Maka barangsiapa mentaati selain Allâh Subhanahu wa Ta’ala dalam menghalalkan apa yang Allâh Subhanahu wa Ta’ala haramkan dan mengharamkan apa yang Allâh Subhanahu wa Ta’ala halalkan, sedangkan dia mengetahui hal itu, berarti dia telah menyekutukan Allâh Subhanahu wa Ta’ala dalam ketaatan.
Allâh Azza wa Jalla berfirman memberitakan tentang orang-orang Yahudi dan Nashâra yang telah mengangkat orang-orang ‘alim dan rahib-rahib mereka sebagai “tuhan-tuhan” selain Allâh. Dia Azza wa Jalla berfirman :
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلَٰهًا وَاحِدًا ۖ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۚ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai rabb-rabb selain Allâh, dan (juga mereka menjadikan Rabb ) al-Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh beribadah kepada Ilah Yang Maha Esa; tidak ada Ilah (yang berhak diibadahi) selain Dia. Maha suci Allâh dari apa yang mereka persekutukan. [at-Taubah/9:31]
Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Arbâb adalah jama’ dari rabb, artinya: Pengatur dan Pemilik. (Bentuk) pengaturan (Allâh) ada dua macam: pengaturan yang berkaitan dengan taqdir dan pengaturan yang berkaitan dengan syari’at. Barangsiapa mentaati Ulama’ dalam menyelisihi perintah atau keputusan Allâh dan Rasul-Nya, maka dia telah menjadikan mereka sebagai rabb selain Allâh dengan penilaian pengaturan yang berkaitan dengan syari’at, karena dia menilai mereka sebagai para pembuat syari’at, dan menilai pembuatan syari’at itu sebagai syari’at yang diamalkan”. [al-Qaulul Mufîd ‘ala Kitâbit Tauhîd, 2/101]
Ayat ini dijelaskan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh sahabat ‘Adi bin Hâtim Radhiyallahu anhu sebagai berikut:
عَنْ عَدِيِّ بْنِ حَاتِمٍ قَالَ أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَفِي عُنُقِي صَلِيبٌ مِنْ ذَهَبٍ فَقَالَ يَا عَدِيُّ اطْرَحْ عَنْكَ هَذَا الْوَثَنَ وَسَمِعْتُهُ يَقْرَأُ فِي سُورَةِ بَرَاءَةَ ((اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ)) قَالَ أَمَا إِنَّهُمْ لَمْ يَكُونُوا يَعْبُدُونَهُمْ وَلَكِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا أَحَلُّوا لَهُمْ شَيْئًا اسْتَحَلُّوهُ وَإِذَا حَرَّمُوا عَلَيْهِمْ شَيْئًا حَرَّمُوهُ
Dari ‘Adi bin Hatim, dia berkata, “Aku mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sedangkan pada leherku ada (kalung) salib yang terbuat dari emas. Maka beliau bersabda, 'Hai ‘Adi, buanglah berhala itu darimu!” Dan aku mendengar beliau membaca (ayat al-Qur’an) dalam surat Barâ’ah (at-Taubah, yang artinya), “Mereka (orang-orang Yahudi dan Nashrani) menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai rabb-rabb (tuhan-tuhan) selain Allâh”, beliau bersabda, 'Sesungguhnya mereka itu (para pengikut) tidaklah beribadah kepada mereka (orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka). Akan tetapi jika mereka (orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka) menghalalkan sesuatu untuk mereka, merekapun menganggap halal. Jika mereka (orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka) mengharamkan sesuatu untuk mereka, merekapun menganggap haram”. [HR. Tirmidzi, no: 3095; dihasankan oleh Syaikh al-Albâni]
Di dalam riwayat yang lain dengan lafazh :
عَنْ عَدِيِّ بْنِ حَاتِمٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَفِي عُنُقِي صَلِيبٌ مِنْ ذَهَبٍ فَسَمِعْتُهُ يَقُوْلُ (اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّه)ِ قَالَ: قُلْتُ: يَارَسُوْلَ اللهِ! إِنَّهُمْ لَمْ يَكُونُوا يَعْبُدُونَهُمْ. قَالَ: أَجَلْ , وَلَكِنْ يُحِلُّوْنَ مَا حَرَّمَ اللهُ فَيَسْتَحِلُّونَهُ وَيُحَرِّمُوْنَ عَلَيْهِمْ مَا أَحَلَّ اللهُ فَيُحَرِّمُوْنهُ , فَتِلْكَ عِبَادَتُهُمْ لَهُمْ
