Kebanyakan orang mengidentikkan sifat zuhud dengan kekurangan dalam harta dan kedudukan dunia, sehingga terkesan bahwa sifat ini hanya mungkin dimiliki oleh orang yang miskin dan tidak memiliki harta. Ironisnya, opini ini menjadikan sebagian orang yang memiliki harta dan kedudukan merasa pesimis untuk mengusahakan sifat mulia ini, karena mereka menganggap sifat ini hanya untuk kalangan yang miskin.
Padahal, kalau mereka mengetahui besarnya keutamaan sifat ini dan tingginya kedudukannya di sisi Allah , maka tidak mungkin mereka akan mengabaikannya.
Cukuplah sabda Rasulullah berikut ini yang menunjukkan besarnya keutamaan dan kedudukannya: “Bersikap zuhudlah terhadap dunia maka Allah akan mencintaimu dan besikap zuhudlah terhadap apa yang ada di tangan manusia maka merekapun akan mencintaimu”[1].
Sifat mulia ini merupakan sifat utama generasi terbaik umat ini, para shahabat Rasulullah , yang menjadikan mereka lebih utama dan mulia di sisi Allah dibandingkan semua generasi yang datang setelah mereka. Ibnu Mas’ud berkata: “Kalian lebih banyak berpuasa, (mengerjakan) shalat, dan lebih bersungguh-sungguh (dalam beribadah) dibandingkan para sahabat Rasulullah , tapi mereka lebih baik (lebih utama di sisi Allah ) daripada kalian”. Adayang bertanya: Kenapa (bisa demikian), wahai Abu Abdirrahman? Ibnu Mas’ud berkata: “Karena mereka lebih zuhud dalam (kehidupan) dunia dan lebih cinta kepada akhirat”[2].
Maka setelah memahami keutamaan besar ini, adakah orang yang beriman kepada Allah dan mengharapkan kedudukan tinggi di sisi-Nya yang tidak ingin memiliki sifat ini?
Khususnya dengan kita memahami penjelasan para ulama Ahlus sunnah tentang sifat zuhud yang ternyata tidak hanya bisa diraih oleh orang-orang yang tidak memiliki harta dan kedudukan dunia, karena sifat zuhud tidak identik dengan kemiskinan, sehingga orang-orang kayapun sangat mungkin untuk meraihnya, dengan taufik dari Allah .
Arti zuhud dalam kehidupan dunia
Salah seorang ulama salaf berkata: “Zuhud di dunia bukanlah dengan mengharamkan yang halal, dan juga bukan dengan menyia-nyiakan harta, akan tetapi zuhud di dunia adalah dengan kamu lebih yakin dengan (balasan kebaikan) di tangan Allah daripada apa yang ada di tanganmu, dan jika kamu ditimpa suatu musibah (kehilangan sesuatu yang dicintai) maka kamu lebih mengharapkan pahala dan simpanan (kebaikannya diakhirat kelak) daripada jika sesuatu yang hilang itu tetap ada padamu”[3].
Maka dengan penjelasan ulama ini, orang kaya dan berkedudukanpun bisa bersikap zuhud, dan sifat ini bukanlah dicapai dengan cara membuang hartanya, juga bukan dengan mengharamkan apa yang dihalalkan Allah . Akan tetapi zuhud dalam harta adalah dengan menggunakan harta tersebut sesuai dengan petunjuk Allah , tanpa adanya keterikatan hati dan kecintaan yang berlebihan kepada harta tersebut. Atau dengan kata lain, zuhud dalam harta adalah tidak menggantungkan angan-angan yang panjang pada harta yang dimiliki, dengan segera menggunakannya untuk hal-hal yang diridhai oleh Allah .
Inilah arti zuhud yang sesungguhnya, sebagaimana ucapan imam Ahmad bin Hambal ketika beliau ditanya: Apakah makna zuhud di dunia (yang sebenarnya)? Beliau berkata: “(Maknanya adalah) tidak panjang angan-angan, (yaitu) seorang yang ketika dia (berada) di waktu pagi dia berkata: Aku (khawatir) tidak akan (bisa mencapai) waktu sore lagi”[4].
Dalil-dalil tentang keutamaan orang yang kaya tapi zuhud
1. Firman Allah :
{رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ}
“laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Mereka takut pada hari (pembalasan) yang (pada saat itu) hati dan penglihatan menjadi goncang” (QS an-Nuur:37).
