Hajr, secara bahasa artinya meninggalkan. Adapun yang dimaksudkan hajr disini adalah meninggalkan orang yang menyelisihi kebenaran, yaitu ahli bid’ah atau pelaku maksiat, dengan tidak menjalin komunikasi dengannya, tidak duduk bersamanya, dan sikap-sikap lainnya sebagaimana akan dijelaskan oleh Syaikh Dr. Ibrahim bin ‘Amir ar Ruhaili –hafizhahullah.[1]
Sesungguhnya, para penuntut ilmu yang menisbatkan diri kepada aqidah Salafush-Shalih adalah ahlul ittiba’ (orang-orang yang mengikuti) kebenaran dan senantiasa mencari kebenaran. Mereka bersatu di atas prinsip ini, segala puji bagi Allah. Mereka tidak berselisih padanya, walaupun terkadang berselisih dalam pemahaman dan ijtihad (pendapat mengenai perkara yang tidak ada dalil pasti tentangnya). Terkadang adanya perselisihan di antara mereka pada sebagian masalah, karena sebab perbedaan tingkat pemahaman.
Merupakan kewajiban para penuntut ilmu yang menisbatkan diri kepada manhaj dan aqidah Ahli Sunnah, untuk bersatu di atas al haq yang mereka tempuh, dan saling menasihati berkaitan dengan perselisihan yang terjadi di antara mereka. Hendaklah mereka bersikap lembut terhadap sebagian yang lain ketika ada perselisihan. Hendaklah kita bersabar dalam berdakwah menuju Sunnah terhadap para ahli bid’ah yang menyelisihi (al haq). Yaitu dengan sabar yang terpuji, yang kita mengharapkan pahala dari Allah dengan kesabaran itu. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan kita untuk bersabar, sebagaimana telah memerintahkan kepada Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَاصْبِرْ كَمَا صَبَرَ اُولُوا الْعَزْمِ مِنَ الرُّسُلِ
Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul! [al Ahqaaf/46 : 35].
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjelaskan, sabar merupakan sikap para rasul yang mempunyai keteguhan hati. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita, beliau termasuk ulul ‘azmi. Beliau merupakan pribadi yang paling utama dan paling agung dari mereka dalam hal kesabaran.
Sabar yang terpuji, yaitu kita menjelaskan al haq dan berjuang menasihati umat Islam, dan secara khusus, kepada saudara-saudara kita dari kalangan Ahli Sunnah. Jika dakwah (ajakan) tidak diterima, kita hindarkan timbulnya perpecahan, saling menjauhi dan saling memutuskan. Bahkan kita bersabar, dan mudah-mudahan Allah memberikan petunjuk kepada mereka tentang al haq yang kita yakini. Dan kemungkinan kita yang bersalah.[2]
Termasuk masalah yang telah menyebabkan terjadinya perselisihan di antara salafiyin, ialah masalah hajr (meninggalkan, memboikot ahli bid’ah atau pelaku maksiat). Yakni hajr terhadap orang yang menyelisihi (al haq). Sunnah ini, yaitu menghajr (meninggalkan) orang yang menyelisihi (al haq), tidak melakukan mujalasah (duduk bersama, berinteraksi) dengan mereka, atau Sunnah (yang lain), yaitu kita menjalin hubungan dengan mereka atau menasihati mereka, di sini, sebagaimana telah diketahui, terdapat perbedaan pendapat. Perkara ini banyak ditanyakan, dan banyak dibicarakan orang-orang, (sehingga) masalah ini harus dijelaskan secara benar.
Al haq (kebenaran) tidak mungkin akan diketahui dengan perkataan Fulan atau Fulan. Atau dengan apa yang dianggap baik oleh Fulan, atau dianggap buruk oleh Fulan. Akan tetapi, al haq hanya diketahui dengan kembali kepada dalil-dalil, dan kepada kaidah-kaidah syari’at yang berkaitan dengan masalah ini.
Pertama, perlu diketahui tujuan hajr (meninggalkan orang yang menyelisihi). Apakah tujuan hajr itu? Apakah hajr itu merupakan hukuman, (bahwa) orang yang menyelisihi (al haq) dihukum dengan hajr? Atau hajr itu termasuk wasilah (sarana) dakwah. (Apakah) hajr dilakukan untuk ishlah (melakukan perbaikan)?
Yang ditunjukkan oleh nash-nash (al Kitab dan as Sunnah) bahwa hajr (itu) disyari’atkan untuk beberapa tujuan.
Tujuan-tujuan ini atau mashlahat-mashlahat ini, bisa berkaitan dengan mashlahat haajir (orang yang melakukan hajr), atau dengan mashlahat mahjuur (orang yang dihajr), atau dengan mashlahat umat. Yakni, seseorang yang melakukan hajr, ketika menghajr seorang muslim yang menyelisihi, bisa lantaran untuk mashlahat dirinya, atau mashlahat mahjuur (orang yang dihajr), atau untuk mashlahat umat. Dalil-dalil telah menunjukkan terhadap tiga tujuan ini.
HAJR UNTUK MASHLAHAT HAAJIR
Hajr yang berkaitan dengan mashlahat haajir (orang yang melakukan hajr), yaitu pemilik al haq (orang yang memiliki kebenaran, red) menghajr orang yang menyimpang, untuk mashlahat dirinya sendiri. (Ini) telah ditunjukkan oleh Nabi (dengan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam) :
مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالسَّوْءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيرِ فَحَامِلُ الْمِسْكِ إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ [وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ] وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا طَيِّبَةً وَنَافِخُ الْكِيرِ إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيحًا خَبِيثَةً
Perumpamaan kawan duduk yang shalih dan yang buruk, seperti penjual minyak wangi dan peniup balon pandai besi. Penjual minyak wangi, kemungkinan akan memberi hadiah kepadamu, (dan kemungkinan engkau membeli darinya),[3] dan kemungkinan engkau akan mendapatkan bau wangi darinya. Adapun peniup balon pandai besi, kemungkinan dia akan membakar bajumu, dan kemungkinan engkau akan mendapatkan bau busuk. [4]
Kalau demikian, maka di sini Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membagi kawan menjadi dua. (Pertama), kawan yang dianjurkan (untuk dipergauli dan) engkau mendapatkan manfaat dengannya. (Kedua), kawan yang diperingatkan (dan engkau) duduk bersama dengannya. Jika engkau duduk bersamanya, pasti terkena salah satu dari dua perkara. (Yaitu) kemungkinan bajumu akan terbakar, dan kemungkinan engkau akan mendapatkan bau busuk.
Ini merupakan perumpamaan yang dibuat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang duduk bersama orang-orang yang buruk. Jika bukan (perumpamaan), jika engkau duduk bersama ahli bid’ah, maka tidak ada api yang keluar darinya yang akan membakar pakaianmu. Atau engkau akan mendapatkan bau busuk, seperti bau busuk yang ada pada peniup balon pandai besi. Akan tetapi, di sini mengisyaratkan (keburukan yang keluar dari ahli bid’ah), seperti percikan api yang keluar dari peniup balon pandai besi.
Di sana terdapat semacam percikan api bid’ah yang akan mempengaruhi orang yang duduk bersama ahli bid’ah. Atau jika tidak terkena percikan api ini, maka dia itu merupakan bahaya yang nyata. Perhatikanlah perbedaan ini! Antara bahaya nyata, yaitu terbakarnya pakaian dan bau yang busuk. Demikian juga duduk bersama ahli bid’ah, kemungkinan seseorang akan mendapatkan bahaya nyata yang berkaitan dengan agama dan aqidahnya. Atau mendapatkan bau busuk, yaitu reputasi yang buruk. Jika dia tidak terkena bid’ahnya, maka paling tidak, dia akan dikatakan “Fulan, ahli bid’ah”, “Fulan duduk bersama ahli bid’ah”. Dia terkena (dampak) keburukan ahli bid’ah. Hadits ini menunjukkan, bahwa sebagian kawan-kawan yang bergaul itu dihajr, tidak dipergauli karena demi mencari mashlahat orang yang menghajr.
Demikian ini juga ditunjukkan oleh sebagian riwayat Salaf.
Seorang ahli bid’ah datang kepada salah seorang imam Salaf, lalu dia mengatakan: “Aku bacakan kepadamu satu ayat (al Qur`an)”.
Dia (sang imam) menjawab,“Jangan bacakan kepadaku!”
Dia (ahli bid’ah) mengatakan : “Aku bacakan kepadamu satu hadits”.
Dia (sang imam) menjawab,”Jangan bacakan kepadaku!”
Dia (ahli bid’ah) berkata lagi : “Aku akan berkata kepadamu satu kata”.
Dia (sang imam) menjawab,”Jangan, walau setengah kata,” kemudian dikatakan kepadanya: “Wahai (imam), semoga Allah merahmati Anda. Kenapa Anda tidak mengizinkannya?”
Dia (sang imam) menjawab,”Sesungguhnya hati itu lemah, dan aku khawatir ia menyampaikan syubhat kepadaku, lalu syubhat itu tidak akan keluar dari hatiku.”
