يُرْشِدُ الْقُرْآنُ إِلَى الرُّجُوْعِ إِلَى الأَمْرِ الْمُحَقَّقِ عِنْدَ وُرُوْدِ الشُّبُهَاتِ وَالتَّوَهُّمَاتِ
Al-Qur’an memberikan petunjuk agar kembali kepada perkara-perkara yang sudah diketahui pasti dan sudah terbukti kebenarannya ketika ada syubhat-syubhat atau keragu-raguan datang menghampiri
Syaikh Khalid al-Musaiqih hafizhahullâh mengatakan bahwa kaidah ini sangat bermanfaat dan penting bagi orang-orang yang ingin memahami al-Qur’ân dan hadits-hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Karena al-Qur’ân dan hadits-hadits itu terbagi menjadi dua kelompok besar yaitu :
1.Muhkam yaitu ayat atau hadits yang hanya memiliki satu makna, tidak mengandung kemungkinan-kemungkinan lain.
2.Mutasyabih yaitu ayat atau hadits yang maknanya belum jelas karena maknanya lebih dari satu.
Orang yang disodori atau mendapati nash yang masih belum jelas maksud dan maknanya, hendaknya tidak bingung dan tidak terkecoh serta tidak menggoyahkan keyakinannya terhadap ayat atau hadits yang muhkam yang hanya memiliki satu makna dan tidak mempunyai kemungkinan-kemungkinan lainnya. Hendaklah dia mengembalikan apa yang belum jelas baginya itu kepada sesuatu yang sudah jelas. Contoh yang mudah yaitu firman Allâh Azza wa Jalla :
قُلْ هُوَ اللّٰهُ اَحَدٌ
Katakanlah: “Dia-lah Allâh, yang Maha Esa [Al-Ikhlas/112:1]
Ayat ini secara gamblang dan jelas menyebutkan bahwa Allâh Azza wa Jalla itu esa (hanya satu), tidak berbilang. Namun dalam ayat lain disebutkan dengan kata ganti yang seakan memberikan kesan lebih dari satu, misalnya firman Allâh Azza wa Jalla :
اِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَاِنَّا لَهٗ لَحٰفِظُوْنَ
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya [Al-Hijr/15:9] dan firman Allâh Azza wa Jalla yang semisalnya.
Ayat pertama hanya memiliki satu makna yaitu Allâh Azza wa Jalla esa, sementara ayat kedua bisa bermakna tunggal dan bisa juga bermakna lebih dari satu. Apakah kita tetap bingung dengan ayat yang kedua ataukah makna yang kedua dikembalikan ke makna ayat pertama ? Jawabnya kita kembalikan ke makna ayat yang pertama. Inilah metode yang ditempuh oleh orang-orang yang memiliki ilmu yang mendalam.
Yang menjadi dasar kaidah ini adalah keyakinan kaum Muslimin bahwa kalamullah dan sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak ada yang bertentangan. Tentang kalâmullâh, Allâh Azza wa Jalla berfirman :
اَفَلَا يَتَدَبَّرُوْنَ الْقُرْاٰنَ ۗ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللّٰهِ لَوَجَدُوْا فِيْهِ اخْتِلَافًا كَثِيْرًا
Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’ân ? kalau sekiranya al-Qur’ân itu bukan dari sisi Allâh, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. [An-Nisa’/4:82]
Sedangkan tentang sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوٰى ٣ اِنْ هُوَ اِلَّا وَحْيٌ يُّوْحٰىۙ
Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).[an-Najm/53:3-4]
Jadi kesimpulannya, tidak ada pertentangan pada keduanya.[2]
Kaidah di atas terkadang diungkapkan dengan bahasa lain yaitu sesuatu yang masih diragukan tidak bisa menolak (menghilangkan) sesuatu yang sudah diketahui pasti dan sesuatu yang tidak diketahui tidak bisa menandingi sesuatu yang sudah yakini.