Imam Ibnu Katsir berkata: “Mereka adalah orang-orang yang tidak disibukkan/dilalaikan oleh harta benda dan perhiasan dunia, serta kesenangan berjual-beli dan meraih keuntungan (besar) dari mengingat (beribadah) kepada Rabb mereka (Allah ) Yang Maha Menciptakan dan Melimpahkan rezki kepada mereka, dan mereka adalah orang-orang yang mengetahui (meyakini) bahwa (balasan kebaikan) di sisi Allah adalah lebih baik dan lebih utama daripada harta benda yang ada di tangan mereka, karena apa yang ada di tangan mereka akan habis/musnah sedangkan balasan di sisi Allah adalah kekal abadi”[5].
Imam al-Qurthubi berkata: “Dianjurkan bagi seorang pedagang (pengusaha) untuk tidak disibukkan/dilalaikan dengan perniagaan (usaha)nya dari menunaikan kewajiban-kewajibannya, maka ketika tiba waktu shalat fardhu hendaknya dia (segera) meninggalkan perniagaannya (untuk menunaikan shalat), agar dia termasuk ke dalam golongan orang-orang (yang dipuji Allah ) dalam ayat ini”[6].
2. Sabda Rasulullah : “Tidak ada hasad/iri[7] (yang terpuji) kecuali kepada dua orang: (yang pertama) orang yang Allah anugerahkan kepadanya harta lalu dia menginfakkan hartanya di (jalan) yang benar (di jalan Allah ), (yang kedua) orang yang Allah anugerahkan kepadanya ilmu lalu dia mengamalkannya dan mengajarkannya (kepada orang lain)”[8].
3. Dari Abu Hurairah dia berkata: Orang-orang miskin (dari para sahabat Rasulullah ) pernah datang menemui beliau , lalu mereka berkata: “Wahai Rasulullah , orang-orang (kaya) yang memiliki harta yang berlimpah bisa mendapatkan pahala (dari harta mereka), kedudukan yang tinggi (di sisi Allah ) dan kenikmatan yang abadi (di surga), karena mereka melaksanakan shalat seperti kami melaksanakan shalat dan mereka juga berpuasa seperti kami berpuasa, tapi mereka memiliki kelebihan harta yang mereka gunakan untuk menunaikan ibadah haji, umrah, jihad dan sedekah, sedangkan kami tidak memiliki harta…”. Dalam riwayat Imam Muslim, di akhir hadits ini Rasulullah bersabda: “Itu adalah kerunia (dari) Allah yang diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya”[9].
Dalam hadits ini Rasulullah tidak mengingkari ucapan para sahabat tersebut tentang pahala dan keutamaan besar yang diraih oleh orang-orang kaya pemilik harta yang menginfakkannya di jalan Allah , bahkan di akhir hadits ini Rasulullah memuji perbuatan mereka. Oleh karena itu, Imam Ibnu Hajar ketika menjelaskan hadits ini, beliau berkata: “Dalam hadits ini (terdapat dalil yang menunjukkan) lebih utamanya orang kaya yang menunaikan hak-hak (Allah ) pada (harta) kekayaannya dibandingkan orang miskin, karena berinfak di jalan Allah (seperti yang disebutkan dalam hadits di atas) hanya bisa dilakukan oleh orang kaya”[10].
Kisah-kisah keteladanan orang-orang yang kaya tapi zuhud
- Shahabat yang mulia ‘Utsman bin ‘Affan bin Abil ‘Ash al-Umawi (wafat tahun 35 H), salah seorang dari al-Khulafa-ur raasyidiin dan sepuluh orang shahabat yang dijamin masuk surga oleh Rasulullah , beliau sangat terkenal dengan kekayaan dan kedermawanan.
Beliaulah yang membeli sumur Ruumah dari pemiliknya seorang Yahudi, untuk air minum bagi kaum muslimin, dan Rasulullah menjanjikan bagi beliau balasan air minum di surga kelak.
Ketika Rasulullah ingin memperluas Mesjid nabawi maka ‘Utsman menyumbangkan hartanya untuk membeli tanah perluasan mesjid tersebut.
