untuk tujuan tersebut[7].
Dan dari Anas bin Malik dia berkata: Ibuku (Ummu Sulaim ) pernah berkata: (Wahai Rasulullah), berdoalah kepada Allah untuk (kebaikan) pelayan kecilmu ini (Anas bin Malik ). Anas berkata: Maka Rasulullah pun berdoa (meminta kepada Allah) segala kebaikan untukku, dan doa kebaikan untukku yang terakhir beliau ucapkan: “Ya Allah, perbanyaklah harta dan keturunannya, serta berkahilah apa yang Engkau berikan kepadanya”. Anas berkata: Demi Allah, sungguh aku memiliki harta yang sangat banyak, dan sungguh anak dan cucuku saat ini (berjumlah) lebih dari seratus orang[8].
Hadits ini menunjukkan keutamaan memiliki banyak keturunan yang diberkahi Allah , karena Rasulullah tidak mungkin mendoakan keburukan untuk sahabatnya, dan Anas bin Malik sendiri menyebutkan ini sebagai doa kebaikan. Oleh karena itulah, imam an-Nawawi mencantumkan hadits ini dalam bab: keutamaan Anas bin Malik [9].
Demikian pula keumuman hadits-hadits yang menunjukkan keutamaan memiliki anak yang shaleh, seperti sabda Rasulullah : “Jika seorang manusia mati, maka terputuslah (pahala) amal (kebaikan)nya kecuali dari tiga perkara: sedekah yang terus mengalir (pahalanya dengan diwakafkan), atau ilmu yang diambil manfaatnya (terus diamalkan), atau anak shaleh yang terus mendoakan kebaikan baginya”[10].
Juga sabda Rasulullah: “Sungguh seorang manusia akan ditinggikan derajatnya di surga (kelak), maka dia bertanya: Bagaimana aku bisa mencapai semua ini? Maka dikatakan padanya: (Ini semua) disebabkan istigfar (permohonan ampun kepada Allah yang selalu diucapkan oleh) anakmu untukmu”[11].
Adapun hadits-hadits yang menunjukkan keutamaan membatasi keturunan, seperti hadits “Sebaik-baik kalian setelah dua ratus tahun mendatang adalah semua orang yang ringan punggungnya (tanggungannya); (yaitu) yang tidak memiliki istri dan anak”, dan yang semakna dengannya, semua hadits tersebut adalah hadits yang lemah bahkan beberapa diantaranya batil (palsu)[12].
Demikian pula hadits-hadits yang menunjukkan tercelanya memiliki keturunan, semuanya hadits palsu. Imam Ibnul Qayyim berkata: “Hadits-hadits (yang menunjukkan) tercelanya (memiliki) anak semuanya dusta (hadits palsu) dari awal sampai akhir”[13].
Banyak anak tidak berarti banyak masalah
Setelah jelas bagi kita bahwa agama Islam menganjurkan untuk memperbanyak keturunan, maka dengan ini kita mengetahui kelirunya anggapan kebanyakan orang awam yang jahil (tidak paham agama), yang mengatakan bahwa banyak anak berarti banyak masalah. Karena tidak mungkin agama Islam yang diturunkan untuk kebaikan hidup manusia, menganjurkan sesuatu yang justru menimbulkan masalah bagi mereka. Hal ini disebabkan agama Islam tidak hanya menganjurkan memperbanyak keturunan, tapi juga menekankan kewajiban untuk mendidik keturunan dengan pendidikan yang bersumber dari petunjuk Allah dan Rasul-Nya . Allah Y berfirman:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ}
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu” (QS at-Tahriim:6).
Ali bin Abi Thalib ketika menafsirkan ayat di atas berkata: “(Maknanya): Ajarkanlah kebaikan untuk dirimu dan keluargamu”[14].
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata: “Memelihara diri (dari api neraka) adalah dengan mewajibkan bagi diri sendiri untuk melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, serta bertobat dari semua perbuatan yang menyebabkan kemurkaan dan siksa-Nya. Adapun memelihara istri dan anak-anak (dari api neraka) adalah dengan mendidik dan mengajarkan kepada mereka (syariat Islam), serta memaksa mereka untuk (melaksanakan) perintah Allah. Maka seorang hamba tidak akan selamat (dari siksaan neraka) kecuali jika dia (benar-benar) melaksanakan perintah Allah (dalam ayat ini) pada dirinya sendiri dan pada orang-orang yang dibawa kekuasaan dan tanggung jawabnya”[15].
