Ajaran Islam dalam semua aspeknya memiliki hikmah dan tujuan tertentu. Hikmah dan tujuan ini diistilahkan oleh para ulama dengan Maqâshid Syari’ah, yaitu berbagai maslahat yang bisa diraih seorang hamba, baik di dunia maupun di akhirat.
Tidaklah ada satu ajaran dalam syariat Islam, melainkan dalam ajaran tersebut ada maslahat dan kebaikan untuk umat Islam, bahkan umat manusia. Menjalankan ajaran-ajaran ini akan membawa limpahan berkah dari penjuru langit dan bumi, sebagaimana janji Allâh Azza wa Jalla dalam firmanNya,
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَٰكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, niscaya Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sebagai akibat perbuatan mereka.” [Al-A’raf/7:96]
Begitu juga dengan syariat taat kepada pemimpin Muslim , yang zhalim sekalipun. Apalagi perkara ini merupakan salah satu pokok ajaran Ahlussunnah Wal Jama’ah dan disepakati oleh para ulama. Jika umat Islam mau mengamalkan wasiat Rasûlullâh n ini, niscaya mereka akan terlimpah kebaikan dan berkah.
Di antara berkah ketaatan kepada pemimpin adalah sebagai berikut:
1. Pahala Besar di Akhirat
Karena Allâh Azza wa Jalla mewajibkan ketaatan kepada pemimpin, perkara ini menjadi ibadah utama. Menjalankan kewajiban adalah ibadah yang paling Allâh Azza wa Jalla cintai. Saat rakyat diuji dengan pemimpin yang zhalim dan mereka bisa sabar, mereka akan mendulang pahala besar, karena telah menjalankan kewajiban. Demikian pula ketika seorang Muslim berhenti di depan lampu merah sebagai bentuk ketaatan kepada pemerintah. Juga jika ia meyakini bahwa di akhir zaman akan muncul pemimpin-pemimpin zhalim yang wajib dia taati, karena itu adalah kabar yang disampaikan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Sekedar mengimani berita tersebut sudah mendulang pahala di sisi Allâh Azza wa Jalla .
2. Keamanan dan Stabilitas
Keamanan adalah salah satu nikmat terbesar yang harus dijaga bersama. Di antara kiatnya adalah iman dan taqwa dalam semua ajaran Islam, termasuk taat kepada pemimpin.
Agar aman dan stabil, sebuah negara memerlukan pemimpin yang kuat dan disegani. Dan di antara perusak keamanan yang harus diwaspadai adalah kudeta dan pemberontakan kepada pemimpin Muslim yang sah. Konflik Revolusi Arab yang terjadi dari akhir tahun 2010 dan masih berlangsung hingga hari ini adalah contoh paling mutakhir untuk tercabutnya keamanan karena tidak menepati aturan Islam dalam bab ketaatan kepada pemimpin yang zhalim. Kita bisa melihat bagaimana negara-negara yang dahulu aman sentosa menjadi luluh lantak. Ratusan ribu korban jiwa jatuh. Di Libya saja, lebih dari 50.000 nyawa melayang. Hingga Februari 2016, jumlah korban jiwa di konflik Suriah sudah mencapai 470.000.[1]
Korban luka, kerugian materi dan non materi juga sangat banyak bahkan tidak bisa dihitung lagi. Saat Libya masih bergolak, kerugian material atas rusaknya fasilitas dan infrastruktur umum diperkirakan mencapai lebih dari 240 milyar dollar.[2] Masih ada beberapa negara yang membara hingga hari ini. Sedangkan negara-negara yang konfliknya sudah reda belum lagi bisa mengembalikan permata keamanan dan stabilitas yang dahulu pernah dimiliki. Padahal banyak dari pemimpin negara-negara ini masih Muslim -meski zhalim-. Dan jika ada yang sudah dihukumi kafir oleh para ulama, umat Islam yang dipimpinnya tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk menggulingkannya tanpa menimbulkan kerusakan yang lebih besar.
Di antara sisi indah Islam adalah Islam tidak hanya memerintahkan untuk taat kepada pemimpin yang adil, tapi juga kepada pemimpin yang zhalim. Kalau seandainya Islam hanya mewajibkan taat kepada pemimpin yang adil saja, niscaya lembaran sejarah umat Islam akan kelam dan berlumuran darah, karena pemimpin-pemimpin yang zhalim ternyata sudah mulai muncul di era generasi awal umat Islam.
3. Terwujudnya Maslahat Besar Rakyat dan Terhindarnya Kerusakan yang Lebih Besar
Kewajiban taat kepada pemimpin Muslim meskipun zhalim bukanlah karena Islam pro kezhaliman. Tapi justru karena Islam melihat ke depan dan mementingkan rakyat, karena jika wibawa penguasa jatuh, stabilitas menjadi tercabik. Jika sudah begitu, rakyat kecillah yang akan menjadi korban pertama dan terbesarnya. Apalagi jika sampai terjadi kudeta berdarah.