Dari ‘Adi bin Hatim Radhiyallahu anhu, dia berkata: “Aku mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sedangkan pada leherku terdapat (kalung) salib yang terbuat dari emas. ‘Adi bin Hâtim juga berkata: “Dan aku mendengar beliau membaca (ayat al-Qur’an, yang artinya), “Mereka (orang-orang Yahudi dan Nashrani) menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai rabb-rabb (tuhan-tuhan) selain Allah”. ‘Adi bin Hâtim berkata, 'Wahai Rasûlullâh, sesungguhnya mereka itu (para pengikut) tidaklah beribadah kepada mereka (orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka)”. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ya, akan tetapi mereka (orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka) menghalalkan apa yang Allâh haramkan, lalu merekapun menganggapnya halal. Dan mereka (orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka) mengharamkan apa yang Allâh halalkan, lalu merekapun menganggapnya haram. Itulah peribadahan mereka (para pengikut) kepada mereka (para pendeta)”. [HR. al-Baihaqi di dalam Sunan al-Kubra, 1/166, dinukil dari asy-Syirku fil Qadîm wal Hadîts, hlm. 1109, karya: Abu Bakar Muhammad Zakaria]
al-Baihaqi juga meriwayatkan dari Abul Bakhtari, dia berkata :
سُئِلَ حُذَيْفَةُ بْنُ الْيَمَانِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنْ هَذِهِ الْأَيَةِ ((اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّه)ِ أَكَانُوْا يُصَلُّوْنَ لَهُمْ ؟ قَالَ: لاَ, وَلَكِنَّهُمْ كَانُوْا يُحِلُّوْنَ لَهُمْ مَا حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِمْ فَيَسْتَحِلُّونَهُ وَيُحَرِّمُوْنَ عَلَيْهِمْ مَا أَحَلَّ اللهُ لَهُمْ فَيُحَرِّمُوْنهُ, فَصَارُوْا بِذَلِكَ أَرْبَابًا
Hudzaifah bin al-Yaman Radhiyallahu anhu ditanya tentang ayat ini (yang artinya), “Mereka (orang-orang Yahudi dan Nashrani) menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai rabb-rabb (tuhan-tuhan) selain Allah”. Apakah mereka (para pengikut itu) melakukan shalat kepada mereka (para pendeta) ? Beliau Radhiyallahu anhu menjawab, “Tidak ! Akan tetapi mereka (orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka) menghalalkan apa yang Allâh haramkan atas mereka, lalu merekapun menganggapnya halal. Dan mereka (orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka) mengharamkan apa yang Allâh halalkan, lalu merekapun menganggapnya haram. Sehingga dengan sebab itu jadilah mereka (para pendeta) sebagai rabb-rabb (tuhan-tuhan)”. [HR. al-Baihaqi di dalam Sunan al-Kubra, 1/166, dinukil dari asy-Syirku fil Qadîm wal Hadîts, hlm. 1109, karya: Abu Bakar Muhammad Zakaria]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “ar-Rabî’ bin Anas berkata, 'Aku bertanya kepada Abul ‘Aliyah, 'Bagaimana rububiyah yang ada pada Bani Israil (yakni para pengikut yang menjadikan para pendeta sebagai tuhan-pen) ?' Beliau menjawab, “Rubûbiyah (pada mereka) itu adalah bahwa mereka mendapati dalam kitab Allâh apa-apa yang diperintahkan dan dilarang buat mereka, lalu mereka mengatakan, “Kita tidak akan mendahului para pendeta kita dengan sesuatupun. Apa yang mereka perintahkan kepada kita, kita laksanakan, dan apa yang mereka larang, kita tinggalkan, karena perkataan mereka.” Mereka meminta nasehat kepada manusia (para tokoh mereka-pent) dan membuang kitab Allâh di belakang punggung mereka. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan bahwa peribadahan para pengikut itu kepada para pendeta adalah dalam hal menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal, bukan dengan melakukan shalat dan puasa untuk para pendeta (dan bukan pula-red) berdo'a kepada mereka dari selain Allâh. Inilah peribadahan (penyembahan) kepada manusia. Dan itu peribadahan kepada harta. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskannya. Dan Allâh Azza wa Jalla menyebutkan bahwa itu merupakan kemusyrikan dengan firman-Nya.
لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۚ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allâh dari apa yang mereka persekutukan. (at-Taubah/9:31)”. [Majmû’ Fatâwâ, 7/66]
Tentang syirik taat ini, Allâh Azza wa Jalla juga menyebutkan dalam firman-Nya :
وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ ۗ وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَىٰ أَوْلِيَائِهِمْ لِيُجَادِلُوكُمْ ۖ وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ
Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allâh ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik. [al-An’âm/6:121]
Ayat ini dijelaskan oleh sahabat Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhu, sebagai berikut:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ فِي قَوْلِهِ عَزَّ وَجَلَّ وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرْ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ قَالَ خَاصَمَهُمْ الْمُشْرِكُونَ فَقَالُوا مَا ذَبَحَ اللَّهُ فَلَا تَأْكُلُوهُ وَمَا ذَبَحْتُمْ أَنْتُمْ أَكَلْتُمُوهُ
Dari Ibnu ‘Abbas tentang firman Allâh Azza wa Jalla (yang artinya), “Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allâh ketika menyembelihnya”, beliau Radhiyallahu anhu berkata: “Orang-orang musyrik membantah orang-orang beriman, mereka mengatakan, “Apa yang Allâh sembelih, kamu tidak mau memakannya, sedangkan apa yang kamu sembelih sendiri kamu memakannya”. [HR. an-Nasai, no: 4437; dishahihkan oleh al-Albani]
Imam as-Sindi rahimahullah menjelaskan maksud hadits ini dalam syarah beliau, “Yaitu orang-orang musyrik membantah orang-orang beriman, mereka menunjukkan dalil kebatilan agama umat Islam dengan mengatakan, 'Kamu (umat Islam) mengharamkan penyembelihan Allâh, yaitu bangkai, namun kamu menghalalkan penyembelihan kamu. Ini perkara yang jauh (dari kebenaran)!” Maka Allâh Subhanahu wa Ta’ala menurunkan firman-Nya (yang artinya), “Dan janganlah kamu memakan...al-Ayat” untuk membantah syubhat tersebut. Kesimpulan jawabannya adalah bahwa penyembelihan itu menjadi halal hanyalah karena disebut nama Allâh padanya, sementara bangkai tidak disebut nama Allâh padanya, sehingga bangkai menjadi haram.” [Syarah Nasa'i, karya as-Sindi]
Ibnul A’rabi rahimahullah berkata, “Seorang Mukmin menjadi musyrik hanya dengan sebab mentaati orang musyrik dalam keyakinannya yang merupakan tempat kekafiran dan keimanan. Jika dia mentaatinya dalam perbuatan, sedangkan keyakinannya selamat selalu di atas tauhid dan pembenaran, maka dia orang yang bermaksiat, maka fahamilah itu di seluruh tempat (dalam al-Qur’an-pen)”. [Ahkâmul Qur’ân, 2/752; dinukil dari al-Hukmu bi ghairi Mâ Anzalallâh, hlm. 170-171, cet: ke 4, th: 1421 H, karya: Syaikh Dr. Khalid al-‘Anbari]Al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Ayat ini menunjukkan bahwa barangsiapa menghalalkan sesuatu dari apa-apa yang Allâh haramkan maka dia menjadi musyrik. Allâh Azza wa Jalla telah mengharamkan bangkai secara tegas, maka jika ada seseorang menerima hukum halalnya bangkai dari selain Allah, maka dia telah berbuat syirik”. [al-Jâmi’ li Ahkâmil Qur’ân, 7/77-78; dinukil dari al-Hukmu bi ghairi Mâ Anzalallâh, hlm: 171]