Bahkan kalau kita amati dengan seksama, menerapkan sunnah Rasulullah dalam hal ini justru merupakan faktor utama – setelah taufik dari Allah – yang sangat menentukan keberhasilan pendidikan anak, sekaligus sebagai penjagaan bagi anak dari setan yang selalu berupaya untuk memalingkan manusia dari jalan yang lurus sejak mereka dilahirkan ke dunia ini[16].
Syaikh Muhammad bin Shaleh al-’Utsaimin berkata: “Yang menentukan (keberhasilan) pembinaan anak, susah atau mudahnya, adalah kemudahan (taufik) dari Allah , dan jika seorang hamba bertakwa kepada Allah serta (berusaha) menempuh metode (pembinaan) yang sesuai dengan syariat Islam, maka Allah akan memudahkan urusannya (dalam mendidik anak), Allah berfirman:
{وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْراً}
“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan menjadikan baginya kemudahan dalam (semua) urusannya” (QS. ath-Thalaaq:4)[17].
Sebagai contoh misalnya, anjuran Rasulullah bagi seorang suami yang akan mengumpuli istrinya, untuk membaca doa:
بسم الله اَللّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا
“Dengan (menyebut) nama Allah, ya Allah jauhkanlah kami dari (gangguan) setan dan jauhkanlah setan dari rezki[18] yang Engkau anugerahkan kepada kami”.
Rasulullah bersabda: “Jika seorang suami yang ingin mengumpuli istrinya membaca doa tersebut, kemudian Allah menakdirkan (lahirnya) anak dari hubungan tersebut, maka setan tidak akan bisa mencelakakan anak tersebut selamanya”[19].
Konsep Islam tentang Keluarga Berencana
Berdasarkan dalil-dalil yang tersebut di atas, maka hukum asal membatasi atau mengatur jumlah keturunan (baca: Keluarga Berencana) dalam Islam adalah diharamkan, karena menyelisihi petunjuk syariat Islam yang melarang keras perbuatan tabattul (hidup membujang selamanya)[20], dan memerintahkan untuk menikahi perempuan yang subur (banyak anak). Oleh kerena itu, mengkonsumsi pil pencegah kehamilan atau obat-obatan lainnya untuk mencegah kehamilan tidak diperbolehkan (dalam agama Islam), kecuali dalam kondisi-kondisi darurat (terpaksa) yang jarang terjadi[21].
Ketika menjelaskan hikmah agung diharamkannya membatasi keturunan, imam syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz berkata: “Barangsiapa yang memperhatikan keterangan yang telah kami sampaikan dan keterangan para ulama yang kami nukilkan (sebelumnya), dia akan mengetahui (dengan yakin) bahwa pendapat yang membolehkan untuk membatasi keturunan adalah pendapat yang berseberangan dengan syariat Islam yang sempurna, yang (selalu berusaha) mewujudkan dan menyempurnakan kemaslahatan (kebaikan bagi manusia), serta menolak dan memperkecil kemudharatan (keburukan/kerusakan bagi manusia). (Bahkan pendapat ini) bertentangan dengan fitrah manusia yang suci, karena Allah menjadikan fitrah suci manusia untuk mencintai anak-anak dan mengusahakan sebab-sebab untuk memperbanyak keturunan. Sungguh Allah dalam al-Qur-an telah menjadikan banyaknya keturunan sebagai anugerah (bagi manusia) dan menjadikannya termasuk perhiasan (kehidupan) dunia. Allah berfirman:
{وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَجَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ بَنِينَ وَحَفَدَةً وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ}
“Allah menjadikan bagimu isteri-isteri dari jenismu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isterimu itu anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki dari yang baik-baik” (QS an-Nahl:72).
Allah juga berfirman:
{الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا}
“Harta dan anak-anak adalah perhiasaan kehidupan dunia” (QS al-Kahfi:46).