Beliau juga yang membiayai persiapan jihad pasukan al-’Usrah dalam perang Tabuk, yaitu sebanyak 950 ekor unta dan 50 ekor kuda. Sehingga setelah itu Rasulullah bersabda berkali-kali: “Tidak akan merugikan ‘Utsman apa (pun) yang dilakukannya setelah hari ini”[11].[12]
- Shahabat yang mulia ‘Abdur Rahman bin ‘Auf al-Qurasyi (wafat tahun 32 H), salah seorang dari sepuluh shahabat yang dijamin masuk surga oleh Rasulullah dan juga merupakan shahabat yang sangat terkenal dengan kekayaan dan kedermawanan.
Imam az-Zuhri berkata: “Di masa Rasulullah ‘Abdur Rahman bin ‘Auf pernah bersedekah dengan separuh dari harta beliau (yaitu sebesar) empat ribu dinar, lalu beliau bersedekah (lagi) dengan (harta sebesar) empat puluh ribu dinar. Kemudian beliau menanggung (biaya seharga) limaratus ekor kuda (untuk keperluan berjihad) di jalan Allah, setelah itu beliau menanggung (biaya seharga) limaratus ekor unta (untuk keperluan berjihad) di jalan Allah. Sebagian besar hasil kekayaan beliau (diperolehnya) dari (usaha) perniagaan[13].
- ‘Ali bin Husein bin ‘Ali bin Abi Thalib al-Hasyimi al-Madani (Wafat tahun 94 H)[14], putra dari cucu Nabi yang terkenal, Husein bin ‘Ali dan Imam besar dari kalangan Tabi’in (murid para shahabat y), serta sangat terpercaya dan teliti dalam meriwayatkan hadits Rasulullah [15]. Beliau sangat terkenal dengan ketekunan beribadah sehingga digelari sebagai zainul ‘abidin (perhiasan bagi para ahli ibadah)[16].
Termasuk amal ibadah agung yang sering beliau lakukan adalah banyak bersedekah untuk orang-orang miskin penduduk Madinah, sehingga sewaktu beliau wafat dan jenazah beliau dimandikan, terlihat di punggung beliau bekas-bekas berwarna hitam pada kulit beliau, karena semasa hidupnya beliau sering memikul karung berisi tepung (makanan) untuk disedekahkan kepada orang-orang miskin, di malam hari secara sembunyi-sembunyi[17].
Bahkan semasa hidupnya beliau menanggung biaya seratus keluarga miskin di Madinah, sampai-sampai orang menyangka beliau kikir dan suka menimbun harta, karena beliau selalu menyembunyikan sedekah beliau[18].
- Abdullah bin al-Mubarak al-Marwazi (wafat tahun 181 H)[19], Imam besar yang ternama dari kalangan Atba’ut Tabi’in yang sangat terpercaya dan teliti dalam meriwayatkan hadits Rasulullah . Imam Ibnu Hajar berkata: “Beliau adalah seorang yang terpercaya lagi sangat teliti (dalam meriwayatkan hadits), orang yang memiliki ilmu dan pemahaman (yang dalam), sangat dermawan lagi (sering) berjihad (di jalan Allah ), terkumpul padanya (semua) sifat-sifat baik”[20].
Dalam biografi beliau disebutkan bahwa Imam al-Fudhail bin ‘Iyadh pernah bertanya kepadanya tentang sebab dia memliki perniagaan besar dengan mengeksport barang-barang dagangan dari negeri Khurasan ke tanah haram (Mekkah), maka Abdullah bin al-Mubarak menjawab: “Sesungguhnya aku melakukan itu adalah untuk menjaga mukaku (agar tidak meminta-minta kepada orang lain), memuliakan kehormatanku, dan menggunakannya untuk membantuku dalam ketaatan kepada Allah”[21].
Ucapan beliau ini benar-benar terbukti, karena beliau sangat terkenal dengan sifat dermawan, membantu orang miskin dengan sumbangan harta yang sangat besar setiap tahun[22], membiayai semua perbekalan orang-orang yang menunaikan ibadah haji bersama beliau[23].