Ketika Allâh Azza wa Jalla memberitakan tentang orang yang mendalam ilmunya, Allâh Azza wa Jalla menyebutkan bahwa diantara metode mereka dalam menyelesaikan hal-hal yang belum jelas yaitu mereka mengatakan :
اٰمَنَّا بِهٖۙ كُلٌّ مِّنْ عِنْدِ رَبِّنَا ۚ
Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Rabb kami [Ali Imran/3:7]
Ketika menjelaskan ayat ini, syaikh Abdurrahman bin Nashir as-sa’di rahimahullah mengatakan bahwa orang-orang yang mendalam ilmunya itu mengimani ayat-ayat mutasyabihât itu dan mereka mengembalikan pengertiannya kepada yang ayat muhkam sambil mengatakan, ‘Semua ayat-ayat yang muhkam dan mutasyabih itu datangnya dari Rabb kami. Dan semua yang datang dari Rabb, tidak akan ada yang saling bertentangan antara yang satu dengan yang lainnya, semua sejalan, sebagiannya membenarkan sebagian yang lainnya dan saling mendukung.”[3]
Jadi perkara-perkara yang muhkamah menjadi pegangan untuk memahami perkara-perkara yang masih samar dan masih dalam bentuk dugaan-dugaan. Allâh Azza wa Jalla mengingatkan kaum Muslimin agar tidak mencela kaum Muslimin lainnya :
لَوْلَآ اِذْ سَمِعْتُمُوْهُ ظَنَّ الْمُؤْمِنُوْنَ وَالْمُؤْمِنٰتُ بِاَنْفُسِهِمْ خَيْرًاۙ وَّقَالُوْا هٰذَآ اِفْكٌ مُّبِيْنٌ
Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohong itu orang-orang mukminin dan mukminat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata, “Ini adalah suatu berita bohong yang nyata.” [an-Nûr/24:12]
Dalam ayat ini Allâh Azza wa Jalla memerintahkan kaum Muslimin agar mengembalikan hal-hal yang masih bersifat praduga kepada apa yang sudah mereka ketahui pasti yaitu saudara-saudara mereka itu masih memiliki keimanan yang bisa membantu dia menangkal semua keburukan. Hendaklah mereka memegang hal yang sudah pasti ini dan tidak memperdulikan perkataan orang-orang yang menafikan ataupun mencelanya. (Dengan demikian dia akan terhindar dari berburuk sangka kepada sesama Mukmin dan tidak mudah terpengaruh oleh berita-berita tentang saudaranya sesama Muslim-red.)
Allâh Azza wa Jalla juga berfirman :
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَكُوْنُوْا كَالَّذِيْنَ اٰذَوْا مُوْسٰى فَبَرَّاَهُ اللّٰهُ مِمَّا قَالُوْا ۗوَكَانَ عِنْدَ اللّٰهِ وَجِيْهًا
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang menyakiti Musa; Maka Allâh membersihkannya dari tuduhan-tuduhan yang mereka katakan. dan adalah dia seorang yang mempunyai kedudukan terhormat di sisi Allâh. [Al-Ahzab/33:69]
Kedudukan Nabi Musa Alaihissallam yang terhormat disisi Allâh Azza wa Jalla mampu menolak semua aib dan kekurangan yang dinisbatkan kepadanya Alaihissallam oleh orang-orang yang ingin mengganggu dan menyakiti beliau Alaihissallam. Karena seseorang yang tidak akan mendapatkan kedudukan terhormat disisi Allâh Azza wa Jalla sampai dia benar-benar bersih dari kekurangan dan berhias dengan perhiasan kesempurnaan yang sesuai dengan sifat-sifat kesempurnaan yang dimiliki oleh para nabi yang masuk dalam Ulul azmi. Allâh Azza wa Jalla mengingatkan umat ini agar tidak menempuh jalannya orang-orang yang menyakiti dan mengganggu nabi Musa Alaihissallam padahal beliau Alaihissallam memiliki kedudukan terhormat disisi Allâh Azza wa Jalla . Jika mereka menempuh jalan itu, berarti mereka telah menyakiti salah seorang rasul termulia dan tertinggi kedudukannya disisi Allâh Azza wa Jalla .
Allâh Azza wa Jalla berfirman :
فَمَاذَا بَعْدَ الْحَقِّ اِلَّا الضَّلٰلُ
Maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan. [Yûnus/10:32]
Juga berfirman :
وَيَرَى الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْعِلْمَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ اِلَيْكَ مِنْ رَّبِّكَ هُوَ الْحَقَّۙ وَيَهْدِيْٓ اِلٰى صِرَاطِ الْعَزِيْزِ الْحَمِيْدِ
Dan orang-orang yang diberi ilmu (ahli kitab) berpendapat bahwa wahyu yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu, itulah yang benar dan menunjuki (manusia) kepada jalan Rabb yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji. [Saba’/34:6]
_______
Footnote
[1] Diangkat dari al-Qawâ’idul Hisân, kaidah ke-67
[2] Sampai disini penjelesan Syaikh Khalid al-Musaiqih terhadap kaidah ke-67 ini
[3] Tafsir Taisir al-Karimir Rahman
0 comments:
Post a Comment