(Kemudian) barangsiapa yang memperhatikan pembahasan masalah ini (dengan seksama) dia akan mengetahui bahwa pendapat yang membolehkan untuk membatasi keturunan adalah pendapat yang bertentangan dengan kemslahatan (kebaikan) umat Islam (sendiri). Karena sungguh benyaknya keturunan (kaum muslimin) termasuk sebab kekuatan, kemuliaan, keperkasaan dan kewibawaan umat Islam (di hadapan umat-umat lain). Sedangkan membatasi keturunan bertentangan dengan semua (tujuan) tersebut, karena menjadikan sedikitnya (jumlah) dan lemahnya kaum muslimin, bahkan menjadikan musnah dan punahnya umat ini. Ini adalah perkara yang jelas bagi semua orang yang berakal dan tidak butuh argumentasi (untuk membuktikannya)[22].
Oleh karena itulah, syaikh Shaleh al-Fauzan menegaskan bahwa pembatasan jumlah keturunan adalah pemikiran buruk yang disusupkan musuh-musuh Islam ke dalam tubuh kaum muslimin, dengan tujuan untuk melemahkan dan memperkecil jumlah kaum muslimin[23].
Berbagai alasan mengapa ber-KB dalam tinjauan syariat Islam
Adapun alasan-alasan yang dikemukan oleh kebanyakan orang yang melakukan KB, seperti kekhawatiran tidak cukupnya rezki atau kesulitan mendidik anak, maka ini adalah alasan-alasan yang sangat bertentangan dengan petunjuk Islam, bahkan mengandung buruk sangka kepada Allah .
Syaikh Muhammad bin Shaleh al-’Utsaimin berkata: “…Kalau yang menjadi pendorong melakukan pembatasan keturunan adalah kekhawatiran akan kurangnya rezki, maka ini (termasuk) berburuk sangka kepada Allah . Karena Allah Dialah yang menciptakan semua manusia, maka Dia pasti akan mencukupkan rezki bagi mereka…Allah berfirman:
{وكأين من دابة لا تحمل رزقها الله يرزقها وإياكم وهو السميع العليم}
“Dan berapa banyak binatang yang tidak (dapat) membawa (mengurus) rizkinya sendiri, Allah-lah yang memberi rizki kepadanya dan kepadamu dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS al-’Ankabuut:60).
Adapun jika pendorong melakukannya adalah kekhawatiran akan susahnya mendidik anak, maka ini adalah (persangkaan) yang keliru, karena betapa banyak (kita dapati) anak yang sedikit jumlahnya tapi sangat menyusahkan (orang tua mereka) dalam mendidik mereka, dan (sebaliknya) betapa banyak (kita dapati) anak yang jumlahnya banyak tapi sangat mudah untuk dididik jauh melebihi anak yang berjumlah sedikit. Maka yang menentukan (keberhasilan) pembinaan anak, susah atau mudahnya, adalah kemudahan (taufik) dari Allah . Jika seorang hamba bertakwa kepada Allah serta (berusaha) menempuh metode (pembinaan) yang sesuai dengan syariat Islam, maka Allah akan memudahkan urusannya (dalam mendidik anak), Allah berfirman:
{وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْراً}
“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan menjadikan baginya kemudahan dalam (semua) urusannya” (QS. ath-Thalaaq:4)[24].
Bahkan alasan membatasi keturunan seperti ini termasuk tindakan menyerupai orang-orang kafir di jaman Jahiliyah, yang membunuh anak-anak mereka karena takut miskin, hanya saja orang-orang di jaman sekarang mencegah kelahiran anak karena takut miskin, adapun orang-orang di jaman Jahiliyah membunuh anak-anak mereka yang sudah lahir karena takut miskin[25]. Allah berfirman:
{ولا تقتلوا أولادكم خشية إملاق نحن نرزقهم وإياكم إن قتلهم كان خِطْأ كبيراً}
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar” (QS al-Israa’:31).
Dan masih banyak alasan-alasan lain yang dikemukakan khususnya oleh para pengekor musuh-musuh Islam, yang mempropagandakan seruan untuk membatasi jumlah keturunan. Semua alasan yang mereka kemukakan itu disebutkan dan dibantah secara terperinci oleh Lajnah Daimah yang dipimpin oleh imam syaikh Ibrahim bin Muhammad Alu syaikh[26]. Kesimpulannya, semua alasan yang mereka kemukakan sangat menyimpang jauh dari kebenaran dan petunjuk Islam, bahkan bertentangan dengan kenyataan dan tuntutan fitrah kemanusiaan, bahkan lebih dari pada itu, (upaya) untuk membatasi (jumlah keturunan) atau mencegah kehamilan dengan cara apapun akan mnimbulkan banyak bahaya dan kerusakan, baik dari segi agama, ekonomi, politik, sosial, jasmani maupun rohani[27].