Termasuk kedermawanan beliau yang paling utama adalah menanggung biaya hidup beberapa Imam besar ahli hadits di jamannya, seperti Imam al-Fudhail bin ‘Iyadh[24], agar mereka bisa lebih berkonsentrasi menyebarkan hadits Rasulullah kepada umat. Beliau berkata: “Sesungguhnya aku mengetahui kemuliaan suatu kaum (para ulama ahli hadits) yang memiliki keutamaan dan kejujuran, mereka (menyibukkan diri dengan) mempelajari hadits-hadits Rasulullah dengan benar dan sungguh-sungguh. Kemudian (setelah itu) kebutuhan umat Islam kepada mereka sangat mendesak (untuk mengenal petunjuk Rasulullah ), sedangkan mereka sendiri punya kebutuhan (untuk membiayai keluarga mereka). Jika kami tidak membantu (menanggung biaya hidup) mereka maka ilmu mereka akan sia-sia (tidak tersebar dengan baik), tapi kalau kami mencukupi (biaya hidup) mereka maka mereka (bisa lebih berkonsentrasi) menyebarkan ilmu kepada umat Nabi Muhammad . Dan aku tidak mengetahui setelah kenabian, tingkatan/kedudukan yang lebih utama daripada menyebarkan ilmu (tentang sunnah Rasulullah )”[25].
Demikianlah dan kami akhiri tulisan ini dengan memohon kepada Allah dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna, agar dia menganugerahkan kepada kita sifat zuhud dalam kehidupan dunia dan cinta kepada balasan-Nya yang kekal di akhirat, serta semua sifat-sifat baik yang diridhai-Nya, sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan doa.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Abdullah bin Taslim al-Buthoni
[1] HR Ibnu Majah (4102), al-Hakim (4/348), Ibnu ‘Adi dalam kitab “al-Kamil” (2/117) dan lain-lain, dishahihkan oleh imam al-Hakim, dihasankan oleh imam an-Nawawi dan dinyatakan shahih oleh syaikh al-Albani karena diriwayatkan dari berbagai jalur yang saling menguatkan, dalam kitab “Ash-Shahiihah” (no. 944).
[2] Atsar riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam “al-Mushannaf” (no. 34550) dan Abu Nu’aim dalam “Hilyatul auliyaa’” (1/136) dengan sanad yang shahih, juga dinukil oleh imam Ibnu Rajab dalam kitab “Latha-iful ma’aarif” (hal. 279).
[3] Dinukil oleh oleh Ibnu Rajab dalam kitab beliau “Jaami’ul ‘uluumi wal hikam” (2/179).
[4] Dinukil oleh oleh Ibnu Rajab dalam kitab beliau “Jaami’ul ‘uluumi wal hikam” (2/384).
[5] Kitab “Tafsir Ibnu Katsir” (3/390).
[6] Kitab “Tafsir al-Qurthubi” (5/156).
[7] Maksudnya adalah al-gibthah yaitu mengharapkan nikmat yang Allah I berikan kepada orang lain tanpa hilangnya nikmat tersebut dari diri orang itu. Lihat kitab “Syarhu shahiihi Muslim” (6/97).
[8] HSR al-Bukhari (no. 73) dan Muslim (no. 816).
[9] HSR al-Bukhari (no. 807 dan 5970) dan Muslim (no. 595).
[10] Kitab “Fathul Baari” (3/298).
[11] HR at-Tirmidzi (no. 3701) dan al-Hakim (no. 4553), dinyatakan shahih oleh al-Hakim, disepakati oleh adz-Dzahabi, dan dinyatakan hasan oleh syaikh al-Albani.
[12] Lihat kitab “Tahdziibul kamal” (19/450).
[13] Lihat kitab “Tahdziibul kamal” (17/327).
[14] Biografi beliau dalam kitab “Siyaru a’laamin nubala’” (4/386) dan “Shifatush shafwah” (2/93).
[15] Kitab “Taqriibut tahdziib” (hal. 400).
[16] Lihat kitab “Siyaru a’laamin nubala’” (4/392).
[17] Lihat kitab “Shifatush shafwah” (2/96).
[18] Lihat kitab “Siyaru a’laamin nubala’” (4/394).
[19] Biografi beliau dalam kitab “Tahdzibul kamal” (16/5) dan “Siyaru a’laamin nubala’” (8/378).
[20] Kitab “Taqriibut tahdziib” (hal. 271).
[21] Kitab “Tahdzibul kamal” (16/20) dan “Siyaru a’laamin nubala’” (8/387).
[22] Lihat kitab “Siyaru a’laamin nubala’” (8/386).
[23] Ibid (8/385-386).
[24] Ibid (8/386).
[25] Kitab “Tahdzibul kamal” (16/20) dan “Siyaru a’laamin nubala’” (8/387).