(Tampak dari dialog ini), ahli bid’ah dihajr, kenapa? Karena orang yang menghajr itu khawatir pada dirinya. Dia khawatir, ahli bid’ah itu menyampaikan syubhat kepadanya, lalu syubhat itu tidak akan keluar dari hatinya. Orang ini sedang mengingatkan dan menjelaskan, bahwa setinggi apapun ilmunya, masih rawan dipengaruhi oleh syubhat. Jika syubhat sudah masuk, tidak akan keluar dari hatinya, kendatipun ia mempunyai kepercayaan diri terhadap kemampuan dirinya.[5]
Nash (hadits) dan riwayat Salaf ini menunjukkan bahwa, hajr dipraktekkan untuk tujuan syar’i. Yaitu engkau tidak duduk bersama orang yang menyebabkan bahaya bagimu melalui kebersamaan dengannya .
Kita semua diperintahkan untuk membela diri kita, sebelum (membela) selain kita. Jika hidayah (petunjuk) telah kita dapatkan, kita mengajak orang lain menuju hidayah ini. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَالْعَصْرِۙ – اِنَّ الْاِنْسَانَ لَفِيْ خُسْرٍۙ – اِلَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ ەۙ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, dan mengerjakan amal saleh, dan nasihat- menasihati supaya mentaati kebenaran, dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran. [al ‘Ashr/103 :1-3]
Allah menyebutkan “nasihat-menasihati supaya mentaati kebenaran, dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran” setelah terwujudkan hidayah. Oleh karena itu, wajib bagi setiap muslim untuk mewujudkan iman dan amal shalih pada dirinya. Setelah pokok ini terealisasikan baginya, selanjutnya berdakwah kepada orang lain menuju hidayah ini. Tetapi, jika dakwahnya untuk orang lain (dengan melupakan dirinya, pent), maka nantikanlah, dia akan merobohkan pokok ini, lalu akan mengakibatkan dampak buruk pada agamanya. Maka, ia tidak boleh bermajlis dengan orang yang mendatangkan bahaya. Sesungguhnya manusia itu dituntut untuk mewujudkan keselamatan dirinya sendiri, agar selamat dari hukuman dan kemurkaan Allah. Ini wajib bagi setiap muslim.
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا وَّقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. [at Tahrim/ 66:6]
Engkau memelihara dirimu dan anak-anakmu, dan yang paling dekat, lalu yang lebih dekat. Jika engkau memiliki kebaikan, kekuatan, dan ilmu, yang bisa memberikan manfaat kepada manusia, (maka) berikanlah manfaat. Adapun jika engkau lemah, maka janganlah bergaul dengan orang yang (menjadi sebab) engkau mendapatkan bahaya dengannya.
Oleh karena itu, seandainya seseorang mengukur dirinya, jika duduk bersama Fulan, seorang yang menyimpang; bahwa orang yang menyimpang itu akan mendapatkan manfaat dengan dakwahnya, akan tetapi dia juga khawatir dirinya terkena bahaya bid’ah, itu tidak boleh baginya (duduk bersama, red). Karena, selama seseorang mengkhawatirkan bahaya terhadap agamanya, maka tidak boleh baginya duduk bersama ahli bid’ah, walau dia menyangka ahli bid’ah itu mendapatkan manfaat darinya. Karena dia dituntut untuk menyelamatkan dirinya, sebelum mempertimbangkan keselamatan orang lain.
Demikian ini merupakan tujuan di antara tujuan-tujuan hajr, dan dimungkinkan untuk dilakukan pada setiap orang yang menyimpang. Barangsiapa yang mendatangkan bahaya pada agamanya dikarenakan duduk bersamanya, maka engkau tidak boleh duduk bersamanya secara umum (tanpa syarat).
Oleh karena inilah, disyari’atkan hijrah (pindah) dari negara (kota) yang buruk menuju negara (kota) yang memiliki agama (yang baik). Dari negara (kota) kufur menuju negara (kota) iman. Dari negara (kota) bid’ah menuju negara (kota) Sunnah. Dari negara (kota) maksiat menuju negara (kota) ketaatan. Dari majlis-majlis keburukan menuju majlis-majlis orang-orang shalih.
Coba antum (Anda semua) perhatikan, ada nash-nash yang memuji masjid-masjid, majlis-majlis dzikir, dan anjuran pada majlis-majlis itu. Dan ada nash-nash yang mencela pasar-pasar, yang merupakan seburuk-buruk tempat, karena banyaknya orang yang buruk di sana. Banyak ulama Salaf memuji ‘uzlah (menyendiri). Mereka menyusun kitab-kitab tentang keutamaan ‘uzlah, jika kondisi manusia telah rusak.
Ini merupakan perkara yang telah pasti, kewajiban thalibul ilmi menetapkannya. Dan saya (Syaikh, red) telah menyebutkan dalil-dalil kepada antum. Ini bukanlah ishtisan (anggapan baik yang subyektif), yaitu seseorang menetapkan dengan akal dan hawa nafsunya. Tetapi ini, ditunjukkan oleh dalil-dalil. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan kita dari kawan yang buruk. Orang yang tidak berbicara dari hawa nafsunya (yakni Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) memberitakan, bahwa orang yang berkawan dengan orang yang buruk, kemungkinan akan mendapatkan bahaya darinya. (Yaitu) bahaya nyata atau yang tersembunyi. Kita harus menjaga diri dari bahaya ini. Jadi, ini merupakan tujuan dari tujuan-tujuan hajr. Yaitu kita menghajr orang yang kita khawatir membahayakan diri dan agama kita.
HAJR UNTUK KEMASHLAHATAN UMAT
Tujuan kedua dari misi pelaksanaan hajr, yaitu seseorang dihajr untuk mashlahat umat dan mashlahat agama. Misalnya, seseorang tidak khawatir bahaya atas dirinya jika dia berkawan dengan seseorang, tetapi bahaya akan menimpa umat. Maka, (dalam keadaan seperti) ini disyari’atkan untuk dihajr. Orang tersebut disyari’atkan untuk dihajr. Karena sikap ini mengandung mashlahat-mashlahat besar yang timbul dari hajr terhadap orang yang menyimpang tersebut.
Di antara dalil yang menunjukkan prinsip ini ialah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan shalat jenazah terhadap orang yang mempunyai hutang, dan terhadap orang yang melakukan ghulul (mengambil secara khianat sebelum pembagian) dari ghanimah (rampasan perang). Bukankah orang yang mempunyai hutang itu seorang muslim? Dan bukankah orang yang melakukan ghulul juga seorang muslim? Sedangkan shalat jenazah disyari’atkan atas setiap muslim. Kita menyalatkan semua orang Islam yang meninggal, dari kalangan orang-orang yang taat maupun jahat. Ini disyari’atkan. Oleh karena itulah, tidak ada seorang pun dari kalangan Ahlus Sunnah yang menentang. Akan tetapi, mengapa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan shalat jenazah terhadap orang yang mempunyai hutang? Ini termasuk wasilah (sarana) hajr, karena hajr itu bermacam-macam. Hajr terkadang dengan meninggalkan mujalasah (tidak duduk bersama), terkadang dengan tidak mengajaknya berbicara, terkadang dengan meninggalkan shalat jenazah padanya, meninggalkan menghadiri jenazahnya; ini termasuk wasilah hajr.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghajr orang yang mempunyai hutang dengan meninggalkan shalat jenazah terhadapnya, dan beliau bersabda:
صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ
Shalatkanlah kawan kamu. [6]
Syaikhul Islam rahimahullah mengambil satu kesimpulan dari hadits ini. Beliau menyatakan, shalat (jenazah) disyari’atkan terhadap orang yang bermaksiat. Oleh karena itu, walaupun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyalatkan, tetapi beliau bersabda “Shalatkanlah kawan kamu”.
Jadi, sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Shalatkanlah kawan kamu” menunjukkan bahwa, shalat (jenazah) disyari’atkan atas orang muslim ini. Akan tetapi, mengapa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyalatkannya? Karena adanya tujuan syar’i. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t telah menjelaskannya. Beliau menyatakan, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan shalat (jenazah) terhadap pemilik hutang dan pelaku ghulul, [7] yang telah melakukan ghulul dari ghanimah, agar orang selain menahan diri dari tindakan serupa yang dilakukannya.
Inilah ungkapan Syaikhul Islam rahimahullah . Beliau menyatakan: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan shalat dari pemilik hutang, supaya orang selain dia tidak melakukan perbuatan yang sama”. Dengan demikian hajr di sini untuk mashlahat siapa? Untuk mashlahat umat. Orang yang meninggal itu tidak mengetahui apakah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyalatkannya atau tidak. Padahal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memandang (untuk disholatkan) jenazah semua muslim. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Shalatkanlah kawan kamu!” Mengapa beliau meninggalkan shalat terhadap laki-laki ini? Untuk mashlahat umat, sehingga selain dia (si mayit), akan berhenti dari perbuatannya.