Perbedaan antara membatasi (jumlah) keturunan dan mencegah kehamilan atau mengaturnya
Setelah kita mengetahui bahwa hukum asal Keluarga Berencana adalah diharamkan karena sebab-sebab tersebut di atas, kecuali dalam keadaan darurat dan dengan alasan yang benar menurut syariat, maka dalam hal ini para ulama membedakan antara membatasi keturunan dan mencegah kehamilan atau mengaturnya, sebagai berikut:
- Membatasi (jumlah) keturunan: adalah menghentikan kelahiran (secara permanen) setelah keturunan mencapai jumlah tertentu, dengan menggunakan berbagai sarana yang diperkirakan bisa mencegah kehamilan. Tujuannya untuk memperkecil (membatasi) jumlah keturunan dengan menghentikannya setelah (mencapai) jumlah yang ditentukanh (mencapai) jumlah tertentu[28].
Membatasi keturunan dengan tujuan seperti ini dalam agama Islam diharamkan secara mutlak, sebagaimana keterangan Lajnah daaimah yang dipimpin oleh syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz[29], demikian juga syaikh Muhammad bin Shaleh al-’Utsaimin[30], syaikh Shaleh al-Fauzan[31] dan keputusan majelis al majma’ al fiqhil Islami[32]. Karena ini bertentangan dengan tujuan-tujuan agung syariat Islam, seperti yang diterangkan di atas.
- Mencegah kehamilan: adalah menggunakan berbagai sarana yang diperkirakan bisa menghalangi seorang perempuan dari kehamilan, seperti: al-’Azl (menumpahkan sperma laki-laki diluar vagina), mengkonsumsi obat-obatan (pencegah kehamilan), memasang penghalang dalam vagina, menghindari hubungan suami istri ketika masa subur, dan yang semisalnya[33].
Pencegahan kehamilan seperti ini juga diharamkan dalam Islam, kecuali jika ada sebab/alasan yang (dibenarkan) dalam syariat.
Syaikh Shaleh al-Fauzan berkata: “Aku tidak menyangka ada seorang ulama ahli fikh pun yang menghalalkan (membolehkan) mengkonsumsi obat-obatan pencegah kehamilan, kecuali jika ada sebab (yang dibenarkan) dalam syariat, seperti jika seorang wanita tidak mampu menanggung kehamilan (karena penyakit), dan (dikhawatirkan) jika dia hamil akan membahayakan kelangsungan hidupnya. Maka dalam kondisi seperti ini dia (boleh) mengkonsumsi obat-obatan pencegah kehamilan, disebabkan dia tidak (mampu) menanggung kehamilan, karena kehamilan (dikhwatirkan) akan membahayakan hidupnya, maka dalam kondisi seperti ini boleh mengkonsumsi obat-obatan pencegah kehamilan, karena darurat (terpaksa)…Adapun mengkonsumsi obat-obatan pencegah kehamilan tanpa ada sebab (yang dibenarkan) dalam syariat, maka ini tidak boleh (diharamkan), karena kehamilan dan keturunan (adalah perkara yang) diperintahkan dalam Islam (untuk memperbanyak jumlah kaum muslimin). Maka jika mengkonsumsi obat-obatan pencegah kehamilan itu (bertujuan untuk) menghindari (banyaknya) anak dan karena (ingin) membatasi (jumlah) keturunan, sebagaimana yang diserukan oleh musuh-musuh Islam, maka ini diharamkan (dalam Islam), dan tidak ada seorangpun dari ulama ahli fikih yang diperhitungkan membolehkan hal ini. Adapun para ahli kedokteran mungkin saja mereka membolehkannya, karena mereka tidak mengetahui hukum-hukum syariat Islam[34].