Dalam Islam, sebagian mafsadah (kerusakan) bisa saja dibiarkan untuk menghindarkan mafsadah yang lebih besar. Dalam permasalahan ini, adanya pemimpin yang zhalim adalah mafsadah. Tapi memberontak mereka akan menimbulkan mafsadah (kerusakan) yang lebih besar. Maka Islam tetap mewajibkan umatnya untuk taat kepada pemimpin zhalim tersebut. Toh, jika mereka selamat dari perhitungan dunia, mereka tidak akan selamat dari perhitungan akhirat.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَلَا تَحْسَبَنَّ اللَّهَ غَافِلًا عَمَّا يَعْمَلُ الظَّالِمُونَ ۚ إِنَّمَا يُؤَخِّرُهُمْ لِيَوْمٍ تَشْخَصُ فِيهِ الْأَبْصَارُ
Dan janganlah sekali-kali kamu (Muhammad) mengira, bahwa Allâh lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang zhalim. Sesungguhnya Allâh memberi tangguh kepada mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak. [Ibrahim/14:42]
Di sisi lain, Islam juga mengajarkan rakyat untuk menasehati mereka dan tidak mentaati mereka dalam perintah yang sifatnya maksiat.
Dalam Revolusi Arab, korban yang luar biasa besar sudah jatuh. Kerugiannya tidak bisa dihitung lagi. Keamanan berganti menjadi rasa takut dan kekacauan. Sementara kebaikan yang diharapkan belum terwujud. Korupsi tetap jalan, yang berubah hanya pelakunya. Sementara Kezhaliman masih merajalela dan ekonomi justru semakin terpuruk. Ibnu Taimiyyah rahimahullaht berkata,
وَلَعَلَّهُ لا يَكَادُ يُعْرَفُ طَائِفَةٌ خَرَجَتْ عَلَى ذِي سُلْطَانٍ، إِلَّا وَكَانَ فِي خُرُوجِهَا مِنَ الْفَسَادِ مَا هُوَ أَعْظَمُ مِنَ الْفَسَادِ الَّذِي أَزَالَتْهُ.
“Barangkali hampir tidak diketahui ada sekelompok orang yang melakukan kudeta terhadap pemimpin, melainkan dalam kudeta tersebut terdapat kerusakan yang lebih besar daripada kerusakan yang dihilangkan.”[3]
Keberhasilan kudeta membuat rakyat tidak lagi hormat kepada penguasa. Jika sudah demikian, tinggal kekacauan yang ditunggu.
4. Masuk dalam barisan Ahlussunnah wal Jama’ah.
Menjadi bagian dari Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah impian sekaligus kewajiban bagi setiap Muslim, karena merekalah kelompok yang selamat (al-Firqah an-Najiyah). Untuk mencapainya, setiap Muslim wajib meniti jalan dan mengikuti ajaran mereka.
Dan di antara pokok ajaran ahlussunnah adalah taat dan patuh kepada pemimpin Muslim meskipun zhalim, sebagaimana ditegaskan oleh ayat-ayat dan hadits-hadits shahih yang banyak. Tidak diragukan lagi bahwa itu adalah wasiat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sehingga para ulama dari masa ke masa bersepakat (ijma’) dan tidak berselisih mengenai hal ini.
Menepati pokok ajaran ini dan pokok ajaran yang lain akan membuat seseorang digolongkan sebagai sunni. Sebaliknya menyelisihi pokok ini akan membuatnya digolongkan kepada ahlul bid’ah, karena penyelisihan tersebut adalah penyelisihan dalam perkara pokok (Ushul Ahlissunnah). Fatal! Para ulama tidak segan mengeluarkan pemilik penyimpangan seperti ini dari lingkaran ahlussunnah.
Al-Hasan bin Shalih bin Hay (w. 169 H) adalah seorang ulama dan ahli ibadah pada zamannya. Ada banyak riwayat tentang keshalihan dan kedalaman ilmunya. Namun para ulama menggolongkannya sebagai ahlul bid’ah karena berpendapat bolehnya memberontak kepada penguasa yang zhalim, meski tidak pernah ikut kudeta.
Adz-Dzahabi rahimahullah mengatakan, “Beliau termasuk imam dalam Islam andai saja tidak jatuh dalam satu bid’ah.” [4] Hal ini selaras dengan sikap keras para imam yang sezaman dengan al-Hasan. Mereka menolak pengakuannya sebagai sunni dan menolak hadits-hadits yang diriwayatkannya.
Ya, kedudukan tingginya dalam ilmu dan keshalihan tidak lagi menyelamatkannya dalam hal ini. Hanya karena satu penyimpangan, namun dalam pokok ajaran ahlussunnah.
Penutup
Dengan penjelasan di atas, jelaslah bahwa tetap menjaga ketaatan kepada pemimpin Muslim meskipun zhalim adalah ajaran Islam bahkan merupakan prinsip ajaran ahlussunnah. Dengan demikian, tentu ajaran ini mengandung maslahat besar dan akan memberikan keberkahan bagi umat Islam yang meyakini dan mengamalkannya.
Namun ironisnya, banyak umat Islam yang karena dorongan semangat semata atau tidak memahami hukum Islam seputar bab ini atau mengetahuinya tapi tidak mengamalkannya, sehingga banyak dari negeri mereka yang dilanda konflik berkepanjangan dan jauh dari berkah. Hal itu tidak aneh, karena memang demikianlah janji Allâh Azza wa Jalla bagi umat yang menyelisihi mendustakan ajaran agama mereka.
Semoga Allâh Azza wa Jalla membimbing umat Islam untuk kembali mempelajari agama mereka dan mengamalkannya dalam semua aspek kehidupan. Amin.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XXI/1438H/2017M. Oleh Ustadz Anas Burhanuddin MA]
_______
Footnote
[1] Versi al-Markaz as-Suri lil Buhuts as-Siyasiyyah.
[2] Lihat: http://ar.wikipedia.org/wiki/ الثورات العربية
[3] Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah 3/391.
[4] Siyar A’lam an-Nubala` 7/361.