Oleh karena itulah para ulama, seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, mengatakan : “Sepantasnya, bahkan disyari’atkan, bagi ahlul fadhl (orang yang memiliki keutamaan) meninggalkan shalat jenazah terhadap orang-orang yang menyimpang, supaya orang selainnya akan berhenti dari penyimpangan itu”.
Jadi, setiap kita sekarang ini, jika salah seorang imam (panutan) umat meninggalkan shalat jenazah terhadap orang-orang yang menyimpang, setiap kita -demi Allah- seandainya ada kekurangan pada satu sisi, kita tinggalkan perkara tersebut, sehingga imam tersebut tidak akan melakukan terhadap kita, sebagaimana yang telah dia lakukan terhadap orang itu. Karena orang, (akan merasa) senang dishalatkan oleh orang yang memiliki kebaikan dan keutamaan. Dengan demikian, hajr disini untuk mashlahat umat.
Demikian juga hajr yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap Ka’b bin Malik. Hajr ini untuk mashlahat umat dan untuk mashlahat orang yang menyimpang. Oleh karena itu, orang-orang menahan diri (tidak mengikuti sikap Ka’ab bin Malik, pent). Yaitu, pada waktu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghajr Ka’b bin Malik dan kedua kawannya selama 50 hari, sehingga bumi yang luas terasa sempit. Di dalam hajr ini, terdapat kekuatan besar untuk menghentikan (kesalahan, red), sehingga tidak seorang pun dari umat Islam ini mengulang kesalahan semisalnya. Dengan demikian, hajr di sini untuk mashlahat umat.
HAJR UNTUK MASHLAHAT MUKHALIF
Ada juga hajr untuk mashlahat mukhalif (orang yang menyimpang) pada dirinya. Ini termasuk di antara jenis hajr, (sebagaimana) ditunjukkan oleh dalil-dalil, di antaranya : hajr yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap Ka’b bin Malik dan kedua kawannya. Karena sesungguhnya hajr yang dilakukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut memiliki manfaat yang besar. Mereka mendapatkan manfaat yang besar dengan hajr ini. Di antara dampak hajr ini, yaitu menerima taubat mereka, dengan kesabaran mereka terhadap hajr yang dilakukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Di antara dalil hajr ini, yaitu hajr ‘Umar bin al Khaththab terhadap Shabigh bin Atsal yang biasa menanyakan ayat-ayat mutasyabihat yang terdapat di dalam al Qur`an. Beliau (Umar bin al Khaththab) memerintahkan agar manusia menghajrnya, dan beliau memukulnya. Kemudian, beliau memenjarakannya, lalu beliau memukulnya lagi. Kemudian dia (Shabigh bin Atsal) mengatakan: “Wahai Amirul Mukminin, jika engkau menghendaki membunuhku, maka bunuhlah aku,” (akan tetapi) kemudian ‘Umar selalu menghukumnya sampai dia mengatakan: “Telah hilang apa yang ada dalam kepalaku, wahai Amirul Mukminin!”
Hajr tersebut bermanfaat (bagi Shabigh). Perawi mengatakan: “Shabigh bin Atsal sempat menjumpai masa Khawarij. Ketika Khawarij melakukan pemberontakan, dia tidak ikut memberontak. (Maka) ditanyakan kepadanya: ‘Mengapa engkau tidak ikut memberontak (melawan penguasa) bersama Khawarij?’,”. Dia menjawab: “Tidak akan, tidak akan. Allah memberikan manfa’at kepadaku dengan nasihat seorang laki-laki yang shalih”. Jadi hajr itu bermanfaat. ‘Umar bin al Khaththab menghukumnya, (dan) hal itu bermanfaat.
Imam Ahmad rahimahullah telah menghajr sebagian orang-orang yang menyimpang. Dan mereka mendapatkan manfaat. Siapakah yang melakukan hajr? Seorang imam dari imam-imam umat Islam. Sekarang, jika ada orang yang memiliki kebaikan dan keutamaan, dia melakukan hajr bukan karena hawa nafsu, dia melakukan hajr, kemudian sebagian manusia akan berhenti, dan hajr itu bermanfaat. Dengan demikian hajr ini untuk mashlahat orang yang menyimpang.
KAIDAH-KAIDAH HAJR
Hajr ini memiliki kaidah-kaidah, yang membawahi beberapa masalah.
Pertama : Banyak orang tidak mengetahui hal ini dan menyangka, setiap orang yang menyimpang itu dihajr. Dan setiap orang dari Ahlus Sunnah (yang melakukan kesalahan, pent) dihajr. Padahal, dalam masalah ini terdapat perincian.
Syaikhul Islam telah menyebutkan: “Hajr hanyalah diadakan untuk mashlahat orang yang dihajr. Jika orang yang menghajr itu lemah, hingga hajrnya tidak bermanfaat, atau orang dihajr tidak mendapatkan manfaat dengan hajr itu, bahkan terkadang menambah fitnah (keburukan), maka (dalam keadaan seperti ini, red), hajr tidak disyari’atkan”.
Dengan ini Syaikhul Islam menjelaskan, hajr terhadap orang yang menyimpang haruslah memberikan manfaat baginya. Sesungguhnya hajr itu disyari’atkan untuk apa? Untuk mashlahatnya. Allah mensyari’atkan hajr ini untuk mashlahat orang yang salah tersebut, anakmu, istrimu, dan kerabatmu. Seorang umat Islam (yang) terjerumus dalam perbuatan bid’ah, maka disyari’atkan hajr untuk mashlahatnya.
Apakah mashlahatnya itu dengan (jalan) engkau menghajrnya, sehingga dia mendapatkan manfaat dan kembali (kepada kebenaran). Atau engkau tidak menghajrnya, sehingga dia mendapatkan manfaat melalui kelembutan dan kembali (kepada kebenaran)?
Di sini, terdapat khilaf (perbedaan pandangan) di antara manusia tentang hal ini. Ada orang yang menempuh jalan tanfiir (menjadikan orang lari dari orang yang salah), dia menyangka bahwa dia melakukan perbaikan, padahal dia melakukan kerusakan. Yaitu ketika dia menghajr orang yang tidak disyari’atkan hajr terhadapnya. Orang yang disyari’atkan hajr terhadapnya adalah orang yang mendapatkan manfaat. Oleh karena itulah Syaikhul Islam rahimahullah mengatakan bahwa: “Orang yang melakukan hajr hendaklah orang yang kuat”, ini termasuk syarat hajr.
Adapun orang yang lemah melakukan hajr terhadap si Fulan, maka si Fulan itu akan mengatakan: “Kami tidak memperdulikannya!” Seseorang menghajr kawannya sendiri, maka kawan itu akan mengatakan: “Engkau itu siapa? Engkau hanya seorang kawan. Saya masih memiliki seratus kawan selainmu. Tidak ada masalah bagiku dihajr oleh si Fulan”.
Namun jika seseorang dihajr oleh seorang guru, atau seorang ‘alim, atau seseorang yang memiliki keutamaan, (maka ini bermanfaat, pent). Kita sekarang ini, – seandainya orang semacam Syaikh Abdul Aziz bin Baaz, atau Syaikh al ‘Utsaimin, atau Syaikh al Albani, atau Syaikh Abdul Muhsin al ‘Abbad, atau ulama-ulama kita- seandainya seseorang mengetahui bahwa ulama itu berpaling darinya, (maka) seorang yang berakal tidaklah ragu (bahwa hajr itu bermanfaat, pent). Ia akan introspeksi diri. Berjanji tidak akan mengulangi.
Kita semua mengetahui, para ulama itu tidak mengikuti hawa nafsu. Mereka memiliki keutamaan. Berinteraksi dengan mereka merupakan kebaikan. (Jika mereka ini menghajr seseorang), orang-orang akan bertanya: “Mengapa beliau ini menghajr si Fulan?” Maka dia (orang yang dihajr, red) akan menghubunginya dan mengatakan: “Apa yang telah sampai kepada Anda tentang saya?” Dia (si fulan itu) akan meneliti dirinya sendiri. Jika ia berbuat kesalahan, maka ia akan mengatakan: “Aku memohon ampun kepada Allah dan bertaubat kepadaNya. Dan aku berjanji kepadamu, aku tidak akan mengulangi,” maka hajr itu berpengaruh.
Tetapi, jika ada seorang awam yang menghajrmu, maka engkau bisa mengatakan: “Dia itu orang jahil (bodoh), tidak mengetahui kedudukanku. Aku tidak mengetahui dia menuntut ilmu. Aku tidak mengetahui (jika) ia mengenal Fulan dan Fulan”. Engkau bisa mengatakan: “Dia menghajrku karena hasad (iri) dan lainnya”. Engkau tidak mendapatkan manfaat (dengan hajr orang awam tersebut). Oleh karena itulah, hendaknya orang yang melakukan hajr adalah orang yang kuat dan berpengaruh.
Kedua : Bahwa orang yang dihajr, (karena) memang ia layak dihajr dan mendapatkan manfaat.