Dalam fatwa Lajnah Daimah: “…Berdasarkan semua itu, maka membatasi (jumlah keturunan) diharamkan secara mutlak (dalam Islam), (demikian juga) mencegah kehamilan diharamkan, kecuali dalam kondisi-kondisi tertentu yang jarang (terjadi) dan tidak umum, seperti dalam kondisi yang mengharuskan wanita yang hamil untuk melahirkan secara tidak wajar, dan kondisi yang memaksa wanita yang hamil melakukan operasi (caesar) untuk mengeluarkan bayi (dari kandungannya), atau kondisi yang jika seorang wanita hamil maka akan membahayakannya karena adanya penyakit atau (sebab) lainnya. Ini semua dikecualikan dalam rangka untuk menghindari mudharat (bahaya) dan menjaga kelangsungan hidup (bagi wanita tersebut), karena sesungguhnya syariat Islam datang untuk mewujudkan kemaslahatan (kebaikan) dan mencegah kerusakan…[35].
- Mengatur kehamilan: adalah menggunakan berbagai sarana untuk mencegah kehamilan, tapi bukan dengan tujuan untuk menjadikan mandul atau mematikan fungsi alat reproduksi, tetapi tujuannya mencegah kehamilan dalam jangka waktu tertentu (bukan selamanya), karena adanya maslahat (kebutuhan yang dibenarkan dalam syariat) yang dipandang oleh kedua suami istri atau seorang ahli (dokter) yang mereka percaya[36].
Mengatur kehamilan seperti ini – sebagaimana yang dijelaskan oleh syaikh Muhammad al-’Utsaimin – boleh dilakukan dengan dua syarat:
1). Adanya kebutuhan (yang dibenarkan dalam syariat), seperti jika istri sakit (sehingga) tidak mampu menanggung kehamilan setiap tahun, atau (kondisi) tubuh istri yang kurus (lemah), atau penyakit-penyakit lain yang membahayakannya jika dia hamil setiap tahun.
2). Izin dari suami bagi istri (untuk mengatur kehamilan), karena suami mempunyai hak untuk mendapatkan dan (memperbanyak) keturunan[37].
Syaikh Shaleh al-Fauzan berkata: “…Demikian pula (dibolehkan) mengkonsumsi obat-obatan pencegah kehamilan, atau lebih tepatnya penunda kehamilan, untuk jangka waktu tertentu (bukan seterusnya), karena adanya suatu sebab (yang dibenarkan dalam syariat), seperti jika istri dalam kondisi sakit, atau kelahiran yang banyak berturut-turut yang membuat istri tidak mampu memberi makanan (ASI) yang cukup untuk bayinya, maka dia (boleh) mengkonsumsi obat penunda kehamilan, supaya dia bisa berkonsentrasi (untuk mempersiapkan diri) menyambut kehamilan yang baru setelah selesai dari hamil yang pertama, maka dalam kondisi (seperti) ini diperbolehkan[38].
Dalam fatwa Lajnah Daimah yang dipimpin oleh syaikh Bin Baz: “…Adapun mengatur keturunan yaitu (dengan) menunda kehamilan karena alasan yang benar (sesuai syariat), seperti (kondisi) istri yang lemah (sehingga) tidak mampu (menanggung) kehamilan, atau kebutuhan untuk menyusui bayi yang sudah lahir, maka ini diperbolehkan untuk kebutuhan tersebut[39].
Yang perlu diperhatikan di sini, bahwa kondisi lemah, payah dan sakit pada wanita hamil atau melahirkan yang dimaksud di sini adalah lemah/sakit yang melebihi apa yang biasa dialami oleh wanita-wanita hamil dan melahirkan pada umumnya, sebagaimana yang diterangkan dalam fatwa Lajnah Daimah[40]. Karena semua wanita yang hamil dan melahirkan mesti mengalami sakit dan payah, Allah berfirman:
{حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهاً وَوَضَعَتْهُ كُرْهاً}
“…Ibunya mengandungnya dengan susah payah dan melahirkannya dengan susah payah (pula)” (QS al-Ahqaaf:15).
Penggunaan alat kontrasepsi dan obat pencegah hamil
Setelah kita mengetahui bahwa para ulama membolehkan penggunaan obat pencegah kehamilan dan alat kontrasepsi jika ada sebab yang dibenarkan dalam syariat, maka dalam menggunakannya harus memperhatikan beberapa hal berikut:
1- Sebelum menggunakan alat kontrasepsi/obat anti hamil hendaknya berkonsultasi dengan seorang dokter muslim yang dipercaya agamanya[41], sehingga dia tidak gampang membolehkan hal ini, karena hukum asalnya adalah haram, sebagaimana penjelasan yang lalu. Ini perlu ditekankan karena tidak semua dokter bisa dipercaya, dan banyak di antara mereka yang dengan mudah membolehkan pencegahan kehamilan (KB) karena ketidakpahaman terhadap hukum-hukum syariat Islam, sebagaimana ucapan syaikh Shaleh al-Fauzan di atas.