Az-Zajjaj rahimahullah mengatakan, “Dalam firman Allâh Azza wa Jalla (yang artinya), “Jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik”, merupakan dalil bahwa semua orang yang menghalalkan apa yang Allâh haramkan, atau mengharamkan apa yang Allâh halalkan, maka dia orang musyrik. Dia dinamakan musyrik karena dia menetapkan hakim (pembuat hukum) selain Allâh Azza wa Jalla , inilah perbuatan syirik”. [Mahâsinut Ta’wîl, 6/2491. Dinukil dari al-Hukmu bi ghairi Mâ Anzalallâh, hlm: 170-171]
Namun yang perlu diketahui bahwa ketaatan dalam menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal itu ada perincian hukum bagi pelakunya. Syaikhul Islam rahimahullah menjelaskan masalah ini dengan gamblang dengan perkataannya, “Mereka ini, orang-orang yang menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai rabb-rabb (tuhan-tuhan), yang mana mereka taati dalam menghalalkan apa-apa yang Allâh haramkan, dan mengharamkan apa-apa yang Allâh halalkan, ada dua macam :
Pertama, mereka (para pengikut) itu tahu bahwa para pendeta telah mengganti agama Allâh, lalu mereka mengikuti para pendeta itu dalam pergantian ini. Sehingga mereka meyakini penghalalan apa yang Allâh haramkan dan pengharaman apa yang Allâh halalkan, karena mengikuti pemimpin-pemimpin mereka, padahal mereka tahu bahwa para pemimpin mereka menyelisihi agama para Rasul, maka ini adalah sebuah kekafiran. Allâh dan Rasul-Nya telah menghukuminya sebagai kemusyrikan, walaupun para pengikut ini tidak melakukan shalat dan tidak bersujud untuk para pemimpin mereka. Maka barangsiapa mengikuti orang lain dalam menyelisihi agama, padahal dia tahu itu menyelisihi agama, dan dia meyakini apa yang dikatakan orang lain itu, tidak meyakini apa yang telah dikatakan oleh Allâh dan Rasul-Nya, maka dia menjadi orang musyrik seperti mereka (Yahudi dan Nashara).
Kedua, bahwa keyakinan dan iman mereka dengan pengharaman yang halal dan penghalalan yang haram itu tetap,[1] akan tetapi mereka (para pengikut) mentaati mereka (para pemimpin) dalam bermaksiat kepada Allâh, sebagaimana yang dilakukan oleh seorang Muslim ketika melakukan kemaksiatan dengan tetap meyakini bahwa itu sebuah kemaksiatan, maka mereka ini memiliki hukum sebagaimana pelaku maksiat semacam mereka.
Kemudian orang yang mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram itu, jika dia seorang mujtahid yang berniat mengikuti Rasul, akan tetapi kebenaran yang sebenarnya samar baginya, sementara dia juga bertaqwa kepada Allâh sesuai dengan kemampuannya, maka orang ini tidak akan disiksa oleh Allâh dengan sebab kesalahannya, bahkan Allâh memberinya pahala atas ijtihadnya, yang dengannya dia telah mentaati Rabbnya.
Tetapi orang yang mengetahui bahwa itu menyalahi apa yang dibawa oleh Rasul, kemudian dia tetap mengikuti kesalahannya itu, dan dia menyimpang dari perkataan Rasul, maka orang ini mendapatkan bagian dari kemusyrikan yang dicela oleh Allâh Azza wa Jalla . Apalagi jika dia mengikutkan hawa-nafsunya, membelanya dengan lidah dan tangannya, padahal dia tahu bahwa orang yang diikuti itu menyelisihi Rasul, maka ini merupakan kemusyrikan yang pelakunya berhak mendapatkan hukuman atasnya”. [Majmû’ Fatâwâ, 7/70]
Setelah kita mengetahui penjelasan-penjelasan di atas, maka alangkah banyaknya manusia di zaman ini yang terjerumus ke dalam penyimpangan ini, baik mereka sadari atau tidak mereka sadari. Hanya Allâh Tempat memohon pertolongan.
Ustadz Ustadz Abu Isma’il Muslim al-Atsari
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XV/1433H/2012M.]
0 comments:
Post a Comment