Al-Wasithiyah (sikap tengah-tengah) merupakan ciri khas paling menonjol dari ahlussunnah wal jamâ'ah. Sebagaimana ummat Islam juga sebagai umatan wasathan (umat yang bersikap tengah-tengah) antara ummat-ummat yang bersikap ghuluw (melampaui batas) dan ummat yang terlalu meremehkan, maka begitupula ahlussunnah berada pada posisi tengah-tengah antara kelompok-kelompok yang melenceng dari jalan yang lurus.
Sikap tengah-tengah ini bisa terlihat dalam banyak sisi, misalnya sisi aqidah, hukum-hukum fikih, tingkah laku, akhlak dan sisi-sisi yang lainnya. Diantara bentuk-bentuk sikap pertengahan ahlussunnah tersebut:
1. Ahlussunnah wal Jama'ah bersikap tengah-tengah dalam masalah Asma' dan Sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla antara ahlu ta’thil (kelompok yang menolak semua atau sebagian sifat Allâh Azza wa Jalla) dan ahlu tamtsîl (kelompok yang menyerupakan Allâh Azza wa Jalla dengan makhluk-Nya).
Ahlu ta’thîl menolak serta mengingkari semua atau sebagian sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla, sementara ahlu tamtsîl mengakui Allâh Azza wa Jalla memiliki sifat-sifat namun mereka menyamakan sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla tersebut dengan sifat-sifat makhluk-nya.
Adapun Ahlussunnah wal jamâ’ah, mereka menetapkan sifat-sifat untuk Allâh Azza wa Jalla tanpa menyerupakan sifat-sifat tersebut dengan sifat-sifat makhluk. Mereka meyakini kesucian Allâh Azza wa Jalla dari menyerupai makhluk tanpa menolak semua atau sebagian sifat-sifat-Nya.
Ahlussunnah wal jamâ’ah mengambil pendapat dan keyakinan terbaik yang dimiliki oleh kedua kelompok tersebut di atas, yaitu menetapkan sifat-sifat bagi Allâh Azza wa Jalla dan meyakini kemahasucian Allâh Azza wa Jalla , sementara kesalahan kedua kelompok tersebut yaitu meniadakan sifat Allâh Azza wa Jalla dan menyerupakan sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla dengan makhluk ditinggalkan oleh Ahsussunnah.
2. Ahlussunnah juga berada pada posisi tengah-tengah antara Murji’ah dan Wa’idiyah dalam masalah janji dan ancaman dari Allâh Azza wa Jalla.
Kelompok Murji’ah berpandangan bahwa dosa yang dilakukan oleh seseorang tidak akan mencederai keimanannya, sebagaimana perbuatan taat yang dilakukan oleh orang kafir tidak akan bermanfaat baginya sedikitpun. Karena mereka berpandangan bahwa iman itu hanya meyakini dengan hati saja, walaupun tidak diucapkan dengan lisan, serta mereka berpendapat bahwa amal perbuatan tidak termasuk komponen keimanan. Mereka berkeyakinan bahwa bisa saja Allâh Azza wa Jalla mengadzab orang yang berbuat ketaatan dan memberikan kenikmatan kepada para pelaku maksiat.
Disisi yang berlawanan, kelompok Wa’îdiyah berpendapat bahwa secara akal, Allâh Azza wa Jalla pasti akan mengadzab dan menyiksa para pelaku maksiat dan pasti Allâh akan memberikan ganjaran pahala kepada orang-orang yang taat kepada-Nya. Mereka berkeyakinan bahwa barangsiapa mati dengan membawa dosa besar dan dalam keadaan belum bertaubat, maka Allâh Azza wa Jalla tidak mungkin memberikan ampunan kepadanya.
Ahlussunnah wal Jamâ’ah berada pada posisi tengah-tengah antara dua kelompok sesat tersebut, antara kelompok Murji'ah yang memandang tidak ada ancaman dari Allâh Azza wa Jalla dan kelompok Wa'îdiyah yang memastikan pelaku dosa besar akan disiksa. Ahlussunnah berpandangan bahwa orang yang meninggal dengan membawa dosa besar dan dia belum bertaubat kepada Allâh Azza wa Jalla , maka urusannya dikembalikan kepada Allâh Azza wa Jalla. Artinya, jika Allâh Subhanahu wa Ta’ala berkehendak untuk mengampuninya, maka Dia Azza wa Jalla akan mengampuninya, dan jika Allâh berkehandak sebaliknya, maka Allâh akan mengadzabnya. Seandainya pun Allâh Azza wa Jalla mengadzabnya akibat dari perbuatan dosa besar yang dilakukannya tersebut, namun dia tidak akan diadzab di neraka selama-lamanya sebagaimana orang-orang kafir, akan tetapi dia akan dikeluarkan dari neraka dan akan dimasukkan ke surga.
3. Ahlussunnah bersikap tengah-tengah dalam masalah vonis kafir (at-takfîr).
Dalam masalah ini, kita bisa dapati ada beberapa kelompok yang terlalu terburu-buru dalam menjatuhkan vonis kafir kepada kaum Muslimin. Mereka menjatuhkan vonis kafir kepada kaum Muslimin yang melakukan dosa besar. Mereka juga tidak mengakui dan tidak menghukumi keislaman seseorang yang mengucapkan dua kalimat syahadat, menunaikan shalat, berpuasa, dan melakukan kewajiban-kewajiban lainnya, selama dia tidak memenuhi beberapa syarat yang mereka tentukan, padahal syarat-syarat tersebut tidak terdapat dalam al-Qur’ân dan Hadits, - seperti orang-orang Khawarij dan orang yang mengikuti manhaj mereka.
Berlawanan dengan Khawarij, kita dapati juga kelompok lain yang bersikap sangat meremehkan, mereka meniadakan mengkafiran secara mutlak, mereka berpandangan orang yang telah mengucapkan dua kalimat syahadat tidak mungkin bisa dijatuhi vonis kafir bagaimanapun keadaannya, bahkan mereka berpandangan bahwa siapapun tidak boleh mengkafirkan orang tertentu secara mutlak. Mereka berpendapat bahwa gelar kufur atau kafir hanya bisa disematkan kepada perbuatan bukan orang atau pelakunya.
Berdasarkan ini, maka mereka tidak akan menjatuhkan vonis kafir kepada siapapun selamanya walaupun orang tersebuat jelas-jelas telah murtad, atau mengaku nabi, atau mengingkari kewajiban shalat, dan berbagai keyakinan atau perbuatan lainnya yang telah disepakati oleh para ahli ilmu bisa mengakibatkan pelakunya keluar dari agama Islam.