2- Pilihlah alat kontrasepsi yang tidak membahayakan kesehatan, atau minimal yang lebih ringan efek sampingnya terhadap kesehatan[42].
3- Usahakanlah memilih alat kontrasepsi yang ketika memakai/memasangnya tidak mengharuskan terbukanya aurat besar (kemaluan dan dubur/anus) di hadapan orang yang tidak berhak melihatnya. Karena aurat besar wanita hukum asalnya hanya boleh dilihat oleh suaminya[43], adapun selain suaminya hanya diperbolehkan dalam kondisi yang sangat darurat (terpaksa) dan untuk keperluan pengobatan[44]. Berdasarkan keumuman makna firman Allah :
{والذين هم لفروجهم حافظون، إلا على أزواجهم أو ما ملكت أيمانهم فإنهم غير ملومين}
“…Dan mereka (orang-orang yang beriman) adalah orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela” (QS al-Mu’minuun:5-6).
Penutup
Inilah keterangan yang dapat kami sampaikan tentang hukum KB, berdasarkan dalil-dalil dari al-Qur-an dan sunnah Rasulullah , serta penjelasan para ulama Ahlus sunnah wal jama’ah. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita dan bagi semua orang yang membaca dan merenungkannya. Dan semoga Allah Y senantiasa memberikan petunjuk-Nya kepada kaum muslimin agar mereka selalu kembali kepada petunjuk-Nya dalam menjalani kehidupan mereka.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Nabi , 4 Jumadal uula 1430 H
Abdullah bin Taslim al-Buthoni

[1] Lihat “Tafsir Ibnu Katsir” (4/34).
[2] Kitab “al-Fawa-id” (hal. 121- cet. Muassasatu ummil qura’).
[3] Lihat “Tafsir Ibnu Katsir” (2/772).
[4] Tafsir Ibnu Katsir (4/489).
[5] Bagi seorang perempuan yang masih gadis ini diketahui dengan melihat keadaan keluarga (ibu dan saudara perempuan) atau kerabatnya, lihat kitab “‘Aunul Ma’buud” (6/33-34).
[6] HR Abu Dawud (no. 2050), an-Nasa-i (6/65) dan al-Hakim (2/176), dishahihkan oleh Ibnu Hibban (no. 4056- al-Ihsan), juga oleh al-Hakim dan disepakati oleh adz-Dzahabi.
[7] Lihat kitab “Zaadul ma’aad” (4/228), “Aadaabuz zifaaf” (hal. 60) dan “Khataru tahdiidin nasl” (8/16- Muallafaatusy syaikh Muhammad bin Jamil Zainu).
[8] HSR al-Bukhari (no. 6018) dan Muslim (no. 2481), lafazh ini yang terdapat dalam “Shahih Muslim”.
[9] Lihat “Syarah shahih Muslim” (16/39-40).
[10] HSR Muslim (no. 1631), dari Abu Hurairah t.
[11] HR Ibnu Majah (no. 3660), Ahmad (2/509) dan lain-lain, dishahihkan oleh al-Buushiri dan dihasankan oleh syaikh al-Albani dalam “Silsilatul ahaaditsish shahiihah” (no. 1598).
[12] Lihat kitab “al-Maudhuuaat” (2/281), “al-’Ilal mutanaahiyah” (2/636) keduanya tulisan imam Ibnul Jauzi, dan “Silsilatul ahaaditsidh dha’iifah” (no. 3580).
[13] Kitab “al-Manaarul muniif” (no. 206).
[14] Diriwayatkan oleh al-Hakim dalam “al-Mustadrak” (2/535), dishahihkan oleh al-Hakim sendiri dan disepakati oleh adz-Dzahabi.
[15] Taisiirul Kariimir Rahmaan (hal. 640).
[16] Dalam hadits shahih riwayat Muslim (no. 2367) Rasulullah r bersabda: “Tangisan seorang bayi ketika (baru) dilahirkan adalah tusukan (godaan untuk menyesatkan) dari setan”.