Syaikhul Islam rahimahullah menetapkan masalah ini. Beliau mengatakan: “Dalam masalah ini, manusia berbeda-beda. Sebagian manusia ada yang diberi watak keras dan kuat. Jika engkau menghajrnya, engkau (bisa) merusaknya. Sebagian manusia ada yang diberi watak lemah-lembut. Jika engkau menghajrnya, (maka) dia akan mengoreksi dirinya”.
Oleh karena itulah Syaikhul Islam t juga mengatakan: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghajr sebagian orang, dan menta’lif (bersikap lembut) terhadap sebagian orang,” kemudian beliau mengatakan: “Jika mereka itu merupakan para pemimpin, ditaati oleh kaumnya, dan memiliki kekuatan, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menta’lif mereka”.
Lihatlah Aqra` bin Habis, Uyainah bin Hishn, dan Abu Sufyan. Mereka ini para pemimpin pada kaumnya. Apakah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghajr mereka atau tidak? Mereka ini mempunyai bawaan watak keras dan kuat. Jika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghajr mereka, kemungkinan akan merusakkan mereka. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menta’lifnya (bersikap lembut kepadanya) sampai Allah memberikan hidayah Islam kepada mereka.
Ini berbeda dengan Ka’ab bin Malik. Beliau ini memiliki kekuatan iman. Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghajrnya, berita itu sampai kepada seorang raja. Lalu raja itu mengirim seorang utusan kepadanya yang mengatakan: “Telah sampai berita kepada kami bahwa kawanmu (yakni Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) telah berlaku kasar terhadapmu. Datanglah kepada kami, tinggalkan laki-laki itu!”
Lihatlah, seandainya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghajr Aqra` bin Habis, atau Uyainah bin Hishn, dan datang orang yang mengatakan “telah sampai berita kepada kami bahwa kawanmu (yakni Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) telah berlaku kasar terhadapmu,” apa yang kira-kira akan terjadi? Mungkin dia akan murtad dari agamanya.
Oleh karena itu, di antara hikmah Allah Subhanahu wa Ta’ala , bahwa kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala membawa targhiib (dorongan terhadap kebaikan) dan tarhiib (ancaman terhadap keburukan). Dan petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menyikapi orang-orang yang menyimpang, (beliau) datang dengan ta’lif (bersikap lembut) dan hajr, datang dengan kelembutan dan dengan ketegasan di beberapa tempat. Sebagian orang tidak tepat dihajr, karena engkau akan merusaknya. Kemungkinan orang yang engkau hajr itu adalah seorang yang berilmu, imam masjid, telah berusia 60 tahun. Sedangkan engkau belum melewati 20 tahun. Engkau datang dan mengatakan “imam masjid berbuat salah!”
Sangat disayangkan, bahwa ada orang yang menghubungi seseorang (yang dianggap ‘alim lewat telepon, atau lainnya, pent) untuk meminta fatwa. Dia mengatakan: “Imam masjid melakukan demikian dan demikian,” dia (yang dimintai fatwa) menjawab: “Hajrlah mereka itu!”
Baiklah, seandainya dia menghajrnya, siapakah yang akan menghajrnya? Siapakah orang yang hajrnya berpengaruh?
Demi Allah, ini adalah perkara yang berbahaya! Aku heran terhadap masalah seperti ini. Masalah ini memiliki kaidah-kaidah.[8]
Seseorang yang tidak dikenal menghubungi (orang yang dianggap ‘alim), lalu dia bertanya tentang orang yang tidak dikenal, dan tidak pernah bertemu, lalu dia menjawab: “Hajrlah dia! Barangsiapa tidak menghajrnya, maka hajrlah dia!” Kemudian engkau lihat keburukan yang terjadi sekarang, disebabkan buruknya pemahaman terhadap petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Kemudian datang sebagian orang, lalu dia berusaha menyimpulkan kaidah-kaidah hajr. Apa yang dia katakan?
Dia mengatakan : “Sesungguhnya hajr hanyalah disyari’atkan terhadap orang-orang yang menyimpang dengan penyimpangan yang besar. Adapun penyimpangan yang sedikit (kecil), tidak diperlukan hajr”.
‘Abdurrahman ‘Abdul Khaliq telah menyebutkan, tatkala saya membaca sebagian bukunya, dia membicarakan tentang sikap terhadap orang-orang yang menyimpang. Maka ternyata dia menetapkan, bahwa hajr hanyalah terjadi terhadap bid’ah-bid’ah yang besar. Adapun pelaku bid’ah-bid’ah yang kecil, maka tidaklah dihajr.
Coba perhatikan petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ! Ada di antara orang yang menyimpang -yang dihajr oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam – seseorang yang mengatakan kepada Nabi , agar beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpisah dari Humaira’ (‘Aisyah Radhiyallahu anha); di antara mereka ada yang berlaku kasar kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antara orang yang menyimpang ada yang berbicara keras kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi beliau menta’lif (bersikap lunak dengan) mereka. Dan di antara orang-orang yang menyimpang ada yang memakai cincin emas, lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpaling darinya. Maka manakah yang lebih besar penyimpangannya? Orang yang memakai cincin emas, ataukah orang yang memakai minyak wangi?
Dengan demikian menjadi jelas bagi kita, kaidah ini merupakan kesalahan. Yang benar, hajr dan keadaan seseorang yang dihajr atau tidak, tidak berkaitan dengan pendapat yang menyelisihi, besar atau ringan. Engkau terkadang menta’lif sebagian pembesar ahli bid’ah, jika ta’lif itu mendekatkannya kepada agama. Dan terkadang, engkau menghajr seorang saudaramu yang memiliki sedikit penyimpangan, jika hajr itu bermanfaat baginya. Sebagaimana telah terjadi pada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau menghajr istri-istrinya, padahal mereka merupakan Ummahatul Mukminin. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menghajr sebagian orang yang menyimpang.
Dengan demikian, pelaksanaan hajr -sebagaimana telah kami katakan- merujuk kepada mashlahat. Hajr bukanlah merupakan hukuman. Oleh karena itu, perhatikanlah hikmah Allah, yaitu hudud[9] disyari’atkan atas orang-orang yang bermaksiat, seperti had zina, had khamr, dan had qadzf. Dan hudud tidak disyari’atkan bagi ahli bid’ah. Padahal, bid’ah lebih berbahaya daripada maksiat.
Mengapa demikian? Karena, seandainya sekarang kita mendatangi ahli bid’ah yang menafikan sifat-sifat Allah, lalu kita menderanya, apakah mereka akan mendapatkan manfaat? Tidak bermanfaat! Bahkan -demi Allah- mereka mengharapkan pahala dengan hukuman yang mereka alami itu disebabkan keyakinan yang mereka miliki, yaitu berupa penyucian terhadap Allah (dengan meniadakan sifat itu). Mereka ini, tidak mungkin kesalahan mereka diobati dengan hukuman. Berbeda dengan pelaku maksiat, dia mengetahui bila dia telah bermaksiat. Oleh karena itu, dia berhenti (dengan hudud).
Adapun ahli bid’ah, maka Islam mengajarkan menghilangkan syubhat (kesamaran) darinya. Kadang-kadang Islam mengajarkan ta’alluf (bersikap lembut) terhadap mereka, sehingga kembali kepada al haq. Kadang-kadang Islam mengajarkannya dengan menghukum, sehingga mereka berhenti. Dengan demikian, di antara kaidah-kaidah hajr adalah, memperhatikan keadaan orang yang dihajr. Apakah dia akan mendapatkan manfaat dengan hajr atau tidak?
Kita bisa mengetahui dari anak-anak kita, dari kerabat-kerabat kita. Demi Allah, sebagian anak, jika engkau berpaling darinya, dia datang mengucapkan salam dan mengatakan: “Wahai bapak, apakah yang telah aku lakukan? Maafkan aku”.
Sebagian yang lain, jika engkau berpaling darinya, dia pun berpaling darimu, dan mengatakan: “Bapakku keras. Bapakku memiliki sikap keras”.
Anak yang berpaling darimu ini, tidak pantas dihajr. Oleh karena itulah, hajr terkadang menambah jarak menjadi jauh. Dan anak yang berpaling, jika engkau menghajrnya itu, terkadang mendapatkan manfaat yang besar dengan kata-kata yang memompa semangatnya (untuk berbuat kebaikan), dengan berbuat baik kepadanya, menampakkan kecintaan kepadanya. Sementara, jika engkau memberikan semangat dan menta’lifnya, mungkin justru akan merusaknya. Subhanallah (Maha suci Allah). Allah Azza wa Jalla telah menciptakan makhluk, dan Dia tidak menciptakan makhluk dengan derajat yang sama pada akal, kesabaran, dan ketahanannya.
Suatu ketika, saya pernah mendengar kaset salah seorang thalibul ‘ilmi yang berbuat salah. Dan sebagian ikhwan menghajrnya. (Tetapi) dia mengatakan: “Demi Allah. Seandainya seluruh penduduk bumi menghajrku, aku tidak akan meninggalkan apa yang aku yakini”. Oleh karena itu, orang semacam ini tidak dihajr. Karena dia tidak akan peduli. Dia memiliki kekuatan. Tidak peduli, (meski) semua orang menghajrnya. Dia akan tetap seperti sedia kala.
Ada juga seseorang yang mengkafirkan seluruh manusia, termasuk para ulama, para penguasa, tanpa meminta fatwa kepada seorang pun. Dia, sekali saja, tidak pernah menganggap dirinya (telah) berbuat salah. Orang seperti ini, tidak dihajr, karena dia tidak peduli dengan siapapun. Akan tetapi, jika engkau menta’lifnya, – semoga Allah menunjukinya – , mungkin ini bermanfaat. Ada tujuan syar’i yang terpancang, yaitu sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam )kepada Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu, pent) :
لَأَنْ يَهْدِيَ اللَّهُ بِكَ رَجُلًا وَاحِدًا خَيْرٌ لَكَ مِنْ أَنْ يَكُونَ لَكَ حُمْرُ النَّعَمِ
Sesungguhnya jika Allah memberi petunjuk kepada satu orang dengan sebab kamu, itu lebih baik bagimu daripada onta merah. [HR Bukhari, Muslim, dan lainnya, pent].
Lihatlah sikap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap orang-orang yang menyimpang. Apakah itu lebih mendekatkan kepada hidayahnya dan kembali menuju kebenaran? Ataukah (justru) lebih menjauhkannya (dari kebenaran)?
Jika kita menghajr Fulan, kemudian (justru) menjauhkannya dari agama, maka itu termasuk sikap yang diharamkan, yaitu membuat orang menjauh dari agama. Jika kita menghajr Fulan, kemudian itu mendekatkannya kepada agama, maka itu termasuk hajr yang disyari’atkan. Oleh karena itu, harus diperhatikan orang yang dihajr. Apakah dia akan mendapatkan manfaat ataukah tidak?
Aku akan menyebutkan kepada kali sebuah dampak dari pengaruh hajr yang buruk, yang menyelisihi kaidah-kaidah syar’i. Ini disebutkan oleh sebagian thalibul ‘ilmi, terjadi di negeri Barat.
Dia mengatakan, ada beberapa thalibul ‘ilmi bersatu di atas Sunnah. Lalu ada seseorang dari mereka terjatuh pada kesalahan. Mereka semua sepakat menghajrnya. Dia menyatakan bahwa akhirnya orang yang dihajr itu murtad dari agama Islam menuju agama Nashrani.
Subhanallah. Di suatu negara, di Eropa, mungkin yang menjalankan Sunnah (cuma) 50 pemuda, lalu mereka bersepakat menghajr Fulan. Mereka membiarkannya untuk disergap orang-orang jahat dan orang-orang rusak, gara-gara dia berbuat kesalahan, dan karena hajr disyari’atkan; dan karena Fulan telah memfatwakan untuk menghajrnya. Akibatnya, orang itu murtad. Siapakah yang telah menyesatkannya dari agama? Apa yang lebih bermanfaat bagi pemuda tadi? (Apakah) dita’lif dan dinasihati, walaupun dia mati dengan kesalahannya? Ataukah dia disesatkan dari agamanya sehingga murtad? Perkara ini jelas!
Adapun sekarang, ada orang yang menjauhkan manusia dari (dakwah) Salafiyah, disebabkan pemahaman orang-orang yang buruk tentang hajr.
Demi Allah, banyak orang telah datang kepada kami, dari dalam Saudi maupun dari luar negeri, mereka berkata : “Tidaklah kami melihat orang-orang yang lebih keras daripada orang-orang Salafi ini!”
Darimana (perkataan) ini datang? Apakah kita akan mengatakan, orang-orang itu tidak mengatakan al haq?
Kita ini Salafi. Kita mengikuti manhaj Salaf. Seharusnya kita menuduh masing-masing diri kita, (bahwa kitalah yang salah dalam memahami suatu masalah, pent)! Demi Allah, sesungguhnya manhaj Salaf tidak membuat seseorang menjauh dari agama. Tetapi, pemahaman dan penerapan hukum yang buruk terhadap orang-orang yang menyimpang itulah yang menjadikan manusia menjauhi agama. Oleh karena itu, wajib diperhatikan kondisi orang yang dihajr, apakah dia akan mendapatkan manfaat ataukah tidak?
Kemudian, di antara kaidah yang disebutkan oleh ulama dalam masalah hajr, (yakni) memperhatikan waktu lamanya hajr.
Terkadang penyimpangan itu kecil. Jika engkau hajr dua hari, itu bermanfaat. Namun, jika engkau menghajrnya sebulan, kemungkinan akan merusaknya. Perhatikanlah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang Ka’ab bin Malik dan dua kawannya:
حَتّٰٓى اِذَا ضَاقَتْ عَلَيْهِمُ الْاَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ
(hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi meraka, padahal bumi itu luas -at Taubah/9 ayat 118-), yakni, apakah sekarang yang dia gambarkan?
Ini berkaitan dengan tekanan psikis, sebagaimana disebutkan oleh Rabbul ‘alamin yang mengetahui jiwa mereka, bahwa bumi telah menjadi sempit bagi meraka, padahal bumi itu luas. Seandainya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghajr mereka lagi 50 hari setelah itu, setelah 50 hari, apakah yang akan terjadi? Bisa jadi mereka akan putus asa.
Demikianlah di antara hikmah Allah Subhanahu wa Ta’ala bahwa hajr itu sesuai dengan penyimpangannya. Imam Ibnul Qayyim menyatakan: “Hajr itu seperti obat. Jika kelebihan, akan mematikan. Jika kurang, tidak akan bermanfaat”.
Ini merupakan ungkapan yang sangat bagus, mengapa kita tidak mencermatinya? Terkadang terdapat sedikit penyimpangan pada seseorang, muncul penyimpangan darinya, lalu engkau berpaling darinya selama dua hari atau tiga hari, itu bermanfaat. Dia akan menyesal, (kemudian) mendatangimu, dan mengatakan: “Maafkan aku!”
Engkau berpaling darinya. Lalu dia datang yang kedua kalinya, dia mengatakan: “Maafkan aku, aku menyesal, aku keliru!”, (maka) selesailah, (engkau menerimanya dan hajr berhenti, pent).
Tetapi jika dia datang dua kali, engkau berpaling darinya, maka dia akan berpaling dan tidak akan kembali kepadamu. Dengan demikian, hajr haruslah proporsional sesuai dengan tingkat pelanggaran. Jika kita melakukannya, haruslah sesuai dengan penyimpangan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghajr para istri beliau sebulan, menghajr Ka’ab bin Malik 50 hari, beliau berpaling dari sebagian sahabat, sehingga ketika sebagian mereka berhenti dari penyimpangan, beliau menyambutnya, seperti pemakai cincin (emas) dan lainnya. Oleh karena itu, harus diperhatikan kaidah ini dalam menyikapi orang yang menyimpang. Yaitu, bahwa hajr yang disyari’atkan untuk mashlahat orang yang menyimpang, adalah bertujuan memperbaikinya, bukan untuk merusaknya.
Hajr bukanlah hukuman. Sebagian orang sekarang menyangka hajr merupakan hukuman. Katanya ‘semua ahli bid’ah harus dihajr. Karena Ahlus Sunnah mengatakan: “Hajrlah ahli bid’ah”, “Ahli bid’ah itu dihajr”.
Tetapi, ungkapan ini bertentangan dengan perkataan lainnya. Yaitu ahli bid’ah terkadang dinasihati, ahli bid’ah terkadang dipergauli, ahli bid’ah terkadang dibantah. Seharusnya kita mengambil aqidah Ahli Sunnah secara menyeluruh. Kita tidak boleh mengambil beberapa bagian perkataan saja. Kita tidak boleh mengambil beberapa bagian contoh saja. Kita tidak boleh mengambil sebagian perkataan ulama, lalu meninggalkan perkataan yang lain. Inilah perkara yang seharusnya diperhatikan.
Jika seorang thalibul ‘ilmi bersungguh-sungguh dalam menekuni kaidah-kaidah ini, demi Allah, akan menghasilkan kebaikan yang banyak. Kita akan memahami bahwa sebagian orang, termasuk mashlahat (baginya) adalah dilakukan ta’lif kepadanya.
Syaikhul Islam rahimahullah berkata: “Para tokoh, orang-orang yang ditaati di kalangan kaumnya, orang yang memiliki keutamaan, mereka ini tidak pantas dihajr. Umumnya, mereka itu memiliki kekuatan dan kekuasaan”.
Kekuatan itu bermacam-macam. Ada kekuatan ilmu. Terkadang ada seseorang, walaupun dia ahli bid’ah, tetapi dia memiliki kekuatan ilmu dan kedudukan di kalangan manusia, pengikutnya jutaan. Jika engkau menghajrnya, maka hajr itu tidak mempengaruhinya.
Di antara manusia ada yang memiliki kekuatan harta. Orang-orang tunduk kepadanya karena hartanya, walaupun dia merupakan orang yang paling jahat sekalipun. Sehingga hajr tidak bermanfaat baginya, kecuali jika dia memiliki agama, dia memperdulikan agama ini, maka pada keadaan seperti itu, kemungkinan hajr bermanfaat baginya.
Di antara orang, ada yang memiliki kekuatan di tengah kaumnya. Seperti ketua suku dan wali kota. Oleh karena itulah, di antara hikmah dalam mendakwahi para penguasa adalah dengan sabar dan lemah-lembut, bukan dengan kekerasan.
Maka, perhatikan orang-orang yang menyelisihi itu. Terapkan pada mereka wasilah (sarana) yang kita harapkan, kita yakini, dan kita beragama karena Allah dengan itu. Bahwa itu sesuatu yang paling baik dalam hidayah orang tersebut. Jika dia mengikuti petunjuk, al-hamdulillah. Jika dia tidak mengikuti petunjuk, kewajiban sudah gugur (yakni sudah dilaksanakan, pent).
Adapun sekarang, sebagian orang menyangka, jika kita telah menasihati Fulan, dan dia tidak kembali (kepada al haq), maka dia mengatakan: “Kami telah menasihatinya, tetapi dia tidak kembali (ke jalan yang benar). Apakah Anda berpendapat kita menghajrnya?”
Sebagian orang berpendapat: “Ya, kita menghajrnya”.
Kami (Syaikh, red) katakan: “Perhatikan orang itu. Bisa jadi dia tidak pantas dihajr sampai dia meninggal. Dan yang lebih bermanfaat dalam mendakwahinya adalah menta’lifnya sampai dia mati, bukan hajr”.
Saya ingat pada suatu majlis yang dihadiri para ulama, thalibul ‘ilmi, dan masyayikh kibar (para ulama besar). Ada seseorang berbicara tentang Fulan, dan dia mengatakan: “Dia pantas dihajr”.
Saya katakan: “Orang semisal ini tidak perlu dihajr, tetapi dinasihati”.
Dia bertanya: “Sampai kapan?”
Saya jawab: “Sampai Allah kehendaki, bisa sampai 20 tahun”.
Banyak orang di majlis itu tertawa. Salah seorang berkata : “Maksudnya, kita menempuh ini sampai 20 tahun?”
Lantas, saya bertanya kepada salah seorang masyayikh : “Wahai, Syaikh Fulan, aku ingin bertanya kepadamu dengan nama Allah. Apakah engkau mengetahui di antara petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dalam keadaan beliau menta’lif sebagian orang? Atau beliau menta’lif seseorang lalu menghajrnya?”
Beliau (masyayikh itu) menjawab: “Ya, disertai nasihat”.
Saya katakan: “Inilah, yang aku pegangi sebagai ajaran agama di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala .”
Sebagian orang tidak pantas dihajr, tetapi yang pantas adalah dita’lif, sampai Allah Subhanahu wa Ta’ala memberinya petunjuk, atau sampai hujjah tegak padanya. Inilah sikap yang kami pandang lebih bermanfaat baginya.
Selain itu, dengan memperhatikan kaidah pertama (dalam hajr), sebagian orang terkadang mempunyai pengaruh. Sementara ada orang lain yang tidak berpengaruh. Di sini, terdapat satu permasalahan : terkadang, untuk menyikapi si Fulan yang menyimpang, disyari’atkan bagi sebagian orang untuk menghajrnya. Seperti ulama, imam yang memiliki kedudukan, disyari’atkan baginya untuk menghajr Fulan. Tetapi bagi saya, tidak disyari’atkan untuk menghajrnya. Kenapa? Karena dia memiliki pengaruh, sedangkan saya tidak mempunyai pengaruh.
(Sebagai penjelasnya), tidaklah setiap orang yang saya fatwakan kepada salah seorang thalibul ‘ilmi untuk menghajrnya, disyari’atkan bagi orang lain untuk menghajrnya. Justru terkadang disyari’atkan buat orang lain untuk menta’lifnya. Orang ini menghajr, orang itu menta’lif, semuanya mengajak menuju Sunnah.
Orang ini menghajrnya, orang itu menta’lifnya. Akan tetapi, jika kita bersatu di atas al haq, tidak mungkin orang yang menta’lifnya mengatakan: “Tinggalkan orang yang membuat jauh (dari agama ini, pent). Orang yang menghajrmu adalah orang yang keras”. Dan tidak mungkin orang yang menghajr datang dan mengatakan: “Tinggalkan orang yang mumayyi’ (mengikuti arus) dan mudhayyi’ (menyia-nyiakan kewajiban) itu!” Jika semua bertaqwa kepada Allah, maka orang yang menta’lif itu akan mengatakan: “Fulan tidak menghajrmu kecuali karena penyimpanganmu. Dia telah bertindak benar di dalam menghajrmu, karena engkau menyimpang. Dan inilah yang mesti ia lakukan. Sementara saya, tidaklah berhubungan denganmu serta bergaul bersamamu karena menyetujui kesalahanmu. Akan tetapi, untuk menta’lif hatimu”. Demikian juga orang yang menghajr akan mengatakan: “Janganlah engkau terpedaya dengan Fulan yang bergaul bersamamu, dengan menyangka dia sepakat denganmu. Tidak! Akan tetapi, dia sedang menta’lifmu”. Dengan demikian semuanya bertemu di atas al haq.
Adapun sekarang, jika saya menghajr Fulan, dan melihat sebagian orang menta’lifnya, maka saya katakan: “Mereka ini menipumu. Mereka ini mencari muka. Mereka ini membicarakan keburukan kawannya”. (Ini tidak benar). Terkadang orang yang menta’lif itu mengajaknya menuju Sunnah, mengajaknya menuju kebaikan. Maka, sepantasnya kita memperhatikan niat-niat orang. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan hajr terhadap sebagian orang yang menyimpang, dan beliau tidak memerintahkan orang lain menghajrnya. Bahkan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Shalatkanlah (jenazah) kawan kamu!” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan hajr kepada sebagian mereka dan memerintahkan manusia menghajrnya, seperti beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam (telah) menghajr Ka’ab bin Malik.
Oleh karena itulah, saya teringat, ada seseorang yang menyelisihi penjelasan ini -semoga Allah menunjukinya – . Masalah tersebut telah saya tetapkan dalam (kitabku), Mauqif Ahli Sunnah, bahwa sebagian orang disyari’atkan hajr terhadapnya, dan sebagian yang lain tidak disyari’atkan.
Dia mengatakan: “Ini menyelisihi metode yang dijalani Salaf. Yang mereka tempuh adalah menghajr ahli bid’ah”.
Aku katakan kepadanya: “Berikan kepadaku satu contoh saja, dari zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai hari ini, bahwa seorang ‘alim di antara ulama umat mengeluarkan fatwa yang memuat hajr kepada seseorang dan memerintahkan semua orang untuk menghajrnya” selain hajr Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ka’ab bin Malik, karena beliau adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika beliau memerintahkan, maka tidak ada pilihan kecuali umat harus mentaatinya. Demikian juga seorang imam (penguasa) umat Islam, jika penguasa muslim itu mengatakan: “Hajrlah si Fulan,” maka tidak ada pilihan bagi umat, kecuali harus mentaatinya. Oleh karena itu, tatkala ‘Umar memerintahkan untuk menghajr Shabigh bin ‘Asal, masyarakat pun menghajrnya.
Tetapi jika ada seorang ‘alim, mujtahid, dia memandang bahwa merupakan bentuk mashlahat, melakukan hajr Fulan, lalu ijtihadnya wajib atas umat, maka ini tidak (pernah) diucapkan oleh seorang pun, termasuk Imam Ahmad.
Beliau merupakan Imam Ahli Sunnah. Beliau menghajr sebagian orang. Dan sebagian ulama mengkritik beliau dalam masalah hajrnya terhadap sebagian orang yang menyimpang itu. Beliau pun tidak memaksa ulama lain untuk menghajr orang yang bersangkutan. Jika demikian, pendapat bahwa “apabila seseorang telah mengeluarkan fatwa untuk menghajr Fulan, maka wajib atas semua oranga untuk menghajrnya. Barangsiapa tidak menghajr, maka dia pun dihajr. Barangsiapa menyetujuinya, maka dia pun dihajr,” mengakibatnya, tidak tersisa seorang pun. Pada akhirnya, tidak tersisa seorang pun bagi kita.
Keterangan demikian ini, bila kita sandarkan bahwa barometer dalam masalah ini adalah penentuan mashlahat. Sebagai dampaknya, kita juga akan berbeda pandangan dalam menentukan mashlahat. Bisa jadi saya berpendapat Fulan tidak pantas dihajr, tetapi orang lain berpendapat Fulan pantas dihajr.
Perbedaan pandangan ini bukan pada inti permasalahan, bukan tentang Sunnah dan bid’ah, tetapi perselisihan hanya dalam menentukan mashlahat. Maka, sepantasnya kita memahami masalah ini, dan memahami tujuan-tujuan syari’at dalam menghajr orang-orang yang menyimpang. Demikian juga, ketika kita menetapkan masalah hajr dan menetapkan kaidah-kaidahnya. Kita sekarang juga tidak menyetujui orang yang menjadikan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai dalil :
لَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلَاثِ لَيَالٍ
(Tidak halal seorang muslim menghajr saudaranya lebih dari tiga hari). [HR Bukhari, Muslim, dan lainnya, pent], lalu dia membatalkan masalah hajr ini.
Dengan mengatakan, semua yang menghajr umat Islam, maka dia bermaksiat, berdosa, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak halal seorang muslim menghajr saudaranya lebih dari tiga hari”. (Karena) hajr ini tentang apa? Tentang mashlahat dunia. Engkau boleh menghajr saudaramu muslim untuk mashlahat duniawimu kurang dari tiga hari. Adapun lebih tiga hari, maka engkau tidak boleh menghajr saudaramu. Sedangkan dalam mashlahat agama, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah bersabda, tidak halal seorang muslim menghajr saudaranya lebih dari tiga hari, beliau juga pernah menghajr Ka’ab bin Malik selama 50 hari. Maka sepantasnya kita mengambil nash ini, dan nash tersebut.
Kami -demi Allah- terkadang di majlis menetapkan masalah hajr kepada orang-orang yang mengatakan “tidak ada hajr”. Dan terkadang kami menetapkan masalah kaidah-kaidah hajr pada orang-orang yang mengatakan “hajrlah semua orang yang menyimpang”.
Mereka mensifati kami dengan kekerasan. Sementara pihak lain mengatakan: “Kamu ini mumayyi’ (orang yang mengikuti arus), Fulan mudhayyi’ (orang yang menyia-nyiakan kewajiban),” Namun, keridhaan manusia tidaklah penting bagi kami, karena kewajiban seorang muslim, thalibul ‘ilmi, ialah untuk bertaqwa kepada Allah, dan memperhatikan kaidah-kaidah ini. Apakah ini -perkataan yang kalian dengar ini- bersumber pada istihsan (anggapan baik semata, subyektifitas individu), ataukan bersumberkan dari dalil-dalil, bukti-bukti dari perkataan dan perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dan keterangan-keterangan dari praktek Salaf?.
Jika ada orang yang menyimpang dengan argumentasi ilmu, (maka) orang semacam ini harus dijelaskan, tidak boleh dibantah dengan hawa nafsunya, bahwa Fulan mumayyi’, Fulan mudhayyi’. Kewajibannya ialah berbicara dengan (membawakan) dalil, seperti mengatakan: “Engkau keliru. Engkau mengatakan bahwa hajr untuk mashlahat mahjur, untuk mashlahat umat. Ini adalah perkataan batil, dalilnya demikian”. Kewajibannya berbicara dengan dalil, menetapkan al haq dengan dalil. Saya memiliki keterangan-keterangan dari perkataan para ulama dan saya mengambil faidah dari pemahaman Salaf. Inilah yang kami tetapkan.
Oleh karena itu, kewajiban thalibul ‘ilmi (yang) pertama kali, jika menjumpai perselisihan tentang menghajr seseorang atau tidak, maka hendaknya ia memperhatikan bahwa masalah ini memiliki perincian lebih lanjut dalam banyak hal. Karena, seseorang mesti memperhatikan (kapasitas) dirinya terlebih dahulu, apakah memiliki kemampuan menghajr ataukah tidak? Dan dia (juga) memperhatikan orang yang dihajr, apakah perlu berpendapat untuk menghajrnya atau tidak? Di sini ada banyak hal. Karenanya, engkau mendapatkan sebagian ulama terkadang berpendapat Fulan dihajr, (sedangkan) ulama lain berpendapat Fulan tidak dihajr. Padahal tidak ada perselisihan aqidah dan substansi masalah pada mereka (para ulama). Tetapi perselisihan yang terjadi pada para ulama, yaitu tentang mengukur mashlahat dalam menghajr Fulan atau tidak. Inilah perinciannya, dan inilah kaidah-kaidahnya berkaitan dengan masalah ini.
Di antara perkara yang paling berbahaya, sebagaimana yang telah saya sebutkan dalam masalah ini, bahwa telah datang fatwa-fatwa dari orang-orang yang tidak memahami kondisi orang-orang yang diberi fatwa. Mereka langsung memfatwakan: “Hajrlah dia!”, “Hajrlah Fulan, jangan bicara dengannya, jangan duduk bersamanya,” sedangkan mereka tidak mengetahui keadaan orang yang dihajr ini, keadaan orang yang menghajr, dan keadaan kota (negara)nya. Tidak ada aturan agama yang baru.
Sekarang Anda telah mengetahui kaidah-kaidah hajr. Hendaklah engkau merasa berada di bawah pengawasan Allah saat bergaul dengan orang, bersikap lunak atau menghajrnya. Jika kita menempatkan perkataan Fulan bagai kedudukan nash-nash (al Kitab dan as Sunnah), bahwa Fulan telah memfatwakan untuk menghajr si Fulan, barangsiapa yang tidak menghajr, maka dia bukan Salafi. Dia telah keluar dari Salafi karena menyelisihi pendapat salah seorang ulama di dalam menghajr Fulan. (Syaikh berkata): “Demi Allah, tidak ada seorang pun ‘alim yang wara’ (yang berhati-hati dengan meninggalkan perkara yang ditakutkan berbahaya di akhirat-pent) yang berpendapat untuk menghajr Fulan dan dia mengatakan “Hajrlah orang yang aku hajr, dan siapa yang tidak menghajr, maka dia keluar dari Sunnah!”
Saya ingin berbicara tentang tentang diri. (Terkadang) saya berpendapat tidak perlu berhubungan dengan Fulan dan duduk bersamanya. Sedangkan sebagian ikhwan duduk bersamanya dan menasihatinya. Demi Allah, saya tidak mencelanya, dan tidak menghalalkan (anggapan buruk itu). Bahkan, dalam hati saya tidak pernah terbetik, atau terpikirkan bahwa Fulan mudhayyi’ mumayyi’. Ketika sebagian ikhwan berhubungan dengan Fulan dan menasihatinya, dia berpendapat, Fulan akan menerima nasihatnya dan sementaran ia tidak akan menerima nasihat saya. Maka dia mendapatkan faidah melalui kebersamaan dengannya. Sedangkan saya, tidak mendapatkan manfaat dengan duduk bersamanya. Dia lebih mengetahui terhadap dirinya, dan saya lebih mengetahui terhadap diri saya. Dia tidaklah tertuduh (melakukan keburukan) dalam agama Allah Subhanahu wa Ta’ala .
Maka, mengapa tidak menjadikan diri kita (sebagai) orang yang cemburu terhadap agama Allah? (Lalu kita jadikan) orang lain sebagai yang mudhayyi’ mumayyi’? Bahkan, jika memperhatikan kaidah-kaidah yang ada pada ahli ilmu, kita akan mengetahui bahwa mereka (orang-orang yang menghajr semua orang tanpa pertimbangan) berbicara dengan hawa nafsu, berbicara dengan kebodohan; demi Allah, mereka tidak memiliki pengetahuan tentang aqidah Ahli Sunnah wal Jama’ah.
Banyak orang berbicara tentang hajr, padahal dia tidak mengetahui tentang hajr kecuali sebagian riwayat yang dibacanya dari buku-buku Ahli Sunah, bahwa Imam Ahmad menghajr, Sufyan menghajr, Fulan menghajr. Dia berpendapat, hajr itu mutlak (umum tanpa syarat). Dia tidak mengkaji masalah ini dengan sebenarnya, tidak merujuk kepada perkataan para ulama. Padahal Syaikhul Islam telah menjelaskan masalah ini, dan beliau telah menyebutkan di dalam banyak kitab beliau. Tetapi, memang membutuhkan waktu untuk mengumpulkan materi itu, dan menyampaikannya kepada orang. Saya telah menyebutkan hal ini dalam (kitab saya), Mauqif Ahli Sunnah. [10]
Kitab saya ini telah lewat bertahun-tahun, (dan) tidak ada yang membicarakannya (yakni mengkritiknya). Kemudian sekarang setelah muncul pengaruh hawa nafsu, mereka mulai membicarakan kitab ini. Mereka mengatakan: “Ini mumayyi, ini mudhayyi’”. Dan tidaklah seorang pun membaca kitab itu, kecuali berpendapat bahwa penulisnya mumayyi’.
Mereka sombong, bahkan terhadap Allah, juga terhadap manusia. Mereka menerapkan hukum-hukum dan mensifati manusia dengan sifat-sifat (yang buruk). Urusan mereka ini terserah Allah. Fitnah (musibah) mereka besar, dan keburukan mereka terhadap masyarakat juga besar; demi Allah, walaupun mereka menisbatkan diri kepada Sunnah. Seseorang tidak akan selamat pada hari Kiamat di sisi Allah lantaran mengatakan “saya salafi”, ketika dia menjadi sebab fitnah (kesesatan) pada manusia.
Sekarang ini, para thalibul ‘ilmi dan pemuda yang menisbatkan diri kepada manhaj Ahli Sunnah dan aqidah Salaf (telah tersebar, pent). Demi Allah, setelah aqidah ini tersebar dan merata di bumi, dan ada di seluruh negara umat Islam, bahkan di negara-negara Eropa dan Amerika, dan mereka didapati di mana-mana; demi Allah, fitnah (musibah) yang paling besar yang mereka timbulkan sekarang adalah saling menghajr dan saling memutuskan (hubungan antar mereka) disebabkan fatwa-fatwa yang tidak berdasarkan pada kaidah-kaidah ini. Manakah fitnah (musibah) yang lebih besar dibandingkan bahaya yang muncul jika seseorang menjadi penyebab fitnah umat Islam dan Ahlus Sunnah di dalam masalah ini? Jika seseorang merusak hubungan antara dua orang awam umat Islam, demi Allah, dia berdosa. Maka, bagaimanakah dengan orang yang perkataannya menyebabkan fitnah (musibah) yang besar, yakni menimbulkan saling hajr dan memutuskan hubungan di antara penuntut ilmu di antara Ahli Sunnah, di antara Salafiyyin?
Sekarang ini kita tidak mengatakan: “Ta’liflah (bersikaplah lembut kepada) ahli bid’ah!” Karena menurut banyak orang, merupakan dosa besar jika engkau mengatakan: “Ta’liflah ahli bid’ah!” Sehingga sekarang ini, jika kita katakan: “Ta’liflah Ahlus Sunnah,” maka mereka mengatakan: “Tidak ada ta’lif. Semua kesalahan harus dihajr. Semua kesalahan harus kita putuskan dan kita hajr!” Ini merupakan fitnah (musibah) yang besar!
Suatu ketika ada seseorang berbuat salah, lalu ada orang lain yang membantahnya, kemudian orang-orang saling hajr dan memutuskan. Dan umat menjadi dua golongan. Fulan bersama Fulan, Fulan yang lain bersama yang lain.
Demi Allah, telah sampai kepadaku, seseorang menceraikan isterinya disebabkan fitnah (musibah) ini. Apakah ada fitnah yang lebih besar dari fitnah ini? Manusia manakah yang memiliki semangat karena Allah Subhanahu wa Ta’ala , menetapkan masalah ini dan berfatwa kepada orang banyak dan berpegang dengan fikirannya? Bahkan dia menghalangi manusia dari mencari ilmu, dan memperingatkan manusia dari kajian-kajian ini?
Sebagian mereka, ketika saya menuliskan nasihat kepada sebagian penuntut ilmu dalam masalah hajr, dan saya jelaskan kaidah-kaidahnya, saya bacakan penjelasan para ulama, dan dia menganggapnya baik. Kemudian, salah seorang dari mereka membacanya, dan ia mengatakan: “Orang yang membaca nasihat ini, dia akan keluar dengan mengatakan, tidak ada hajr di dunia ini”.
Hendaklah diperhatikan, jika memang kaidah-kaidah (itu) menunjukkan bahwa tidak ada hajr, al-hamdulillah, maka kita tidak menginginkan hajr. Tetapi jika kaidah-kaidah (itu) menunjukkan adanya hajr, sesuai dengan mashlahat-mashlahat, (maka kita melakukan hajr). Seolah-olah tujuan kita dan tujuan agama kita adalah hajr.
Demi Allah, kita membela al haq dari segala penjuru. Sehingga tatkala dinukilkan dari sebagian ulama besar, bahwa pada zaman ini tidak ada hajr, dan murid-murid bertanya kepada saya, maka saya katakan, bahwa ini tidak benar. Kita tidak mungkin mengatakan masa ini bukanlah masa hajr, akan tetapi kita kembali kepada kaidah-kaidah. Memang benar, banyak orang yang tidak layak dihajr, tetapi tidak mungkin kita menerapkan hukum mutlak ini kepada setiap muslim di seluruh negara, bahwa tidak ada hajr, dan ini untuk semua manusia. Tidak! Bahkan sebagian orang, hajr memberikan pengaruh.
Kami mengetahui di antara murid kami, demi Allah, jika kami berpaling darinya, dia datang dan minta maaf, dia mengatakan: “Maafkan saya,” tetapi sebagian orang tidak mendapatkan manfaat dengan hajr.
Walaupun perkataan tadi dari seorang ‘alim yang agung pada diri kami, namun -demi Allah- kami berlaku ikhlas untuk al haq. Kami menetapkan al haq, dan kami tidak berbasa-basi padanya. Kami tidak mencari keridhaan manusia. Jika semangat kita agar bersesuaian dengan Fulan dan Fulan, yaitu (supaya dipuji) “dia itu ditazkiyah (dipuji) dengan gelar Salafi”, maka kami tidak menginginkan ini dari manusia. Kami tidak menginginkan Fulan mentazkiyah kami. Kami tidak ingin celaannya. Bahkan hendaklah manusia menahan keburukannya dan menahan lidahnya dari penuntut ilmu yang menetapkan al haq.
Jika ada sesuatu (kesalahan) pada seseorang, dan dia memiliki ilmu yang nyata dan terang, maka hendaklah dia mendatanginya, menjelaskannya, dan menasihatinya. Karena Ahli Sunnah saling menerima dari yang lain. Saling menasihati di antara mereka. Saya tidak ingin memperpanjang ceramah ini. Ini merupakan nasihat, dan saya ingin menjelaskan masalah yang berkaitan dengan hajr ini, karena saya mengetahui adanya perselisihan dalam masalah ini.
Saya memberi nasihat, saya ingatkan kalian terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk bersatu di atas Sunnah, dan dakwah kalian kepada orang lain. Bersatulah di atas Sunnah. Kalian di atas Sunnah, bisa jadi ada perselisihan di antara kalian dalam masalah-masalah yang besar dan kecil. Hendaklah saling menasihati. Jelaskanlah al haq, dan janganlah kalian berbasa-basi dalam masalah-masalah yang besar dan kecil. Jika ikhwan kalian menerima, maka al-hamdulillah. Jika tidak, maka perhatikanlah kaidah-kaidahnya. Demi Allah, jika saya tidak bertemu dengan Fulan dan tidak berhubungan dengannya, semoga Allah menunjukinya, maka bisa jadi hajr disyari’atkan bagimu. Namun jika engkau tidak bertemu dengannya dan hajrmu tidak berpengaruh dan menjauhkan dari Sunnah, maka janganlah engkau hajr.
Hendaklah Anda sekalian saling menasihati dan bersatulah di atas al haq. Ajaklah semua orang yang menyelisihi Sunnah, ajaklah (mereka) menuju Sunnah, dan bersikaplah lembut kepadanya. Kelemah-lembutan akan mendekatkannya kepada agamanya, yaitu kelemah-lembutan yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kami memohon taufiq kepada Allah untuk kita semua. Wallahu a’lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 7-8/Tahun X/1427H/2006M. ]
______
Footnote
[1] Dalam pembahasan ini, Syaikh Dr. Ibrahim bin ‘Amir ar Ruhaili –hafizhahullah- memberikan penjelasan tentang hajr, berkaitan dengan syari’atnya dan kaidah penerapannya. Secara panjang, penjelasan ini juga disertai dengan contoh nyata, sehingga mempermudah kita dalam memahami maksud disyari’atkannya hajr. Mengapa dan bagaimana hajr harus diberlakukan? Kami angkat berdasarkan ceramah beliau pada Daurah Aqidah dan Manhaj, diadakan oleh Ma’had ‘Ali al Irsyad as Salafi Surabaya, di Agrowisata Perkebunan Teh, Wonosari, Lawang, Malang, Jawa Timur, 20-24 Jumadits Tsaniyah 1427H, bertepatan 16-20 Juli 2006. Naskah ini diterjemahkan Abu Isma’il Muslim al Atsari, dengan memberi judul, sub judul dan beberapa catatan kaki yang dianggap perlu. (Redaksi)
[2] Yakni dalam perselisihan di antara Ahli Sunnah. [3] Kalimat dalam kurung tidak disebutkan oleh Syaikh Ibrahim hafizhahullah. [4] HR Bukhari, no. 5534, dari Abu Musa al Asy’ari. [5] Yakni, apakah dia merasa lebih berilmu dan kokoh imannya dari imam Salaf ini. [6] Bukhari, no. 2295, dan lainnya dari sahabat Salamah bin al Akwa’ z . [7] Ghulul, yaitu mengambil harta ghanimah (rampasan perang) sebelum dibagi oleh imam. [8] Sebagaimana telah dijelaskan oleh Syaikh Ibrahim –hafizhahullah– dalam nasihat yang sangat berharga ini. [9] Hukuman-hukuman yang ditetapkan oleh Allah dan RasulNya terhadap bentuk kejahatan tertentu. [10] Kitab Syaikh Ibrahim bin ’Amir ar Ruhaili ini berjudul Mauqif Ahlis Sunnah min Ahlil Ahwa` wal Bida`. Kitab yang terdiri dari dua jilid ini, sangat penting dikaji berkaitan dengan sikap terhadap orang yang menyimpang, khususnya ahli bid’ah. Diterbitkan oleh Maktabah al Ghuraba` al Atsariyah, pent.