Adapun Ahlussunnah, Allâh Azza wa Jalla telah memberi mereka petunjuk kepada kebenaran yang telah diselisihi oleh dua kelompok di atas, karena ahlussunnah senantiasa berpegang dengan dalil-dalil yaitu al-Qur’ân dan as-Sunnah. Ahlussunnah tidak melarang vonis kafir secara mutlak dan mereka juga tidak menjatuhkan vonis kafir kepada seseorang hanya karena perbuatan dosa yang dilakukan. Ahlussunnah tidak mengatakan bahwa tidak mungkin menjatuhkan vonis kafir kepada individu tertentu (artinya, ada kemungkinan); Mereka juga tidak memperbolehkan penyematan label kafir secara serampangan tanpa terpenuhinya syarat pengkafiran, sudah dipastikan tidak ada penghalang (untuk dijatuhi vonis kafir) pada seseorang.
Ahlussunah juga tidak bersikap tawakkuf atau tidak ragu untuk menetapkan keislaman orang yang secara zahir berpegang teguh dengan Islam.
Ahlussunnah selalu berhusnuzzhan (berbaik sangka) kepada kaum Muslimin yang bertauhid, juga kepada semua orang yang telah masuk Islam atau pun kepada mereka yang ingin memeluk Islam.
Dan barangsiapa yang melakukan dosa besar yang bisa membuat pelakunya menjadi kafir, kemudian telah terpenuhi semua syarat pengkafiran pada pelakunya, tidak ada perkara yang menghalangi penjatuhan vonis kafir pada pelaku tersebut, maka ahlussunnah tidak gentar, tidak bersikap pura-pura dan tidak merasa berat untuk menjatuhkan vonis kafir padanya.[1]
4. Dalam masalah nama-nama yang berkaitan dengan agama dan iman, atau dalam masalah nama-nama dan hukum, Ahlussunnah wal jamâ'ah juga mengambil sikap tengah antara Khawarij, Mu’tazilah juga antara Murji’ah dan Jahmiyah
Yang dimaksud dengan nama-nama disini adalah sebutan-sebutan yang berkaitan dengan agama, seperti: Mu’min, Muslim, Kafir dan fasiq, sementara yang dimaksud dengan hukum-hukum adalah hukum pelakunya di dunia maupun di akhirat.
Khawarij dan Mu’tazilah berpendapat bahwa seseorang tidak bisa disebut beriman kecuali jika dia membenarkan atau meyakini dengan hatinya, mengikrarkan dengan lisannya, melakukan semua kewajiban serta menjauhi semua larangan agama.
Berdasarkan pendapat ini, Khawarij dan Mu'tazilah sepakat bahwa pelaku dosa besar tidak boleh disebut sebagai Mu’min, namun mereka berbeda pendapat dalam hal penamaan pelaku dosa besar tersebut, apakah pelakunya dinamakan kafir atau tidak?
Khawarij menyebut pelakunya kafir, halal darah dan hartanya, sedangkan Mu’tazilah berpendapat bahwa pelaku dosa besar telah keluar dari keimanan, akan tetapi belum masuk kepada kekufuran, dia berada pada posisi tengah-tengah antara kafir dan mu'min.
Meskipun demikian, dalam masalah hukum di akhirat kelak, kedua kelompok ini sepakat mengatakan bahwa pelaku dosa besar apabila meninggal sebelum bertaubat maka dia kekal di dalam neraka.
Sebaliknya, golongan Murji’ah sebagai mana yang telah kita jelaskan di atas, mereka memandang bahwa maksiat tidak akan mempengaruhi dan tidak membahayakan keimanan seseorang. Sehingga menurut mereka, pelaku dosa besar itu tetap sebagai seorang Mu’min yang sempurna keimanannya. Keimanannya tidak berkurang dengan sebab dosa besar yang dia lakukan, dan tidak akan dimasukkan ke dalam neraka.
Adapun Ahlussunnah, mazhab atau pendapat mereka tetap berada pada posisi tengah-tengah antara dua pendapat di atas. Menurut mereka, seorang Mukmin yang melakukan dosa besar itu tetap seorang Mu’min dengan keimanan yang dia miliki, akan tetapi dia fasik dengan sebab dosa yang dia lakukan, atau dengan kata lain dia adalah Mu’min yang imannya kurang (tidak sempurna imannya). Keimanannya berkurang sesuai dengan kadar dosa yang dia lakukan.
Ahlussunnah tidak berpendapat bahwa pelaku dosa besar itu telah hilang semua keimanannya, sebagaimana pendapat Khawarij dan Mu’tazilah.
Ahlussunnah juga tidak mengatakan bahwa orang Mukmin yang melakukan dosa besar itu tetap sebagai seorang Mukmin yang sempurna imannya, sebagaimana yang dikatakan oleh Murji’ah.
Sedangkan mengenai hukumnya di akhirat, menurut Ahlussunnah itu tergantung kehendak Allâh Azza wa Jalla , bisa saja Allâh Azza wa Jalla mengampuni dosa tersebut sehingga dia langsung dimasukkan ke surga, atau dia akan diadzab di neraka sesuai dengan dosa yang dia lakukan, kemudian dia akan dikeluarkan dari neraka lalu dimasukkan ke surga.
5. Dalam masalah kecintaan kepada Nabi Muhamma Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Ahlussunnah juga berada pada posisi tengah-tengah, antara kelompok yang berlebih-lebihan dalam mencintai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kelompok yang sangat jauh dari mencintai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Ahlussunnah wal jamâ’ah mencintai Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mereka meyakini bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia terbaik, sayyid (pemimpin) para rasul dan penutup para nabi. Mereka juga berpandangan bahwa Mukmin yang paling sempurna imannya adalah seorang Mukmin yang paling sempurna kecintaannya dan ketaatannya kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Meskipun demikian, Ahlussunnah tetap meyakini bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang manusia, dia tidak bisa mendatangkan manfaat atau mudharat untuk dirinya sendiri apalagi untuk orang lain kecuali yang telah Allâh Azza wa Jalla takdirkan untuknya.
Ahlussunnah juga meyakini bahwa Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah meninggal dunia, namun agama yang Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan tetap terjaga sampai hari kiamat.
Ini sangat berbeda denga kelompok yang ghuluw (melampaui batas) dalam mencintai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini. Mereka memposisikan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas kedudukan yang telah Allâh Azza wa Jalla berikan kepadanya, bahkan diantara mereka ada yang meyakini bahwa Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa mengabulkan doa mereka, sehingga mereka memalingkan ibadah yang agung ini kepada selain Allâh, sebagaimana yang dilakukan oleh kaum sufi yang melampaui batas. Salah seorang diantara mereka yaitu al-Bushairi mengatakan:
Wahai makhluk yang paling dermawan, aku tidak memiliki tempat meminta perlindungan
selain dirimu, tatkala bencana datang menimpa,
sesungguhnya diantara bentuk kedermawananmu adalah adanya dunia dan akhirat,
dan termasuk dari ilmumu adalah ilmu lauhul mahfûzh dan ilmu al-Qalam
Perkataan-perkataan yang melampoi batas seperti ini bisa menyebabkan pelakunya keluar dari Islam.
Ahlussunnah juga berbeda dengan kelompok yang sangat meremehkan hak Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Kelompok ini berpaling dari syari’at Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Mereka tidak menjadikan syari'at yang dibawa oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pemutus dalam masalah-masalah yang mereka perselihkan.
Ahlussunnah juga berbeda dengan orang-orang yang menganggap bahwa syariat Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah dihapus atau diganti dengan syariat yang lain seperti yang diyakini oleh aliran kebatinan yang mengatakan bahwa syariat Beliau tidak cocok lagi dengan kemajuan zaman, dan tidak bisa memenuhi kebutuhan zaman sekarang ini.
Adapun, Ahlussunnah, maka mereka tetap mengambil posisi tengah-tengah, antara dua kelompok di atas. Mereka berpandangan bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang hamba dan utusan Allâh Azza wa Jalla , sebagaimana hal itu diperintahkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk kita ucapkan. Ahlussunnah tidak mengurangi apa yang menjadi hak Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai seorang Nabi dan Rasul dan juga tidak memposisikan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melebihi kedudukan yang telah diberikan oleh Allâh Azza wa Jalla . Ahlussunnah memposisikan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada posisi yang sebenarnya.
6. Ahlussunnah bersikap tengah-tengah dalam masalah sikap terhadap para Ulama.
Ahlussunnah mencintai para Ulama, mengagungkan mereka, bersopan santun kepada mereka, membela dan berbaik sangka terhadap mereka, menyebarkan kebaikan-kebaikan mereka, dan mengambil ilmu dari mereka, karena Ahlussunnah memahami bahwa para Ulama itu pewaris para nabi. Mereka melanjutkan peran para Rasul dalam berdakwah dan menyebarkan al-haq. Oleh karena itu, sepantasnya kaum Muslimin mencintai mereka, menololong dan membela mereka, serta memposisikan mereka pada posisi dan kedudukan yang layak.
Namun pada saat yang sama, Ahlussunnah juga berpandangan bahwa para Ulama itu juga manusia yang tidak ma'shûm (tidak bebas dari kesalahan). Mereka terkadang berbuat salah, lupa dan terkadang terbawa hawa nafsu, akan tetapi ini semua tidak mengurangi kedudukan mereka, dan tidak dibenarkan meninggalkan mereka, kecuali kesalahan itu adalah kesalahan besar atau dosa besar.
Ahlussunnah juga tidak terburu-buru dalam menjatuhkan vonis bersalah kepada para Ulama. Ahlussunnah akan melakukan tabayyun, apabila telah terbukti bahwa seorang Ulama telah melakukan kesalahan, maka Ahlussunnah tidak akan menyepakati kesalahan tersebut, tidak terus mencari kesalahan-kesalahan lainnya, tidak pula menjadikannya sebagai bahan celaan dan bahkan mereka berusaha menyimpan kesalahan tersebut dan tidak menyebarkannya. Kecuali jika kesalahan tersebut sudah tersebar dan diketahui masyarakat umum, dan dikhawatirkan akan banyak orang yang akan tersesat karenanya, maka pada saat seperti ini, ahlussunnah akan memberikan bantahan terhadap kesalahan Ulama tersebut, dengan tetap menjaga kehormatannya. Dengan catatan juga bahwa yang memberikan bantahan adalah orang yang memang ahlinya, kemudian bantahan ditujukan kepada perkataannya salah bukan kepada pribadi Ulama, dicarikan solusi terbaik, serta berusaha mengarahkan maksud perkataan Ulama tersebut pada maksud terbaik.
Ini berbeda dengan orang-orang yang tidak menghargai para Ulama sama sekali, tidak peduli dengan mereka serta tidak memperhatikan hak-hak mereka sebagaimana golongan Khawarij dan orang-orang sejalan dengan mereka.
Ahlussunnah juga berbeda dengan perlakuan orang-orang yang mengkultuskan para Ulama, berlebih-lebihan dalam menghormati mereka, mengangkat mereka melebihi posisi yang pantas bagi mereka, mengikuti mereka secara membabi buta. Orang-orang ini tidak menjadikan kebenaran dan dalil sebagai panduan, akan tetapi yang mereka jadikan panduan adalah ucapan Ulama, sebagaimana kaum Râfidhah yang bersikap ghuluw terhadap para Ulama mereka, bahkan mereka menempatkan Ulama mereka pada kedudukan yang tidak bisa dicapai oleh para nabi, tidak pula oleh para Malaikat. Kaum Râfidhah meyakini bahra para Ulama mereka ma'shûm (terbebas semua kesalahan atau tidak akan pernah berbuah kesalahan). Mereka meyakini bahwa para Ulama mereka tidak pernah salah, tidak pernah lupa dan tidak pernah lalai.
Begitupula penganut sufi yang ghuluw terhadap para Ulama mereka. Mereka berpandangan bahwa orang yang berani mengatakan "Mengapa?" kepada syaikhnya berarti dia telah kafir. Mereka juga mengatakan bahwa apabila kamu berada didepan syaikh maka jadilah kamu seperti mayat didepan orang yang sedang memandikannya.
Ahlussunnah, juga berbeda dengan kelompok yang berpandangan bahwa para Ulama memiliki kedudukan yang tinggi, akan tetapi mereka tidak memperlakukannya mereka sebagaimana manusia yang terkadang bisa salah, lupa dan terjebak dalam hawa nafsu. Mereka ini memperlakukan Ulama seolah-olah tidak akan pernah salah selamanya, sehingga apabila mereka melihat kesalahan dari seorang Ulama, mereka akan membesar-besarkannya, menyebarkannya ke semua penjuru, menjadikannya bahan celaan, dan merendahkannya, serta menjauhkan manusia darinya. Jadilah mereka ini, orang-orang yang mengumpulkan dua sikap yang saling bertentangan, awalnya ghuluw (melampaui batas) dalam menghormati lalu berubah menjadi sikap sebaliknya. Awalnya, mereka sangat mengagungkan para Ulama dan menganggap mereka tidak mungkin melakukan kesalahan, namun saat terjadi kesalahan dari seorang Ulama mereka akan sangat mencela Ulama tersebut dan menyebarkan kesalahannya.
7. Dalam menyikapi para pemimpin, Ahlussunnah mengambil posisi tengah-tengah antara kelompok ifrâth (berlebih-lebihan) dan kelompok tafrîth (yang terlalu meremahkan.
Ahlussunnah tidak seperti kelompok pertama yang membolehkan khurûj (memberontak) kepada para pemimpin Muslim yang zhalim. Mereka ini beranggapan bahwa pemimpin yang zhalim merupakan satu-satunya sebab segala bentuk keburukan dan kerusakan yang terjadi, dan mereka memandang bahwa memberontak terhadap pemimpin seperti ini merupakan jaminan untuk terealisasinya perubahan kearah yang lebih baik.
Seperti inilah pendapat dan pandangan kaum Khawarij yang beranggapan bahwa semua kerusakan yang terjadi disebabkan oleh para pemimpin. Mereka juga berpendapat bahwa memberontak terhadap para pemimpin zhalim hukumnya wajib, dan itulah jalan satu-satunya untuk memperbaiki keadaan. Sejarah telah mencatat dan menjadi saksi perbuatan mereka. Mereka memberontak kepada para pemimpin yang zhalim, bahkan mereka memberontak kepada pemimpin yang adil, sebagaimana yang mereka lakukan terhadap Ali Radhiyallahu anhu.
Seperti ini juga keadaan kelompok Mu’tazilah, yang menjadikan memberontak kepada para pemimpin sebagai salah satu ajaran agama mereka.
Ahlussunnah juga tidak seperti kelompok yang kedua, kelompok yang selalu berpura-pura, tidak peduli, kelompok yang bungkam dari kezhaliman para pemimpin, tidak pernah berupaya memberikan nasehat kepada para penguasa yang bersalah dan tidak pernah melakukan pengingkaran terhadap kesalahan mereka. Bahkan terkadang memberikan kelonggaran dan motivasi, melegalkan kesalahan yang dilakukan para penguasa dan mengingkari orang yang melakukan pengingkaran terhadap kesalahan para penguasa.
Ahlussunnah juga tidak seperti para kelompok yang terus-menerus memuji para pemangku kekuasaan. Kelompok ini bersikap ghuluw terhadap para pemimpin, memuji dengan sesuatu yang terkadang tidak ada pada para pemimpin, bahkan sampai menganggap para pemimpin itu terjaga dari kesalahan. Kelompok ini senantiasa taat kepada para pemimpin dalam segala perintah, tanpa peduli, apakah perintah itu benar atau salah!
Adapun ahlussunnah, maka mereka berpegang teguh dengan kebenaran. Mereka bersikap terhadap para pemimpin sesuai dengan apa yang ada dalam nash-nash syar’i. Mereka taat kepada para pemimpin, dalam hal yang disukai atau yang dibenci, diwaktu senang dan susah, selama perintah yang berasal dari para pemimpin itu tidak untuk maksiat. Apabila mereka memerintahkan suatu kemasiatan, maka tidak perlu ditaati, karena taat kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allâh Azza wa Jalla tidak dibenar. Kewajiban taat kepada pemimpin itu berlaku pada hal-hal yang ma'ruf saja.
Ahlussunnah juga berupaya memberikan nasehat kepada para pemimpin. Ahlussunnah melakukan kerjasama dengan pemerintah dalam kebaikan dan ketakwaan walaupun para pemimpin itu orang-orang zhalim. Karena tujuan utama ahlussunnah adalah mewujudkan atau menyempurnakan suatu yang bermanfaat, menangkal atau meminimalisir kerusakan. Ahlussunnah tidak keberatan membantu orang yang zhalim dalam melakukan kebaikan ataupun memotivasi mereka untuk melakukan kebaikan. Ahlussunnah akan senantiasa bersama para pemimpin dalam melakukan dan merealisasikan kebaikan, dan mereka akan menjauh para pemimpin itu melakukan keburukan.
Oleh karena itu Ahlussunnah berpandangan wajibnya menjalankan shalat Jum'at, shalat jamaah dan merayakan hari raya bersama para pemimpin. Mereka juga berpandangan bahwa jihad akan terus berlangsung sampai hari kiamat dibawah komando pemimpin, baik pemimpin yang adil maupun yang zhalim.
Ahlussunnah juga tidak akan melepaskan diri dari kewajiban mentaati pemimpin. Mereka juga tidak sependapat dengan orang yang memandang bahwa para pemimpin bertanggung jawab penuh atas segala keburukan dan kerusakan yang terjadi. Para pemimpin itu memang yang paling bertanggung jawab, namun setiap Muslim juga bertanggung jawab sesuai dengan kemampuan yang dia miliki.
Ahlussunnah tidak membolehkan berontak kepada para pemimpin yang zhalim – apalagi pemimpin yang adil– kecuali jika :
• Mereka melihat kekufuran yang nyata dengan bukti-bukti yang jelas,
• Mereka juga memiliki kekuatan yang memadai,
• Pemberontakan itu tidak menimbulkan kerusakan yang lebih besar, agar ummat tidak semakin susah dan sengsara.
Ahlussunnah tidak suka memberikan pujian-pujian dusta kepada para penguasa, tidak suka memberikan sanjungan yang berlebihan yang bisa menumbuhkan rasa ujub dalam hati para pemimpin, yang bisa membuat mereka lupa akan kekurangan-kekurangan diri, dan akhirnya mereka memandang diri mereka telah sempurna atau mendekati sempurna. Jika demikian, para pemimpin itu tidak akan bisa melihat sisi-sisi kelemahan mereka dan jika mereka tidak mengetahui kelemahan, tentu tidak akan berusaha untuk memperbaiki atau menutupi kekurangan tersebut.
Ahlussunnah juga tidak membolehkan sikap pura-pura dalam masalah agama juga tidak bersikap pura-pura kepada orang-orang yang melampaui batas dan zhalim. Mereka tidak gentar untuk mengucapkan kebenaran, jika waktu dan keadaan menuntut hal itu. Ahlussunnah tidak memperbolehkan sikap berpura-pura dalam permasalahan agama kepada siapapun. Mereka tidak takut kepada siapapun di jalan Allâh Azza wa Jalla . Hanya saja, Ahlussunnah berpandangan bahwa kewajiban menyampaikan kebenaran ini tidak dilakukan oleh setiap orang, akan tetapi harus dilakukan oleh orang yang berkompeten untuk melakukannya.
Ahlussunnah berpandangan, barangsiapa tidak mampu untuk menyampaikan kebenaran, paling tidak dia memberikan dukungan moril dengan hatinya, membenci kebatilan dan menjauhi para pelakunya.
Adapun orang yang menegakkan kebenaran, kemudian dia disakiti atau dihina saat melakukannya, namun dia tetap bersabar atas cobaan tersebut maka dia akan mendapatkan pahala yang sangat besar. Siapa saja yang dibunuh oleh pemimpin yang zhalim setelah dia menyampaikan kebenaran kepada pemimpin tersebut, maka dia termasuk syuhada’.
Sebaik-baiknya contoh praktis Ahlussunnah dalam permasalahan ini adalah apa yang telah dilakukan oleh Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah dimasa fitnah khalqil qur’ân (Saat itu para penguasa mengatakan bahwa al-Qur’ân itu makhluk dan memaksa masyarakat untuk berpendapat seperti itu, sementara Imam Ahmad rahimahullah tidak sependapat dengan itu-red). Beliau disiksa, namun beliau rahimahullah tidak mundur dari kebenaran yang beliau rahimahullah yakini. Bahkan, beliau rahimahullah dengan gagah berani menyampaikan kebenaran, walaupun harus menanggung segala resikonya. Meski demikian, pada saat itu Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah tidak menyuruh pengikutnya untuk memberontak kepada pemerintah yang menyiksanya, bahkan beliau rahimahullah melarangnya dengan keras dan tegas.
Oleh Syaikh Muhammad Ibrahim al-Hamd
(Diterjemahkan dari kitab Aqidatu Ahlissunnah wal Jama'ah)
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun XVIII/1436H/2014M.]
_______
Footnote
[1]. Lihat Majumu al-Fatawa, 28/500-508
Sikap tengah-tengah ini bisa terlihat dalam banyak sisi, misalnya sisi aqidah, hukum-hukum fikih, tingkah laku, akhlak dan sisi-sisi yang lainnya. Diantara bentuk-bentuk sikap pertengahan ahlussunnah tersebut:
1. Ahlussunnah wal Jama'ah bersikap tengah-tengah dalam masalah Asma' dan Sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla antara ahlu ta’thil (kelompok yang menolak semua atau sebagian sifat Allâh Azza wa Jalla) dan ahlu tamtsîl (kelompok yang menyerupakan Allâh Azza wa Jalla dengan makhluk-Nya).
Ahlu ta’thîl menolak serta mengingkari semua atau sebagian sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla, sementara ahlu tamtsîl mengakui Allâh Azza wa Jalla memiliki sifat-sifat namun mereka menyamakan sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla tersebut dengan sifat-sifat makhluk-nya.
Adapun Ahlussunnah wal jamâ’ah, mereka menetapkan sifat-sifat untuk Allâh Azza wa Jalla tanpa menyerupakan sifat-sifat tersebut dengan sifat-sifat makhluk. Mereka meyakini kesucian Allâh Azza wa Jalla dari menyerupai makhluk tanpa menolak semua atau sebagian sifat-sifat-Nya.
Ahlussunnah wal jamâ’ah mengambil pendapat dan keyakinan terbaik yang dimiliki oleh kedua kelompok tersebut di atas, yaitu menetapkan sifat-sifat bagi Allâh Azza wa Jalla dan meyakini kemahasucian Allâh Azza wa Jalla , sementara kesalahan kedua kelompok tersebut yaitu meniadakan sifat Allâh Azza wa Jalla dan menyerupakan sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla dengan makhluk ditinggalkan oleh Ahsussunnah.
2. Ahlussunnah juga berada pada posisi tengah-tengah antara Murji’ah dan Wa’idiyah dalam masalah janji dan ancaman dari Allâh Azza wa Jalla.
Kelompok Murji’ah berpandangan bahwa dosa yang dilakukan oleh seseorang tidak akan mencederai keimanannya, sebagaimana perbuatan taat yang dilakukan oleh orang kafir tidak akan bermanfaat baginya sedikitpun. Karena mereka berpandangan bahwa iman itu hanya meyakini dengan hati saja, walaupun tidak diucapkan dengan lisan, serta mereka berpendapat bahwa amal perbuatan tidak termasuk komponen keimanan. Mereka berkeyakinan bahwa bisa saja Allâh Azza wa Jalla mengadzab orang yang berbuat ketaatan dan memberikan kenikmatan kepada para pelaku maksiat.
Disisi yang berlawanan, kelompok Wa’îdiyah berpendapat bahwa secara akal, Allâh Azza wa Jalla pasti akan mengadzab dan menyiksa para pelaku maksiat dan pasti Allâh akan memberikan ganjaran pahala kepada orang-orang yang taat kepada-Nya. Mereka berkeyakinan bahwa barangsiapa mati dengan membawa dosa besar dan dalam keadaan belum bertaubat, maka Allâh Azza wa Jalla tidak mungkin memberikan ampunan kepadanya.
Ahlussunnah wal Jamâ’ah berada pada posisi tengah-tengah antara dua kelompok sesat tersebut, antara kelompok Murji'ah yang memandang tidak ada ancaman dari Allâh Azza wa Jalla dan kelompok Wa'îdiyah yang memastikan pelaku dosa besar akan disiksa. Ahlussunnah berpandangan bahwa orang yang meninggal dengan membawa dosa besar dan dia belum bertaubat kepada Allâh Azza wa Jalla , maka urusannya dikembalikan kepada Allâh Azza wa Jalla. Artinya, jika Allâh Subhanahu wa Ta’ala berkehendak untuk mengampuninya, maka Dia Azza wa Jalla akan mengampuninya, dan jika Allâh berkehandak sebaliknya, maka Allâh akan mengadzabnya. Seandainya pun Allâh Azza wa Jalla mengadzabnya akibat dari perbuatan dosa besar yang dilakukannya tersebut, namun dia tidak akan diadzab di neraka selama-lamanya sebagaimana orang-orang kafir, akan tetapi dia akan dikeluarkan dari neraka dan akan dimasukkan ke surga.
3. Ahlussunnah bersikap tengah-tengah dalam masalah vonis kafir (at-takfîr).
Dalam masalah ini, kita bisa dapati ada beberapa kelompok yang terlalu terburu-buru dalam menjatuhkan vonis kafir kepada kaum Muslimin. Mereka menjatuhkan vonis kafir kepada kaum Muslimin yang melakukan dosa besar. Mereka juga tidak mengakui dan tidak menghukumi keislaman seseorang yang mengucapkan dua kalimat syahadat, menunaikan shalat, berpuasa, dan melakukan kewajiban-kewajiban lainnya, selama dia tidak memenuhi beberapa syarat yang mereka tentukan, padahal syarat-syarat tersebut tidak terdapat dalam al-Qur’ân dan Hadits, - seperti orang-orang Khawarij dan orang yang mengikuti manhaj mereka.
Berlawanan dengan Khawarij, kita dapati juga kelompok lain yang bersikap sangat meremehkan, mereka meniadakan mengkafiran secara mutlak, mereka berpandangan orang yang telah mengucapkan dua kalimat syahadat tidak mungkin bisa dijatuhi vonis kafir bagaimanapun keadaannya, bahkan mereka berpandangan bahwa siapapun tidak boleh mengkafirkan orang tertentu secara mutlak. Mereka berpendapat bahwa gelar kufur atau kafir hanya bisa disematkan kepada perbuatan bukan orang atau pelakunya.
Berdasarkan ini, maka mereka tidak akan menjatuhkan vonis kafir kepada siapapun selamanya walaupun orang tersebuat jelas-jelas telah murtad, atau mengaku nabi, atau mengingkari kewajiban shalat, dan berbagai keyakinan atau perbuatan lainnya yang telah disepakati oleh para ahli ilmu bisa mengakibatkan pelakunya keluar dari agama Islam.
Adapun Ahlussunnah, Allâh Azza wa Jalla telah memberi mereka petunjuk kepada kebenaran yang telah diselisihi oleh dua kelompok di atas, karena ahlussunnah senantiasa berpegang dengan dalil-dalil yaitu al-Qur’ân dan as-Sunnah. Ahlussunnah tidak melarang vonis kafir secara mutlak dan mereka juga tidak menjatuhkan vonis kafir kepada seseorang hanya karena perbuatan dosa yang dilakukan. Ahlussunnah tidak mengatakan bahwa tidak mungkin menjatuhkan vonis kafir kepada individu tertentu (artinya, ada kemungkinan); Mereka juga tidak memperbolehkan penyematan label kafir secara serampangan tanpa terpenuhinya syarat pengkafiran, sudah dipastikan tidak ada penghalang (untuk dijatuhi vonis kafir) pada seseorang.
Ahlussunah juga tidak bersikap tawakkuf atau tidak ragu untuk menetapkan keislaman orang yang secara zahir berpegang teguh dengan Islam.
Ahlussunnah selalu berhusnuzzhan (berbaik sangka) kepada kaum Muslimin yang bertauhid, juga kepada semua orang yang telah masuk Islam atau pun kepada mereka yang ingin memeluk Islam.
Dan barangsiapa yang melakukan dosa besar yang bisa membuat pelakunya menjadi kafir, kemudian telah terpenuhi semua syarat pengkafiran pada pelakunya, tidak ada perkara yang menghalangi penjatuhan vonis kafir pada pelaku tersebut, maka ahlussunnah tidak gentar, tidak bersikap pura-pura dan tidak merasa berat untuk menjatuhkan vonis kafir padanya.[1]
4. Dalam masalah nama-nama yang berkaitan dengan agama dan iman, atau dalam masalah nama-nama dan hukum, Ahlussunnah wal jamâ'ah juga mengambil sikap tengah antara Khawarij, Mu’tazilah juga antara Murji’ah dan Jahmiyah
Yang dimaksud dengan nama-nama disini adalah sebutan-sebutan yang berkaitan dengan agama, seperti: Mu’min, Muslim, Kafir dan fasiq, sementara yang dimaksud dengan hukum-hukum adalah hukum pelakunya di dunia maupun di akhirat.
Khawarij dan Mu’tazilah berpendapat bahwa seseorang tidak bisa disebut beriman kecuali jika dia membenarkan atau meyakini dengan hatinya, mengikrarkan dengan lisannya, melakukan semua kewajiban serta menjauhi semua larangan agama.
Berdasarkan pendapat ini, Khawarij dan Mu'tazilah sepakat bahwa pelaku dosa besar tidak boleh disebut sebagai Mu’min, namun mereka berbeda pendapat dalam hal penamaan pelaku dosa besar tersebut, apakah pelakunya dinamakan kafir atau tidak?
Khawarij menyebut pelakunya kafir, halal darah dan hartanya, sedangkan Mu’tazilah berpendapat bahwa pelaku dosa besar telah keluar dari keimanan, akan tetapi belum masuk kepada kekufuran, dia berada pada posisi tengah-tengah antara kafir dan mu'min.
Meskipun demikian, dalam masalah hukum di akhirat kelak, kedua kelompok ini sepakat mengatakan bahwa pelaku dosa besar apabila meninggal sebelum bertaubat maka dia kekal di dalam neraka.
Sebaliknya, golongan Murji’ah sebagai mana yang telah kita jelaskan di atas, mereka memandang bahwa maksiat tidak akan mempengaruhi dan tidak membahayakan keimanan seseorang. Sehingga menurut mereka, pelaku dosa besar itu tetap sebagai seorang Mu’min yang sempurna keimanannya. Keimanannya tidak berkurang dengan sebab dosa besar yang dia lakukan, dan tidak akan dimasukkan ke dalam neraka.
Adapun Ahlussunnah, mazhab atau pendapat mereka tetap berada pada posisi tengah-tengah antara dua pendapat di atas. Menurut mereka, seorang Mukmin yang melakukan dosa besar itu tetap seorang Mu’min dengan keimanan yang dia miliki, akan tetapi dia fasik dengan sebab dosa yang dia lakukan, atau dengan kata lain dia adalah Mu’min yang imannya kurang (tidak sempurna imannya). Keimanannya berkurang sesuai dengan kadar dosa yang dia lakukan.
Ahlussunnah tidak berpendapat bahwa pelaku dosa besar itu telah hilang semua keimanannya, sebagaimana pendapat Khawarij dan Mu’tazilah.
Ahlussunnah juga tidak mengatakan bahwa orang Mukmin yang melakukan dosa besar itu tetap sebagai seorang Mukmin yang sempurna imannya, sebagaimana yang dikatakan oleh Murji’ah.
Sedangkan mengenai hukumnya di akhirat, menurut Ahlussunnah itu tergantung kehendak Allâh Azza wa Jalla , bisa saja Allâh Azza wa Jalla mengampuni dosa tersebut sehingga dia langsung dimasukkan ke surga, atau dia akan diadzab di neraka sesuai dengan dosa yang dia lakukan, kemudian dia akan dikeluarkan dari neraka lalu dimasukkan ke surga.
5. Dalam masalah kecintaan kepada Nabi Muhamma Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Ahlussunnah juga berada pada posisi tengah-tengah, antara kelompok yang berlebih-lebihan dalam mencintai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kelompok yang sangat jauh dari mencintai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Ahlussunnah wal jamâ’ah mencintai Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mereka meyakini bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia terbaik, sayyid (pemimpin) para rasul dan penutup para nabi. Mereka juga berpandangan bahwa Mukmin yang paling sempurna imannya adalah seorang Mukmin yang paling sempurna kecintaannya dan ketaatannya kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Meskipun demikian, Ahlussunnah tetap meyakini bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang manusia, dia tidak bisa mendatangkan manfaat atau mudharat untuk dirinya sendiri apalagi untuk orang lain kecuali yang telah Allâh Azza wa Jalla takdirkan untuknya.
Ahlussunnah juga meyakini bahwa Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah meninggal dunia, namun agama yang Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan tetap terjaga sampai hari kiamat.
Ini sangat berbeda denga kelompok yang ghuluw (melampaui batas) dalam mencintai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini. Mereka memposisikan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas kedudukan yang telah Allâh Azza wa Jalla berikan kepadanya, bahkan diantara mereka ada yang meyakini bahwa Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa mengabulkan doa mereka, sehingga mereka memalingkan ibadah yang agung ini kepada selain Allâh, sebagaimana yang dilakukan oleh kaum sufi yang melampaui batas. Salah seorang diantara mereka yaitu al-Bushairi mengatakan:
Wahai makhluk yang paling dermawan, aku tidak memiliki tempat meminta perlindungan
selain dirimu, tatkala bencana datang menimpa,
sesungguhnya diantara bentuk kedermawananmu adalah adanya dunia dan akhirat,
dan termasuk dari ilmumu adalah ilmu lauhul mahfûzh dan ilmu al-Qalam
Perkataan-perkataan yang melampoi batas seperti ini bisa menyebabkan pelakunya keluar dari Islam.
Ahlussunnah juga berbeda dengan kelompok yang sangat meremehkan hak Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Kelompok ini berpaling dari syari’at Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Mereka tidak menjadikan syari'at yang dibawa oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pemutus dalam masalah-masalah yang mereka perselihkan.
Ahlussunnah juga berbeda dengan orang-orang yang menganggap bahwa syariat Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah dihapus atau diganti dengan syariat yang lain seperti yang diyakini oleh aliran kebatinan yang mengatakan bahwa syariat Beliau tidak cocok lagi dengan kemajuan zaman, dan tidak bisa memenuhi kebutuhan zaman sekarang ini.
Adapun, Ahlussunnah, maka mereka tetap mengambil posisi tengah-tengah, antara dua kelompok di atas. Mereka berpandangan bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang hamba dan utusan Allâh Azza wa Jalla , sebagaimana hal itu diperintahkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk kita ucapkan. Ahlussunnah tidak mengurangi apa yang menjadi hak Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai seorang Nabi dan Rasul dan juga tidak memposisikan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melebihi kedudukan yang telah diberikan oleh Allâh Azza wa Jalla . Ahlussunnah memposisikan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada posisi yang sebenarnya.
6. Ahlussunnah bersikap tengah-tengah dalam masalah sikap terhadap para Ulama.
Ahlussunnah mencintai para Ulama, mengagungkan mereka, bersopan santun kepada mereka, membela dan berbaik sangka terhadap mereka, menyebarkan kebaikan-kebaikan mereka, dan mengambil ilmu dari mereka, karena Ahlussunnah memahami bahwa para Ulama itu pewaris para nabi. Mereka melanjutkan peran para Rasul dalam berdakwah dan menyebarkan al-haq. Oleh karena itu, sepantasnya kaum Muslimin mencintai mereka, menololong dan membela mereka, serta memposisikan mereka pada posisi dan kedudukan yang layak.
Namun pada saat yang sama, Ahlussunnah juga berpandangan bahwa para Ulama itu juga manusia yang tidak ma'shûm (tidak bebas dari kesalahan). Mereka terkadang berbuat salah, lupa dan terkadang terbawa hawa nafsu, akan tetapi ini semua tidak mengurangi kedudukan mereka, dan tidak dibenarkan meninggalkan mereka, kecuali kesalahan itu adalah kesalahan besar atau dosa besar.
Ahlussunnah juga tidak terburu-buru dalam menjatuhkan vonis bersalah kepada para Ulama. Ahlussunnah akan melakukan tabayyun, apabila telah terbukti bahwa seorang Ulama telah melakukan kesalahan, maka Ahlussunnah tidak akan menyepakati kesalahan tersebut, tidak terus mencari kesalahan-kesalahan lainnya, tidak pula menjadikannya sebagai bahan celaan dan bahkan mereka berusaha menyimpan kesalahan tersebut dan tidak menyebarkannya. Kecuali jika kesalahan tersebut sudah tersebar dan diketahui masyarakat umum, dan dikhawatirkan akan banyak orang yang akan tersesat karenanya, maka pada saat seperti ini, ahlussunnah akan memberikan bantahan terhadap kesalahan Ulama tersebut, dengan tetap menjaga kehormatannya. Dengan catatan juga bahwa yang memberikan bantahan adalah orang yang memang ahlinya, kemudian bantahan ditujukan kepada perkataannya salah bukan kepada pribadi Ulama, dicarikan solusi terbaik, serta berusaha mengarahkan maksud perkataan Ulama tersebut pada maksud terbaik.
Ini berbeda dengan orang-orang yang tidak menghargai para Ulama sama sekali, tidak peduli dengan mereka serta tidak memperhatikan hak-hak mereka sebagaimana golongan Khawarij dan orang-orang sejalan dengan mereka.
Ahlussunnah juga berbeda dengan perlakuan orang-orang yang mengkultuskan para Ulama, berlebih-lebihan dalam menghormati mereka, mengangkat mereka melebihi posisi yang pantas bagi mereka, mengikuti mereka secara membabi buta. Orang-orang ini tidak menjadikan kebenaran dan dalil sebagai panduan, akan tetapi yang mereka jadikan panduan adalah ucapan Ulama, sebagaimana kaum Râfidhah yang bersikap ghuluw terhadap para Ulama mereka, bahkan mereka menempatkan Ulama mereka pada kedudukan yang tidak bisa dicapai oleh para nabi, tidak pula oleh para Malaikat. Kaum Râfidhah meyakini bahra para Ulama mereka ma'shûm (terbebas semua kesalahan atau tidak akan pernah berbuah kesalahan). Mereka meyakini bahwa para Ulama mereka tidak pernah salah, tidak pernah lupa dan tidak pernah lalai.
Begitupula penganut sufi yang ghuluw terhadap para Ulama mereka. Mereka berpandangan bahwa orang yang berani mengatakan "Mengapa?" kepada syaikhnya berarti dia telah kafir. Mereka juga mengatakan bahwa apabila kamu berada didepan syaikh maka jadilah kamu seperti mayat didepan orang yang sedang memandikannya.
Ahlussunnah, juga berbeda dengan kelompok yang berpandangan bahwa para Ulama memiliki kedudukan yang tinggi, akan tetapi mereka tidak memperlakukannya mereka sebagaimana manusia yang terkadang bisa salah, lupa dan terjebak dalam hawa nafsu. Mereka ini memperlakukan Ulama seolah-olah tidak akan pernah salah selamanya, sehingga apabila mereka melihat kesalahan dari seorang Ulama, mereka akan membesar-besarkannya, menyebarkannya ke semua penjuru, menjadikannya bahan celaan, dan merendahkannya, serta menjauhkan manusia darinya. Jadilah mereka ini, orang-orang yang mengumpulkan dua sikap yang saling bertentangan, awalnya ghuluw (melampaui batas) dalam menghormati lalu berubah menjadi sikap sebaliknya. Awalnya, mereka sangat mengagungkan para Ulama dan menganggap mereka tidak mungkin melakukan kesalahan, namun saat terjadi kesalahan dari seorang Ulama mereka akan sangat mencela Ulama tersebut dan menyebarkan kesalahannya.
7. Dalam menyikapi para pemimpin, Ahlussunnah mengambil posisi tengah-tengah antara kelompok ifrâth (berlebih-lebihan) dan kelompok tafrîth (yang terlalu meremahkan.
Ahlussunnah tidak seperti kelompok pertama yang membolehkan khurûj (memberontak) kepada para pemimpin Muslim yang zhalim. Mereka ini beranggapan bahwa pemimpin yang zhalim merupakan satu-satunya sebab segala bentuk keburukan dan kerusakan yang terjadi, dan mereka memandang bahwa memberontak terhadap pemimpin seperti ini merupakan jaminan untuk terealisasinya perubahan kearah yang lebih baik.
Seperti inilah pendapat dan pandangan kaum Khawarij yang beranggapan bahwa semua kerusakan yang terjadi disebabkan oleh para pemimpin. Mereka juga berpendapat bahwa memberontak terhadap para pemimpin zhalim hukumnya wajib, dan itulah jalan satu-satunya untuk memperbaiki keadaan. Sejarah telah mencatat dan menjadi saksi perbuatan mereka. Mereka memberontak kepada para pemimpin yang zhalim, bahkan mereka memberontak kepada pemimpin yang adil, sebagaimana yang mereka lakukan terhadap Ali Radhiyallahu anhu.
Seperti ini juga keadaan kelompok Mu’tazilah, yang menjadikan memberontak kepada para pemimpin sebagai salah satu ajaran agama mereka.
Ahlussunnah juga tidak seperti kelompok yang kedua, kelompok yang selalu berpura-pura, tidak peduli, kelompok yang bungkam dari kezhaliman para pemimpin, tidak pernah berupaya memberikan nasehat kepada para penguasa yang bersalah dan tidak pernah melakukan pengingkaran terhadap kesalahan mereka. Bahkan terkadang memberikan kelonggaran dan motivasi, melegalkan kesalahan yang dilakukan para penguasa dan mengingkari orang yang melakukan pengingkaran terhadap kesalahan para penguasa.
Ahlussunnah juga tidak seperti para kelompok yang terus-menerus memuji para pemangku kekuasaan. Kelompok ini bersikap ghuluw terhadap para pemimpin, memuji dengan sesuatu yang terkadang tidak ada pada para pemimpin, bahkan sampai menganggap para pemimpin itu terjaga dari kesalahan. Kelompok ini senantiasa taat kepada para pemimpin dalam segala perintah, tanpa peduli, apakah perintah itu benar atau salah!
Adapun ahlussunnah, maka mereka berpegang teguh dengan kebenaran. Mereka bersikap terhadap para pemimpin sesuai dengan apa yang ada dalam nash-nash syar’i. Mereka taat kepada para pemimpin, dalam hal yang disukai atau yang dibenci, diwaktu senang dan susah, selama perintah yang berasal dari para pemimpin itu tidak untuk maksiat. Apabila mereka memerintahkan suatu kemasiatan, maka tidak perlu ditaati, karena taat kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allâh Azza wa Jalla tidak dibenar. Kewajiban taat kepada pemimpin itu berlaku pada hal-hal yang ma'ruf saja.
Ahlussunnah juga berupaya memberikan nasehat kepada para pemimpin. Ahlussunnah melakukan kerjasama dengan pemerintah dalam kebaikan dan ketakwaan walaupun para pemimpin itu orang-orang zhalim. Karena tujuan utama ahlussunnah adalah mewujudkan atau menyempurnakan suatu yang bermanfaat, menangkal atau meminimalisir kerusakan. Ahlussunnah tidak keberatan membantu orang yang zhalim dalam melakukan kebaikan ataupun memotivasi mereka untuk melakukan kebaikan. Ahlussunnah akan senantiasa bersama para pemimpin dalam melakukan dan merealisasikan kebaikan, dan mereka akan menjauh para pemimpin itu melakukan keburukan.
Oleh karena itu Ahlussunnah berpandangan wajibnya menjalankan shalat Jum'at, shalat jamaah dan merayakan hari raya bersama para pemimpin. Mereka juga berpandangan bahwa jihad akan terus berlangsung sampai hari kiamat dibawah komando pemimpin, baik pemimpin yang adil maupun yang zhalim.
Ahlussunnah juga tidak akan melepaskan diri dari kewajiban mentaati pemimpin. Mereka juga tidak sependapat dengan orang yang memandang bahwa para pemimpin bertanggung jawab penuh atas segala keburukan dan kerusakan yang terjadi. Para pemimpin itu memang yang paling bertanggung jawab, namun setiap Muslim juga bertanggung jawab sesuai dengan kemampuan yang dia miliki.
Ahlussunnah tidak membolehkan berontak kepada para pemimpin yang zhalim – apalagi pemimpin yang adil– kecuali jika :
• Mereka melihat kekufuran yang nyata dengan bukti-bukti yang jelas,
• Mereka juga memiliki kekuatan yang memadai,
• Pemberontakan itu tidak menimbulkan kerusakan yang lebih besar, agar ummat tidak semakin susah dan sengsara.
Ahlussunnah tidak suka memberikan pujian-pujian dusta kepada para penguasa, tidak suka memberikan sanjungan yang berlebihan yang bisa menumbuhkan rasa ujub dalam hati para pemimpin, yang bisa membuat mereka lupa akan kekurangan-kekurangan diri, dan akhirnya mereka memandang diri mereka telah sempurna atau mendekati sempurna. Jika demikian, para pemimpin itu tidak akan bisa melihat sisi-sisi kelemahan mereka dan jika mereka tidak mengetahui kelemahan, tentu tidak akan berusaha untuk memperbaiki atau menutupi kekurangan tersebut.
Ahlussunnah juga tidak membolehkan sikap pura-pura dalam masalah agama juga tidak bersikap pura-pura kepada orang-orang yang melampaui batas dan zhalim. Mereka tidak gentar untuk mengucapkan kebenaran, jika waktu dan keadaan menuntut hal itu. Ahlussunnah tidak memperbolehkan sikap berpura-pura dalam permasalahan agama kepada siapapun. Mereka tidak takut kepada siapapun di jalan Allâh Azza wa Jalla . Hanya saja, Ahlussunnah berpandangan bahwa kewajiban menyampaikan kebenaran ini tidak dilakukan oleh setiap orang, akan tetapi harus dilakukan oleh orang yang berkompeten untuk melakukannya.
Ahlussunnah berpandangan, barangsiapa tidak mampu untuk menyampaikan kebenaran, paling tidak dia memberikan dukungan moril dengan hatinya, membenci kebatilan dan menjauhi para pelakunya.
Adapun orang yang menegakkan kebenaran, kemudian dia disakiti atau dihina saat melakukannya, namun dia tetap bersabar atas cobaan tersebut maka dia akan mendapatkan pahala yang sangat besar. Siapa saja yang dibunuh oleh pemimpin yang zhalim setelah dia menyampaikan kebenaran kepada pemimpin tersebut, maka dia termasuk syuhada’.
Sebaik-baiknya contoh praktis Ahlussunnah dalam permasalahan ini adalah apa yang telah dilakukan oleh Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah dimasa fitnah khalqil qur’ân (Saat itu para penguasa mengatakan bahwa al-Qur’ân itu makhluk dan memaksa masyarakat untuk berpendapat seperti itu, sementara Imam Ahmad rahimahullah tidak sependapat dengan itu-red). Beliau disiksa, namun beliau rahimahullah tidak mundur dari kebenaran yang beliau rahimahullah yakini. Bahkan, beliau rahimahullah dengan gagah berani menyampaikan kebenaran, walaupun harus menanggung segala resikonya. Meski demikian, pada saat itu Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah tidak menyuruh pengikutnya untuk memberontak kepada pemerintah yang menyiksanya, bahkan beliau rahimahullah melarangnya dengan keras dan tegas.
Oleh Syaikh Muhammad Ibrahim al-Hamd
(Diterjemahkan dari kitab Aqidatu Ahlissunnah wal Jama'ah)
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun XVIII/1436H/2014M.]
_______
Footnote
[1]. Lihat Majumu al-Fatawa, 28/500-508