[17] Kutubu wa rasaa-ilu syaikh Muhammad bin Shaleh al-’Utsaimiin (4/14).
[18] Termasuk anak dan yang lainnya, lihat kitab “Faidhul Qadiir” (5/306).
[19] HSR al-Bukhari (no. 6025) dan Muslim (no. 1434).
[20] Dalam hadits shahih Riwayat Ahmad (3/158 dan 3/245) dan Ibnu Hibban (no. 4028), dishahihkan oleh syaikh al-Albani dalam “Irwa-ul ghalil” (6/195).
[21] Fatawa Lajnah Daaimah (19/319) no (1585) yang dipimpin oleh syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, dengan sedikit penyesuaian.
[22] Majmu’u fatawa wa maqaalaat syaikh Bin Baaz (3/19). Lihat juga tulisan syaikh Muhammad bin Jamil Zainu “bahayanya membatasi keturunan” dalam “Muallafaatusy syaikh Muhammad bin Jamil Zainu” (8/16).
[23] Al-Muntaqa min fatawa al-Fauzan (69/20).
[24] Kutubu wa rasaa-ilu syaikh Muhammad bin Shaleh al-’Utsaimiin (4/14).
[25] Lihat ucapan syaikh Shaleh al-Fauzan dalam “al-Muntaqa min fatawa al-Fauzan” (89/19), dan syaikh al-Albani dalam “Aadaabuz zifafaaf” (hal. 65).
[26] Lihat ” Majallatul buhuutsil islaamiyyah” (5/115-125).
[27] Majallatul buhuutsil islaamiyyah (5/127), dengan sedikit penyesuaian.
[28] Fatwa Haiati kibarul ‘ulama’ (5/114 – Majallatul buhuutsil islaamiyyah). Lihat juga keterangan syaikh al-’Utsaimin dalam “Silsilatu liqa-aatil baabil maftuuh” (31/133).
[29] Fatawal lajnatid daaimah (9/62) no (1584).
[30] Silsilatu liqa-aatil baabil maftuuh (31/133).
[31] Al-Muntaqa min fatawa al-Fauzan (69/20).
[32] Majallatul buhuutsil islaamiyyah (30/286).
[33] Fatwa Haiati kibarul ‘ulama’ (5/114 – Majallatul buhuutsil islaamiyyah).
[34] al-Muntaqa min fatawa al-Fauzan (89/25).
[35] Majallatul buhuutsil islaamiyyah (5/127).
[36] Fatwa Haiati kibarul ‘ulama’ (5/114 – Majallatul buhuutsil islaamiyyah). Lihat juga keterangan syaikh al-’Utsaimin dalam “Kutubu wa rasaa-ilu syaikh Muhammad bin Shaleh al-’Utsaimiin” (4/15).
[37] Al fataawal muhimmah (1/159-160) no. (2764).
[38] Al-Muntaqa min fatawa al-Fauzan (89/24-25).
[39] Fatawal lajnatid daaimah (19/428) no (16013).
[40] Fatawal lajnatid daaimah (19/319) no (1585).
[41] Lihat keterangan syaikh Muhammad bin Jamil Zainu dalam “Khataru tahdiidin nasl” (8/16- Muallafaatusy syaikh Muhammad bin Jamil Zainu), dan keputusan majelis al majma’ al fiqhil Islami dalam “Majallatul buhuutsil islaamiyyah” (30/286).
[42] Lihat keterangan syaikh al-’Utsaimin dalam “al-Fatawal muhimmah” (1/160) dan kitab “Buhuutsun liba’dhin nawaazilil fiqhiyyatil mu’aashirah” (28/6).
[43] Lihat “Tafsir al-Qurthubi” (12/205) dan keterangan syaikh al-’Utsaimin dalam “Kutubu wa rasaa-ilu syaikh Muhammad bin Shaleh al-’Utsaimiin” (10/175).
[44] Lihat kitab “an-Nazhar fi ahkamin nazhar” (hal. 176) tulisan Imam Ibnul Qaththan al-Faasi, melalui perantaraan kitab “Ahkaamul ‘auraat linnisaa’ (hal. 85).
Share this article :

0 comments:

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. BERITA SUNNAH - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger